BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perguruan Taman Siswa merupakan laboratorium sekaligus bentuk fisik dari cita – cita Pendidikan Nasional yang dikumandangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, bapak Pendidikan Indonesia. Pandangan pendidikan yang dicita – citakan Dewantara adalah pendidikan sebagai media pengajaran rakyat yang mementingkan nilai kebatinan, sebuah semangat idealisme menuju kecerdasan budi pekerti ke arah kekeluargaan. Sehingga, meskipun belajar di sekolah anak (formal), semestinya anak (peserta didik) tidak dijauhkan dari alam, keluarga, dan masyarakatnya 1. Kesadaran Ki Hajar, mengenai pendidikan nasional, yang akhirnya menjadi tonggak pendidikan Indonesia, ini tidak serta merta datang, pemikiran ini merupakan buah dari kumpulan pengalaman, refleksi dan rajutan dari teks – teks sebelumnya yang telah diakses (dibaca) oleh Ki Hajar. Hal ini membuat penulis, tertarik untuk mencari tahu, barang sedikit, mencoba meneliti tentang teks – teks yang telah di akses oleh Ki Hajar, maupun oleh murid dan kawan seperguruan Taman Siswa-nya. Di perpustakaan yang terdapat dalam kompleks perguruan Taman Siswa, perpustakaan Kirti Griya terdapat beberapa teks, dan hasil rekomendasi dari beberapa peneliti, akhirnya penulis menetapkan pilihan pada teks berjudul : Serat Sotiyarinonce. Serat ini adalah hasil karya Raden Soerjapranata seorang Mantri 1
PM Laksono : Kritik dan Wacana Dalam Kajian dan Penciptaan Seni. Bahan kuliah perdana bagi mahasiswa baru S2 dan S3 Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, 3 September 2013.
1
Landbouw (pribumi yang ditugaskan oleh otoritas Belanda, untuk mengawasi landbouw – tanah pertanian). Serat Sotiyarinonce (selanjutnya disebut SS), ini merupakan teks yang menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa, diterbitkan pada tahun 1911 oleh penerbit H.A Benjamins – di Semarang. Teks ini terdiri dari 100 halaman, dengan luas teks 22 x 13,5 cm. Pertama – tama, perlu untuk mengetahui berbagai definisi dari karya sastra. Sastra, (cutting instrument), knife, dagger, sword, weapon, arrow (rare) : sword of war (Macdonell, 1979 : 310). 1. Sastra : command, precept, introduction, advice, good, rule, theory, scientifie, scripture, learning, compendium (Macdonell,1979 : 310). 2. Sastra I (sansekerta) : sebarang (segala) alat mengajar, sebarang buku atau risalah, (khususnya) sebarang risalah tentang Agama, atau Ilmiah, sebarang buku atau komposisi yang berasal kedewaan : kitab suci, sastra, ilmu pengetahuan (Zoetmulder dan Robson, 1995 : 1052) 3. Sastra II (Sansekerta) : (pisau, pedang, pisau belati, sebarang senjata bahkan diterapkan pada panah) senjata, khususnya panah ( Zoetmulder dan Robson, 1995 : 1052) 4. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama – tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan (Luxemburg , 1989 : 5 – 6 ) 5. Plato.
2
Sastra hanyalah mismesis, tiruan atau gambaran dari kenyataan, jadi kurang dari kenyataan; dengan demikian kurang berarti. Yang harus dicapai orang bukanlah barang – barang seperti lahirnya tampak kepada kita, melainkan ide di belakang barang – barang itu. Filsuf berusaha belajar mengenal ide di belakang kenyataan, tetapi penyair atau seniman pada umumnya tidak lebih dari orang yang hanya menirukan atau menggambarkan kenyataan saja. Sudah tentu tiruan kenyataan itu kurang bernilai dibandingkan dengan kenyataan itu sendiri. Dengan demikian sastra makin jauh lagi dari ide yang hakiki dari setiap barang, yang hendak diketahui orang. Seniman itu, karena sifat dan pekerjaannya terpaksa demi keberhasilannya menonjolkan sifat – sifat rendah manusia. Seninya tidak bertujuan menonjolkan segi rasional jiwanya. Yaitu sifat manusia yang paling luhur, tetapi “he will prefer the paSSionate and fitful temper, which is easily imitated” (seni adalah nafsu dan kemarahan, yang mudah untuk ditiru). Hal di atas menimbulkan keberatannya lagi, bahwa dengan cara yang sudah dipaparkan itu seni meningkatkan nafsu yang seharusnya ditekan, sedang kewajiban manusia yang paling utama adalah menguasai dan menekan nafsu. Plato beranggapan, bahwa sastra tidak perlu dipandang dengan sungguh
- sungguh untuk mencapai kebenaran
(Daiches dalam Sulastin Sutrisno 1983 : 1 - 2) 6. Aristoteles memiliki pendapat yang berbeda dengan Plato.
3
Bagi Aristoteles sastra itu merupakan kegiatan utama manusia untuk menemukan dirinya disamping kegiatan lainya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Karya seni, termasuk karya sastra “is concerned with universal truth”- berhubungan dengan kebenaran universal. Karya sastra adalah “a unified whole” – karya sastra adalah keutuhan/kepenuhan (ClaSSical Literary Criticism, dalam Sulastin Sutrisno 1983 : 3 - 4). Aristoteles mengemukakan teori katarsisnya, bahwa karya seni itu menyucikan, memurnikan, karena menumbuhkan dalam diri manusia rasa kasihan, takut dan sebagainya. Dengan demikian karya seni tidak seperti pandangan Plato mendorong nafsu, tetapi sebaliknya justru menghilangkan nafsu dan memberikan semacam pengobatan. Karya seni, tragedi pada khususnya “give new knowlegde, yields esthetic satisfaction and produces a better state of mind” – memberikan pengetahuan baru, memberikan kepuasan estetika dan menghasilkan keadaan pikiran yang lebih baik (Daiches dalam Sulastin Sutrisno 1983 : 3 - 4). Dari berbagai pengertian sastra di atas, termasuk pula perbedaan pendapat antara Plato dengan Aristoteles, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah alat (pedang, panah) atau sarana, yang digunakan untuk mengajar, mengenai ilmu agama, ilmu pengetahuan alam juga sosial. Begitu juga dengan Serat Sotiyarinonce, dari ke 44 bab yang terdapat di dalamnya, kesemuanya berisikan ajaran. Jadi jelas bahwa SS, termasuk dalam lingkup pengertian karya sastra yang berisikan ajaran yang di dalam kesusastraan Jawa, disebut sebagai Sastra Wulang.
4
Konsep “wulang” di dalam Sastra Wulang, bermakna pesan, ajaran, pedoman, tata negara/pemerintahan, tuntunan dan bimbingan (Adiwimarto dan Suparto di dalam Amir Rochyatmo 2010 : 10). Sastra Wulang, yang berisikan pesan, ajaran, dan pedoman tata sosial dan kenegaraan ini, banyak terdapat di abad 18 – 19, seperti pada masa Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Dengan pengarang, seperti : Yasadipura I dan II, Ranggawarsita, Padmasusastra, Ranggasutrasna, Sunan Paku Buwana II, III, IV dan V, Pangeran Mangkunegara IV, Sri Pakualam II, M. Nalasastra, R. Arya Natanengrat, Sindusastra (Rochyatmo 2010 : 9). Pada jaman Kartasura, ada beberapa karya Sastra Wulang, yakni : Serat Iskandar, Serat Menak Yasadipura, Serat Yusuf. Sementara itu di Kraton Surakarta (pada masa Sunan Paku Buwana II dan III), terdapat karya sastra diantaranya : Serat Nitisruti, Serat Wulang Dalem Sunan Paku Buwana II, dan Serat Wiwaha Jarwa. Pada masa Sunan Pakubuwana IV, hadirlah Serat Wulangreh – Sastra Wulang yang bernuansa religious, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tatakrama, Serat Wulangsunu. Serat Centhini, hadir di masa Sunan Paku Buwana V, pada masa Sunan Paku Buwana VIII, banyak karya sastra yang dibuat oleh pujangga Ranggawarsita : Cemporet, Ajipamasa, Paramayoga, Witaradya, Kalatidha, Jakalodang, Sabdajati. Sedangkan pada masa Pangeran Mangku Nagara IV, banyak menghasilkan karya cipta sastra wulang, seperti : Wedhatama, Tripama, Wirawiyata, Nayakawara, Warayagnya dan sebagainya.
5
Sedang di Kraton Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana II menggubah Serat Suryaraja, dan R.T Jayangrat mengarang Babad Kraton, Sri Paku Alam menulis Sujarah Darma, sebuah versi Serat Menak (Amir Rochyatmo 2010 : 9).
Contoh isi dari serat wulang. 1. Ngelmu iku, kelakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani setya budya pangekese dur angkara. 2. Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gegolonganira, tri loka lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda. (Serat Wedhatama). 1. (ilmu itu terlaksananya dengan dijalani, diamalkan, caranya dengan bersungguh – sungguh itu menguatkan, setia dan berkemauan memberantas nafsu angkara) 2. (nafsu angkara yang berkobar yang senantiasa melilit di badan, golonganya menjelajah hingga tiga dunia, kalau dibiarkan merajalela menjadi halangan) (Amir Rochyatmo, 2010 : 10). Sastra Wulang, juga terdapat dalam Kesastraan Jawa Kuna, yang berisikan masalah filsafat dan agama, antara lain, adalah Sang Hyang Kamahayanikan (Kats, 1910; Wulff, 1935). Wulff menerbitkan pula Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya, Ganapati – tattwa (1958), Tattwajnana, dan Mahajnana (1962). Kitab - kitab lain yang bergenre çasana, misalnya : Dewaçasana, Wratiçasana, Rsiçasana dan Ciwaçasana telah diterbitkan oleh Pigeaud (1924) yang dalam tahun yang sama menerjemahkan Tantu Panggelaran (1926). Adapun Raghu Vira
6
menerbitkan Sarasamuccaya (1962) (Uhlenbeck, 1964 di dalam Tedjowirawan, 2001 : 182) Dalam kesusastraan Jawa Kuna yang berisikan masalah hukum dan tata pemerintahan, antara lain, adalah Kuntara Manawa, Nawanatya, Raja Dharma, Raja Niti, Raja Kapa – Kapa, Adhigama, dan Purwa-adhigama. Kesusastraan Jawa pertengahan, tersirat dalam kidung historis antara lain Kidung Harsawijaya (Berg, 1931), Kidung Ranggalawe (Berg, 1931) Kidung Sorandaka (Van den Berg, 1936), Kidung Sunda (Berg, 1927) Kidung Sundayana (Berg, 1930), dan Kidung Pamacangah (Berg, 1929). Adapun dalam kesastraan Jawa Baru ajaran bagi para pemimpin, tata pemerintahan, dan abdi negara tampak pada Serat Nitisruti, Nitipraja, Sewaka, Panitisastra Kawi Miring, Sasanasunu, Ramajarwa, Wirawiyata, ataupun Wararatna. Ajaran – ajaran yang bernilai tinggi (luhur) dalam kesastraan Jawa Baru yang diserap dari Serat Centhini, Cipto Hening, Dewa Ruci, Jakalodhang, Kalatidha, Jayabaya, Nitisastra, Suluk Sela, Wedhatama, Wulangreh, dan ajaran turun – temurun serta Tri Dharma Pangeran Sambernyawa telah diterbitkan dengan judul Butir – Butir Budaya Jawa, Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik (Hardiyanti – Rukmana, dalam Tedjowirawan 2001: 182 – 183). SS, yang diterbitkan pada tahun 1911, termasuk di dalam karya Sastra Wulang, kurun waktu abad ke 19 – Sebelum Perang Kemerdekaan Indonesia dimulai. Pada waktu itu (tahun 1920) karya sastra sebagian besar diterbitkan oleh Balai Pustaka Weltevreden, namun juga ada karya yang dicetak di luar Balai Pustaka, yaitu yang terbit di bawah tahun 1920, seperti Serat Sotiyarinonce
7
(1911), Trilaksita (1916), Pamoring Dhusun (1917), Tuhuning Katresnan (1919), Basiran – Basirun (1919) dan Gita – Gati (1919). Karya sastra Jawa yang hadir dalam periode Sebelum Perang, memiliki ciri tema dan masalah, yakni seperti berikut. 1. Kekacauan keluarga karena sang suami ingin beristri dua atau beristri lebih dari seorang. Kekacauan keluarga ini tumbul karena poligami yang masih banyak terjadi waktu itu. Karya sastra yang bertema poligami, seperti : Purasani, karangan Jasawidagda. 2. Kekacauan keluarga karena kegemaran minum/menghisap candu. 3. Pertentangan antara generasi tua dan muda dalam memilih jodoh. 4. Tema – tema didaktik (pendidikan) generasi muda.
SS, yang berisikan ajaran hidup (dalam 44) bab, masuk ke dalam lingkup tema – tema sastra Jawa Sebelum Perang, yakni tema didaktik (pendidikan) (Widati Pradopo 2, dkk 1982 : 13 – 17). Agar dapat berfungsi dan berguna, karya sastra harus dibaca, dan dimaknai. Membaca, menikmati, dan memaknai karya sastra berarti membuat dialog dengan karya sastra itu. Dari dialog itu dapat dicermati muatan keindahan, menafsirkan maknanya secara keseluruhan, meliputi genre, tema dan sebagainya (Damono, 1992). Makna sebuah teks karya sastra pada hakekatnya merupakan ciptaan dari pembaca masing – masing, (Luxemburg, 1989). Seperti yang dijelaskan Luxemburg, bahwa makna sebuah teks pada hakikatnya merupakan 2
Sri Widati Pradopo dkk, dalam Perbandingan Teknik Penokohan antara Prosa Jawa dan Prosa Indonesia. 1982.
8
ciptaan dari pembacanya masing – masing, hal ini menandakan begitu pentingnya posisi pembaca di dalam proses penciptaan karya sastra – sebagai pencipta makna dari teks. Untuk itulah, SS ini dibedah dengan menggunakan teori pragmatis yang menitikberatkan analisis kepada peranan pembaca.
1.2 Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang menjadi dasar adanya penilitian ini adalah seperti berikut. 1. Teks SS, ditulis dengan aksara Jawa, sehingga isi teks tersebut menjadi kendala bagi pembaca yang tidak dapat membaca aksara Jawa, teks pertama
tama
harus dirubah
menjadi
aksara
Latin
(Universal).
Bagaimanakah transliterasi SS, dari aksara Jawa ke aksara Latin ? 2. Setelah teks dialih aksarakan ke dalam aksara Latin, teks harus dirubah dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Bagaimanakah alih bahasa SS, dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia ? 3. Setelah beraksara Latin dan berbahasa Indonesia, teks SS, akan dianalisis menggunakan metode/cara pandang pragmatis, bagaimanakah hasil analisis pragmatis terhadap SS ?
9
1.3 Tujuan Penelitian : Tujuan penelitian SS ini adalah seperti berikut. 1. Mengalih aksarakan teks SS, dari aksara Jawa – aksara Latin 3. 2. Mengalih bahasakan teks SS, dari bahasa Jawa – bahasa Indonesia. 3. Klasifikasi teks, dan analisis pragmatis dari teks SS.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi, analisis pragmatis pada SS, hasil karya Raden Soerjapranata seorang Mantri Landbouw (pribumi yang ditugaskan oleh otoritas Belanda, untuk mengawasi landbouw – tanah pertanian), diterbitkan pada tahun 1911 oleh penerbit H.A Benjamins – di Semarang. Teks ini terdiri dari 100 halaman, dengan luas teks 22 x 13,5 cm. Serat ini terdapat di perpustakaan Kirti Griya, Tamansiswa dan di Perpustakaan Universitas Indonesia.
1.5 Tinjauan Pustaka Sejauh pengetahuan penulis teks SS, belum pernah diteliti. Ketika dicari di Google, dengan kata kunci : ‘Serat Sotiyarinonce’, yang ditemukan hanyalah daftar katalog Perpustakaan UI. Begitu juga dengan studi pustaka yang dilakukan di beberapa perpustakaan, penulis tidak menemukan penelitian terhadap SS yang dilakukan sebelumnya. Jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa SS belum pernah diteliti atau dianalisis secara pragmatis. 3
Sifat penelitian ini adalah penelitian sastra, bukan penelitian filologi, jadi alih aksara jawa – latin (transliterasi) hanya diberikan perbaikan yang sederhana, agar teks mudah dibaca.
10
1.6 Landasan Teori Penelitian pada SS, mengacu pada teori berikut ini. 1. Abrams dalam Teeuw (1984:50), memberikan sebuah kerangka yang sederhana namun cukup efektif, dalam memetakan beberapa metode pendekatan karya sastra.
Dalam model diagram ini terdapat 4 jenis pendekatan kritik yang utama terhadap karya sastra, sebagai berikut. a. Pendekatan yang menitikberatkan karya itu sendiri, pendekatan ini disebut Objektif. b. Pendekatan yang menitikberatkan penulis, yang disebut Ekspresif. c. Pendekatan yang menitikberatkan semesta, yang disebut Mimetik. d. Pendekatan yang menitikberatkan pembaca, disebut Pragmatik.
2. Dalam penelitian SS yang menggunakan analisis pragmatik ini, definisi dari analisis pragmatik, menggunakan teori dari Levinson : Semantic should be concerned with meaning out of context, or non-contextdependent meaning, and pragmatics with meaning in context,
11
Levinson (1983: 20), semantik fokus di dalam makna diluar konteks, atau makna yang mengabaikan konteks, dan pragmatis memperhatikan makna dan konteksnya. 3. Ditegaskan kembali di dalam Levinson, in sum the main strenght of this definition of pragmatics is that is restrict the field to parely linguistic matter, Levinson (1983: 11). Levinson mengatakan, bahwa definisi yang kuat dari kritik pragmatis yakni kritik pragmatis terbatasi dari tekanan linguistik. Pragmatis tidak memberikan perhatianya kepada material linguistik dan struktur di dalamnya. 4. Jadi bisa disimpulkan bahwa, kritik pragmatis adalah : sebuah analisis teks yang menitikberatkan pada aspek pembacanya, namun tidak memberikan perhatian kepada material linguistik teks dan struktur di dalamnya. Kritik pragmatik hanya (secara khusus) memperhatikan makna dari teks dengan konteks yang melingkupinya.
1.7 Metodologi Penelitian Langkah awal penelitian ini adalah mencari bahan penelitian, yakni SS. Bahan dapat ditemukan di perpustakaan Kirti Griya, dalam kompleks perguruan Taman Siswa, Yogyakarta. Setelah teks ditemukan, kemudian penulis melakukan proses alih aksara, dari aksara Jawa – Latin. Penyajian selanjutnya adalah alih bahasa. Teks SS, yang tadinya berbahasa Jawa, digubah menjadi berbahasa Indonesia.
12
Setelah teks diubah menjadi aksara Latin dan berbahasa Indonesia, analisis pragmatis bisa segera dimulai. Pertama – tama dengan mengkonstruksi teori, yang dikumpulkan dari berbagai teori pragmatis yang dapat dijangkau oleh penulis. Terdapat beberapa perdebatan pendapat mengenai teori pragmatis, namun semua perdebatan itu justru membuat teori menjadi semakin matang. Konstruksi teori ini yang kemudian digunakan sebagai pisau analisa terhadap teks SS. Proses berikutnya adalah klasifikasi teks menjadi beberapa bagian, yang dipisahkan menurut topik bahasan tiap bab, dan sifat – sifat bahasa. Klasifikasi ini dilakukan dengan tujuan agar memudahkan proses analisis pragmatis dari teks SS. Selanjutnya adalah analisis pragmatis, dengan melihat aspek fungsional bahasa dari SS, dan lingkup konteksnya bagi pembaca. Dengan melihat aspek fungsional bahasa, dapat ditemukan beberapa strategi yang ditempuh pengarang untuk membuat pembaca memahami apa yang dimaksudkannya, dan berpengaruh bagi pengarang dalam konteksnya masing – masing.
1.8
Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari empat bab, yaitu bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II Klasifikasi teks SS. Bab III berisi tentang pengantar pembahasan, dan pembahasan (analisis pragmatis SS). Bab IV berisi tentang kesimpulan dan penutup. Bab Lampiran berisi tentang sajian alih aksara teks SS dan sajian alih bahasa teks SS.
13