BAB I PENDAHULUAN. Bid ah adalah lawan dari sunnah. Bid ah merupakan sesuatu yang dilarang

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Bid’ah adalah lawan dari sunnah. Bid’ah merupakan sesuatu yang dilarang oleh Rasul. Rasul S.A.W. sangat membenci bid’ah, mencela dan melarang orang yang mendekati dan melakukannya, sehingga Rasul S.A.W. memerintahkan untuk menjauhinya dan menegaskan untuk berpegang teguh kepada sunnah sekuatkuatnya dengan menggigit dengan gigi geraham.1 Mengkaji

tentang bid’ah

seiring dengan

perjalanan

waktu

dan

perkembangan zaman, umat Islam dalam menghadapi perkara-perkara yang baru dan permasalahan-permasalahan yang banyak lagi sulit terjebak dalam perbedaan pendapat dan perdebatan serta perselisihan mengenai bid’ah yang seakan-akan tidak akan selesai. Perbedaan pendapat tersebut terjadi dalam memahami hadîts dari Abû Dâwud yang diriwayatkan oleh ‘Irbâdl Ibn Sâriyah.

*ِ,.َ 0/ 1 َ ‫ل‬ َ 3َ4 0َ 5ِ65َ 8 ُ :ْ ‫<ْ ُر‬.َ 3َ,.َ 0/ 1 َ >ٍ ?ِ@ ْ Aُ 8 ُ :ْ 0ُ BِC<َ Cْ ‫ ا‬3َ,.َ 0/ 1 َ E ٍ Fَ ,ْ 1 َ 8 ُ :ْ 0ُ Gَ 1 ْ ‫ َأ‬3َ,.َ 0/ 1 َ 8 ُ :ْ Iُ J ْ1 ُ ‫* َو‬ L Gِ ?َ@ L C‫ٍو ا‬IGْ M َ 8 ُ :ْ 8 ِ Gَ 1 ْ I/ C‫ُ ا‬0Fْ M َ *ِ,.َ 0/ 1 َ ‫ل‬ َ 3َ4 ‫ن‬ َ ‫َا‬0Oْ Aَ 8 ُ :ْ 0ُ Cِ3َP ‫ ِإذَا‬8 َ 5ِUC/‫ ا‬Vَ?M َ 3َC‫ َو‬Wِ BِX ‫ل‬ َ 6َ Yَ ْ8G/ Aِ <َ ُ‫ َ[ َوه‬5َ ‫ ِر‬3َ\ 8 َ :ْ ‫ض‬ َ 3َ:ْIOِ Cْ ‫ ا‬3َ,Bْ Rَ ‫ َأ‬3َC3َ4 Iٍ J ْ1 ُ 8 َ 5ِI]ِ ‫ك زَا‬ َ 3َ,Bْ Rَ ‫ َأ‬3َ,?ْ 4ُ ‫ َو‬3َ,Gْ ?/@ َ Xَ Wِ Bْ َ?M َ ْ>`ُ ?ُGِ 1 ْ ‫ َأ‬3َA 0ُ a ِ ‫ َأ‬3َC b َ ?ْ 4ُ ْ>cُ ?َGِ d ْ eَ Cِ ‫ك‬ َ ْ َأ‬/ .ُ ‫<ْ ٍم‬5َ ‫ت‬ َ ‫ َ> ذَا‬/?\ َ ‫َو‬ 1

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kriteria Sunnah dan Bid’ah (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 8-17.

1

2

‫ع‬ ٍ ‫د‬x <َ Aُ [ُ j َM ِ ْ`ُ Bِf‫ل أُو‬ َ 3َgXَ 3َ,Bْ Cَ‫ ِإ‬0ُ cَ Oْ Rَ ‫ذَا‬3َGXَ [ِ ,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ ْ>`ُ Bْ ?َOَ Xَ ‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ ْP‫َى ا‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ :َ ْ>`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ 3†B‡ ِ Fَ 1 َ ْ>‫ ُآ‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ ‫ َو‬3َc:ِ ‫@`ُ<ا‬ / Gَ Rَ 8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ ا‬8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ا‬ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫َو‬ Artinya: Telah bercerita kepada kami Ibn Ahmad Ibn Hanbal, telah bercerita kepada kami al-Walîd Ibn Muslim, telah bercerita kepada kami Tsawr Ibn Yazîd, telah bercerita kepada saya Khâlid Ibn Ma´dân, telah bercerita kepada saya ‘Abd al-Rahmân Ibn Amr al-Sulamî dan Hujr Ibn Hujr, keduanya berkata: “Kami datang kepada al-‘Irbâdl Ibn Sâriyah. Dia adalah termasuk orang yang turun tentangnya (dan bukan orangorang yang jika datang kepadamu supaya kamu menanggung mereka,” maka saya berkata: “Saya tidak menanggung kamu semua atasnya). Lalu kami mengucapkan salam dan berkata: “Kami datang kepadamu, sebagai orang-orang yang berziarah (berkunjung), kembali dan mengambil (ilmu), kemudian ‘Irbâdl berkata: “Pada suatu hari Rasul saw. shalat bersama kami, kemudian menghadap kepada kami dan menasehati kami dengan nasehat yang sangat luar biasa. Karenanya (nasehat) itu mata meneteskan air mata dan hati bergetar kemudian seseorang berkata: seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka pesan apa yang engkau berikan kepada kita. Lalu bersabda: “Saya berwasiat kepada kamu semua untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat kepada pemimpin. Walaupun seorang hamba Habasyî (yang berkulit hitam). Sesungguhnya orang yang hidup sesudahku maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan, maka berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah Khulafâ’ al-Râsyidîn dan gigitlah dia dengan gigi geraham dan jauhilah mengada-adakan sesuatu perkara. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.2 Di samping hadîts yang diriwayatkan oleh ‘Irbâdl Ibn Sâriyah juga terdapat hadîts yang tampak bertentangan pemahamannya dengan hadîts ‘Irbâld di atas, yaitu hadîts riwayat Ibn Mâjah dari Jarîr:

2

Abû Dâwud Sulayman Ibn al-Asy’ats al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwûd, Juz IV (Beirut: Dâr alFikr, 1991), 205-206.

3

0ُ Fْ M َ 3,َ .َ 0ّ 1 َ .[َ Yَ ‫ َ<ا‬M ُ ْ<:ُ ‫ َأ‬3,َ .َ 0/ 1 َ .‫ب‬ ِ ‫‡ َ<ا ِر‬ / C‫*ْ ا‬:ِ ‫ َأ‬8 ِ :ْ • ِ ?ِGَ Cْ ‫ ا‬0ِ Fْ M َ 8 ُ :ْ 0ُ G/ d َ Aُ 3,َ .َ 0/ 1 َ — ُ ‫ ا‬V?/f َ — ِ ‫لا‬ ُ ْ<\ ُ ‫ل َر‬ َ 34َ :Wِ Bْ :ِ ‫ َأ‬8M َ Iٍ 5ْ Iِ a َ 8 ِ :ْ ‫ ِر‬Uِ ,ْ Gُ Cْ ‫ ا‬8 ِM َ Iِ Bْ Gَ M ُ 8 ِ :ْ • ِ ?ِGَ Cْ ‫ا‬ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬,3‫ َه‬Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3‫ َآ‬3cَ :ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ :>َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3‫ َآ‬3cَ :ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬.3™ً Bْ ˆ َ ْ>‫<ْ ِر ِه‬a ُ ‫ْ ُأ‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3Cَ 3cَ :ِ E َ Gِ M َ .3™ً Bْ ˆ َ ْ>‫ْ َأوْ َزا ِر ِه‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3Cَ 3cَ :ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ َو ِوزْ ُر‬3‫ ِوزْ ُر َه‬Wِ Bْ ?َM َ Artinya: Telah menceritakan kepada kita Muhammad Ibn Abdul Malik Ibn Abî al- Syawârib, telah menceritakan kepada kami Abû ‘Uwânah, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Ibn Umair dari Mundzir Ibn Jarîr dari ayahnya ia berkata, Rasulullah bersabda: “Barang siapa melakukan sunnah yang baik, kemudian sunnah itu diamalkan maka baginya pahala dan semisal pahala orang-orang yang mengamalkannya, tidak berkurang dari pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa melakukan sunnah yang jelek dan diamalkan maka dia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang mengamalkan yang tidak berkurang sedikitpun dari dosa-dosa mereka.3 Dari pemahaman kedua hadîts di atas, umat Islam selain sepakat bahwa bid’ah terbagi kepada bid’ah fi‘liyah, tarkiyah,‘ amâliyah, i‘tiqâdiyah, zamâniyah, makâniyah, haqîqiyah, idlâfiyah,’ibâdiyah dan ‘âdiyah, umat Islam terbagi menjadi dua golongan yang membagi bid’ah kepada dua, yaitu bid’ah hasanah (mahmûdah) dan bid’ah qabîhah (madzmûmah). Golongan ini juga membagi bid’ah kepada lima sebagaimana hukum syara’, yaitu wâjibah, mandûbah, mubâhah, muharramah dan makrûhah. Golongan yang pertama ini disandarkan kepada al-Syâfi’î dan yang lain adalah golongan yang menganggap

3

Al-Hâfidh Abû ‘Abd Allâh Muhammad Ibn Yazîd al-Qazwînî, Sunan Ibn Mâjah, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), 80.

4

setiap bid’ah adalah sesat atau dlalâlah. Golongan yang akhir ini di-tahqîq oleh al-Syâthibî yang dirujuk kepada Imam Mâlik.4 Perbedaan tersebut sampai sekarang masih terus berlanjut di dalam realitas masyarakat. Dengan bukti masih sering terjadi perselisihan dan perdebatan walaupun dengan kadar yang kecil. Di samping itu, prakteknya kedua golongan tersebut dalam masalah ibadah juga berbeda. Contohnya, dalam shalat subuh golongan pertama membaca doa qunût, dan yang terakhir tidak, karena menganggap membaca doa qunût adalah bid’ah. Contoh lainnya adalah dalam melaksanakan shalat Jum’at golongan yang pertama menggunakan dua adzan dan golongan yang terakhir hanya satu adzân saja karena menganggap bahwa yang melakukan dua adzan, adzan yang pertama adalah bid’ah padahal adzan yang pertama tersebut adalah sunnah Khulafâ’ al-Râsyidîn.5 Contoh yang lainnya lagi adalah

dalam

melaksanakan

shalat

tarâwîh

golongan

yang

pertama

melaksanakannya dengan dua puluh rakaat dan yang terakhir hanya dengan delapan rakaat. Seperti contoh-contoh sebelumnya, yang melaksanakan shalat dua puluh rakaat itu dianggap melakukan bid’ah dan masih banyak contoh-contoh yang lain. Hal yang lebih memprihatinkan dalam contoh-contoh di atas adalah bahwa suatu sunnah dianggap bid’ah dan setelah diteliti lebih jauh ternyata adalah sunnah. Jadi, selain terjadi penuduhan melakukan bid’ah juga terjadi

4 5

Ash Shiddieqy, Kriteria, 35-53. Sirajjudin Abbas, 40 Masalah Agama, Juz IV(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1990), 159-180.

5

penganggapan sunnah menjadi bid’ah. Oleh karena itu perlunya penelitian hadîts mengenai bid’ah ini adalah untuk meyakinkan ke-hujjah-an hadîts tersebut dan untuk

menyelesaikan

permasalahan-permasalahan

yang

terjadi

dari

pemahamannya. Sebenarnya, selain terdapat karya-karya yang menyinggung dan menjelaskan tentang bid’ah secara partikular (tidak utuh) juga telah terdapat karya-karya yang telah berusaha membahas tentang bid’ah secara utuh dan luas, seperti 40 Masalah Agama, karya Sirajuddin Abbas dan Kriteria Sunnah dan Bid’ah karya Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dan sebagainya yang tidak diketahui oleh penulis. Namun menurut penulis belum ada karya tulis yang sungguh-sungguh memberi jalan keluar mengenai permasalahan ini, disebabkan tidak memaparkan permasalahan bid’ah tadi mulai dari hasil penelitian hadîts yang menjadi sumber permasalahan tentang bid’ah ini, yaitu mulai men-takhrîj hadîtsnya, meneliti kualitas sanad dan kualitas matannya, menampilkan hadîts yang setema, menampilkan pendapat-pendapat ulama dan menampilkan analisis pemahamannya. Selain itu kecenderungan mereka untuk memihak kepada salah satu kelompok yang berbeda pendapat sehingga obyektifitas pemahamannya tidak terwujud. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis akan memaparkan seluruh aspek permasalahan bid’ah mulai dari menjelaskan hadîts yang menjadi sumber perbedaan, men-takhrîj-nya, meneliti kualitas sanad dan kualitas

6

matannya, kemudian menjelaskan analisis pemahamannya secara obyektif tanpa memihak kepada salah satu kelompok. Dari paparan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang bid’ah dengan judul: BID’AH DALAM PERSPEKTIF HADÎTS (Studi Kritik Sanad, Matan dan Pemahaman).

B. Rumusan Masalah Masalah utama penelitian ini adalah status kualitas Sanad, Matan dan Pemahaman hadîts tentang bid’ah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagaimana berikut: a. Bagaimanakah kualitas sanad hadîts tentang bid’ah? b. Bagaimanakah kualitas matan hadîts tentang bid’ah ? c. Bagaimanakah pemahaman hadîts tentang bid’ah?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan: a. Untuk mengetahui kualitas sanad hadîts tentang bid’ah. b. Untuk mengetahui kualitas matan hadîts tentang bid’ah. c. Untuk mengetahui pemahaman yang benar terhadap hadîts tentang bid’ah.

7

Kegunaan penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memiliki arti akademis (academic significance) yang menambah informasi dan dipertimbangkan dalam memperkaya teori tentang permasalahan yang berkaitan dengan bid‘ah. Hasil penelitian ini disamping mempunyai arti akademis (academic significance), juga mempunyai arti kemasyarakatan khususnya bagi umat Islam yang sudah lama terjebak dalam perdebatan tentang bid‘ah.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). yakni penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku atau sumber kepustakaan lain.6 Maksudnya datadata dicari dan ditemukan melalui kajian pustaka dari buku-buku yang relevan dengan pembahasan. 2. Data Data utama dalam penelitian ini adalah sanad dan matan hadîts tentang bid’ah. 3. Sumber Data a. Sumber data primer

6

Hadari Nawawi, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada University Pres, 1994), 23.

8

Sumber data primer yang dipakai dalam penelitian ini adalah kitab Sunan Abî Dâwud. b. Sumber data sekunder 1) Metodologi Penelitian Hadits Nabi karya M. Syuhudi Ismail. 2) Miftâh Kunûz al-Sunnah karya terj. Muhammad ‘Abd al-Bâqî dan kitab-kitab lain yang terangkum dalam al-Kutub al-Sittah sebagai pendukung dalam penelitian sanad dan matan. 3) Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts karya A. J. Wensinck, dkk. 4) Kaedah Keshahehan Sanad karya M. Syuhudi Ismail. 4. Langkah Penelitian Hadîst Untuk

penelitian

ini

penulis

menggunakan

langkah-langkah

penelitian hadîts M. Syuhûdi Ismâil seperti dalam buku Metodologi Penelitian Hadits Nabi, yaitu melakukan kegiatan takhrîj hadîts, i‘tibâr, melakukan kegiatan penelitian sanad hadîts, melakukan kegiatan penelitian matan hadîts dan pemahaman hadîts. a. Melakukan kegiatan takhrîj hadîts. Kegiatan takhrîj hadîts yang dimaksud dalam penelitian hadîst adalah pengertian yang dikemukakan oleh M. Syuhudi Ismail pada buku Metodologi Penelitian Hadîts Nabi yaitu penelusuran atau pencarian hadîts pada berbagai kitab sumber asli dari hadîts yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadîts yang bersangkutan.

9

Takhrîj hadîts ini diperlukan dalam penelitian hadîts ini untuk mengetahui asal usul riwayat hadîts tentang bid’ah yang akan diteliti untuk mengetahui seluruh riwayat hadîts tentang bid’ah yang akan diteliti dan untuk mengetahui ada atau tidak adanya syâhid7 dan muttabi’8 pada sanad hadîts tentang bid’ah yang akan diteliti. Metode takhrîj yang digunakan penulis dalam penelitian ini ada dua macam: 1) Metode takhrîj hadîts bi al-lafdhi (Penelusuran hadîts melalui lafadh), yaitu dengan menggunakan kitab kamus Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al Hadîts karya A.J. Wensinck. Metode ini digunakan untuk menelusuri hadîts tentang bid’ah melalui sebagian dari matannya, sebab penelusuran hadîts tentang bid’ah melalui lafadh adalah metode yang mudah untuk dilakukan. 2) Metode takhrîj bi al-mawdlu‘ (Penelusuran hadîts melalui topik), yaitu dengan menggunakan kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah karya terj. Muhammad ‘Abd al-Bâqî. Penelusuran ini diperlukan karena hadîts tentang bid’ah yang diteliti tidak terikat dengan bunyi lafadz hadîts, tetapi juga berdasarkan topik masalah.

nabi. nabi.

7

Syâhid adalah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai sahabat

8

Muttabi‘ adalah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat

10

b. Melakukan I‘tibâr I‘tibâr adalah melakukan penghimpunan sanad hadîts atau periwayat hadîts yang menyebutkan matan-matan hadîts yang sama yang diriwayatkan oleh banyak orang atau menghimpun matan hadîts yang sama atau semakna dengan menyertakan seluruh sanad-sanadnya atau periwayat-periwayatnya. Untuk memperjelas dan mempermudahkan proses kegiatan i‘tibâr, peneliti juga akan membuat skema seluruh sanad hadîts yang akan diteliti. Kegiatan i‘tibâr dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui keadaan sanad hadîts tentang bid’ah yang diteliti secara keseluruhannya. Dilihat dari ada atau tidaknya

pendukung (corroboration) berupa

periwayat yang berstatus muttabi‘ atau syâhid. c. Analitis kritik sanad Kegiatan penelitian sanad hadîts, meliputi dua hal, yaitu meneliti kualitas periwayat dan persambungan sanad dan meneliti kemungkinan adanya syudzûdz dan ‘illat. 1) Meneliti kualitas periwayat dan persambungan sanad Dalam meneliti kualitas periwayat dan persambungan sanad, peneliti akan menggunakan kitab Tahdzîb al-Tahdzîb dan Taqrîb alTahdzîb yang keduanya merupakan karya Ibn Hajar al-‘Asqalanî.

11

Kemudian penulis akan memberikan komentar mengenai bersambung atau tidaknya sanad tersebut berdasarkan pada pernyataan para kritikus hadîts dan metode periwayatan yang digunakan dengan bantuan lambang periwayatannya. 2) Meneliti kemungkinan adanya syudzdûd dan ‘illat Dalam meneliti kemungkinan adanya syudzdûd dan’illat, peneliti akan membandingkan dan meneliti secara seksama susunan sanad hadîts yang diteliti dengan memperhatikan adanya sanad pendukung (corroboration) yang berupa syâhid atau muttabi‘-nya serta memperhatikan pernyataan para kritikus hadîts. 3) Menyimpulkan hasil penelitian sanad setelah proses penelitian sanad selesai. Peneliti akan mengemukakan pernyataan tentang status hadîts yang diteliti apakah itu hadîts mutawâtir atau ahad, dan pernyataan tentang status hadîts tersebut apakah shahih, hasan, atau dla‘if sesuai dengan hasil penelitian disertai macamnya dan disertai dengan argumen-argumen yang mendasarinya. d. Analisis kritik matan Kegiatan penelitian matan hadîts, meliputi: meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya, meneliti susunan matan yang semakna,

12

meneliti kandungan matan hadîts dan menyimpulkan hasil penelitian matan. 1) Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya Penelitian matan dengan melihat kualitas sanadnya itu dilakukan karena hasil penelitian sanad merupakan acuan untuk melakukan tahap penelitian hadîts selanjutnya yaitu penelitian matan. Dalam hal ini kualitas sanad yang shahîh, hasan atau dlaîf yang tidak berat status dla‘îf-nya masih perlu untuk diteliti matannya. Sedangkan matan yang sanadnya sangat dla‘îf tidak perlu diteliti sebab hasilnya tidak

akan

memberi

manfaat

bagi

ke-hujjahan

hadîts

yang

bersangkutan. Selain itu, kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya. Hadîts dianggap shahîh apabila sanad dan matan hadîts tersebut shahîh dan tidak dinyatakan shahîh

apabila hadîts yang

sanadnya shahîh tapi matannya tidak shahîh atau sebaliknya sanadnya dla‘îf matannya shahîh. 2) Meneliti susunan matan yang semakna Meneliti susunan matan yang semakna perlu dilakukan karena selain terjadi periwayatan makna, juga terjadi karena adanya kemungkinan kesalahan dalam meriwayatkan hadîts. Kesalahan tersebut menyebabkan perlunya adanya muqâranah (pembandingan) matan yang semakna. Hal itu untuk menentukan adanya kemungkinan

13

syudzûdz dan ‘illat dalam hadîts yang menentukan kualitas dan status hadîts yang diteliti. Kesalahan periwayatan tersebut bisa terbukti dengan ditemukan adanya ziyâdah atau idrâj di dalam hadîts nabi dan ziyâdah9 atau idrâj10 yang tidak bisa ditoleransi dianggap sebagai syâd yang menyebabkan cacatnya suatu hadîts. 3) Meneliti Kandungan Meneliti kandungan matan meliputi membandingkan matan yang sejalan atau tidak bertentangan dan membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau bertentangan. a) Membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan Setelah susunan lafadh diteliti langkah berikutnya dalam meneliti kandungan matan perlu diperhatikan matan-matan dan dalil-dalil lain yang mempunyai topik masalah yang sama. Untuk meneliti ada atau tidak adanya matan yang memiliki topik masalah yang sama, perlu dilakukan takhrij al-hadîts bi almawdlu‘. Apabila ternyata ada matan lain yang bertopik sama

9

Dalam buku metodologi penelitian hadîts nabi, arti bahasa kata ziyâdah adalah tambahan. Menurut istilah ilmu hadîts, ziyâdah pada matan ialah tambahan lafadh atau kalimat pernyataan yang terdapat pada matan, tambahan dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedangkan yang lain tidak mengemukakan. 10 Idrâj menurut pengertian bahasa, idrâj merupakan masdar dari fi‘il adraja artinya memasukkan atau menghimpunkan. Menurut pengertian istilah ilmu hadîts, Idrâj berarti memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadîts yang diriwayatkannya, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari nabi karena tidak adanya penjelasan dalam matan hadîts itu

14

maka matan itu perlu diteliti sanadnya. Apabila sanadnya memenuhi persyaratan maka kegiatan muqâranah kandungan matan-matan tersebut perlu dilakukan. Apabila kandungan matan yang diteliti sama maka dapat dinyatakan kegiatan telah selesai. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka kegiatan penelitian masih harus dilanjutkan. b) Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan. Ulama’ sependapat bahwa hadîts-hadîts yang tampak bertentangan haruslah diselesaikan. Tahap-tahap penyelesaian pertentangan: (1) Al-Jam‘, yakni pengkompromian, maksudnya hadîts-hadîts yang tampak bertentangan sama-sama diamalkan dengan melihat seginya masing-masing. (2) Naskh wa al-mansûkh, yakni hadîts yang satu menghapus petunjuk hadîts yang lainnya. (3) Tarjîh, yakni mengunggulkan salah satunya yang memiliki argumen yang kuat. (4) Tauqîf, yakni menunggu sampai ada petunjuk atau dalil yang dapat menyelesaikannya.

15

4) Menyimpulkan hadîts penelitian matan. Setelah langkah-langkah di atas dilakukan, terakhir yang dilakukan adalah menyimpulkan penelitian matan apakah berkualitas shahih atau dla‘îf dengan menjelaskan argumen-argumennya. 5. Langkah pemahaman hadîts Untuk memahami hadîts di atas peneliti akan menggunakan langkahlangkah sebagai berikut: 1) Menjelaskan syarah mufradat lafadh sunnah dan bid‘ah. 2) Menjelaskan pemahaman ulama tentang sunnah dan bid‘ah: sebuah perbandingan. 3) Menjelaskan latar belakang sejarah perdebatan sunnah dan bid‘ah. 4) Menganalisis permasalahan-permasalahan tentang sunnah dan bid‘ah.

E. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah memahami, maka penulis memberikan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I

: Pendahuluan, Bab ini merupakan gambaran secara umum yang mengarah kepada keadaan kerangka atau pokok pikiran penulis yang di dalamnya memuat latar belakang masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II

: Kritik sanad hadîts tentang bid’ah yang mengacu pada langkah-

16

langkah dalam penilain hadîts terkait. Bab III

: Kritik matan hadîts tentang bid’ah yang mengacu pada langkah penilaian hadîts terkait.

Bab IV

: Pemahaman hadîts tentang bid’ah. Bab ini berisi analisa penulis terhadap hadîts tentang bid’ah.

Bab V

: Penutup, Bab ini berisi kesimpulan akhir dari pembahasan sebagai jawaban dengan dilengkapi saran.

17

BAB II KRITIK SANAD HADÎTS TENTANG BID’AH

A. Kritik Sanad Hadîts Tentang Setiap Bid’ah Itu Sesat 1. Takhrîj al- hadîts Berikut dikemukakan riwayat hadîts tentang bid’ah:

‫ل‬ َ 3َ4 0َ 5ِ65َ 8 ُ :ْ ‫<ْ ُر‬.َ 3َ,.َ 0/ 1 َ >ٍ ?ِ@ ْ Aُ 8 ُ :ْ 0ُ BِC<َ Cْ ‫ ا‬3َ,.َ /01 َ E ٍ Fَ ,ْ 1 َ 8 ُ :ْ 0ُ Gَ 1 ْ ‫ َأ‬3َ,.َ 0/ 1 َ * L Gِ ?َ@ L C‫ٍو ا‬IGْ M َ 8 ُ :ْ 8 ِ Gَ 1 ْ I/ C‫ ا‬0ُ Fْ M َ *ِ,.َ 0/ َ1 ‫ل‬ َ 3َ4 ‫ن‬ َ ‫َا‬0Oْ Aَ 8 ُ :ْ 0ُ Cِ3َP *ِ,.َ 0/ 1 َ 3َC‫ َو‬Wِ BِX ‫ل‬ َ 6َ Yَ ْ8G/ Aِ <َ ‫ َ[ َو ُه‬5َ ‫ ِر‬3َ\ 8 َ :ْ ‫ض‬ َ 3َ:ْIOِ Cْ ‫ ا‬3َ,Bْ Rَ ‫ َأ‬3َC3َ4 Iٍ J ْ1 ُ 8 ُ :ْ Iُ J ْ1 ُ ‫َو‬ 3َ,Gْ ?/@ َ Xَ Wِ Bْ ?َM َ ْ>`ُ ?ُGِ 1 ْ ‫ َأ‬3َA 0ُ a ِ ‫ َأ‬3َC َb?ْ 4ُ ْ>cُ ?َGِ d ْ eَ Cِ ‫ك‬ َ ْ َأ‬/ .ُ ‫<ْ ٍم‬5َ ‫ت‬ َ ‫? َ> ذَا‬/َ\‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫َر‬ 3َ5 ٌE]ِ 3َ4 ‫ل‬ َ 3َgXَ ‫ب‬ ُ <ُ?gُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْb?َa ِ ‫ن َو َو‬ ُ <ُBOُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْbXَ ‫ ً[ َذ َر‬iَ Bِ?:َ [ً j َM ِ ْ`ُ Bِf‫ل أُو‬ َ 3َgXَ 3َ,Bْ Cَ‫ ِإ‬0ُ cَ Oْ Rَ ‫ذَا‬3َGXَ ‫ع‬ ٍ x‫ َ<د‬Aُ [ُ j َM ِ ْ`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ 3†B‡ ِ Fَ 1 َ ‫ًا‬0Fْ M َ ْ‫ ِ[ َوِإن‬M َ 3/C‫ ِ€ وَا‬Gْ @ / C‫ وَا‬Wِ ?/C‫<َى ا‬gْ eَ :ِ 8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ ْ>ُ`Bْ ?َOَ Xَ ‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ ‫َى ا‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ :َ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ ‫ َو‬3َc:ِ ‫@`ُ<ا‬ / Gَ Rَ 8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ا‬ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ Artinya: Telah bercerita kepada kami Ahmad Ibn Hanbal, telah bercerita kepada kami al-WalÎd Ibn Muslim, telah bercerita kepada kami Tsawr Ibn Yazîd, telah bercerita kepada saya Khâlid Ibn Ma´dân, telah bercerita kepada saya ‘Abd al-Rahmân Ibn Amr al-Sulamî dan Hujr Ibn Hujr, keduanya berkata: “Kami datang kepada al-‘Irbâdl Ibn Sâriyah. Dia adalah termasuk orang yang turun tentangnya (dan bukan orang-orang yang jika datang kepadamu supaya kamu menanggung mereka,” maka saya berkata: “Saya tidak menanggung kamu semua atasnya). Lalu kami mengucapkan salam dan berkata: “Kami datang kepadamu, sebagai orang-orang yang berziarah (berkunjung), kembali dan mengambil (ilmu), kemudian ‘Irbâdl berkata: “Pada suatu hari Rasul saw. shalat bersama kami,

18

kemudian menghadap kepada kami dan menasehati kami dengan nasehat yang sangat luar biasa. Karenanya (nasehat) itu mata meneteskan air mata dan hati bergetar kemudian seseorang berkata: seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka pesan apa yang engkau berikan kepada kita. Lalu bersabda: “Saya berwasiat kepada kamu semua untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat kepada pemimpin. Walaupun seorang hamba Habasyî (yang berkulit hitam). Sesungguhnya orang yang hidup sesudahku maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan, maka berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah Khulafâ’ al-Râsyidîn dan gigitlah dia dengan gigi geraham dan jauhilah mengadaadakan sesuatu perkara. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.11 Dalam menentukan posisi hadîts lain yang semakna dengan hadîts di atas, penulis menggunakan kitab kamus al-Mu’jam al-Mufahras dari fi‘il mâdli

‫ع‬0:

dengan kata kunci

[C© [M0: E‫ وآ‬dan akhirnya

dapat ditemukan berbagai sumber hadîts, diantaranya: 1. Dalam kitab Shahîh al- Muslim, kitab Jumat bab 43. 2. Dalam kitab Sunan Ibn Dâwud, kitab Sunnah bab 5. 3. Dalam kitab Sunan al- Turmudzî, kitab al- ‘Ilmi bab 16 4. Dalam kitab Sunan al-Nasâ’î, kitab ‘Idayn bab 22. 5. Dalam kitab Sunan Ibn Mâjah, kitab Muqaddimah bab 7 6. Dalam kitab Sunan al- Dârimî, kitab Muqaddimah bab 18, 220 7. Dalam kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal, juz III halaman 310, 371 dan juz IV halaman 126, 127.12 11 12

Abû Dâwud, Sunan, 205-206. A. J Wensinck, Al- Mu’jam al- Mufahras, Juz I, (Leiden: Brill, 1936), 152.

19

2. ‘Itibâr a. Penulisan sanad hadîts 1) Riwayat hadîts Imâm Muslim

ْ8M َ 0ِ BِJGَ Cْ ‫ ا‬0ِ Fْ M َ 8 ُ :ْ ‫ب‬ ِ 3/‫ َ<ه‬Cْ ‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3َ,َ.0/ 1 َ V/,‚َ Gُ Cْ ‫ ا‬8 ُ :ْ 0ُ G/ d َ Aُ *ِ,.َ 0/ 1 َ ‫ل‬ ُ <ُ\‫ن َر‬ َ 3َ‫ل آ‬ َ 3َ4 Wِ ?/C‫ ا‬0ِ Fْ M َ 8 ِ :ْ Iِ :ِ 3َa ْ8َM Wِ Bِ:‫ْ َأ‬8M َ 0ٍ G/ d َ Aُ 8 ِ :ْ Iِ Šَ Oْ a َ Wُ Rُ ْ ِإذَا‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ا‬ ْ>‫ ُآ‬3/@Aَ ‫ ُ`>ْ َو‬d َ F/ f َ ‫ل‬ ُ <ُg5َ „ ٍ Bْ a َ ‫ ُر‬Uِ ,ْ Aُ Wُ /Y{َ‫ َآ‬V/e1 َ Wُ Fُ Œ َ « َ 0/ eَ ˆ ْ ‫وَا‬ [ِ :َ 3/F@ / C‫ ا‬Wِ Bْ Oَ Fَ f ْ ‫ ِإ‬8 َ Bْ :َ ‫ن‬ ُ Iُ gْ 5َ ‫ َو‬8 ِ Bْ Rَ 3َc‫ ُ[ َآ‬M َ 3/@C‫ وَا‬3َY‫ َأ‬b ُ ‚ْ Oِ :ُ ‫ل‬ ُ <ُg5َ ‫َو‬ Iُ Bْ P َ ‫ َو‬Wِ ?/C‫ب ا‬ ُ 3َe‫¬ ِآ‬ ِ 5ِ0d َ Cْ ‫ ا‬Iَ Bْ P َ ‫ن‬ / …ِXَ 0ُ Oْ :َ 3/A‫ل َأ‬ ُ <ُg5َ ‫ َو‬Vَ\ ْ <ُ Cْ ‫وَا‬ >/ .ُ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E L ‫ َو ُآ‬3َcRُ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ ا‬IL ˆ َ ‫ َو‬0ٍ G/ d َ Aُ ‫َى‬0‫َى ُه‬0cُ Cْ ‫ا‬ ْ8Aَ ‫ َو‬Wِ ?ِ‫ِ?َ{ ْه‬Xَ 3ًC3َA ‫ك‬ َ Iَ Rَ ْ8Aَ Wِ @ ِ Šْ Yَ ْ8Aِ 8 ٍ Aِ ْ­Aُ E x `ُ :ِ VَCْ‫ َأو‬3َY‫ل َأ‬ ُ <ُg5َ * / ?َM َ ‫* َو‬ / Cَ…ِXَ 3ًM3َB َ ْ‫ َأو‬3ً,5ْ ‫ك َد‬ َ Iَ Rَ Artinya: Telah bercerita kepada saya Muhammad Ibn al- Mutsannâ, telah bercerita kepada kami ‘Abd al- Wahhâb Ibn’Abd alMâjid, dari Ja‘far Ibn Muhammad, dari ayahnya, dari Jâbir Ibn ‘Abd Allâh, berkata: Rasûl Allâh ketika berkhuthbah, maka kedua matanya merah dan suaranyan tinggi (keras) dan sangat marah sampai seakan-akan dia adalah orang yang sedang menakut-nakuti akan datangnya pasukan/ (tentara)musuh . Rasul bersada:musuh akan datang setiap saat pagi atau sore dan merubah kalian. Dan bersada: “Saya dan masa diutus seperti ini” lalu menyandingkan jari telunjuk dan jari tengah dan bersada: ”Adapun sesudahnya, sesungguhnya sebaikbaiknya pembicaraan adalah al-qur’an, dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan sejelek-jeleknya perkara adalah mengada-adakan suatu perkara, dan setiap bid‘ah adalah sesat. Kemudian bersada:”Saya lebih utama bagi setiap mukmn dibanding dirinya. Orang yang meninggalkan harta mereka untuk keluarganya. Dan orang yang meninggalkan keluarga dan anak yang miskin maka kembali kepada saya dan atas saya.”13 13

380.

Abû al-Husayn, Muslim Ibn al- Hajjâj, Shahîh Muslim, Juz I, (Beirut: Dâr al- Fikr, 1991),

20

2) Hadîts riwayat Abû Dâwud

0َ 5ِ65َ 8 ُ :ْ ‫<ْ ُر‬.َ 3َ,.َ 0/ 1 َ >ٍ ?ِ@ ْ Aُ 8 ُ :ْ 0ُ BِCَcُ ?َGِ d ْ eَ Cِ ‫ك‬ َ ْ`ُ ?ُGِ 1 ْ ‫َأ‬ ‫ت‬ َ ‫? َ> ذَا‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,:ِ V/?f َ ‫ض‬ ُ 3َ:ْIOِ Cْ ‫ل ا‬ َ 3َgXَ ‫ن‬ ُ <ُBOُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْbXَ ‫ ً[ َذ َر‬iَ Bِ?:َ [ً j َM ِ ْ َأ‬/ .ُ ‫<ْ ٍم‬5َ [ُ j َM ِ ْ`ُ Bِf‫ل أُو‬ َ 3َgXَ 3َ,Bْ Cَ‫ ِإ‬0ُ cَ Oْ Rَ ‫ذَا‬3َGXَ ‫ع‬ ٍ ‫د‬x <َ Aُ ‫َى‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ :َ ْ>`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ 3†B‡ ِ Fَ 1 َ ‫ًا‬0Fْ M َ ْ‫ ِ[ َوِإن‬M َ 3/C‫وَا‬ 8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ ا‬8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ ْ>`ُ Bْ ?َOَ Xَ ‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ‫ا‬ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ ‫ َو‬3َc:ِ ‫@`ُ<ا‬ / Gَ Rَ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ Artinya: Telah bercerita kepada kami Ahmad Ibn Hanbal, telah bercerita kepada kami al-WalÎd Ibn Muslim, telah bercerita kepada kami Tsawr Ibn Yazîd, telah bercerita kepada saya Khâlid Ibn Ma´dân, telah bercerita kepada saya ‘Abd alRahmân Ibn Amr al-Sulamî dan Hujr Ibn Hujr, keduanya berkata: “Kami datang kepada al-‘Irbâdl Ibn Sâriyah. Dia adalah termasuk orang yang turun tentangnya (dan bukan orang-orang yang jika datang kepadamu supaya kamu menanggung mereka,” maka saya berkata: “Saya tidak menanggung kamu semua atasnya). Lalu kami mengucapkan salam dan berkata: “Kami datang kepadamu, sebagai orang-orang yang berziarah (berkunjung), kembali dan mengambil (ilmu), kemudian ‘Irbâdl berkata: “Pada suatu hari Rasul saw. shalat bersama kami, kemudian menghadap kepada kami dan menasehati kami dengan nasehat yang sangat luar biasa. Karenanya (nasehat) itu mata meneteskan air mata dan hati bergetar kemudian seseorang berkata: seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka pesan apa yang engkau berikan kepada kita. Lalu bersada: “Saya

21

berwasiat kepada kamu semua untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat kepada pemimpin, walaupun seorang hamba Habasyî (yang berkulit hitam). Sesungguhnya orang yang hidup sesudahku maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan, maka berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah Khulafâ’ al-Râsyidîn dan gigitlah dia dengan gigi geraham dan jauhilah mengada-adakan sesuatu perkara. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.14 3) Hadîts riwayat Imâm al-Turmudzî

0ٍ Oْ \ َ 8 ِ :ْ Iِ Bِd:َ ْ8M َ 0ِ BِC<َ Cْ ‫ ا‬8 ُ :ْ [ُ B/ gِ :َ 3َ,.َ 0/ 1 َ Iٍ J ْ1 ُ 8 ُ :ْ * L ?ِM َ 3َ,.َ 0/ 1 َ ْ8M َ * x Gِ ?َ@ L C‫ٍو ا‬IGْ M َ 8 ِ :ْ 8 ِ Gَ 1 ْ I/ C‫ ا‬0ِ Fْ M َ ْ8M َ ‫ن‬ َ ‫َا‬0Oْ Aَ 8 ِ :ْ 0ِ Cِ3َP ْ8M َ Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,j َM َ ‫ل َو‬ َ 3َ4 [َ 5َ ‫ ِر‬3َ\ 8 ِ :ْ ‫ض‬ ِ 3َ:ْIOِ Cْ ‫ا‬ ‫ن‬ ُ <ُBOُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْbXَ ‫ ً[ َذ َر‬iَ Bِ?:َ [ً j َM ِ َْ ?/\ َ ‫َو‬ ‫ذَا‬3َGXَ ‫ع‬ ٍ ‫د‬x <َ Aُ [ُ j َM ِ ْ`ُ Bِf‫ل أُو‬ َ 3َ4 Wِ ?/C‫ل ا‬ َ <ُ\‫ َر‬3َ5 3َ,Bْ Cَ‫ ِإ‬0ُ cَ Oْ Rَ ‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ ‫َى ا‬I5َ ْ>`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ * ¯‡ ِ Fَ 1 َ ٌ0Fْ M َ ْ‫ ِ[ َوِإن‬M َ 3/C‫وَا‬ ْ>`ُ ,ْ Aِ • َ Cِ‫ك َذ‬ َ ‫ْ َأدْ َر‬8Gَ Xَ [ٌ Cَ3َ? َ 3َcY/ …َِX ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫َوِإ‬ 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ 8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ا‬8 َ 50ِ ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ Wِ Bْ ?َOَ َX Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Alî Ibn Hujr, telah bercerita kepada kami al-Walïd, dari Bujayrî Ibn Sa‘d dan Khâlid Ibn Ma‘dân, dari ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Amr al- Sulamî dari 'Irbâdl Ibn Sâriyah ia berkata pada suatu hari Rasûl Allâh telah memberi nasehat sesudah shalât subuh dengan nasehat yang sangat, yang karenanya mata mengucurkan air mata dan karenanya hati bergetar, kemudian seorang laki-laki berkata: Sesungguhnya ini adalah nasehat perpisahan, maka dengan apa kamu berpesan kepada kami wahai Rasûl Allâh? Rasûl bers’Abda: “Saya washiyat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat kepada pemimpin walaupun hamba Habasyî (yang memerintah kalian) sesungguhnya barang siapa yang hidup (sesudahku) dari kalian maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. 14

Abû Dâwud, Sunan, 205-206.

22

Takutlah kalian mengada-adakan perkara. Sesungguhnya mengada-adakan perkara itu adalah sesat. Barang siapa yang menemukan itu diantara kalian, hendaklah berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafâ’ al-Râsyidîn yang mendapatkan petunjuk, maka gigitlah ia dengan gigi geraham15. 4) Hadîts riwayat al-Nasâ’î

ْ8M َ ‫ن‬ َ 3َBŠْ \ ُ ْ8M َ ‫ك‬ ِ ‫ َر‬3َFGُ Cْ ‫ ا‬8 ُ :ْ ‫ ا‬3َY{َFَ Yْ ‫ل َأ‬ َ 3َ4 Wِ ?/C‫ ا‬0ِ Fْ M َ 8 ُ :ْ [ُ Fَ eْ M ُ 3YIFP‫أ‬ ‫ل‬ ُ <ُ\‫ن َر‬ َ 3َ‫ل آ‬ َ 3َ4 Wِ ?/C‫ ا‬0ِ Fْ M َ 8 ِ :ْ Iِ :ِ 3َa ْ8َM Wِ Bِ:‫ْ َأ‬8M َ 0ٍ G/ d َ Aُ 8 ِ :ْ Iِ Šَ Oْ a َ *ِ,‚ْ 5ُ ‫ َو‬Wَ ?/C‫ ا‬0ُ Gَ d ْ 5َ Wِ eِ Fَ  ْ P ُ *ِX ‫ل‬ ُ <ُg5َ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ ُW?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ا‬ ْ8Aَ ‫ َو‬Wُ Cَ E /Œ ِ Aُ 3َ?Xَ Wُ ?/C‫ ا‬zِ 0ِ cْ 5َ ْ8Aَ ‫ل‬ ُ <ُg5َ >/ .ُ Wُ ?ُ‫ ُه َ< َأ ْه‬3َG:ِ Wِ Bْ ?َM َ ‫ي‬ ِ ْ0cَ Cْ ‫ ا‬8 َ@ َ1 ْ ‫ َوَأ‬Wِ ?/C‫ب ا‬ ُ 3َe‫¬ ِآ‬ ِ 5ِ0d َ Cْ ‫ق ا‬ َ َ0f ْ ‫ن َأ‬ / ‫ ِإ‬Wُ Cَ ‫ي‬ َ ‫ ِد‬3َ‫ ه‬3َ?Xَ Wُ ?ْ ?ِŒ ْ 5ُ [ٍ M َ ْ0:ِ E L ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E L ‫ َو ُآ‬3َcRُ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ ا‬IL ˆ َ ‫ َو‬0ٍ G/ d َ Aُ ‫ي‬ ُ ْ0‫َه‬ 8 ِ Bْ Rَ 3َc‫ ُ[ َآ‬M َ 3/@C‫ وَا‬3َY‫ َأ‬b ُ ‚ْ Oِ :ُ ‫ل‬ ُ <ُg5َ >/ ُ. ‫ ِر‬3/,C‫ِ* ا‬X [ٍ Cَ3َ? َ E L ‫ ٌ[ َو ُآ‬Cَ3َ? َ 0/ eَ ˆ ْ ‫ وَا‬Wُ Rُ ْ/ .ُ ْ>‫ ُآ‬3/@Aَ ْ>`ُ d َ F/ f َ ‫ل‬ ُ <ُg5َ „ ٍ Bْ a َ Iُ 5ِUYَ Wُ Y/ {َ‫ َآ‬Wُ Fُ Œ َ « َ VَCْ‫ َأو‬3َY‫* َوَأ‬ / ?َM َ ْ‫* َأو‬ / Cَ…ِXَ 3ًM3َB َ ْ‫ َأو‬3ً,5ْ ‫ك َد‬ َ Iَ Rَ ْ8Aَ ‫ َو‬Wِ ?ِ‫ِ?َ{ ْه‬Xَ 3ًC3َA 8 َ Bِ,Aِ ْ­Gُ Cْ 3ِ: Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Utbah Ibn ‘Abd Allâh, ia berkata: Telah bercerita kepada kami Ibn al-Mubârak, dari Sufyân dari Ja’far Ibn Muhammad dari ayahnya dari Jâbir Ibn ‘Abd Allah ia berkata: Rasûl Allâh saw bersada di dalam khutbahnya: beliau memuji Allâh dengan sifat yang dimiliki-Nya, kemudian bersada: “Barang siapa yang telah ditunjukkan oleh Allâh, maka tidak ada orang yang bisa menyesatkannya dan barang siapa yang telah disesatkan oleh Allâh maka tidak ada orang yang bisa menunjukkannya, sesungguhnya sebaik-baiknya al-hadîts (pembicaraan) adalah kitab Allâh (Al-Qur’an) dan sebaikbaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan sejelekjeleknya perkara adalah diada-adakannya. Dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, kemudian bersada: saya diutus bersama 15

Al-Turmudzî, Sunan Al-Turmudzî, Juz IV, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), 308.

23

dengan (masa) seperti keduanya ini. Dan ketika menyebut al-sa’ah maka kedua pipinya memerah, dan suaranya keras dan sangat marah. Seakan-akan ia adalah orang yang menakut-nakuti akan datangnya pasukan musuh dan merubah mereka setiap saat pagi atau sore, kemudian bersada: Barang siapa yang telah meningalkan harta maka untuk keluarganya dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau keluarga dan anak yang miskin maka kepada saya kembalinya dan saya adalah orang yang utama dibanding orang-orang yang mukmin.16 5) Hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah

3َ,.َ 0/ 1 َ * L gِ ‡ ْ Aَ 0x C‫ن ا‬ َ ‫ َذ ْآ<َا‬8 ِ :ْ Iِ Bِ‡:َ 8 ِ :ْ 0َ Gَ 1 ْ ‫ َأ‬8 ُ :ْ Wِ ?/C‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3,َ .َ 0/ 1 َ *ِ:‫ َأ‬8 ُ :ْ VَBd ْ 5َ *ِ,.َ 0/ 1 َ ‫ ِء‬3َ?Oَ Cْ ‫ ا‬8 ُ :ْ Wِ ?/C‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3َ,.َ 0/ 1 َ >ٍ ?ِ@ ْ Aُ 8 ُ :ْ 0ُ BِC<َ Cْ ‫ا‬ ‫ل‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,BِX ‫ َم‬3َ4 ‫ل‬ ُ <ُg5َ [َ 5َ ‫ ِر‬3َ\ 8 َ :ْ ‫ض‬ َ 3َ:ْIOِ Cْ ‫ ا‬b ُ Oْ Gِ \ َ ‫ل‬ َ 3َ4 ‫ع‬ ِ 3َGُ Cْ ‫ا‬ [ً iَ Bِ?:َ [ً j َM ِ ْ ذَا‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ا‬ Wِ ?/C‫ل ا‬ َ <ُ\‫ َر‬3َ5 E َ BِgXَ ‫ن‬ ُ <ُBOُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْbXَ ‫ب َو َذ َر‬ ُ <ُ?gُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْb?َa ِ ‫َو‬ Wِ ?/C‫<َى ا‬gْ eَ :ِ ْ>`ُ Bْ ?َM َ ‫ل‬ َ 3َgXَ 0ٍ cْ Oَ :ِ 3َ,Bْ Cَ‫ْ ِإ‬0cَ M ْ 3َX ‫ع‬ ٍ ‫د‬x <َ Aُ [َ j َM ِ ْ`ُ Bْ ?َOَ Xَ ‫ًا‬05ِ0ˆ َ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ت‬ ِ 3َ.0َ d ْ Gُ Cْ ‫< َر ا‬Aُ {ُCْ ‫ ُآ>ْ وَا‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Abd Allâh Ibn Ahmad Ibn Basyîr Ibn Dzakwân al- Damasyqî, telah bercerita kepada kami al-Wâlid Ibn Muslim, telah bercerita kepada kami ‘Abd Allâh Ibn al-‘Alâ (yakni Ibn Zabr), telah bercerita kepada saya Yahya Ibn Muthâ‘, ia berkata: Saya mendengar al‘Irbâdl Ibn Sâriyah berkata: Pada suatu hari Rasûl Allâh saw berdiri bersama kami, kemudian dikatakan wahai Rasûl Allâh semoga engkau memberi nasehat kepada kami. Rasûl saw bersada: Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allâh; patuh dan taat kepada pemimpin, walaupun seorang Habasyî yang memerintah kalian. Dan kalian akan melihat perselisihan yang sangat sesudahku. Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah Khulafâ al-Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Gigitlah dengan gigi geraham dan takut kalian 16

Al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâî, Jilid II, Juz IV (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), 185-186.

24

kepada perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.17 6) Hadîts riwayat Imâm al-Dârimî a) Hadîts riwayat Imâm al-Dârimî (1)

8 ُ :ْ 0ُ Cِ3P َ *ِ,.َ 0/ 1 َ 0َ 5ِ65َ 8 ُ :ْ ‫<ْ ُر‬.َ 3YIFP‫ ٍ> أ‬f ِ 3َM <ُ:‫ َأ‬3YIFP‫أ‬ [َ 5َ ‫ ِر‬3َ\ 8 ِ :ْ ‫ض‬ ِ 3َ:ْIM ِ ْ8M َ ‫ٍو‬IGْ M َ 8 ِ :ْ 8 ِ Gَ 1 ْ I/ C‫ ا‬0ِ Fْ M َ ْ8M َ ‫ن‬ َ ‫َا‬0Oْ Aَ Iِ J ْ Šَ Cْ ‫ َة ا‬3َ?f َ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ ِW?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,Cَ V/?f َ ‫ل‬ َ 3َ4 3َc,ْ Aِ ْb?َa ِ ‫ن َو َو‬ ُ <ُBOُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْbXَ ‫ ً[ َذ َر‬iَ Bِ?:َ [ً j َM ِ ْ َو‬/ .ُ 3َ,f ِ ْ‫َ{و‬Xَ ‫ع‬ ٍ ‫د‬x <َ Aُ [ُ j َM ِ ْ`ُ Bِf‫ل أُو‬ َ 3َgXَ ‫ا‬Iً Bِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ ‫َى ا‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ :َ ْ>`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ 3†B‡ ِ Fَ 1 َ ‫<ا‬LŒM َ 8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ا‬8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ َ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ ْ>`ُ Bْ ?َOَ Xَ ‫ ٌ[ و‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ت‬ ِ 3َ.0َ d ْ Gُ Cْ ‫ ُآ>ْ وَا‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ ًة َوِإ‬I/ Aَ >ٍ f ِ 3َM <ُ:‫ل َأ‬ َ 3َ4 [ٌ Cَ3َ? َ Artinya: Telah bercerita kepada kami Abû ‘Âshim, saya adalah Tsawr Ibn Yazîd, telah bercerita kepada saya ‘Abd alRahmân Ibn ‘Amr dari ‘Irbâdl Ibn Sâriyah Ia berkata Rasûl Allah saw shalât subuh bersama kami, kemudian beliau memberi nasehat yang sangat yang karenanya mata mengucurkan air mata dan karenanya hati bergetar, maka seseorang berkata: Wahai Rasûl Allâh sepertinya nasehat itu adalah nasehat perpisahan, maka berilah nasehat kepada kami, lalu Rasûl bersada: saya washiyat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allâh, patuh dan taat kepada pemimpin, walaupun hamba Habasyî (yang memerintah kalian). Sesungguhnya orang yang hidup diantara kalian sesudahku akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah Khulafâ al-Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Gigitlah dengan gigi geraham dan 17

Al-Qazwînî, Sunan, Juz I, 28- 29.

25

takutlah kalian mengada-adakan perkara sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Abû ‘Ăshim sekali lagi berkata: takutlah kalian mengadaadakan perkara, sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.18 b) Hadîts riwayat Imâm al-Dârimî (2)

>ٍ Bْ ?َ\ ُ 8 ُ :ْ VَBd ْ 5َ 3َ,.َ 0/ 1 َ ± ٍ ?َP َ *ِ:‫ َأ‬8 ِ :ْ 0َ Gَ 1 ْ ‫ َأ‬8 ُ :ْ 0ُ G/ d َ Aُ 3YIFP‫أ‬ Wِ ?/C‫ ا‬0ِ Fْ M َ 8 ِ :ْ Iِ :ِ 3َa ْ8M َ Wِ Bِ:‫ْ َأ‬8M َ 0ٍ G/ َdAُ 8 ُ :ْ Iُ Šَ Oْ a َ *ِ,.َ 0/ 1 َ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,َF َP َ ‫ل‬ َ 3َ4 ‫ي‬ x ‫ ِر‬3َ²Yْ {َCْ ‫ا‬ 0ٍ G/ d َ Aُ ‫ي‬ ُ ْ0‫ي َه‬ ِ ْ0cَ Cْ ‫ ا‬E َŒ َ Xْ ‫ن َأ‬ / ‫ل ِإ‬ َ 3َ4 >/ .ُ Wِ Bْ ?َM َ Vَ,.ْ ‫ َوَأ‬Wَ ?/C‫ ا‬0َ Gِ d َ Xَ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ َو ُآ‬3َcRُ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ ا‬I/ ˆ َ ‫?>َ َو‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ [ٌ Cَ3َ? َ Artinya: Telah bercerita kepada kami Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Khalaf, telah bercerita kepada kami Yahyâ Ibn Salîm, telah bercerita kepada kami Ja‘far Ibn Muhammad dari ayahnya dari Jâbir Ibn ‘Abd Allâh alAnshârî ia berkata: Rasûl Allâh berkhutbah kepada kami lalau memuji Allâh, kemudian bersada: Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan sejelek-jeleknya perkara adalah diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.19 7) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal a) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal (1)

‫ل‬ َ 3َ4 Iٍ :ِ 3َa ْ8M َ Wِ Bِ:‫ْ َأ‬8M َ ٌIŠَ Oْ a َ 3َ,.َ 0/ 1 َ ‫ ٍم‬3/?\ َ 8 ُ :ْ ª ُ Oَ ² ْ Aُ 3َ,.َ 0/ 1 َ Vَ,.ْ ‫ َوَأ‬Wَ ?/C‫ ا‬0َ Gِ d َ Xَ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,Fَ  َP َ ¬ ِ 5ِ0d َ Cْ ‫ق ا‬ َ 0َ f ْ ‫ن َأ‬ / …ِXَ 0ُ Oْ :َ 3/A‫ل َأ‬ َ 3َ4 >/ .ُ ٌE‫ َأ ْه‬Wُ Cَ <َ ‫ ُه‬3َG:ِ Wِ Bْ ?َM َ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ ا‬I/ ˆ َ ‫ َو‬0ٍ G/ d َ Aُ ‫ي‬ ُ ْ0‫ي َه‬ ِ ْ0cَ Cْ ‫ ا‬E َŒ َ Xْ ‫ن َأ‬ / ‫ َوِإ‬Wِ ?/C‫ب ا‬ ُ 3َe‫ِآ‬ zُ 3َe,َ a ْ ‫ َو‬IL Gَ d ْ Rَ ‫ َو‬Wُ Rَ ْ/ .ُ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ َو ُآ‬3َcRُ 3َ.0َ d ْ Aُ 18 19

Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 44-45. Ibid., 69.

26

‫ل‬ ُ <ُg5َ >/ .ُ ‫ل‬ َ 3َ4 „ ٍ Bْ a َ ‫ ُر‬Uِ ,ْ Aُ Wُ Y/ {َ‫ َ[ َآ‬M َ 3/@C‫ ا‬Iَ ‫ ِإذَا َذ َآ‬Wُ Fُ Œ َ « َ 0L eَ ‡ ْ 5َ ‫َو‬ Wِ Bْ Oَ Fُ f ْ {ُ:ِ ‫ َر‬3َˆ‫َا َوَأ‬U`َ ‫ ُ[ َه‬M َ 3/@C‫ وَا‬3َY‫ َأ‬b ُ ‚ْ Oِ :ُ [ُ M َ 3/@C‫ ُ`>ْ ا‬eْ Rَ ‫َأ‬ 3ًC3َA ‫ك‬ َ Iَ Rَ ْ8Aَ ْ>`ُ eْ @ / Aَ ‫ ُ[ َو‬M َ 3/@C‫ ُ`>ْ ا‬eْ d َ F/ f َ Vَ\ ْ <ُ Cْ ‫ ِ[ وَا‬:َ 3/F@ / C‫ا‬ *ِ,Oْ 5َ ‫ع‬ ُ 3َBŒ / C‫* َوا‬ / ?َM َ ‫* َو‬ / Cَ…ِXَ 3ًM3َB َ ْ‫ َأو‬3ً,5ْ ‫ك َد‬ َ Iَ Rَ ْ8Aَ ‫ َو‬Wِ ?ِ‫ِ?َ{ ْه‬Xَ 8 َ Bِ‫آ‬3َ@Gَ Cْ ‫ ا‬zُ 0َ Cَ‫َو‬ Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Abd Allâh telah bercerita kepada saya Mush‘ab Ibn Salâm telah bercerita kepada kami Ja’far dari ayahnya dari Jâbir berkata: Rasûl Allâh khutbah kepada kami, maka beliau memuji Allâh dengan perkara yang dimilikinya kemudian bersabda: Adapun sesudah (membaca hamda Allâh) sesungguhnya sebenar-benarnya ucapan (al-hadîts) adalah kitâb Allâh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan sejelek-jeleknya perkara adalah mengadaadakannya dan setiap bid’ah adalah sesat. Kemudian meninggi suaranya dan memerah kedua pipinya dan sangat marah, ketika menyebut al-sa’ah seakan-akan beliau adalah orang yang menakut-nakuti pasukan. Jâbir berkata, kemudian Rasûl Allâh bersabda: Saya diutus bersama dengan masa seperti ini dan ia berisyârah dengan kedua jemarinya yaitu jari telunjuk dan jari tengah, seakan-akan beliau seperti orang yang menaut-nakuti akan datangnya musuh. Barang siapa yang meninggalkan harta maka untuk keluarganya dan barang siapa yang meninggalkan hutang dan anaknya yang miskin, maka kembali kepada saya. Sedangkan kalimat al-dlayyâ’ yang dimaksud adalah anaknya yang miskin. 20 b) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal (2)

‫ل‬ َ 3َ4 Iٍ :ِ 3َa ْ8M َ Wِ Bِ:‫ْ َأ‬8M َ Iٍ Šَ Oْ a َ ْ8M َ ‫ن‬ َ 3َBŠْ \ ُ ْ8M َ ٌ€Bِ‫ َوآ‬3َ,.َ 0/ 1 َ 0ُ Gَ d ْ Bَ Xَ ª ُ  ُ‹ ْ Bَ Xَ ‫ُ< ُم‬g5َ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ن َر‬ َ 3َ‫آ‬ E /Œ ِ Aُ 3َ?Xَ Wُ ?/C‫ ا‬zِ 0ِ cْ 5َ ْ8Aَ ‫ل‬ ُ <ُg5َ ‫ َو‬Wُ ?ُ‫ ُه َ< أَ ْه‬3َG:ِ Wِ Bْ ?َM َ *ِ,‚ْ 5ُ ‫ َو‬Wَ ?/C‫ا‬ Iَ Bْ P َ ‫ َو‬Wِ ?/C‫ب ا‬ ُ 3َe‫¬ ِآ‬ ِ 5ِ0d َ Cْ ‫ ا‬Iَ Bْ P َ ‫ن‬ / ‫ ِإ‬Wُ َC ‫ي‬ َ ‫ ِد‬3َ‫ ه‬3َ?Xَ ْE?ِŒ ْ 5ُ ْ8Aَ ‫ َو‬Wُ Cَ 20

311.

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Jilid III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), 310-

27

‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ ا‬I/ ˆ َ ‫? َ> َو‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ ٍ0G/ d َ Aُ ‫ي‬ ُ ْ0‫ي َه‬ ِ ْ0cَ Cْ ‫ا‬ ْ‫ت‬I/ Gَ 1 ْ ‫ َ[ ا‬M َ 3/@C‫ ا‬Iَ ‫ن ِإذَا َذ َآ‬ َ 3َ‫ ٌ[ َوآ‬M َ ْ0:ِ ٍ[.َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ َو ُآ‬3َcRُ 3َ.0َ d ْ Aُ ْ>`ُ d َ F/ f َ „ ٍ Bْ a َ ‫ ُر‬Uِ ,ْ Aُ Wُ Y/ {َ‫ َآ‬Wُ Fُ Œ َ « َ 0/ eَ ْˆ‫ وَا‬Wُ Rُ ْ‫ ُآ‬3/@Aَ 8 َ Bِ,Aِ ْ­Gُ Cْ ‫* ا‬ L Cِ‫ َو‬3َY‫* َوَأ‬ / Cَ‫َوِإ‬ Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Abd Allâh telah bercerita kepada saya ayah saya, telah bercerita kepada kami dari Sufyân dari Ja’far dari ayahnya dari Jâbir ia berkata rasûl Allâh berdiri dan berkhutbah seraya memuji Allâh Allâh dengan perkara (sifat) yang dimilikinya dan beliau bersabda: “Barang siapa yang telah ditunjukkan oleh Allâh, maka tidak ada orang yang bisa menyesatkannya dan barang siapa yang telah disesatkan oleh Allah maka tidak ada orang yang bisa menunjukkannya, sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan (al-hadîts) adalah kitab Allâh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan sejelek-jeleknya perkara adalah yang diada-adakan. Dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan ketika rasûl menyebut al-sâ‘ah maka kedua pipinya memerah, dan suaranya keras dan sangat marah. Seakan-akan beliau adalah orang yang menakutnakuti datangnya pasuka musuh yang bisa datang pada kalian setiap saat pagi atau sore (dan merubah kalian). Barang siapa yang telah meningalkan harta maka untuk keluarganya dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anaknya yang miskin maka kembali kepada saya. Dan saya adalah wali orang-orang yang mukmin.21 c) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal (3)

‫<ْ ٍر‬.َ ْ8M َ 0ٍ ?َ‹ ْ Aَ 8 ُ :ْ ‫ك‬ ُ 3/dŒ / C‫ ا‬3َ,.َ 0/ 1 َ ْV:ِ ‫ َأ‬V,ِ .َ 0/ 1 َ — ِ ‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3,َ .َ 0/ 1 َ ْ8M َ * x Gِ ?َ@ L C‫ٍو ا‬IGْ M َ 8 ِ :ْ 8 ِ Gَ 1 ْ I/ C‫ ا‬0ِ Fْ M َ ْ8M َ ‫ن‬ َ ‫َا‬0Oْ Aَ 8 ِ :ْ 0ِ Cِ3P َ ْ8M َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,Cَ V/?f َ ‫ل‬ َ 3َ4 [َ 5َ ‫ ِر‬3َ\ 8 ِ :ْ ‫ض‬ ِ 3َ:ْIM ِ 21

Ibid., 371.

28

ْbXَ ‫ ً[ َذ َر‬iَ Bِ?:َ [ً j َM ِ ْ َأ‬/ .ُ Iَ J ْ Šَ Cْ ‫? َ> ا‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wِ ?/C‫ل ا‬ َ <ُ\‫ َر‬3َ5 ‫ُ<ا‬C3َ4 ْ‫ َأو‬3َ,?ْ 4ُ ‫ب‬ ُ <ُ?gُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْb?َa ِ ‫ َو َو‬8 ُ Bُ M ْ {َCْ ‫ ا‬3َcCَ Wِ ?/C‫<َى ا‬gْ eَ :ِ ْ>`ُ Bِf‫ل أُو‬ َ 3َ4 3َ,f ِ ْ‫َ{و‬Xَ ‫ع‬ ٍ ‫د‬x <َ Aُ [ُ j َM ِ ْ`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ 3†B‡ ِ Fَ 1 َ ‫ًا‬0Fْ M َ ‫ن‬ َ 3َ‫ ِ[ َوِإنْ آ‬M َ 3/C‫ ِ€ وَا‬Gْ @ / C‫وَا‬ ‫ ِء‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ ْ>`ُ Bْ ?َOَ Xَ ‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ ‫ِي ا‬0Oْ :َ ‫َى‬I5َ ْ>‫ ُآ‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ ‫ َو‬8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ا‬8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ا‬ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ن ُآ‬ / ‫ ٌ[ َوِإ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫َو‬ Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Abd Allâh telah bercerita kepada saya ayah saya, telah bercerita kepada kami dari al-Dlahâk Ibn Makhlad, dari Tsawr, dari Khâlid Ibn Ma’dan dari ‘Abd al- Rahman Ibn ‘Amr lal- Sulamî dari ‘Irbâdl Ibn Sâriyah ia berkata: Rasûl Allâh shalât subuh bersama kami kemudian menghadap kepada kami lalu memberi nasehat dengan nasehat yang sangat, yang karenanya mata mengeluarkan / mengucurkan air mata dan karenanya hati bergetar, kemudian kamu berkata atau mereka berkata: Wahai Rasûl Allâh seakan-akan sesungguhnya nasehat ini adalah nasehat perpisahan maka berwashiyâtlah kepada kami. Lalu Rasûl bersabda: Saya berwashiyat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allâh, patuh dan taat (kepadanya) walaupun hamba Habasyî (yang memerintah kalian), maka sesungguhnya orang yang hidup sesudahku diantara kalian akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafâ al-Râsyidîn yang telah mendapat petunjuk. Dan gigitlah ia dengan gigi geraham dan takutlah kepada perkara yang diadaadakan perkara yang diada-adakan) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.22 d) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal (4)

‫<ْ ُر‬.َ 3َ,.َ 0/ 1 َ >ٍ ?ِ@ ْ Aُ 8 ُ :ْ 0ُ BِC<َ Cْ ‫ ا‬3َ,.َ 0/ 1 َ *:ِ ‫ َأ‬V,ِ .َ 0/ 1 َ — ِ ‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3,َ .َ 0/ 1 َ 8 ُ :ْ 8 ِ Gَ 1 ْ I/ C‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3َ,.َ 0/ 1 َ ‫ل‬ َ 3َ4 ‫ن‬ َ ‫َا‬0Oْ Aَ ُ8:ْ 0ُ Cِ3َP 3َ,.َ 0/ 1 َ 0َ 5ِ65َ 8 ُ :ْ 22

Ibn Hanbal, Musnad, Juz VI, 83.

29

8 َ :ْ ‫ض‬ َ 3َ:ْIOِ Cْ ‫ ا‬3َ,Bْ Rَ ‫ َأ‬3َC3َ4 Iٍ J ْ1 ُ 8 ُ :ْ Iُ ْJ1 ُ ‫* َو‬ L Gِ ?َ@ L C‫ٍو ا‬IGْ M َ ‫ك‬ َ ْ`ُ ?ُِG1 ْ ‫ َأ‬3َA 0ُ a ِ ‫ َأ‬3َC b َ ?ْ 4ُ ْ>cُ ?َGِ d ْ eَ Cِ ‫ل‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,:ِ V/?f َ ٌ‫ض‬3َ:ْIM ِ ‫ل‬ َ 3َgXَ 8 َ Bِ@Fِ eَ gْ ُA‫ َو‬8 َ 5ِ0]ِ 3َM‫ َو‬8 َ 5ِI]ِ ‫زَا‬ 3َ,Bْ ?َM َ E َ Fَ 4ْ ‫> َأ‬/ .ُ ‫<ْ ٍم‬5َ ‫ت‬ َ ‫ ذَا‬³ َ Fْ ² L C‫? َ> ا‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ا‬ 3َc,ْ Aِ ْb?َa ِ ‫ن َو َو‬ ُ <ُBOُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْbXَ ‫َ ً[ َذ َر‬iBِ?:َ [ً j َM ِ ْ`ُ Bِf‫ل أُو‬ َ 3َgXَ 3َ,Bْ Cَ‫ ِإ‬0ُ cَ Oْ Rَ ‫ذَا‬3َGXَ ‫َى‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ :َ ْ>`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ 3†B‡ ِ Fَ 1 َ ‫ًا‬0Fْ M َ ‫ن‬ َ 3َ‫َوِإنْ آ‬ 8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ا‬8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ ْ>`ُ Bْ ?َOَ Xَ ‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ‫ا‬ ‫ت‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ ‫ َو‬3َc:ِ ‫@`ُ<ا‬ / Gَ eَ Xَ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ا‬ Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Abd Allâh telah bercerita kepada saya ayah saya, telah bercerita kepada kami alWalîd Ibn Muslim, telah bercerita kepada kami Tsawr Ibn Yazîd, telah bercerita kepada kami Khâlid Ibn Ma’dân ia berkata kepada kami , dari ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Amr al- Sulamî dari ‘Irbâdl Ibn Sâriyah Dia adalah termasuk orang yang turun tentangnya (dan bukan orang-orang yang jika datang kepadamu supaya kamu menanggung mereka,” maka saya berkata: “Saya tidak menanggung kamu semua atasnya). Ia berkata pada suatu hari Rasûl Allâh telah memberi nasehat dengan nasehat yang sangat, yang karenanya mata mengucurkan air mata dan karenanya hati bergetar, kemudian seorang laki-laki berkata: Sesungguhnya ini adalah nasehat perpisahan, maka dengan apa kamu berpesan kepada kami wahai Rasûl Allâh? Rasûl bersabda: “Saya washiyat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat (kepada pemimpin) walaupun hamba Habsyî (yang memerintah kalian) sesungguhnya barang siapa yang hidup (sesudahku) dari kalian maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Berpeganglah pada sunnahku dan sunnah khulafa al-rasyidin yang mendapat petunjuk dan gigitlah dengan gigi geraham. Takutlah kalian

30

mengada-adakan perkara. Sesungguhnya perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.23

23

Ibid.

31

b. Skema Sanad Hadîts 1) Hadîts Riwayat Imâm Muslim Hadîts riwayat Imâm Muslim diawali dengan kata V,.01 yang disandarkan kepada Muhammad Ibn Mutsannâ. Adapun urutan periwayatan dan sanad hadîts tersebut adalah: Urutan Sebagai Periwayat 1 Jâbir Ibn ‘Abd Allâh Periwayat I 2 Muhammad Periwayat II 3 Ja’far Ibn Muhammad Periwayat III 4 ‘Abd al- Wahhâb Ibn Periwayat IV ‘Abd al- Majîd 5 Muhammad Ibn alPeriwayat V Mutsannâ 6 Imâm Muslim Periwayat VI Berikut ini skema sanad Imâm Muslim: No

Nama Periwayat

Urutan Sebagai Sanad Sanad V Sanad IV Sanad III Sanad II Sanad I Mukharij al- Hadîts

32

Gambar 1 Skema sanad hadîts riwayat Imâm Muslim tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat )

0O: 3A‫ ا‬:>?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ ´C‫¬ ا‬50dC‫ ا‬IBP ‫ن‬3X ‫<ل‬g5 —‫ ا‬0FM 8: I:3a 8M WB:‫أ‬ 8M 0GdA 8: IŠOa 8M 0BJGC‫ ا‬0FM 8: ‫ب‬3‫<ه‬C‫ ا‬0FM 3,.01 V,‚GC‫ ا‬8: 0GdA V,.01 >?@GC‫ا‬ 2) Hadîts riwayat Imâm Abû Dâwud Hadîts riwayat Imâm Abû Dâwud di awali dengan kata 3,.01 yang disandarkan Ahmad Ibn Hanbal. Adapun urutan periwayat dan sanad hadîts riwayat Hadîts riwayat Abû Dâwud adalah sebagai berikut:

No 1 2

Nama Periwayat ‘Irbâdl Ibn Sâriyah ‘Abd al-Rahman Ibn Amr al Sulamî

Urutan Sebagai Periwayat Periwayat I Periwayat II

Urutan Sebagai Sanad Sanad VI Sanad V

33

dan Hujr Ibn Hujur Khâlid Ibn Ma’dan Periwayat III Sanad IV Tsawr Ibn Yazîd Periwayat IV Sanad III al-Wâlid Ibn Periwayat V Sanad II Muslim 6 Ahmad Ibn Hanbal Periwayat VI Sanad I 7 Imâm Abû Dâwud Periwayat VII Mukharrij Hadîts Berikut ini skema sanad hadîts Imâm Abû Dâwud tentang bid’ah Gambar II Skema sanad hadîts riwayat Imâm Abû Dâwud tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat ) 3 4 5

—‫<ى ا‬ge: >`Bf‫ او‬:‫ل‬3gX >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ ...´C‫[ ا‬M3C‫€ وا‬G@C‫وا‬ ‫ل‬34

[5‫ر‬3\ 8: ‫ض‬3:IOC‫ا‬ ‫ل‬34

IJ1 8: IJ1‫* و‬G?@C‫و ا‬IGM 8: 8G1IC‫ ا‬0FM µ34

‫ان‬0OA 8: 0C3P V,.01

0565 8: ‫<ر‬. 3,.01

>?@A 8: 0BC
EF,1 8: 0G1‫ا‬ 3,.01

‫ود‬١‫< د‬:‫م ا‬3A‫ا‬ 3) Hadîts riwayat Imâm al-Turmudzî Hadîts riwayat Imâm al-Turmudzî di awali dengan kata 3,.01 yang disandarkan kepada ‘Alî Ibn Hujjr. Adapun urutan sanad hadîts riwayat al-Turmudzî tersebut adalah:

34

No 1 2 3 4 5 6 7

Nama Periwayat

Urutan Sebagai Urutan Sebagai Periwayat Sanad ‘Irbâdl Ibn Sâriyah Periwayat I Sanad VI ‘Abd Rahmân Ibn Periwayat II Sanad V Amr al Sulamî Khâlid Ibn Periwayat III Sanad IV Ma’dân Bujayr Ibn Sa’d Periwayat IV Sanad III Baqiyyah Ibn al- Periwayat V Sanad II Wâlid ‘Alî Ibn Hujjr Periwayat VI Sanad I Imâm al-Turmudzî Periwayat VII Mukharrij Hadîts Berikut ini skema sanad hadîts Imâm al-Turmudzî tentang setiap

bid’ah itu dlalalâh (sesat )

35

Gambar III Skema sanad hadîts riwayat Imâm al-Turmudzî tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat )

€G@C‫<ى ا— وا‬ge: >`Bf‫ او‬:‫ل‬3gX >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ ...´C‫[ ا‬M3C‫وا‬ ‫ل‬34

[5‫ر‬3\ 8: ‫ض‬3:IOC‫ا‬ 8M

*G?@C‫و ا‬IGM 8: 8G1IC‫ ا‬0FM 8M ‫ان‬0OA 8: 0C3P 8M 0O\ 8: IBd: 8M 0BC
3,.01 ‫ى‬UA IeC‫م ا‬3A‫ا‬ 4) Hadîts riwayat al- Nasẩî Hadîts riwayat al- Nasẩî di awali dengan kata 3YIFP‫ أ‬yang disandarkan kepada ‘Utbah Ibn ‘Abd Allâh. Adapun urutan periwayat dan sanad hadîts riwayat tersebut adalah sebagai berikut:

No

Nama Periwayat

Urutan Sebagai Periwayat

Urutan Sebagai Sanad

36

1 2 3 4 5 6 7

Jabir Ibn ‘Abd Periwayat I Sanad VI Allâh Muhammad Periwayat II Sanad V Periwayat III Sanad IV Ja‘far Ibn Muhammad Sufyân Periwayat IV Sanad III Ibn al-Mubârak Periwayat V Sanad II ‘Utbah Ibn ‘Abd Periwayat VI Sanad I Allâh Imâm al- Nasẩ¸î Periwayat VII Mukharrij Hadîts Berikut ini skema sanad hadîts Imâm al- Nasâî tentang setiap

bid’ah itu dlalalâh (sesat ) Gambar IV Skema sanad hadîts riwayat Imâm al- Nasẩî tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat ) ...´C‫[ ا‬M3C‫€ وا‬G@C‫<ى ا— وا‬ge: >`Bf‫ او‬:‫ل‬3gX >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ ‫<ل‬g5 —‫ ا‬0FM 8:‫ ا‬I:3a ‫ل‬34 0GdA /WB:‫ا‬ 8M 0GdA 8:‫ ا‬IŠOa 8M ‫ن‬3BŠ\

8M ‫رك‬3FGC‫ ا‬8:‫ا‬

3Y{FY‫ ا‬:‫ل‬34 —‫ ا‬0FM 8: [FeM

3YIFP‫أ‬ V]3@,C‫م ا‬3A‫ا‬ 5) Hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah

37

Hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah di awali dengan kata

3,.01

yang disandarkan kepada ‘Abd Allâh Ibn Ahmad Ibn Basyîr Ibn Dzakwân al- Damasyqî.

Adapun urutan periwayat dan sanad hadîts

tersebut adalah sebagai berikut: No 1 2 3 4 5

6

Nama Periwayat al- ‘Irbâdl Ibn Sâriyah Yahya Ibn Muthâ‘ ‘Abd Allâh Ibn al‘Alâ (yakni Ibn Zabr) al-Wâlid Ibn Muslim ‘Abd Allâh Ibn Ahmad Ibn Basyîr Ibn Dzakwân alDamasyqî Imâm Ibn Mâjah

Urutan Sebagai Periwayat Periwayat I

Urutan Sebagai Sanad Sanad V

Periwayat II Periwayat III

Sanad IV Sanad III

Periwayat IV

Sanad II

Periwayat V

Sanad I

Periwayat VI

Mukharrij Hadîts

Berikut ini skema sanad hadîts Imâm al- Nasẩî tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat )

38

Gambar V Skema sanad hadîts riwayat Imâm al- Nasẩî tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat )

€G@C‫<ى ا— وا‬ge: >`Bf‫ او‬:‫ل‬3gX >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ ...´C‫[ ا‬M3C‫وا‬ ‫ل‬3gX

[5‫ر‬3\ 8: ‫ض‬3:IOC‫ا‬ bOG\ :‫ل‬34

‫ع‬3GC‫* ا‬:‫ أ‬8: VBd5 V,.01

‫©ء‬OC‫ ا‬8: —‫ ا‬0FM 3,.01

>?@A 8: 0BC
*g‡A0C‫ ذآ<ان ا‬8: IB‡: 8: 0G1‫ أ‬8: —‫ ا‬0FM 3,.01

[a3A 8:‫م ا‬3A‫ا‬

6) Hadîts riwayat Imâm al-Dârimî a) Hadîts riwayat Imâm al-Dârimî Hadîts riwayat Imâm al-Dârimî di awali dengan kata 3YIFP‫ أ‬yang disandarkan kepada Abû ‘Ashim.( Tsawr Ibn Yazîd). Adapun urutan periwayat dan sanad hadîts tersebut adalah sebagai berikut:

No

Nama Periwayat

Urutan Sebagai

Urutan Sebagai

39

1 2 3 4

5

Al- ‘Irbâdl Ibn Sâriyah ‘Abd al-Rahmân Khâlid Ibn Ma‘dân Tsawr Ibn Yazîd

Periwayat Periwayat I

Sanad Sanad V

Periwayat II Periwayat III

Sanad IV Sanad III

Periwayat IV

Sanad II

Abû Âshim Periwayat V Sanad I Imâm al-Dârimî Periwayat VI Mukharrij Hadîts Berikut ini skema sanad riwayat Imâm al-Dârimî tentang setiap

bid’ah itu dlalalâh (sesat) Gambar VI Skema sanad hadîts riwayat Imâm al-Dârimî tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat )

—‫<ى ا‬ge: >`Bf‫ او‬:‫ل‬3gX >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ ...´C‫[ ا‬M3C‫€ وا‬G@C‫وا‬ ‫ل‬34

[5‫ر‬3\ 8: ‫ض‬3:IM 8M

‫و‬IGM 8: 8G1IC‫ ا‬0FM 8M

‫ان‬0OA 8: 0C3P 3YIFP‫أ‬

0565 8: ‫<ر‬. ‫ ث‬3YIFP‫أ‬

>f3M <:‫أ‬ 3YIFP‫أ‬

VA‫ار‬0C‫م ا‬3A‫ا‬ b) Hadîts riwayat Imâm al-Dârimî (2) Hadîts riwayat Imâm al-Dârimî (2) di awali dengan kata 3YIFP‫ أ‬yang disandarkan kepada Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî

40

Khalaf. Adapun urutan periwayat dan sanad hadîts al-Dârimî adalah sebagai berikut: No 1 2 3 4 5 6

Nama Periwayat

Urutan Sebagai Periwayat Periwayat I

Urutan Sebagai Sanad Sanad IV

Jâbir Ibn ‘Abd Allâh al- Anshârî Muhammad Periwayat I Sanad IV Periwayat II Sanad III Ja’far Ibn Muhammad Yahyâ Ibn Salîm Periwayat III Sanad II Muhammad Ibn Periwayat IV Sanad I Ahmad Ibn Abî Khalaf Imâm al-Dârimî Periwayat V Mukharrij Hadîts Berikut ini skema sanad riwayat Imâm al-Dârimî (2) tentang

setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat)

41

Gambar VII Skema sanad hadîts riwayat Imâm al-Dârimî (2) tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat)

‫ى‬0A ‫ى‬0cC‫ ا‬EŒX‫ل ان ا‬34 >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ ...´C‫ ا‬0GdA ‫ل‬34 ‫رى‬3²Yµ‫ ا— ا‬0FM 8: I:3a 8M 0GdA 8M 0GdA 8: IŠOa V,.01 >B?\ 8: *d5 3,. ±?P V:‫ ا‬8: 0G1‫ ا‬8: 0GdA 3YIFP‫أ‬ VA‫ار‬0C‫م ا‬3A‫ا‬

42

Gambar VIII Skema sanad hadîts riwayat Imâm al-Dârimî tentang setiap setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat)

0GdA ‫ل‬34‫ى‬0A ‫ى‬0cC‫ ا‬EŒX‫ل ان ا‬34 >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ ...‫´ل‬C34‫ا‬ ‫رى‬3²Yµ‫ ا— ا‬0FM 8: I:3a 8M

8M 8M *,.01 3,.

0GdA 0GdA 8: IŠOa >B?\ 8: *d5

±?P V:‫ ا‬8: 0G1‫ ا‬8: 0GdA 3YIFP‫أ‬

‫و‬IGM 8: 8G1IC‫ ا‬0FM 0FM 8M 8M

‫ان‬0OA 8: 0C3P 0565 8: ‫<ر‬.

3YIFP‫أ‬ >f3M <:‫أ‬ 3YIFP‫أ‬ VA‫ار‬0C‫م ا‬3A‫ا‬

43

7) Hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal a) Hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal (1) Hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal di awali dengan kata 3,.01yang disandarkan kepada ‘Abd Allâh.

Adapun urutan

periwayat dan sanad hadîts tersebut adalah sebagai berikut:

No 1 2 3 4 5 6

Nama Periwayat Ja’far Ibn ‘Abd Allâh Muhammad Ja‘far Ibn Muhammad Mush‘ab Ibn Salâm Abîhî/ Ahmad Ibn Muhammad Ahmad Ibn Hanbal

Urutan Sebagai Periwayat Periwayat I

Urutan Sebagai Sanad Sanad IV

Periwayat I Periwayat II

Sanad IV Sanad III

Periwayat III

Sanad II

Periwayat IV

Sanad I

Periwayat V

Mukharrij Hadîts

44

Gambar IX Skema sanad hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat)

(¬50dC‫ق )ا‬0f‫ن ا‬3X 0O: 3A‫ل ا‬34 >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ ...´C‫ب ا— ا‬3e‫آ‬ ‫ل‬34 —‫ ا‬0FM 8: I:3a 8M 0GdA /WB:‫ا‬ 8M 0GdA 8: IŠOa

3,.01 ‫ \©م‬8: ªO²A 3,.01 0GdA 8: 0G1‫ ا‬/WB:‫ا‬ V,.01 —‫ ا‬0FM 3,.01 EF,1 8: 0G1‫ا‬

45

b) Hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal (2) Hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal di awali dengan kata 3,.01 yang disandarkan kepada ‘Abd Allâh.

Adapun urutan

periwayat dan sanad hadîts tersebut adalah sebagai berikut: No 1 2 3 4 5 6 7 8

Nama Periwayat Jâbir Ibn ‘Abd Allâh Muhammad Ja‘far Ibn Muhammad Sufyân Wakî‘ Abî /Ahmad Ibn Muhammad ‘Abd Allâh Ahmad Ibn Hanbal Berikut skema sanad

Urutan Sebagai Periwayat Periwayat I

Urutan Sebagai Sanad Sanad VII

Periwayat I Periwayat II

Sanad VI Sanad V

Periwayat III Periwayat IV Periwayat V

Sanad IV Sanad III Sanad II

Periwayat VI Sanad I Periwayat VII Mukharrij Hadîts hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal (2)

tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat

46

Gambar X Skema sanad hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat)

EŒA ©X —‫ ا‬0c5 8A ‫<ل‬g5 >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ .....´C‫ ا‬WC ‫<ل‬g5 I:3a 8M 0GdA 8M 0GdA 8: IŠOa 8M ‫ن‬3BŠ\ 8M €B‫وآ‬ 3,.01

0GdA 8: 0G1‫ ا‬/V:‫ا‬ V,.01 —‫ ا‬0FM 3,.01 EF,1 8: 0G1‫م ا‬3A‫ا‬

47

c) Hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal (3) Hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal di awali dengan kata 3,.01 yang disandarkan kepada ‘Abd Allâh.

Adapun urutan

periwayat dan sanad hadîts tersebut adalah sebagai berikut: No 1 2 3 4 5 6 7 8

Nama Periwayat ‘Irbâdl Ibn Sâriyah ‘Abd al- Rahmân Ibn ‘Amr alSulamî Khâlid Ibn Ma’dan Tsawr Al- Dlahâk Ibn Makhlad Ahmad Ibn Muhammad ‘Abd Allâh Ahmad Ibn Hanbal

Urutan Sebagai Periwayat Periwayat I Periwayat I

Urutan Sebagai Sanad Sanad VII Sanad VI

Periwayat II Periwayat III Periwayat IV

Sanad V Sanad IV Sanad III

Periwayat V

Sanad II

Periwayat VI Periwayat VII

Sanad I Mukharrij Hadîts

Berikut skema sanad hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal (3) tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat)

48

Gambar XI Skema sanad hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat)

€G@C‫< ا— وا‬ge: >`Bf‫ل او‬34 >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ ..[M3C‫وا‬ ‫ل‬34 [5‫ر‬3\ 8: ‫ض‬3:IM 8M *G?@C‫و ا‬IGM 8: 8G1IC‫ا‬ 8M ‫ان‬0OA 8: 0C3P 8M ‫<ر‬. 8M 0?‹A 8: ‫ك‬3dŒC‫ا‬ 3,.01 0GdA 8:‫ ا‬0G1‫ ا‬/V:‫ا‬ V,.01 —‫ ا‬0FM 3,.01 EF,1 8: 0G1‫م ا‬3A‫ا‬

d) Hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal (4) di awali dengan kata 3,.01 yang disandarkan kepada ‘Abd Allâh.

Adapun urutan

periwayat dan sanad hadîts tersebut adalah sebagai berikut:

49

No 1 2 3 4 5 6 7 8

Nama Periwayat Al- ‘Irbâdl Ibn Sâriyah ‘Abd al- Rahmân Ibn ‘Amr alSulamî Khâlid Ibn Ma’dân Tsawr Ibn Yazîd Al- Walîd Ibn Muslim Ahmad Ibn Muhammad ‘Abd Allâh Ahmad Ibn Hanbal

Urutan Sebagai Periwayat Periwayat I

Urutan Sebagai Sanad Sanad VII

Periwayat I

Sanad VI

Periwayat II

Sanad V

Periwayat III Periwayat IV

Sanad IV Sanad III

Periwayat V

Sanad II

Periwayat VI Periwayat VII

Sanad I Mukharrij Hadîts

Berikut skema sanad hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal (4) tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat)

50

Gambar XII Skema sanad hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal tentang setiap bid’ah itu dlalalâh (sesat)

—‫<ى ا‬ge: >`Bf‫ل او‬3gX >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ .....´C‫[ ا‬M3C‫€ وا‬G@C‫وا‬ ‫ل‬34 [5‫ر‬3\ 8: ‫ض‬3:IM 8M IJ1 8: IJ1 +VG?@C‫ وا‬IGM 8: 8G1IC‫ ا‬0FM 3,.01 :‫ل‬34 ‫ان‬0OA 8: 0C3P 3,.01 0565 8:‫<ر ا‬. 3,.01 >?@A 8: 0BC
51

Gambar XIII Skema sanad hadîts riwayat Ahmad Ibn Hanbal tentang setiap bid’ah itu sesat

€G@C‫< ا— وا‬ge: >`Bf‫ل او‬34 >?\ ‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ .....´C‫[ ا‬M3C‫وا‬ ‫ل‬34 ‫ل‬34 ‫ي‬I²Yµ‫ ا— ا‬0FM 8: I:3a 8M 8M

8M

3,.01 ‫ل‬34

0GdA 8: IŠOa 8M 3,. 8:‫ن ا‬3BŠ\ ªO²A 8M 0565 3,. €B‫وآ‬ 3,.

‫ل‬34 [5‫ر‬3\ 8: ‫ض‬3:IM ‫ل‬34 8M

8: IJ1 +‫و‬IGM 8: 8G1IC‫ ا‬0FM IJ1

0GdA 8M

‫ل‬34

8M

3,.01

‫ان‬0OA 8: 0C3P 8M

3,.01

0565 8:‫<ر ا‬. 8M

8: 0BC?@A 3,.01

‫ك‬3dŒC‫ا‬ 3,.01

*,.01

*,.01 0GdA 8: 0G1‫ا‬ *,.01

*,.01

3,.01

0GdA 8: 0G1‫ ا‬8: —‫ ا‬0FM 3,.01 3,.01

3,.01

EF,1 8: 0G1‫م ا‬3A‫ا‬ keseluruhan

52

Dari paparan di atas, tampak bahwa hadîts yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud tentang bid’ah mempunyai mempunyai syâhid yaitu Jâbir Ibn ‘Abd Allah al-Anshârî dalam riwayat Imam Ahmad

Ibn Hanbal (1, 2), Imâm

Muslim, Imâm al-Dârimî dan , Imâm al-Nasâ’î. Di samping mempunyai Syâhid, hadîts tersebut mempunyai Muttabî’ yang banyak yaitu Muhammad dalam riwayat Imâm Ibn Hanbal (1, 2), Imâm Muslim, Imâm al-Dârimî dan , Imâm al-Nasa’i. Selain Muhammad ‘Abd alRahmân Ibn Amr al-Sulamî dan Hujr Ibn Hujr dalam riwayat Imâm Ibn Hanbal (3, 4), Imâm al-Dârimî dan Imâm al-Turmudzî dan yang terakhir adalah Yahyâ Ibn al-Muthâ‘ dalam riwayat Imâm Ibn Mâjah. Mutba’ah yang yang terdapat dalam hadîts. Hadîts tersebut juga ada dua yaitu Mutba’ah tâmm24 yaitu ‘Abd al-Rahman dan Hujr Ibn Hujr dalam riwayat Ahmad Ibn Hanbal (3, 4), Imâm al-Dârimî (1) dan al-Turmudzî. Sedangkan yang lain yaitu Muhammad dalam riwayat Imâm Ibn Hanbal (1, 2), Imâm Muslim, Imâm al-Dârimî (1) dan , Imâm al-Nasâ`î dan Yahyâ Ibn al-Muthâ‘ dalam riwayat Imam Ibn Mâjah adalah Mutba’ah qashîr25.

24

Mahmûd Al-Thahân dalam kitab Taysîr Mushthalah Hadîtsnya menjelaskan Mutba’ah tâmm adalah jika bertemu dan berkumpulnya rawi dari permulaan isnad sampai akhir, sedangkan dalam Mushthalah Hadîtsnya Fatkhur Rahman ialah bila periwayat si muttabi’ mengikuti periwayatan guru mutba’ dari guru yang terdekat sampai guru yang terjauh. 25 Mutba’ah qashîr adalah bertemu dan berkumpulnya rawi dari tengah isnad, sedangkan dalam Mushthalah Haditsnya Fatkhur Rahman bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru yang terdekat tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sama sekali

53

Hadîts di atas dalam thabaqah 26pertama diriwayatkan oleh dua orang atau berstatus ‘aziz27 dan dalam thabaqah selanjutnya yaitu thabaqah ke dua dan ke tiga sampai akhir telah diriwayatkan oleh banyak periwayat atau berstatus masyhûr28. 3. Meneliti kulitas periwayat dan persambungan sanad Seperti yang sudah kami sebutkan dalam bab sebelumnya, dalam kegiatan penelitian sanad ini penulis menggunakan kitab Tahdzîb al-Tahdzîb dan Taqrîb al-Tahdzîb. Kemudian penelitian ini dimulai dari periwayat pertama yang kemudian diikuti periwayat kedua dan seterusnya sampai periwayat terakhir. Karena sanad hadîts yang akan diteliti berjumlah banyak, maka sanad yang penulis pilih adalah sanadnya Abû Dâwud yakni melalui Ahmad Ibn Hanbal. Bunyi riwayat hadîts berdasarkan sanad Abû Dâwud dari Ahmad Ibn Hanbal adalah sebagai berikut:

‫ل‬ َ 3َ4 0َ 5ِ65َ 8 ُ :ْ ‫<ْ ُر‬.َ 3َ,.َ 0/ 1 َ >ٍ ?ِ@ ْ Aُ 8 ُ :ْ 0ُ BِC<َ Cْ ‫ ا‬3َ,.َ 0/ 1 َ E ٍ Fَ ,ْ 1 َ 8 ُ :ْ 0ُ Gَ 1 ْ ‫ َأ‬3َ,.َ 0/ 1 َ * L Gِ ?َ@ L C‫ٍو ا‬IGْ M َ 8 ُ :ْ 8 ِ Gَ 1 ْ I/ C‫ ا‬0ُ Fْ M َ *ِ,.َ 0/ َ1 ‫ل‬ َ 3َ4 ‫ن‬ َ ‫َا‬0Oْ Aَ 8 ُ :ْ 0ُ Cِ3َP *ِ,.َ 0/ 1 َ 3َC‫ َو‬Wِ BِX ‫ل‬ َ 6َ Yَ ْ8G/ Aِ <َ ‫ َ[ َو ُه‬5َ ‫ ِر‬3َ\ 8 َ :ْ ‫ض‬ َ 3َ:ْIOِ Cْ ‫ ا‬3َ,Bْ Rَ ‫ َأ‬3َC3َ4 Iٍ J ْ1 ُ 8 ُ :ْ Iُ J ْ1 ُ ‫َو‬ 3َ,Gْ ?/@ َ Xَ Wِ Bْ ?َM َ ْ>`ُ ?ُGِ 1 ْ ‫ َأ‬3َA 0ُ a ِ ‫ َأ‬3َC b َ ?ْ 4ُ ْ>cُ ?َGِ d ْ eَ Cِ ‫ك‬ َ ْ
Thabaqah dalam kitab Taysîr Mushthalah Hadîts, hal 183 adalah orang yang berdekatan umur dan isnadnya atau isnadnya saja. Sedangkan menurut Fatkhur Rahman dalam Mushthalah Hadîtsnya adalah ibarat sekelompok rawi yang sebaya umurnya dan bersama-sama dalam mendapatkan ilmu dari guru-guru mereka. 27 Dalam Mushthalah Hadîtsnya Fatkhur Rahman, ‘Aziz adalah Hadîts yang diriwayatkan oleh seorang rawi walaupun dua orang rawi itu terdapat dalam satu thabaqah saja. Sedangkan menurut Mahmûd Al-Thahân adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang. 28 Masyhûr adalah hadits yang vdiriwayatkanm oleh tiga orang atau lebih

54

3َ,:ِ V/?f َ ‫ض‬ ُ 3َ:ْIOِ Cْ ‫ل ا‬ َ 3َgXَ 8 َ Bِ@Fِ eَ gْ Aُ ‫َ َو‬85ِ0]ِ 3َM‫ َو‬8 َ 5ِI]ِ ‫ك زَا‬ َ 3َ,Bْ Rَ ‫ َأ‬3َ,?ْ 4ُ ‫َو‬ 3َ,j َM َ <َ Xَ 3َ,Bْ ?َM َ E َ Fَ 4ْ ‫> َأ‬/ .ُ ‫<ْ ٍم‬5َ ‫ت‬ َ ‫?>َ ذَا‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫َر‬ 3َ5 ٌE]ِ 3َ4 ‫ل‬ َ 3َgXَ ‫ب‬ ُ <ُ?gُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْb?َa ِ ‫ن َو َو‬ ُ <ُBOُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْbXَ ‫ ً[ َذ َر‬iَ B?ِ:َ [ً j َM ِ ْ`ُ Bِf‫ل أُو‬ َ 3َgXَ 3َ,Bْ Cَ‫ ِإ‬0ُ cَ Oْ Rَ ‫ذَا‬3َGXَ ‫ع‬ ٍ x‫ َ<د‬Aُ [ُ j َM ِ ْ`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ 3†B‡ ِ Fَ 1 َ ‫ًا‬0Fْ M َ ْ‫ ِ[ َوِإن‬M َ 3/C‫ ِ€ وَا‬Gْ @ / C‫ وَا‬Wِ ?/C‫<َى ا‬gْ eَ :ِ 8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ ْ>ُ`Bْ ?َOَ Xَ ‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ ‫َى ا‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ :َ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ ‫ َو‬3َc:ِ ‫@`ُ<ا‬ / Gَ Rَ 8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ا‬ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ Urutan nama periwayat hadîts riwayat Abû Dâwud di atas adalah: (1) periwayat I: ‘Irbâdl Ibn Sâriyah, (2) periwayat II: ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Amr al-Sulamî dan Hujr Ibn Hujr, (3) periwayat III: Khâlid Ibn Ma’dân, (4) periwayat IV: Tsawr Ibn Yazîd, (5) periwayat V: al-Wâlid Ibn Muslîm, (6) Ahmad Ibn Hanbal. Untuk penelitian kualitas periwayat dan persambungan sanad riwayat Abû Dâwud ini, penulis memulainya dari riwayat pertama, lalu diikuti oleh periwayat berikutnya, dan seterusnya sampai periwayat terakhir. 1. ‘Irbâdl Ibn Sâriyah a. Nama lengkapnya ‘Irbâdl Ibn Sâriyah al-Sulamî yang dijuluki dengan Abû Najîh. b. Guru dan murid dalam periwayatan hadîts 1) Gurunya: Nabi saw, Abî ‘Ubaydah Ibn al-Jarâh 2) Muridnya: Anaknya Ummu Habîbah, ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Amr al-Sulamî, Sa‘îd Ibn Hânî’ al-Khawlânî, Jubayr Ibn Abî Sulaymân

55

Ibn Jubayr, Hujr Ibn Hujr al-Kalâ‘î, Hakîm Ibn ‘Umayr, ‘Abd Allâh Ibn Abî Bilâl, Abû Rahm al-Simâî, Yahyâ Ibn Abî al-Mutha’ dan sebagainya. c. Pernyataan para kritikus hadîts tentang dirinya. 1) Muhammad Ibn Awf: setiap orang diatara ‘Irbâdl Ibn Sâriyah dan ‘Amr Ibn ‘Abasah berkata: saya adalah seperempat Islam. Saya tidak tahu siapa yang masuk Islam dahulu dari keduanya. 2) Dlamdlam Ibn Zur‘ah dari Syurayh Ibn ‘Ubayd ‘Utbah Ibn Ábd Allâh berkata: ‘Irbâdl lebih baik dibanding saya dan Irbâdl berkata: ‘Utbah lebih baik dibanding saya. Dia mendahului saya kepada nabi untuk mendapat sunnahnya. 3) Khalîfah: ‘Irbâdl Ibn Sâriyah dalam fitnah Ibn al-Zubayr. 4) Abû Mashar dan sebagainya: ia mati pada tahun 75 H. 5) Abû ‘Amr al-Zâhid Ghulâm Tsa‘lab: ‘Irbâdl adalah orang tinggi dibanding yang lain oarang yang memusuhi manusia (berbeda dengan yang lain) itu adalah pujian.29 Para ahli kritik hadîts tidak ada yang mencela ‘Irbâdl dalam periwayatan hadîts. Dengan melihat dedikasinya yang tinggi dalam mendapatkan sunnah (hadîts) dari Nabi dan pernyataan bahwa dia adalah seperempat Islam dan dikenal ke-zuhud-annya, maka pernyataannya

29

Syihâb al-Dîn Ahmad Ibn ‘Alî Ibn Hajar al-‘Asqalanî, Tahdzîb al-Tahdzîb, Juz V (Beirut: Dâr al-Fikr: 1999), 539.

56

termasuk salah satu sahabat Nabi yang tidak diragukan kejujuran dan keshahih-annya dalam menyampaikan hadîts Nabi. Lambang periwayatan yang digunakan dalam meriwayatkan hadîts yang diteliti sanadnya ini adalah qâla yang menurut sebagian ulama sama dengan an karena dia orang yang shahîh tak bersyarat maka antara nabi dan Irbâdl telah terjadi persambungan periwayatan hadîts. 2. ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Amr al-Sulamî a. Nama lengkapnya: ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Amr Ibn ‘Abasah al-Sulamî al-Syâmî. Nasabnya adalah Baqiyyah dari Yahya Ibn Sa‘îd. b. Guru dan muridnya dalam periwayatan hadîts 1)

Gurunya: ‘Irbâdl Ibn Sâriyah dan ‘Utbah Ibn ‘Abd al-Sulamî

2)

Muridnya: anaknya Jâbir, Khâlid Ibn Ma‘dân, Dlamdlam Ibn Habîb, Muhammad Ibn Ziyâd, al-Hânî dan sebagainya.

c. Pernyataan para kritikus hadîts mengenai dirinya 1)

Ibn Hibban menyebutkannya termasuk orang-orang yang tsiqah30.

2)

Ibn Sa‘d: Ia mati tahun 110 H, dia mempunyai satu hadîts mengenai mauidlah yang di-shahih-kan oleh al-Turmudzî.

3)

Al-Qath-than: tidak shahih karena tidak dikenal (tidak diketahui keadaannya)

4) 30

Ibn Maslamah: termasuk thabaqah pertama dari tabi‘in.31

Tsiqah adalah orang yang mempunyai hafalan yang kuat dan adil dengan satu sifat merupakan tingkatan ketiga dari ta‘dîl setelah menggunakan wazan af‘ala dan ta‘kîd dengan satu sifat atau dua sifat lihat Mahmûd Al-Thahân Taysîr Mushthalah Hadîts, 126-127.

57

Tidak ada seorang kritikuspun yang mencela ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Amr al-Sulamî. Pujian orang yang diberikan kepada dirinya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Hanya saja alQaththan menyangka bahwa ia tidak shahih karena tidak diketahui keadaanya. Dengan demikian, pernyataannya yang menyatakan bahwa ia telah menerima meriwayatkan hadîts di atas dari Irbâdl dengan metode al-Sama’ yaitu haddatsanâ dapat dipercaya. Itu berarti sanad antara dirinya dan ‘Irbâdl dalam keadaan bersambung. 3. Hujr Ibn Hujr al-Kala‘î al-Himshî a. Nama lengkapnya: Hujr Ibn Hujr al-Kala‘î al-Himshî b. Guru dan murid dalam periwayatan hadîts 1) Gurunya: al-‘Irbâdl Ibn Sâriyah 2) Muridnya: Khâlid Ibn Ma‘dân c. Pernyataan para kritikus hadîts tentang dirinya 1) al-Hâkim meriwayatkan hadîtsnya dan berkata Hujr Ibn Hujr termasuk orang yang tsiqah. 2) Ibn Hibban menyebutkannya termasuk orang yang tsiqah. 3) Ibn al-Qaththân: ia tidak dikenal.32 Tidak ada seorang kritikuspun yang mencela Hujr Ibn Hujr. Pujian orang yang diberikan kepada dirinya adalah pujian yang berperingkat

31 32

Ibid., 147. Ibid, Juz II, 190.

58

tinggi dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataan yang menyatakan bahwa ia telah menerima meriwayatkan hadîts di atas dari ‘Irbâdl dengan metode al-Sama’ dapat dipercaya. Itu berarti sanad antara dirinya dan Irbâdl dalam keadaan bersambung. 4. Khâlid Ibn Ma‘dân a. Nama lengkapnya: Khâlid Ibn Ma‘dân Ibn Abî Kurayb al-Kala‘î, Abû ‘Abd Allâh al-Syâmî al-Himshî. b. Guru dan murid dalam periwayatan hadîts 1) Gurunya: Tsawbân, Ibn ‘Amr, ‘Utbah Ibn ‘Abd al-Sulamî, Mu‘âwiyah Abî Sufyân, al-Miqdâm Ibn Ma‘dikarîba, Abî Umâmah, Dzi Makhbar Ibn Akhî al-Najâsyî al-Tsamalî, ‘Ubâdah Ibn al-Shâmit, Abî al-Dardả, Jubayr Ibn Nufayr, ‘Abd Allah Ibn Abi Bilal, Hujr Ibn Hujr al-Kala‘î, Rubay’ah Ibn al-Ghazî dan sebagainya. 2) Muridnya: Buhayr Ibn Sa‘¸îd, Muhammad Ibn Ibrahim Ibn alHârits al-Taymî, Tsawr Ibn Yazîd, Harîz Ibn ‘Athiyyah, Fudlayl Ibn Fadlâlah, dan sebagainya.

59

c. Pernyataan para kritikus hadîts tentang dirinya 1) Ya‘qûb Ibn Syaybah: tidak meriwayatkan hadîts pada Abû ‘Ubaydah; termasuk thabâqah ke tiga dari fuqahâ’ Syâm sesudah sahabat nabi. 2) Al-‘Ajalî: syâmî33, tabi‘î34, tsiqah. 3) Ya’qûb Ibn Syaybah, Muhammad Ibn Sa‘d Ibn Qurasy dan alNasâ’î: tsiqah. 4) Abû Mashar dari Ismâ‘îl Ibn ‘Iyashy berkata: telah bercerita kepada kami ‘Ubdah Binti Khahd Ibn Ma’dan dan Ummu alDlahâk Binti Rasyid bahwasanya Khâlid Ibn Ma‘dân berkata: saya bertemu dengan tujuh puluh orang dari para sahabat Nabi. 5) Baqiyyah dari Bukhayr Ibn Sa‘îd berkata: saya tidak pernah melihat orang yang memegangi ilmunya dibanding dia. Ya‘qûb Ibn Syaybah: tidak meriwayatkan hadîts pada Abû ‘Ubaydah; termasuk thabâqah ke tiga dari fuqahâ’ Syâm sesudah sahabat Nabi. 6) Al-‘Ajalî: syâmî, tabi‘î, tsiqah. 7) Ya’qub Ibn Syaybah, Muhammad Ibn Sa‘d Ibn Qurasy dan alNasâ’î: tsiqah.

33 34

Syâmî : orang syam Tabi‘î : thabâqah kedua di tingkat perjumpaannya dengan nabi

60

8) Abû Mashar dari Ismâ‘îl Ibn ‘Iyasy berkata: telah bercerita kepada kami ‘Ubdah Binti Khalid Ibn Ma’dan dan Ummu al-Dlahak Binti Rasyid bahwa sanya Khâlid Ibn Ma‘dân berkata: saya bertemu dengan tujuh puluh orang dari para sahabat nabi. 9) Baqiyyah dari Bukhayr Ibn Sa‘îd berkata: saya tidak pernah melihat orang yang memegangi ilmunya dibanding dia. 10) Ismâ‘îl Ibn ‘Iyasy dari Shafwân berkata: saya melihat Khâlid Ibn Ma‘dân ketika kumpulan kajian ilmunya besar ia berdiri karena takut dikenal. 11) Yazîd Ibn Hârun: ia mati dalam keadaan puasa. 12) Ibn Sa‘d: para ulama sepakat ia mati tahun 103 H. Tidak ada seorang kritikuspun yang mencela Khâlid Ibn Ma‘dân. Pujian orang yang diberikan kepada dirinya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertnggi. Dengan demikian, pernyataan yang menyatakan Khâlid Ibn Ma‘dân Yang menyatakan

bahwa ia telah

menerima meriwayatkan hadîts di atas dari ‘Abd al-Rahmân dan Hujr Ibn Hujr dapat diterima. Dengan demikian bahwa sanad antara dirinya dengan ‘Abd al-Rahmân dan Hujr Ibn Hujr dalam keadaan bersambung. 5. Tsawr Ibn Yazîd a. Nama lengkapnya adalah Tsawr Ibn Yazîd al-Kalâ‘î b. Guru dan muridnya dalam periwayatan hadîts

61

1) Gurunya: Ma’khul, Raja’ Ibn Haywah, Shalâh Ibn Yahyâ Ibn alMiqdam, ‘Athâ’, ‘Ikrimah, Ubay al-Zubayr, al-Math‘am Ibn alMiqdam Ibn Jurayh, Ubay al-Zanad, Khâlid Ibn Ma‘dân, Habîb Ibn Ubayd al-Rahbî, al-Zuhrî dan sebagainya. 2) Muridnya: Baqiyyah, al-Kharibî, Shafwân Ibn ‘Isa, ‘Isa Ibn Yûnus, Ibn Ishâq, Mâlik Ibn al-Walîd Ibn Muslim, Yahyâ Ibn Hamzah, alHadlramî, Ibn al-Mubârak, Yahyâ Ibn Sa‘îd al-Qaththan, Abû Âshim al-Nabil dan sebagainya. c. Pernyataan para kritikus hadîts tentang dirinya 1) Ibn sa‘îd: tsiqah fi al-hadîts35 2) ‘Utsmân al-Dârimî dari Dâhim: tsiqah, shahih al- hadîts36 3) Amr Ibn Ali dari Yahya Ibn Sa’id: Awtsaq37 4) ‘Ali dari Yahya: tsiqah 5) Waki’: shahih al-hadîts 6) Isa Ibn Yunus: Jayyid al-hadîts38 7) ‘Abd Allah Ibn Ahmad dari ayahnya: lam yakun bih ba’s39 (tidak bahaya)

35

Tsiqah fi al-hadîts sama dengan tsiqah hanya ditambahi dengan fi al-hadîts yang berarti menunjukkan kekhususan di bidang hadits 36 Shahih al-hadîts : orang yang hadîtsnya shahih. Tingkatan ta‘dîl yang keenam menunjukkan hampir mendekati tajrih, haditsnya ditulis untuk I’tibar bukan untuk ikhtibar (diteliti) hal tersebut karena tidak adanya sifat dlabit 37 Awtsaq orang yang sangat tsiqah. Tingkatan pertama dalam ta‘dîl menunjukkan al mubâlaghah dalam sifat tawtsîq dengan menggunakan wazan af’ala 38 Jayyid al-hadîts sama dengan shahîh al-hadîts

62

8) Abbas al-Dauri dari Yahya Ibn Ma‘in: Tsiqah. 9) Ibn ‘Awf dan al-Nasâ’î: tsiqah. 10) Abu Hatim: shadûq, Hâfidh40 11) Al-‘Ajirî dari Dâwud: tsiqah 12) Ibn Hibban: tsiqah 13) ‘Ajalî: Tsiqah 14) Al-Sâjî: shadûq 15) Ahmad: Layts bih ba’s41 Tidak ada seorang kritikuspun yang mencela Tsawr Ibn Yazîd. Pujian orang yang diberikan kepada dirinya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataan yang menyatakan ia telah menerima hadîts dari Khâlid Ibn Ma‘dân dengan metode al-sama’ yaitu lambang haddatsana bahwa dapat dipercaya. Dengan demikian bahwa sanad antara dirinya dengan Khâlid Ibn Ma‘dân dalam keadaan bersambung. 6. Al-Walîd Ibn Muslim al-Qurasyî a. Nama lengkapnya: Al-Walîd Ibn Muslim al-Qurasyî b. Guru dan muridnya dalam periwayatan hadîts

39

Lam yakun bih ba’s tidak cacat tingkatan ta‘dîl yang keempat menunjukkan keadilan tanpa menunjukkan kekuatan hafalan dan jika yang mengucapkannya Ibn Mu‘ in maka menurutnya adalah tsiqah 40 Shadûq, Hâfidh sama dengan lam yakun bih ba’s 41 Ibid, 576-578. sama dengan lam yakun bih ba’s dan shadûq, Hâfidh

63

1) Gurunya: Hârits Ibn ‘Utsman, Shafwân Ibn Amr, al-Awzâ‘î, Ibn Jurayj, Ibn ‘Ajlân, Ibn Abî Dzỉb, Sa‘d Ibn Abî ‘Azîz, al-Tsawr, ‘Abd Allâh Ibn al-‘Al‘, Ibn zabr, Tsawr Ibn Yazîd, Handlalah Ibn Abi Sufyân, Bakar Ibn Mudlâr dan sebagainya. 2) Muridnya: Al-Layts Ibn Sa‘îd, Baqiyyah Ibn Walîd, al-Humaydî, Sulaymân Ibn ‘Abd al-Rahmân, Ahmad Ibn Hanbal, Ishâq Ibn Rahawih, ‘Alî Ibn al-Madanî, Abû Khaytsamah, Dâwud Ibn Rasyîd, Ibrâhim Ibn al-Mundzir, Ishâq Ibn Manshûr al-Anshârî, Shadaqah Ibn alâ-Fudlayl al-Marwazî, Dahim, Abû Qudamah, ‘Alî Ibn Hujr, Suwayd Ibn sa‘îd, Abû Bakar Ibn Khalad al-Bâhilî, Muhammad Ibn Mahram, al-Hammâl, Hârun Ibn Ma’rûf, Hisyâm Ibn Ammar, Muhammad Ibn Musyafả, Musa Ibn Harun al-baradi, Mahmûd Ibn Khâlid al-sulamî, Abû Hamam al-Sukûnî, Mûsa Ibn Amîr al-Marwî dan sebagainya. c. Pernyataan para kritkus hadîts tentang dirinya 1) Ibn Sa‘d: tsiqah, banyak hadîtsnya. 2) Al-Fudlayl Ibn Ziyad dari Ahmad: tidak ada seorangpun yang lebih banyak meriwayatkan hadîts dari orang-orang Syâm dibanding Ismâ‘îl dan al-Walîd. 3) ‘Abd Allâh Ibn Ahmad dari ayahnya: tiada seorangpun yang lebih pandai dibanding al-Walîd.

64

4) Abû Manshûr: Walîd termasuk orang-orang tsiqah dari golongan kita, termasuk huffadh dari golongan kita. 5) Al-‘Ajalî dan Ya‘qûb: al-Walîd Ibn Muslim adalah tsiqah. 6) Shadaqah Ibn al-Fudlayl al-Marwazî: hâfidh, mutqin42. 7) Ismail: saya menceritakan dari ‘Abd Allah Ibn Ahmad dari ayahnya ia berkata:

al-Walîd adalah orang yang hadîtsnya

marfu43. 8) Al-Marwazî dari Ahmad: al-Walîd adalah orang yang sering salah. 9) Hanbal dari Ibn Ma‘în: saya mendengar Abû Manshûr berkata: termasuk orang yang mengambil dari Abi al-Safar hadîtsnya alAwzâ‘î sedangkan Abû safar adalah pembohong. 10) Muammal Ibn Thab: dari Abî Mashar berkata al-Walîd Ibn Muslim meriwayatkan hadîts al-Awzâ‘î dari para pembohong kemudian menyembunyikannya dari mereka. 11) Ahmad Ibn Abî al-Hawarî berkata: Marwân Ibn Muhammad berkata kepada saya: jika kamu menulis hadîts al-Awzâ‘î dari alWalîd jangan pedulikan orang terlewatkan, dan Marwan juga

42 43

hâfidh, mutqin:sama dengan tsiqah. marfu adalah hadîts yang sanadnya sampai pada nabi.

65

berkata: al-Walîd adalah orang yang ‘alim tentang hadîts alAwzâ‘î.44 Tidak ada seorang kritikuspun yang mencela Al-Walîd Ibn Muslim. Pujian orang yang diberikan kepada dirinya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataan yang menyatakan ia telah menerima hadîts di atas dari Tsawr Ibn Yazîd dengan metode al-sama’ yaitu lambang hadatsana bahwa dapat dipercaya. Dengan demikian bahwa sanad antara dirinya dengan Tsawr Ibn Yazîd dalam keadaan bersambung. 7. Ahmad Ibn Hanbal a. Nama lengkap: Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilâl Ibn As’ad al-Syaybanî Abû ‘Abd Allâh al-Marwazî al-Bagdadî. b. Guru dan muridnya dalam periwayatan hadîts 1) Gurunya: Sufyan Ibn ‘Uyaynah, Yahyâ Ibn Sa‘îd al-Qaththân, alSyâfi‘î dan Yazîd Ibn Hârun Ibn Wa‘dî. 2) Muridnya: al-Bukhârî, al-Muslim, Abû Dîwud, al-Syâfi‘î, Yahyâ Ibn Ma‘în dan dua putranya ‘Abd Allâh dan Shâlih. c. Pernyataan para kritikus hadîts tentang dirinya: 1) Ibn

Ma‘în:

saya

tidak

melihat

orang

yang

pengetahuannya dibidang hadîts melebihi Ahmad.

44

Ibid, Juz I, 167-169.

lebih

baik

66

2) al-Qaththân: tiada orang yang datang kepada saya yang kebaikannya melebihi Ahmad. Dia itu hasan al-ummat (orang yang terbaik) dibidang pengetahuan Islam khususnya hadîts nabi. 3) al-Syâfi‘î: saya keluar dari Bagdad dan di belakang saya tidak ada orang yang lebih paham tentang Islam, lebih zuhud45, lebih wara’ dan lebih berilmu melebihi Ahmad. 4) Al-Nasâî: Ahmad itu adalah salah satu orang ulama yang tsiqah ma’mûn46. 5) Ibn Hibban: Ahmad itu hâfidh, mutqin, fâqih47. 6) Ibn Sa’ad: Shadûq, Ahmad itu tsiqah tsabt.48 Tidak ada seorang kritikuspun yang mencela Ahmad Ibn Hanbal. Pujian orang yang diberikan kepada dirinya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataan yang menyatakan ia telah menerima hadîts di atas dengan metode al-sama’ yaitu lambang haddatsana dapat dipercaya. Dengan demikian bahwa sanad antara dirinya dengan Al-Walîd Ibn Muslim dalam keadaan bersambung.

45

zuhud adalah orang yang menjauhi keduniaan 46 tsiqah ma’mûn adalah orang tsiqah yang terpercaya.Tingkatan ta‘dîl yang kedua yaitu dengan ta‘kîd dua sifat yang menunjukkan kekuatan ingatan dan keadilan 47 fâqih.adalah orang yang ahli di bidang ilmu fiqih 48 Ibid, kedua yaitu Juz I, 72-76. tsiqah tsabt adalah orang yang tsqah lagi petah lidahnya. Sama dengan tsiqah ma’mûn.

67

4. Meneliti kemungkinan adanya syudzûdz dan ‘illat Setelah penulis melakukan penelitian terhadap sanad hadîts Abû Dâwud ternyata masing-masing dari perawinya bersifat tsiqah dan bahkan ketsiqah-annya berperingkat tinggi dan tertinggi, dan juga terjalin hubungan antara guru dan murid dan pada sampai sumber utama yakni Nabi SAW. Kekuatan sanad Abû Dâwud yang diteliti meningkat bila dikaitkan dengan pendukung (corroboration) berupa syâhid dan muttabi‘. Secara keseluruhan dukungan berasal dari sanad-sanad Muslim, Turmudzi, Ibn Mâjah, al-Nasâî, al-Dârimî dan Ahmad Ibn Hanbal makin menambah kekuatan sanad Abû Dâwud. Adapun syâhid tersebut adalah Jâbir Ibn ‘Abd Allâh al-Anshârî dan riwayat Muslim, al-Dârimî (2) dan Ahmad Ibn Hanbal (1, 2). Kemudian muttabi‘ ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Amr al-Sulamî dan Hujr Ibn Hujr, dari riwayat al-Turmudzî, Ibn Mâjah, al-Dârimî (1) dan Ahmad Ibn Hanbal (3, 4), Yahyâ Ibn al-Muthâ‘ dari riwayat Ibn Mâjah dan Muhammad dari riwayat Muslim, al-Nasâî, al-Dârimî (2) dan Ahmad Ibn Hanbal (1, 2). Dengan alasan-alasan tersebut, maka sangat kecil kemungkinannya bahwa bahwa sanad yang penulis teliti tersebut mengandung Syudûdz ataupun ‘illat, karena telah memenuhi syarat, maka sanad yang diteliti tersebut dinyatakan terhindar dari syudûdz dan ‘illat.

68

5. Mengambil natîjah Hadîts yang diteliti memiliki banyak sanad. walaupun demikian hadîts tersebut bukanlah hadîts mutawâtir, melainkan hadîts ahad. Melihat jumlah periwayat yang terdapat dalam seluruh sanad, hadîts tersebut pada periwayat tingkat pertama berstatus ‘azîz dan pada tingkat kedua dan ketiga dan seterusnya sampai akhir berstatus masyhûr maka hadîts tersebut adalah ahad masyhûr. Setelah sanad Abû Dâwud diteliti, ternyata seluruh perawinya bersifat tsiqah (‘âdil dan dlâbit), sanadnya bersambung dan terhindar dari syudûdz (kejanggalan) dan terhindar dari ‘illat (cacat). Dengan demikian sanad hadîts tersebut berkualitas shahîh li dzâtih.

B. Kritik Sanad Hadîts Tentang Adanya Sunnah Hasanah dan Sayyiah 1. Takhrîj Hadîts Berikut ini dikemukakan riwayat hadîts tentang adanya sunnah hasanah dan sayyiah.

3َ,.َ 0/ 1 َ [َ Yَ ‫<َا‬M َ <ُ:‫ َأ‬3َ,.َ 0/ 1 َ ‫ب‬ ِ ‫‡<َا ِر‬ / C‫ِ* ا‬:‫ َأ‬8 ِ :ْ • ِ ?ِGَ Cْ ‫ ا‬0ِ Fْ M َ 8 ُ :ْ 0ُ G/ d َ Aُ 3َ,.َ 0/ 1 َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ل َر‬ َ 3َ4 ‫ل‬ َ 3َ4 Wِ Bِ:‫ْ َأ‬8M َ Iٍ 5ِIa َ 8 ِ :ْ ‫ ِر‬Uِ ,ْ Gُ Cْ ‫ْ ا‬8M َ Iٍ Bْ Gَ M ُ 8 ُ :ْ • ِ ?ِGَ Cْ ‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ُ< ِر ِه‬a‫ْ ُأ‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫َو‬ 3َC zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ َو ِوزْ ُر‬3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx \ َ 3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ْ َأوْ َزا ِر ِه‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn ‘Abd al- Malik Ibn Abî al- Syawârib, telah menceritakan kepada kami Abû ‘Uwânah,

69

telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Malik Ibn Umayr dari Mundzir Ibn Jarîr dari ayahnya ia berkata, Rasûl Allâh bersabda: “Barang siapa melakukan sunnah yang baik, kemudian sunnah itu diamalkan maka baginya pahala dan semisal pahala orang-orang yang mengamalkannya, tidak berkurang dari pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa melakukan sunnah yang jelek dan diamalkan, maka dia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang mengamalkan yang tidak berkurang sedikitpun dari dosa-dosa mereka.49 Dalam menentukan posisi hadîts lain yang sama dengan hadîts di atas penulis menggunakan kamus al-Mu’jam al-Mufahras melalui fi’il mâdlî 8\ dan akhirnya dapat ditemukan diberbagai sumber hadîts, diantaranya: 1. Dalam kitab sunan Ibn Mâjah, kitâb Muqaddimah bab 14. 2. Dalam kitab sunan al- Dârimî, kitâb Muqaddimah hal 44. 3. Dalam musnad Ahmad Ibn Hanbal, juz IV, 262.50

2. I’tibar. a. Penulisan sanad hadîts 1) Hadîts riwayat Imam Ibn Mâjah a) Hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah (1)

<ُ:‫ َأ‬3َ,.َ 0/ 1 َ ‫ب‬ ِ ‫‡<َا ِر‬ / C‫ِ* ا‬:‫ َأ‬8 ِ :ْ • ِ ?ِGَ Cْ ‫ِ ا‬0Fْ M َ 8 ُ :ْ 0ُ G/ d َ Aُ 3َ,.َ 0/ 1 َ ْ8M َ Iٍ 5ِIa َ 8 ِ :ْ ‫ ِر‬Uِ ,ْ Gُ Cْ ‫ْ ا‬8M َ Iٍ Bْ Gَ M ُ 8 ُ :ْ • ِ ?ِGَ Cْ ‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3َ,.َ 0/ 1 َ [َ Yَ ‫<َا‬M َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ل َر‬ َ 3َ4 ‫ل‬ َ 3َ4 Wِ Bِ:‫َأ‬ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ُ< ِر ِه‬a‫ْ ُأ‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 49 50

Abû Dâwud, Juz IV, 205-206. AJ. wensinck, Al- Mu’jam, Juz II, 552.

70

ْ8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ َو ِوزْ ُر‬3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ 3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫َأوْزَا ِر ِه‬ Artinya: Telah bercerita kepada kami Muhammad ibn ‘Abd alMalik Ibn Abi al- Syawârib, telah bercerita kepada kami Abu ‘Uwânah, telah bercerita kepada kami ‘Abd alMalik Ibn ‘Umayr dari Mundzir Ibn Jarîr dari ayahnya ia berkata: Rasûl Allâh saw bersabda: “Barang siapa yang melakukan sunnah yang baik dan sunnah itu diamalkan maka baginya pahalanya dan semisal pahala orang yang mengamalkannya tidak berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan sunnah yang jelek maka baginya pahalanya dan dosadosa orang yang mengamalkannya yang tidak berkurang dari sedikitpun dari pahala mereka.51 b) Hadîts riwayat Imam Ibn Mâjah (2):

8 ِM َ E ُ B]ِْ ‫ا‬Iَ \ ْ ‫ ِإ‬3,َ .َ 0/ 1 َ >ٍ Bْ Oَ Yُ ْ<:ُ ‫ َا‬3,َ .َ 0/ 1 َ VBَ d ْ 5َ 8 ُ :ْ 0ُ G/ d َ Aُ 3,َ .َ 0/ 1 َ Wِ Bْ ?َM َ — ُ ‫ ا‬V?/f َ — ِ ‫لا‬ ُ ْ<\ ُ ‫ل َر‬ َ 34َ :‫ل‬ َ 34َ [َ Šَ Bْ d َa ُ ْ*:ِ ‫ْ َا‬8M َ >ِ Bْ `ِ d َ Cْ ‫ا‬ ,zُ Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zُ 0َ Oْ :َ 3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ :>َ ?/\ َ ‫َو‬ ْ8Aَ ‫ َو‬.3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫<ْ ِر ِه‬a ُ ‫ْ ُأ‬8Aِ ˜ َ gُ ,ْ 5َ ْ‫ َان‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ ِْ>‫<ْر ِه‬a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫َو‬ E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬zُ ‫ ِوزْ ُر‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zُ 0َ Oْ :َ 3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ .3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ْ َأوْزَا ِر ِه‬8Aِ ˜ َ gُ ,ْ 5َ ْ‫ َان‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ ْ>‫َأوْزَا ِر ِه‬ Artinya: Telah bercerita kepada kami Muhammad Ibn Yahyâ, telah bercerita kepada kami Abû Nu‘aym telah bercerita kepada kami Isrâîl dari al-Hakam, dari Abû Juhayfah ia berkata: Rasûl Allâh saw bersabda: “Barang siapa yang melakukan sunnah yang baik dan sunnah itu diamalkan sesudahnya maka baginya pahalanya dan semisal pahala orang yang mengamalkannya tidak berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan sunnah yang jelek sesudahnya maka baginya pahalanya dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya

51

Al- Qazwînî, Sunan, Juz I, 80.

71

yang tidak berkurang dari sedikitpun dari pahala mereka52 2) Hadîts riwayat Imâm al- Dârimî a) Hadîts riwayat Imâm al- Dârimî (1):

zُ 3َ,.َ 0/ 1 َ ‫ل‬ َ 3َ4 [َ ,َ Bْ Bَ M ُ 8 ُ :ْ ‫ن‬ ُ 3َBŠْ \ ُ 3َ,.َ /01 َ ‫ع‬ ٍ 3َJˆ ُ 8 ُ :ْ 0ُ BِC<َ Cْ ‫ ا‬3YIFP‫أ‬ —‫ ا‬V?f- Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ل َر‬ َ 3َ4 ‫ل‬ َ 3َ4 Iٍ 5ِIa َ ْ8M َ Ä ٍ Bِgˆ َ ْ8M َ ٌ>f ِ 3َM Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zُ 0َ Oْ :َ 3َc:ِ E َ Gِ M ُ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ /8\ َ ْ8Aَ »: ->?\‫ و‬WB?M ، ٌ‫ْء‬Vˆ َ zِ Iِ a ْ ‫ْ َأ‬8Aِ ˜ َ gَ ,ْ 5ُ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ ِوزْ ِر‬E ُ ‚ْ Aِ Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ َ™[ً آ‬Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫َو‬ ٌ‫ْء‬Vˆ َ zِ ‫ْ َأوْزَا ِر‬8Aِ ˜ َ gَ ,ْ 5ُ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ Artinya: Telah bercerita kepada kami al- Walîd Ibn Syuja‘, telah bercerita kepada kami Sufyân Ibn ‘Uyaynah telah bercerita kepada kami ‘Ashim dari Syaqîq dari Jarîr ia berkata: Rasûl Allâh saw bersabda: “Barang siapa yang melakukan sunnah yang baik yang diamalkan sesudahnya maka baginya pahalanya dan semisal pahala orang yang mengamalkannya tidak berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan sunnah yang jelek maka baginya semisal dosa-dosa orang yang mengamalkannya yang tidak berkurang dari sedikitpun dari pahala mereka.53 b) Hadîts riwayat Imâm al- Dârimî (2):

„ ُ Gَ M ْÇ َ ‫ ا‬3َ,.َ 0/ 1 َ [َ 5َ ‫ ِو‬3َOAُ <ُ:‫ َأ‬3َ,.َ 0/ 1 َ ‫ع‬ ٍ 3َJˆ ُ 8 ُ :ْ 0ُ BِC<َ Cْ ‫ ا‬3YIFP‫أ‬ ‫ل‬ ٍ© َ ‫ ِه‬8 ِ :ْ 8 ِ Gَ 1 ْ I/ C‫ ا‬0ِ Fْ M َ ْ8M َ -³ ٍ Bْ Fَ f ُ 8 َ :ْ ‫ ا‬Vِ,Oْ 5َ - >ٍ ?ِ@ ْ Aُ ْ8M َ - Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,Fَ  َP َ :‫ل‬ َ 3َ4 Wِ ?/C‫ ا‬0ِ Fْ M َ 8 ِ :ْ Iِ 5ِIa َ ْ8M َ V x@ ِ Fْ Oَ Cْ ‫ا‬ ‫™ُ<ا‬ َ :ْ {َXَ [ِ 4َ 0َ ² / C‫ ا‬Vَ?M َ ‫س‬ َ 3/,C‫¬ ا‬ / d َ Xَ ->?\‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f ‫ َء‬3َa ‫ ِر‬3َ²Yْ Ç َ ‫ا‬8 َ Aِ © ًa ُ ‫ن َر‬ / ‫> ِإ‬/ .ُ ، ª ُ Œ َ iَ Cْ ‫ ا‬Wِ cِ a ْ ‫ َو‬VِX ‫ن‬ َ 3َ: V/e1 َ »: ‫ل‬ َ 3َgXَ ، ‫ُو ُر‬I@ L C‫ ا‬Wِ cِ a ْ ‫ َو‬VِX V َ ]ِ ‫ ُر‬V/e1 َ ‫س‬ ُ 3/,C‫ َ€ ا‬:َ 3َeeَ Xَ ‫ ٍة‬I/ ² ُ :ِ 52 53

Ibid., 81-82. Al- Dârimî, Sunan, Juz I, 130.

72

3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬zُ Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ ً[ آ‬,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬، ٌ‫ْء‬Vˆ َ ْ>‫ُ< ِر ِه‬a‫ْ ُأ‬8Aِ ˜ َ gَ ,ْ 5ُ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ ˜ َ gَ ,ْ 5ُ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ ِوزْ ِر‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬zُ ‫ ِوزْ ُر‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫آ‬ ٌ‫ْء‬Vˆ َ ْ>‫ْ َأوْزَا ِر ِه‬8Aِ Artinya: Telah bercerita kepada kami al-Walîd Ibn Syuja‘ telah bercerita kepada kami Mu’âwiyah telah bercerita kepada kami al- A‘masy dari Muslim yakni Ibn shabîh dari ‘Abd al- Rahmân dari Ibn Hilâl al-‘Abasî dari Jarîr Ibn ‘Abd Allâh, ia berkata Rasûl Allâh telah berkhutbah dan menghimbau manusia untuk bershadaqah, tetapi mereka enggan (dan lamban) sehingga tampak jelas kemarahan diwajahnya kemudian datang seorang dari kaum Anshâr membawa satu nampan makanan (wadah makanan) lalu manusia berturut-turut (datang membawa makanan) sehingga terlihat kegembiraan di wajahnya kemudian bersabda:“Barang siapa yang melakukan sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan semisal pahala orang yang mengamalkannya tidak berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan sunnah yang jelek maka baginya dosanya dan semisal dosa orang yang mengamalkannya yang tidak berkurang dari sedikitpun dari dosa mereka.54 3) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal a) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal (1)

*ِ:‫ َأ‬8 ِ :ْ ‫ ِ> ا‬f ِ 3َM ْ8M َ ‫ن‬ ُ 3َBŠْ \ ُ 3َ,.َ 0/ 1 َ ْ*:ِ ‫*ْ َأ‬,ِ .َ 0/ 1 َ — ِ ‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3,َ .َ 0/ 1 َ V/?f َ * / Fِ ,/ C‫<ْا ا‬Rَ ‫ َأ‬3ًAْ<4َ ‫ن‬ / ‫ َأ‬Iٍ 5ِIa َ ْ8M َ ٍE]ِ ‫ِ* وَا‬:‫ْ َأ‬8M َ ‫ُ< ِد‬J,/ C‫ا‬ ‫ل‬ ُ <ُ\‫¬ َر‬ / d َ Xَ ‫ ِر‬3َG,x C‫ِ* ا‬:3َeJ ْ Aُ ‫ب‬ ِ ‫َا‬IM ْ {َCْ ‫ْ ا‬8Aِ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ا‬ V/e1 َ ‫™ُ<ا‬ َ :ْ {َXَ [ِ 4َ 0َ ² / C‫ ا‬Vَ?M َ ‫س‬ َ 3/,C‫? َ> ا‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ا‬ Iٍ Fْ Rِ [ِ Oَ  ْ gِ :ِ ‫ ِر‬3َ²Yْ {َCْ ‫ْ ا‬8Aِ ٌEa ُ ‫ َء َر‬3َJXَ Wِ cِ a ْ ‫ِ* َو‬X • َ Cِ‫* َذ‬ َ ]ِ ‫ُر‬ ْ8Aَ ‫ل‬ َ 3َgXَ Wِ cِ a ْ ‫ِ* َو‬X • َ Cِ‫ف َذ‬ َ Iِ M ُ V/e1 َ ‫س‬ ُ 3/,C‫ َ€ ا‬:َ 3َeeَ Xَ 3َc1 َ Iَ  َ Xَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ 54

Ibid 81- 82.

73

ْ8Aَ ‫ˆ*ْءٌ َو‬ َ ْ>‫ُ< ِر ِه‬a‫ْ ُأ‬8Aِ ˜ َ gَ eَ ,ْ 5ُ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ َو ِوزْ ُر‬3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M ُ [ً ™َ Bx\ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ 3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ْ َأوْزَا ِر ِه‬8Aِ • َ Cِ‫˜ َذ‬ ُ gِ ,ْ 5ُ 3َC‫ َو‬3cَ :ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Abd Allâh, telah bercerita kepada saya ayah saya, telah bercerita kepada kami Sufyân dari ‘Ăshim Ibn Abî al- Najwd dari Abî Wâil dari Jarîr bahwa sanya satu kaum dari pedalaman yaitu kaum Mujtâbî al-Namar (orang-orang yang memakai pakaian dari kulit berbulu yang dilubangi) datang kepada nabi, lalu Rasûl Allâh menghimbau manusia untuk bershadaqah, lalu mereka enggan (dan lamban untuk bershadaqah) sehingga terlihat (kemarahan) itu diwajahnya lalu seorang laki-laki dari kaum Anshâr datang membawa sepotong roti (dari kurma) kemudian memberikannya dan berturut-turut manusia (mengikutinya) sehingga terlihat (kegembiraan) itu diwajahnya kemudian bersabda: “Barang siapa yang melakukan sunnah yang baik lalu diamalkan sesudahnya maka baginya pahalanya dan semisal pahala orang yang mengamalkannya tidak berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan sunnah yang jelek yang diamalkan sesudahnya maka baginya dosanya dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya dan tidak mengurangi sedikitpun dari dosa mereka.55

55

Ibn Hanbal, Musnad, 64.

74

b) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal (2)

„ ُ Gَ M ْ {َCْ ‫ ا‬3َ,.َ 0/ 1 َ [َ 5َ ‫ ِو‬3َOAُ <ُ:‫ َأ‬3َ,.َ 0/ 1 َ ْ*:ِ ‫*ْ َأ‬,ِ .َ 0َ 1 َ — ِ ‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3,َ .َ 0/ 1 َ ‫ل‬ ٍ 3َ?‫ ِه‬8 ِ :ْ 8 ِ Gَ 1 ْ I/ C‫ ا‬0ِ Fْ M َ ْ8M َ ³ ٍ Bْ Fَ f ُ 8 َ :ْ ‫ِ* ا‬,Oْ 5َ >ٍ ?ِ@ ْ Aُ ْ8M َ V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,Fَ  َP َ ‫ل‬ َ 3َ4 Wِ ?/C‫ ا‬0ِ Fْ M َ 8 ِ :ْ Iِ 5ِIa َ ْ8M َ * x@ ِ Fْ Oَ Cْ ‫ا‬ * َ ]ِ ‫ ُر‬V/e1 َ ‫س‬ ُ 3/,C‫َ{ ا‬ َ :ْ {َXَ [ِ 4َ 0َ ² / C‫ ا‬Vَ?M َ 3َ,‚/d َ Xَ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ا‬ ْ8Aِ 3ً?a ُ ‫ن َر‬ / ‫> ِإ‬/ .ُ ‫ن‬ َ 3َ: V/e1 َ ‫ ًة‬I/ Aَ ‫ل‬ َ 3َ4‫ َو‬ª ُ Œ َ iَ Cْ ‫ ا‬Wِ cِ a ْ ‫ِ* َو‬X ‫<ْا‬ َM ْ {َXَ ‫س‬ ُ 3/,C‫ َ€ ا‬:َ 3َeRَ >/ .ُ zُ 3/5‫ ِإ‬3َ‫ه‬3َْM{َXَ ‫ ٍة‬I/ ² ُ :ِ ‫ َء‬3َa ‫ ِر‬3َ²Yْ {َCْ ‫ا‬ ‫ن‬ َ 3َ‫ ً[ آ‬,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ل‬ َ 3َgXَ ‫ُو ُر‬I@ L C‫ ا‬Wِ cِ a ْ ‫ِ* َو‬X * َ ]ِ ‫ ُر‬Ve/ 1 َ ْ8Aِ ˜ َ gَ eَ ,ْ 5ُ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ َ™ ً[ آ‬Bx\ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ˆ*ْءٌ َو‬ َ ْ>‫ُ< ِر ِه‬a‫ُأ‬ ٌ‫ˆ*ْء‬ َ ْ>‫ْ َأوْزَا ِر ِه‬8Aِ ˜ َ gَ eَ ,ْ 5ُ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ 8 ْ Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ِوزْ ِر‬ ˜ َ gُ ,ْ 5َ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ [َ 5َ ‫ ِو‬3َOAُ 3َ:‫ِ* َأ‬,Oْ 5َ ‫ ًة‬I/ Aَ ‫ل‬ َ 3َ4 Artinya: Telah Telah bercerita kepada kami ‘Abd Allâh, telah bercerita kepada saya ayah saya, telah bercerita kepada kami Abû Mu‘âwiyah telah bercerita kepada kami alA‘masy dari Muslim yakni Ibn shabîh dari ‘Abd alRahmân dari Ibn Hilâl al- ‘Abasî dari Jarîr Ibn ‘Abd Allâh, ia berkata Rasûl Allâh telah berkhutbah dan menghimbau kami untuk bershadaqah, kemudian manusia enggan (dan lamban) sehingga terlihat kemarahan diwajahnya dan berkata sekali lagi sehingga tampak jelas di sana seoranglaki-laki dari kaum Anshâr datang membawa satu nampan makanan (wadah makanan) dan memberikannya kepadanya kemudian berturut-turut manusia memberinya sehingga terlihat kegembiraan diwajahnya lalu nabi bersabda: “Barang siapa yang melakukan sunnah yang baik dan sunnah itu diamalkan maka baginya pahalanya dan semisal pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan sunnah yang jelek maka baginya pahalanya dan dosadosa orang yang mengamalkannya yang tidak berkurang dari sedikitpun dari pahala mereka. Ia berkata sekali lagi yakni Abû Mu‘âwiyah: tanpa mengurangi.56 56

Ibid., 64-65.

75

b. Skema sanad hadîts 1) Hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah a) Hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah (1) Hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah diawali dengan kata 3,.01 yang disandarkan kepada Muhammad Ibn ‘Abd al-Malik Ibn Abî al- Syawârib, adapun urutan periwayatan sanad hadîts tersebut adalah sebagai berikut: Nama periwayat

Urutan sebagai periwayat

Jarîr Ibn ‘Abd Allâh Periwayat I Al- Mundzir Ibn Jarîr Periwayat II 'Abd Mâlik Ibn 'umayr Periwayat III Abû ‘Uwânah Periwayat IV Muhammad Ibn ‘Abd al- Periwayat V Malik Ibn Abî alSyawârib Imâm Ibn Mâjah Periwayat VI

Urutan sebagai sanad Sanad IV Sanad IV Sanad III Sanad II Sanad I

Mukharrij al- hadîts Berikut ini skema sanad riwayat Imam Ibn Mâjah (1)

tersebut:

76

Gambar XV Skema sanad hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah tentang adanya sunnah hasanah dan sayyiah

[,\ 8\ 8A :>?\‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ل ر\<ل ا‬34 ...´C‫[ ا‬,@1 ‫ل‬34 —‫ ا‬0FM 8: I5Ia 8M I5Ia 8: ‫ر‬U,GC‫ا‬ 8M IBGM 8: •?GC‫ ا‬0FM

3,.01

[Y‫<ا‬M <:‫أ‬ 3,.01 ‫‡<ارب‬C‫* ا‬:‫ ا‬8:‫?• ا‬GC‫ ا‬0FM 0GdA 3,.01 [a3A ‫م‬3A‫ا‬ b) Hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah (2) Hadîts riwayat Imam Ibn Mâjah diawali dengan kata 3,.01 yang disandarkan kepada Muhammad Ibn Yahyâ. Adapun urutan periwayat dan sanad hadîts tersebut sebagai berikut: No 1 2 3

Nama Periwayat Abî Juhayfah Al-Hakam Isrâîl

Urutan Sebagai Periwayat Periwayat I Periwayat I Periwayat II

Urutan Sebagai Sanad Sanad V Sanad IV Sanad III

77

4 5 6

Abû Nu’aym Muhammad Ibn Yahyâ Imâm Ibn Mâjah Berikut ini skema

Periwayat III Periwayat IV

Sanad II Sanad I

Periwayat V Mukharrij Hadîts sanad riwayat Imam Ibn Mâjah (2)

tersebut: Gambar XVI Skema sanad hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah tentang adanya sunnah hasanah dan sayyiah

[,\ 8\ 8A :>?\‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ل ر\<ل ا‬34 [,@1 ‫ل‬34

[ŠBda *:‫ا‬ ‫ل‬34

>`dC‫ا‬ 8M 3,.01

EB]‫ا‬I\‫ا‬ >BOY<:‫ا‬

3,.01

VBd5 8: 0GdA 3,.01

[a3A 8: ‫م‬3A‫ا‬ Gambar XVII Skema sanad hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah tentang adanya sunnah hasanah dan sayyiah

78

´C‫[ ا‬,@1 [,\ 8\ 8A —‫ل ر\<ل ا‬34 ‫ل‬34

‫ل‬34

[ŠBda *:‫ا‬

—‫ ا‬0FM 8: I5Ia

8M

8M

I5Ia 8: I5U,GC‫ا‬

>`dC‫ا‬ 8M

8M

IBGM 8: •?GC‫ ا‬0FM

EB]‫ا‬I\‫ا‬ 3,.01

3,.01

‫ك‬3d / [Y‫<ا‬M <:‫أ‬

>BOY<:‫ا‬ 3,.01

3,.01

•?GC‫ ا‬0FM 8: 0GdA ‫‡<ارب‬C‫* ا‬:‫ أ‬8:

VBd5 8: 0GdA

3,.01

3,.01

[a3A 8: ‫م‬3A‫ا‬ 2) Hadîts riwayat Imâm al- Dârimi a) Hadîts riwayat Imâm al- Dârimi (1) Hadîts riwayat Imâm al- Dârimi diawali dengan kata 3YIFP‫أ‬ yang disandarkan kepada al-Walîd Ibn Syujâ‘. Adapun urutan periwayat dan sanad hadîts tersebut sebagai berikut:

79

Nama Periwayat Jarîr Ibn ‘Abd Allâh Syaqîq ‘Âshim Sufyân Ibn ‘Uyaynah al-Walîd Ibn Syujâ‘ Imâm al- Dârimî

Urutan Sebagai Periwayat Periwayat I Periwayat II Periwayat III Periwayat IV Periwayat V Periwayat VI

Urutan Sebagai Sanad Sanad V Sanad IV Sanad III Sanad II Sanad I Mukharrij al-Hadîts

80

Gambar XVIII Skema sanad hadîts riwayat Imâm al- Dârimi tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah

8\ 8A ‫ل‬34 >?\‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f- —‫ر\<ل ا‬ [,\ ‫ل‬34

I5Ia 8M

ÄBgˆ 8M

>f3M 3,.01 ‫ل‬34

[,BBM 8: ‫ن‬3BŠ\ 3,.01

‫ع‬3Jˆ 8: 0BC
*A‫ار‬0C‫م ا‬3A‫ا‬

81

b) Hadîts riwayat Imâm al- Dârimi (2) Hadîts riwayat Imâm al- Dârimi diawali dengan kata 3YIFP‫أ‬ yang disandarkan kepada al-Walîd Ibn Syujâ‘. Adapun urutan periwayat dan sanad hadîts tersebut sebagai berikut: Nama Periwayat Jarîr Ibn ‘Abd Allâh ‘Abd al- Rahmân Ibn Hilâl al- ‘Abasî Muslim/ Ibn Shabîh al- A‘masy al-Walîd Ibn Syuja’ Imâm al- Dârimî

Urutan Sebagai Periwayat

Urutan Sebagai Sanad

Periwayat I Periwayat II

Sanad V Sanad IV

Periwayat III Periwayat IV Periwayat V Periwayat VI

Sanad III Sanad II Sanad I Mukharrij al-Hadîts

82

Gambar XIX Skema sanad hadîts riwayat Imâm al- Dârimi (2) tentang adanya sunnah hasanah dan sunnah sayyiah

8\ 8A ‫ل‬34 >?\‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ [,\ ‫ل‬3gX —‫ ا‬0FM 8: I5Ia

8M 8M

V@FOC‫ ه©ل ا‬8: 8G1IC‫ ا‬0FM ³BFf 8:‫ ا‬/ >?@A

8M „GMÇ‫ا‬ 3,.01 [5‫و‬3OA <:‫أ‬ 3,.01 ‫ع‬3Jˆ 8: 0BC
83

Gambar XX Skema sanad hadîts riwayat Imâm al- Dârimî tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah

8A ‫ل‬34 >?\‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ [,\ 8\ ‫ل‬34

— 0FM 8: I5Ia 8M

8M

V@FOC‫ ه©ل ا‬8: 8G1IC‫ ا‬0FM

ÄBg\

8M

3,.

³BFf 8: />?@A

>f3M

8M

3,.

„GMµ‫ا‬

[,BBM 8: ‫ن‬3BŠ\

3YIFP‫أ‬

3YIFP‫أ‬

[5‫و‬3OA <:‫ا‬ 3,.01 ‫ع‬3Jˆ 8: 0BC
*A‫ار‬0C‫ا‬

84

3) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal a) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal (1) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal (1) diawali dengan kata 3,.01 yang disandarkan kepada ‘Abd Allâh. Adapun urutan riwayat dan sanad hadîts tersebut adalah:

Jarîr

Periwayat I

Urutan Sebagai Sanad Periwayat VI

Abî Wâil ‘Ăshim Ibn Abî alNajwad Sufyân Ahmad Ibn Muhammad

Periwayat II Periwayat III

Sanad V Sanad IV

Periwayat IV Periwayat V

Sanad III Sanad II

Urutan Sebagai Periwayat

Nama Periwayat

‘Abd Allâh Imâm Ahmad Hanbal

Periwayat VI Ibn Periwayat VII

Sanad I Mukharrij alHadîts

85

Gambar XXI Skema sanad riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah

[,\ 8\ 8A ‫ل‬34 >?\‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ [,@1 ‫ل‬34 8M 8M

I5Ia E]‫* وا‬:‫أ‬ ‫<د‬J,C‫* ا‬:‫ أ‬8:‫> ا‬f3M

8M

‫ن‬3BŠ\ 8M 3,.01 V,.01

0GdA 8: 0G1‫ ا‬/*:‫ا‬ —‫ ا‬0FM EF,1 8:‫ ا‬0G1‫م ا‬3A‫ا‬

86

b) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal (2) Hadîts riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal (2) diawali dengan kata 3,.01 yang disandarkan kepada ‘Abd Allâh. Adapun urutan riwayat dan sanad hadîts tersebut adalah: Nama Periwayat

Urutan Sebagai Periwayat

Periwayat I Jarîr Ibn ‘Abd Allâh ‘Abd al- Rahmân Ibn Periwayat II Hilal al- ‘Abasî Muslim Ibn Shabîh Periwayat III Al- A‘masy Periwayat IV Abû Mu‘âwiyah Periwayat V Sufyân Periwayat VI Abî Ahmad Ibn Periwayat VII Muhammad Imâm Ahmad Ibn Periwayat VIII Hanbal

Urutan Sebagai Sanad Sanad VII Sanad VI Sanad V Sanad IV Sanad III Sanad II Sanad I Mukharrij alHadîts

Berikut skema sanad riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal tentang riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal

87

Gambar XXII Skema sanad riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah

[,\ 8\ 8A ‫ل‬34 >?\‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ [,@1 ‫ل‬34 I5Ia 8M 8M

V@FOC‫ ه©ل ا‬8: 8G1IC‫ ا‬0FM ³BFf 8:‫ ا‬/>?@A

8M 3,.01

„GMµ‫ا‬ [5‫و‬3OA <:‫ا‬

3,.01 *,.01

0GdA 8: 0G1‫ ا‬/*:‫ا‬ —‫ ا‬0FM

3,.01 EF,1 8:0G1‫ا‬

88

Gambar XXIII Skema sanad riwayat Imâm Ahmad Ibn Hanbal tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah

‫ل‬34

[,\ 8\ 8A ‫ل‬34 >?\‫ و‬WB?M —‫ ا‬V?f —‫ر\<ل ا‬ [,@1 —‫ ا‬0FM 8: I5Ia

8M 8M

V@FOC‫ ه©ل ا‬8G1IC‫ ا‬0FM

8M

³BFf 8:‫ ا‬/>?@A

8M E]‫* وا‬:‫أ‬

‫<د‬J,C‫* ا‬:‫ أ‬8:‫> ا‬f3M

8M

8M

‫ن‬3BŠ\

„GMµ‫ا‬ 3,.01 [5‫و‬3OA <:‫ا‬ 3,.01

3,.01

0GdA 8: 0G1‫ ا‬/*:‫ا‬ *,.01 —‫ ا‬0FM 3,.01 EF,1 8:0G1‫ا‬

89

Dari paparan variasi sanad di atas tempak jelas bahwa yang diriwayatkan oleh Imâm Ibn Mâjah tentang adanya sunnah hasanah dan sunnah sayyiah mempunyai syâhid yaitu Juhayfah dalam Imâm Ibn Mâjah sendiri. Di samping mempunyai syâhid, hadîts tersebut mempunyai muttabi‘ yang banyak yaitu al-Hakam dalam riwayat Imâm Ibn Mâjah sendiri, ‘Abd al-Rahmân dalam riwayat Ahmad Ibn Hanbal (1) dan alDârimî (2), Saqîf dari riwayat al-Dârimî (1) dan ‘Abd Wâil dari riwayat Ahmad Ibn Hanbal (2). Mutba‘ah dalam penelitian ini ada dua yaitu tâm dan qashîr. Yang tâm adalah ‘Abd al-Rahmân riwayat Ahmad Ibn Hanbal (1), dan al-Dârimî (2) dalam riwayat al-Dârimî (1) dan Ahmad Ibn Hanbal (2). Dan yang qashîr adalah al-Hakam dalam riwayat Imâm Ibn Mâjah sendiri. Hadîts di atas dalam thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh dua orang perawi atau berstatus ‘aziz dan pada thabaqah selanjutnya sampai terakhir diriwayatkan oleh banyak perawi atau masyhûr.

3. Meneliti kualitas periwayat dan persambungan sanad Dalam kegiatan kritik sanad hadîts atau disebut penelitian sanad hadîts, penelitian dilakukan dari riwayat pertama sampai terakhir atau

90

sebaliknya. Dan karena sanad yang ada pada hadîts tersebut berjumlah banyak maka penulis memilih sanadnya Imâm Ibn Mâjah untuk diteliti. Adapun bunyi riwayat hadîts berdasarkan sanad Imâm Ibn Mâjah tersebut adalah:

3َ,.َ 0/ 1 َ [َ Yَ ‫<َا‬M َ <ُ:‫ َأ‬3َ,.َ 0/ 1 َ ‫ب‬ ِ ‫‡<َا ِر‬ / C‫ِ* ا‬:‫ َأ‬8 ِ :ْ • ِ ?ِGَ Cْ ‫ ا‬0ِ Fْ M َ 8 ُ :ْ 0ُ G/ d َ Aُ 3َ,.َ 0/ 1 َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ل َر‬ َ 3َ4 ‫ل‬ َ 3َ4 Wِ Bِ:‫ْ َأ‬8M َ Iٍ 5ِIa َ 8 ِ :ْ ‫ ِر‬Uِ ,ْ Gُ Cْ ‫ْ ا‬8M َ Iٍ Bْ Gَ M ُ 8 ُ :ْ • ِ ?ِGَ Cْ ‫ ا‬0ُ Fْ M َ 3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ ُ\ 8 /\ َ ْ8Aَ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ُ< ِر ِه‬a‫ْ ُأ‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫َو‬ 3َC zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ َو ِوزْ ُر‬3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx \ َ 3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ْ َأوْزَا ِر ِه‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ Artinya: Telah bercerita kepada kami Muhammad Ibn ‘Abd al- Malik ibn Abi al- Syâwarib, telah bercerita kepada kami Abu ‘Uwânah, telah bercerita kepada kami ‘Abd al-Malik Ibn ‘Umayr dari Mundzîr Ibn Jarîr dari ayahnya ia berkata: Rasûl Allâh saw bersabda: “Barang siapa yang melakukan sunnah yang baik dan sunnah itu diamalkan maka baginya pahalanya dan semisal pahala orang yang mengamalkannya tidak berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan sunnah yang jelek maka baginya pahalanya dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya yang tidak berkurang dari sedikitpun dari pahala mereka.57 Kemudian untuk urutan nama periwayat hadîts riwayat Imâm Ibn Mâjah tersebut adalah Jarîr Ibn ‘Abd Allâh periwayat I, Al- Mundzîr Ibn Jarîr periwayat II, Abû ‘Uwânah periwayat III, Muhammad Ibn ‘Abd al- Malik Ibn Abî al- Syawârib periwayat IV, Untuk penelitian kualitas periwayat dan persambungan sanad riwayat Imâm Ibn Mâjah ini, penulis memulainya dari periwayat pertama 57

Al-Qazwînî, Sunan, Juz I, 80.

91

yaitu Jarîr lalu diikuti oleh periwayat berikutnya dan seterusnya sampai periwayat terakhir. a. Jarîr 1) Nama lengkapnya: Jarîr Ibn ‘Abd Allâh Ibn Jâbir. Dia adalah al-salîl Ibn Mâlik Ibn Nadlr Ibn Tsa‘labah Ibn Jusam Ibn ‘Uwayf al-Bajalî alQasrî, Abû Amr. Dan menurut pendapat lain: Abu ‘Abd Allâh alYamânî. 2) Guru dan muridnya dibidang periwayatan hadîts a) Gurunya: Nabi saw, ‘Umar dan Mu‘awiyah. b) Muridnya: anak-anaknya al-Mundzîr, ‘Ubayd Allâh, Ayyûb, Ibrâhîm dan cucunya Abû Zur‘ah Ibn ‘Amr, Anas, Abu Wâil, Zayd Ibn Wahâb, Ziyâd Ibn ‘Alâqah, al-Sya‘bi, Qays Ibn Abî Hâzim, Hamâm Ibn al-Hârts, Abû Dhabyân Hasyim Ibn Jundab dan sebagainya. 3) Pernyataan para kritikus hadîts tentang dirinya: 1) Ibn Sa‘d: Ia masuk Islam pada tahun nabi wafat dan bertempat tinggal di Kuffah. 2) Ibn al-Barqî: Dia pindah dari Kufah Qarqisiyâ dan bertempat tinggal di sana dan dia berkata saya tidak bertempat tinggal di negara yang di sana ‘Utsmân dicaci. 3) Jarîr berkata: saya selalu bersama Rasûl sejak saya masuk Islam dan beliau selalu tersenyum ketika melihat saya (Bukhari Muslîm).

92

4) ‘Abd al-Malik Ibn ‘Umayr: saya pernah melihat Jarîr Ibn ‘Abd Allâh wajahnya seperti belahan bulan,dan ‘Umar Ibn Khaththâb: semoga Allah mengasihimu. Kamu adalah orang yang terbaik pada masa jahiliyah. Dan kamu adalah orang terbaik pada masa Islam. 5) Khâlifah dan sebagian berkata dia mati tahun 51 dan ada yang berpendapat selain tahun 51.58 Para kritikus hadîts tidak ada yang mencela pribadi Jarîr dalam periwayatan hadîts. Dengan melihat hubungan pribadinya dengan nabi dan pujian ‘Umar Ibn Khaththâb, maka Jarîr adalah sahabat nabi yang tidak perlu diragukan kejujurannya dalam menyampaikan hadîts nabi. Lambang yang digunakan dalam meriwayatkan hadîts adalah qâla yang menurut sebagian ulam sama dengan an atau anna, karena Jarîr adalah orang yang shahîh tak bersyarat, maka dinyatakan sanad yang diteliti ini diterima langsung dari nabi. Dengan demikian antaran nabi dan Jarîr telah terjadi persambungan periwayatan hadîts. b. Mundzir Ibn Jarîr 1) Nama lengkapnya: al-Mundzir Ibn Jarîr Ibn ‘Abd Allâh al-Bajalî alKufi. 2) Guru dan muridnya dibidang periwayatan hadîts. a) Gurunya: ayahnya (Jarîr)

58

Al-'Asqalanî, Tahdzîb, Juz II, 40.

93

b) Muridnya: ‘Abd Malik Ibn ‘Umayr, ‘Awn Ibn Abî Juhayfah, Abû Ishâk al-Sabî‘î, al-Dlahâk Ibn Mundzir dan Abû Hayyan, al-Taymî masih diperselisihkan. 3) Pernyataan para kritikus hadîts tentang dirinya. a) Ibn Hibban, menyebutnya termasuk orang-orang yang Tsiqah.59 Tidak ada seorang kritikuspun yang mencela Mundzir Ibn Jarîr. Pujian orang yang diberikan kepadanya adalah pujian berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataan bahwa dia telah menerima riwayat hadits di atas dari Jarîr walaupun dengan menggunakan lambang an dapat dipercaya. Itu berarti bahwa sanad antara dia dengan Jarîr dalam keadaan bersambung. c. ‘Abd Malik Ibn ‘Umayr 1) Nama lengkapnya: ‘Abd Malik Ibn ‘Umayr Ibn Suwayd Ibn Hâritsah al-Qurasyî, dan menurut pendapat lain al-Lakhmî, Abû ‘Amr, ada yang berpendapat Abû ‘Umar al-Kûfi yang dikenal dengan al-Qibthî. Dia pernah melihat ‘Ali dan Abû Mûsâ. 2) Guru dan muridnya dalam periwayatan hadîts a)

Gurunya: al-Asy‘ats Ibn Qays, Jâbir Ibn Samrah, Jundab Ibn ‘Abd Allâh al-Bajalî, Jarîr, ‘Athiyyah al-Qardhî, Ummu ‘Athiyyah al-Anshâriyyah, Ummu al-‘Ala’, ‘Abd Allâh Ibn Zubayr, al-Muqhîrah Ibn Syu‘bah, al-Nu’man Ibn Basyîr, ‘Amr

59

Ibid, Juz VII, 346.

94

Ibn Hârits, Jabr Ibn ‘Atik, Asyad Ibn Shafwân, Rub‘î Ibn Harasy, ‘Abd Allâh Ibn al- Hârits, Ibn Nawfal, ‘Abd al-Rahmân Ibn Abî Laylî, al-Qamah Ibn Wail, Qaz‘ah Ibn Yahyâ, Muhammad Ibn alMuntasyir, Mash’ab Ibn Sa‘ad, al-Mundzir Ibn Jarîr, Warâd Kâhb al-Muqhîrah, Abî al-Ahwash al-Jasyimî, Abi Bardah Ibn Abî Mûsâ, Abi Bakar Ibn Imarah, Abi Salâmah Ibn ‘Abd al-Rahmân, Amr Ibn Maymûn al-‘Awdî, Musa Ibn Thalhah Ibn ‘Abd Allâh dan sebagainya. b)

Muridnya: Anaknya Mûsa, Syahr Ibn Hawsyab al-A’masy, Sulaymân al-Taymi, Zaydah, Misar al-Tsauri, Syu‘bah, Zayd Ibn Abî Anisah, Jarîr Ibn Abî Hâzim, Ismâîl Ibn Amr al-Râqî, Su‘ayb Ibn Shafwân, Ziyâd Ibn al-Bukhârî, Jarîr Ibn Abi ‘Abd al-Hamîd, Israil, Hamâd Ibn Salâmah, Zakariya’ Ibn Abi Zaidah, Syurayk, al-Nakha‘î, Samsar al-Nahwi, ‘Umar Ibn Ubayd al-Thanâfasî, ‘Ubaydah Ibn Hamîd, Muhammad Ibn Syabib, al-Walîd Ibn Abi Tsawr, Abu Hamzah, al-Nakhri, Sufyân Ibn ‘Uyaynah.

3) Pernyataan para kritikus hadîts tentang dirinya: a)

al-Bukhârî: dari Ali Ibn Ma’dînî: dia mempunyai sekitar 200 hadîts.

b)

60

Ibid.

Abû Ishâq Ibn Manshûr: Ahmad mendlaîf60kannya

95

c)

Shâlih Ibn Ahmad dari ayahnya Samak lebih bagus hadîtsnya dibanding dia, itu karena bahwa sesungguhnya Ahmad Ibn Malik masih diperselisihkan oleh para huffâdh.

d)

Ishâq Ibn Manshûr dari Ibn Mu‘în, Mukhlath.

e)

Al-‘Ajalî ia meriwayatkan lebih dari 100 hadîts

f)

Al-Bukhari: ia mendengar ‘Abd al-Malik berkata sesungguhnya saya meriwayatkan hadîts yang saya tidak meninggalkan satu hurufpun darinya. Dan al-Bukhârî menjelaskan bahwa 'Abd alMalik termasuk orang yang paling fashîh.

g)

Abu Bakar Ibn ‘Iyasy: saya mendengar Abû Ishâq al-Hamdanî berkata ambillah ilmu dari ‘Abd al-Malik Ibn ‘Unayr.

h)

Nasai: Lays bih ba’s (tidak cacat).

i)

Ibn Hibbân menyebutkan termasuk orang yang tsiqah

j)

Ibn Numayr: tsiqah, tsabt61 fi al-hadîts

k)

Ibn Barq dari Ibn Mu‘în: tsiqah hanya saja dia salah dalam satu atau dua hadîts.

l)

Abu Zur‘ah dari Abi ‘Ubaydah Ibn al-Jarrah: Mursal.62 Para kritikus hadîts menilai ‘Abd Malik Ibn ‘Umayr Tsiqah dan

Tsiqah tsabt fî al- hadîts, kecuali Ahmad yang menyatakan ia dla‘îf dan masih diperselisihkan oleh para huffadz. Ibn Mu‘în yang menjelaskan ia

61 62

Tsabt sama dengan tsiqah Ibid., juz 5, 310-312: Mursal adalah hadîts yang terputus dari sanadnya sesudah tabi'î

96

mukhlath dan ‘Ubayd Allâh Ibn Jarrâh yang menyatakan ia adalah mursal, namun pernyataan itu terbantah oleh dirinya sendiri melalui Bukhari dan para kritikus lainnya yang menjelaskan ia hanya salah dalam satu hadîts saja. Dalam penelitian ini, karena sanadnya mempunyai syâhid dan ia juga mempunyai muttabi’ yaitu Israîl, Muslim dan ‘Asyim, Ibn al-Najwadi, yang setelah diteliti juga memenuhi syarat, yakni bersambung sanadnya dan seluruh periwayatnya juga bersifat tsiqah. Kalau begitu sanad antara ‘Abd al-Malik yang mempunyai pendukung kuat walaupun menggunakan lambang an dalam hal ini terhindar dari kesalahan dalam bidang rijal alhadîts, ini berarti sanad antara ‘Abd al-Malik dan Jarîr Ibn Mundzir bersambung. d. Abû ‘Uwânah 1) Nama lengkapnya: al-Wadl-dlah Ibn ‘Abd Allâh al-Yasykurî, Yazid Ibn Atha’, Abu ‘Uwânah al-Wâsithî al-Bazzaz. Orang yang pernah menahan Jurjanî. 2) Guru dan murid di bidang periwayatan hadîts a) Gurunya Asy‘ats Ibn Abî al-Sya‘tsa, al-Aswad Ibn Qays, Qatâdah, Abu Bisyr, Hash¸în Ibn ‘Abd al-Rahmân, Bayan Ibn Bisyr, Ismâîl al-Suda’, Ibrâhim Ibn Muhammad Ibn al-Muntasyir, Ibrâhim Ibn Muhajjir, ‘Abd al-Malik Ibn ‘Umayr, al-Ja’d Ibn Abi Utsman, Bakir Ibn al-Akhnas, dan sebagainya.

97

b) Muridnya: Syu‘bah, Ibn ‘Âliyah, Abû Dâwud, Abû al-Walîd alThayalisan, al-Fadl Ibn Musâwir Sharrah, ‘Abd al-Rahmân, Ibn Mahdî, Abû Hisyâm al-Mahzûmî, ‘Affân Yahyâ Ibn Hammad, Abû Salâmah Ibn Ismâîl, Hubban Ibn Hilâl, ‘Abd al-Rahmân, Ibn al-Mubârak,

al-‘Aysyi,

Ali

Ibn

Hakim al-Marwazi,”Arim,

Muhammad Ibn ‘Abd al-Malik Ibn Abi al-Syawarib al-Hayisam dan sebagainya. 3) Pernyataan para kritikus tentang dirinya: a) Abû Hâtim: saya mendengar Hisyâm Ibn ‘Abd Allâh al-Râzi berkata: saya bertanya kepada Ibn al-Mubârak: Siapa orang yang paling banyak meriwayatkan hadits atau yang paling baik haditsnya dari Mughîrah ia menjawab: Abû ‘Uwânah. b) Ahmad Ibn Sanan: saya mendengar Ibn Mahdî berkata: tulisan Abû ‘Uwânah lebih kuat (atsbat63) dibanding hafalan Hâsyim. c) Musaddad: saya mendengar Yahyâ al-Qaththân berkata: tidaklah sama hadîtsnya dengan hadîts keduanya, yakni Abû ‘Uwânah dan Sufyân. d) ‘Affân berkata Abû ‘Uwânah tulisannya shahih (benar) banyak ‘Ajam dan titiknya. Dia itu tsabt dan Abû ‘Uwânah di dalam segala keadaannya lebih shahih haditsnya dibanding Syu’ban menurut kami. 63

Atsbat sama dengan awtsaq

98

e) Abû Thâlib dari Ahmad, Abû ‘Uwanah jika meriwayatkan hadits dari tulisannya itu lebih kuat (atsbat) dan jika meriwayatkan hadits dari selain tulisannya kadang-kadang bingung. f) Ibn Abi Khaytsamah dari Mu‘în: Tsabt. g) Abû Zur‘ah: tsiqah jika meriwayatkan dari tulisannya. h) Abû Hâtim: shaduq, tsiqah. i) Yahyâ: tsiqah j) Ibn Sa’d: tsiqah, shaduq k) Al-‘Ajalî: tsiqah l) Ibn Syahr: Tsiqah m) Syu’ban: Shaduq n) Ibn al-Madini: dlaif o) Ya’qûb Ibn Tsaybah: Tsabt, Hujjah dan jika menceritakan hadits dari hafalannya kadang salah. p) Muhammad Mahbûb ia mati pada bulan Rabî’ al-awwal tahun 176 H q) Orang lain: tahun 175 H r) Ibn Hibban menyebutnya termasuk orang yang tsiqah.64 Tidak ada seorang kritikuspun yang mencela Abû ‘Uwânah. Pujian orang yang diberikan kepadanya adalah pujian berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataan bahwa dia telah menerima 64

Ibid.

99

riwayat hadits di atas dari ‘Abd al-Malik Ibn Umayr dengan metode alsama’ yaitu dengan menggunakan lambang Haddatsana dapat dipercaya. Itu berarti bahwa sanad antara dia dengan ‘Abd al-Malik Ibn Umayr dalam keadaan bersambung. e. Muhammad Ibn ‘Abd al-Malik Ibn Abi al-Syawârib 1) Nama lengkapnya: Muhammad Ibn ‘Abd al-Malik Ibn Abî alSyawârib, Muhammad Ibn ‘Abd Allah Ibn Abi Umayr Ibn ‘Abd Allah Ibn Khalîd Ibn Asad Ibn abi al-‘Ish Ibn Umayyah al-Qurasyi alUmawi Abu ‘Abd Allâh al-Ubulli al-Bashri. 2) Guru dan Muridnya: a) Gurunya: Katsîr Ibn Sulayâm al-Madanî, ‘Abd al-‘Azîz alMukhtâr, Abi ‘Uwânah, Yûsuf Ibn Ya’qûb al-Mujasyûn, Yazîd Ibn Zurayj, Bisyr Ibn al-Mufdlal, Salam Ibn Abî al-Shahaba, ‘Abd alWâhid Ibn Ziyâd, ‘Abd al-Warîts Ibn Sa’id, Abî ‘Ashîm al‘Ubadanî, Yahyâ Ibn Amr Ibn Malik al-Nakrî, Yahya Ibn Sulaym al-Thafi’i dan sebagainya. b) Muridnya: Muslim, al-Turmudzî, al-Nasa’î, Ibn Mâjah dan alNasa’î meriwayatkan hadîts dari Zakariya darinya, Abû Ismâil alTurmudzî, Ibn Abî al-Dunya, Abû ‘Abd Allâh Ibn Qahthabah, al‘Uqayli, Zakariya Ibn Yahyâ al-Saji, al-Hasan Ibn Ali al-Ma’mari, Ahmad Ibn Husayn al-Shufi, al-Shaqhir, Muhammad Ibn Jarîr al-

100

Thabari, Muhammad Ibn Muhammad Ibn Sulayman al-Baqhandi, ‘Abd Allâh Ibn Muhammad al-Baqhawî dan sebagainya. 3) Pernyataan para kritikus hadits tentang dirinya a) Abû Ali Ibn Khaqan dari Ahmad: tidaklah sampai kepada saya darinya kecuali baik (khayr) b) Shahih Ibn Muhammad al-As‘adi: Syaykh Jalîl Shadûq c) Al-Nasa’î: la ba’s bih (tidak cacat) d) Ibn Qani’: mati di Bashrah 10 Jumadi al-Akhir 244 H e) Al-Nasa’î dalam kitab Mashikhatih: tsiqah f) Maslamah: Tsiqah g) Ibn Syahin: tsiqah h) ‘Usman Ibn Abi Syaybah: Syaykh Shadûq, la ba’s bih i) al-Zuhrî: Muslim meriwayatkan sepuluh hadîts darinya.65 Tidak ada seorang kritikus hadîts yang mencela pribadi Muhammad Ibn ‘Abd al-Malik Ibn Abî al-Syawârib. Pujian orang yang diberikan kepadanya berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan demikian, pernyataan Muhammad Ibn ‘Abd al-Malik Ibn Abî al-Syawârib dengan lambang Hadatsana yaitu dengan metode al-Sama’ dapat dipercaya kebenarannya. Itu berarti pula bahwa sanad Muhammad Ibn ‘Abd alMalik Ibn Abî al-Syawârib dalam keadaan bersambung.

65

Ibid, Juz VII, 297-298.

101

4. Meneliti kemungkinan adanya Syudzûdz dan ‘illat Apabila seluruh sanad Ibn Mâjah diperhatikan ternyata masing-masing perawinya bersifat tsiqah bahkan dari para periwayat itu ketsiqahannya berperingkat tinggi dan tertinggi, terjadi persambungan sanad dan sanadnya sampai pada sumber utama yakni Nabi SAW. Kekuatan sanad Ibn Mâjah yang diteliti makin meningkat jika dikaitkan dengan pendukung (corraboration) berupa syâhid dan muttabi‘ secara keseluruhan dukungan berasal dari sanad Ibn Mâjah sendiri dari jalur yang lain, al-Dârimî (1 dan 2) dan Ahmad Ibn Hanbal (1 dan 2). Adapun syâhid tersebut berasal adalah Juhayfah dari riwayat Ibn Mâjah sendiri. Kemudian muttabi’nya adalah al-Hakam dari Ibn Mâjah sendiri, ‘Abd al-Rahmân dari sanad al-Dârimî (2) dan Ahmad Ibn Hanbal (2). Dengan alasan-alasan tersebut, maka sangat kecil kemungkinannya bahwa sanad yang penulis teliti itu mengandung syudzûdz ataupun ‘illat, sanad yang diteliti tersebut dinyatakan terhindar dari syudzûdz dan ‘illat. 5. Mengambil Natîjah Hadîts yang diteliti memiliki banyak sanad, walupun demikian hadîts tersebut bukanlah hadîts mutawatir, melainkan hadîts ahad. Melihat jumlah periwayat yang terdapat dalam seluruh sanad, hadîts tersebut tingkat pertama berstatus ‘azîz dan pada tingkat kedua dan seterusnya berstatus masyhûr maka hadîts tersebut adalah hadîts ahad masyhûr.

102

Setelah sanad Ibn Majâh diteliti, ternyata seluruh periwayatnya bersifat tsiqah (‘âdil dan dlâbit) sanadnya bersambung dan terhindar dari syudzûdz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Dengan demikian sanad hadîts tersebut berkualitas shahîh li dzâtih.

103

BAB III KRITIK MATAN HADÎTS TENTANG BID’AH

A. Kritik Matan Hadîts Setiap Bid’ah Itu Dlalâlah (Sesat) 1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad. Pada pembahasan bab II terdahulu, telah diuraikan kritik sanad tentang setiap bid’ah itu dlalâlah beserta skema sanadnya. Dan diteliti sanadnya, hadîts riwayat Abû Dâwud tersebut masing-masing perawinya bersifat tsiqqah (dlabit dan ‘adil) dan ketsiqqahannya berperingkat tinggi dan juga dinyatakan bersambung, serta dinyatakan terhindar dari syuzûdz dan ‘illat, sehingga pada kesimpulannya dinyatakan bahwa sanad hadîts riwayat Abû Dâwud berkualitas shahîh li dzatih. Karena kualitas sanad tidak mengikuti kualitas matan, maka diperlukan penelitian matan yang lebih cermat supaya dapat diketahui kualitasnya. 2. Meneliti susunan matan yang semakna a. Muslim

Wُ Y/ {َ‫ َآ‬V/e1 َ Wُ Fُ Œ َ « َ 0/ eَ ˆ ْ ‫ وَا‬Wُ Rُ ْْ َو‬3/@Aَ ‫ ُ`>ْ َو‬d َ F/ f َ ‫ل‬ ُ <ُg5َ „ ٍ Bْ a َ ‫ ُر‬Uِ ,ْ Aُ ‫ن‬ / …ِXَ 0ُ Oْ :َ 3/A‫ل َأ‬ ُ <ُg5َ ‫ َو‬Vَ\ ْ <ُ Cْ ‫ ِ[ وَا‬:َ 3/F@ / C‫ ا‬Wِ Bْ Oَ Fَ f ْ ‫ ِإ‬8 َ Bْ :َ ‫ن‬ ُ Iُ gْ 5َ ‫ َو‬8 ِ Bْ Rَ 3َc‫َآ‬ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ ا‬IL ˆ َ ‫ َو‬0ٍ G/ d َ Aُ ‫َى‬0‫َى ُه‬0cُ Cْ ‫ ا‬Iُ Bْ P َ ‫ َو‬Wِ ?/C‫ب ا‬ ُ 3َe‫¬ ِآ‬ ِ 5ِ0d َ Cْ ‫ ا‬Iَ Bْ P َ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E L ‫ َو ُآ‬3َcRُ 3َ.0َ d ْ Aُ Matan hadîts di atas berbeda dengan riwayat Abû Dâwud

104

b. Abû Dâwud

‫<ْ ٍم‬5َ ‫ت‬ َ ‫? َ> ذَا‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ َر‬3َ,:ِ V/?f َ ‫ض‬ ُ 3َ:ْIOِ Cْ ‫ل ا‬ َ 3َgXَ ْb?َa ِ ‫ن َو َو‬ ُ <ُBOُ Cْ ‫ ا‬3َc,ْ Aِ ْbXَ ‫ ً[ َذ َر‬iَ Bِ?:َ ً[j َM ِ ْ َأ‬/ .ُ ‫ذَا‬3َGXَ ‫ع‬ ٍ ‫د‬x <َ Aُ [ُ j َM ِ ْ`ُ Bِf‫ل أُو‬ َ 3َgXَ 3َ,Bْ Cَ‫ ِإ‬0ُ cَ Oْ Rَ ْ>`ُ Bْ ?َOَ Xَ ‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ ‫َى ا‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ َ: ْ>`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ 3†B‡ ِ Fَ 1 َ 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ ‫ َو‬3َc:ِ ‫@`ُ<ا‬ / Gَ Rَ 8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ ا‬8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬/,\ ُ ‫ِ* َو‬e,/@ ُ :ِ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: [ٌ Cَ3َ? َ Adapun letak perbedaan matan riwayat Muslim dengan Abû Dâwud dapat kita lihat, kalau pada Muslim pada awalnya dimulai dengan kata-kata :

0ٍ G/ d َ Aُ ‫َى‬0‫َى ُه‬0cُ Cْ ‫ ا‬Iُ Bْ P َ ‫ َو‬Wِ ?/C‫ب ا‬ ُ 3َe‫¬ ِآ‬ ِ 5ِ0d َ Cْ ‫ ا‬Iَ Bْ P َ ‫ن‬ / …ِXَ 0ُ Oْ :َ 3/A‫َأ‬ Sedangkan untuk riwayat Abû Dâwud pada awal dimulai dengan katakata

* †‡ ِ Fَ 1 َ ‫ا‬0ً Fْ M َ ْ‫ ِ[ َوِإن‬M َ 3/C‫ ِ€ وَا‬Gْ @ / C‫ وَا‬Wِ ?/C‫<َى ا‬gْ eَ :ِ ْ>`ُ Bِf‫أُو‬ Kemudian kalau pada Muslim, diakhiri dengan kata:

ْ8Aَ ‫ َو‬Wِ ?ِ‫ِ?َ{ ْه‬Xَ 3ًC3َA ‫ك‬ َ Iَ Rَ ْ8Aَ Wِ @ ِ Šْ Yَ ْ8Aِ 8 ٍ Aِ ْ­Aُ E x `ُ :ِ VَCْ‫ َأو‬3َY‫ل َأ‬ ُ <ُg5َ >/ .ُ * / ?َM َ ‫* َو‬ / Cَ…ِXَ 3ًM3َB َ ْ‫ َأو‬3ً,5ْ ‫ك َد‬ َ Iَ Rَ Dan seterusnya, maka pada Abû Dawud tidak. c. Ibn Mâjah

105

Untuk matan Ibn Mâjah hampir sama dengan matan Abû Dawud, namun terdapat beberapa perbedaan yaitu kalau pada Abû Dawud di mulai

ُ Bْf ِ ْ‫ ُاو‬sedangkan pada Ibn Mâjah kata ْ>`ُ Bْ ?َM َ dan pada Abû dengan kata ْ>` Dawud dilanjut dengan kata-kata

‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ ‫َى ا‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ :َ ْ>`ُ ,ْ Aِ ْ„ِO5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ Sedang pada Ibn Mâjah kata

‫ًا‬05ِ0ˆ َ 3ًX3َ?eِ P ْ ‫ِي ا‬0Oْ :َ ْ8Aِ ‫ن‬ َ ْ‫و‬Iَ eَ \ َ ‫َو‬

kemudian kalau pada Abû Dâwud terdapat kata 3َc:ِ

‫@`ُ<ا‬ / Gَ Rَ , sedang pada

Ibn Mâjah tidak. d. Al-Turmudzî Matan al- Turmudzî hampir sama dengan matan Abû Dâwud, hanya saja berbeda di belakangnya. Kalau Abû Dâwud

3َc:ِ ‫@`ُ<ا‬ / Gَ Rَ 8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ ا‬8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ ْ>`ُ Bْ ?َOَ Xَ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ ‫َو‬ [ٌ M َ ْ0:ِ Sedang pada matan al- Turmudzî terbalik:

Wِ Bْ ?َOَ Xَ ْ>`ُ ,ْ Aِ • َ Cِ‫ك َذ‬ َ ‫ْ َأدْ َر‬8Gَ Xَ [ٌ Cَ3َ? َ 3َcY/ …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫َوِإ‬ Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ 8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ا‬8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/@ ُ :ِ Selain terbalik, matan al- Turmudzî juga berbeda dengan matan Abû Dâwud dalam beberapa tempat. Kalau Abû Dâwud:

[ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ

106

Dalam al- Turmudzî langsung malah terdapat kata

[ٌ Cَ 3?َ َ 3َcY/ …ِ Xَ

juga ada kata

3cَ :ِ ‫@ ُ`<ْا‬ / Gَ Rَ

Wِ Bْ ?َOَ Xَ ْ>`ُ ,ْ Aِ • َ Cِ‫ك َذ‬ َ ‫ْ َأدْ َر‬8Gَ Xَ dan bukan kata ْ>`ُ Bْ ?َOَ Xَ .

e. Al-Nasâî Untuk matan al-Nasâ’î hampir sama dengan Imam Muslim, akan tetapi juga berbeda di beberapa tempat. Dalam riwayat Muslim langsung dengan kata

¬ ِ 5ِ0d َ Cْ ‫ ا‬Iَ Bْ P َ ‫ن‬ / …ِ Xَ dan seterusnya, pada al-Nasâ’î ini didahului

oleh kata-kata:

Wُ Cَ ‫ي‬ َ ‫ ِد‬3َ‫ ه‬3َ?Xَ Wُ ?ْ ?ِŒ ْ 5ُ ْ8Aَ ‫ َو‬Wُ Cَ E /Œ ِ Aُ 3َ?Xَ Wُ ?/C‫ ا‬zِ 0ِ cْ 5َ ْ8Aَ Kalau pada riwayat Muslim memakai kata

َ 0َ f ْ ‫ َا‬dan 8 َ@ َ1 ْ ‫َا‬. Nasâ’î memakai kata ‫ق‬

Iَ Bْ P َ

maka pada matan al-

107

f. Al-Dârimî 1) Matan al- Dârimî (1) hampir sama dengan matan Abû Dâwud pada awalnya, akan tetapi di akhirnya berbeda. Pada matan Abû Dâwud pada kata-kata:

[ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫تِ ا‬3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫َوِإ‬ diganti dengan kata

[ٌ M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ت‬ ِ 3َ.0َ d ْ Gُ Cْ ‫ ُآ>ْ وَا‬3/5‫َوِإ‬ akan tetapi kata itu itu diulang dan diganti dengan kata

[ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ ًة َوِإ‬I/ Aَ >ٍ f ِ 3َM <ُ:‫ل َأ‬ َ 3َ4 ‫و‬ [ٌ Cَ3َ? َ Selain itu, pada al- Dârimî tidak ada kata 3c َ :ِ

‫@ ُ`<ْا‬ / Gَ Rَ .

2) Matan al- Dârimî (2) sangat pendek dan berbeda dengan matan-matan sebelumnya, yaitu sebagai berikut:

‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ ا‬I/ ˆ َ ‫? َ> َو‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ 0ٍ G/ d َ Aُ ‫ي‬ ُ ْ0‫ي َه‬ ِ ْ0cَ Cْ ‫ ا‬E َŒ َ Xْ ‫ن َأ‬ / ‫ِإ‬ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ َو ُآ‬3َcRُ 3َ.0َ d ْ Aُ g. Ahmad Ibn Hanbal 1) Ahmad Ibn Hanbal (1) pada prinsipnya hampir sama dengan matan Muslim dan al-Nasâ’î, akan tetapi juga masih terdapat perbedaan. Kalau matan Muslim memakai kata memakai kata

‫ق‬ َ 0َ f ْ ‫َا‬

dan

8 َ@ َ1 ْ ‫َا‬.

َ 0َ f ْ ‫ َا‬dan E َŒ َ Xْ ‫َا‬. memakai kata ‫ق‬

Iَ Bْ P َ

pada matan al-Nasâ’î

Pada matan Ahmad Ibn Hanbal

108

2) Ahmad Ibn Hanbal (2) pada awalnya sama dengan matan al-Nasâ’î, yaitu memakai kata

Wُ Cَ ‫ي‬ َ ‫ ِد‬3َ‫ ه‬3َ?Xَ Wُ ?ْ ?ِŒ ْ 5ُ ْ8Aَ ‫ َو‬Wُ Cَ E /Œ ِ Aُ 3َ?Xَ Wُ ?/C‫ ا‬zِ 0ِ cْ 5َ ْ8Aَ Dan untuk selanjutnya sama dengan matan Muslim, yaitu:

0ٍ G/ d َ Aُ ‫َى‬0‫َى ُه‬0cُ Cْ ‫ ا‬Iُ Bْ P َ ‫ َو‬Wِ ?/C‫ب ا‬ ُ 3َe‫¬ ِآ‬ ِ 5ِ0d َ Cْ ‫ ا‬Iَ Bْ P َ ‫ن‬ / …ِXَ akan tetapi akhirnya berbeda, kalau matan Muslim itu menggunakan kata

[ٌ M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ َو ُآ‬, sedangkan matan

Ahmad Ibn Hanbal

E L ‫َو ُآ‬

[ٌ M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ . 3) Ahmad Ibn Hanbal (3) pada awalnya sama dengan matan Abû Dâwud dan sedikit berbeda yaitu kalau dalam matan Abû Dâwud:

‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ ‫َى ا‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ :َ ْ>`ُ ,ْ Aِ ْ„ِO5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ Maka pada matan Ahmad Ibn Hanbal (3) ini tidak ada kata tidak menggunakan dan

‫ى‬Iَ Bَ @ َ Xَ

akan tetapi hanya

‫ى‬Iَ 5َ

ْ‫ي‬0ِ Oْ :َ dan

tanpa huruf

‫ف‬

‫س‬.

4) Untuk matan Ahmad Ibn Hanbal (4) ini sama persis dengan matan Abû Dâwud. Karena Abû Dâwud meriwayatkan hadîts tersebut juga berasal dari Ahmad Ibn Hanbal. 3. Meneliti Kemungkinan Adanya Syudzûdz dan ‘Illat.

109

Setelah

diteliti

dengan

membandingkan

matan

hadîts

yang

diriwayatkan oleh Abû Dâwud dengan matan yang lain, dapat disimpulkan bahwa, matan hadîts tersebut bersesuaian dengan makna dan berdekatan dalam kalimatnya. Dengan demikian, maka matan hadîts tersebut dapat dinyatakan tidak mengandung syudzûdz dan ‘illat, walaupun antara matan yang satu dengan matan yang lain terdapat perbedaan. Perbedaan lafadh yang ada tersebut masih dapat ditoleransi karena tidak sedikitpun merusak makna dan hal itu terjadi akibat dari adanya periwayatan secara makna. 4. Mengambil Natîjah Setelah melakukan langkah-langkah penelitian matan mulai dari meneliti kualitas matan dengan melihat kualitas sanad, meneliti susunan matan yang semakna dan meneliti kemungkinan adanya syudzûdz dan ‘Illat dinyatakan bahwa kualitas sanadnya shahîh, matannya bersesuaian dalam makna dan berdekatan dalam kalimat dan dinyatakan terhindar dari syudzûdz dan ‘illat, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas matan hadîts riwayat Ibn Mâjah tersebut adalah berkualitas shahîh li dzâtih.

B. Kritik Matan Hadîts Tentang Adanya Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyiah. 1. Meneliti matan dengan kualitas sanad

110

Pada pembahasan bab II yang terdahulu, telah diuraikan kritik sanad tentang adanya sunnah hasanah dan sunnah sayyiah beserta sanadnya. Dan setelah diteliti sanadnya, hadîts riwayat Ibn Mâjah tersebut masing-masing perawinya bersifat tsiqqah dlabit dan ‘âdil dan ketsiqqahannya berperingkat tinggi dan tertinggi, bersambung dan terhindar dari syudzûdz dan ‘Illat serta diketahui berkualitas shahîh li dzatih. Karena kualitas sanad tidak mengikuti kualitas matan, maka diperlukan penelitian matan yang lebih cermat supaya dapat diketahui kualitas sanadnya. 2. Meneliti susunan matan yang yang semakna a. Ibn Mâjah 1) Ibn Mâjah (1)

E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ >َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ Wُ ?/C‫ ا‬V/?f َ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ل َر‬ َ 3َ4 ْ8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ َ‫ و‬3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ 3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx\ َ ً[,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ُ< ِر ِه‬a‫ُأ‬ 3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ْ َأوْزَا ِر ِه‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫َو ِوزْ ُر‬ 2) Ibn Mâjah (2)

ِْ>‫<ْر ِه‬a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬,zُ Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zُ 0َ Oْ :َ 3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ َ1 [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬.3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫<ْ ِر ِه‬a ُ ‫ْ ُأ‬8Aِ ˜ َ gُ ,ْ 5َ ْ‫ َان‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ ْ8Aِ ˜ َ gُ ,ْ 5َ ْ‫ َان‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ ْ>‫ َأوْزَا ِر ِه‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬zُ ‫ ِوزْ ُر‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zُ 0َ Oْ :َ 3َc:ِ .3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫َأوْزَا ِر ِه‬ Adapun letak perbedaan matan Ibn Mâjah (1) dan Ibn Mâjah (2) dapat kita lihat, kalau matan Ibn Mâjah (1) tidak ada kata

zُ 0َ Oْ :َ

111

zُ 0َ Oْ :َ

dalam Ibn Mâjah (2) terdapat kata

dalam Ibn Mâjah (1) menggunakan kata

َ gُ ,ْ 5َ Mâjah (2) menggunakan kata ˜

dua kali. Kemudian kalau

˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3Cَ

maka dalam Ibn

ْ‫ َان‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ .

b. Al-Dârimî 1) Al-Dârimî (1)

E ُ ‚ْ Aِ Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zُ 0َ Oْ :َ 3َc:ِ E َ Gِ M ُ [ً ,َ @ َ1 َ ً[,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ Wِ ?/C‫ل ا‬ ُ <ُ\‫ل َر‬ َ 3َ4 ْ8Aَ ‫ َو‬، ٌ‫ْء‬Vˆ َ zِ Iِ a ْ ‫ْ َأ‬8Aِ ˜ َ gَ ,ْ 5ُ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫َأ‬ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ ِوزْ ِر‬E ُ ‚ْ Aِ ِWBْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ َ™ ً[ آ‬Bx\ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ٌ‫ْء‬Vˆ َ zِ ‫ْ َأوْزَا ِر‬8Aِ ˜ َ gَ ,ْ 5ُ Untuk matan al-Dârimî sebagaimana terlihat, terdapat sedikit perbedaan dengan matan Ibn Mâjah (2). Kalau dalam matan Ibn Mâjah terdapat huruf dalam kata

zُ 0َ Oْ :َ E َ Gِ Oُ Xَ

sedangkan dalam al-Dârimî

tidak. Kemudian dalam matan Ibn Mâjah selanjutnya menggunakan

ِْ>‫<ْر ِه‬a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬,zُ Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫آ‬ menggunakan kata-kata

maka dalm matan al-Dârimî

3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫آ‬kemudian

selanjutnya dalam matan Ibn Mâjah menggunakan kata

ْ>‫ َأوْزَا ِر ِه‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬zُ ‫ ِوزْ ُر‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫آ‬ Maka dalam matan al-Dârimî menggunakan kata

112

3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ ِوزْ ِر‬E ُ ‚ْ Aِ Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫آ‬ Kemudian yang selanjutnya, kalau dalam Ibn Mâjah (2) kata

3™ً Bْ ˆ َ

dengan harakat fathah tanwin maka dalam matan al-Dârimî menggunakan harakat dlummah tanwin.

113

2) Al-Dârimî (2) Untuk matan al-Dârimî (2) berbeda dengan al-Dârimî (1). Kalau untuk al-Dârimî (1) menggunakan kata maka dalam al-Dârimî (2)

3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫آ‬

3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬zُ Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫آ‬.

Kemudian kalau dalam al-Dârimî (1) memakai kata-kata

zِ Iِ a ْ ‫ْ أ‬8Aِ

ْ>‫ ِه‬Iِ a ْ ‫ْ أ‬8Aِ

kemudian

maka dalam al-Dârimî (2) menggunakan kata kalau dalam al-Dârimî (1) menggunakan

3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ ِوزْ ِر‬E ُ ‚ْ Aِ Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫آ‬ maka dalam matan al-Dârimî (2) menggunakan kata

3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ ِوزْ ِر‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬zُ ‫ ِوزْ ُر‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫آ‬ c. Ahmad Ibn Hanbal. 1) Ahmad Ibn Hanbal (1) Untuk matan Ahmad Ibn Hanbal (1) berbeda dengan matan alDârimî (2) kalau dalam matan al- Dârimî (2) menggunakan kata

ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬zُ Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ ً[ آ‬,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ˜ َ gَ ,ْ 5ُ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ

Maka dalam matan Ahmad Ibn Hanbal

114

Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ Oُ َX [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ˜ َ gَ eَ ,ْ 5ُ ْ‫ َأن‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Yaitu terdapat tambahan

zُ 0َ Oْ :َ 3cَ :ِ E َ Gِ Oُ Xَ

dan ada pergantian dlamîr

mudzakkar ke dlamîr muannats. Selain itu kata dengan

˜ َ gَ eَ ,ْ 5ُ ْ‫َان‬

˜ َ gُ ,ْ 5َ ْ‫َان‬

diganti

kemudian kalau dalam matan al-Dârimî

menggunakan kata

3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ ِوزْ ِر‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬zُ ‫ ِوزْ ُر‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ َ™ ً[ آ‬Bx\ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫َو‬ Kemudian kalau dalam matan Ahmad Ibn Hanbal (1) menggunakan kata-kata

‫ َو ِوزْ ُر‬3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ M ُ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫َو‬ 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Yaitu terdapat tambahan kata pergantian dlamîr

َ gُ ,ْ 5َ kata-kata ˜

zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3cَ :ِ E َ Gِ M ُ

selain itu terdapat

z (mudzakkar) ke dlamîr 3‫( ه‬muannats): kemudian

ْ‫ َان‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ diganti ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3Cَ‫ َو‬.

2) Ahmad Ibn Hanbal (2) Matan Ahmad Ibn Hanbal (2) hampir sama dengan matan Ahmad Ibn Hanbal (1), akan tetapi terdapat sedikit perbedaan yaitu tidak kata

115

3cَ :ِ E َ Gِ Oُ Xَ atau 3cَ :ِ E َ Gِ M ُ kemudian kata ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3Cَ‫ َو‬diganti dengan kata ˜ َ gَ eَ ,ْ 5ُ ْ‫ َان‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ kemudian diulangi lagi kata ˜ َ gُ ,ْ 5َ ْ‫ َان‬Iِ Bْ « َ ْ8Aِ . 3. Meneliti Kemungkinan Adanya Syudzûdz dan ‘Illat Setelah

diteliti

dengan

membandingkan

matan

hadîts

yang

diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dengan matan yang lain, dapat disimpulkan bahwa matan hadîts tersebut bersesuaian dalam makna dan berdekatan dalam kalimatnya. Dengan demikian maka matan hadîts tersebut dapat dinyatakan tidak mengandung syudzûdz dan ‘illat.

4. Mengambil Natîjah Setelah melakukan langkah-langkah penelitian matan mulai dari meneliti kualitas matan dengan melihat kualitas sanad, meneliti susunan matan yang semakna dan meneliti kemungkinan adanya syudzûdz dan ‘illat dan dinyatakan bahwa kualitas sanadnya shahîh, matannya bersesuaian dalam makna dan berdekatan dalam kalimat dan dinyatakan terhindar dari syudzûdz dan ‘illat, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas matan hadîts riwayat Abû Dâwud tersebut adalah shahîh li dzâtihi.

116

BAB IV ANALISIS PEMAHAMAN HADÎTS TENTANG BID’AH

A. Meneliti Kandungan Hadîts Yang Tampak Bertentangan Pada bab II yang lalu telah diadakan penelitian sanad, dan hasilnya, masing-masing dari kedua hadîts yang diteliti sanadnya berkualitas shahîh li dzâtih. Kemudian pada bab III yang lalu juga telah diadakan penelitian matan dan hasilnya masing-masing dari kedua hadîts berkualitas shahîh. Namun hadîts tentang setiap bid’ah itu sesat di bawah ini:

ْ>`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ 3†B‡ ِ Fَ 1 َ ‫ًا‬0Fْ M َ ْ‫ ِ[ َوِإن‬M َ 3/C‫ ِ€ وَا‬Gْ @ / C‫ وَا‬Wِ ?/C‫<َى ا‬gْ eَ :ِ ْ>`ُ Bِf‫أُو‬ 8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/@ ُ :ِ ْ>ُ`Bْ ?َOَ Xَ ‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ ‫َى ا‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ :َ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ ‫ َو‬3َc:ِ ‫@`ُ<ا‬ / Gَ Rَ 8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ا‬ (‫< داود‬:‫ أ‬z‫ )روا‬.[ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ Hadits diatas tampak ta‘ârudl manakala disandingkan dengan hadîts adanya sunnah hasanah dan sayyiah dibawah ini:

Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8َA :>َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ — ُ ‫ ا‬V/?f َ — ِ ‫لا‬ ُ ْ<\ ُ ‫ل َر‬ َ 34َ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬.3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫<ْ ِر ِه‬a ُ ‫ْ ُأ‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬,3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫َأ‬ ْ8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ َو ِوزْ ُر‬3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ ([a3A 8:‫ ا‬z‫ )روا‬.3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫َأوْزَا ِر ِه‬ Dalam disiplin ilmu hadîts jika ada ta‘ârudl seperti yang telah dijelaskan pada bab I, cara yang ditempuh adalah:

117

1. Al-Jam‘ yaitu menggabungkan atau mengkompromikan kedua hadîts yang bertentangan tersebut, sehingga keduanya tidak ada kontradiksi. 2. Kalau usaha di atas gagal, maka cara selanjutnya adalah dengan cara mencari mana dari kedua hadîts tersebut yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Yang datang dahulu namanya mansûkh sedang yang datang kemudian namanya nâsikh. 3. Tarjîh, yakni mengunggulkan salah satunya yang memiliki argumen yang kuat. 4. Kalau dari tiga cara tersebut juga gagal maka cara terakhir adalah membekukan hadîts tersebut. Dari keempat metode di atas dalam hal ini cara atau metode pertamalah yang sesuai untuk digunakan yakni al-jam‘. Dengan demikan, maka kedua hadîts di ats dikompromikan sehingga antara keduanya tidak ada kontradiksi. Lebih tepatnya hadîts ‘Irbadl ditakhshish oleh hadîts Jâbir.

B. Analisis Pemahaman Hadîts Tentang Bid’ah Dalam memahami hadîts tentang bid’ah sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam bab I, penulis akan melakukan langkah-langkah pemahaman sebagai berikut, yaitu menjelaskan syarh mufradat sunnah dan bid’ah, menjelaskan pemahaman ulama tentang sunnah dan bid’ah, sebuah perbandingan,

118

menjelaskan latar belakang sejarah terjadinya perdebatan sunnah dan bid’ah dan terakhir adalah melakukan analitis kritik sunnah dan bid’ah.

119

1. Syarh mufradât sunnah dan bid’ah a) Sunnah Ulama berbeda-beda pendapat tentang definisi sunnah secara etimologi sebagai berikut: 1) Menurut Syaykh Zakariyya al-Anshâri al-Syâfi’î al-Khazrajî dalam Fath ‘Alam: Tharîqah Wa al Sîrah Jayyidah Kânat aw Qabîhah (caracara atau metode, jalan yang biasa ditempuh baik atau buruk). Pendapat ini dikutip oleh al-Tharabilisi dalam Mu‘în al-Hikam dan Muhammad alwi al-Maliki dalam Ilmu Ushul Hadîts66 pada poin pertama ini, ulama juga berbeda pendapat dalam pegambilan asal katanya diantaranya adalah sebagai berikut: a) Dalam kitab fath al-‘Alam yang mengutip dari keterangan ashShahah jus 1 halaman 139, Lisan al-Arab jus III No. 21 24, Tartib al-Qamus jus II hal. 656 dan Mu’jam Miqyâs al-Lughah juz VII hal 60 sebagaimana Hajjaj al-Khattib dalam al-Sunnah Qabl alTadwîn menjelaskan contoh-contoh yang mendukung asal kata

66

Syaykh al-Islâm Abî Yahyâ Zakariyya al-Anshârî al-Syâfi’î al-Kharajî, Fath al-‘Alâm bi Syarh al-‘Ilam bi al- Hadîts al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1990), 7. bandingkan Muhammad Ibn ‘Alî Ibn Muhammad al-Syawkânî, Irsyâd al-Fuhûl ( Beirut:Dâr al-Fikr, tt), 33. Lihat Muhammmad Alwi al-Maliki, Ilmu Ushûl Hadîts, terj. Adrian Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 3; Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadîts (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 5, Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), 14, alImâm ‘Alâ’ al-Din Abî al-Hasan Alî Ibn Khalîl al-Tharâbilisî al-Hanafi, Mu’in al-Hikam (Beirut: Musthafa al-Bâbî al-Halabi, 1973), 166, Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islâmî, juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986) 449.

120

sunnah dalam pengertian etimologi diatas yaitu: ucapan Khalid Ibn ‘Uthbah al-Hadzlî.

3‫ َه‬Iُ Bْ @ ِ 5َ ْ8Aَ [ً ,/ \ ُ ‫ض‬ ِ ‫ل َرا‬ ُ ‫و‬/ 3َXَ 3cَ Rَ ْI\ ِ b َ Yْ ‫ ٍة َا‬Iَ Bْ \ ِ ْ8M َ ْ8M َ 6َ J ْ Rَ 3?َXَ 67 .3‫<ْ َه‬Oُ Fِ R/ 3Xَ [ٌ ,/ \ ُ ْ>`ُ Cَ ْb,َ ,x\ ُ ‫ َو‬3cَ Rَ Iَ Bْ \ ِ 3cَ eَ ,ْ ,َ eَ \ ْ ‫ َوا‬3,† \ ِ 3cَ eَ eْ ,َ \ َ ‫َو‬ Kemudian

beliau

menjelaskan

keterangan

berbeda

dengan Ajaj al-Khatib, dan Ibn Fâris berkata: sin dan nun adalah satu asal yang tertolak yaitu mengalirnya sesuatu dan tertolaknya di tempat yang tinggi, sebagaimana ungkapan, 68

µ ً 3\ َ ْ‫ ِار‬Wُ eَ ?ْ \ َ ْ‫ ِا َذا َار‬3,† \ ِ [ً ,/ \ ِ ‫* َا‬cِ a ْ ‫ َو‬V?َM َ ‫ ُء‬3Gَ Cْ ‫ْ ا‬b,َ ,x \ ُ

Dan Ibn A’rabi berkata:

8 /\ َ ‫ َو‬3,ً ,َ \ ُ ‫ ً[ َو‬,/ \ ُ ‫<ْ ِم‬gَ ?ْ Cِ 8 /\ َ ‫ َو‬3,† \ ِ 0ُ 5ْ 0ِ d َ Cْ ‫ ا‬8 /\ َ ‫ ُر‬0َ ² ْ Aَ 8 ُ ,َ @ L Cَ‫ا‬ 8 َ@ َ1 ْ ‫ ِا َذا َا‬E ُ :ِ µ ِ ْ‫ ا‬8 /\ َ ‫ َو‬3cَ F/ f َ ‫ ِا َذا‬3,/ \ ِ 3cَ ,L @ ُ 5َ ‫ع‬ ُ ْ‫ر‬0x C‫ ا‬Wِ Bْ ?َM َ 69 3cَ eَ Bْ M َ ‫َر‬ Lalu beliau menjelaskan bahwa: sunnah nabi saw mengandung makna-makna ini karena di dalam sunnah nabi 67

Artinya: Maka sungguh janganlah kamu menyesal perilaku yang telah kamu perbuat maka jadiah kamu orang yang rela terhadap perilaku orang yang menjalankannya. Dan kamu telah melakukannya dengan sungguh-sungguh. Kamu telah melakukannya, maksudnya kamu telah menjalankannya dan telah diberlakukan sunnah kepada kamu semua maka ikutlah kamu semua kepadanya. 68 Air telah dialirkan dimuka saya dengan sungguh-sungguh benar (mengalir) jika kamu melepaskannya dengan sungguh-sungguh (benar-benar melepaskannya) 69 Sunan adalah dari Sanna al hadîd Sinnan (besi berjalan dengan sungguh) dan Wasanna li al-qawm sunnatan wa sunnanan. Dan telah memberlakukan berbagai sunnah (inisiatif, cara, metode, jalan) dengan sungguh dan wasanna alayh al-dir’ yasunnuhâ sinnan idzâ shabbahâ (dia telah menyunahkan baju perang dengan sungguh jika menyiramkannya) Wasanna al-ibil idzâ ahsana ra‘aytahâ yasunnuhâ sinnan (dan onta telah menjalankannya dengan sungguh jika kamu menggembalakannya dengan lebih baik.

121

mengandung hukum syariah dan tertolak di dalam hukum istilahistilah ini.70 b) Selain terdapat persamaan dengan Syaykh al-Islâm Abî Zakariyya, ‘Ajaj al-Khatib juga menjelaskan dasar yang lain yaitu:

E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iُ a ْ ‫ َوَا‬3‫ َه‬Iُ a ْ ‫ َا‬Wُ ?َXَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ :¬ ِ 5ْ 0ِ d َ Cْ ‫* ا‬Xِ ‫َو‬ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬3cَ :ِ Kemudian

dia

menjelaskan

bahwa

orang

yang

mengerjakannya untuk diikuti dalam melaksanakan sunnah tersebut. Dan setiap orang yang memulai perkara yang diamalkan oleh qawm (orang banyak), maka dikatakan dia adalah orang yang menyunnahkannya (orang yang merintisnya). Nushayb berkata: 71

70

‫ِى‬01 ْ ‫>ْ َو‬cِ ,ِ Bْ :َ ْ8Aِ ‫س‬ ِ 3/,C‫ ا‬8 َ Aِ Ä ٍˆ ِ 3َM ‫ل‬ َ ‫و‬/ ‫ َا‬ª / d ُ Cْ ‫ ا‬b ُ ,ْ ,َ \ َ ْVYِّ 3َ‫َآ‬

Zakariyya, fath, 8. Seakan-akan sesungguhnya saya telah melakukan kesenangan orang yang pertama rindu dibanding manusia di antara mereka dengan sendirian. 71

122

c) Sedangkan Muhammad ‘Alawi al-Maliki mengutip hadîts

3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx \ َ ً[,/ \ ُ ‫© ِم‬ َ\ ْµ ِ ‫ ا‬VِX 8 /\ َ ْ8Aَ 3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ْ َأوْزَا ِر ِه‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫َو ِوزْ ُر‬ Dan menegaskan bahwa sunnah atau yang searti dengannya, secara berulang dipakai dalam hadîts yang pada prinsipnya berarti jalan (thariqah). Mengutip lagi sabda nabi: 72

‫ع‬ ٍ ‫رَا‬Uِ :ِ 3ًM‫ َو ِذرَا‬Iٍ Fْ ‡ ِ :ِ ‫ًا‬IFْ ˆ ِ ْ>`ُ ?ِFْ 4َ ْ8Aِ 8 َ 5ْ Uِ C/‫ ا‬8 َ ,َ \ ُ 8 / Oَ Fِ e/ eَ Cَ

d) Hasbi al-Siddieqi, hampir sama dengan Alawi al-Maliki yang mengutip sabda nabi:

ْ8Aَ ‫ َو ِوزْ ُر‬3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ ُOXَ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫َو‬ 3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ْ َأوْزَا ِر ِه‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ َM Dan sabda Nabi

V/e1 َ ‫ع‬ ٍ ‫رَا‬Uِ :ِ 3ًM‫ َو ِذرَا‬Iٍ Fْ ‡ ِ :ِ ‫ًا‬IFْ ˆ ِ ْ>`ُ ?ِFْ 4َ ْ8Aِ 8 َ 5ْ Uِ C/‫ ا‬8 َ ,َ \ ُ 8 / Oَ Fِ e/ eَ Cَ 73 zُ ْ
dalam

kitabnya

Irsyâd

al-Fukhûl

menjelaskan

pendapatnya yang pertama secara etimologi adalah al-Thariqah alMaslûkah (jalan yang ditempuh) sebagaimana ungkapan: 74

72

3ًg5ْ Iِ Í َ ْ‫ َاي‬3†,\ ِ Wِ Bْ Xِ Iَ .ِ ­َ 5ُ V/e1 َ Wِ Bْ ?َM َ Wُ Rَ ْ‫ر‬Iَ Aْ ‫ ِاذَا َا‬8 ِ@ ْ Gَ Cْ 3ِ: Î َ Bْ ‡ / C‫ ا‬b َ ,ْ ,َ \ َ

Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta. 73 Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta sehingga kalau mereka masuk lubang dlab (biawak) maka sungguh akan memasukinya.

123

Al-Kasaî berkata maknanya adalah al-Dawâm (kekal), ucapan sunnah maknanya adalah al-amr bi al-idâmah perintah dengan selamanya sebagaimana ungkapan 75

Wُ F/ f َ ‫ ُء ِا َذا‬3Gَ Cَْ‫ْ ا‬b,َ ,ِ \ ُ

Menurut Al-Khattâbî: asalnya adalah al-tharîqah al-mahmûdah apabila dimutlakkan dan kadang dibatasi seperti sabda nabi

´C‫ ً[ ا‬,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ 3) Dan menurut pendapat yang lain adalah al-tharîqah al-mu‘tadah sawa’ kânat hasanah aw sayyiah (jalan, cara yang dibiasakan baik ataupun buruk) , sebagaimana dalam al-hadîts al-shahîh

‫<ْ ِم‬5َ VCَ‫ ِا‬3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iُ a ْ ‫ َوَا‬3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َا‬Wُ ?َXَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ 76

[ِ Aَ 3Bَ gِ Cْ ‫ا‬

Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Wahbah al-Zuhayli dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menjelaskan: al-sîrah wal tharîqah almu’tadah, fasunnah kulli ahad ma ‘uhidat minh al-muhâfadah ‘alaih sawa’ a kânat hasanah aw sayyiah (perilaku dan thariqah atau jalan yang dibiasakan, maka sunnah setiap seseorang adalah perkara yang

74

Kamu telah menyunahkan sesuatu dengan benar-benar/ sungguh, jika kamu menjalankannya di atasnya sampai membekas padanya jalan. 75 Saya telah mengalirkan air jika telah menyiramkannya. 76 Al-Syaukânî, Irsyad, 33.

124

terlihat darinya yang dijaga apakah itu baik ataupun buruk). seperti sabda nabi:

Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ 77 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Muhammad Ibn ‘Alâm Shadîqî al-Syâfi’î dalam kitab Dalîl al-Fâlihin menjelaskan: sunnah secara etimologi adalah al-tharîqah.78 4) Dan dalam kamus al-Munjid sebagaimana dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa al-sunnah al-tharîqah (jalan, cara, metode) alsirah (perikehidupan, perilaku), al-Tabî‘ah watak al-syarî‘ah (syariat, peraturan, hukum).79 Berdasarkan

paparan

di

atas,

dapat

ditarik

kesimpulan

bahwasannya pengertian sunnah secara etimologi adalah sesuatu yang diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia baik berupa perilaku sehari-hari, metode, sistem, teori, seni, tradisi dan sebagainya yang berhubungan dengan adat ataupun agama yang diikuti dan dilaksanakan orang banyak secara berulang-ulang (terus-menerus) baik itu lama atau baru dan baik ataupun buruk.

77

al-Zuhayli,Ushul, 449-450. al-Hâfidz Ahmad ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bâri, Juz XV (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), 175: lihat al-Imâm al-Hâfidz Abî al-Alî Muhammad ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Abd al-Rakhîm alMubârakfûrî, Tufhah al-Ahwadzî, Juz VII (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 438; al-Imâm Abî al-Hasan Muhammad al-Hâdî al-Hanafi, Sunan al-Musthafâ, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 90; Muhammad Ibn ‘Alân al-Shadîqî al-Syafi’I al-Asy‘arî al-Makî, Dalil al-Fâlihîn, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 438. 79 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid IV (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2001), 297; lihat al-Ma'luf, al-Munjid (Beirut: Riyadl Shulh, 2003) 35. 78

125

Jadi segala sesuatu yang diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia baik itu baru atau lama, berhubungan dengan adat atau agama, baik ataupun buruk itu disebut sunnah secara bahasa. b) Bid’ah Secara etimologi para Ulama berbeda-beda dalam memberikan definisinya. 1) Al-Râghib dalam kitab al-Mufradât: Bid’ah menurut bahasa menciptakan sesuatu tanpa mempergunakan alat, maddah (bahan); masa dan tempat.80 2) Dalam al-Munjid Badaa-Bad‘an al-Syay’: Ikhtara‘ah wa Shana‘ah la ‘alâ Mitsâl (menciptakannya dan membuatnya dengan tanpa contoh) wa Bad‘ah, ansya‘ah (memulainya, memunculkannya) Bid’ah: Ma Uhditsa ‘alâ ghayr Mitsal Sâbiq (menciptakan sesuatu tanpa contoh yang terdahulu).81 3) Dalam al-Mu‘tamad: Ikhtara‘ah wa ansya‘ah lâ ‘alâ Mitsal (menciptakan dan memunculkan tanpa contoh). 4) Dalam Mukhtâr al-Shihâh: Ikhtara‘ah lâ ‘alâ Mitsal (menciptakan sesuatu tidak menurut contoh).

80 81

Ash-Siddieqi, Kriteria, 35. Al-Ma'luf, al-Munjid, 29..

126

5) Al-Muhîth: al-Amr al-Ladzî yakûn awwalan (suatu perkara yang awal adanya). 82 6) Al-Mu’jam al-Wasîth: Ma Ustuhditsa fi al-Din wa Ghayruh (Perkara yang diada-adakan dalam agama dan lainnya) 83 7) Dalam Fath al-Barî disebutkan setiap perkara yang diciptakan dengan tanpa contoh dinamakan bid’ah baik itu terpuji atau tercela.84 8) Dalam Syarh Imam Nawawi disebutkan ahli lughah berkata, bid’ah adalah setiap sesuatu yang dilakukan tanpa contoh terdahulu.85 9) Syaykh Ahmad Ibn Syaykh al-Hijazi al-Fasynî dalam kitab al-majâlis al-Saniyah: Ma Kâna Mukhtara‘an ‘alâ ghayr Mitsâl Sâbiq (perkara yang dibuat, diciptakan tidak sesuai dengan contoh terdahulu).86 10) Al-Syâtibî: Al-Ikhtira‘ ‘alâ ghayr Mitsâl Sâbiq (membuat sesuatu tanpa contoh terdahulu) di antaranya adalah firman Allah:

‫ض‬ ِ ْ‫ر‬3َCْ ‫ت وَا‬ ِ ‫<َا‬Gَ @ / C‫ ُ€ ا‬5ْ 0ِ :َ Artinya: pencipta langit dan bumi dan

E ِ\ ُ IL C‫ ا‬8 َ Aِ 3ًMْ0:ِ b ُ ,ْ ‫ ُآ‬3Aَ ْE4ُ

Artinya: katakanlah saya bukanlah orang yang pertama dari para utusan.

82

Abas, 40 Masalah, Juz III,153-154. Ibrâhîm Anis, Al-Mu’jam al-Wasîth (Kairo: Mujma‘ al-Lughah al-‘Arabiyah, 1972), 43. 84 Al-‘Asqalânî, Fath, 177. 85 Al-Nawâwî, Syarh Nawâwî, 128. 86 Ahmad Ibn Syaykh al-Hijazî al-Faznî, al-Majâlis al-Saniyyah (Indonesia: Dâr al-Ihyâ’ alKutub al-‘Arâbiyyah, tt), 85. 83

127

Ungkapan: Ibtada’a Fulân bid‘ah (Fulan membuat bid‘ah) yang dimaksud adalah

memulai jalan yang belum ada orang

mendahuluinya, dan ungkapan Wa hâdzâ amr Badi’ (ini adalah perkara yang indah) yang diucapkan pada perkara yang dianggap indah yang tidak mempunyai padanan dalan keindahannya, seakanakan tidak didahului oleh perkara yang sepadan dan tidak ada yang menyamai.87 Berdasarkan uraian di atas, bid’ah secara bahasa atau etimologi adalah segala sesuatu yang baru diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia baik itu perilaku sehari-hari, metode, sistem, teori, seni, tradisi dan sebagainya yang berhubungan dengan adat ataupun agama yang belum atau tidak ada sebelumnya atau tidak ada contoh dan padanannya, baik atau buruk. Jadi, segala sesuatu yang baru diciptakan, dirintis dan dilakukan manusia yang sebelumya tidak ada atau belum ada itu disebut bid’ah secara bahasa. Berarti antara sunnah dan bid’ah secara bahasa itu hampir sama. Kalau sunnah itu mencakup perkara yang lama atau baru sedangkan bid’ah itu hanya menunjukkan sesuatu yang baru saja.

87

Al-Imâm Abî Ishâq Ibrâhîm Ibn Mûsâ Ibn Muhammad al-Lakhmî al-Syâthibî al-Qirnathî, al-I'tishâm juz I. (Bairut: Dâr al-Saqafah al-Islâmyyah, tt.) 36-38.

128

Kalau

sunnah

itu

pada

permulaan,

sedangkan

bid’ah

pada

modifikasinya. 2. Pemahaman Ulama tentang sunnah dan bid‘ah a) Sunnah Secara umum terminologi tentang sunnah terbagi menjadi tiga, yaitu ulama ahli hadîts, ulama ahli ushul fiqh, dan ulama ahli fiqh. Mereka berbeda penapat dalam memberikan definisi yang disebabkan oleh perbedaan tujuan ilmu yang menjadi obyek pembahasannya. 1) Ulama Hadîts Ulama hadîts mereka membahas tentang Rasûlullah SAW sebagai imam yang menunjukkan (al-Imâm al-Hâdî) yang telah dijelaskan oleh Allah sebagai petunjuk dan panutan bagi kita, sehingga mereka menukil setiap perkara yang berhubungan dengannya perbuatan, sifat, khabar, ucapan dan perbuatannya baik itu yang menetapkan hukum syari’at atau tidak. Oleh karena itu mereka mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang didapat dari nabi atau segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi sebelum atau sesudah menjadi Rasul. 88 Tetapi menurut sebagian ahli hadîts, sunnah itu termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan sahabat atau tabiin, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun sifat-sifatnya. 2) Ulama ushul fiqh 88

al-Khatib, Sunnah, 16; Alwi al-Maliki, Ilmu Ushul, 4.

129

Ulama ushul tentang Rasulullah sebagai al-musyri‘ (orang yang meletakkan syariat Islam) yang meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid sesudahnya dan menjelaskan kepada mereka peraturan hidup. Oleh karena itu mereka meneliti ucapan, perbuatan dan ketetapan (taqrir) nya yang menetapkan hukum-hukum. Oleh karena itu, mereka mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari nabi selain al-Qur’ân al-Karim, baik yang berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (ketetapan) yang dapat menjadi dalil-dalil hukum syara’. 89 3) Ulama fiqh Ulama fiqh membahas tentang rasul berkaitan perbuatannya yang menunjukkan hukum syara’. Mereka membahas hukum syara’ dalam perbuatan manusia, baik itu wajib, haram, mubah dan sebagainya. Oleh karena itu mereka mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari perkara yang bukan dari hal wajib atau fardlu, yaitu jalan yang diikuti di dalam agama tanpa memfardlukan atau mewajibkan. Ini keterangan ‘Ajaj al-Khatîb dalam al-Sunnah qabl al-Tadwin.90 Dan secara rinci mereka berbeda-beda pendapat sebagaimana berikut:

89 90

Al-Maliki, Ilmu Ushul, 4. Ibid.

130

1) Abd Wahab Khalâf dalam Ilmu Ushul Fiqh-nya mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Rasûlullâh baik berupa ucapan, perbuatan, atau taqrir. Ini hampir sama dengan keterangan kitab al-Madkhal al-Fiqh al-‘Âm yang menjelaskan bahwa pengertian ini sama dengan pengertian lafadh hadîts.91 2) Musthafa Ahmad Zarqâ dalam al-Madkhal Fiqh al-‘Ămnya juga menjelaskan pengertian yang lain bahwa sunnah dimutlakkan makna al-waqi’ al-‘amali (kejadian amaliyah) dalam penyesuaian syari’ah pada masa kenabian (nubuwwah) yaitu keadaan muamalah Islam pada masa awal.92 3) Al-Syawkânî juga menjelaskan, al-sunnah dimutlakkan dengan makna yang umum atas perkara wajib dan lainnya dalam ‘urf (tradisi) ahli hadîts dan ahli bahasa. Dalam ‘urf ahli fiqh mereka memutlakkannya atas perkara yang tidak wajib dan dimutlakkan atas perkara yang menjadi lawan bid’ah. Menurut pendapat yang lainnya: perkara yang kembali dari arah wujudnya dan arah tidak wujudnya (‘adam) dengan mengunggulkan

yang

tidak

pencegahan

dari

perkara

yang

membatalkannya. Dan menurut pendapat yang lain adalah perkara yang selalu dilakukan oleh nabi saw dengan meninggalkan perkara 91

‘Abd Wahhâb Khalâf, ‘Ilmu Ushûûl Fiqh Wa Khalâshah Tarîh al-Tasyri’ al-Islâmî (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 33. lihat al-Syaykh Muhammad al-Hudlarî Bik. Ushûl Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 213, Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Ăm, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), 63. bandingkan dengan ash-Shiddieqy, Sejarah, 4; al-Syawkânî, Irsyad, 33; Zakariyya, Fath, 8. 92 Al- Zarqâ, al-Madkhal, 63.

131

dengan tanpa udzur (alasan). Dan menurut pendapat yang lain adalah ibadah sunnah (al-nafilah) dan dalil-dalil yang berasal dari nabi selain al-Qur’ân, baik berupa ucapan, perbuatan ataupun ketetapan.93 4) Menurut sebagian besat ulama al-Syafi‘iyyah dan jumhur ushûl yang dinisbatkan kepada makna yang al-Fiqhî: sunnah sama dengan almandûb, al-mustashhab, al-tatawu‘, al-nâfilah dan al-marghûb fîh.94 5) Dalan al-Mu’jam al-Washît: amal yang terpuji di dalam agama yang bukan fardlu atau wajib, watak dan budi pekerti (wajah, cara, model dan bentuk gambar), dikatakan [ً ,/ \ ُ

Wِ :ِ Î ٍ Bْ ˆ َ Wُ Fَ ˆ ْ ‫ ُه َ< َا‬. Dan ahl sunnah:

orang-orang yang mengakui kekhalifahan (kepemimpinan) Abû Bakar dan Umar pada dasarnya dan kebalikannya adalah syiah.95 6) Al-Munjid sama dengan al-Mu’jam al-Washît dan menambahkan adapun ahli Syiah dan ahli Mutawaliyah adalah orang berpendapat bahwa kekhalifahan adalah milik Imam Ali.96 7) Sebagaimana al-Syawkânî, ‘Ajaj al-Khatîb, dan Hasbî ash-Shiddieqî menjelaskan sunnah menurut ahli fiqh dimutlakkan sebagai lawan bid’ah yang ini juga dikutip oleh Muhammad al-Hudlari Bik yang keduanya menjelaskan:

93

Al-Syawkânî, Irsyâd, 33. Abî Zakariyya, Fath, 8. 95 Anis, Al-Mu’jam al-Washîth, 456. 96 Al-Munjid, 353. 94

132

V/?f َ * L Fِ ,/ C‫ ا‬E َ Gِ M َ 3َA Ä ِ Xْ ‫ َو‬Vَ?M َ E َ Gِ M َ ‫ ٍ[ ِاذَا‬,َ \ ُ V َ ?َM ٌ‫©ن‬ َ Xُ ‫ل‬ ُ 3َgBُ Xَ ْ*Xِ Wِ Bْ ?َM َ ˜ / Yَ 3/GAِ • َ Cِ‫ن َذ‬ َ 3َ‫\<َاءٌ َاآ‬ َ Wُ :ُ 3َdf ْ ‫? َ> َوَا‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ — ُ ‫ا‬ Vَ?M َ E َ Gِ M َ ‫ ٍ[ ِاذَا‬M َ ْ0:ِ Vَ?M َ ٌَ‫©ن‬ َ Xُ ‫ل‬ ُ 3َg5ُ ‫ َو‬µ َ ْ‫ َام‬/ْ8`ُ 5َ ْ>Cَ ْ‫ب َام‬ ِ 3َe`ِ Cْ ‫ا‬ .• َ Cِ‫ َذ‬/8 ِ 5ْ 0x C‫ ا‬VِX ‫ث‬ َ 0َ 1 ْ ‫ َاوْ َا‬zَ ْ
3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ 8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ا‬8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ ْ>`ُ Bْ ?َOَ Xَ Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: ‫ ًة‬0َ 1 ِ ‫ وَا‬µ / ‫ ِر ِا‬3/,C‫ِ* ا‬X 3َc?L‫ ً[ ُآ‬4َ ْIXِ 8 َ Bْ Oِ Fْ \ َ ‫ث َو‬ ٍ © َ .َ Vَ?M َ *ِeA/ ‫ق ُا‬ ُ Iِ eَ Šْ Rَ 97 Vِ:3َdf ْ ‫ َوَا‬Wِ Bْ ?َM َ 3َY‫ َا‬3َA ‫ل‬ َ 3َ4 — ِ ‫لا‬ َ ْ<\ ُ ‫ َر‬3َ5 ْ>‫ْ ُه‬8Aَ ‫ُ<ا َو‬C3َ4 Dan ‘Ajaj menjelaskan yang dimaksud dengan sunnah bahasannya adalah pengertian yang dikehendaki ahli hadîts yaitu pengertian yang sama dengan pengertian hadîts, walaupun sebagian mereka berbeda dengan yang lain. Hadîts adalah perkara yang dinukil dari Nabi SAW, sedangkan sunnah adalah nukilan perkara yang dilakukan (diamalkan) pada masa awal. Oleh karena itu hadîts berbeda dengan sunnah yang

97

Al- Khatib, al-Sunnah, 18. bandingan Hudlari Bik,Ushul, 212. ash-Shddieqi, Kriteria, 10. Alwi al-Malik,Ilmu ushul, 4. kalau al-Khatib dan Hudlri Bik mengatakan sebagai pendapat fuqaha’, maka Hasbi ash-Shiddieqy menyebutkan sebagai pendapat ahl wa’adh wal irsyad yang disebut sebagai ahli dakwah oleh Alwi al-Maliki.

133

diamalkan oleh nabi, karena itu ulama mengkompromikan dan mentarjihnya. Ini sebagaimana ucapan Abd al-Rahman Ibn Mahdî:

ْ8Aِ [ِ ,/ @ L C3ِ: E ُP ُ ْ05َ ْ‫ي‬Uِ C/‫¬ ا‬ ِ 5ْ 0ِ d َ Cْ 3ِ: µ َ ‫ ِ[ َو‬,/ @ L C3ِ: >ُ ?َM ْ ‫ َا‬Ï L 4َ ‫ًا‬01 َ ‫>ْ َا َر َا‬Cَ 0ٍ 5ْ ‫ َز‬8 ِ :ْ ‫ ِد‬3/G1 َ dan begitu juga ucapannya ketika ditanya tentang Sufyân al-Tsawrî alAwzâ‘î dan Malik:

[ِ ,/ @ L C‫ِ* ا‬X ‫ ٍم‬3َA3ِ:ِ Ð َ Bْ Cَ‫¬ َو‬ ِ 5ْ 0ِ d َ Cْ ‫ِ* ا‬X ٌ‫م‬3َA‫ي ِا‬ L ‫ْ‚<ْ ِر‬/ C‫ن ا‬ ُ 3َBŠْ \ ُ ٌ‫م‬3َA‫•ٌ ِا‬ ِ ?ِAَ ‫ْ¬ ِ َو‬50ِ d َ Cْ ‫ِ* ا‬X ‫ ٍم‬3َA3ِ:ِ Ð َ Bْ Cَ‫ ِ[ َو‬,/ @ L C‫ ا‬VِX ٌ‫م‬3َA‫* ِا‬ ُM ِ ‫وْ َز‬3َCْ ‫وَا‬ 3َGcْBXِ dan perkara yang menunjukkan bahwa sunnah adalah amalan yang diikuti pada masa awal adalah ucapan ‘Ali Ibn Abî Thâlib kepada ‘Abd Allâh Ibn Ja’far ketika menjilid (mencambuk) orang yang minum arak dengan empat puluh jilidan (cambukan): Tahan! Rasul menjilid empat puluh kali dan telah di98sempurnakan oleh Umar delapan puluh kali, dan masing-masing (dari yang dilakukan nabi, Abû Bakar dan Umar adalah sunnah) 8) Samsul Anwar yang menjelaskan persamaan kata sunnah dan hadîts di kalangan ahli ushul fiqh dan ahli hadîts yang mempunyai kesimpulan yang sama dengan ‘Ajaj al-Khatib yang menjelaskan apabila membicarakan subtansi segala sesuatu yang terbit dari Nabi, maka istilah sunnah lebih tepat, menjelaskan makna sunnah bukan hanya perilaku atau dan praktek an sich melainkan di dalamnya terkandung 98

Al-Khatîb, al-Sunnah,18-20.

134

unsur pengulangan dan tidak boleh disimpangi, sehingga karena itu merupakan sesuatu yang bersifat normatif. Adat istiadat yang diwarisi nenek moyang yang harus diteladani oleh masyarakat pewarisnya juga disebut sunnah. Karena di dalamnya terkandung unsur normatif. Namun demikian, sunnah tidak hanya merujuk kepada sesuatu dari masa lampau yang merupakan teladan masa kini, tetapi mencakup segala sesuatu yang baru yang diperkenalkan untuk diikuti yang didasarkan sabda nabi:

... ´C‫© ِم ا‬ َ\ ْ 3ِCْ ‫ِ* ا‬X 8 /\ َ ْ8Aَ yang menegaskan sunnah merupakan sesuatu yang baru diperkenakan untuk diikuti.99 Ini sesuai dengan keterangan yang dijeaskan oleh Syihâb al-Dîn Ahmad al-Bûshîrî dalam kitabnya Kifâyah al-Hâjah fi Tahqîq Sunan Ibn Mâjah wa al- Zawâid min Mishbah al-Zujâjah yang menjelaskan sunnah hasanah. Dalam hadîts kedua yang penulis teliti:

Iِ Aْ 3َCِ ٌ‫ح‬3َ?f َ ‫— َو‬ ِ ‫ ُة ا‬3َْIAَ Wِ Bْ Xِ E َ Gِ M ُ ‫ل‬ ٍ ‫و‬/ ‫ ََا‬Ä َُ 5ْ Iِ Í َ [ُ ,َ @ َd َ Cْ ‫ ُ[ ا‬,/ @ L C‫ا‬ ْ>‫ ُه‬3َBYْ ‫ َو ُد‬Wِ ,ِ 5ْ ‫*ْ ِد‬Xِ ‫س‬ ِ 3/,C‫ا‬ Artinya: Sunnah hasanah adalah jalan pertama yang dirintis yang didalamnya terdapat ridla Allah dan kebaikan bagi urusan manusia di dalam agama dan dunia mereka.100 Kemudian Samsul Anwar menjelaskan Ibn Durayd dalam kitabnya al-Jamharah menyatakan bahwa kata kerja sanna menurut

99

Samsul Anwar,’’ Paradigma pemikiran Hadits Modern,’’dalam Wacana Studi Hadits Kontemporer, ed Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 153-155. 100 Ibn Mâjah, Sunan, 80.

135

asal usul maknanya berarti shawwara yaitu membentuk sesuatu yang baru untuk dijadikan teladan (contoh). Dalam al-Qur’ân perkataan sunnah selain diartikan sebagai perilaku orang-orang zaman lampau juga diartikan sebagai hukum seperti dalam firman Allah:

∩⊄⊂∪ WξƒÏ‰ö7s? «!$# Ïπ¨ΖÝ¡Ï9 y‰ÅgrB s9uρ ( ã≅ö6s% ÏΒ ôMn=yz ô‰s% ÉL©9$# «!$# sπ¨Ζß™

Artinya: Sebagai sunnah Allah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada sunnah Allah. (Q.S. al-Fath: 23) Dalam catatan kakinya tim penterjemah Depag menerangkan bahwa yang dimaksud sunnah Allah adalah hukum-hukum yang dietapkannya. Al-Qurtubi mengutip Tafsir ‘Atha’ terhadap kata “sunan” dalam surat Ali Imran: 137 sebagai hukum. Perkataan sunnah Allah sering pula diartikan sebagai hukum alam. Kata arab sanna salah satu artinya adalah menetapkan undang-undang seperti dalam ungkapan sanna al-qawânîn. Berangkat dari leksikal sunnah yang merujuk kepada ketentuan normatif seperti yang terdapat terlihat terdahulu, maka sunnah Nabi SAW, bila dihubungkan dengan definisi standar yang berkembang diartikan sebagai ketentuan yang terbit dari nabi yang merupakan ketentuan-ketentuan agama yang bersifat normatif bagi

136

umatnya. Dengan kata lain sunnah nabi adalah segala sesuatu yang terbit darinya yang berkaitan dengan agama. Dengan pengertian seperti ini sunnah menjadi berbeda dengan hadîts. Menurut makna leksikalnya hadîts berarti berita atau laporan: yaitu laporan seputar nabi saw. Laporan sekitar beliau itu tidak terbatas menyangkut segala sesuatu yang terkait dengan agama saja, atau bisa juga meliputi arti yang lebih luas yaitu menyangkut segala aspek kehidupan baik mengenai agama atau bukan. Dari uraian di atas dapat dilihat perbedaan sunnah dengan hadîts. Sunnah merupakan isi dari hadîts nabi, sementara hadîts merupakan rumusan yang merekam, berisi dan melaporkan sunnah. Melalui hadîtslah segala sesuatu yang terbit dari Nabi, kita mengetahui sunnah yang merupakan segala sesuatu yang terbit dari Nabi itu. Pengertian bahwa sunnah adalah isi hadîts dan sebaliknya hadîts merupakan rumusan, rekaman dan laporan tentang sunnah ini jelas terlihat dalam judul buku yang dicatat Ibn Nadîm (abad ke 4) kitab alSunan bi Syawâhid al-Hadîts dan sebagainya.101 9) Hasbi Ash-Shiddieqy juga menjelaskan beberapa pendapat ulama mengenai perbedaaan sunnah dan hadîts, sebagaimana berikut kata alImam Ibn Taymiyah “Hadîts dikala tidak dikaitkan dengan sesuatu berarti segala yang diriwayatkan dari nabi sesudah beliau menjadi 101

Fadzlur Rahman, Paradigma, 154-158.

137

Nabi, baik perkataannya, perbuatannya maupun iqrarnya”. Kata alImam Ibn Kamal Ibn Humam: “Sunnah itu segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi, perbuatan atau perkataan sedang hadîts tertentu pada perkataan saja”. Kata dokter Taufik sunnah dan istilah ulama salaf ialah khitthah (garis karya) dan jalan yang diikuti maka dinamai suunah nabi hanyalah perbuatan yang beliau praktikkan terus menerus dan diikuti oleh orang seorang atau dua orang lalu mereka saja yang mengetahuinya tidak menjadi pegangan dan amalan umum. Tegasnya antara sunnah dan hadîts ada perbedaan yang jelas. Menamai sunnah dengan hadîts adalah istilah pada mutaakhirin belaka. Ahli hadîts banyak memakai kata hadîts, sedangkan ahli ushul fiqh banyak memakai kata sunnah. Perkembangan lafadh sunnah Lafadh sunnah berkembang dalam masyarakat Arab dahulunya adalah dengan makna

[ِ M َ 3Gَ J َ Cْ ‫ْ ِد َوا‬IŠَ ?ْ Cِ ‫ ِة‬3Bَ d َ Cْ ‫* ا‬Xِ ³ ُ Bْ d ِ² / C‫ ا‬Ä ُ 5ْ Iِ  / C‫ا‬ Artinya: Jalan yang ditempuh dalam menjalani kehidupan perorangan dalam masyarakat. Nabi bersabda:

‫ع‬ ٍ ‫رَا‬Uِ :ِ 3ًM‫ َو ِذرَا‬Iٍ Fْ ‡ ِ :ِ ‫ًا‬IFْ ˆ ِ ْ>`ُ ?َFْ 4َ ْ8Aَ 8 َ ,َ \ َ 8 / Oُ Fِ e/ eَ Cَ

Artinya: Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan orang-orang yang sebelummu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.

138

Makna ini berkembang di abad-abad permulaan dalam madrasah Hijaz dan Irak. Pada masa itu sunnah diartikan dengan perbuatan yang telah menjadi tradisi walupun bukan sunnah nabi. Pada

akhirnya

sunnah

dikhususkan

untuk

sunnah

Rasûl.

Penyempitan-penyempitan makna ini tumbuh pada akhir abad kedua Hijrah karena al-Syafi’i menyalahi istilah lama yang berkembang dan mengajak masyarakat mengamalkan hadîts ahad serta mendahulukan terhadap apa yang sudah berlaku dalam masyarakat. Mulai saat itu berembang dalam pengertian ulama bahwa hadîts dan sunnah adalah semakna. Imam Ibn Taymiyah dalam kitab Iqtidlâ’ al-Shirat al-Mustaqim berkata sunnah ialah adat tradisi yang telah berulang kali dilakukan masyarakat baik yang dipandang sebagai adat atau bukan. Baru akhir-akhir ini para ulama membicarakan pebedaan keduanya dengan berdasar pada kitab al-Sunan bi Syawâhid al- hadîts yang dicatat Ibn Nadîm (abad 4 H).102 Dari paparan di atas pengertian sunnah secara terminologi, dibagi menjadi dua yaitu pengertian sempit dan luas.

1. Pengertian Sempit 102

Ash-Siddieqie, Sejarah, 12-21.

139

Sunnah adalah segala sesuatu yang substansinya berasal dari Nabi SAW, Khulafa’ al- Râsyidîn ataupun yang lainnya yang bisa dijadikan panutan (qudwah, uswatun hasanah) dan pedoman (dalil, hujjah dan dasar yang mengesahkan suatu perkara) yang mempunyai nilai normatif dalam masyarakat selain al-Qur’ân sebagai dasar dalam syari’at Islam. Hadîts (sunnah), Ijma’, Qiyas dan sebagainya yang menjadi dasar dalam kehidupan manusia selain al-Qur’ân disebut sunnah dalam arti sempit 2. Pengertian Luas Sunnah adalah segala sesuatu yang diucapkan, dirintis, dilakukan oleh manusia berupa perbuatan sehari-hari, metode, sistem, teori tradisi dan sebagainya yang lama atapun baru yang berkaitan dengan adat ataupun agama yang diikuti dan dilaksanakan oleh orang banyak

secara

berulang-ulang

(terus

menerus)

yang

tidak

menyalahipedoman syari’at Islam, baik berupaal-Qur’ân, al-hadîts secara langsung atau tekstual ataupun kontekstual, yaitu ijma’, Qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan sebagainya. Jadi segala sesuatu yang diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia baru atau lama, adat atau agama yang sesuai yang tidak menyalahi syari’at dikatakan sunnah.

b) Bid’ah

140

Ulama berbeda pendapat tentang terminologi bid’ah: 1) Dalam kitab Qawâid al-Ahkam fi Man Shalih al-Anâm, al-Imam alMuhaddits Sulthân al-Ulama’ Abi Muhammad Izzuddin Abd Aziz Ibn Abd al-Salam al-Sulamî (660) menjelaskan pengertian bid’ah adalah mengerjakan suatu perkara yang belum ada pada masa Rasûlullah dan ia membaginya kepada bid’ah wâjibah, muharramah, mandûbah, makrûhah dan mubâhah, hal tersebut diketahui dengan membanding bid’ah kepada kaidah-kaidah syariah apabila masuk dalam kaidahkaidah al-îjâb maka bid’ah itu adalah wâjibah dan jika masuk dalam kaidah-kaidah

al-tahrîm

maka

itu

adalah

muharramah

dan

seterusnya103 2) Al-Hafîdz al-Jalâl al-Suyûthi (911) menjelaskan bahwa kata Syar alUmûr, kata muhaddatsâtuhâ menurut al-Qurtubî adalah perkara yang diada-adakan yang tidak mempunyai asal di dalam syariah yang menjadi syâhid (dalil, Hujjah) yang mengesahkan dan itu dinamakan bid’ah. Kemudian ia menjelaskan bahwa kull bid’ah dlalâlah, menurut Imam al-Nawâwî: ini adalah bentuk ‘am (umum) yang ditahshish (yang dikhususkan) yang dimaksud adalah semua bentuk bid’ah. Ia

103

Al-Imâm al-Muhaddits Sulthân al-Ulamâ’ Abî Muhammad ‘Izzuddin ‘Abd Aziz, Qawâid al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-Amâliyah, 1999), 133-134.

141

menjelaskan keterangan yang sama dengan penjelasan Ibn ‘Abd Salâm. Setelah menjelaskan pengertian bid’ah secara bahasa di atas.104 3) Dalam kitab A‘lâm al-Muwaqqî‘în Syams al-Din ‘Abd Allâh Muhammad Ibn Abî Bakar yang terkenal Ibn Qayyim al-Jûziyyah (751 H) menjelaskan bahwa al-Syafi’î sendiri bahwa qawl al-shahabat adalah hujjah yang bisa dijadikan tempat kembali (rujukan) kemudian al-Syafi’î berkata bahwa perkara yang diada-adakan (diciptakan) itu ada dua macam, salah satunya adalah perkara yang diciptakan yang menyalahi kitab (al-Qur’ân), sunnah, ijma’ atau atsar maka ini adalah bid’ah dlalalah. Rabî’ mendapatkannya dari Mesir dan al-Bayhaqî dalam kitabnya al-Madkhal al-Sunnan berkata dalam bab Aqâwil alShahabah Idza Tafarraqu. Al- Syafi’î berkata: Aqâwil al-Shabahat (ucapan sahabat nabi) apabila mereka berselisih pendapat berbedabeda maka kita kembali kepada perkara yang sesuai dengan al-kitab, al-sunnah, al-ijma’ jika lebih shahih di dalam mengkiyaskan (menganalogikan).105 4) Dalam Fath al-Bârî, Al Asqalanî menjelaskan al-Syafi berkata: bid’ah ada dua: mahmûdah dan madzmûmah: bid’ah yang sesuai sunnah maka itu adalah bid’ah yang terpuji (mahmûdah) dan bid’ah yang

104

.Al-Hâfidh jalâl al-Dîn al-suyûthî, al-Mujtabâ, 185-186. Syams al-Dîn Abu ‘Abd Allâh Muhammad Ibn Abî Bakar, ‘Alâm al-Muwaqqî‘în, Juz II, Jilid II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), 121. 105

142

menyalahi (tidak sesuai) dengan sunnah maka itu adalah bid’ah yang tercela (madzmûmah). Kemudian dari al-Syâfi’î juga terdapat riwayat Bayhaqî dalam kitab Manâqibnya, al-Syâfi’î berkata: perkara yang diciptakan (diada-adakan) itu ada dua macam: perkara yang diciptakan yang menyalahi (tidak sesuai) dengan kitab, sunnah, atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah dlalâlah (sesat), sedang perkara yang diciptakan dari perkara yang baik yang tidak menyalahi salah satu darinya maka ini adalah bid’ah yang hasanah, dan syaykh ‘Abd al‘Azîz, menjelaskan bahwa sebagian ulama membagi bid’ah kepada hukum yang lima dan itu sudah jelas.106 5) Al-Sanadî dalam kitab Hâsyiyahnya menjelaskan bahwa lafadh syar al-umûr muhdatsatuhâ sebagaimana al-Suyuthî menukil pendapat alQurthubî tetapi ia merevisinya dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah perkara-perkara yang diciptakan di dalam agama dengan mendasar wa kull bid‘ah dlalâlah adalah lafadh yang umum.107 6) Al-Syaykh Ahmad Ibn Al-Hijâzî al-Fasynî dalam kitab al-Majâlis alTsaniyyah, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah menjelaskan bahwa, bid’ah menurut syara’ adalah perkara yang diciptakan yang tidak sesuai perintah al-syâri’ (nabi) dalilnya yang khusus atau umum:

106 107

Al-'Asqalanî, Fath, 178-180. Al-Sanadî, Hâsyiyah, 22.

143

sesungguhnya perkara yang hak (benar) adalah perkara yang diajarkan syara dengan dasar firman Allah adalah:

‫ل‬ ُ© َŒ / C‫ ا‬µ / ‫ا‬Ä xd َ Cْ ‫ ا‬0َ Oْ :َ Ð َ Bْ Cَ‫َو‬ “dan tidak ada sesuatu sesudah perkara yang hak kecuali kesesatan”. Dan selanjutnya menjelaskan bahwa bid’ah itu dibagi kepada hukum yang lima sebagaimana Ibn Abd al-Salâm.108 Keterangan di atas adalah golongan yang membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah dan sayyiah dan membaginya kepada lima hukum sedangkan golongan yang lain adalah golongan yang menolak pembagian

bid’ah

tersebut

kepada hukum

yang lima

yaitu

sebagaimana berikut: 7) al-Syathibi yang tidak setuju pembagian bid’ah kepada lima hukum dalam al-I‘tishamnya, menjelaskan bid’ah adalah amalan yang tidak punya dalil di dalam syara’, sama dengan yang lain. Oleh karena itu ia menjelaskan panjang lebar alasannya, yang ringkasnya adalah sebagai berikut: Hukum yang berhubungan dengan af‘al dan aqwâl ibâd yaitu perbuatan seseorang dibagi menjadi tiga hukum: Pertama yang masuk pada tuntunan makna al-amr yaitu al-îjab dan al-nadb. Yang kedua

108

Al-Syaykh Ahmad Ibn Syaykh al-Hijazî al-Faznî, al-Majâlis al-Saniyyah (Indonesia: Dar al-ihya’ al-Kutub al-Arâbiyyah, tt) 85.S

144

adalah al-nahy yaitu al-karâhah dan al-tahrîm dan yang ketiga adalah al-takhyîr yaitu al-ibâhah. Kemudian ia menjelaskan bid’ah menurut ulama ushul dibagi menjadi dua, yaitu pendapat yang tidak memasukkan adat dengan definisi: bid’ah adalah bid’ah adalah thariqah (jalan yang ditempuh) di dalam agama yang diciptakan (diada-adakan) yang menyamai syari’ah yang dituju untuk dikerjakan yang berlebih-lebihan di dalam ibadah kepada Allah swt, yang dikhususkan untuk ibadah-ibadah. Kemudian pendapat yang memasukkan adat: bid’ah adalah thariqah di dalam agama yang diciptakan yang menyamai syari’ah dituju untuk melakukannya sebagaimana yang dituju oleh thariqah syar’iyyah (jalan yang ditempuh oleh syara). Kemudian ia menjelaskan thariqah dibagi menjadi dua, yaitu yang mempunyai asal dalam syari’ah dan yang tidak mempunyai asal dalam syari’ah. Dikhususkan dari apa yang dimaksud dengan had (batasan) yaitu bagian yang diciptakan yaitu thariqah yang dibuat-buat dan diada-adakan dengan tanpa contoh yang mendahuluinya di dalam syariah. Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari dirumuskan oleh kaidah nyata seperti perkara yang muncul pada masa

145

awal itu bukan bid’ah tetapi masuk pada maslahah mursalah karena berasal dari syara.109 Mengenai pembagian bid’ah kepada lima hukum, maka ia menjelaskan bahwa: 1) Pembagian itu dilarang dengan keras karena memunculkan ikhtilaf (perbedaan pendapat) mengenai bid’ah. Kemudian ia menjelaskan dalilnya:

>ٍ f ِ 3َM <ُ:‫ل َأ‬ َ 3َ4 ‫ ٌ[ و‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / ِ…Xَ ‫ت‬ ِ 3َ.0َ d ْ Gُ Cْ ‫ ُآ>ْ وَا‬3/5‫َوِإ‬ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ ًة َوِإ‬I/ Aَ Kemudian menjelaskan hukum di dalam ushûl fiqh ini ada lima yang tiga dikecualikan, maka hukum karahah dan hukum tahrim sesuai dengan itu bid’ah dibagi menjadi dua yaitu bid’ah muharramah dan bid’ah makrûhah dan keduanya termasuk yang dilarang. 2) Bid’ah itu tingkatannya berbeda-beda diantara kufur, maksiyat yang bukan menyebabkan kufur, makruhah. 3) Maksiyat dibagi menjadi dosa besar dan kecil. Kebutuhan pasti (al-darûriyah) kebutuhan sekunder (al-hâjiyah) dan tersier (altakmiliyah), dan sebagainya.110

35-57.

109

al-Syâthibî al-I‘tshâm Juz I 36-38. bandingkan dengan keterangan ash-Shiddieqy, Kriteria,

110

Ibid., juz II,36-38.

146

Mengenai pendapatnya setiap bid’ah adalah dlalalah ia berdasar pada kull bid’ah dlalâlah yang selanjutnya menjelaskan sebagai berikut: Sesungguhnya al-dlalâlah adalah kebalikan dari al-hudâ, berdasar firman Allah:

‫َي‬0cُ Cْ 3ِ: َ [َC©/ŒC‫وُا ا‬Iَ eَ ˆ ْ ‫ا‬8 َ 5ْ Uِ C/‫• ا‬ َ ™ِ Cَْ‫ُاو‬ Artinya: mereka adalah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.

‫ ٍد‬3َ‫ْ ه‬8Aِ Wُ Cَ 3َGXَ — ُ ‫ا‬E ِ ?ِŒ ْ 5ُ ْ8Aَ ‫َو‬

Artinya: Orang yang telah disesatkan oleh Allah maka tidak ada orang yang bisa menunjukkannya.

E Ԍ ِ Aُ ْ8Aِ Wُ Cَ 3َGXَ — ُ ‫ ا‬0ِ cْ 5َ ْ8Aَ ‫َو‬ Artinya: Dan orang yang telah ditunjukkan oleh Allah tidak akan ada orang yang bisa menyesatkannya. Antara dlalâlah dan al-hudâ tidak ada perkara yang menengahi yang diibaratkan oleh syara, maka bid’ah yang makrûhah keluar dari al-hudâ. Orang yang melakukan perbuatan makruh maka tidak sah dikatakan tidak menyalahi syara atau tidak maksiyat. Sedangkan taat adalah lawan maksiyat. Orang yang melakukan perkara yang sunnah adalah taat sebagaimana lafadh dlalâlah dimutlakkan pada bid’ah al-makrûhah maka lafadh ma‘shiyyat juga dimutlakkan sebagai pekerjaan makruh.

147

Intinya lafadh dlalâlah adalah umum bagi setiap bid’ah dan lafadh maksiyat umum untuk perkara yang makruh.111 8) Al-Hâfidh Ibn Hajar al-‘Asqalanî dalam Fath al-Bârî menjelaskan yang dimaksud al-muhdatsât adalah segala sesuatu yang diada-adakan dan tidak mempunyai asal dalam syara, dan dalam pengertian syara maka bukanlah bid’ah. Bid’ah dalam pengertian syara’ itu tercela berbeda dengan bid’ah dalam pengertian bahasa. Maka sesungguhnya segala sesuatu yang diciptakan atau diadakan–diadakan tanpa contoh dinamakan bid’ah baik, itu terpuji atau tercela. Keterangan mengenai al-Muhaddatsat ini sama dengan keterangan hadîts Aisyah.

‫ َ< ُر ¯د‬cُ Xَ Wُ ,ْ Aِ Ð َ Bْ Cَ3َA ‫َا‬U‫ َه‬3َYIِ Aْ ‫ِ* َا‬X ‫ث‬ َ 0َ 1 ْ ‫ْ َا‬8Aَ Artinya: “barang siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini perkara yang bukan darinya maka perkara tersebut ditolak”. Kemudian Ibn Hajar menjelaskan, hadîts ‘Irbâdl itu maknanya sama dengan hadîts Aisyah. Kemudian Ibn Hajar menjelaskan

bahwa

hadîts

Irbâdl

itu

termasuk

hadîts

yang

mengumpulkan semua kalimat atau bersifat umum. Lalu Ibn Hajar menjelaskan keterangan al-Syafi’i dan menjelaskan “kullu bid’ah dlalâlah”: segala sesuatau yang diciptakan atau diada-adakan dan tidak mempunyai dalil dari syara baik secara khusus atau umum, kemudian beliau menjelaskan keterangan Ibn ‘Abd al-Salâm sama 111

Ibid., 49-50.

148

dengan keterangan Syarh Al-Gharîb, dan Tadwin Ushûl Fiqh, dan alTawassul Ilâ Tamyiz al-Shahih dan al-Saqîm.112 9) Al-Sanadî menjelaskan lafadh “syar al-umûr” contohnya adalah syirik yang termasuk dalam al-muhdatsât yaitu sesuatu yang diciptakan oeh manusia karena mengikuti hawa nafsu. Secara umum bukan perkara yang diada-adakan sesudah nabi kemudian masuk di dalamnya perkara yang jelek. Kemudian ia menjelaskan lafadh al-muhdatsât yang intinya sama dengan keterangan Ibn Hajar tetapi dengan redaksi: sesuatu yang tidak punya asal di dalam agama sesudah nabi saw. Kemudian

al-Sanadî

dalam

menjelaskan

hadîtsnya

al-Irbadl,

menjelaskan al-umûr al-muhdatsât yang dimaksud adalah sama dengan keterangannya yang awal dan menambahkan bahwa sesuatu yang sesuai dengan pokok-pokok agama di dalamnya walaupun diciptakan sesudah nabi.113 10) Al-Nawawi menjelaskan lafadh “wa kull bid‘ah dlalâlah” adalah lafdh yang umum yang dikhususkan (ditakhshish) yang dimasksud adalah seluruh bid‘ah. Kemudian menjelaskan bid‘ah secara bahasa sebagaimana di atas dan menjelaskannya dibagi menjadi hukum yang lima.114

112

Al-Asqalanî, Fath, 178-180. Al-Sanadî, Hasiyah, 22. 114 Al-Nawawi, Syarh Nawawi, 128. 113

149

11) Ibn Qayyim al-Juziyah dalam ‘Aun al-Ma‘bud menjelaskan lafadh “kull bid‘ah dlalâlah”. Yang dimaksud bid‘ah adalah perkara yang diciptakan (diada-adakan) yang tidak mempunyai asal di dalam syariah yang menunjukkan padanya. Sedangkan perkara yang mempunyai asal bukanlah bid‘ah, walupun itu bid‘ah secara bahasa maka kull bid‘ah dlalâlah termasuk perkara yang mengumpulkan seluruh kalimat yang tidak keluar dari sesuatu apapun. Dan itu adalah asal (pokok) yang besar dari pokok-pokok agama. Adapun perkara yang terjadi pada kalam dari orang salaf yang membaguskan sebagian bid‘ah sesungguhnya itu adalah bid’ah secara syara, di antaranya

َ adalah: perkataan Umar zِ Uِ ‫ه‬

[ُ M َ ْ0Fِ Cْ ‫ ا‬b ِ Gَ Oْ Yِ dan

[ُ M َ ْ0Fِ Cْ ‫ ا‬b ِ Gَ Oْ ,ِ Xَ ٌ[M َ ْ0:ِ zUِ ‫ْ َه‬bYَ 3‫ِانْ َآ‬ dan yang lain adalah adzan Jum’at yang awal yang ditambahkan oleh Utsman karena kebutuhan padanya dan itu diakui dan dilakukan terus oleh umat Islam dan sebagainya. Ini sama dengan keterangan sebelumnya.115 12) Al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi dalam menjelaskan lafadh iyyâkum wa muhdatst al-umur dijelaskan bahwa al-Hâfidh Ibn Wajab dalam kitab al-Jami’ al-Ulum mengatakan hukum: di dalamnya adalah menakut-nakuti umat untuk mengikuti perkara-perkara yang diada-

115

Ibn Qayyim al-Jazziyyah,’Alam, 360-361.

150

adakan dan yang dibuat-buat (dijadikan bid’ah) dan itu dikuatkan dengan sabda nabi kull bid’ah dlalâlah. Kemudian pengarang Tuhfah al-Ahwadzî menjelaskan sama dengan keterangan al-Ma’bud.116 13) Muhammad Ibn ‘Alân dalam kitab Dalil Al-Fâlihîn menjelaskan yang dimaksud dengan muhdasat al-umur adalah perkara yang tidak berada dalam kaidah-kaidah syara’ dan tidak ada dalil yang menguatkannya kemudian dalam menjelaskan lafadh wa syar al-umur muhdatsatuha adalah perkara yang tidak diketahui dalam kitab, sunnah, ijma dan tidak punya asal di dalam ketiganya. Dan beliau juga menjelaskan kull bid‘ah

dlalalah

am

makhshush

(perkara

yang

umum

yang

dikhususkan/ ditakhshish).117 14) Ajaj al-Khatib dalam Al-Sunnah Qab Tadwin l, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas mengenai sunnah-sunnah menurut para fuqaha yang dimutlakkan sebagai lawan bid’ah kemudian menjelaskan bid’ah dimutlakkan di dalam syara atas setiap perkara yang diciptakan oleh manusia dari ucapan, perbuatan di dalam agama dari perkara yang tidak dinukil dari nabi dan para sahabat-sahabatnya dan berhujjah dengan sabda Nabi.

‫ َ< ُر ّد‬cُ Xَ Wُ ,ْ Aِ Ð َ Bْ Cَ3َA ‫َا‬U‫ َه‬3َYIِ Aْ ‫ِ* َا‬X ‫ث‬ َ 0َ 1 ْ ‫ْ َا‬8Aَ

116 117

al-Mubârakfûrî, Tuhfah, 439-441. Al-Siddiqî, Dalil, 443-444.

151

Berdasarkan uraian di atas, pengertian bid’ah secara terminologi adalah segala yang diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia baik berupa perbuatan sehari-hari, metode sistem, teori, seni, tradisi dan sebagainya yang lama ataupun baru yang berkaitan dengan adat atau agama yang menyalahi syari’at atau tidak punya dalil yang mengesahkan secara langsung atau tekstual yaitu al-Qur’ân dan hadits ataupun kontekstual yaitu ijma’, qiyas dan sebagainya. Jadi segala sesuatu yang diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia yang menyalahi syari’at disebut bid’at. Itu berarti al-muhdatsat itu tetap dikatakan sunnah bukan bid’ah walupun itu bid’ah secara bahasanya. Sedang bid‘ah yang umat Islam terpecah menjadi dua yaitu golongan yang mengatakan setiap bid‘ah adalah dlalâlah dan golongan yang membagi bid‘ah menjadi bid‘ah hasanah dan sayyiah,118 kalau dilihat penjelasan mereka yaitu golongan yang pertama, golongan yang menjelaskan bahwa bid‘ah adalah amalan yang tidak punya dalil di dalam syara’ sebagaimana pengertian Syatibî,119 sedang yang kedua menjelaskan bahwa perkara yang diciptakan yang menyalahi al-Qur’ân, sunnah, ijma atau atsar maka disebut sebagai bid‘ah dlalâlah atau dengan redaksi lain atau bid‘ah yang sesuai dengan sunnah mahmûdah dan bid‘ah yang tidak sesuai dengan sunnah adalah bid‘ah mahmûdah120 atau dengan redaksi lain yaitu perkara yang

118

Al-Zuhayli, Ushûl, 449. Al-Syathibi, al-I’tisham, 36-38. 120 ash-Shiddieqi, Kriteria Sunnah; al-Asqalani, Fath; Ajjaj, al-Sunnah. 119

152

diciptakan yang sesuai dengan kitab, sunnah, atsar atau ijma adalah bid‘ah sesat dan sebalikanya perkara yang diciptakan dari perkara yang baik yang tidak menyalahi darinya maka adalah bid‘ah hasanah,121 maka keduanya tidak berbeda pendapat hanya berbeda bahasa mereka sama-sama berpedoman kepada syariah122 sebagai prinsipnya dan al-Qur’ân , sunnah, ijma, dan qiyas sebagai pedoman. Dengan demikian kriteria sunnah atau bid‘ah itu berpangkal kepada syari’ah yang prinsip-prinsipnya diringkas pada ushûl al-khamsah yaitu terjaganya agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Perkara yang masuk dalam pedoman-pedoman ushul fiqh yaitu al-Qur’ân, sunnah, ijma, qiyas, istihsan, syad al-dâriah atau maslahah mursalah yang masih terdapat kebaikan, manfaat dan kemaslahatan bagi manusia, tidak mengikuti hawa nafsu atau diridlai oleh Allah swt itu termasuk sunnah. Oleh karena penulis menyayangkan dan tidak setuju terhadap pembid‘ahan-pembid‘ahan sebelum meneliti lebih jauh skema pada terhadap suatu masalah. Karena pedoman dan ‘illatnya adalah terancamnya atau tidak agama. Atau adanya unsur yang menyebabkan agama terancam. 3. Sejarah Latar Belakang tentang Bid‘ah a. Islam pada masa Nabi dan perpecahan umat. Pada fase yang pertama yaitu ketika di Makkah, Nabi mendapatkan pengikut yang sedikit tapi mempunyai semangat yang luar 121

Ibn Qayyim, A’lâm, 121. Izzudin ‘Abd Azîz, al-Qawaid, 133-134; al-Suyuti, al-Mujtaba, 185-186; al-Syâthibî, alI’tishâm, 36-38; al-Asqalanî, Fath, 178-180; Sanadî, Hasiyyah, 22; Ibn Qayyim, A’lâm, 136. 122

153

biasa. Nabi di Madinah adalah pengemban otoritas tasyri’ dan sekaligus pemimpin umat. Otoritas ini selama ia hidup dipegang sendiri. Umat Islam dalam menghadapi persoalan masalah dan pertikaian menanyakan langsung kepada nabi dan beliau inilah yang selanjutnya menyelesaikan permasalahan, menjawab pertanyaan, memberi fatwa dan menyelesaikan persengketaan di antara mereka. Sebagai pemimpin beliau menjamin kebebasan beragama bagi orang Yahudi dan ahli al-Kitab pada umumnya sebagai komunitas, dan beliau mementingkan intern dengan sesama muslim. Bahkan beliau menyerukan kepada orang Islam dan Yahudi bekerja sama

demi

keamanan mereka bersama. Dalam periode Khulafa’ Al-Rasydin umat Islam mulai terjadi perselisihan dan perpecahan sebagaimana yang diisyaratkan nabi dalam hadits, bahwa masing-masing agama Yahudi dan Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh lebih golongan. Puncaknya pada masa Ali terjadi perang Siffin antara pasukan Ali dan Muawiyah karena masalah politik yang diakhiri oleh tahkim yang mengakibatkan perpecahan keagamaan dari pendukung Ali keluarlah kaum Khawârij dari kelompoknya di samping kaum Syiah yang selalu mendukung Ali. Kemudian muncul sekte-sekte (firqah) Islam, seperti Mu’tazilah, Murjiah, Mujassimah, Jabariyah dan sebagainya.

154

Perselisihan

dan

perpecahan

itu

selain

mengakibatkan

terjadinya pemalsuan-pemalsuan hadits juga memunculkan kelompok yang ingkar terhadap sunnah-sunnah yang telah berbuat maksiyat dan melakukan bid’ah, seperti Khawârij, Jahmiyah dan Rafidlah.123 b. Masa Ortodoksi (pembekuan agama Islam) Pada abad kedua muncul madhab-madhab fiqh, tersebutlah Abû Hanifah (81-185 H) ulama yang menggunakan hadîts yang berstandar munqathi' dan mursal banyak menggunakan akal dan qiyas dalam perumusannya, kemudian ulama dari Madinah Imam Mâlik (94-179 H) mengembangkan periwayatan, dan pemahaman hadits yang lain. Imam Syafî’î (150-204 H) ulama pembela hadîts mengenai hukum dalam skala massal sebagai suatu dasar hukum. Ia berpegang teguh kepada hadîts setelah al-Qur’ân124. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran politik, hukum dan kalam pada saat ini perlu menyusun pokok-pokok ajaran Islam yang standar dan seragam yang bisa dijadikan pedoman oleh umat Islam saat ini dan untuk generasi berikutnya. Untuk menjaga integritas kaum muslimin yang secara keseluruhan yang saat itu terpecah-pecah menjadi Khawârij, Murjiah, Jahmiyah dan sebagainya, maka langkah Syafi’î untuk menyatukan umat

123

Sa’dullah as-Saidi, Hadits Sekte (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 59—67.bandingkan Abd Wahhab Khalaf, Khulâshah Tarîkh Tasyrî Islâmî ,terj.Aziz Masyhuri (Solo: Ramadhani,1997),916. 124 Muh Nurhakim, Metodologi Studi Islam,(Malang : Umm Press,2005),161-162.

155

dengan bersandar hadîts sangat diperlukan. Imam Syafi’î menggunakan hadîts ahad dan menurut penuturan Ibn Taymiyyah, Ahmad Ibn Hanbal penyebar qaul qadim Syafi’î, senada al- Syafi’î pernah berkata:

‫ي‬ ِ ْ‫أ‬I/ C‫ ا‬8 َ Aِ ٌIBْ P َ ¬ ِ 5ْ 0ِ d َ Cْ ‫ ا‬± ُ Bْ Oِ  َ Artinya: Hadits yang lemah itu lebih baik di banding rumusan akal. Umat Islam mengenal Ahmad Ibn Hanbal sebagai ulama yang mempunyai perhatian yang besar terhadap hadîts dan kurang perhatiannya terhadap fiqh. Dalam persoalan hukum halal haram, beliau bersikap sangat teliti terhadap penelitian sanad, sedangkan dalam hal al-targhib dan altarhib beliau tidak begitu ketat dan cermat. Inilah yang disebut ortodoksi dalam menyelesaikan masa-masa krisis Islam. Ini terjadi pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Dengan plus minusnya langkah ahli hadîts ini tidak bisa dihindari dalam tempo yang singkat ajaran ortodoksi ini telah mengkristal dalam masyarakat Islam. Dengan begitu ragamnya sikap ulama terhadap hadîts. Namun ada benang merah yang dapat ditarik dan kejeniusan ahli-ahli hadîts bahwa mereka kurang “sreg” terhadap apa saja yang dirumuskan oleh akal pikiran manusia meskipun rumusan-rumusan sunnah dan tradisi pada saat itu adalah rumusan-rumusan akal pikiran mereka. Keanekaragaman dan pluralitas pendapat mereka lambat laun redup cahayanya lantaran gerakan periwayatan dan pembukuan hadîts yang kemudian dominan di kemudian

156

hari lebih menghendaki keseragaman dan standarisasi ajaran agama. Para ulama belakang lebih suka menerima hadits sebagaimana apa adanya, sebagaimana yang tertulis dalam al-kutub al-sittah umat Islam senang menerima hadîts sebagai produk jadi. Hadîts yang dirumuskan dari sunnah yang hidup sesaat itu mempunyai harga mati yang tidak dapat ditawartawar lagi. Pada gilirannya orang sulit membedakan hadîts yang bersifat mutlak yang terbebas dari ikatan ruang dan waktu yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah, serta hadîts yang bersifat nisbi yang terikat ruang dan waktu yang menyangkut bidang muamalah, pergaulan hidup, adat kebiasaan yang mencerminkan tradisi atau sunnah yang hidup pada suatu penggalan sejarah.125 c. Pandangan Al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah dan Pembid’ahan Ketika ajaran ortodoksi telah terbentuk dan telah mengkristal sedemikian rupa, maka sikap ulama terhadap hadîts dapat ditelusuri dalam pemikiran Al-Ghazâlî (1058-1111) dan Ibn Taymiyyah (661-728 H/ 12581328) secara garis besar dapat dikatakan bahwa Al-Ghazâlî meneruskan pemikiran al-Syâfi’î, sedangkan Ibn Taymiyyah meneruskan Ahmad Ibn Hanbal. Timbul tenggelamnya madhab Mu’tazilah seirama pasang surutnya penguasa politik yang mendukung atau menentangnya tidak menjadi soal

125

Ibid., lihat Yusuf Qardawi, Islam abad 21, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001), XVI-XVII.

157

bagi pendukung ulama ahl sunnah wal jama’ah, kelompok ini terlalu kuat untuk ditandingi oleh kelompok Mu’tazilah. Meskipun pelan tapi pasti muncullah pendukung Mu’tazilah dalam baju baru yang disebut falsafah. Munculnya pemikiran adalah karena kehendak sejarah semata. Proses akulturasi dan asimilasi budaya tidak mampu membendung arus kebudayaan setempat tidak mempunyai elemen yang cukup kuat untuk menandingi datangnya pengaruh dari luar. Untuk menahan kekuatan pengaruh falsafah maka pendukung hadîts yang bersifat eksklusif, pada waktunya bergabung dengan ahli fiqh dan kalam pada saat itu. Satu hal yang perlu dicatat terlebih dahulu, bahwa al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah adalah sama-sama menentang falsafah spekulatif yang dikembangkan oleh para filsuf muslim. Ghazâlî menentang falsafah lewat Tahâfut al-Falasifah.126 Sedangkan Ibn Taymiyyah mengkritik falsafah dalam Naqd al-Mantiq. Meskipun kedua-duanya anti falsafah spekulatif, untuk Ibn Taymiyyah masih perlu ditambah dengan keberatannya terhadap sufisme yang menjelma menjadi gerakan tarekat-tarekat, mereka berdua tetap menggunakan kerangka pemikiran dan metodologi filsafat untuk membangun kerangka-kerangka rumusan sistem ajaran yang kokoh.

126

Lihat Nur Muh Hakim, Metodologi, 62 bandingkan dengan Hasymsiyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media, 1999), 83-87.

158

Kontruksi

pembagian

nilai

moral

menjadi

empat,

yaitu

kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan, adalah kerangka berpikir Ibn Sina (370-428 H/ 980-1037 M) yang diambil dari Aristoteles dan kemudian Diislamkan oleh al-Ghazâlî dalam Ihya’ ‘Ulum al-Dîn sedangkan Ibn Taymiyyah, ketika menggarisbawahi perlunya qiyas juga tidak bisa meninggalkan logika Aristoteles sama sekali. Penentangannya terhadap perlunya definisi yang sempat menjadikan ulama fiqh, menjadi sangat formalistik. Ibn Taymiyyah dari ikatan formalisme fiqh sehingga mengantar untuk dapat berjihad secara mandiri dalam bidang fiqh. Al-Ghazâlî dikenal sebagai ulama pembela madhab Syafi’î yang menggunakan banyak hadîts untuk mendukung faham tasawufnya. Namun hadîts- hadîts yang digunakan al-Ghazali dalam Ihya’ dianggap oleh para penghormat sebagai hadîts-hadîts yang lemah, bahkan ditegaskan alGhazâlî bahwa untuk berijtihad orang yang tidak dipersyaratkan untuk mengetahui ilmu hadîts. Ibn Taymiyyah kebalikan dari al-Ghazâlî, lebih suka ke ajaran salaf dan lebih menggunakan istilah bid’ah bagi rumusan-rumusan pemecahan-pemecahan baru yang tidak ditemuinya di zaman salaf. Beliau cukup kritis terhadap hadîts-hadîts yang dianggap lemah atau palsu. Jika al-Ghazâlî terlalu longgar dalam menerima hadîts, maka Ibn Taymiyyah terlalu ketat berpegang teguh kepada hadîts-hadîts yang berstandar shahîh. Meskipun keduanya anti falsafah, tetapi al-Ghazâlî menyukai ta’wil

159

seperti Ibn Taymiyyah, seperti Ahmad Ibn Hanbal tidak menyukainya. Untuk menjaga kemurnian ajaran salaf, ia tidak suka menggunakan ta’wil praktek-praktek golongan salaf adalah menjadi acuan pokok ajarannya. Dalam kontek kekinian, penggunaan hadîts model al-Ghazâlî maupun Ibn Taymiyyah agaknya perlu ditinjau. al-Ghazâlî dengan sikap begitu lunak dalam menerima hadîts yang beralur, pemikiran tasawuf dan fadlail al-a’mal. Meskipun harus dicatat, pemikiran tasawuf al-Ghazali sebenarnya adalah lain sama sekali dengan dengan pemikiran tarekat yang menimbulkan kesan seolah-olah ajaran Islam sedemikian rumitnya, oleh karena itu, Ibn Taymiyyah sering menilainya sebagai bid’ah. Sedang mengikuti aliran Ibn Taymiyyah umat Islam dengan lebih mudah masuk ke pengakuan puritism yang ketat yang disebabkan sulitnya mengambil sikap di dalam mengakomodasi kebudayaan dan tradisi setempat. Ajaran kembali ke salaf sebagai antidote dari perkembanganperkembangan Islam saat itu yang mengarah kepada tasawuf dan munculnya tarekat pad abad pertengahan akan menjadikan keberagamaan kita semakin matematis. Padahal nuansa spiritualitas tidak dapat dikristalisasikan dalam ungkapan kembali ke salaf. Lantaran kurang memahami arti penting ijtihad maka program dan pengayaan dan pengekaran budaya Al-Ghazâlî terbatas hanya pada aspek batiniah dan kesalahan individu dari pada umat Islam. Pada saatnya, setalah ide-ide diserap Al-Ghazâlî oleh banyak kalangan dan tumpang

160

tindih dengan ajaran sufi yang heterodok maka tidak dapat terelakkan munculnya sifat konservatisme. Dengan hanya menekankan kesalehan pribadi Al-Ghazâlî hampir-hampir tidak pernah menyentuh kreatifitas dan orisionalitas manusia muslim dalam merumuskan problema sosial, ekonomi dan keagamaan dalam abad-abad berikutnya pemikiran AlGhazâlî dijadikan patokan dasar oleh pengikutnya yang kebetulan adalah juga pengikut ahli sunnah wal jama’ah. Dengan minusnya rancangan ijtihad dalam arti luas maka pola pikir Al-Ghazâlî jauh dari pengembangan, pemekaran dan pengayaan budaya intelektual muslim. Sedangkan pemikiran Ibn Taymiyyah juga kurang punya greged pemekaran dan pengayaan budaya. Anjuran ijtihad sebenarnya adalah kunci dari segala kreatifitas dan orisinalitas berpikir untuk memecahkan masalah-masalah yang baru. Muhamad Iqbal mengatakan bahwa ijtihad adalah the principle of movement. Ibn Taimmiyah sendiri telah memberikan beberapa contoh original dalam berijtihad meskipun ia menyerukan ijtihad secara vokal tetapi, beban anjuran ke salaf yang lebih bernuansa tekstual terasa lebih ditekankan oleh pengikutnya sehingga mengaburkan misi yang dibawa oleh Ibn Taymiyyah. Anjuran untuk berijtihad dirasa kurang mendapat gaungnya, jika kita melihat praktek-praktek ajaran Wahabi yang tekstualitas diarab saudi didalam memahami al-Qur’ân dan sunnah. Program pemekaran dan

161

pengayaan

budaya

terasa

kurang

subur,

karena

mereka

masih

menghatamkan beberapa mata kuliah yang dulunya dikecam habis habis oleh Ibn Taymiyyah yaitu filsafat dan sufisme pemahaman Islam dalam arti menyeluruh dan utuh terasa belum mendapat tempat yang sewajarnya. Tipe pemahaman al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah lantaran samasama memahami hadîts secara tekstual agaknya akan membawa umat Islam

tersandung

dengan

persoalan-persoalan

pemekaran

dan

pengembangan pemikiran terhadap ajaran Islam dalam era globalisasi dan informasi. Keduanya, lebih-lebih al-Ghazâlî menganggap hadîts sebagai sesuatu yang taken for granted (sesuatu yang seharusnya begitu), tanpa perlu

diteliti

kadar

keshahîhannya,

apalagi

sampai

memikirkan

relevansinya dengan zaman, kondisi setempat dimana ajaran Islam hendak di kembangkan. Dalam konteks ini ajaran untuk kembali ke salaf yang ikut mengilhami gerakan modernisme dalam abad XIX dan XX, agaknya masih sama saja dengan memecahkan persoalan masa kini dengan menoleh ke belakang sering kali melahirkan pemecahan persoalan secara mauquf bahkan menimbulkan implikasi yang berat di dalam masyarakat beragama.127 Secara ringkas sikap al-Ghazâlî terhadap hadîts adalah:

127

M. Amin Abdullah, “Hadits dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah”, dalam Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits, ed, Yanuar Ilyas Masudi Yogyakarta: LIPI 1996), 204-2134.

162

a. Hadîts menjadi sumber ajaran agama Islam adalah hadîts mutawâtir ini berarti ingkar tehadap hadîts mutawâtir menyebabkan kekafiran sedangkan ingkar terhadap hadîts ahad tidak mnyebabkan kekafiran. b. Hadîts dapat menjadi penjelasan atas al-Qur’ân secara mutlak, baik yang mutawâtir maupun yang ahad, baik berisi masalah aqidah maupun di luar aqidah. c. Dalam menyebutkan hadîts yang dipakai menjelaskan al-Qur’ân, tanpa menyelesaian sanad dan matannya. d. Metode pemahaman hadîts tidak hanya tekstual bahkan melampaui isyari sufistik. Sedangkan Ibn Taymiyyah adalah: a. Hadîts yang dapat dijadikan sumber ajaran Islam adalah hadîts mutawâtir dan ahad selama memenuhi syarat-syarat keshahihan, baik isinya memperkuat, menjelaskan, membatasi maupun menambah isi al-Qur’ân. b. Dalam menyebutkan sumber hadîts yang dijadikan sumber pemikiran, Ibn Taymiyyah menjelaskan sanad, rawi, nilai hadîts tersebut relevan. c. Hadîts shahîh yang dapat menjadi sumber agama Islam meliputi semua aspek mulai dari akidah sampai masalah kenegaraan. d. Metode pemahaman hadîts yang shahîh yang menjadi sumber ajaran Islam tidak hanya tekstual yang menembus konteks waktu dan tempat global secara kritis.

163

Bila perhatian pemikiran dan penerapan hadîts yang dilakukan oleh al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah dibandingkan, maka akan diperoleh persamaan dan perbedaan. Unsur persamaan yang ada pada keduanya adalah: a. Keduanya mempunyai motif yang sama untuk membangkitkan umat pada kesadaran keislaman dengan sumber al-Qur’ân dan hadîts. b. Keduanya sama-sama mengakui adanya hadîts mutawâtir dan ahad yang dapat menjadi sumber ajaran Islam yang meliputi banyak aspek, baik aspek akidah maupun yang di luarnya. c. Kedua-duanya sama-sama melakukan pemahaman-pemahana atas hadîts dengan pendekatan tekstual bukan kontekstual. Unsur perbedaan yang ada pada keduanya adalah: a. Al-Ghazâlî dalam menyebut hadîts tanpa menyebutkan jalan sanadnya, tanpa mengkaji matannya dan tanpa penilaian. Sedangkan Ibn Taymiyyah dalam menyebutkan hadîts sudah menunjukkan sanad, walupun penilaian yang dilakukan menggunakan penilaian orang lain dan juga mengkaji matannya. b. Al-Ghazâlî dalam memahami isi hadîts melalui pendekatan isyari, sedang Ibn Taymiyyah melalui pendekatan kontekstual.

164

c. Al-Ghazâlî menghasilkan suatu kesadaran keagamaan sufistik dan statis, sedang Ibn Taymiyyah menghasilkan kesadaran keagamaan yang kritis dan dinamis.128 Ungapan-ungkapan kedua tokoh ini memang terasa berbeda. Perbedaan pengalaman dan zamanya masing-masing kiranya berperan dalam pembentukan dan perkembangan intelektual masing-masing. Ibn Taymiyyah yang lahir lima tahun setelah jatuhnya Baghdad tepatnya tanggal 10 Rabiul Awal 661 / 22 Januari. Walaupun dibesarkan di lingkungan keluarga yang tradisi agamanya kuat, tetapi situasi perang dan traumanya, serta situasi masyarakat Islam yang banyak bercampur dengan berbagai budaya dan khurafat disertai kolaborasi ulama zamannya dengan penguasa

dengan

mengorbankan

nilai

agama

demi

kepentingan

pribadinya, telah membentuk watak Ibn Taymiyyah yang terasa kaku dan keras, sehinnga ia di keluar masukkan penjara, selama situasi itulah ia menulis. Sementara al-Ghazâlî yang lahir satu abad sebelum Ibn Taymiyyah (540 H), di kota Thus, hidup dalam situasi politik yang relatif stabil. Dia mendapatkan perlakuan yang baik dari pengfuasa zamannya, Nizam al-Muluk. Dua situasi yang kontras menghasilkan paroduk- dua situasi yang menghasilkan produk intelektual yang berciri khas. Yang pertama banyak melewatkan kehidupannya dan meneteskan tintanya di 128

Nasikun, Pengembangan, 240-245.

165

penjara. Dapatlah dipahami bila ungkapan tulisannya keras dan kasar. Yang kedua di istana dan menyendiri untuk mencari hakikat kebenaran yang bermuara di ma’rifat melalui dzauq. Dapat dipahami tulisantulisannya terasa lembut terkadang membuatbaca tenggelam di dunia lain dan mengesankan dunia lain lebih penting dari dunia kini.129 d. Purifikasi dan Reformasi Sebagaimana telah dijelaskan di atas gagasan dan pemikiranpemikiran Ibn Taymiyyah yang mengajak kembali ke salaf telah mengilhami pemurnian agama (purifikasi) disamping pengaruh dari barat pada selang dua sampai tiga abad berikutnya telah melahirkan akar-akar pembaharuan pemikiran Islam diparuh kedua abad 18 dan paruh abad ke 19 yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1792) di Saudi Arabia Syah Waliyyullah al-Dahlawi (1702-1762) di India Muhammad Ali Sanusi (1859) dari al-Jazair Jamal al-Din al-Afghânî (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridla dari Mesir Sir Ahmad Khan (lahir 1817 M) Syed Anair Ali Muhammad Iqbal (lahir 1876 M) dan Ibn Jinnah (lahir 1876). Lahir di Mesir.130 Sebagaimana Ibn Taymiyyah, dalam pembaharuan para tokoh menekan purifikasi pemurnian agama yang anti sufisme, khurafat dan sebagainya yang dianggap sebagai bid’ah. Namun dari pergerakan

129 130

Juhaya S Praya, Pengembangan, 233. . lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1992) 23-88.

166

pembaharuan tersebut gerakan-gerakan Wahabisme di Saudi Arabia pada prakteknya terlihat tekstualis, jauh dari ijtihad yang ditekankan oleh Ibn Taymiyyah.131 Gerakan pemurnian dan pembaharuan ini sebagai konsekwensinya di satu sisi krisis identitas, problem-problem sosial dan benturan kultural yang tidak dapat dielakkan. Umat Islam terbagi menjadi tradisionalis dan modernis. Secara sederhana, keduanya mengalami ketegangan dan konflik-konflik social yang hingga sekarang tidak mudah dipersatukan.132 Di Saudi Arabia, gerakan Wahabi mendapat pertentangan dengan bukti beredar literatur tentangnya. Di antaranya Syaykh Mas’ud

al-

Nadawy (India) mengarang buku berjudul Muhammad Ibn Wahhab Mushlih Madhlûm wa Muftar Alayh, al-Syaykh Ibn Hijr ‘Ali Abu Thâmi (Qatar) Naqd Kalam al-Muftarîn ala al-Hanabalah al-Salafiyyin dan sebagainya menolak menganggap sebagai pembohong pada Syaykh Muhammad dan dakwahnya pada tauhid dengan nama Wahabiyyah, alKhawarij, Madhab al-Khâmis dan al-Din al-Jadîd dan Mubtadi’ah. Nama wahabiyah dikenal pada abad kedua hijrah yaitu firqah Khârijiyah alAbadliyah yang disandarkan kepada Abd Wahhab Ibn Abd al-Rahman Ibn

131 132

Abdullah, Pengembangan 204-2134. Nurhakim, Metodologi, 163-166

167

Rustam al-Khâriji al-Abâdli 147-205 H di Afrika Utara dan begitu juga di Indonesia.133 Islam di Indonesia asalnya bermainstrem neo sufisme atau tasawuf ortodok. Tasawuf ortodok adalah tasawuf yang menyeimbangkan antara orientasi lahir (eksetoris / syari’at) dan orientasi batin (esotoris/ hakikat) yang dikembangkan oleh para wali songo yang dilanjutkan oleh Abdus Shamad Palimbani (1704-1789 M) pengarang Hidâyah al-Sâlikîn yang merupakan adaptasi dari Bidâyah al-Hadâyah karya Al-Ghazâlî lalu dilanjutkan oleh Nawâwî al-Bantanî (1888) pengarang Syarh Bidâyah alHidâyah yang salah satu muridnya adalah Hasyim Asyari pendiri organisasi Islam tradisional Nahdlatul Ulama (NU). Bisa dikatakan bahwa Islam dengan tradisi lokal tidak terlibat dalam konflik yang keras dan terbuka. Hubungan Islam dengan adat adalah negotiable ini karena peranan tasawuf yang adapsionis yang memungkinkan relasi timbal balik antara Islam dan tradisi lokal berlangsung cair. Pada abad 19 ide puritanisme masuk Indonesia melalui orang yang pergi haji ke Mekah. Puritanisme diawali oleh Ahmad Khatib (18551916). Ia menulis buku yang mengecam system pembagian waris di Minangkabau yang bersifat matrilineal. Pandangan ini disebarkan oleh Syeykh Jamil Jambek, haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul yang 133

Muhammad Ibn Sa‘d al-Suway’ir,” Sulayman Ibn Wahhab al-Syaykh al-Muftara ‘alayh”, Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, 60,( Juni- September, 2000), 255-256.

168

terpengaruh dengan ide-ide reformis. Puritanis ini dikembangkan di Jawa melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan pada 1912 yang merupakan murid dari Ahmad Khatib. Nama ini sama dengan nama lain dari gerakan Wahabî yaitu Muhammadiyah (yang disandarkan kepada pendirinya) dan al-Da’wah al-Jadîdah.134 Berdasarkan uraian di atas, latar belakang sejarah perdebatan mengenai bid’ah adalah gerakan ijtihad Ibnu Taymiyyah yang dikaburkan oleh ajarannya yang tidak dipahami oleh pengikutnya, dimana ia lebih menyukai menggunakan istilah bid’ah bagi rumusan-rumusan pemecahanpemecahan baru yang tidak ditemuinya di zaman salaf. Ia menolak dan memancang sufisme al-Ghazâlî dan pemikiran tarekat yang menimbulkan kesan seolah-olah ajaran Islam itu sebegitu rumitnya sebagai bid’ah. Jadi yang perlu dipahami adalah bahwa pemikiran tasawuf alGhazâlî adalah suatu bentuk penafsiran dan ijtihad yang dipegaruhi oleh situasi sosial pada masanya. Dimana ia mampu menggiatkan kajian keagamaan yang pernah mundur akibat filsafat neoplatonismenya alFarabi dan Ibn Sina, sehingga mampu memukau umat Islam meskipun mengakibatkan pemenjaraan kreatifitas umat Islam. Sedangkan gerakan dan pemikiran ajaran kembali salaf Ibn Taymiyyah juga merupakan bentuk penafsiran dan ijtihad yang dipengaruhi oleh kondisi sosial pada masanya yang mengarah pada 134

Zainul Hamdi,”Neo Sufisme Islam Jawa,”Istiqra’,2005,326-330

169

tasawuf

pada

abad-abad

mengkombinasikan

sikap

pertengahan egalitaritas

yang

tradikal

mana melalui

ia

mampu

metodologi

pemahaman agama secara literal kembali kepada al-Qur’ân dan hadits untuk kembali kepada pintu ijtihad yang telah tertutup sebelumnya. Oleh karena itu sikap yang pas terhadap pemikiran al-Ghazali yag sufistik dan pasif dan pemikiran Ibnu Taimiyyah yang purikatif dan reformatif adalah sesuai dengan kaidah

³ ُ ?َf ْ ‫ َا‬0ِ 5ْ 0ِ J َ Cْ 3ِ: Uُ P ْ 3َ Cْ ‫ وَا‬³ ِ Cِ3/²C‫ ِ> ا‬5ْ 0ِ gَ Cْ ‫ ا‬Vَ?M َ [ُ j َ Xَ 3َdGُ Cْ ‫َا‬ Yaitu menjaga sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Apalagi melihat paradigma baru yang terjadi dimasyarakat yang kita berbeda dengan situasi keduanya dimana kita berada dalam zaman modern bahkan pos modern. Permasalahan yang terjadi dalam realitas juga berbeda dan lebih kompleks dimana manusia modern kehilangan visi keilahian,spiritualitas, membunuh tuhan, skularitas, dan antroposentrisme, eksistialisme berlebihan dan egois, kapitalisme dan eksploeitasi alam, sebagaimana yang terjadi pada masa Al-Ghazâlî. Sedangkan harapan untiuk menghadapinya yang dibutuhkan adalah mengembalikan manusia kembali kepada khittahnya sebagai makluk primordial tuhan, mempunyai spiritualitas yang tinggi, punya pemikiran yang ilmiah dan modern, menghargai akal dan intelektualitas. Oleh karena itu strategi keilmuan

170

yang harus dipegang oleh umat Islam adalah mengembalikan spiritualitas keilahian (tradisi intelektualitas kesufiyan sebagaimana ajaran AlGhazâlî), mengembalikan fungsi ajaran kitab suci agama menjadi pegangan hidup. (sumber-sumber teks/ajaran agama) sebagaimana ajaran ibnu Taymiyyah. Serta memberi porsi yang sebagaimanamestinya atas peran akal (peran filsafat). Sehingga yang ideal adalah keseimbangan antara metodologi bayani, yaitu metodologi atas teks yang dasarnya adalah kitab suci (teks suci) yang tekstual dan normatif, metodologi irfani, yaitu metodologi berfikir yang berdasarkan pengalaman langsung atas realitas spiritualitas keagamaan dan metodologi burhani, yaitu metodologi berfikir

atas

dasar

keruntutan

logika

yang

kontekstual

historis

sebagaimana yang dikembangkan oleh al-Jabiri. Jadi eksistensinya

yang

harus

adalah

dilakukan

mau

menafsiri

umat dan

Islam

dalam

berijtihad

atas

menjaga setiap

permasalahan dan paradigma yang dihadapinya dengan berdasarkan pada konsep-konsep syariat Islam. Sehingga ajaran Islam yang universal dan merupakan rahmatan li al-alamin terjaga, diterima dalam masyarakat dunia dan bahkan mampu berjaya lagi sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah Umat Islam seharusnya tidaklah terpetak-petak dan terjebak dalam kelompok-kelompok yang terjadi seperti sekarang seperti kelompok tradisionalis (konservatif), modernis, undamentalis, ekstrim kanan, ektrim

171

kiri dan sebagainya yang menyebabkan generasi penerusnya bingung dan lari meninggalkan tokoh dan ulama'nya seperti sekarang (apakah itu disadari atau tidak, diakui atau tidak). Dan terakhir tanggung jawab para pemimpin Islam, ulama' dan para intelektual adalah memahamkan umat dengan pemahaman yang benar sesuai dengan ajaran syariat Islam yaitu dengan berdasar al-Qur’ân dan al-hadîst sunnah Rasul secara tekstual maupun kontekstual. Selain itu mereka harus memikirkan implementasi dan implikasi dari sikap perilakunya terhadap masyarakat pada masa sekarang ataupun yang akan datang. Sehingga tidak menyebabkan situasi serupa yang terjadi pada yang dilakukan pada Al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah. 4. Analitis Kritis tentang Bid’ah Kalau diperhatikan secara seksama seluruh matan hadits mengenai setiap bid’ah itu dlalalah, maka matan-matan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu matan dari ‘Irbâdl dan dari Jâbir. Matan ‘Irbâdl yang mempunyai asbâb al-wurûd yaitu maw’idlah sesudah shalat subuh terdapat redaksi ‘alaykum bi sunnatî wa sunnah al- Khulafâ’ al-Râsyidin selain itu juga terdapat kata yang mubham atau tidak jelas yang mengatakannya, seperti kata qâ’il pada riwayat Abû Dâwud, Dârimî dan Hanbal 4, fa qâla rajul pada riwayat Turmudzî, fa qîla dari riwayat Ibn Mâjah dan qâlû dari riwayat Ibn Hanbal 3.

172

Redaksi Khulafâ’ al-Râsyidin mungkin masih bisa dipermasalahkan dan perlu pembahasan lebih lanjut. Sebab kata-kata tersebut mungkinkah sudah ada pada masa rasul. Walaupun begitu menurut penulis redaksi tersebut masih bisa dijadikan pedoman sebab tidak menyalahi hadîts yang lain yaitu “Iqtadû bi Alladzîna min Ba‘dî Abî Bakr wa ‘Umar” atau al-Qur’an surah al-Nisa 59. Menurut penulis, redaksi matan Jâbir-lah yang setiap muslim harus tertuju padanya memahami dan mengingatnya karena karena matan tersebut langsung bisa dipahami redaksinya terutama redaksi fa Inna Khayra al-Hadîts Kitabullah wa Khayra al-Hadyi Hadyu Muhammad. Redaksi inilah yang menjadi pokok pikiran filosofis yang harus dipegang oleh setiap muslim yaitu menjadikan al-Qur’an dan petunjuk Nabi Muhammad (sunnah atau hadîtsnya) sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim. Istilah bid’ah dan sunnah atau sunnah dan bid’ah dlalâlah atau sunnah atau bid’ah hasanah dan sayyiah dapat dikesampingkan atau dinomor sekiankan karena itu hanyalah masalah bahasa atau istilah. Yang penting bahwa setiap diri seorang muslim yang harus ditanamkan adalah berpegang kepada al-Qur’an dan petunjuk nabi (sunnah atau hadîtsnya) secara tekstual atau kontekstual yang merupakan pedoman dari syariat islam. Oleh karena itu yang harus dilakukan oleh setiap muslim adalah melakukan perintah-perintah syariat dan menjauhi larangannya serta tidak melakukan atau mengembangkan sesuatu yang menyalahi pedoman syariat. Kemudian, redaksi Kull Muhdatsah Bid’ah wa Kull Bid’ah Dlalâlah adalah penjelasan nabi yang merupakan Mafhum Mukhâlafah dari

173

redaksi sebelumnya, yaitu tidak mengkuti atau menyalahi ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan petunjuk-petunjuk rasul yang merupakan pedoman pokok atau asal syariat islam. Semua perkara yang menyalahi al-Qur’an atau petunjuk rasul itu berarti pengembangan yang menyalahi apa yang ditentukan oleh Allah. Dan itu adalah perkara yang sesat. Oleh karena itulah kemudian nabi menjelaskan setiap perkara yang di ada-adakan (maksudnya perkara yang menyalahi ketentuan al-Qur’an dan petunjuk-petunjuk nabi itu adalah pengembangan yang sesat atau bid’ah dlalâlah). Dari redaksi ini berarti langsung dapat dipahami bahwa bid’ah adalah sesuatu yang menyalahi pedoman syariat. Kembali kepada redaksi hadîts ‘Irbâdl, yaitu Ûshîkum bi Taqwallâh dan seterusnya maka taqwa kepada Allah adalah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dan sebagaimana surat al-Nisâ’ 59 yaitu diantara perintah Allah adalah taat kepada rasul-Nya dan ulil amri maka redaksi ‘Alaykum bi Sunnatî wa Sunnah al-Khulafâ’ al-Râsyidîn yang berarti taat kepada rasulullah dan

pemimpin pengganti rasul yang nabi sudah

memerintahkan untuk mengikutinya seperti “Iqtadû bi Alladzîna min Ba‘dî Abî Bakr wa ‘Umar”, Ashhâbî ka al-Nujûm al-Hidâyah ayyukum Iqtadytum Ihtadaytum dan sebagainya karena nabi tahu dan yakin bahwa para sahabatnya itu tidak akan menyalahi al-Qur’an dan mengikuti petunjuk rasul, maka redaksi itu jelas tidaklah menyalahi al-Qur’an atau hadîts yang lain. Jadi, seperti matan Jâbir yang setiap muslim harus tertuju kepada hadîts

174

tersebut adalah redaksi tersebut. Kemudian untuk redaksi kull muhdatsah bid’ah dan seterusnya sama dengan redaksi Jâbir. Kemudian kalau diperhatikan matan hadîts adanya sunnah hasanah dan sayyiah maka pada riwayat Dârimi (2) dan Hanbal (1 dan 2), bisa dilihat bahwa Asbâb al-Wurud hadîts Jarîr dan Juhayfah tersebut kasus (waqai‘ alnash) nya adalah ketika khutbah, nabi memerintahkan dan mendorong pada manusia untuk bersedekah kepada seorang Badui al-Mujtab al-Namâr. Namun orang-orang enggan dan akhirnya datanglah seorang dari golongan Anshar yang membawa makanan dan kemudian diikuti oleh yang lain secara terus menerus. Kemudian nabi bersabda dengan hadîts yang redaksinya Man Sanna dan seterusnya tersebut. Dari asbâb al-wurud atau waqai‘al-nash hadîts di atas dapat dipahami bahwa sunnah hasanah adalah sesuatu perkara yang sesuai dengan syariat (al-Qur’an dan petunjuk nabi), karena nabi memerintahkan bershadaqah kemudian orang Anshar itu pula yang memulainya, sedangkan sunnah sayyiah adalah kebalikannya yaitu perkara yang menyalahi syariat (al-Qur’an dan hadits). Dari kasus diatas umat Islam dapat meng-qiyas-kan atau menganalogikan paradigma yang lain yang terjadi di masyarakat yang merupakan pengembangan dari paradigma yang terjadi pada masa nabi. Jika paradigma yang terjadi sesuai dengan syariat baik tekstual atau kontektual, maka itu disebut sunnah dan sunnah hasanah atau bid’ah hasanah dan sebaliknya jika menyalahi syariat maka disebut bid’ah dan sunnah sayyiah atau bid’ah sayyiah.

175

Dari hadîts ini, sayyidina ‘Umar mengatakan Ni’mat Bid’ah Hadzihi karena yang dilakukan oleh ‘Umar atau paradigma yang terjadi pada masa ‘Umar adalah pengembangan (modifikasi) dari apa yang dimulai atau dirintis oleh nabi. Kemudian al-Syafi’i melajutkannya dengan mengatakan bahwa bid’ah ada dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah dan sebagainya. Jadi sunnah dan bid’ah atau sunnah hasanah dan sunnah sayyiah atau bid’ah hasanah, bid’ah sayyiah dan bid’ah dlalâlah hanyalah merupakan masalah bahasa yang dirasa tidak perlu dipermasalahkan. Kalau sunnah menunjukkan sesuatu yang menjadi pedoman atau asal mula, sedangkan bid’ah menujukkan pengembangan atau modifikasi dari asal mulanya atau pedomannya. Maka biarlah mereka menyebut apapun istilahnya, yang penting bagaimana umat Islam mengikuti petunjuk al-Qur’an dan petunjuk nabi. Kedua hadîts di atas, sama-sama menunjukkan supaya umat Islam berpegang teguh kepada petunjuk al-Qur’an dan petunjuk rasul secara langsung atau tidak langsung dan mengembalikan semua permasalahan kepada keduanya ketika terjadi perselisihan dan pertengkaran sebagaimana surat al-Nisâ’ 59, maka hendaklah umat Islam mengikuti perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya. Bedanya hadîts pertama ‘Irbâdl atau Jâbir tidak terpraktekkan secara langsung dengan adanya kejadian nyata, sedangkan hadîts Jarîr dan Juhayfah terpraktekkan secara langsung dengan adanya kejadian nyata (Waqâi‘ al-Nash). Hadîts Jâbir menggunakan istilah Sunnatî wa Sunnah al-Khulafâ’ al-Râsyidîn dan bid’ah dlalâlah, sedangkan

176

hadîts Jarîr dan Juhayfah menggunakan istilah sunnah hasanah dan sunnah sayyiah.

.

177

BAB IV ANALISIS PEMAHAMAN HADÎTS TENTANG BID’AH

C. Meneliti Kandungan Hadîts Yang Tampak Bertentangan Pada bab II yang lalu telah diadakan penelitian sanad, dan hasilnya, masing-masing dari kedua hadîts yang diteliti sanadnya berkualitas shahîh li dzâtih. Kemudian pada bab III yang lalu juga telah diadakan penelitian matan dan hasilnya masing-masing dari kedua hadîts berkualitas shahîh. Namun hadîts tentang setiap bid’ah itu sesat di bawah ini:

ْ>`ُ ,ْ Aِ ْ„Oِ 5َ ْ8Aَ Wُ Y/ …ِXَ 3†B‡ ِ Fَ 1 َ ‫ًا‬0Fْ M َ ْ‫ ِ[ َوِإن‬M َ 3/C‫ ِ€ وَا‬Gْ @ / C‫ وَا‬Wِ ?/C‫<َى ا‬gْ eَ :ِ ْ>`ُ Bِf‫أُو‬ 8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/@ ُ :ِ ْ>ُ`Bْ ?َOَ Xَ ‫ًا‬IBِ‚‫ َآ‬3ًX3َ?eِ P ْ ‫َى ا‬IBَ @ َ Xَ ‫ِي‬0Oْ :َ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ َوِإ‬Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: 3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ ‫ َو‬3َc:ِ ‫@`ُ<ا‬ / Gَ Rَ 8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ا‬ (‫< داود‬:‫ أ‬z‫ )روا‬.[ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ ٌ[ َو ُآ‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ Hadits diatas tampak ta‘ârudl manakala disandingkan dengan hadîts adanya sunnah hasanah dan sayyiah dibawah ini:

Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8َA :>َ ?/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ — ُ ‫ ا‬V/?f َ — ِ ‫لا‬ ُ ْ<\ ُ ‫ل َر‬ َ 34َ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬.3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫<ْ ِر ِه‬a ُ ‫ْ ُأ‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬,3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫َأ‬ ْ8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫ َو ِوزْ ُر‬3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ ([a3A 8:‫ ا‬z‫ )روا‬.3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫َأوْزَا ِر ِه‬ Dalam disiplin ilmu hadîts jika ada ta‘ârudl seperti yang telah dijelaskan pada bab I, cara yang ditempuh adalah:

178

1. Al-Jam‘ yaitu menggabungkan atau mengkompromikan kedua hadîts yang bertentangan tersebut, sehingga keduanya tidak ada kontradiksi. 2. Kalau usaha di atas gagal, maka cara selanjutnya adalah dengan cara mencari mana dari kedua hadîts tersebut yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Yang datang dahulu namanya mansûkh sedang yang datang kemudian namanya nâsikh. 3. Tarjîh, yakni mengunggulkan salah satunya yang memiliki argumen yang kuat. 4. Kalau dari tiga cara tersebut juga gagal maka cara terakhir adalah membekukan hadîts tersebut. Dari keempat metode di atas dalam hal ini cara atau metode pertamalah yang sesuai untuk digunakan yakni al-jam‘. Dengan demikan, maka kedua hadîts di ats dikompromikan sehingga antara keduanya tidak ada kontradiksi. Lebih tepatnya hadîts ‘Irbadl ditakhshish oleh hadîts Jâbir.

D. Analisis Pemahaman Hadîts Tentang Bid’ah Dalam memahami hadîts tentang bid’ah sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam bab I, penulis akan melakukan langkah-langkah pemahaman sebagai berikut, yaitu menjelaskan syarh mufradat sunnah dan bid’ah, menjelaskan pemahaman ulama tentang sunnah dan bid’ah, sebuah perbandingan,

179

menjelaskan latar belakang sejarah terjadinya perdebatan sunnah dan bid’ah dan terakhir adalah melakukan analitis kritik sunnah dan bid’ah.

180

1. Syarh mufradât sunnah dan bid’ah a) Sunnah Ulama berbeda-beda pendapat tentang definisi sunnah secara etimologi sebagai berikut: 1) Menurut Syaykh Zakariyya al-Anshâri al-Syâfi’î al-Khazrajî dalam Fath ‘Alam: Tharîqah Wa al Sîrah Jayyidah Kânat aw Qabîhah (caracara atau metode, jalan yang biasa ditempuh baik atau buruk). Pendapat ini dikutip oleh al-Tharabilisi dalam Mu‘în al-Hikam dan Muhammad alwi al-Maliki dalam Ilmu Ushul Hadîts135 pada poin pertama ini, ulama juga berbeda pendapat dalam pegambilan asal katanya diantaranya adalah sebagai berikut: a) Dalam kitab fath al-‘Alam yang mengutip dari keterangan ashShahah jus 1 halaman 139, Lisan al-Arab jus III No. 21 24, Tartib al-Qamus jus II hal. 656 dan Mu’jam Miqyâs al-Lughah juz VII hal 60 sebagaimana Hajjaj al-Khattib dalam al-Sunnah Qabl alTadwîn menjelaskan contoh-contoh yang mendukung asal kata

135

Syaykh al-Islâm Abî Yahyâ Zakariyya al-Anshârî al-Syâfi’î al-Kharajî, Fath al-‘Alâm bi Syarh al-‘Ilam bi al- Hadîts al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1990), 7. bandingkan Muhammad Ibn ‘Alî Ibn Muhammad al-Syawkânî, Irsyâd al-Fuhûl ( Beirut:Dâr al-Fikr, tt), 33. Lihat Muhammmad Alwi al-Maliki, Ilmu Ushûl Hadîts, terj. Adrian Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 3; Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadîts (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 5, Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), 14, alImâm ‘Alâ’ al-Din Abî al-Hasan Alî Ibn Khalîl al-Tharâbilisî al-Hanafi, Mu’in al-Hikam (Beirut: Musthafa al-Bâbî al-Halabi, 1973), 166, Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islâmî, juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986) 449.

181

sunnah dalam pengertian etimologi diatas yaitu: ucapan Khalid Ibn ‘Uthbah al-Hadzlî.

3‫ َه‬Iُ Bْ @ ِ 5َ ْ8Aَ [ً ,/ \ ُ ‫ض‬ ِ ‫ل َرا‬ ُ ‫و‬/ 3َXَ 3cَ Rَ ْI\ ِ b َ Yْ ‫ ٍة َا‬Iَ Bْ \ ِ ْ8M َ ْ8M َ 6َ J ْ Rَ 3?َXَ 136 .3‫<ْ َه‬Oُ Fِ R/ 3Xَ [ٌ ,/ \ ُ ْ>`ُ Cَ ْb,َ ,x\ ُ ‫ َو‬3cَ Rَ Iَ Bْ \ ِ 3cَ eَ ,ْ ,َ eَ \ ْ ‫ َوا‬3,† \ ِ 3cَ eَ eْ ,َ \ َ ‫َو‬ Kemudian

beliau

menjelaskan

keterangan

berbeda

dengan Ajaj al-Khatib, dan Ibn Fâris berkata: sin dan nun adalah satu asal yang tertolak yaitu mengalirnya sesuatu dan tertolaknya di tempat yang tinggi, sebagaimana ungkapan, 137

µ ً 3\ َ ْ‫ ِار‬Wُ eَ ?ْ \ َ ْ‫ ِا َذا َار‬3,† \ ِ [ً ,/ \ ِ ‫* َا‬cِ a ْ ‫ َو‬V?َM َ ‫ ُء‬3Gَ Cْ ‫ْ ا‬b,َ ,x \ ُ

Dan Ibn A’rabi berkata:

8 /\ َ ‫ َو‬3,ً ,َ \ ُ ‫ ً[ َو‬,/ \ ُ ‫<ْ ِم‬gَ ?ْ Cِ 8 /\ َ ‫ َو‬3,† \ ِ 0ُ 5ْ 0ِ d َ Cْ ‫ ا‬8 /\ َ ‫ ُر‬0َ ² ْ Aَ 8 ُ ,َ @ L Cَ‫ا‬ 8 َ@ َ1 ْ ‫ ِا َذا َا‬E ُ :ِ µ ِ ْ‫ ا‬8 /\ َ ‫ َو‬3cَ F/ f َ ‫ ِا َذا‬3,/ \ ِ 3cَ ,L @ ُ 5َ ‫ع‬ ُ ْ‫ر‬0x C‫ ا‬Wِ Bْ ?َM َ 138 3cَ eَ Bْ M َ ‫َر‬ Lalu beliau menjelaskan bahwa: sunnah nabi saw mengandung makna-makna ini karena di dalam sunnah nabi 136

Artinya: Maka sungguh janganlah kamu menyesal perilaku yang telah kamu perbuat maka jadiah kamu orang yang rela terhadap perilaku orang yang menjalankannya. Dan kamu telah melakukannya dengan sungguh-sungguh. Kamu telah melakukannya, maksudnya kamu telah menjalankannya dan telah diberlakukan sunnah kepada kamu semua maka ikutlah kamu semua kepadanya. 137 Air telah dialirkan dimuka saya dengan sungguh-sungguh benar (mengalir) jika kamu melepaskannya dengan sungguh-sungguh (benar-benar melepaskannya) 138 Sunan adalah dari Sanna al hadîd Sinnan (besi berjalan dengan sungguh) dan Wasanna li al-qawm sunnatan wa sunnanan. Dan telah memberlakukan berbagai sunnah (inisiatif, cara, metode, jalan) dengan sungguh dan wasanna alayh al-dir’ yasunnuhâ sinnan idzâ shabbahâ (dia telah menyunahkan baju perang dengan sungguh jika menyiramkannya) Wasanna al-ibil idzâ ahsana ra‘aytahâ yasunnuhâ sinnan (dan onta telah menjalankannya dengan sungguh jika kamu menggembalakannya dengan lebih baik.

182

mengandung hukum syariah dan tertolak di dalam hukum istilahistilah ini.139 b) Selain terdapat persamaan dengan Syaykh al-Islâm Abî Zakariyya, ‘Ajaj al-Khatib juga menjelaskan dasar yang lain yaitu:

E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iُ a ْ ‫ َوَا‬3‫ َه‬Iُ a ْ ‫ َا‬Wُ ?َXَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ :¬ ِ 5ْ 0ِ d َ Cْ ‫* ا‬Xِ ‫َو‬ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫ َو‬3cَ :ِ Kemudian

dia

menjelaskan

bahwa

orang

yang

mengerjakannya untuk diikuti dalam melaksanakan sunnah tersebut. Dan setiap orang yang memulai perkara yang diamalkan oleh qawm (orang banyak), maka dikatakan dia adalah orang yang menyunnahkannya (orang yang merintisnya). Nushayb berkata: 140

139

‫ِى‬01 ْ ‫>ْ َو‬cِ ,ِ Bْ :َ ْ8Aِ ‫س‬ ِ 3/,C‫ ا‬8 َ Aِ Ä ٍˆ ِ 3َM ‫ل‬ َ ‫و‬/ ‫ َا‬ª / d ُ Cْ ‫ ا‬b ُ ,ْ ,َ \ َ ْVYِّ 3َ‫َآ‬

Zakariyya, fath, 8. Seakan-akan sesungguhnya saya telah melakukan kesenangan orang yang pertama rindu dibanding manusia di antara mereka dengan sendirian. 140

183

c) Sedangkan Muhammad ‘Alawi al-Maliki mengutip hadîts

3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ™َ Bx \ َ ً[,/ \ ُ ‫© ِم‬ َ\ ْµ ِ ‫ ا‬VِX 8 /\ َ ْ8Aَ 3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ْ َأوْزَا ِر ِه‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ ‫َو ِوزْ ُر‬ Dan menegaskan bahwa sunnah atau yang searti dengannya, secara berulang dipakai dalam hadîts yang pada prinsipnya berarti jalan (thariqah). Mengutip lagi sabda nabi: 141

‫ع‬ ٍ ‫رَا‬Uِ :ِ 3ًM‫ َو ِذرَا‬Iٍ Fْ ‡ ِ :ِ ‫ًا‬IFْ ˆ ِ ْ>`ُ ?ِFْ 4َ ْ8Aِ 8 َ 5ْ Uِ C/‫ ا‬8 َ ,َ \ ُ 8 / Oَ Fِ e/ eَ Cَ

d) Hasbi al-Siddieqi, hampir sama dengan Alawi al-Maliki yang mengutip sabda nabi:

ْ8Aَ ‫ َو ِوزْ ُر‬3َ‫ ِوزْ ُره‬Wِ Bْ ?َM َ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬3َc:ِ E َ Gِ ُOXَ [ً ™َ Bx \ َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ ‫َو‬ 3ً™Bْ ˆ َ ْ>‫ْ َأوْزَا ِر ِه‬8Aِ ˜ ُ gُ ,ْ 5َ 3َC 3َc:ِ E َ Gِ َM Dan sabda Nabi

V/e1 َ ‫ع‬ ٍ ‫رَا‬Uِ :ِ 3ًM‫ َو ِذرَا‬Iٍ Fْ ‡ ِ :ِ ‫ًا‬IFْ ˆ ِ ْ>`ُ ?ِFْ 4َ ْ8Aِ 8 َ 5ْ Uِ C/‫ ا‬8 َ ,َ \ ُ 8 / Oَ Fِ e/ eَ Cَ 142 zُ ْ
dalam

kitabnya

Irsyâd

al-Fukhûl

menjelaskan

pendapatnya yang pertama secara etimologi adalah al-Thariqah alMaslûkah (jalan yang ditempuh) sebagaimana ungkapan: 143

141

3ًg5ْ Iِ Í َ ْ‫ َاي‬3†,\ ِ Wِ Bْ Xِ Iَ .ِ ­َ 5ُ V/e1 َ Wِ Bْ ?َM َ Wُ Rَ ْ‫ر‬Iَ Aْ ‫ ِاذَا َا‬8 ِ@ ْ Gَ Cْ 3ِ: Î َ Bْ ‡ / C‫ ا‬b َ ,ْ ,َ \ َ

Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta. 142 Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta sehingga kalau mereka masuk lubang dlab (biawak) maka sungguh akan memasukinya.

184

Al-Kasaî berkata maknanya adalah al-Dawâm (kekal), ucapan sunnah maknanya adalah al-amr bi al-idâmah perintah dengan selamanya sebagaimana ungkapan 144

Wُ F/ f َ ‫ ُء ِا َذا‬3Gَ Cَْ‫ْ ا‬b,َ ,ِ \ ُ

Menurut Al-Khattâbî: asalnya adalah al-tharîqah al-mahmûdah apabila dimutlakkan dan kadang dibatasi seperti sabda nabi

´C‫ ً[ ا‬,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ 3) Dan menurut pendapat yang lain adalah al-tharîqah al-mu‘tadah sawa’ kânat hasanah aw sayyiah (jalan, cara yang dibiasakan baik ataupun buruk) , sebagaimana dalam al-hadîts al-shahîh

‫<ْ ِم‬5َ VCَ‫ ِا‬3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Iُ a ْ ‫ َوَا‬3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َا‬Wُ ?َXَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ 145

[ِ Aَ 3Bَ gِ Cْ ‫ا‬

Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Wahbah al-Zuhayli dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menjelaskan: al-sîrah wal tharîqah almu’tadah, fasunnah kulli ahad ma ‘uhidat minh al-muhâfadah ‘alaih sawa’ a kânat hasanah aw sayyiah (perilaku dan thariqah atau jalan yang dibiasakan, maka sunnah setiap seseorang adalah perkara yang

143

Kamu telah menyunahkan sesuatu dengan benar-benar/ sungguh, jika kamu menjalankannya di atasnya sampai membekas padanya jalan. 144 Saya telah mengalirkan air jika telah menyiramkannya. 145 Al-Syaukânî, Irsyad, 33.

185

terlihat darinya yang dijaga apakah itu baik ataupun buruk). seperti sabda nabi:

Iِ a ْ ‫ َأ‬E ُ ‚ْ Aِ ‫ َو‬3َ‫ه‬Iُ a ْ ‫ َأ‬Wُ Cَ ‫ن‬ َ 3َ‫ آ‬zِ 0ِ Oْ :َ ْ8Aِ 3َc:ِ E َ Gِ Oُ Xَ [ً ,َ @ َ1 َ [ً ,/ \ ُ 8 /\ َ ْ8Aَ 146 3َc:ِ E َ Gِ M َ ْ8Aَ Muhammad Ibn ‘Alâm Shadîqî al-Syâfi’î dalam kitab Dalîl al-Fâlihin menjelaskan: sunnah secara etimologi adalah al-tharîqah.147 4) Dan dalam kamus al-Munjid sebagaimana dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa al-sunnah al-tharîqah (jalan, cara, metode) alsirah (perikehidupan, perilaku), al-Tabî‘ah watak al-syarî‘ah (syariat, peraturan, hukum).148 Berdasarkan

paparan

di

atas,

dapat

ditarik

kesimpulan

bahwasannya pengertian sunnah secara etimologi adalah sesuatu yang diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia baik berupa perilaku sehari-hari, metode, sistem, teori, seni, tradisi dan sebagainya yang berhubungan dengan adat ataupun agama yang diikuti dan dilaksanakan orang banyak secara berulang-ulang (terus-menerus) baik itu lama atau baru dan baik ataupun buruk.

146

al-Zuhayli,Ushul, 449-450. al-Hâfidz Ahmad ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bâri, Juz XV (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), 175: lihat al-Imâm al-Hâfidz Abî al-Alî Muhammad ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Abd al-Rakhîm alMubârakfûrî, Tufhah al-Ahwadzî, Juz VII (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 438; al-Imâm Abî al-Hasan Muhammad al-Hâdî al-Hanafi, Sunan al-Musthafâ, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 90; Muhammad Ibn ‘Alân al-Shadîqî al-Syafi’I al-Asy‘arî al-Makî, Dalil al-Fâlihîn, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 438. 148 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid IV (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2001), 297; lihat al-Ma'luf, al-Munjid (Beirut: Riyadl Shulh, 2003) 35. 147

186

Jadi segala sesuatu yang diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia baik itu baru atau lama, berhubungan dengan adat atau agama, baik ataupun buruk itu disebut sunnah secara bahasa. b) Bid’ah Secara etimologi para Ulama berbeda-beda dalam memberikan definisinya. 11) Al-Râghib dalam kitab al-Mufradât: Bid’ah menurut bahasa menciptakan sesuatu tanpa mempergunakan alat, maddah (bahan); masa dan tempat.149 12) Dalam al-Munjid Badaa-Bad‘an al-Syay’: Ikhtara‘ah wa Shana‘ah la ‘alâ Mitsâl (menciptakannya dan membuatnya dengan tanpa contoh) wa Bad‘ah, ansya‘ah (memulainya, memunculkannya) Bid’ah: Ma Uhditsa ‘alâ ghayr Mitsal Sâbiq (menciptakan sesuatu tanpa contoh yang terdahulu).150 13) Dalam al-Mu‘tamad: Ikhtara‘ah wa ansya‘ah lâ ‘alâ Mitsal (menciptakan dan memunculkan tanpa contoh). 14) Dalam Mukhtâr al-Shihâh: Ikhtara‘ah lâ ‘alâ Mitsal (menciptakan sesuatu tidak menurut contoh).

149 150

Ash-Siddieqi, Kriteria, 35. Al-Ma'luf, al-Munjid, 29..

187

15) Al-Muhîth: al-Amr al-Ladzî yakûn awwalan (suatu perkara yang awal adanya). 151 16) Al-Mu’jam al-Wasîth: Ma Ustuhditsa fi al-Din wa Ghayruh (Perkara yang diada-adakan dalam agama dan lainnya) 152 17) Dalam Fath al-Barî disebutkan setiap perkara yang diciptakan dengan tanpa contoh dinamakan bid’ah baik itu terpuji atau tercela.153 18) Dalam Syarh Imam Nawawi disebutkan ahli lughah berkata, bid’ah adalah setiap sesuatu yang dilakukan tanpa contoh terdahulu.154 19) Syaykh Ahmad Ibn Syaykh al-Hijazi al-Fasynî dalam kitab al-majâlis al-Saniyah: Ma Kâna Mukhtara‘an ‘alâ ghayr Mitsâl Sâbiq (perkara yang dibuat, diciptakan tidak sesuai dengan contoh terdahulu).155 20) Al-Syâtibî: Al-Ikhtira‘ ‘alâ ghayr Mitsâl Sâbiq (membuat sesuatu tanpa contoh terdahulu) di antaranya adalah firman Allah:

‫ض‬ ِ ْ‫ر‬3َCْ ‫ت وَا‬ ِ ‫<َا‬Gَ @ / C‫ ُ€ ا‬5ْ 0ِ :َ Artinya: pencipta langit dan bumi dan

E ِ\ ُ IL C‫ ا‬8 َ Aِ 3ًMْ0:ِ b ُ ,ْ ‫ ُآ‬3Aَ ْE4ُ

Artinya: katakanlah saya bukanlah orang yang pertama dari para utusan.

151

Abas, 40 Masalah, Juz III,153-154. Ibrâhîm Anis, Al-Mu’jam al-Wasîth (Kairo: Mujma‘ al-Lughah al-‘Arabiyah, 1972), 43. 153 Al-‘Asqalânî, Fath, 177. 154 Al-Nawâwî, Syarh Nawâwî, 128. 155 Ahmad Ibn Syaykh al-Hijazî al-Faznî, al-Majâlis al-Saniyyah (Indonesia: Dâr al-Ihyâ’ alKutub al-‘Arâbiyyah, tt), 85. 152

188

Ungkapan: Ibtada’a Fulân bid‘ah (Fulan membuat bid‘ah) yang dimaksud adalah

memulai jalan yang belum ada orang

mendahuluinya, dan ungkapan Wa hâdzâ amr Badi’ (ini adalah perkara yang indah) yang diucapkan pada perkara yang dianggap indah yang tidak mempunyai padanan dalan keindahannya, seakanakan tidak didahului oleh perkara yang sepadan dan tidak ada yang menyamai.156 Berdasarkan uraian di atas, bid’ah secara bahasa atau etimologi adalah segala sesuatu yang baru diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia baik itu perilaku sehari-hari, metode, sistem, teori, seni, tradisi dan sebagainya yang berhubungan dengan adat ataupun agama yang belum atau tidak ada sebelumnya atau tidak ada contoh dan padanannya, baik atau buruk. Jadi, segala sesuatu yang baru diciptakan, dirintis dan dilakukan manusia yang sebelumya tidak ada atau belum ada itu disebut bid’ah secara bahasa. Berarti antara sunnah dan bid’ah secara bahasa itu hampir sama. Kalau sunnah itu mencakup perkara yang lama atau baru sedangkan bid’ah itu hanya menunjukkan sesuatu yang baru saja.

156

Al-Imâm Abî Ishâq Ibrâhîm Ibn Mûsâ Ibn Muhammad al-Lakhmî al-Syâthibî al-Qirnathî, al-I'tishâm juz I. (Bairut: Dâr al-Saqafah al-Islâmyyah, tt.) 36-38.

189

Kalau

sunnah

itu

pada

permulaan,

sedangkan

bid’ah

pada

modifikasinya. 2. Pemahaman Ulama tentang sunnah dan bid‘ah a) Sunnah Secara umum terminologi tentang sunnah terbagi menjadi tiga, yaitu ulama ahli hadîts, ulama ahli ushul fiqh, dan ulama ahli fiqh. Mereka berbeda penapat dalam memberikan definisi yang disebabkan oleh perbedaan tujuan ilmu yang menjadi obyek pembahasannya. 4) Ulama Hadîts Ulama hadîts mereka membahas tentang Rasûlullah SAW sebagai imam yang menunjukkan (al-Imâm al-Hâdî) yang telah dijelaskan oleh Allah sebagai petunjuk dan panutan bagi kita, sehingga mereka menukil setiap perkara yang berhubungan dengannya perbuatan, sifat, khabar, ucapan dan perbuatannya baik itu yang menetapkan hukum syari’at atau tidak. Oleh karena itu mereka mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang didapat dari nabi atau segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi sebelum atau sesudah menjadi Rasul. 157 Tetapi menurut sebagian ahli hadîts, sunnah itu termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan sahabat atau tabiin, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun sifat-sifatnya. 5) Ulama ushul fiqh 157

al-Khatib, Sunnah, 16; Alwi al-Maliki, Ilmu Ushul, 4.

190

Ulama ushul tentang Rasulullah sebagai al-musyri‘ (orang yang meletakkan syariat Islam) yang meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid sesudahnya dan menjelaskan kepada mereka peraturan hidup. Oleh karena itu mereka meneliti ucapan, perbuatan dan ketetapan (taqrir) nya yang menetapkan hukum-hukum. Oleh karena itu, mereka mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari nabi selain al-Qur’ân al-Karim, baik yang berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (ketetapan) yang dapat menjadi dalil-dalil hukum syara’. 158 6) Ulama fiqh Ulama fiqh membahas tentang rasul berkaitan perbuatannya yang menunjukkan hukum syara’. Mereka membahas hukum syara’ dalam perbuatan manusia, baik itu wajib, haram, mubah dan sebagainya. Oleh karena itu mereka mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari perkara yang bukan dari hal wajib atau fardlu, yaitu jalan yang diikuti di dalam agama tanpa memfardlukan atau mewajibkan. Ini keterangan ‘Ajaj al-Khatîb dalam al-Sunnah qabl al-Tadwin.159 Dan secara rinci mereka berbeda-beda pendapat sebagaimana berikut:

158 159

Al-Maliki, Ilmu Ushul, 4. Ibid.

191

10) Abd Wahab Khalâf dalam Ilmu Ushul Fiqh-nya mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Rasûlullâh baik berupa ucapan, perbuatan, atau taqrir. Ini hampir sama dengan keterangan kitab al-Madkhal al-Fiqh al-‘Âm yang menjelaskan bahwa pengertian ini sama dengan pengertian lafadh hadîts.160 11) Musthafa Ahmad Zarqâ dalam al-Madkhal Fiqh al-‘Ămnya juga menjelaskan pengertian yang lain bahwa sunnah dimutlakkan makna al-waqi’ al-‘amali (kejadian amaliyah) dalam penyesuaian syari’ah pada masa kenabian (nubuwwah) yaitu keadaan muamalah Islam pada masa awal.161 12) Al-Syawkânî juga menjelaskan, al-sunnah dimutlakkan dengan makna yang umum atas perkara wajib dan lainnya dalam ‘urf (tradisi) ahli hadîts dan ahli bahasa. Dalam ‘urf ahli fiqh mereka memutlakkannya atas perkara yang tidak wajib dan dimutlakkan atas perkara yang menjadi lawan bid’ah. Menurut pendapat yang lainnya: perkara yang kembali dari arah wujudnya dan arah tidak wujudnya (‘adam) dengan mengunggulkan

yang

tidak

pencegahan

dari

perkara

yang

membatalkannya. Dan menurut pendapat yang lain adalah perkara yang selalu dilakukan oleh nabi saw dengan meninggalkan perkara 160

‘Abd Wahhâb Khalâf, ‘Ilmu Ushûûl Fiqh Wa Khalâshah Tarîh al-Tasyri’ al-Islâmî (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 33. lihat al-Syaykh Muhammad al-Hudlarî Bik. Ushûl Fiqh (Beirut: Dâr alFikr, tt), 213, Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Ăm, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), 63. bandingkan dengan ash-Shiddieqy, Sejarah, 4; al-Syawkânî, Irsyad, 33; Zakariyya, Fath, 8. 161 Al- Zarqâ, al-Madkhal, 63.

192

dengan tanpa udzur (alasan). Dan menurut pendapat yang lain adalah ibadah sunnah (al-nafilah) dan dalil-dalil yang berasal dari nabi selain al-Qur’ân, baik berupa ucapan, perbuatan ataupun ketetapan.162 13) Menurut sebagian besat ulama al-Syafi‘iyyah dan jumhur ushûl yang dinisbatkan kepada makna yang al-Fiqhî: sunnah sama dengan almandûb, al-mustashhab, al-tatawu‘, al-nâfilah dan al-marghûb fîh.163 14) Dalan al-Mu’jam al-Washît: amal yang terpuji di dalam agama yang bukan fardlu atau wajib, watak dan budi pekerti (wajah, cara, model dan bentuk gambar), dikatakan [ً ,/ \ ُ

Wِ :ِ Î ٍ Bْ ˆ َ Wُ Fَ ˆ ْ ‫ ُه َ< َا‬. Dan ahl sunnah:

orang-orang yang mengakui kekhalifahan (kepemimpinan) Abû Bakar dan Umar pada dasarnya dan kebalikannya adalah syiah.164 15) Al-Munjid sama dengan al-Mu’jam al-Washît dan menambahkan adapun ahli Syiah dan ahli Mutawaliyah adalah orang berpendapat bahwa kekhalifahan adalah milik Imam Ali.165 16) Sebagaimana al-Syawkânî, ‘Ajaj al-Khatîb, dan Hasbî ash-Shiddieqî menjelaskan sunnah menurut ahli fiqh dimutlakkan sebagai lawan bid’ah yang ini juga dikutip oleh Muhammad al-Hudlari Bik yang keduanya menjelaskan:

162

Al-Syawkânî, Irsyâd, 33. Abî Zakariyya, Fath, 8. 164 Anis, Al-Mu’jam al-Washîth, 456. 165 Al-Munjid, 353. 163

193

V/?f َ * L Fِ ,/ C‫ ا‬E َ Gِ M َ 3َA Ä ِ Xْ ‫ َو‬Vَ?M َ E َ Gِ M َ ‫ ٍ[ ِاذَا‬,َ \ ُ V َ ?َM ٌ‫©ن‬ َ Xُ ‫ل‬ ُ 3َgBُ Xَ ْ*Xِ Wِ Bْ ?َM َ ˜ / Yَ 3/GAِ • َ Cِ‫ن َذ‬ َ 3َ‫\<َاءٌ َاآ‬ َ Wُ :ُ 3َdf ْ ‫? َ> َوَا‬/\ َ ‫ َو‬Wِ Bْ ?َM َ — ُ ‫ا‬ Vَ?M َ E َ Gِ M َ ‫ ٍ[ ِاذَا‬M َ ْ0:ِ Vَ?M َ ٌَ‫©ن‬ َ Xُ ‫ل‬ ُ 3َg5ُ ‫ َو‬µ َ ْ‫ َام‬/ْ8`ُ 5َ ْ>Cَ ْ‫ب َام‬ ِ 3َe`ِ Cْ ‫ا‬ .• َ Cِ‫ َذ‬/8 ِ 5ْ 0x C‫ ا‬VِX ‫ث‬ َ 0َ 1 ْ ‫ َاوْ َا‬zَ ْ
3َcBْ ?َM َ ‫<ا‬LŒM َ 8 َ Bx50ِ cْ Gَ Cْ ‫ ا‬8 َ 5ِ0ˆ ِ ‫ا‬/IC‫ ِء ا‬3َŠ?َ‹ ُ Cْ ‫ ِ[ ا‬,/ \ ُ ‫ِ* َو‬e,/ @ ُ :ِ ْ>`ُ Bْ ?َOَ Xَ Uِ a ِ ‫<َا‬,/ C3ِ: ‫ ًة‬0َ 1 ِ ‫ وَا‬µ / ‫ ِر ِا‬3/,C‫ِ* ا‬X 3َc?L‫ ً[ ُآ‬4َ ْIXِ 8 َ Bْ Oِ Fْ \ َ ‫ث َو‬ ٍ © َ .َ Vَ?M َ *ِeA/ ‫ق ُا‬ ُ Iِ eَ Šْ Rَ 166 Vِ:3َdf ْ ‫ َوَا‬Wِ Bْ ?َM َ 3َY‫ َا‬3َA ‫ل‬ َ 3َ4 — ِ ‫لا‬ َ ْ<\ ُ ‫ َر‬3َ5 ْ>‫ْ ُه‬8Aَ ‫ُ<ا َو‬C3َ4 Dan ‘Ajaj menjelaskan yang dimaksud dengan sunnah bahasannya adalah pengertian yang dikehendaki ahli hadîts yaitu pengertian yang sama dengan pengertian hadîts, walaupun sebagian mereka berbeda dengan yang lain. Hadîts adalah perkara yang dinukil dari Nabi SAW, sedangkan sunnah adalah nukilan perkara yang dilakukan (diamalkan) pada masa awal. Oleh karena itu hadîts berbeda dengan sunnah yang

166

Al- Khatib, al-Sunnah, 18. bandingan Hudlari Bik,Ushul, 212. ash-Shddieqi, Kriteria, 10. Alwi al-Malik,Ilmu ushul, 4. kalau al-Khatib dan Hudlri Bik mengatakan sebagai pendapat fuqaha’, maka Hasbi ash-Shiddieqy menyebutkan sebagai pendapat ahl wa’adh wal irsyad yang disebut sebagai ahli dakwah oleh Alwi al-Maliki.

194

diamalkan oleh nabi, karena itu ulama mengkompromikan dan mentarjihnya. Ini sebagaimana ucapan Abd al-Rahman Ibn Mahdî:

ْ8Aِ [ِ ,/ @ L C3ِ: E ُP ُ ْ05َ ْ‫ي‬Uِ C/‫¬ ا‬ ِ 5ْ 0ِ d َ Cْ 3ِ: µ َ ‫ ِ[ َو‬,/ @ L C3ِ: >ُ ?َM ْ ‫ َا‬Ï L 4َ ‫ًا‬01 َ ‫>ْ َا َر َا‬Cَ 0ٍ 5ْ ‫ َز‬8 ِ :ْ ‫ ِد‬3/G1 َ dan begitu juga ucapannya ketika ditanya tentang Sufyân al-Tsawrî alAwzâ‘î dan Malik:

[ِ ,/ @ L C‫ِ* ا‬X ‫ ٍم‬3َA3ِ:ِ Ð َ Bْ Cَ‫¬ َو‬ ِ 5ْ 0ِ d َ Cْ ‫ِ* ا‬X ٌ‫م‬3َA‫ي ِا‬ L ‫ْ‚<ْ ِر‬/ C‫ن ا‬ ُ 3َBŠْ \ ُ ٌ‫م‬3َA‫•ٌ ِا‬ ِ ?ِAَ ‫ْ¬ ِ َو‬50ِ d َ Cْ ‫ِ* ا‬X ‫ ٍم‬3َA3ِ:ِ Ð َ Bْ Cَ‫ ِ[ َو‬,/ @ L C‫ ا‬VِX ٌ‫م‬3َA‫* ِا‬ ُM ِ ‫وْ َز‬3َCْ ‫وَا‬ 3َGcْBXِ dan perkara yang menunjukkan bahwa sunnah adalah amalan yang diikuti pada masa awal adalah ucapan ‘Ali Ibn Abî Thâlib kepada ‘Abd Allâh Ibn Ja’far ketika menjilid (mencambuk) orang yang minum arak dengan empat puluh jilidan (cambukan): Tahan! Rasul menjilid empat puluh kali dan telah di167sempurnakan oleh Umar delapan puluh kali, dan masing-masing (dari yang dilakukan nabi, Abû Bakar dan Umar adalah sunnah) 17) Samsul Anwar yang menjelaskan persamaan kata sunnah dan hadîts di kalangan ahli ushul fiqh dan ahli hadîts yang mempunyai kesimpulan yang sama dengan ‘Ajaj al-Khatib yang menjelaskan apabila membicarakan subtansi segala sesuatu yang terbit dari Nabi, maka istilah sunnah lebih tepat, menjelaskan makna sunnah bukan hanya perilaku atau dan praktek an sich melainkan di dalamnya terkandung 167

Al-Khatîb, al-Sunnah,18-20.

195

unsur pengulangan dan tidak boleh disimpangi, sehingga karena itu merupakan sesuatu yang bersifat normatif. Adat istiadat yang diwarisi nenek moyang yang harus diteladani oleh masyarakat pewarisnya juga disebut sunnah. Karena di dalamnya terkandung unsur normatif. Namun demikian, sunnah tidak hanya merujuk kepada sesuatu dari masa lampau yang merupakan teladan masa kini, tetapi mencakup segala sesuatu yang baru yang diperkenalkan untuk diikuti yang didasarkan sabda nabi:

... ´C‫© ِم ا‬ َ\ ْ 3ِCْ ‫ِ* ا‬X 8 /\ َ ْ8Aَ yang menegaskan sunnah merupakan sesuatu yang baru diperkenakan untuk diikuti.168 Ini sesuai dengan keterangan yang dijeaskan oleh Syihâb al-Dîn Ahmad al-Bûshîrî dalam kitabnya Kifâyah al-Hâjah fi Tahqîq Sunan Ibn Mâjah wa al- Zawâid min Mishbah al-Zujâjah yang menjelaskan sunnah hasanah. Dalam hadîts kedua yang penulis teliti:

Iِ Aْ 3َCِ ٌ‫ح‬3َ?f َ ‫— َو‬ ِ ‫ ُة ا‬3َْIAَ Wِ Bْ Xِ E َ Gِ M ُ ‫ل‬ ٍ ‫و‬/ ‫ ََا‬Ä َُ 5ْ Iِ Í َ [ُ ,َ @ َd َ Cْ ‫ ُ[ ا‬,/ @ L C‫ا‬ ْ>‫ ُه‬3َBYْ ‫ َو ُد‬Wِ ,ِ 5ْ ‫*ْ ِد‬Xِ ‫س‬ ِ 3/,C‫ا‬ Artinya: Sunnah hasanah adalah jalan pertama yang dirintis yang didalamnya terdapat ridla Allah dan kebaikan bagi urusan manusia di dalam agama dan dunia mereka.169 Kemudian Samsul Anwar menjelaskan Ibn Durayd dalam kitabnya al-Jamharah menyatakan bahwa kata kerja sanna menurut

168

Samsul Anwar,’’ Paradigma pemikiran Hadits Modern,’’dalam Wacana Studi Hadits Kontemporer, ed Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 153-155. 169 Ibn Mâjah, Sunan, 80.

196

asal usul maknanya berarti shawwara yaitu membentuk sesuatu yang baru untuk dijadikan teladan (contoh). Dalam al-Qur’ân perkataan sunnah selain diartikan sebagai perilaku orang-orang zaman lampau juga diartikan sebagai hukum seperti dalam firman Allah:

∩⊄⊂∪ WξƒÏ‰ö7s? «!$# Ïπ¨ΖÝ¡Ï9 y‰ÅgrB s9uρ ( ã≅ö6s% ÏΒ ôMn=yz ô‰s% ÉL©9$# «!$# sπ¨Ζß™

Artinya: Sebagai sunnah Allah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada sunnah Allah. (Q.S. al-Fath: 23) Dalam catatan kakinya tim penterjemah Depag menerangkan bahwa yang dimaksud sunnah Allah adalah hukum-hukum yang dietapkannya. Al-Qurtubi mengutip Tafsir ‘Atha’ terhadap kata “sunan” dalam surat Ali Imran: 137 sebagai hukum. Perkataan sunnah Allah sering pula diartikan sebagai hukum alam. Kata arab sanna salah satu artinya adalah menetapkan undang-undang seperti dalam ungkapan sanna al-qawânîn. Berangkat dari leksikal sunnah yang merujuk kepada ketentuan normatif seperti yang terdapat terlihat terdahulu, maka sunnah Nabi SAW, bila dihubungkan dengan definisi standar yang berkembang diartikan sebagai ketentuan yang terbit dari nabi yang merupakan ketentuan-ketentuan agama yang bersifat normatif bagi

197

umatnya. Dengan kata lain sunnah nabi adalah segala sesuatu yang terbit darinya yang berkaitan dengan agama. Dengan pengertian seperti ini sunnah menjadi berbeda dengan hadîts. Menurut makna leksikalnya hadîts berarti berita atau laporan: yaitu laporan seputar nabi saw. Laporan sekitar beliau itu tidak terbatas menyangkut segala sesuatu yang terkait dengan agama saja, atau bisa juga meliputi arti yang lebih luas yaitu menyangkut segala aspek kehidupan baik mengenai agama atau bukan. Dari uraian di atas dapat dilihat perbedaan sunnah dengan hadîts. Sunnah merupakan isi dari hadîts nabi, sementara hadîts merupakan rumusan yang merekam, berisi dan melaporkan sunnah. Melalui hadîtslah segala sesuatu yang terbit dari Nabi, kita mengetahui sunnah yang merupakan segala sesuatu yang terbit dari Nabi itu. Pengertian bahwa sunnah adalah isi hadîts dan sebaliknya hadîts merupakan rumusan, rekaman dan laporan tentang sunnah ini jelas terlihat dalam judul buku yang dicatat Ibn Nadîm (abad ke 4) kitab alSunan bi Syawâhid al-Hadîts dan sebagainya.170 18) Hasbi Ash-Shiddieqy juga menjelaskan beberapa pendapat ulama mengenai perbedaaan sunnah dan hadîts, sebagaimana berikut kata alImam Ibn Taymiyah “Hadîts dikala tidak dikaitkan dengan sesuatu berarti segala yang diriwayatkan dari nabi sesudah beliau menjadi 170

Fadzlur Rahman, Paradigma, 154-158.

198

Nabi, baik perkataannya, perbuatannya maupun iqrarnya”. Kata alImam Ibn Kamal Ibn Humam: “Sunnah itu segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi, perbuatan atau perkataan sedang hadîts tertentu pada perkataan saja”. Kata dokter Taufik sunnah dan istilah ulama salaf ialah khitthah (garis karya) dan jalan yang diikuti maka dinamai suunah nabi hanyalah perbuatan yang beliau praktikkan terus menerus dan diikuti oleh orang seorang atau dua orang lalu mereka saja yang mengetahuinya tidak menjadi pegangan dan amalan umum. Tegasnya antara sunnah dan hadîts ada perbedaan yang jelas. Menamai sunnah dengan hadîts adalah istilah pada mutaakhirin belaka. Ahli hadîts banyak memakai kata hadîts, sedangkan ahli ushul fiqh banyak memakai kata sunnah. Perkembangan lafadh sunnah Lafadh sunnah berkembang dalam masyarakat Arab dahulunya adalah dengan makna

[ِ M َ 3Gَ J َ Cْ ‫ْ ِد َوا‬IŠَ ?ْ Cِ ‫ ِة‬3Bَ d َ Cْ ‫* ا‬Xِ ³ ُ Bْ d ِ² / C‫ ا‬Ä ُ 5ْ Iِ  / C‫ا‬ Artinya: Jalan yang ditempuh dalam menjalani kehidupan perorangan dalam masyarakat. Nabi bersabda:

‫ع‬ ٍ ‫رَا‬Uِ :ِ 3ًM‫ َو ِذرَا‬Iٍ Fْ ‡ ِ :ِ ‫ًا‬IFْ ˆ ِ ْ>`ُ ?َFْ 4َ ْ8Aَ 8 َ ,َ \ َ 8 / Oُ Fِ e/ eَ Cَ

Artinya: Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan orang-orang yang sebelummu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.

199

Makna ini berkembang di abad-abad permulaan dalam madrasah Hijaz dan Irak. Pada masa itu sunnah diartikan dengan perbuatan yang telah menjadi tradisi walupun bukan sunnah nabi. Pada

akhirnya

sunnah

dikhususkan

untuk

sunnah

Rasûl.

Penyempitan-penyempitan makna ini tumbuh pada akhir abad kedua Hijrah karena al-Syafi’i menyalahi istilah lama yang berkembang dan mengajak masyarakat mengamalkan hadîts ahad serta mendahulukan terhadap apa yang sudah berlaku dalam masyarakat. Mulai saat itu berembang dalam pengertian ulama bahwa hadîts dan sunnah adalah semakna. Imam Ibn Taymiyah dalam kitab Iqtidlâ’ al-Shirat al-Mustaqim berkata sunnah ialah adat tradisi yang telah berulang kali dilakukan masyarakat baik yang dipandang sebagai adat atau bukan. Baru akhir-akhir ini para ulama membicarakan pebedaan keduanya dengan berdasar pada kitab al-Sunan bi Syawâhid al- hadîts yang dicatat Ibn Nadîm (abad 4 H).171 Dari paparan di atas pengertian sunnah secara terminologi, dibagi menjadi dua yaitu pengertian sempit dan luas.

3. Pengertian Sempit 171

Ash-Siddieqie, Sejarah, 12-21.

200

Sunnah adalah segala sesuatu yang substansinya berasal dari Nabi SAW, Khulafa’ al- Râsyidîn ataupun yang lainnya yang bisa dijadikan panutan (qudwah, uswatun hasanah) dan pedoman (dalil, hujjah dan dasar yang mengesahkan suatu perkara) yang mempunyai nilai normatif dalam masyarakat selain al-Qur’ân sebagai dasar dalam syari’at Islam. Hadîts (sunnah), Ijma’, Qiyas dan sebagainya yang menjadi dasar dalam kehidupan manusia selain al-Qur’ân disebut sunnah dalam arti sempit 4. Pengertian Luas Sunnah adalah segala sesuatu yang diucapkan, dirintis, dilakukan oleh manusia berupa perbuatan sehari-hari, metode, sistem, teori tradisi dan sebagainya yang lama atapun baru yang berkaitan dengan adat ataupun agama yang diikuti dan dilaksanakan oleh orang banyak

secara

berulang-ulang

(terus

menerus)

yang

tidak

menyalahipedoman syari’at Islam, baik berupaal-Qur’ân, al-hadîts secara langsung atau tekstual ataupun kontekstual, yaitu ijma’, Qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan sebagainya. Jadi segala sesuatu yang diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia baru atau lama, adat atau agama yang sesuai yang tidak menyalahi syari’at dikatakan sunnah.

b) Bid’ah

201

Ulama berbeda pendapat tentang terminologi bid’ah: 1) Dalam kitab Qawâid al-Ahkam fi Man Shalih al-Anâm, al-Imam alMuhaddits Sulthân al-Ulama’ Abi Muhammad Izzuddin Abd Aziz Ibn Abd al-Salam al-Sulamî (660) menjelaskan pengertian bid’ah adalah mengerjakan suatu perkara yang belum ada pada masa Rasûlullah dan ia membaginya kepada bid’ah wâjibah, muharramah, mandûbah, makrûhah dan mubâhah, hal tersebut diketahui dengan membanding bid’ah kepada kaidah-kaidah syariah apabila masuk dalam kaidahkaidah al-îjâb maka bid’ah itu adalah wâjibah dan jika masuk dalam kaidah-kaidah

al-tahrîm

maka

itu

adalah

muharramah

dan

seterusnya172 2) Al-Hafîdz al-Jalâl al-Suyûthi (911) menjelaskan bahwa kata Syar alUmûr, kata muhaddatsâtuhâ menurut al-Qurtubî adalah perkara yang diada-adakan yang tidak mempunyai asal di dalam syariah yang menjadi syâhid (dalil, Hujjah) yang mengesahkan dan itu dinamakan bid’ah. Kemudian ia menjelaskan bahwa kull bid’ah dlalâlah, menurut Imam al-Nawâwî: ini adalah bentuk ‘am (umum) yang ditahshish (yang dikhususkan) yang dimaksud adalah semua bentuk bid’ah. Ia

172

Al-Imâm al-Muhaddits Sulthân al-Ulamâ’ Abî Muhammad ‘Izzuddin ‘Abd Aziz, Qawâid al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-Amâliyah, 1999), 133-134.

202

menjelaskan keterangan yang sama dengan penjelasan Ibn ‘Abd Salâm. Setelah menjelaskan pengertian bid’ah secara bahasa di atas.173 3) Dalam kitab A‘lâm al-Muwaqqî‘în Syams al-Din ‘Abd Allâh Muhammad Ibn Abî Bakar yang terkenal Ibn Qayyim al-Jûziyyah (751 H) menjelaskan bahwa al-Syafi’î sendiri bahwa qawl al-shahabat adalah hujjah yang bisa dijadikan tempat kembali (rujukan) kemudian al-Syafi’î berkata bahwa perkara yang diada-adakan (diciptakan) itu ada dua macam, salah satunya adalah perkara yang diciptakan yang menyalahi kitab (al-Qur’ân), sunnah, ijma’ atau atsar maka ini adalah bid’ah dlalalah. Rabî’ mendapatkannya dari Mesir dan al-Bayhaqî dalam kitabnya al-Madkhal al-Sunnan berkata dalam bab Aqâwil alShahabah Idza Tafarraqu. Al- Syafi’î berkata: Aqâwil al-Shabahat (ucapan sahabat nabi) apabila mereka berselisih pendapat berbedabeda maka kita kembali kepada perkara yang sesuai dengan al-kitab, al-sunnah, al-ijma’ jika lebih shahih di dalam mengkiyaskan (menganalogikan).174 4) Dalam Fath al-Bârî, Al Asqalanî menjelaskan al-Syafi berkata: bid’ah ada dua: mahmûdah dan madzmûmah: bid’ah yang sesuai sunnah maka itu adalah bid’ah yang terpuji (mahmûdah) dan bid’ah yang

173

.Al-Hâfidh jalâl al-Dîn al-suyûthî, al-Mujtabâ, 185-186. Syams al-Dîn Abu ‘Abd Allâh Muhammad Ibn Abî Bakar, ‘Alâm al-Muwaqqî‘în, Juz II, Jilid II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), 121. 174

203

menyalahi (tidak sesuai) dengan sunnah maka itu adalah bid’ah yang tercela (madzmûmah). Kemudian dari al-Syâfi’î juga terdapat riwayat Bayhaqî dalam kitab Manâqibnya, al-Syâfi’î berkata: perkara yang diciptakan (diada-adakan) itu ada dua macam: perkara yang diciptakan yang menyalahi (tidak sesuai) dengan kitab, sunnah, atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah dlalâlah (sesat), sedang perkara yang diciptakan dari perkara yang baik yang tidak menyalahi salah satu darinya maka ini adalah bid’ah yang hasanah, dan syaykh ‘Abd al‘Azîz, menjelaskan bahwa sebagian ulama membagi bid’ah kepada hukum yang lima dan itu sudah jelas.175 5) Al-Sanadî dalam kitab Hâsyiyahnya menjelaskan bahwa lafadh syar al-umûr muhdatsatuhâ sebagaimana al-Suyuthî menukil pendapat alQurthubî tetapi ia merevisinya dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah perkara-perkara yang diciptakan di dalam agama dengan mendasar wa kull bid‘ah dlalâlah adalah lafadh yang umum.176 6) Al-Syaykh Ahmad Ibn Al-Hijâzî al-Fasynî dalam kitab al-Majâlis alTsaniyyah, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah menjelaskan bahwa, bid’ah menurut syara’ adalah perkara yang diciptakan yang tidak sesuai perintah al-syâri’ (nabi) dalilnya yang khusus atau umum:

175 176

Al-'Asqalanî, Fath, 178-180. Al-Sanadî, Hâsyiyah, 22.

204

sesungguhnya perkara yang hak (benar) adalah perkara yang diajarkan syara dengan dasar firman Allah adalah:

‫ل‬ ُ© َŒ / C‫ ا‬µ / ‫ا‬Ä xd َ Cْ ‫ ا‬0َ Oْ :َ Ð َ Bْ Cَ‫َو‬ “dan tidak ada sesuatu sesudah perkara yang hak kecuali kesesatan”. Dan selanjutnya menjelaskan bahwa bid’ah itu dibagi kepada hukum yang lima sebagaimana Ibn Abd al-Salâm.177 Keterangan di atas adalah golongan yang membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah dan sayyiah dan membaginya kepada lima hukum sedangkan golongan yang lain adalah golongan yang menolak pembagian

bid’ah

tersebut

kepada hukum

yang lima

yaitu

sebagaimana berikut: 7) al-Syathibi yang tidak setuju pembagian bid’ah kepada lima hukum dalam al-I‘tishamnya, menjelaskan bid’ah adalah amalan yang tidak punya dalil di dalam syara’, sama dengan yang lain. Oleh karena itu ia menjelaskan panjang lebar alasannya, yang ringkasnya adalah sebagai berikut: Hukum yang berhubungan dengan af‘al dan aqwâl ibâd yaitu perbuatan seseorang dibagi menjadi tiga hukum: Pertama yang masuk pada tuntunan makna al-amr yaitu al-îjab dan al-nadb. Yang kedua

177

Al-Syaykh Ahmad Ibn Syaykh al-Hijazî al-Faznî, al-Majâlis al-Saniyyah (Indonesia: Dar al-ihya’ al-Kutub al-Arâbiyyah, tt) 85.S

205

adalah al-nahy yaitu al-karâhah dan al-tahrîm dan yang ketiga adalah al-takhyîr yaitu al-ibâhah. Kemudian ia menjelaskan bid’ah menurut ulama ushul dibagi menjadi dua, yaitu pendapat yang tidak memasukkan adat dengan definisi: bid’ah adalah bid’ah adalah thariqah (jalan yang ditempuh) di dalam agama yang diciptakan (diada-adakan) yang menyamai syari’ah yang dituju untuk dikerjakan yang berlebih-lebihan di dalam ibadah kepada Allah swt, yang dikhususkan untuk ibadah-ibadah. Kemudian pendapat yang memasukkan adat: bid’ah adalah thariqah di dalam agama yang diciptakan yang menyamai syari’ah dituju untuk melakukannya sebagaimana yang dituju oleh thariqah syar’iyyah (jalan yang ditempuh oleh syara). Kemudian ia menjelaskan thariqah dibagi menjadi dua, yaitu yang mempunyai asal dalam syari’ah dan yang tidak mempunyai asal dalam syari’ah. Dikhususkan dari apa yang dimaksud dengan had (batasan) yaitu bagian yang diciptakan yaitu thariqah yang dibuat-buat dan diada-adakan dengan tanpa contoh yang mendahuluinya di dalam syariah. Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari dirumuskan oleh kaidah nyata seperti perkara yang muncul pada masa

206

awal itu bukan bid’ah tetapi masuk pada maslahah mursalah karena berasal dari syara.178 Mengenai pembagian bid’ah kepada lima hukum, maka ia menjelaskan bahwa: 4) Pembagian itu dilarang dengan keras karena memunculkan ikhtilaf (perbedaan pendapat) mengenai bid’ah. Kemudian ia menjelaskan dalilnya:

>ٍ f ِ 3َM <ُ:‫ل َأ‬ َ 3َ4 ‫ ٌ[ و‬M َ ْ0:ِ [ٍ .َ 0َ d ْ Aُ E / ‫ن ُآ‬ / ِ…Xَ ‫ت‬ ِ 3َ.0َ d ْ Gُ Cْ ‫ ُآ>ْ وَا‬3/5‫َوِإ‬ [ٌ Cَ3َ? َ [ٍ M َ ْ0:ِ E / ‫ن ُآ‬ / …ِXَ ‫ُ< ِر‬A{ُCْ ‫ت ا‬ ِ 3َ.0َ d ْ Aُ ‫ ُآ>ْ َو‬3/5‫ ًة َوِإ‬I/ Aَ Kemudian menjelaskan hukum di dalam ushûl fiqh ini ada lima yang tiga dikecualikan, maka hukum karahah dan hukum tahrim sesuai dengan itu bid’ah dibagi menjadi dua yaitu bid’ah muharramah dan bid’ah makrûhah dan keduanya termasuk yang dilarang. 5) Bid’ah itu tingkatannya berbeda-beda diantara kufur, maksiyat yang bukan menyebabkan kufur, makruhah. 6) Maksiyat dibagi menjadi dosa besar dan kecil. Kebutuhan pasti (al-darûriyah) kebutuhan sekunder (al-hâjiyah) dan tersier (altakmiliyah), dan sebagainya.179

35-57.

178

al-Syâthibî al-I‘tshâm Juz I 36-38. bandingkan dengan keterangan ash-Shiddieqy, Kriteria,

179

Ibid., juz II,36-38.

207

Mengenai pendapatnya setiap bid’ah adalah dlalalah ia berdasar pada kull bid’ah dlalâlah yang selanjutnya menjelaskan sebagai berikut: Sesungguhnya al-dlalâlah adalah kebalikan dari al-hudâ, berdasar firman Allah:

‫َي‬0cُ Cْ 3ِ: َ [َC©/ŒC‫وُا ا‬Iَ eَ ˆ ْ ‫ا‬8 َ 5ْ Uِ C/‫• ا‬ َ ™ِ Cَْ‫ُاو‬ Artinya: mereka adalah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.

‫ ٍد‬3َ‫ْ ه‬8Aِ Wُ Cَ 3َGXَ — ُ ‫ا‬E ِ ?ِŒ ْ 5ُ ْ8Aَ ‫َو‬

Artinya: Orang yang telah disesatkan oleh Allah maka tidak ada orang yang bisa menunjukkannya.

E Ԍ ِ Aُ ْ8Aِ Wُ Cَ 3َGXَ — ُ ‫ ا‬0ِ cْ 5َ ْ8Aَ ‫َو‬ Artinya: Dan orang yang telah ditunjukkan oleh Allah tidak akan ada orang yang bisa menyesatkannya. Antara dlalâlah dan al-hudâ tidak ada perkara yang menengahi yang diibaratkan oleh syara, maka bid’ah yang makrûhah keluar dari al-hudâ. Orang yang melakukan perbuatan makruh maka tidak sah dikatakan tidak menyalahi syara atau tidak maksiyat. Sedangkan taat adalah lawan maksiyat. Orang yang melakukan perkara yang sunnah adalah taat sebagaimana lafadh dlalâlah dimutlakkan pada bid’ah al-makrûhah maka lafadh ma‘shiyyat juga dimutlakkan sebagai pekerjaan makruh.

208

Intinya lafadh dlalâlah adalah umum bagi setiap bid’ah dan lafadh maksiyat umum untuk perkara yang makruh.180 8) Al-Hâfidh Ibn Hajar al-‘Asqalanî dalam Fath al-Bârî menjelaskan yang dimaksud al-muhdatsât adalah segala sesuatu yang diada-adakan dan tidak mempunyai asal dalam syara, dan dalam pengertian syara maka bukanlah bid’ah. Bid’ah dalam pengertian syara’ itu tercela berbeda dengan bid’ah dalam pengertian bahasa. Maka sesungguhnya segala sesuatu yang diciptakan atau diadakan–diadakan tanpa contoh dinamakan bid’ah baik, itu terpuji atau tercela. Keterangan mengenai al-Muhaddatsat ini sama dengan keterangan hadîts Aisyah.

‫ َ< ُر ¯د‬cُ Xَ Wُ ,ْ Aِ Ð َ Bْ Cَ3َA ‫َا‬U‫ َه‬3َYIِ Aْ ‫ِ* َا‬X ‫ث‬ َ 0َ 1 ْ ‫ْ َا‬8Aَ Artinya: “barang siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini perkara yang bukan darinya maka perkara tersebut ditolak”. Kemudian Ibn Hajar menjelaskan, hadîts ‘Irbâdl itu maknanya sama dengan hadîts Aisyah. Kemudian Ibn Hajar menjelaskan

bahwa

hadîts

Irbâdl

itu

termasuk

hadîts

yang

mengumpulkan semua kalimat atau bersifat umum. Lalu Ibn Hajar menjelaskan keterangan al-Syafi’i dan menjelaskan “kullu bid’ah dlalâlah”: segala sesuatau yang diciptakan atau diada-adakan dan tidak mempunyai dalil dari syara baik secara khusus atau umum, kemudian beliau menjelaskan keterangan Ibn ‘Abd al-Salâm sama 180

Ibid., 49-50.

209

dengan keterangan Syarh Al-Gharîb, dan Tadwin Ushûl Fiqh, dan alTawassul Ilâ Tamyiz al-Shahih dan al-Saqîm.181 9) Al-Sanadî menjelaskan lafadh “syar al-umûr” contohnya adalah syirik yang termasuk dalam al-muhdatsât yaitu sesuatu yang diciptakan oeh manusia karena mengikuti hawa nafsu. Secara umum bukan perkara yang diada-adakan sesudah nabi kemudian masuk di dalamnya perkara yang jelek. Kemudian ia menjelaskan lafadh al-muhdatsât yang intinya sama dengan keterangan Ibn Hajar tetapi dengan redaksi: sesuatu yang tidak punya asal di dalam agama sesudah nabi saw. Kemudian

al-Sanadî

dalam

menjelaskan

hadîtsnya

al-Irbadl,

menjelaskan al-umûr al-muhdatsât yang dimaksud adalah sama dengan keterangannya yang awal dan menambahkan bahwa sesuatu yang sesuai dengan pokok-pokok agama di dalamnya walaupun diciptakan sesudah nabi.182 10) Al-Nawawi menjelaskan lafadh “wa kull bid‘ah dlalâlah” adalah lafdh yang umum yang dikhususkan (ditakhshish) yang dimasksud adalah seluruh bid‘ah. Kemudian menjelaskan bid‘ah secara bahasa sebagaimana di atas dan menjelaskannya dibagi menjadi hukum yang lima.183

181

Al-Asqalanî, Fath, 178-180. Al-Sanadî, Hasiyah, 22. 183 Al-Nawawi, Syarh Nawawi, 128. 182

210

11) Ibn Qayyim al-Juziyah dalam ‘Aun al-Ma‘bud menjelaskan lafadh “kull bid‘ah dlalâlah”. Yang dimaksud bid‘ah adalah perkara yang diciptakan (diada-adakan) yang tidak mempunyai asal di dalam syariah yang menunjukkan padanya. Sedangkan perkara yang mempunyai asal bukanlah bid‘ah, walupun itu bid‘ah secara bahasa maka kull bid‘ah dlalâlah termasuk perkara yang mengumpulkan seluruh kalimat yang tidak keluar dari sesuatu apapun. Dan itu adalah asal (pokok) yang besar dari pokok-pokok agama. Adapun perkara yang terjadi pada kalam dari orang salaf yang membaguskan sebagian bid‘ah sesungguhnya itu adalah bid’ah secara syara, di antaranya

َ adalah: perkataan Umar zِ Uِ ‫ه‬

[ُ M َ ْ0Fِ Cْ ‫ ا‬b ِ Gَ Oْ Yِ dan

[ُ M َ ْ0Fِ Cْ ‫ ا‬b ِ Gَ Oْ ,ِ Xَ ٌ[M َ ْ0:ِ zUِ ‫ْ َه‬bYَ 3‫ِانْ َآ‬ dan yang lain adalah adzan Jum’at yang awal yang ditambahkan oleh Utsman karena kebutuhan padanya dan itu diakui dan dilakukan terus oleh umat Islam dan sebagainya. Ini sama dengan keterangan sebelumnya.184 12) Al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi dalam menjelaskan lafadh iyyâkum wa muhdatst al-umur dijelaskan bahwa al-Hâfidh Ibn Wajab dalam kitab al-Jami’ al-Ulum mengatakan hukum: di dalamnya adalah menakut-nakuti umat untuk mengikuti perkara-perkara yang diada-

184

Ibn Qayyim al-Jazziyyah,’Alam, 360-361.

211

adakan dan yang dibuat-buat (dijadikan bid’ah) dan itu dikuatkan dengan sabda nabi kull bid’ah dlalâlah. Kemudian pengarang Tuhfah al-Ahwadzî menjelaskan sama dengan keterangan al-Ma’bud.185 13) Muhammad Ibn ‘Alân dalam kitab Dalil Al-Fâlihîn menjelaskan yang dimaksud dengan muhdasat al-umur adalah perkara yang tidak berada dalam kaidah-kaidah syara’ dan tidak ada dalil yang menguatkannya kemudian dalam menjelaskan lafadh wa syar al-umur muhdatsatuha adalah perkara yang tidak diketahui dalam kitab, sunnah, ijma dan tidak punya asal di dalam ketiganya. Dan beliau juga menjelaskan kull bid‘ah

dlalalah

am

makhshush

(perkara

yang

umum

yang

dikhususkan/ ditakhshish).186 14) Ajaj al-Khatib dalam Al-Sunnah Qab Tadwin l, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas mengenai sunnah-sunnah menurut para fuqaha yang dimutlakkan sebagai lawan bid’ah kemudian menjelaskan bid’ah dimutlakkan di dalam syara atas setiap perkara yang diciptakan oleh manusia dari ucapan, perbuatan di dalam agama dari perkara yang tidak dinukil dari nabi dan para sahabat-sahabatnya dan berhujjah dengan sabda Nabi.

‫ َ< ُر ّد‬cُ Xَ Wُ ,ْ Aِ Ð َ Bْ Cَ3َA ‫َا‬U‫ َه‬3َYIِ Aْ ‫ِ* َا‬X ‫ث‬ َ 0َ 1 ْ ‫ْ َا‬8Aَ

185 186

al-Mubârakfûrî, Tuhfah, 439-441. Al-Siddiqî, Dalil, 443-444.

212

Berdasarkan uraian di atas, pengertian bid’ah secara terminologi adalah segala yang diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia baik berupa perbuatan sehari-hari, metode sistem, teori, seni, tradisi dan sebagainya yang lama ataupun baru yang berkaitan dengan adat atau agama yang menyalahi syari’at atau tidak punya dalil yang mengesahkan secara langsung atau tekstual yaitu al-Qur’ân dan hadits ataupun kontekstual yaitu ijma’, qiyas dan sebagainya. Jadi segala sesuatu yang diciptakan, dirintis dan dilakukan oleh manusia yang menyalahi syari’at disebut bid’at. Itu berarti al-muhdatsat itu tetap dikatakan sunnah bukan bid’ah walupun itu bid’ah secara bahasanya. Sedang bid‘ah yang umat Islam terpecah menjadi dua yaitu golongan yang mengatakan setiap bid‘ah adalah dlalâlah dan golongan yang membagi bid‘ah menjadi bid‘ah hasanah dan sayyiah,187 kalau dilihat penjelasan mereka yaitu golongan yang pertama, golongan yang menjelaskan bahwa bid‘ah adalah amalan yang tidak punya dalil di dalam syara’ sebagaimana pengertian Syatibî,188 sedang yang kedua menjelaskan bahwa perkara yang diciptakan yang menyalahi al-Qur’ân, sunnah, ijma atau atsar maka disebut sebagai bid‘ah dlalâlah atau dengan redaksi lain atau bid‘ah yang sesuai dengan sunnah mahmûdah dan bid‘ah yang tidak sesuai dengan sunnah adalah bid‘ah mahmûdah189 atau dengan redaksi lain yaitu perkara yang

187

Al-Zuhayli, Ushûl, 449. Al-Syathibi, al-I’tisham, 36-38. 189 ash-Shiddieqi, Kriteria Sunnah; al-Asqalani, Fath; Ajjaj, al-Sunnah. 188

213

diciptakan yang sesuai dengan kitab, sunnah, atsar atau ijma adalah bid‘ah sesat dan sebalikanya perkara yang diciptakan dari perkara yang baik yang tidak menyalahi darinya maka adalah bid‘ah hasanah,190 maka keduanya tidak berbeda pendapat hanya berbeda bahasa mereka sama-sama berpedoman kepada syariah191 sebagai prinsipnya dan al-Qur’ân , sunnah, ijma, dan qiyas sebagai pedoman. Dengan demikian kriteria sunnah atau bid‘ah itu berpangkal kepada syari’ah yang prinsip-prinsipnya diringkas pada ushûl al-khamsah yaitu terjaganya agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Perkara yang masuk dalam pedoman-pedoman ushul fiqh yaitu al-Qur’ân, sunnah, ijma, qiyas, istihsan, syad al-dâriah atau maslahah mursalah yang masih terdapat kebaikan, manfaat dan kemaslahatan bagi manusia, tidak mengikuti hawa nafsu atau diridlai oleh Allah swt itu termasuk sunnah. Oleh karena penulis menyayangkan dan tidak setuju terhadap pembid‘ahan-pembid‘ahan sebelum meneliti lebih jauh skema pada terhadap suatu masalah. Karena pedoman dan ‘illatnya adalah terancamnya atau tidak agama. Atau adanya unsur yang menyebabkan agama terancam. 3. Sejarah Latar Belakang tentang Bid‘ah a. Islam pada masa Nabi dan perpecahan umat. Pada fase yang pertama yaitu ketika di Makkah, Nabi mendapatkan pengikut yang sedikit tapi mempunyai semangat yang luar 190

Ibn Qayyim, A’lâm, 121. Izzudin ‘Abd Azîz, al-Qawaid, 133-134; al-Suyuti, al-Mujtaba, 185-186; al-Syâthibî, alI’tishâm, 36-38; al-Asqalanî, Fath, 178-180; Sanadî, Hasiyyah, 22; Ibn Qayyim, A’lâm, 136. 191

214

biasa. Nabi di Madinah adalah pengemban otoritas tasyri’ dan sekaligus pemimpin umat. Otoritas ini selama ia hidup dipegang sendiri. Umat Islam dalam menghadapi persoalan masalah dan pertikaian menanyakan langsung kepada nabi dan beliau inilah yang selanjutnya menyelesaikan permasalahan, menjawab pertanyaan, memberi fatwa dan menyelesaikan persengketaan di antara mereka. Sebagai pemimpin beliau menjamin kebebasan beragama bagi orang Yahudi dan ahli al-Kitab pada umumnya sebagai komunitas, dan beliau mementingkan intern dengan sesama muslim. Bahkan beliau menyerukan kepada orang Islam dan Yahudi bekerja sama

demi

keamanan mereka bersama. Dalam periode Khulafa’ Al-Rasydin umat Islam mulai terjadi perselisihan dan perpecahan sebagaimana yang diisyaratkan nabi dalam hadits, bahwa masing-masing agama Yahudi dan Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh lebih golongan. Puncaknya pada masa Ali terjadi perang Siffin antara pasukan Ali dan Muawiyah karena masalah politik yang diakhiri oleh tahkim yang mengakibatkan perpecahan keagamaan dari pendukung Ali keluarlah kaum Khawârij dari kelompoknya di samping kaum Syiah yang selalu mendukung Ali. Kemudian muncul sekte-sekte (firqah) Islam, seperti Mu’tazilah, Murjiah, Mujassimah, Jabariyah dan sebagainya.

215

Perselisihan

dan

perpecahan

itu

selain

mengakibatkan

terjadinya pemalsuan-pemalsuan hadits juga memunculkan kelompok yang ingkar terhadap sunnah-sunnah yang telah berbuat maksiyat dan melakukan bid’ah, seperti Khawârij, Jahmiyah dan Rafidlah.192 b. Masa Ortodoksi (pembekuan agama Islam) Pada abad kedua muncul madhab-madhab fiqh, tersebutlah Abû Hanifah (81-185 H) ulama yang menggunakan hadîts yang berstandar munqathi' dan mursal banyak menggunakan akal dan qiyas dalam perumusannya, kemudian ulama dari Madinah Imam Mâlik (94-179 H) mengembangkan periwayatan, dan pemahaman hadits yang lain. Imam Syafî’î (150-204 H) ulama pembela hadîts mengenai hukum dalam skala massal sebagai suatu dasar hukum. Ia berpegang teguh kepada hadîts setelah al-Qur’ân193. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran politik, hukum dan kalam pada saat ini perlu menyusun pokok-pokok ajaran Islam yang standar dan seragam yang bisa dijadikan pedoman oleh umat Islam saat ini dan untuk generasi berikutnya. Untuk menjaga integritas kaum muslimin yang secara keseluruhan yang saat itu terpecah-pecah menjadi Khawârij, Murjiah, Jahmiyah dan sebagainya, maka langkah Syafi’î untuk menyatukan umat

192

Sa’dullah as-Saidi, Hadits Sekte (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 59—67.bandingkan Abd Wahhab Khalaf, Khulâshah Tarîkh Tasyrî Islâmî ,terj.Aziz Masyhuri (Solo: Ramadhani,1997),916. 193 Muh Nurhakim, Metodologi Studi Islam,(Malang : Umm Press,2005),161-162.

216

dengan bersandar hadîts sangat diperlukan. Imam Syafi’î menggunakan hadîts ahad dan menurut penuturan Ibn Taymiyyah, Ahmad Ibn Hanbal penyebar qaul qadim Syafi’î, senada al- Syafi’î pernah berkata:

‫ي‬ ِ ْ‫أ‬I/ C‫ ا‬8 َ Aِ ٌIBْ P َ ¬ ِ 5ْ 0ِ d َ Cْ ‫ ا‬± ُ Bْ Oِ  َ Artinya: Hadits yang lemah itu lebih baik di banding rumusan akal. Umat Islam mengenal Ahmad Ibn Hanbal sebagai ulama yang mempunyai perhatian yang besar terhadap hadîts dan kurang perhatiannya terhadap fiqh. Dalam persoalan hukum halal haram, beliau bersikap sangat teliti terhadap penelitian sanad, sedangkan dalam hal al-targhib dan altarhib beliau tidak begitu ketat dan cermat. Inilah yang disebut ortodoksi dalam menyelesaikan masa-masa krisis Islam. Ini terjadi pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Dengan plus minusnya langkah ahli hadîts ini tidak bisa dihindari dalam tempo yang singkat ajaran ortodoksi ini telah mengkristal dalam masyarakat Islam. Dengan begitu ragamnya sikap ulama terhadap hadîts. Namun ada benang merah yang dapat ditarik dan kejeniusan ahli-ahli hadîts bahwa mereka kurang “sreg” terhadap apa saja yang dirumuskan oleh akal pikiran manusia meskipun rumusan-rumusan sunnah dan tradisi pada saat itu adalah rumusan-rumusan akal pikiran mereka. Keanekaragaman dan pluralitas pendapat mereka lambat laun redup cahayanya lantaran gerakan periwayatan dan pembukuan hadîts yang kemudian dominan di kemudian

217

hari lebih menghendaki keseragaman dan standarisasi ajaran agama. Para ulama belakang lebih suka menerima hadits sebagaimana apa adanya, sebagaimana yang tertulis dalam al-kutub al-sittah umat Islam senang menerima hadîts sebagai produk jadi. Hadîts yang dirumuskan dari sunnah yang hidup sesaat itu mempunyai harga mati yang tidak dapat ditawartawar lagi. Pada gilirannya orang sulit membedakan hadîts yang bersifat mutlak yang terbebas dari ikatan ruang dan waktu yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah, serta hadîts yang bersifat nisbi yang terikat ruang dan waktu yang menyangkut bidang muamalah, pergaulan hidup, adat kebiasaan yang mencerminkan tradisi atau sunnah yang hidup pada suatu penggalan sejarah.194 c. Pandangan Al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah dan Pembid’ahan Ketika ajaran ortodoksi telah terbentuk dan telah mengkristal sedemikian rupa, maka sikap ulama terhadap hadîts dapat ditelusuri dalam pemikiran Al-Ghazâlî (1058-1111) dan Ibn Taymiyyah (661-728 H/ 12581328) secara garis besar dapat dikatakan bahwa Al-Ghazâlî meneruskan pemikiran al-Syâfi’î, sedangkan Ibn Taymiyyah meneruskan Ahmad Ibn Hanbal. Timbul tenggelamnya madhab Mu’tazilah seirama pasang surutnya penguasa politik yang mendukung atau menentangnya tidak menjadi soal

194

Ibid., lihat Yusuf Qardawi, Islam abad 21, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001), XVI-XVII.

218

bagi pendukung ulama ahl sunnah wal jama’ah, kelompok ini terlalu kuat untuk ditandingi oleh kelompok Mu’tazilah. Meskipun pelan tapi pasti muncullah pendukung Mu’tazilah dalam baju baru yang disebut falsafah. Munculnya pemikiran adalah karena kehendak sejarah semata. Proses akulturasi dan asimilasi budaya tidak mampu membendung arus kebudayaan setempat tidak mempunyai elemen yang cukup kuat untuk menandingi datangnya pengaruh dari luar. Untuk menahan kekuatan pengaruh falsafah maka pendukung hadîts yang bersifat eksklusif, pada waktunya bergabung dengan ahli fiqh dan kalam pada saat itu. Satu hal yang perlu dicatat terlebih dahulu, bahwa al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah adalah sama-sama menentang falsafah spekulatif yang dikembangkan oleh para filsuf muslim. Ghazâlî menentang falsafah lewat Tahâfut al-Falasifah.195 Sedangkan Ibn Taymiyyah mengkritik falsafah dalam Naqd al-Mantiq. Meskipun kedua-duanya anti falsafah spekulatif, untuk Ibn Taymiyyah masih perlu ditambah dengan keberatannya terhadap sufisme yang menjelma menjadi gerakan tarekat-tarekat, mereka berdua tetap menggunakan kerangka pemikiran dan metodologi filsafat untuk membangun kerangka-kerangka rumusan sistem ajaran yang kokoh.

195

Lihat Nur Muh Hakim, Metodologi, 62 bandingkan dengan Hasymsiyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media, 1999), 83-87.

219

Kontruksi

pembagian

nilai

moral

menjadi

empat,

yaitu

kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan, adalah kerangka berpikir Ibn Sina (370-428 H/ 980-1037 M) yang diambil dari Aristoteles dan kemudian Diislamkan oleh al-Ghazâlî dalam Ihya’ ‘Ulum al-Dîn sedangkan Ibn Taymiyyah, ketika menggarisbawahi perlunya qiyas juga tidak bisa meninggalkan logika Aristoteles sama sekali. Penentangannya terhadap perlunya definisi yang sempat menjadikan ulama fiqh, menjadi sangat formalistik. Ibn Taymiyyah dari ikatan formalisme fiqh sehingga mengantar untuk dapat berjihad secara mandiri dalam bidang fiqh. Al-Ghazâlî dikenal sebagai ulama pembela madhab Syafi’î yang menggunakan banyak hadîts untuk mendukung faham tasawufnya. Namun hadîts- hadîts yang digunakan al-Ghazali dalam Ihya’ dianggap oleh para penghormat sebagai hadîts-hadîts yang lemah, bahkan ditegaskan alGhazâlî bahwa untuk berijtihad orang yang tidak dipersyaratkan untuk mengetahui ilmu hadîts. Ibn Taymiyyah kebalikan dari al-Ghazâlî, lebih suka ke ajaran salaf dan lebih menggunakan istilah bid’ah bagi rumusan-rumusan pemecahan-pemecahan baru yang tidak ditemuinya di zaman salaf. Beliau cukup kritis terhadap hadîts-hadîts yang dianggap lemah atau palsu. Jika al-Ghazâlî terlalu longgar dalam menerima hadîts, maka Ibn Taymiyyah terlalu ketat berpegang teguh kepada hadîts-hadîts yang berstandar shahîh. Meskipun keduanya anti falsafah, tetapi al-Ghazâlî menyukai ta’wil

220

seperti Ibn Taymiyyah, seperti Ahmad Ibn Hanbal tidak menyukainya. Untuk menjaga kemurnian ajaran salaf, ia tidak suka menggunakan ta’wil praktek-praktek golongan salaf adalah menjadi acuan pokok ajarannya. Dalam kontek kekinian, penggunaan hadîts model al-Ghazâlî maupun Ibn Taymiyyah agaknya perlu ditinjau. al-Ghazâlî dengan sikap begitu lunak dalam menerima hadîts yang beralur, pemikiran tasawuf dan fadlail al-a’mal. Meskipun harus dicatat, pemikiran tasawuf al-Ghazali sebenarnya adalah lain sama sekali dengan dengan pemikiran tarekat yang menimbulkan kesan seolah-olah ajaran Islam sedemikian rumitnya, oleh karena itu, Ibn Taymiyyah sering menilainya sebagai bid’ah. Sedang mengikuti aliran Ibn Taymiyyah umat Islam dengan lebih mudah masuk ke pengakuan puritism yang ketat yang disebabkan sulitnya mengambil sikap di dalam mengakomodasi kebudayaan dan tradisi setempat. Ajaran kembali ke salaf sebagai antidote dari perkembanganperkembangan Islam saat itu yang mengarah kepada tasawuf dan munculnya tarekat pad abad pertengahan akan menjadikan keberagamaan kita semakin matematis. Padahal nuansa spiritualitas tidak dapat dikristalisasikan dalam ungkapan kembali ke salaf. Lantaran kurang memahami arti penting ijtihad maka program dan pengayaan dan pengekaran budaya Al-Ghazâlî terbatas hanya pada aspek batiniah dan kesalahan individu dari pada umat Islam. Pada saatnya, setalah ide-ide diserap Al-Ghazâlî oleh banyak kalangan dan tumpang

221

tindih dengan ajaran sufi yang heterodok maka tidak dapat terelakkan munculnya sifat konservatisme. Dengan hanya menekankan kesalehan pribadi Al-Ghazâlî hampir-hampir tidak pernah menyentuh kreatifitas dan orisionalitas manusia muslim dalam merumuskan problema sosial, ekonomi dan keagamaan dalam abad-abad berikutnya pemikiran AlGhazâlî dijadikan patokan dasar oleh pengikutnya yang kebetulan adalah juga pengikut ahli sunnah wal jama’ah. Dengan minusnya rancangan ijtihad dalam arti luas maka pola pikir Al-Ghazâlî jauh dari pengembangan, pemekaran dan pengayaan budaya intelektual muslim. Sedangkan pemikiran Ibn Taymiyyah juga kurang punya greged pemekaran dan pengayaan budaya. Anjuran ijtihad sebenarnya adalah kunci dari segala kreatifitas dan orisinalitas berpikir untuk memecahkan masalah-masalah yang baru. Muhamad Iqbal mengatakan bahwa ijtihad adalah the principle of movement. Ibn Taimmiyah sendiri telah memberikan beberapa contoh original dalam berijtihad meskipun ia menyerukan ijtihad secara vokal tetapi, beban anjuran ke salaf yang lebih bernuansa tekstual terasa lebih ditekankan oleh pengikutnya sehingga mengaburkan misi yang dibawa oleh Ibn Taymiyyah. Anjuran untuk berijtihad dirasa kurang mendapat gaungnya, jika kita melihat praktek-praktek ajaran Wahabi yang tekstualitas diarab saudi didalam memahami al-Qur’ân dan sunnah. Program pemekaran dan

222

pengayaan

budaya

terasa

kurang

subur,

karena

mereka

masih

menghatamkan beberapa mata kuliah yang dulunya dikecam habis habis oleh Ibn Taymiyyah yaitu filsafat dan sufisme pemahaman Islam dalam arti menyeluruh dan utuh terasa belum mendapat tempat yang sewajarnya. Tipe pemahaman al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah lantaran samasama memahami hadîts secara tekstual agaknya akan membawa umat Islam

tersandung

dengan

persoalan-persoalan

pemekaran

dan

pengembangan pemikiran terhadap ajaran Islam dalam era globalisasi dan informasi. Keduanya, lebih-lebih al-Ghazâlî menganggap hadîts sebagai sesuatu yang taken for granted (sesuatu yang seharusnya begitu), tanpa perlu

diteliti

kadar

keshahîhannya,

apalagi

sampai

memikirkan

relevansinya dengan zaman, kondisi setempat dimana ajaran Islam hendak di kembangkan. Dalam konteks ini ajaran untuk kembali ke salaf yang ikut mengilhami gerakan modernisme dalam abad XIX dan XX, agaknya masih sama saja dengan memecahkan persoalan masa kini dengan menoleh ke belakang sering kali melahirkan pemecahan persoalan secara mauquf bahkan menimbulkan implikasi yang berat di dalam masyarakat beragama.196 Secara ringkas sikap al-Ghazâlî terhadap hadîts adalah:

196

M. Amin Abdullah, “Hadits dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah”, dalam Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits, ed, Yanuar Ilyas Masudi Yogyakarta: LIPI 1996), 204-2134.

223

e. Hadîts menjadi sumber ajaran agama Islam adalah hadîts mutawâtir ini berarti ingkar tehadap hadîts mutawâtir menyebabkan kekafiran sedangkan ingkar terhadap hadîts ahad tidak mnyebabkan kekafiran. f. Hadîts dapat menjadi penjelasan atas al-Qur’ân secara mutlak, baik yang mutawâtir maupun yang ahad, baik berisi masalah aqidah maupun di luar aqidah. g. Dalam menyebutkan hadîts yang dipakai menjelaskan al-Qur’ân, tanpa menyelesaian sanad dan matannya. h. Metode pemahaman hadîts tidak hanya tekstual bahkan melampaui isyari sufistik. Sedangkan Ibn Taymiyyah adalah: e. Hadîts yang dapat dijadikan sumber ajaran Islam adalah hadîts mutawâtir dan ahad selama memenuhi syarat-syarat keshahihan, baik isinya memperkuat, menjelaskan, membatasi maupun menambah isi al-Qur’ân. f. Dalam menyebutkan sumber hadîts yang dijadikan sumber pemikiran, Ibn Taymiyyah menjelaskan sanad, rawi, nilai hadîts tersebut relevan. g. Hadîts shahîh yang dapat menjadi sumber agama Islam meliputi semua aspek mulai dari akidah sampai masalah kenegaraan. h. Metode pemahaman hadîts yang shahîh yang menjadi sumber ajaran Islam tidak hanya tekstual yang menembus konteks waktu dan tempat global secara kritis.

224

Bila perhatian pemikiran dan penerapan hadîts yang dilakukan oleh al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah dibandingkan, maka akan diperoleh persamaan dan perbedaan. Unsur persamaan yang ada pada keduanya adalah: d. Keduanya mempunyai motif yang sama untuk membangkitkan umat pada kesadaran keislaman dengan sumber al-Qur’ân dan hadîts. e. Keduanya sama-sama mengakui adanya hadîts mutawâtir dan ahad yang dapat menjadi sumber ajaran Islam yang meliputi banyak aspek, baik aspek akidah maupun yang di luarnya. f. Kedua-duanya sama-sama melakukan pemahaman-pemahana atas hadîts dengan pendekatan tekstual bukan kontekstual. Unsur perbedaan yang ada pada keduanya adalah: d. Al-Ghazâlî dalam menyebut hadîts tanpa menyebutkan jalan sanadnya, tanpa mengkaji matannya dan tanpa penilaian. Sedangkan Ibn Taymiyyah dalam menyebutkan hadîts sudah menunjukkan sanad, walupun penilaian yang dilakukan menggunakan penilaian orang lain dan juga mengkaji matannya. e. Al-Ghazâlî dalam memahami isi hadîts melalui pendekatan isyari, sedang Ibn Taymiyyah melalui pendekatan kontekstual.

225

f. Al-Ghazâlî menghasilkan suatu kesadaran keagamaan sufistik dan statis, sedang Ibn Taymiyyah menghasilkan kesadaran keagamaan yang kritis dan dinamis.197 Ungapan-ungkapan kedua tokoh ini memang terasa berbeda. Perbedaan pengalaman dan zamanya masing-masing kiranya berperan dalam pembentukan dan perkembangan intelektual masing-masing. Ibn Taymiyyah yang lahir lima tahun setelah jatuhnya Baghdad tepatnya tanggal 10 Rabiul Awal 661 / 22 Januari. Walaupun dibesarkan di lingkungan keluarga yang tradisi agamanya kuat, tetapi situasi perang dan traumanya, serta situasi masyarakat Islam yang banyak bercampur dengan berbagai budaya dan khurafat disertai kolaborasi ulama zamannya dengan penguasa

dengan

mengorbankan

nilai

agama

demi

kepentingan

pribadinya, telah membentuk watak Ibn Taymiyyah yang terasa kaku dan keras, sehinnga ia di keluar masukkan penjara, selama situasi itulah ia menulis. Sementara al-Ghazâlî yang lahir satu abad sebelum Ibn Taymiyyah (540 H), di kota Thus, hidup dalam situasi politik yang relatif stabil. Dia mendapatkan perlakuan yang baik dari pengfuasa zamannya, Nizam al-Muluk. Dua situasi yang kontras menghasilkan paroduk- dua situasi yang menghasilkan produk intelektual yang berciri khas. Yang pertama banyak melewatkan kehidupannya dan meneteskan tintanya di 197

Nasikun, Pengembangan, 240-245.

226

penjara. Dapatlah dipahami bila ungkapan tulisannya keras dan kasar. Yang kedua di istana dan menyendiri untuk mencari hakikat kebenaran yang bermuara di ma’rifat melalui dzauq. Dapat dipahami tulisantulisannya terasa lembut terkadang membuatbaca tenggelam di dunia lain dan mengesankan dunia lain lebih penting dari dunia kini.198 d. Purifikasi dan Reformasi Sebagaimana telah dijelaskan di atas gagasan dan pemikiranpemikiran Ibn Taymiyyah yang mengajak kembali ke salaf telah mengilhami pemurnian agama (purifikasi) disamping pengaruh dari barat pada selang dua sampai tiga abad berikutnya telah melahirkan akar-akar pembaharuan pemikiran Islam diparuh kedua abad 18 dan paruh abad ke 19 yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1792) di Saudi Arabia Syah Waliyyullah al-Dahlawi (1702-1762) di India Muhammad Ali Sanusi (1859) dari al-Jazair Jamal al-Din al-Afghânî (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridla dari Mesir Sir Ahmad Khan (lahir 1817 M) Syed Anair Ali Muhammad Iqbal (lahir 1876 M) dan Ibn Jinnah (lahir 1876). Lahir di Mesir.199 Sebagaimana Ibn Taymiyyah, dalam pembaharuan para tokoh menekan purifikasi pemurnian agama yang anti sufisme, khurafat dan sebagainya yang dianggap sebagai bid’ah. Namun dari pergerakan

198 199

Juhaya S Praya, Pengembangan, 233. . lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1992) 23-88.

227

pembaharuan tersebut gerakan-gerakan Wahabisme di Saudi Arabia pada prakteknya terlihat tekstualis, jauh dari ijtihad yang ditekankan oleh Ibn Taymiyyah.200 Gerakan pemurnian dan pembaharuan ini sebagai konsekwensinya di satu sisi krisis identitas, problem-problem sosial dan benturan kultural yang tidak dapat dielakkan. Umat Islam terbagi menjadi tradisionalis dan modernis. Secara sederhana, keduanya mengalami ketegangan dan konflik-konflik social yang hingga sekarang tidak mudah dipersatukan.201 Di Saudi Arabia, gerakan Wahabi mendapat pertentangan dengan bukti beredar literatur tentangnya. Di antaranya Syaykh Mas’ud

al-

Nadawy (India) mengarang buku berjudul Muhammad Ibn Wahhab Mushlih Madhlûm wa Muftar Alayh, al-Syaykh Ibn Hijr ‘Ali Abu Thâmi (Qatar) Naqd Kalam al-Muftarîn ala al-Hanabalah al-Salafiyyin dan sebagainya menolak menganggap sebagai pembohong pada Syaykh Muhammad dan dakwahnya pada tauhid dengan nama Wahabiyyah, alKhawarij, Madhab al-Khâmis dan al-Din al-Jadîd dan Mubtadi’ah. Nama wahabiyah dikenal pada abad kedua hijrah yaitu firqah Khârijiyah alAbadliyah yang disandarkan kepada Abd Wahhab Ibn Abd al-Rahman Ibn

200 201

Abdullah, Pengembangan 204-2134. Nurhakim, Metodologi, 163-166

228

Rustam al-Khâriji al-Abâdli 147-205 H di Afrika Utara dan begitu juga di Indonesia.202 Islam di Indonesia asalnya bermainstrem neo sufisme atau tasawuf ortodok. Tasawuf ortodok adalah tasawuf yang menyeimbangkan antara orientasi lahir (eksetoris / syari’at) dan orientasi batin (esotoris/ hakikat) yang dikembangkan oleh para wali songo yang dilanjutkan oleh Abdus Shamad Palimbani (1704-1789 M) pengarang Hidâyah al-Sâlikîn yang merupakan adaptasi dari Bidâyah al-Hadâyah karya Al-Ghazâlî lalu dilanjutkan oleh Nawâwî al-Bantanî (1888) pengarang Syarh Bidâyah alHidâyah yang salah satu muridnya adalah Hasyim Asyari pendiri organisasi Islam tradisional Nahdlatul Ulama (NU). Bisa dikatakan bahwa Islam dengan tradisi lokal tidak terlibat dalam konflik yang keras dan terbuka. Hubungan Islam dengan adat adalah negotiable ini karena peranan tasawuf yang adapsionis yang memungkinkan relasi timbal balik antara Islam dan tradisi lokal berlangsung cair. Pada abad 19 ide puritanisme masuk Indonesia melalui orang yang pergi haji ke Mekah. Puritanisme diawali oleh Ahmad Khatib (18551916). Ia menulis buku yang mengecam system pembagian waris di Minangkabau yang bersifat matrilineal. Pandangan ini disebarkan oleh Syeykh Jamil Jambek, haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul yang 202

Muhammad Ibn Sa‘d al-Suway’ir,” Sulayman Ibn Wahhab al-Syaykh al-Muftara ‘alayh”, Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, 60,( Juni- September, 2000), 255-256.

229

terpengaruh dengan ide-ide reformis. Puritanis ini dikembangkan di Jawa melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan pada 1912 yang merupakan murid dari Ahmad Khatib. Nama ini sama dengan nama lain dari gerakan Wahabî yaitu Muhammadiyah (yang disandarkan kepada pendirinya) dan al-Da’wah al-Jadîdah.203 Berdasarkan uraian di atas, latar belakang sejarah perdebatan mengenai bid’ah adalah gerakan ijtihad Ibnu Taymiyyah yang dikaburkan oleh ajarannya yang tidak dipahami oleh pengikutnya, dimana ia lebih menyukai menggunakan istilah bid’ah bagi rumusan-rumusan pemecahanpemecahan baru yang tidak ditemuinya di zaman salaf. Ia menolak dan memancang sufisme al-Ghazâlî dan pemikiran tarekat yang menimbulkan kesan seolah-olah ajaran Islam itu sebegitu rumitnya sebagai bid’ah. Jadi yang perlu dipahami adalah bahwa pemikiran tasawuf alGhazâlî adalah suatu bentuk penafsiran dan ijtihad yang dipegaruhi oleh situasi sosial pada masanya. Dimana ia mampu menggiatkan kajian keagamaan yang pernah mundur akibat filsafat neoplatonismenya alFarabi dan Ibn Sina, sehingga mampu memukau umat Islam meskipun mengakibatkan pemenjaraan kreatifitas umat Islam. Sedangkan gerakan dan pemikiran ajaran kembali salaf Ibn Taymiyyah juga merupakan bentuk penafsiran dan ijtihad yang dipengaruhi oleh kondisi sosial pada masanya yang mengarah pada 203

Zainul Hamdi,”Neo Sufisme Islam Jawa,”Istiqra’,2005,326-330

230

tasawuf

pada

abad-abad

mengkombinasikan

sikap

pertengahan egalitaritas

yang

tradikal

mana melalui

ia

mampu

metodologi

pemahaman agama secara literal kembali kepada al-Qur’ân dan hadits untuk kembali kepada pintu ijtihad yang telah tertutup sebelumnya. Oleh karena itu sikap yang pas terhadap pemikiran al-Ghazali yag sufistik dan pasif dan pemikiran Ibnu Taimiyyah yang purikatif dan reformatif adalah sesuai dengan kaidah

³ ُ ?َf ْ ‫ َا‬0ِ 5ْ 0ِ J َ Cْ 3ِ: Uُ P ْ 3َ Cْ ‫ وَا‬³ ِ Cِ3/²C‫ ِ> ا‬5ْ 0ِ gَ Cْ ‫ ا‬Vَ?M َ [ُ j َ Xَ 3َdGُ Cْ ‫َا‬ Yaitu menjaga sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Apalagi melihat paradigma baru yang terjadi dimasyarakat yang kita berbeda dengan situasi keduanya dimana kita berada dalam zaman modern bahkan pos modern. Permasalahan yang terjadi dalam realitas juga berbeda dan lebih kompleks dimana manusia modern kehilangan visi keilahian,spiritualitas, membunuh tuhan, skularitas, dan antroposentrisme, eksistialisme berlebihan dan egois, kapitalisme dan eksploeitasi alam, sebagaimana yang terjadi pada masa Al-Ghazâlî. Sedangkan harapan untiuk menghadapinya yang dibutuhkan adalah mengembalikan manusia kembali kepada khittahnya sebagai makluk primordial tuhan, mempunyai spiritualitas yang tinggi, punya pemikiran yang ilmiah dan modern, menghargai akal dan intelektualitas. Oleh karena itu strategi keilmuan

231

yang harus dipegang oleh umat Islam adalah mengembalikan spiritualitas keilahian (tradisi intelektualitas kesufiyan sebagaimana ajaran AlGhazâlî), mengembalikan fungsi ajaran kitab suci agama menjadi pegangan hidup. (sumber-sumber teks/ajaran agama) sebagaimana ajaran ibnu Taymiyyah. Serta memberi porsi yang sebagaimanamestinya atas peran akal (peran filsafat). Sehingga yang ideal adalah keseimbangan antara metodologi bayani, yaitu metodologi atas teks yang dasarnya adalah kitab suci (teks suci) yang tekstual dan normatif, metodologi irfani, yaitu metodologi berfikir yang berdasarkan pengalaman langsung atas realitas spiritualitas keagamaan dan metodologi burhani, yaitu metodologi berfikir

atas

dasar

keruntutan

logika

yang

kontekstual

historis

sebagaimana yang dikembangkan oleh al-Jabiri. Jadi eksistensinya

yang

harus

adalah

dilakukan

mau

menafsiri

umat dan

Islam

dalam

berijtihad

atas

menjaga setiap

permasalahan dan paradigma yang dihadapinya dengan berdasarkan pada konsep-konsep syariat Islam. Sehingga ajaran Islam yang universal dan merupakan rahmatan li al-alamin terjaga, diterima dalam masyarakat dunia dan bahkan mampu berjaya lagi sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah Umat Islam seharusnya tidaklah terpetak-petak dan terjebak dalam kelompok-kelompok yang terjadi seperti sekarang seperti kelompok tradisionalis (konservatif), modernis, undamentalis, ekstrim kanan, ektrim

232

kiri dan sebagainya yang menyebabkan generasi penerusnya bingung dan lari meninggalkan tokoh dan ulama'nya seperti sekarang (apakah itu disadari atau tidak, diakui atau tidak). Dan terakhir tanggung jawab para pemimpin Islam, ulama' dan para intelektual adalah memahamkan umat dengan pemahaman yang benar sesuai dengan ajaran syariat Islam yaitu dengan berdasar al-Qur’ân dan al-hadîst sunnah Rasul secara tekstual maupun kontekstual. Selain itu mereka harus memikirkan implementasi dan implikasi dari sikap perilakunya terhadap masyarakat pada masa sekarang ataupun yang akan datang. Sehingga tidak menyebabkan situasi serupa yang terjadi pada yang dilakukan pada Al-Ghazâlî dan Ibn Taymiyyah. 4. Analitis Kritis tentang Bid’ah Kalau diperhatikan secara seksama seluruh matan hadits mengenai setiap bid’ah itu dlalalah, maka matan-matan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu matan dari ‘Irbâdl dan dari Jâbir. Matan ‘Irbâdl yang mempunyai asbâb al-wurûd yaitu maw’idlah sesudah shalat subuh terdapat redaksi ‘alaykum bi sunnatî wa sunnah al- Khulafâ’ al-Râsyidin selain itu juga terdapat kata yang mubham atau tidak jelas yang mengatakannya, seperti kata qâ’il pada riwayat Abû Dâwud, Dârimî dan Hanbal 4, fa qâla rajul pada riwayat Turmudzî, fa qîla dari riwayat Ibn Mâjah dan qâlû dari riwayat Ibn Hanbal 3.

233

Redaksi Khulafâ’ al-Râsyidin mungkin masih bisa dipermasalahkan dan perlu pembahasan lebih lanjut. Sebab kata-kata tersebut mungkinkah sudah ada pada masa rasul. Walaupun begitu menurut penulis redaksi tersebut masih bisa dijadikan pedoman sebab tidak menyalahi hadîts yang lain yaitu “Iqtadû bi Alladzîna min Ba‘dî Abî Bakr wa ‘Umar” atau al-Qur’an surah al-Nisa 59. Menurut penulis, redaksi matan Jâbir-lah yang setiap muslim harus tertuju padanya memahami dan mengingatnya karena karena matan tersebut langsung bisa dipahami redaksinya terutama redaksi fa Inna Khayra al-Hadîts Kitabullah wa Khayra al-Hadyi Hadyu Muhammad. Redaksi inilah yang menjadi pokok pikiran filosofis yang harus dipegang oleh setiap muslim yaitu menjadikan al-Qur’an dan petunjuk Nabi Muhammad (sunnah atau hadîtsnya) sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim. Istilah bid’ah dan sunnah atau sunnah dan bid’ah dlalâlah atau sunnah atau bid’ah hasanah dan sayyiah dapat dikesampingkan atau dinomor sekiankan karena itu hanyalah masalah bahasa atau istilah. Yang penting bahwa setiap diri seorang muslim yang harus ditanamkan adalah berpegang kepada al-Qur’an dan petunjuk nabi (sunnah atau hadîtsnya) secara tekstual atau kontekstual yang merupakan pedoman dari syariat islam. Oleh karena itu yang harus dilakukan oleh setiap muslim adalah melakukan perintah-perintah syariat dan menjauhi larangannya serta tidak melakukan atau mengembangkan sesuatu yang menyalahi pedoman syariat. Kemudian, redaksi Kull Muhdatsah Bid’ah wa Kull Bid’ah Dlalâlah adalah penjelasan nabi yang merupakan Mafhum Mukhâlafah dari

234

redaksi sebelumnya, yaitu tidak mengkuti atau menyalahi ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan petunjuk-petunjuk rasul yang merupakan pedoman pokok atau asal syariat islam. Semua perkara yang menyalahi al-Qur’an atau petunjuk rasul itu berarti pengembangan yang menyalahi apa yang ditentukan oleh Allah. Dan itu adalah perkara yang sesat. Oleh karena itulah kemudian nabi menjelaskan setiap perkara yang di ada-adakan (maksudnya perkara yang menyalahi ketentuan al-Qur’an dan petunjuk-petunjuk nabi itu adalah pengembangan yang sesat atau bid’ah dlalâlah). Dari redaksi ini berarti langsung dapat dipahami bahwa bid’ah adalah sesuatu yang menyalahi pedoman syariat. Kembali kepada redaksi hadîts ‘Irbâdl, yaitu Ûshîkum bi Taqwallâh dan seterusnya maka taqwa kepada Allah adalah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dan sebagaimana surat al-Nisâ’ 59 yaitu diantara perintah Allah adalah taat kepada rasul-Nya dan ulil amri maka redaksi ‘Alaykum bi Sunnatî wa Sunnah al-Khulafâ’ al-Râsyidîn yang berarti taat kepada rasulullah dan

pemimpin pengganti rasul yang nabi sudah

memerintahkan untuk mengikutinya seperti “Iqtadû bi Alladzîna min Ba‘dî Abî Bakr wa ‘Umar”, Ashhâbî ka al-Nujûm al-Hidâyah ayyukum Iqtadytum Ihtadaytum dan sebagainya karena nabi tahu dan yakin bahwa para sahabatnya itu tidak akan menyalahi al-Qur’an dan mengikuti petunjuk rasul, maka redaksi itu jelas tidaklah menyalahi al-Qur’an atau hadîts yang lain. Jadi, seperti matan Jâbir yang setiap muslim harus tertuju kepada hadîts

235

tersebut adalah redaksi tersebut. Kemudian untuk redaksi kull muhdatsah bid’ah dan seterusnya sama dengan redaksi Jâbir. Kemudian kalau diperhatikan matan hadîts adanya sunnah hasanah dan sayyiah maka pada riwayat Dârimi (2) dan Hanbal (1 dan 2), bisa dilihat bahwa Asbâb al-Wurud hadîts Jarîr dan Juhayfah tersebut kasus (waqai‘ alnash) nya adalah ketika khutbah, nabi memerintahkan dan mendorong pada manusia untuk bersedekah kepada seorang Badui al-Mujtab al-Namâr. Namun orang-orang enggan dan akhirnya datanglah seorang dari golongan Anshar yang membawa makanan dan kemudian diikuti oleh yang lain secara terus menerus. Kemudian nabi bersabda dengan hadîts yang redaksinya Man Sanna dan seterusnya tersebut. Dari asbâb al-wurud atau waqai‘al-nash hadîts di atas dapat dipahami bahwa sunnah hasanah adalah sesuatu perkara yang sesuai dengan syariat (al-Qur’an dan petunjuk nabi), karena nabi memerintahkan bershadaqah kemudian orang Anshar itu pula yang memulainya, sedangkan sunnah sayyiah adalah kebalikannya yaitu perkara yang menyalahi syariat (al-Qur’an dan hadits). Dari kasus diatas umat Islam dapat meng-qiyas-kan atau menganalogikan paradigma yang lain yang terjadi di masyarakat yang merupakan pengembangan dari paradigma yang terjadi pada masa nabi. Jika paradigma yang terjadi sesuai dengan syariat baik tekstual atau kontektual, maka itu disebut sunnah dan sunnah hasanah atau bid’ah hasanah dan sebaliknya jika menyalahi syariat maka disebut bid’ah dan sunnah sayyiah atau bid’ah sayyiah.

236

Dari hadîts ini, sayyidina ‘Umar mengatakan Ni’mat Bid’ah Hadzihi karena yang dilakukan oleh ‘Umar atau paradigma yang terjadi pada masa ‘Umar adalah pengembangan (modifikasi) dari apa yang dimulai atau dirintis oleh nabi. Kemudian al-Syafi’i melajutkannya dengan mengatakan bahwa bid’ah ada dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah dan sebagainya. Jadi sunnah dan bid’ah atau sunnah hasanah dan sunnah sayyiah atau bid’ah hasanah, bid’ah sayyiah dan bid’ah dlalâlah hanyalah merupakan masalah bahasa yang dirasa tidak perlu dipermasalahkan. Kalau sunnah menunjukkan sesuatu yang menjadi pedoman atau asal mula, sedangkan bid’ah menujukkan pengembangan atau modifikasi dari asal mulanya atau pedomannya. Maka biarlah mereka menyebut apapun istilahnya, yang penting bagaimana umat Islam mengikuti petunjuk al-Qur’an dan petunjuk nabi. Kedua hadîts di atas, sama-sama menunjukkan supaya umat Islam berpegang teguh kepada petunjuk al-Qur’an dan petunjuk rasul secara langsung atau tidak langsung dan mengembalikan semua permasalahan kepada keduanya ketika terjadi perselisihan dan pertengkaran sebagaimana surat al-Nisâ’ 59, maka hendaklah umat Islam mengikuti perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya. Bedanya hadîts pertama ‘Irbâdl atau Jâbir tidak terpraktekkan secara langsung dengan adanya kejadian nyata, sedangkan hadîts Jarîr dan Juhayfah terpraktekkan secara langsung dengan adanya kejadian nyata (Waqâi‘ al-Nash). Hadîts Jâbir menggunakan istilah Sunnatî wa Sunnah al-Khulafâ’ al-Râsyidîn dan bid’ah dlalâlah, sedangkan

237

hadîts Jarîr dan Juhayfah menggunakan istilah sunnah hasanah dan sunnah sayyiah.

.

238

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang telah dikemukakan dari awal sampai akhir, maka dapat ditarik kesimpulan secara keseluruhan dari pembahasan skripsi ini sebagai berikut: 1. Kualitas hadîts yang menjelaskan tentang setiap bid‘ah itu dlalâlah a. Melihat jumlah periwayat yang terdapat dalam seluruh sanad, hadîts tersebut pada periwayat tingkat pertama berstatus ‘azîz dan pada tingkat kedua dan ketiga dan seterusnya sampai akhir berstatus masyhûr maka hadîts tersebut adalah ahad masyhûr. Dan dari segi sanad berdasarkan penelitian tidak terjadi keterputusan sanad, terjalin hubungan dan murid, masing perawinya bersifat tsiqah (dlâbit

dan ‘âdil) terhindar dari

Syudzûdz dan ‘illat karena tidak menyalahi jalur yang lain dan didukung oleh muttabi‘ dan syâhid. Dengan demikian, maka dilihat dari segi sanad hadîts tersebut dinyatakan shahîh li dzâtih. b. Dari segi matan, hadîts tersebut terhindar dari syudzûdz dan ‘illat karena tidak bertentangan dengan hadîts yang lain, al-Qur’an akal sehat dan kaedah kebahasaan, sehingga dinyatakan shahih li dzatih. c. Dari segi kandungan, hadîts tersebut menjelaskan kepada umat Islam untuk selalu berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah Khulafa’ al-Rasyidin disamping al-Qur’ân dan menjauhi segala bentuk bid‘ah,

239

Hadîts tersebut juga menjelaskan bahwa secara umum semua bentuk bid‘ah adalah dlalâlah (sesat) sebab hadîts tersebut adalah hadîts yang ‘am mahshush (hadîts yang bersifat umum yang bisa dikhususkan ditakhshish). 2. Kualitas hadîts yang menjelaskan adanya sunnah hasanah dan sayyiah. a. Melihat jumlah periwayat yang terdapat dalam seluruh sanad, hadîts tersebut tingkat pertama berstatus ‘azîz dan pada tingkat kedua dan seterusnya berstatus masyhûr maka hadîts tersebut adalah hadîts ahad masyhûr. Dari segi sanad: juga tidak terjadi keputusan sanad, terjalin hubungan guru dan murid, masing-masing perawinya bersifat tsiqah (dlâbit dan ‘âdil) serta terhindar dari syudzûdz dan ‘illat, karena didukung oleh muttabi‘ dan syâhid dan tidak menyalahi jalur yang lain sehingga dinyatakan berkualitas shahîh li dzâtih. b. Dari segi matan juga terhindar dari Syudzûdz dan ‘illat karena juga bertentangan dengan hadîts lain, al-qur’an dan akal sehat sehingga dinyatakan berkualitas shahîh li dzâtih. c. Dari segi kandungan, hadîts ini mentakhshish keumumam hadîts yang pertama (‘Irbadl) dan menjelaskan bahwa sunnah atau dan muhdatsat itu dibagi menjadi dua: hasanah yaitu sunnah atau muhdatsat yang sesuai dengan syariah, dan sayyiah yaitu sunnah atau muhdatsât yang tidak sesuai dengan syariah.

240

3. Secara keseluruhan, kelompok yang menyatakan setiap bid‘ah itu dlalâlah dan kelompok yang menyatakan bid‘ah itu dibagi menjadi dua: bid‘ah hasanah dan sayyiah itu pada prinsipnya tidak bertentangan dan hanya berbeda bahasa. Mereka sama-sama sepakat bahwa yang dinamakan bid‘ah adalah perkara yang baru yang diciptakan yang menyalahi syariat, selama tidak menyalahi syariat tetap dikatakan sunnah. Pembid‘ahan yang terjadi dimasyarakat terjadi karena adanya pengaruh pemikiran purifikasi dan reformasi yang diilhami gerakan ijtihad Ibnu Taymiyyah dan dikaburkan ajarannya kembali ke salaf yang kurang dipahami oleh para pendukungnya dan minimnya pemahaman tentang sumber ajaran agama.

B. Saran-Saran 1. Umat Islam hendaknya harus benar-benar memahami sumber-sumber ajaran Islam dengan sungguh-sungguh sehingga memahami ajarannya dan tidak saling membid‘ahkan. 2. Semua pihak, khusus para ulama dan intelektual, hendaklah mampu menahan diri untuk tidak tergesa-gesa menyatakan sesuatu hal itu sebagai bid‘ah sebelum benar-benar menelitinya.

241

DAFTAR PUSTAKA Abbas, Sirajudin. 40 Masalah Agama. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1990 Abû al-Hasan Alî Ibn Khalîl al-Tharâbilisî, ‘Alâ’ al-Din al-Hanafi. Mu’in al-Hikâm, Beirut: Musthafa al-Bâbî al-Halabi, 1973. Abû ‘Abd Allah Muhammad Ibn Abi Bakar, Syams al-din. A‘lâm al-Muwaqqîîn. Beirut: Dâr al-Fikr. 1997. Abû Dâwud. Sunan Abî Dâwûd,. Beirut: Dâr al-Fikr, 1991. Ash-Shiddieqî, Teungku Muhammad Hasbî. Kriteria Bid’ah dan Sunnah. Semarang: Pustaka Rizki Putra 1999. Ash-Shiddieqi, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001. Al-‘Asqalanî, Ibn Hajar. Tahdzîb al-Tahdzîb. Beirut: Dâr al-Fikr. 1999. Al-Dârimî. Sunan al- Dârimî. Beirut: Dâr al-Fikr. tt. Al-Hadlarî Bik, Muhammad. Ushûl Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr. tt. Al-Mubârakfûrî. Tufhah al-Ahwadzî. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Al-Maliki Muhammmad, Alwi,. Ilmu Ushul Hadits. terj. Adrian Qohar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006. Al-Nasâ’î. Sunan al- Nasâî. Beirut: Dâr al-Fikr. 1995. Al-Qazwînî. Sunan Ibn Mâjah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995 Al-Suyûthi, Jalâl al-Din. al-Mujtabâ. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995 Al-Syâthibî. al-I‘tishâm. Beirut: Dâr al-Tsaqâfah al-Islamiyah. tt. Al-Syawkânî. Irsyâd al-Fuhûl. Beirut: Dâr al-Fikr. tt. Al-Turmudzî. Sunan Al-Turmudzî. Beirut: Dâr al-Fikr. 1995. Al-Zuhayli, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islâmî. Beirut: Dâr al-Fikr 1986.

242

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2001. Al-Hanafi, Muhammad al-Hâdî, Abî al-Hasan. Sunan al-Musthafâ. Beirut: Dâr alFikr, tt. Ibn ‘Alân al-Shadîqî al-Syafi’I al-Asy‘arî al-Makî, Muhammad. Dalil al-Fâlihîn. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad Ahmad Ibn Hanbal. Beirut: Dâr al-Fikr. 1978. Ibn Syaykh al-Hijazî al-Faznî, Ahmad. al-Majâlis al-Saniyyah. Indonesia: Dar alihya’ al-Kutub al-Arâbiyyah. tt. Ilyas Masudi, Yanuar Dalam Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits. yogyakarta: LIPI 1996 Izzuddin Abd Azîz, Abi Muhammad. Qawâid al-Ahkam. Beirut: Dâr al-Kutub al’Amaliyah. 1999. Khalâf, ‘Abd Wahhâb. ‘Ilmu Ushûl Fiqh Wa Khalâshah Tarîh al-Tasyri’ al-Islâmî. Beirut: Dâr al-Fikr. tt. Al-Khatîb Muhammad, ‘Ajâj, al-Sunnah Qabl al-Tadwîn. Beirut: Dâr al-Fikr. 1993. Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, 60, Juni- September, 2000. Muslim, al- Hajjâj al-Naysaburi. Shahîh Muslîm. Beirut: Dâr al- Fikr, 1991 Nasution, Hasymsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media. 1999. Rahman, Fazlur. dkk. Wacana studi Hadits Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Ma’luf, Sari Publiser, Dar el-Machreg. al-Munjid. Beirut: Riyadl Shulh. 2003 Wensinck, A.J. Al- Mu’jam al- Mufahras. Leiden: Brill, 1936 Zakariyya, Abî Yahyâ. Fath al-‘Alâm bi Syarh al-‘Ilam bi al- Hadîts al-Ahkâm Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah. 1990. Al-Zarqa Musthafa, Ahmad. al-Madkhal al-Fiqh al-‘Ăm. Beirut: Dâr al-Fikr. 2000.