BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penuaan dini yang ditandai dengan kondisi kulit kering, bersisik kasar yang disertai dengan munculnya keriput dan noda hitam atau flek, kini telah menjadi hal yang ditakuti manusia pada usia produktif. Faktor penyebab penuaan dini yaitu faktor internal (kesehatan, daya tahan tubuh, stress dan perubahan hormonal) dan faktor eksternal (radikal bebas, sinar matahari dan polutan). Radikal bebas merupakan senyawa yang sangat reaktif sehingga dapat menyerang senyawa apa saja, terutama yang rentan seperti lipid dan protein dan berimplikasi pada timbulnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, arteriosklerosis, kanker, serta gejala penuaan (Tohir dkk., 2003). Senyawa yang dapat menstabilkan radikal bebas adalah antioksidan. Senyawa ini dapat menghambat reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas (Hudson, 1990). Antioksidan yang terdapat dalam tubuh seperti enzim superoksida dismutase dan glutation peroksidase tidak mampu menekan produk oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas setiap saat. Konsumsi nutrisi dari luar yang bersifat antioksidan seperti vitamin C, vitamin E dan jenis karotenoid dapat membantu tubuh melawan kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas tersebut (Wijaya, 1996). Salah satu organ tubuh yang rentan terhadap adanya radikal bebas adalah kulit. Senyawa radikal tersebut dapat merusak serabut kalogen kulit dan matrik dermis sehingga kulit menjadi kering, keriput, bahkan dapat menjadi penuaan dini. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan kulit 1
2
maka usaha pencegahan terhadap kerusakan dan penyakit kulit semakin digalakkan. Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan penggunaan kosmetik yang memiliki aktivitas antioksidan (Suwandi., 2010). Kosmetik yang memiliki aktivitas antioksidan dari bahan sintesis dewasa ini mulai ditinggalkan karena memiliki efek toksik yang relatif tinggi. Antioksidan sintesis seperti BHT (ter-butil hidrosi toluena), BHA (ter-butil hidroksi anisol), dan TBHQ (ter-butil hidrokuinon) mempunyai efek yang tinggi namun tidak diinginkan lagi karena toksik (Rababan dkk., 2004). Berdasarkan hal tersebut, kosmetik bahan alam mulai banyak diminati karena dinilai relatif lebih aman dibanding menggunakan kosmetik bahan sintetis. Salah satu bahan alam yang sudah dikenal terbukti khasiatnya sebagai antioksidan adalah tomat. Beberapa studi menemukan bahwa karatenoid (likopen) pada buah tomat memiliki aktivitas antioksidan yang poten (Levy dkk., 1995),
mencegah kanker prostat, penyakit pada wanita seperti kanker payudara serta menekan terjadinya osteoporosis dan membuat tubuh tetap awet muda. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tsang (2005), sari tomat yang dikentalkan memiliki kandungan likopen yang paling tinggi. Lotion adalah bentuk sediaan farmasetik yang digunakan dalam pengujian ini. Sediaan bentuk lotion sangat mudah digunakan dikulit dibandingkan bentuk sediaan yang lainnya (seperti krim dan gel), nyaman digunakan, mudah dicuci dan mudah diidentifikasi tingkat antioksidannya. Sedian lotion yang mengandung sari tomat memiliki potensi yang besar untuk digunakan sebagai kosmetik yang memiliki aktivitas antioksidan. Pengujian kestabilan sifat fisik dan aktivitas
3
antioksidan perlu dilakukan untuk menjamin kualitas sediaan lotion sari tomat sehingga lotion ini dapat menjadi alternatif sebagai kosmetik antioksidan sehingga dapat digunakan oleh masyarakat. Lotion yang diujikan dibuat dalam beberapa variasi kadar sari tomat dengan tujuan untuk menentukan tingkat antioksidan yang baik pada konsentrasi tertentu. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan suatu permasalahan, yaitu : a. Bagaimana aktivitas antioksidan dari sari tomat (Solanum lycopersicum L.) dalam sedian lotion dengan variasi kadar sari tomat ? b. Bagaimana sifat fisik sediaan lotion dengan variasi kadar sari tomat (Solanum lycopersicum L.) ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan aktifitas antioksidan dalam sedian lotion yang mengandung sari tomat (Solanum lycopersicum L.) dengan konsentrasi yang berbeda. D. Tinjauan Pustaka 1. Sampel ( Solanum lycopersicum L. )
Gambar 1. Tanaman Tomat (Anonim , 2013)
4
a. Klasifikasi (Johnny dkk., 2001) Dunia
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Suku
: Solanales
Bangsa
: Solanaceae
Marga
: Solanum
Jenis
: Solanum lycopersicum L.
Sinonim
: Lycopersicum esculantum Minn.
b. Nama Umum dan Daerah Nama umum atau nama dagang Solanum lycopersicum L. adalah tomat yang digolongkan sebagai buah-buahan maupun sayur-sayuran. Tomat memiliki nama yang beragam, yaitu : Sumatra (terong kaluwat, reteng, cung asem,), Jawa (kemir, leunca komir, ranti bali, ranti gendel, ranti kenong, rante, rante raja, terong sabrang, dan tomat jawa), Sulawesi (kamantes, samate, samatet, smante, tamantes, komantes, antes, tomato, tomato dan tomate), Perancis (pomme d’amour, tomate), inggris (love apple, tomato), sedangkan nama simplisianya adalah Lycopersici esculanti fructus (buah tomat). c. Morfologi Tanaman ini merupakan tanaman yang tidak tahan hujan dan sinar matahari terik. Tanaman tomat merupakan tanaman yang tumbuh tegak dan bersandar pada tanaman lain, tingginya 0,5-2,5 m, bercabang banyak, berambut dan berbau kuat.
5
Bentuk batang bulat, menebal pada buku-bukunya berambut kasar warnanya hijau keputihan. Tipe daunnya menyirip, letak berseling, bentuknya bundar telur memanjang, ujung runcing, pangkal membulat, panjang 10-40 cm, warnanya hijau muda. Bunganya majemuk, bertangkai, mahkota berbentuk bintang, warnanya kuning (Nurul dan Rahmansah, 2012). Buahnya merupakan buah buni, berdaging, kulitnya tipis licin mengkilap, beragam dan bentuk ukurannya, warnanya kuning atau merah. Bijinya banyak, pipih dan warnanya kuning kecoklatan. Tomat yang ada di pasaran pada umumnya berbentuk bulat, besar, berdaging tebal, berbiji sedikit dan berwarna merah yang dikenal dengan buah tomat sedangkan ukuran yang lebih kecil dikenal sebagai tomat sayur dan yang berukuran lebih kecil disebut tomat ceri (Nurul dan Rahmansah, 2012). d. Ekologi dan Penyebarannya Tanaman ini berasal dari Amerika tropis, yaitu dari Meksiko (Amerika) yang ditanam pada ketinggian 1-1600 m dpl. Penyebaran di Eropa dan Asia dibawa oleh para pedagang. Penyebaran di Indonesia dibawa oleh orang Belanda dan saat ini di Malang (Jawa Timur) dikenal sebagai pusat penghasil tomat. e. Kandungan Kimia Likopen merupakan karotenoid yang terdapat dalam jumlah yang besar dalam tomat, berperan sebagai pigmen warna pada buah dan merupakan antioksidan yang kuat (Kurniawati, 2010). Selain itu terdapat juga kandungan asam lainnya, antara lain asam klorogenat, asam p-kumarat, asam malat dan asam
6
sitrat. Daunnya mengandung pektin, arbutin, amigdalin dan alkaloid (Dalimarta, 2003). Tabel I. Kandungan Buah Tomat Bahan Pasta Tomat Saus spaghetti Sambal Saus tomat Jus tomat Sup tomat Saus seafood Semangka Pink grapefruit Tomat mentah
Kandungan Likopen (mg/100g) 42,2 21,9 19,5 15,9 12,8 7,2 17,0 4,0 4,0 8,8
Sumber : Tsang (2005) ; Arab dan Steck (2000) f. Kegunaan Bagian yang biasanya digunakan adalah bagian buah. Buah tomat rasanya manis, asam, sedikit dingin dan penggunaannya sudah sangat luas. Buah tomat berkhasiat menghilangkan haus, sebagai antiseptik usus, pencahar ringan (laksatif) dan menambah nafsu makan. Dari hasil penelitian mengkonsumsi tomat dapat mencegah berbagai penyakit, diantaranya kanker prostat pada laki-laki, penyakit jantung (strok), menurunkan kolesterol didalam serum
darah dan hati, serta
adanya zat tomatin yang bersifat antiinflamasi dapat mengobati jerawat, luka, wasir, usur buntu, menghambat pertumbuhan jamur, hingga radang pernafasan (bronchitis). Daunnya berkhasiat sebagai penyejuk (Delimarta, 2003). g. Efek Farmakologi Pada binatang percobaan tomatine berkhasiat sebagai antiradang dan dapat menurunkan permeabilitas pembuluh darah. Penelitian di Amerika, bagi laki-laki yang mengkonsumsi sedikitnya 10 porsi buah tomat selama seminggu yang
7
dimasak akan menurunkan resiko terkena kanker prostat hingga 45%. Hal ini dikarenakan adanya senyawa likopen yang dapat mencegah timbulnya tumor dan mengurangi resiko terkena penyakit jantung (Delimarta, 2003) 2. Kulit Kulit merupakan organ yang berfungsi pelindung dari organisme asing atau lingkungan. Kulit berfungsi untuk mencegah dehidrasi, menghambat penetrasi senyawa-senyawa asing dan mikroorganisme, perlindungan melawan “mechanical shock”, membantu mempertahankan suhu tubuh yang konstan dan sebagai media terjadinya rangsangan (Wasitaatmadja, 1997). Untuk memperoleh fungsi-fungsi tersebut, kulit harus dipertahankan dalam kondisi yang baik. Kulit terbagi dalam 3 lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis dan jaringan subtaneous atau subkutan. Turunan epidermis meliputi rambut, kuku, kelenjar sebaseous dan kelenjar keringat. Di bawah dermis terdapat hipodermis atau jaringan subkutan. a. Lapisan Epidermis Lapisan dermis terdiri dari epitel lapis gepeng yang merupakan lapisan terluar dari kulit. Ketebalan lapisan tergantung lokasinya, tebalnya berkisar antara 0,05-1,5 mm. Lapisan epidermis terutama terdiri dari keratinosit yang merupakan fungsi dasar untuk menghasilkan filamen protein, keratin yang berguna sebagai karier pelindung yang dikombinasikan dengan beberapa komponen lemak. Sel-sel ini juga menghasilkan beberapa protein lain, misalnya sitokin yang berperan dalam respon inflamasi (Eroschenko, 2008).
8
1. Stratum basale (stratum granulosum) Pada stratum basale terdapat banyak aktivitas mitosis dan bertanggung jawab bersama-sama dengan bagian awal lapisan berikutnya terhadap pembaruan atau deferensiasi sel-sel epidermis secara berkesinambungan. Dengan kata lain pada bagian stratum basale ini berfungsi sebagai tempat proliferasi. Epidermis manusia mengalami pergantian sekitar 42 hari dan waktu tersebut tergantung pada faktor usia, bagian tubuh dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhinya. Semua sel basale mengandung filamen (Junquera dan Kelly, 1997). 2. Stratum spinosum Sel-sel pada spinosum terikat dengan kuat. Filamen dan desmosom terisi melalui duri sitoplasma, sehingga memberikan permukaan sel ini corak berduri. Berkas tenofilamen ini yang tampak dengan mikroskop cahaya disebut tenofibril. Filamen ini berperan penting dalam mempertahankan kohesi antara sel dan dalam melawan akibat abrasi. Pada daerah bagian tubuh yang biasanya mengalami gesekan dan tekanan secara terus-menerus stratum spinosum lebih tebal dengan jumlah tonofilamen dan desmosom yang juga lebih banyak (Eroschenko, 2008). 3. Stratum granulosum Memiliki struktur yang khas dan dapat dilihat dengan mikroskom elektron yang merupakan granula berlamel, yaitu sebuah struktur yang lonjong atau mirip dengan batang kecil (0,2-0,3 μm) yang mengandung cakram-cakram yang berlamel yang dibentuk oleh lapisan ganda lipid. Granul-granul ini menyatu dengan membran sel dan mencurahkan isinya kedalam ruang intersel dari stratum granulosum. Fungsi materi yang dikeluarkan ini serupa dengan substansi semen
9
intersel yang bekerja sebagai sawar terhadap masuknya materi asing dan menyediakan suatu efek pengunci yang penting dari kulit (Junquera dan Kelly, 1997). 4. Stratum lusidum Pada bagian ini tampak jelas pada kulit tebal, bersifat translusen dan terdiri atas selapis tipis sel eusinofilik yang sangat gepeng. Organel dan inti tidak tampak lagi dan sitoplasma terdiri dari filamen padat yang berhimpun dalam matriks kedap elektron. Dosmosom masih tampak jelas diantara sel-sel bersebelahan (Eroschenko, 2008). 5. Stratum korneum Lapisan ini terdiri atas 15-20 lapis sel berkeratin tanpa inti gepeng yang sitoplasmanya dipenuhi keratin. Pada keratin ini mengandung sekurangkurangnya 6 peptida yang berbeda dengan berat molekul antara 40.000-70.000. Setelah dikeratinasi, sel-sel hanya terdiri atas protein amorf, fibril dan membran flasma yang menebal, sel-sel itu disebut sel tanduk. Enzim hidrolitik lisosom berperan dalam menghilangnya organel sitoplasma. Sel-sel tanduk terus dilepaskan pada permukaan stratum korneum (Junquera dan Kelly, 1997). b. Lapisan Dermis Lapisan dermis terdiri atas jaringan ikat yang menunjang epidermis dan mengikatnya pada lapisan di bawahnya, yaitu jaringan subkutan (hipodermis). Ketebalannya bervariasi tergantung pada ketebalan bagian tubuh. Permukaan dermis tidak teratur dan memiliki banyak tonjolan (papilla dermis) yang saling mengunci dengan juluran-juluran epidermis. Papilla dermis ini berfungsi untuk
10
menahan tekanan, struktur tersebut diyakini dapat meningkatkan dan menguatkan batas antara dermis dan apidermis. Dermis terdiri dari 2 lapisan dengan batas yang tidak nyata yaitu stratum papilar disebelah luar dan stratum ratikular yang lebih dalam. Stratum papilar tipis terdiri dari jaringan longgar, fibroblast, dan sel jaringan ikat lainnya. Pada pembuluh terdapat leukosit yang keluar, sedangkan stratum ratikular lebih tebal dan terdiri atas jaringan ikat tidak teratur. Dermis mengandug jaringan serat elastin dan serat yang lebih tebal yang secara khusus ditemukan dalam stratum retikulum (Eroschenko, 2008). c. Lapisan Subkutan Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara longgar pada organ-organ di bawahnya, yang memungkinkan kulit bergeser di atasnya. Hipodermis biasanya mengandung sel-sel lemak yang bervariasi jumlahnya sesuai daerah tubuh dan ukurannya sesuai dengan status gizi yang bersangkutan. Lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan getah bening (Wasitaatmadja, 1997) sehingga disebut juga fasi superficial, sedangkan lapisan yang tidak tebal disebut penikulus adiposus. Struktur kulit ditunjukkan pada Gambar 2.
11
Gambar 2. Struktur Kulit (Anonim, 2013)
Kulit mempunyai fungsi utama sebagai berikut (Barry, 1983) : a. Mempertahankan cairan tubuh dan jaringan yang ada di bawahnya. b. Melindungi tubuh dari stimulus eksternal yang membahayakan seperti mikroorganisme, paparan kimia, radiasi, panas, barrier elektrik, ataupun guncangan mekanis. c. Menerima rangsangan eksternal seperti tekanan, panas, dan rasa sakit. d. Meregulasi temperatur tubuh, meregulasi tekanan darah. e. Mensintesis dan memetabolisme beberapa senyawa, mengeluarkan sisa metabolism dan mengindentifikasi individu satu dengan yang lainnya, menarik lawan jenis. 3. Antioksidan a. Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital
12
terluarnya (Pangkahila, 2007). Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan electron (Rohman, 2006). Reaksi ini berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak berhenti akan menimbulkan penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta penyakit degeneratif lainnya (Kikuzaki dkk., 2002; Sibuea, 2003; Halliwell dan Gutteridge, 2000 cit. Andayani dkk., 2008). Kerusakan oksidatif atau kerusakan akibat radikal bebas dalam tubuh pada dasarnya dapat diatasi oleh antioksidan endogen. Namun jika senyawa radikal bebas terdapat berlebih dalam tubuh atau melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dibutuhkan antioksidan tambahan dari luar atau antioksidan eksogen untuk menetralkan radikal yang terbentuk (Andayani dkk., 2008). 2,2-Difenyl-1-Pikrylhydrazyl (DPPH) adalah suatu radikal stabil yang mengandung nitrogen organik, berwarna ungu gelap dengan absorbansi yang kuat pada λ maks 517 nm (Perkorny dkk., 2001). Elektron atau radikal hidrogen akan diterima oleh senyawa ini dan membentuk molekul diamagnet yang stabil. Karakter radikal bebas dari DPPH akan dinetralkan oleh interaksi antioksidan dengan DPPH yang baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH. Setelah bereaksi dengan antioksidan warna larutan akan berkurang dari ungu gelap dan berubah menjadi kuning terang (Suratmo, 2009). Perubahan warna ini dapat diukur secara spektrofotometri Struktur dari DPPH dapat dilihat pada Gambar 3.
13
Gambar 3. Struktur DPPH 2,2-difenyl-1-pikrylhydrazyl (Suratmo, 2009).
b. Antioksidan Suatu antioksidan mampu mendonasikan satu atau lebih elektron kepada senyawa peroksidan dan mengubahnya menjadi senyawa yang lebih stabil (Rohman, 2006). Laju oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan bila bereaksi dengan radikal bebas (Hudson, 1990). Senyawa antioksidan merupakan inhibitor penghambat oksidasi. Cara kerja senyawa antioksidan adalah bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tidak reaktif yang relatif stabil. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan cara melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas. Tubuh manusia secara alami telah dilengkapi pertahanan antioksidan dengan enzim-enzim seperti (superoksida dismutase (SOD) dan glutation S-transferase), molekul besar (albumin, seruloplasmin, ferritin, dan protein lain) dan beberapa hormon (estrogen, angiotensin, melatonin) (Prior dkk., 2005). Pada umumnya sistem pertahanan tubuh secara internal terhadap radikal bebas tersebut dibagi dalam 3 golongan menurut mekanisme dalam menginativasi radikal bebas, antara lain :
14
a) Antioksidan primer, yaitu antioksidan yang dapat menghalangi pembentukan radikal bebas baru. Contoh golongan ini adalah superoksida dismutase (SOD) dan katalase. b) Antioksidan sekunder atau penangkap radikal (radical scavenger), yaitu antioksidan yang dapat menekan terjadinya reaksi rantai, pada awal pembentukan rantai maupun pada fase propagasi. c) Antioksidan tersier, yaitu antioksidan yang memperbaiki kerusakan kerusakan yang telah terjadi (Nikki dkk., 1995). Namun demikian, antioksidan tersebut belum dapat sepenuhnya mencegah kerusakan sel. Tubuh masih memerlukan antioksidan dari luar seperti asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E dan β-karoten serta senyawa fenolik (Prakash, 2001; Frei, 1994). 4. Spektrofotometri Berdasarkan teori spektrofotometri, pada saat cahaya jatuh pada suatu senyawa, maka sebagian dari senyawa tersebut akan diserap oleh molekulmolekul yang sesuai struktur dari molekul. Bila energi senyawa sama dengan perbedaan energi antara keadaan tingkat dasar dan energi keadaan tereksitasi, maka elektron-elektron pada keadaan dasar akan dieksitasi ketingkat energi eksitasi dan sebagian energi cahaya yang sesuai dengan panjang gelombang ini diserap. Frekuensi yang diserap setiap senyawa sangat spesifik karena perbedaan energi antara tingkat dasar dan tingkat tereksitasi setiap senyawa juga spesifik (Sastrohamidjojo, 1991). Pada bagian besar molekul, orbital yang memiliki energi paling rendah adalah orbital (σ). Orbital π berada pada tingkat energi yang lebih tinggi dan
15
orbital n (non-bonding) berada pada tingkat energi yang lebih tinggi lagi. Tingkat energi yang paling tinggi dimiliki oleh orbital anti-bonding (π* dan σ*) (Pavia dkk., 1979). Spektrofotometri ultraviolet (UV) – sinar tampak adalah anggota teknis analisis spektroskopi yang terdapat sumber radiasi elektromagnetik ultra violet dekat (190 – 380 nm) dan sinar tampak (380 – 780 nm) dengan instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995). Radiasi UV maupun radiasi cahaya dan mempengaruhi energi yang lebih tinggi dari pada radiasi infra merah. Serapan cahaya ultraviolet atau cahaya tampak berakibat terjadinya transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Transisi elektron ini terjadi pada energi 40-300 kkal/mol. Energi yang terserap selanjutnya terbuang sebagai kalor, sebagai cahaya, atau tersalurkan dalam reaksi kimia (misalnya isomerisasi atau reaksi-reaksi radikal bebas) (Fessenden dan Fessenden, 1986). Analisis dengan spektrofotometri UV-Vis dilakukan dengan adanya pembacaan serapan radiasi elektromagnetik yang diteruskan. Keduanya dikenal sebagai serapan (A) tanpa satuan dan transmitan dengan satuan persen (% T). Pada teori Lambert dan Beer dikembangkan secara matematik hubungan antara transmitan atau serapan terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zat yang dianalisis sebagai berikut. ………………………………………………..……….(1) ……………………………………………….………(2)
16
Keterangan :
T A Io It ε c b
= Persen transmitan = Absorbansi = Intensitas radisai yang datang = Intensitas radiasi yang diteruskan = Absorbansi molar (Lt.mol-1.cm-1) = Konsentrasi (mol.Lt-1) = Larutan (cm) (Muljana dan Suharman, 1995)
Serapan suatu senyawa pada panjang gelombang tertentu bertambah dengan banyaknya transisi molekul, sehingga serapan bergantung pada struktur elektronik senyawanya dan juga pada kepekatan contoh dan panjangnya sel (Fessenden dan Fessenden, 1986). 5. Lotion Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, definisi lotion adalah sediaan cair berupa suspensi atau dispersi yang digunakan sebagai obat luar dapat berbentuk suspensi zat padat dalam serbuk halus dengan ditambah bahan pensuspensi yang cocok, emulsi tipe o/w dengan surfaktan yang cocok. Pelembab tubuh (moisturizer) umumnya dibuat dengan karakteristik tersendiri sehingga memiliki kombinasi air, tipe minyak, dan emolien (pengencer) yang berbeda satu sama lainnya. Secara garis besar, ada tiga jenis pelembab tubuh : a. Body Lotion. Body Lotion mempunyai konsistensi paling encer dibandingkan dengan pelembab lainnya. Lotion yang baik adalah tidak terlalu greasy (berminyak) saat digunakan dan dapat menyerap dengan cepat saat dioleskan di kulit. Lotion merupakan pilihan paling tepat jika membutuhkan pelembab yang ringan atau bila
17
digunakan untuk seluruh tubuh. Karena bentuknya ringan dan tidak meninggalkan residu, lotion bisa digunakan di pagi hari tanpa perlu khawatir bisa menempel di pakaian dan juga digunakan jika tinggal di iklim yang lembab atau ketika cuaca mulai panas. b. Body Cream. Body Cream bentuknya lebih pekat dibanding lotion dan mengandung lebih banyak minyak pelembab. Krim tubuh (body cream) ini paling baik digunakan di kulit yang kering, seperti lengan dan kaki, yang tak memiliki banyak kelenjar minyak. c. Body Butter. Body Butter memiliki proporsi minyak paling tinggi, sehingga sangat kental dan mirip margarin atau mentega. Biasanya body butter memiliki kandungan shea butter, cocoa butter, dan coconut butter. Bentuk pelembab seperti ini bisa jadi sangat berminyak dan sulit dioleskan, maka akan sangat baik jika dioleskan di daerah yang amat kering dan cenderung pecah misalnya sikut, lutut, dan tumit (Voigt, 1984). d. Emulsi 1. Definisi emulsi Emulsi adalah suatu dispersi dimana fase terdispers terdiri dari bulatanbulatan kecil zat cair yang terdistribusi ke seluruh pembawa yang tidak bercampur (Ansel, 1989). Emulsi terdiri dari dua fase yang tidak dapat bercampur satu dengan yang lainnya, dimana yang satu hidrofil sedangkan yang lain menunjukkan karakter lipofil. Fase hidrofil umumnya adalah air atau suatu cairan
18
yang bercampur dengan air, sedangkan sebagai fase lipofil umumnya berupa suatu minyak mineral atau minyak tumbuhan atau lemak (minyak lemak, parafin, vaselin, lemak coklat atau malam bulu domba) atau juga bahan pelarut lipofil, seperti kloroform, benzena, dan sebagainya (Voigt, 1984). Terdapat dua tipe emulsi : a) Emulsi o/w yaitu emulsi yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air. Karena fase luar dari suatu emulsi bersifat kontinyu, suatu emulsi minyak dalam air bisa diencerkan atau ditambah dengan air atau suatu preparat dalam air. b) Emulsi w/o yaitu emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak. Penggunaan emulsi untuk pemakaian dalam meliputi per oral atau pada injeksi intravena, sedangkan untuk penggunaan luar meliputi lotion, krim, dan salap (Voigt, 1984) 2.
Teori emulsifikasi
Terdapat beberapa teori untuk menjelaskan bagaimana zat pengemulsi bekerja dalam meningkatkan emulsifikasi dan dalam menjaga stabilitas dari emulsi yang dihasilkan. Menurut Ansel (1989), terdapat 3 teori mengenai emulsifikasi, yaitu: teori tegangan permukaan, oriented wedge theory, dan teori plastik atau teori lapisan muka. a. Teori tegangan-permukaan Bila cairan kontak dengan cairan kedua yang tidak larut dan tidak saling bercampur, kekuatan (tenaga) yang menyebabkan masing-masing cairan menahan pecahnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil disebut tegangan antarmuka.
19
Zat-zat yang dapat meningkatkan penurunan tahanan untuk pecah dapat merangsang suatu cairan untuk menjadi tetesan atau partikel-partikel yang lebih kecil yang dikenal sebagai zat aktif permukaan (surfaktan) atau zat pembasah. Penggunaan zat-zat ini sebagai zat pengemulsi dan zat penstabil menghasilkan penurunan tegangan antarmuka dari kedua cairan yang tidak saling bercampur, mengurangi gaya tolak-menolak antara cairan-cairan tersebut dan mengurangi gaya tarik-menarik antarmolekul dari masing-masing cairan. b.
Oriented-wedge theory
Oriented-wedge theory menganggap lapisan monomolekuler dari zat pengemulsi melingkari suatu tetesan dari fase dalam pada emulsi. Suatu sistem yang mengandung dua cairan yang tidak bercampur, zat pengemulsi akan memilih larut dalam salah satu fase dan terikat dengan kuat dan terbenam dalam di fase tersebut dibandingkan dengan fase lainnya karena umumnya molekul-molekul zat menurut teori ini mempunyai suatu bagian hidrofilik dan suatu bagian hidrofobik, molekul-molekul tersebut akan mengarahkan dirinya ke masing-masing fase. Hal ini tergantung pada bentuk dan ukuran dari molekul-molekul tersebut, karakteristik kelarutannya, dan arah susunan bentuk baji sehingga akan menyebabkan perlingkaran dari bulatan-bulatan minyak atau bulatan air. c. Teori plastik atau teori lapisan antarmuka Teori lapisan antarmuka menempatkan zat pengemulsi pada antarmuka antara minyak dan air, mengelilingi tetesan fase dalam sebagai suatu lapisan tipis atau film yang diadsorbsi pada permukaan dari tetesan tersebut. Lapisan tersebut mencegah kontak dan bersatunya fase terdispersi; makin kuat dan makin lunak
20
lapisan tersebut, akan makin besar dan makin stabil emulsinya. Pembentukan emulsi minyak dalam air atau air dalam minyak tergantung pada derajat kelarutan dari zat pengemulsi dalam kedua fase tersebut, zat yang dapat larut dalam air akan merangsang terbentuknya emulsi minyak dalam air dan zat pengemulsi yang larut dalam minyak sebaliknya. 3. Emulgator Menurut Ansel (1989), zat pengemulsi harus mempunyai kualitas tertentu agar berguna dalam preparat farmasi, yaitu : a. Kemampuan untuk membentuk emulsi dan menjaga stabilitas emulsi b. Dapat bercampur dengan bahan formulatif lainnya c. Tidak boleh mengganggu stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik d. Stabil dan tidak boleh terurai dalam preparat e. Tidak toksis, berbau, rasa, dan warna lemah. 4. Stabilitas emulsi Stabilitas sebuah emulsi adalah sifatnya yang mampu mempertahankan distribusi halus dan teratur fase terdispersi dalam ruang, waktu yang relatif panjang pada pengemulsian yang diakibatkan oleh gaya mekanis. Hancurnya sebuah emulsi dihantarkan melalui penurunan stabilitasnya dan merupakan suatu peristiwa bertahap banyak (Voigt, 1984). Hal yang paling penting dalam emulsi adalah stabilitas produk akhir. Bentuk-bentuk ketidakstabilan fisik emulsi, yaitu : a. Flokulasi Flokulasi merupakan proses penggabungan tetesan-tetesan fase dispers yang masih dipisahkan oleh lapisan tipis fase kontinyu. Penggabungan terjadi karena
21
adanya interaksi antara gaya tarik dan gaya tolak antar tetesan dan dapat terdispersikan kembali dengan penggojogan ringan. Terjadinya flokulasi akan mempercepat proses koalesensi (Eccleston, 2002). b. Creaming atau sedimentasi Creaming atau sedimentasi terjadi ketika tetesan-tetesan fase dispers atau flokul memisah karena pengaruh gravitasi membentuk dua lapisan. Lapisan yang satu mengandung tetesan-tetesan fase dispers lebih banyak daripada lapisan yang lain dibanding emulsi mula-mula. Creaming diartikan sebagai pergerakan ke atas fase dispers terhadap medium dispersnya, sedangkan sedimentasi merupakan pergerakan ke bawah fase dispers terhadap medium dispersnya. Pergerakan ini tergantung pada kerapatan fase dispers dan medium dispers. Creaming biasanya terjadi pada emulsi o/w, sedangkan pada emulsi w/o terjadi sedimentasi karena fase dispers berair, kerapatannya lebih besar daripada medium dispers berminyak (Eccleston, 2002). Creaming dan sedimentasi belum menyebabkan pecahnya emulsi karena fase dispers masih dalam bentuk tetesan-tetesan tunggal. Tetesan ini dapat didispersikan kembali dengan penggojogan perlahan (Swarbrick dkk., 2000). c. Koalesensi Koalesensi merupakan penggabungan yang sempurna dari tetesan-tetesan fase dispers membentuk tetesan yang lebih besar. Proses koalesensi biasanya didahului oleh flokulasi fase dispers dan terjadi kerusakan pada lapisan yang mengelilingi tetesan fase dispers sehingga terbentuk tetesan yang lebih besar. Koalesensi bersifat irreversible (Eccleston, 2002).
22
d. Ostwald ripening Ostwald ripening terjadi pada emulsi polidispers dan tetesan fase dispers memiliki sedikit kelarutan dalam fase kontinyu. Semakin besar distribusi ukuran partikel, semakin besar pula kemungkinan terjadinya Ostwald ripening. Secara termodinamika, tetesan berukuran kecil bersifat tidak stabil. Tetesan tersebut mengalami degradasi dan berdifusi ke dalam fase kontinyu kemudian diabsorpsi oleh tetesan yang berukuran lebih besar. Tetesan yang lebih besar akan semakin besar dan tetesan yang berukuran kecil akan semakin kecil atau hilang (Eccleston, 2002). e. Cracking (breaking) Suatu emulsi rusak ketika terjadi penggabungan tetesan-tetesan fase dispers dan pemisahan fase tersebut menjadi suatu lapisan. Pemisahan fase dispers dari emulsi disebut cracking (breaking). Peristiwa ini bersifat irreversible karena lapisan pelindung di sekitar tetesan fase dispers tidak ada lagi. Biasanya diperlukan emulgator tambahan dan pemprosesan dengan alat yang sesuai untuk memproduksi emulsi kembali (Ansel, 1989). f. Inversi Inversi adalah berubahnya tipe emulsi dari o/w ke w/o atau sebaliknya. Inversi kadang terjadi karena penambahan elektrolit atau terjadi perubahan rasio volume fase. Inversi dapat terjadi ketika suatu emulsi yang disiapkan dengan pemanasan dan pencampuran dua fase kemudian didinginkan. Hal ini memungkinkan karena perubahan kelarutan dari emulgator yang tergantung pada temperatur (Swarbrick dkk., 2000).
23
6. Formula dan Penjelasan Bahan : Formula :
Setil alkohol
1,0 g
Liquid lanolin
1,0 mL
Asam stearat
3,0 g
MS / 200 / 10 Silicon
0,25 g
Gliserin
2,0 mL
Trietanolamin
0,75 g
Parfum
3 tetes
Pengawet
1 tetes
Akuades
ad
100 mL (Youg, 1974)
Formula :
Setil alkohol
1,0 g
Liquid lanolin
1,0 mL
Asam stearat
3,0 g
Gliserin
2,0 mL
Trietanolamin
0,75 g
Metil paraben
0,2 g
Propil paraben
0,1 g
Akuades
ad
100 mL
24
a. Asam Stearat Nama lain asam stearat adalah asam setilasetat, crodacid, E570, pristerene, asam stereofanat, tegostearic. Nama kimia asam stearat adalah asam oktadekanat. Asam stearat memiliki rumus empiris C18H36O2 dan bobot molekul 284,47. Fungsi asam strearat sebagai pengemulsi, bahan pelarut, dan lubrikan pada tablet dan kapsul. Senyawa ini digunakan secara luas dalam sediaan farmasi oral dan topikal. Selain itu juga digunakan sebagai bahan pengemulsi dan pelarut dalam sediaaan topikal. Penggunaan asam stearat antara 1-20% pada salep dan krim (Allen, 2005) Asam sterat memiliki konsentrasi keras, berwarna putih atau sedikit kuning, agak mengkilap berupa kristal padat atau serbuk putih atau kekuningan, sedikit berbau dan berasa seperti lemak. Titik leburnya ≥ 540C. Kelarutan asam stearat, larut bebas dalam : benzena, kloroform, karbon tertaklorida, dan eter, larut dalam : etanol (95%), heksan, propilen glikol, praktis tidak larut dalam air. Asam stearat merupakan materi stabil yang dapat disimpan dalam wadah tertutup baik pada tempat kering dan tertutup (Allen, 2005). b. Gliserin Nama kimia gliserin adalah propana-1,2,3-triol. Gliserin memiliki rumus molekul C3H8O3 dan bobot molekul 92,09. Gliserin berfungsi sebagai bahan pengawet, anti mikroba, emolien, humektan, pelarut, pemanis dan plasticizer. Gliserin digunakan secara luas dalam sedian farmasi oral, topikal dan parenteral. Gliserin digunakan sebagai humektan dan emolien dalam formulasi sedian topikal dan kosmetik. Gliserin digunakan sebagai pelarut pada sediaan parenteral (Price, 2005).
25
Gliserin jernih, tidak berwarna, tidak berbau, kental, cairan higroskopis, memiliki rasa manis. Gliserin murni cenderung tidak teroksidasi oleh udara pada kondisi penyimpanan biasa, tetapi gliserin terdekomposisi oleh pemanasan. Pencampuran gliserin dengan air, etanol (95%), dan propilen glikol dapat menyebabkan kestabilan kimia karena bersifat sebagai surfaktan yang bisa menyatukan antara minyak dan air. Senyawa ini sebaiknya disimpan dalam wadah kedap udara pada tempat dingin dan kering (Price, 2005). c. Lanolin Nama kimia lanolin adalah anhidrous lanolin. Sinonim dari lanolin adalah cera lanae, E913, lanolina, lanolin anhydrous, protalan anhydrousm. Lanolin digunakan secara luas dalam sediaan topikal dan kosmetik. Lanolin berfungsi sebagai pengemulsi / emulsifying dan basis. Lanolin dapat digunakan sebagai pembawa hidrofobik dalam formulasi sedian krim dan salep air dalam minyak (Wienfield, 2005). Lanolin berwarna kuning pucat, manis, substansi seperti lemak dengan bau yang khas. Lanolin yang meleleh berupa cairan jernih atau cairan kuning. Lanolin larut bebas dalam benzena, kloroform, eter dan petroleum ; sedikit larut dalam etanol (95%), lebih larut dalam etanol mendidih (95%) ; praktis tidak larut dalam air. Senyawa ini sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup, terlindungi dari cahaya yang dingin dan kering (Wienfield, 2005). d. Setil alkohol Nama kimia setil alkohol adalah heksadeksan-1-ol. Setil alkohol mempunyai rumus empiris C16H34O dan bobot molekul 242,22. Nama sinonim
26
setil alkohol antara lain ; Crodocol C95; ethal; ethol; heksadekanol; n-heksadesil alkohol; palmitil alkohol. Senyawa ini digunakan secara luas dalam kosmetik dan sedian farmasi. Digunakan sebagai emolien, penyerap air dan bahan pengemulsi dalam lotion, krim dan salep. Selain itu dapat meningkatkan stabilitas, tekstur, dan konsistensi. Setil alkohol sebagai emolien memiliki kecenderungan untuk terabsorbsi dan mempertahankan keberadaannya pada epidermis, sehingga memberikan efek yang melicinkan dan melembutkan kulit. Setil alkohol sebagai emolien dan bahan pengemulsi digunakan pada konsentrasi 2-5%, sebagai bahan pengental digunakan pada konsentrasi 2-10%, dan sebagai pengabsorbsi air digunakan pada konsentrasi 5% (Unvala, 2005) Konsentrasi setil alkohol seperti lilin; berupa serpihan putih, granul, kubus, atau potongan-potongan. Senyawa ini sedikit berbau dan berasa lemak dan memiliki kelarutan yang baik dalam etanol 95% dan eter, kelarutan semakin meningkat seiring dengan kenaikan suhu, serta praktis tidak larut dalam air. Setil alkohol larut ketika dilelehkan bersama dengan lemak, parafin padat, parafin cair dan isoprofil miristat. Titik leburnya antara 45-520C dan stabil dalam asam, basa, cahaya dan udara. Penyimpanannya dapat ditempatkan dalam wadah tertutup baik pada tempat dingin dan kering (Unvala, 2005). e. Trietanolamin Nama kimia trietanolamin adalah 2,2’,2”-Nitrilotriethanol. Memiliki rumus empiris C6H15O3 dengan berat molekul 149,19. Trietanolamin digunakan sebagai alkalizing dan emulsifying. Senyawa ini dapat digunakan secara luas dalam sediaan topikal sebagai pembentuk emulsi ketika dicampurkan asam lemak,
27
seperti asam stearat atau asam oleat dan dapat membentuk sabun anionik dengan pH 8, yang dapat digunakan sebagai emulsifying agent untuk membentuk emulsi minyak dalam air yang stabil. Konsentrasi yang digunakan untuk emulsifikasi adalah 2-4% (Goskonda dan Lee, 2005). Trietanolamin merupakan cairan kental, jernih, tidak berwarna hingga kuning pucat dan sedikit berbau ammonia. Senyawa ini dapat berubah warna menjadi coklat apabila terpapar udara dan cahaya. Selain itu juga memiliki kecenderungan untuk memisah dibawa suhu 150C. Homogenitasnya dapat diperoleh kembali dengan pemanasan dan pencampuran sebelum digunakan. Senyawa ini sebaiknya disimpan dalam wadah kedap udara, terlindungi cahaya, dingin, dan kering (Goskonda dan Lee, 2005). f. Propilparaben (Nipasol) Propilparaben mempunyai nama kimia propil 4-hidroksibenzoat, rumus empiris C10H12O3 dan bobot molekul 180,20. Sinonim dari propilparaben adalah ; E216, propil ester asam 4-hidroksibenzoat, Nipasol M, propagin, propil phidroksibenzoat. Senyawa ini banyak digunakan sebagai bahan pengawet antimikroba
dalam
kosmetik,
produk
makanan,
dan
sediaan
farmasi.
Propilparaben merupakan salah satu bahan pengawet yang paling sering digunakan dalam sediaan kosmetik. Golongan paraben efektif dalam rentang pH yang luas dan mempunyai aktivitas mikroba pada spektrum luas, meskipun paraben efektif melawan kapang dan jamur. Penggunaan senyawa ini pada sediaan topikal sebanyak 0,01-0,6 % (Johnson dan Steer 2005a).
28
Propilparaben berbentuk serbuk berwarna putih, seperti kristal, tidak berbau dan berasa. Kelarutannya berada pada suhu 200C dan larut secara bebas dalam aseton dan eter, satu bagian senyawa tersebut larut dalam 1,1 bagian etanol 95%, dalam 250 bagian gliserin; 3330 bagian minyak mineral; 3,9 bagian propilen glikol; 2500 bagian air; pada suhu 800C. Propilparaben merupakan hasil esterifikasi asam p-hidroksibenzoat dengan n-propanol. Senyawa ini hendaknya disimpan dalam wadah yang tertutup baik pada tempat yang kering dan dingin (Johnson dan Steer 2005a). g. Metilparaben Metilparaben mempunyai nama kimia 4-hidroksibenzoat. Sinonim dari metilparaben adalah : E218; metal ester asam 4-hidroksibenzoat; Nipagin M; Uniphen P-23; metal p-hidroksibenzoat. Rumus empirisnya adalah C8H8O3 dan bobot molekul 152,15. Senyawa ini digunakan secara luas sebagai bahan pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan sedian farmasi. Penggunaan metilparaben dalam sedian topikal sebanyak 0,02-0,3 % (Johnson dan Steer, 2005b). Metilparaben berbentuk kristal tidak berwarna atau serbuk seperti kristal berwarna putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau dan mempunyai rasa seperti membakar. Titik leburnya antara 125-1280C dan kelarutannya pada suhu 250C sebagai berikut : 1 bagian metilparaben larut dalam: 4 bagian etanol; 10 bagian eter; 60 bagian gliserin; 5 bagian propilen glikol; 400 bagian air; dan 30 bagian air; serta praktis tidak larut dalam minyak mineral. Metilparaben dapat
29
disimpan dalam wadah tertutup baik pada tempat yang kering dan dingin (Johnson dan Steer, 2005b). h. Akuades Akuades adalah air murni yang dapat diperoleh dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis terbalik, atau dengan cara yang sesuai. Air murni lebih bebas kotoran maupun mikroba. Air murni digunakan dalam sediaan-sediaan yang membutuhkan air terkecuali untuk parenteral, akuades tidak dapat digunakan (Lachman dkk., 1986). E. Landasan Teori Buah tomat (Solanum lycopersicum L.) merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Kandungan senyawa yang terdapat pada buah tomat adalah likopen sebagai kandungan zat aktifnya (Tsang, 2005). Likopen adalah senyawa yang bisa beraktivitas sebagai antioksidan. Menurut Arab dan Steck (2000) kandungan likopen yang terdapat pada tomat sebesar 8,8 mg/100g. Penggunaan secara langsung dirasa kurang efisien, sehingga diformulasikan dalam sedian lotion. Konsentrasi sari tomat sebagai zat aktif akan berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan dan berpengaruh terhadap sifat fisik lotion tersebut. Lotion yang dibuat pada penelitian ini adalah termasuk sistem emulsi. Pada formulasi emulsi, variasi kadar zat aktif memiliki komponen penting yang menentukan sifat fisik dan aktivitas zak aktif dari sediaan emulsi. Formula dari lotion yang akan dikembangkan adalah variasi sari tomat yang terkandung dalam lotion (kontrol, 5%, 10%, 15%, dan 20%). Uji aktivitas antioksidan dilakukan menggunakan metode penangkapan radikal DPPH (2,2-difenyl-1-pikrylhydrazyl).
30
Selanjutnya diamati stabilitas fisik lotion selama 5 minggu. Sifat fisik yang diamati adalah organoleptis, homogenitas, viskositas, daya sebar, daya lekat, ratio pemisahan, tipe emulsi dan pH. F. Hipotesis Lotion yang mengandung sari tomat mempunyai aktivitas sebagai antioksidan. Variasi kadar sari tomat dapat mempengaruhi besarnya aktivitas antioksidan (IC50) dan sifat fisik lotion.