1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa di Desa Munggu, Badung terdapat suatu tradisi budaya masih lestari yang melibatkan seluruh warga masyarakatnya. Bahkan, hingga kini tradisi tersebut secara rutin tetap dilaksanakan warga masyarakat dengan baik. Padahal, kehidupan masyarakat di Desa Munggu tampak tergolong maju. Hal itu dapat dilihat, baik dari tampilan fisik bangunan maupun kehidupan masyarakat sehari-hari. Jika melintasi Desa Munggu akan dapat dilihat betapa asrinya suasana dan sejahteranya kondisi fisik desa tersebut. Berdasarkan tampilan bangunan fisik rumah penduduk, gedung-gedung fasilitas publik, jalan aspal yang melintasi desa tersebut, dan gaya hidup masyarakatnya sehari-hari dapat diketahui bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat di Desa Munggu telah tergolong maju. Desa Munggu yang letaknya berdekatan dengan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung dan objek wisata Tanah Lot secara tidak langsung sesungguhnya berdampak terhadap kehidupan masyarakat di Desa Munggu. Namun, kenyataannya tidak demikian adanya. Kehidupan masyarakat di Desa Munggu yang telah maju, tampaknya tidak mampu memengaruhi sikap mereka untuk mengabaikan pelaksanaan tradisi Makotek, sebagai suatu tradisi ritual tolak bala walaupun kini mereka telah hidup pada era global.
1
2
Fenomena keberlangsungan tradisi budaya, yakni Makotek di tengahtengah kehidupan masyarakat yang telah maju pada era global ini menjadi menarik untuk dikaji. Hal itu disebabkan oleh masyarakat yang telah maju, terlebih hidup pada era global pada umumnya akan cenderung menganut budaya global, berideologi kapitalisme, berorientasi profit, mengejar keuntungan finansial dan sejenisnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kehidupan masyarakat pada era global secara ideologis cenderung menerapkan strategi tertentu untuk meningkatkan pendapatannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup agar layak sesuai dengan eranya. Hal itu menyebabkan kehidupan masyarakat pada era global cenderung melibatkan konstruksi pasar kapitalis lengkap dengan rangkaian relasi sosial, aliran komoditas, modal, teknologi dan ideologi dari berbagai budaya belahan dunia. Masyarakat pada era global menempatkan ekonomi kapitalistik pada posisi sentral dan dominan dalam jaringan sosial mereka. Kondisi itu membuat mereka terus sibuk mengejar, berstrategi, berkompetisi untuk memenangkan pertarungan dan memperoleh keuntungan finansial. Sebagaimana diungkapkan Ritzer (2004: 636) bahwa era global melibatkan kontruksi pasar, secara tidak langsung akan menyeret masyarakatnya dalam arus gelombang ekonomi kapitalistik. Namun, kenyataannya di tengah-tengah arus globalisasi yang identik dengan ekonomi kapitalistik itu masyarakat di Desa Munggu hingga kini masih tetap melaksanakan tradisi Makotek. Padahal, tradisi tersebut tidak dapat memberikan mereka keuntungan finansial. Bahkan, untuk melaksanakan tradisi itu mereka terkadang harus mengorbankan waktu, materi dan sebagainya agar bisa
3
ikut serta dalam pelaksanaan tradisi Makotek. Mereka pun tidak jarang harus mengeluarkan uang dari kantong pribadi, meninggalkan aktivitas kehidupan yang penuh dengan pergulatan ekonomi global, hanya karena ingin dapat turut serta terlibat dalam pelaksanaan tradisi Makotek tersebut. Masyarakat di Desa Munggu sangat sibuk bergelut dengan rutinitas kehidupan mereka sehari-hari, tetapi masih tetap mau melaksanakan tradisi Makotek. Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan. Belum lagi muncul stigma bahwa tradisi ritual diidentikkan dengan keterbelakangan, ortodok, irasional, kaku, dan banyak menterpurukan budaya memunculkan berbagai pertanyaan. Hal itu kiranya dapat dijawab dengan menelusurinya secara mendalam, sebagaimana tradisi Makotek di Desa Munggu yang hingga pada era global tetap dilaksanakan masyarakatnya. Tradisi Makotek yang dimaknai sebagai tradisi tolak bala bagi umat Hindu di Desa Munggu dilaksanakan masyarakat setiap enam bulan sekali, tepatnya pada setiap hari raya Kuningan. Tradisi tersebut dilakukan untuk tolak bala dan memohon keselamatan. Setiap penduduk laki-laki dewasa ke luar rumah membawa kayu pulet. Mereka kemudian beramai-ramai berjalan mengelilingi wilayah Desa Munggu diiringi gamelan balaganjur dan nyanyian-nyanyian kidung. Setiap melintasi persimpangan jalan dan pura, mereka berkumpul dan berputar-putar mengadupadankan kayunya hingga berbentuk kerucut menyerupai piramida. Benturan antarkayu pulet yang menimbulkan suara “tek..tek..tek..… tek..tek..tek” membuat tradisi tersebut diberikan nama Makotek oleh masyarakat di Desa Munggu. Dengan diiringi riuhnya gamelan balaganjur yang semakin
4
meninggi, mereka berputar-putar semakin kencang dan histeris. Suasana tersebut mendidihkan jiwa patriotik para peserta prosesi Makotek. Hingga kemudian di antara mereka ada yang naik memanjat ujung piramida. Setelah tiba di atas piramida, mereka menari-nari diiringi sorak-sorai dan riuhnya gamelan balaganjur. Hal itu menciptakan suasana kemeriahan yang sangat religius. Setelah melaksanakan tradisi ritual tolak bala tersebut, mereka pun kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan lega. Dikatakan bahwa dahulu para leluhur masyarakat di desa tersebut berhasil menanggulangi wabah penyakit yang sempat meresahkan kehidupannya. Keberhasilan mereka menanggulangi permasalahan hidup tentang wabah penyakit yang timbul akibat bencana alam berupa air bah karena meluapnya Sungai Penet tersebut kemudian diwariskan para tetua desa secara tradisi lisan hingga kini. Tradisi Makotek yang telah mentradisi pernah ditiadakan pelaksanaannya. Hal itu terjadi sekitar tahun 1920-an ketika Belanda menguasai daerah Bali. Karena alasan politik, pemerintah Belanda melarang pelaksanaan tradisi tersebut. Namun, tidak berselang lama, masyarakat Desa Munggu merasa resah. Hal itu disebabkan oleh ada sekitar empat sampai dengan enam orang warga meninggal secara mendadak tanpa sebab yang pasti. Mereka meyakini bahwa kejadian tersebut ada kaitannya dengan tidak dilaksanakannya tradisi Makotek. Masyarakat Desa Munggu berkeyakinan bahwa hanya dengan melaksanakan tradisi ritual Makotek, bencana wabah penyakit tersebut dapat diatasi. Mereka pun memohon kebijakan kepada pemerintah Belanda agar diperkenankan melaksanakan kembali ritual tersebut. Dengan mengganti properti tombak menggunakan kayu pulet,
5
masyarakat Desa Munggu akhirnya diperkenankan kembali melaksanakan ritual tolak bala tersebut. Sejak saat itu, agar bisa melangsungkan ritual Makotek, warga Desa Munggu memutuskan untuk selalu menggunakan kayu pulet dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Di Bali, terdapat banyak tradisi ritual tolak bala. Beberapa di antaranya adalah tradisi Geret Pandan di Desa Tenganan, Karangasem, tradisi Ngusaba Dangsil di Desa Sulahan, Bangli, tradisi Ngusaba Nini di Karangasem, tradisi Perang Tipat di Desa Kapal, tradisi Omed-omedan di Sesetan, Denpasar, dan tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung. Masyarakat Bali yang dominan menganut agama Hindu memiliki keyakinan bahwa di sekitar kehidupannya ada pula kehidupan lain. Kehidupan itu disebut sebagai kehidupan alam gaib, yang diyakini memiliki kekuatan gaib pula melampaui kemampuan manusia. Kekuatan gaib tersebut diyakini ada yang positif, tetapi ada pula yang negatif. Mereka yakin bahwa jika kekuatan gaib tersebut dikelola dan disikapi dengan baik, maka akan dapat menimbulkan efek baik, positif bahkan diyakini mampu menolong manusia dalam memecahkan segala masalah dalam kehidupannya, seperti musibah bencana alam, wabah penyakit, rezeki, jodoh, konflik sosial dan sebagainya yang tidak dapat dipecahkan dengan akal sehat. Tradisi Makotek dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Desa Adat Munggu yang terdiri atas tiga belas banjar dan diikuti kurang lebih 2000-an orang peserta sangat menarik untuk dikritisi pada era global. Pada sore harinya, setelah melakukan persembahyangan bersama menyambut hari raya Kuningan mereka
6
beramai-ramai ke luar rumah. Masyarakat yang laki-laki membawa kayu pulet, sementara yang perempuan membawa sesaji. Semua warga mengenakan pakaian adat madya, busana adat tingkat menengah. Busana warga yang laki-laki terdiri atas kain, dililitkan dengan ujungnya dilepas berbentuk kancut, disertai udeng sebagai ikat kepala mereka. Sementara, warga yang perempuan menggunakan busana baju kebaya, kain yang dililitkan dengan selendang sebagai ikat pinggang. Setiap warga laki-laki yang membawa kayu pulet berukuran kurang lebih dua meter. Mereka kemudian membagi diri menjadi beberapa kelompok, selanjutnya berjalan bersama-sama mengelilingi wilayah Desa Munggu diiringi gamelan balaganjur dan nyanyian-nyanyian kidung oleh warga masyarakat perempuan. Tradisi Makotek bisa dilaksanakan secara kompak, bersama-sama oleh ribuan orang warga pada era global, bahkan secara berkelanjutan merupakan suatu peristiwa yang langka. Sebagai masyarakat rasional dan berkesadaran kritis, semestinya masyarakat Desa Munggu tidak melakukan tindakan yang kurang rasional seperti melindungi diri dari musibah bencana alam, wabah penyakit, dan sebagainya dengan tradisi Makotek, yang kurang rasional. Oleh karena itu, fenomena Makotek menimbulkan banyak pertanyaan dan sangat menarik untuk dikaji. Apa sesungguhnya yang melatari, bagaimana mereka melakukan, apa relevansi, kontribusi, implikasinya bagi mereka, dan sebagainya hingga pada era global masyarakat Desa Munggu yang telah memiliki kehidupan modern tetap melaksanakan tradisi Makotek.
7
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat diduga bahwa masyarakat di Desa Munggu melakukan tradisi Makotek berdasarkan pemikiran dan kesadaran penuh. Bertolak dari dugaan tersebut, maka hal-hal yang mendasari mereka melaksanakan tradisi Makotek pada era global menunjukkan suatu permasalahan. Namun, dengan keterbatasan kemampuan, waktu, dan sebagainya maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Mengapa masyarakat Desa Munggu, Badung pada era global tetap melaksanakan tradisi Makotek? 2. Bagaimana masyarakat Desa Munggu, Badung pada era global melaksanakan tradisi Makotek? 3. Apa implikasi tradisi Makotek bagi masyarakat Desa Munggu, Badung pada era global?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah disusun terkait dengan tradisi Makotek yang hingga pada era global tetap dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu, maka tujuan penelitian ini dapat dibagi dua. Kedua tujuan itu diperinci sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami secara benar tentang sejumlah hal-hal terkait dengan tradisi Makotek. Adapun hal-
8
hal yang dimaksud adalah hal-hal yang melatari, bagaimana mereka melakukan, dan apa relevansi, implikasinya bagi masyarakat Desa Munggu hingga pada era global mereka tetap melaksanakan tradisi Makotek.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui kebenaran tentang hal-hal terkait dengan tradisi Makotek. Adapun hal tersebut adalah (a) Hal-hal yang melatari masyarakat Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek pada era global; (b) Pelaksanaan tradisi Makotek pada era global; (c) Implikasi dari pelaksanaan tradisi Makotek bagi masyarakat di Desa Munggu pada era global.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian tradisi Makotek yang hingga kini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Munggu dapat diperinci sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Akademis Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan terkait dengan proses transmisi budaya yang berimplikasi bagi kelestarian budaya Bali pada era global. Adapun manfaat akademis penelitian ini yaitu 1) Model formatif dari tradisi Makotek yang dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu pada era global; 2) hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai konsep untuk merevitalisasi modal budaya masyarakat yang terpuruk dalam rangka pelestarian budaya pada era global; 3) hasil penelitian ini
9
juga diharapkan bermanfaat sebagai referensi bagi para peneliti yang tertarik mengkaji objek penelitian serupa. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian tradisi Makotek pada era global ini diharapkan bermanfaat sebagai dokumentasi tertulis, referensi bagi masyarakat di Desa Munggu, masyarakat Bali dan pemerintah. Manfaat praktis yang dimaksud yaitu dalam upaya untuk melestarikan maupun mengembangkan tradisi Makotek sebagai salah satu kearifan lokal Bali, berbasis kekuatan kultural kolektif pada era global. Disamping itu, untuk memahami secara benar realitas distorsif tradisi Makotek yang hingga pada era global tetap dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu.