BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dalam lingkungan hidup, sampah merupakan masalah penting yang harus mendapat penanganan dan pengolahan sehingga tidak menimbulkan dampak yang membahayakan. Berdasarkan data dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) pada 2008, kota-kota besar menghasilkan sampah yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Sampah di Bandung meningkat dari 6.473,7 m3/hari pada 2005 menjadi 7.500 m3/ hari pada 2007. Sampah di Surabaya meningkat dari 6.234 m3/ hari pada 2006 menjadi 9.560 m3/hari pada 2007. Di Palembang jumlah sampah meningkat dari 4.698 m3/hari pada 2005 menjadi 5.100 m3/hari pada 2007. Begitupun Jakarta sebagai ibukota, jumlah sampahnya rata-rata 6000 m3/hari pada 2007 lebih tinggi dari 2006 yang berjumlah rata-rata 5000 m3/hari. Selama ini peran serta masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sampah perkotaan sangat rendah. Konsep pengelolaan sampah 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) juga masih belum dapat diterapkan di masyarakat karena berbagai keterbatasan. Penanganan dan pengolahan sampah hanya sekedar mengangkut dan membuang hingga Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sementara itu kondisi TPA di berbagai kota di Indonesia pada umumnya tidak memadai. Berdasarkan hasil evaluasi Program Adipura 2007 diketahui bahwa rata-rata skor yang diperoleh untuk berbagai komponen utama pada umumnya berada antara rentang 46 dan 60 dengan kualifikasi jelek. Kondisi TPA yang buruk dapat menimbulkan persoalan lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat di sekitar TPA. Persoalan lingkungan yang sering 1
terjadi adalah pencemaran air (baik air permukaan maupun air tanah), pencemaran tanah, dan pencemaran udara. Pencemaran ini akan menimbulkan beberapa penyakit seperti inpeksi saluran pernapasan atas (ISPA), paru kronis dan penyakit kulit. Bahkan pengelolaan sampah di TPA yang buruk dapat menimbulkan konflik sosial antara masyarakat sekitar dengan pemerintah atau swasta pengelola sampah. Tragedi longsornya timbunan sampah di TPA Leuwigajah, Bandung, Jawa Barat terjadi pada 21 Februari 2005 telah merenggut kurang lebih 150 jiwa penduduk di sekitarnya. Sebagai bentuk keprihatinan terhadap para korban bencana longsor di TPA Leuwigajah, maka Kementerian Negara Lingkungan Hidup menetapkan 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah yang disertai dengan penyusunan RUU tentang Pengelolaan Sampah. Dengan adanya Hari Peduli Sampah diharapkan peran aktif masyarakat dalam mengelola sampah di lingkungan sekitarnya. Semakin banyak jumlah penduduk akan mengakibatkan jumlah atau volume sampah terus bertambah dari waktu ke waktu. Volume sampah yang dihasilkan tiap hari dari Kota Yogyakarta sebanyak 122.732. Kabupaten Sleman 20.668 ton, dan Kabupaten Bantul 10.265 ton Bertambahnya sampah dan semakin beranekaragam jenisnya secara terus menerus, akan berakibat semakin sulitnya pengelolaan sampah. Sampah yang tidak dikelola dengan baik terutama pada bak-bak sampah keluarga, bak penampungan semetara dan penampungan akhir dapat menimbulkan pencemaran. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Piyungan adalah sarana yang dirancang dengan metode Sanitary Landfill, sampah ditutup dengan tanah tidak lebih dari 3 hari karena bila dibiarkan terbuka dengan jangka waktu lebih, maka akan terjadi terjadi
2
proses anaerob sehingga akan menimbulkan bau. Dalam pelaksanaan operasionalnya, sampah dikelola dengan metode Open Dumping, sampah dibuang tanpa ada perlakuan khusus, yaitu penimbunan dengan tanah sehingga menimbulkan bau karena proses degradasi sampah terjadi secara anaerob. TPA ini dibangun pada tahun 1992 oleh YUDP (Yogyakarta Urbant Development Project). Tidak ada pemilahan secara khusus yang dilakukan sebelum sampah dibuang ke TPA, hanya terdapat sedikit pengurangan volume sampah oleh ± 300 pemulung. Para pemulung ini mengumpulkan sampah anorganik seperti botol, plastik, besi dan lain-lain yang mereka anggap masih dapat digunakan dan mempunyai nilai jual. Sampah tidak hanya terdiri dari kompenen-komponen padat saja tetapi juga mengandung cairan sampah yang dikenal dengan air lindi (leachate). Air lindi ini mengandung zat-zat kimia, baik organik maupun anorganik dan sejumlah bakteri patogen. Air lindi terbentuk karena proses dekomposisi sampah dan cairan yang masuk ke landfiil baik dari luar atau dalam, misalnya air hujan, air tanah, atau sumber-sumber lain. Air lindi ini akan mengalir ke tempat yang lebih rendah, merembes ke dalam tanah dan bercampur dengan air tanah, mengalir di permukaan tanah dan bermuara pada aliran air sungai sehingga beresiko menimbulkan pencemaran. Menurut undang-undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan adalah masuk dimasuknya mahluk hidup, zat, energi, dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dangan peruntukannya
3
Limbah cair harus ditangani dengan baik sehingga tidak mencemari lingkungan sekitarnya. Salah satu metode pengolahan limbah cair yang ramah lingkungan adalah secara biologi dengan menggunakan tanaman. Tanaman dapat membersihkan polutan dari tanah, air, maupun udara, dengan berbagai cara. Menurut Subroto (1996), tanaman dapat merusak atau merombak polutan organik maupun mengabsorbsi dan menstabilisasi logam polutan. Dalam hal ini polutan organik dapat dibersihkan oleh tanaman melalui satu mekanisme atau kombinasi proses-proses fitodegradasi, rizodegradasi, dan fitovolatilisasi. Polutan organik seperti crude oil, pelarut, dan polyaromatic hydrocarbons (PAHs) telah dibuktikan dapat diatasi dengan teknik ini. Sedang polutan logam berat dan unsur
radioaktif
dapat
dibersihkan
oleh
tanaman
melalui
proses
fitoekstraksi/fitoakumulasi, rizofiltrasi, dan atau fitostabilisasi. Jenis tanaman yang disenangi untuk kolam limbah cair di negara berkembang ialah Enceng gondok (Eichhornia crassipes). Silvia (2009) telah melakukan penelitian tentang limbah industri pencelupan benang yang mempunyai karakteristik air buangan yang berwarna dan bersifat basa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sistem bioreaktor eceng gondok yang divariasi dengan aerasi dalam meningkatkan kualitas limbah pencelupan benang. Hasil penelitian menujukan penurunan kadar COD sebelum diolah sebesar 26800 mg/L menjadi 400 mg/L, BOD5 sebesar 10720 mg/L menjadi160 mg/L, TSS sebesar 24216 mg/L menjadi 464 mg/L.
4
B. PERUMUSAN MASALAH 1. Apakah Enceng gondok mampu meningkatkan kualitas limbah cair (air lindi) Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Piyungan Yogayakarta ditinjau dari parameter TDS, Warna, TSS, COD, BOD, Fe, pH, dan suhu. 2. Apakah ada perbedaan kadar TDS, Warna, TSS, COD, BOD, Fe, pH, dan suhu sebelum dan sesudah perlakuan dengan tanaman Enceng gondok.
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui kemampuan Enceng gondok dalam meningkatkan kualitas limbah cair (air lindi) Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Piyungan Yogayakarta ditinjau dari parameter TDS, Warna, TSS, COD, BOD, Fe, pH, dan Suhu. 2. Mengetahui perbedaan kadar TDS, warna, TSS, COD, BOD, Fe, pH, dan suhu sebelum dan sesudah perlakuan dengan tanaman Enceng gondok.
D. MANFAAT PENELITIAN D.1. Akademis Diharapkan melalui penelitian ini dapat diketahui kemampuan tanaman Enceng gondok dalam menangani masalah limbah cair (air lindi) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Piyungan. D.2. Pihak Pengelola Hasil Penelitian dapat menjadi informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak pengelola Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Piyungan dalam menangani masalah limbah cair (air lindi), sehingga kualitasnya dapat ditingkatkan.
5