BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Udang diekspor 90% berada dalam bentuk beku tanpa kulit dan kepala
sehingga dari proses pembekuan tersebut dihasilkan limbah berupa kulit dan kepala udang (Natsir et al., 2007; Arif dkk., 2013). Data Dirjen Perikanan Budidaya (2014), menyatakan bahwa udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan jenis udang yang memiliki kecepatan produksi dan komoditas ekspor tertinggi sehingga paling berpotensi menjadi sumber limbah. Limbah kulit udang sudah banyak dimanfaatkan dalam pembuatan krupuk udang, petis, terasi dan sebagai bahan campuran pakan ternak. Perkembangan ilmu pengetahuan dapat menjadikan limbah kulit udang sebagai sumber bahan yang bernilai ekonomis tinggi. Limbah kulit udang merupakan bahan baku dalam penyediaan material kitosan yang merupakan produk deasetilasi kitin yang terkandung 20-30% dalam kulit udang. Kitosan merupakan biopolimer yang potensial untuk diaplikasikan dalam berbagai bidang industri diantaranya dalam industri makanan dapat dimanfaatkan sebagai plastik pengawet yang bersifat biodegradable, dalam industri pengolahan air dapat mengikat logam serta zat warna berbahaya yang terkandung dalam air, dalam industri phamaceutical dimanfaatkan sebagai antikolesterol, antimikroba, membran pengontrol pelepasan obat, gelling agent, serta membran penutup luka (Sofia dkk., 2010).
1
2
Ekstraksi kitin dan sintesis kitosan terdiri dari 3 tahapan utama demineralisasi, deproteinisasi, dan deasetilasi, serta tahapan penunjang yaitu dekolorisasi (Hossain, 2013; Sofia dkk., 2010). Dekolorisasi merupakan tahapan penunjang karena prosesnya bertujuan untuk menghilangkan warna dimana zat ini berupa senyawa lipoprotein (karotenoid dan astaxanthin) (Hamsina et al., 2002). Berbagai
optimasi
metode
baik
biologi
maupun
kimia
telah
dikembangkan untuk mengektraksi kitin. Metode kimia jauh lebih praktis dan mudah dilakukan jika dibandingkan dengan metode biologi dalam mengekstraksi kitin (Khanafari et al., 2008). Pada penelitian Beaney et al. (2005), tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari viskositas dan derajat deasetilisasi dari metode biologi (fermentasi) dan metode kimia. Dalam metode kimia, NaOH dan HCl merupakan reagen umum yang digunakan dalam proses deproteinisasi dan demineralisasi. Purwanti (2014) melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi reagen demineralisasi dan deproteinisasi yang digunakan maka semakin efektif penghilangan protein dan mineral dalam cangkang sehingga memberikan nilai derajat deasetilasi dan kelarutan yang lebih tinggi. Akan tetapi penggunaan konsentrasi reagen demineralisasi dan deproteinisasi yang terlalu tinggi (lebih dari 4%) pada suhu yang sangat tinggi (lebih dari 100oC) akan menyebabkan penurunan kualitas kitin dan kitosan serta tidak efisien dari segi biaya yang mahal karena boros penggunaan reagen dan adanya dampak terhadap lingkungan yaitu pencemaran lingkungan (Khan et al., 2001; Khanafari et al., 2008).
3
Ditinjau dari penurunan kualitas kitin dimana konsentrasi reagen kimia (HCl dan
NaOH) pada proses demineralisasi dan deproteinisasi dapat
menurunkan bobot molekul dari kitosan karena kecenderungan untuk terjadinya depolimerisasi menjadi kitosan oligomer (Zeng et al.,2007). Menurut Kumirska et al. (2011), kitosan oligomer sangat mudah berubah warna menjadi kecoklatan yang akan menurunkan aktivitasnya. Pencemaran lingkungan dapat terjadi karena adanya pelepasan limbah HCl dan NaOH ke lingkungan. Pada penelitian Basu et al. (2013) dikatakan bahwa setelah melakukan penghematan penggunaan NaOH (soda kaustik) sebanyak 11000 kg dan HCl sebanyak 9000 L selama 1 tahun dapat menurunkan BOD dari 55 mg/L menjadi <35 mg/L dan COD dari 300 mg/L menjadi <200 mg/L. Salah satu metode untuk mengurangi penggunaan reagen secara berlebih adalah dengan melakukan modifikasi terhadap metode ekstraksi salah satunya dengan menambahkan tahapan pretreatment dengan menggunakan asam salisilat sebelum tahapan demineralisasi dan deproteinisasi. Asam salisilat merupakan salah satu asam organik dengan nama IUPAC asam-O-hidroksibenzoat. Asam organik ini memiliki kemampuan untuk menembus sel epidermis dan menyebabkan pembengkakan sel. Oleh karena itu asam salisilat sering digunakan untuk meningkatkan penetrasi obat topikal untuk memberikan efek yang maksimal (Merrinville et al., 2009). Penggunaan
asam
salisilat
dalam
peningkatan
penetrasi
akan
memaksimalkan ekstraksi mineral dan protein. Efek tersebut dapat dilihat dari
4
nilai kadar abu dan kadar protein pada proses demineralisasi dan deproteinisasi. Selain itu penggunaan asam salisilat diharapkan mampu menurunkan angka kebutuhan HCl dan NaOH dari konsentrasi optimal yaitu masing masing 4% yang menurut Khanafari et al., (2008) pada konsentrasi tersebut mampu untuk meminimalkan degradasi kitosan. Pada penelitian Toan (2011) dilakukan pretreatment menggunakan asam salisilat pada serbuk kulit udang windu mampu memberikan nilai derajat deasetilasi 89 ± 0,35% dan kelarutan mencapai 98% yang membutuhkan konsentrasi HCl dan NaOH masing masing sebanyak 0,680 M dan 0,620 M (Toan, 2011). Dalam penelitian ini akan dilakukan tahap pretreatment limbah kulit udang vannamei dengan salah satu agen keratolitik yaitu asam salisilat dengan berbagai konsentrasi. Selain itu juga dibuat sampel tanpa pretreatment dengan konsentrasi penggunaan HCl dan NaOH sebanyak 0,6 M serta 1 M sebagai perbandingan untuk mengetahui bagaimana pengaruh variasi konsentrasi asam salisilat ditinjau dari jumlah penggunaan reagen demineralisasi (HCl) dan deproteinisasi (NaOH) terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, kelarutan, derajat deasetilisasi, dan viskositas kitosan (Lertsutthiwong et al., 2002).
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1.2.1. Bagaimana pengaruh pretreatment menggunakan asam salisilat terhadap kadar abu dan kadar protein residual produk kulit udang
5
vannamei setelah demineralisasi, deproteinisasi, dan deasetilasi dibandingkan
dengan
ekstraksi
tanpa
pretreatment
dengan
penggunaan konsentrasi HCl dan NaOH masing masing 0,6 M serta 1 M? 1.2.2. Bagaimana pengaruh peningkatan konsentrasi asam salisilat dalam proses petreatment terhadap karakteristik kitosan dari limbah kulit udang vannamei?
1.3.
Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai
berikut: 1.3.1. Mengetahui pengaruh pretreatment menggunakan asam salisilat terhadap kadar abu dan kadar protein residual produk setelah demineralisasi, deproteinisasi, dan deasetilasi limbah kulit udang vannamei. 1.3.2. Mengetahui bagaimana pengaruh asam salisilat dalam proses petreatment terhadap karateristik kitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang vannamei.
1.4.
Manfaat Dapat menghasilkan kitosan yang memenuhi persyaratan dengan
penggunaan konsentrasi reagen demineralisasi dan deproteinisasi yang lebih kecil sehingga dapat mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan.