BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bangsa
Indonesia
adalah
bangsa
yang multi
bahasa.
Disamping
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, mereka juga menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya orang Indonesia memulai hidup mereka dengan menguasai satu bahasa daerah. Di beberapa daerah, banyak yang menggunakan lebih dari dua bahasa.
Mereka
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam situasi dan fungsi yang berbeda-beda. Situasi seperti di atas telah terjadi dalam berbagai situasi. Situasi ini dapat menyebabkan
berbagai
macam
fenomena–fenomena
bahasa,
seperti
:
bilingualisme, diglosia, alih kode, interferensi, konvergensi, pergeseran bahasa , pemertahanan bahasa dan lain-lain. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk melakukan penelitian terhadap fenomena-fenomena bahasa tersebut. Studi
tentang fenomena
penggunaan
bahasa
berhubungan
dengan
sosiolinguistik. Salah satu bagian dari sosiolinguistik yang membahas tentang perubahan bahasa dalam masyarakat adalah pergeseran bahasa (language shift) dan pemertahanan bahasa (language maintenance). Pergeseran dan pemertahanan bahasa berfokus pada fenomena apakah sebuah kelompok pengguna bahasa mengganti bahasa mereka pada bahasa lain atau mereka tetap menggunakan
1
2
bahasa mereka.
Fasold (1984:215) menyatakan bahwa, dalam pemertahanan
bahasa, komunitas bahasa secara kolektif memutuskan untuk melanjutkan penggunaan
bahasa
yang secara turun temurun mereka gunakan.
Ketika
komunitas bahasa mulai memilih sebuah bahasa baru untuk menggantikan bahasa mereka sebelumnya, hal tersebut merupakan tanda bahwa fenomena pergeseran bahasa (language shift) sedang dalam proses perkembangan.Selanjutnya, untuk menambah
penjelasan
mengenai
pergeseran
bahasa,
Fasold
(1984:214)
menjelaskan bahwa: jika kalangan generasi tua lebih cendrung menggunakan satu bahasa
sedangkan
kalangan generasi muda lebih cenderung menggunakan
bahasa yang berbeda, hal ini merupakan indikasi dari pergeseran. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tentang pergeseranbahasa, kita dapat menyatakan bahwa pergeseran bahasa mulai terjadi ketika generasi muda dari suatu masyarakat mencoba menggantikan bahasa mereka dengan bahasa yang baru dan meninggalkan bahasa yang digunakan oleh orang tua mereka. Pada pihak lain, pemertahanan bahasa terjadi ketika hampir semua anggota komunitas bahasa tetap menggunakan bahasa ibu (mother tongue) mereka. Saat ini, ada 6.912 bahasa yang digunakan oleh masyarakat dunia (Grimes dalam ethnologue 15th edition). Kemudian, sebuah perkiraan menyatakan bahwa hanya akan tersisa 600 bahasa di muka bumi ini (Bathula:2004). Dan laporan UNESCO (Kaswanti Purwa 2000; Lauder 2001) disebutkan bahwa setiap tahun ada sepuluh bahasa yang mati. Dan yang terbaru, Erick (2006) menyatakan bahwa bahasa di dunia telah meningkat tingkat kepunahannya setiap tahun dan diprediksi 3000 bahasa dunia akan punah sampai 100 tahun mendatang
3
Selanjutnya dalam konteks Indonesia, Machmoed (2008) menyatakan bahwa telah terasakan sekarang ini bahwa bahasa lokal minoritas (daerah) mulai terpojok oleh deras arus dan himpitan pengindonesiaan dan ditambah lagi dengan hempasan globalisasi. Selanjutnya, telah banyak peristiwa dimana generasi muda meninggalkan bahasa daerah mereka. Oleh karena itu, banyak bahasa daerah di Indonesia menjadi bahasa mati. Pernyataan tersebut memberikan rasa khawatir yang besar terhadap keberadaan bahasa-bahasa daerah kita yang merupakan kekayaan budaya bangsa. Sangat mungkin sekali, jika keadaan ini berlanjut terus menerus, maka generasi mendatang akan kehilangan seluruh bahasa daerah. Selanjutnya, kita akan kehilangan kebanggaan kita sebagai bangsa yang berbhineka tunggal ika. Oleh karena itu, maka sangat dibutuhkan solusi-solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Cara untuk menyelesaikan persoalan kepunahan bahasa adalah dengan mengetahui penyebab kejadian tersebut: mengapa bahasa tersebut bisa hilang?. Dengan mengetahui penyebabnya diharapkan dapat ditanggulangi dengan mengambil solusi yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah kepunahan bahasa tersebut sesuai dengan faktor penyebab yang dihadapi dalam situasi pada bahasa yang bersangkutan. Selain itu, mengetahui bagian-bagian dan bentukbentuk dari bahasa tersebut yang mengalami pergeseran menjadi sangat penting, untuk memudahkan usaha pencegahan kepunahan bahasa tersebut.
4
Bahasa Wotu adalah salah satu contoh bahasa yang terancam punah di Sulawesi Selatan. Masyarakat etnis Wotu, yang tersebar di dua desa yaitu desa Lampenai dan desa Bawalipu, berjumlah sekitar 5.000 orang (sumber: Data Penduduk Kecamatan Wotu), sedangkan jumlah penutur bahasa Wotu yang aktif sekitar 500. Saat ini menjadi semakin sedikit seiring dengan kematian generasi tua dan semakin jarangnya generasi usia sekolah yang menjadi penutur aktif bahasa Wotu ini. Generasi muda Wotu cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah lain seperti bahasa Bugis. Penggunaan bahasa Wotu pada masyarakat etnis Wotu mulai digantikan dengan bahasa Bugis dan bahasa Indonesia yang terlihat pada percakapan berikut ini. (1) Konteks : Percakapan antara penjual dan pembeli di pasar Wotu saat membeli ikan, dimana pembeli sebagai P1 dan penjual sebagai P2. P1 dan P2 adalah etnis Wotu. P1
: taksiagabete e tu ? /ta?siagabete e tu?/ Berapa harga ikannya ?
P2
:sapuluh ribu sapinra /sapulU ribU sapinra/ Sepuluh ribu satu piring/tempat
P1
: kasi ka dua tempat pale nah /kasi? ka? dua tәmpat pale? na/ Berikan saya dua tempat
5
(2) Konteks : Pada suatu pagi setelah semalam hujan lebat disertai angin. Seseorang datang berteriak mengatakan ada rumah yang hancur terkena angin. P3
: ancuru banuae tu lana angi !!! /ancurU? banUae tu lana aŋi / Hancur rumah itu terkena angin
Berdasarkan percakapan pada data (1), penggunaan bahasa Wotu terlihat dengan pengunaan kata bete, sapuludan sapinra. Selebihnya, pada percakapan tersebut menggunakan bahasa Bugis dan bahasa Indonesia yang telah terinterferensi oleh bahasa Bugis. Berdasarkan data tersebut, terlihat bagaimana bahasa Wotu digantikan penggunaannya dari segi leksikonnya. Padahal kedua penutur diatas merupakan penutur dengan latarbelakang etnis Wotu. selanjutnya pada data (2) terlihat interferensi bahasa Bugis terhadap bahasa Wotu. Hal tersebut terdapat pada kata /ancurU?/. Dalam bahasa Wotu, tidak terdapat konsonan pada suku kata terakhir pada setiap kata, jadi dalam bahasa Wotu kata tersebut akan diucapakan /ancurU/ tanpa menggunakan bunyi /?/ yang berasal dari bahasa Bugis. Selain percakapan tersebut, percakapan berikut juga memperlihatkan penggunaan bahasa Indonesia pada ranah keluarga dari etnis Wotu. (3) Konteks : percakapan antara ibu dan anak disebuah keluarga. Ibu dan anak tersebut berasal dari etnis Wotu. Ibu Anak Ibu Anak
: dimana ki nak? : makan ka mak? : o iyo, kasi masukko nanti motor le’? : iye’ sebentar mak.
6
Berdasarkan data (3) diatas seorang ibu yang bercakap dengan anaknya tidak lagi menggunakan bahasa Wotu. Padahal, seharusnya pada ranah keluarga bahasa ibu bisa digunakan, dalam hal ini bahasa Wotu. Namun, pada data diatas percakapan antara ibu dan anak tidak lagi menggunakan bahasa Wotu, melainkan bahasa Indonesia.. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian bidang sosiolinguistik dalam hal ini penggunaan bahasa Wotu, bahasa Bugis dan bahasa Indonesia pada 4 ranah yang ada di desa Lampenai dan desa Bawalipu. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi perlindungan terhadap bahasa minoritas di Indonesia khususnya bahasa Wotu sendiri. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka ditentukan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana wujud penggunaan bahasa Wotu, bahasa Bugis dan bahasa Indonesia pada berbagai ranah ? 2. Unsur-unsur bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat etnis Wotu ketika berkomunikasi ? 3. Apa faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap penggunaan bahasa Wotu, bahasa Bugis dan bahasa Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:
7
1. Mendeskripsikan wujud penggunaan bahasa Wotu, bahasa Bugis dan bahasa Indonesia pada berbagai ranah. 2. Menguraikan Unsur-unsur bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Wotu ketika berkomunikasi. 3. Menguraikan
faktor-faktor
yang
memberikan
kontribusi
terhadappenggunaan bahasa Wotu, bahasa Bugis dan bahasa Indonesia. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Untuk
memperkaya
penelitian
dan
pengembangan
ilmu
bidang
sosiolinguistik, khususnya pemertahanan dan pergeseran bahasa. 2. Memberikan kontribusi terhadap upaya perlindungan terhadap kepunahan salah satu karya budaya yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia yaitu bahasa Wotu. 3. Memberikan informasi mengenai situasi terkini salah satu bahasa minoritas dari segi sosiolinguistik, yaitu bahasa Wotu. 4. Inspirasi dan motivasi terhadap penelitian selanjutnya mengenai bahasa minoritas yang sudah hampir punah di Indonesia, yang jumlahnya sangat banyak tersebar di beberapa daerah di seluruh Indonesia. Selanjutnya diharapkan dapat terlakasananya perlindungan salah satu kebudayaan kita yakni bahasa yang memuat dan terkait dengan kekayaan nilai-nilai budaya Indonesia.
8
1.5. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai pergeseran bahasa telah banyak dilakukan sebelumnya. Salah satu
penelitian tentang pergeseran bahasa yang pertama yaitu yang
dilakukan oleh Susan Gal (1978). Gal melakukan penelitian terhadap pergeseran bahasa Hungaria oleh bahasa Jerman yang ada di Oberwart, Austria. Pada penelitiannya Gal menemukan bahwa pergeseran bahasa Hungaria ke bahasa Jerman awalnya dipengaruhi oleh kebocoran diglosia yang terjadi secara perlahan. Pada awalnya kedudukan bahasa Jerman berada diatas bahasa Hungaria atau disebut dengan bahasa H sedangkan bahasa Hungaria adalah bahasa rendah atau bahasa L. Bahasa Jerman hanya digunakan pada ranah-ranah resmi seperti pendidikan atau yang berkaitan dengan pemerintahan. Namun, semakin lama bahasa Jerman makin disukai karena menjadi identitas sosial yang tinggi, sehingga akhirnya penggunaan bahasa Jerman mulai meluas ke ranah yang semula memakai bahasa Hungaria. Akhirnya pada penelitianya tersebut, Gal menemukan bahwa pergeseran bahasa Hungaria disebabkan oleh disamping ada perbedaan prestise bahasa Jerman dan Hungaria, yang dikaitkan dengan tulis-menulis dan dengan orang-orang terdidik dari Hungaria, bahasa Hungaria yang dipakai di Oberwart juga tidak sesuai dengan bahasa Hungaria yang dipakai di Hungaria. Selain itu, gejala bahasa lainya yaitu peminjaman bentuk-bentuk bahasa Hungaria jarang dipakai jika penutur berbicara dalam bahasa Jerman, tetapi kata-kata dalam bahasa Jerman dengan bebas dipakai dalam bahasa Hungaria. Namun, pergeseran bahasa Hungaria tidak terlalu berarti, hal ini disebabkan karena masih adanya rasa
9
bangga yang ditunjukkan oleh para petani kecil di Oberwart saat menggunakan bahasa Hungaria yang juga merupakan lambang loyalitas kelompok mereka. Penelitian lainya mengenai pergeseran bahasa juga dilakukan oleh Dorian (1978). Penelitian Dorian ini dilakukan di wilayah Sutherland yang melibatkan bahasa Inggris (B2) dan bahasa Gaelik (B1). Penelitian yang dilakukan oleh Dorian ini memiliki hasil yang hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Gal di Oberwart. Beberapa kesamaan ditemukan pada situasi Oberwart dan Sutherland yaitu, (1) bahasa guyup kecil dapat hidup bersama dengan bahasa yang berstatus tinggi. (2) perubahan sosial dan ekonomi membawa para penutur bahasa dominan ke wilayah guyup kecil dan menambah kemungkinan dan keinginan untuk mengedintifikasikan
sebagai
warga
dari
kelompok
mayoritas.
Hal
ini
meningkatkan pemakaian bahasa mayoritas oleh penutur minoritas dan penggunaannya meluas ke ranah L yang biasanya memakai bahasa minoritas. (3) penutur usia tua merupakan penutur yang paling kuat dalam bahasa minoritas. (4) bahasa pendidikan adalah bahasa H. Dan yang terakhir (5) ragam lokal dari bahasa L merupakan lambang loyalitas etnik. Kedua penelitian mengenai pergeseran bahasa diatas tidak sampai pada kepunahan bahasa minoritas atau bahasa L. Namun, dalam kasus-kasus lain seperti yang dilaporkan oleh Danie (1987) dan Ayatrohaedi (1990) terdapat pergeseran bahasa yang menyebabkan punahnya suatu bahasa di tempat yang tadinya digunakan karena tidak ada lagi penuturnya, atau penuturnya secara drastis sudah sangat berkurang. Dalam penelitiannya di wilayah Minahasa Timur, Sulawesi Utara, Danie (1987) menemukan adanya bahasa daerah yang
10
pemakainya dan penuturnya sudah sangat menurun. Dalam penelitiannya Danie menemukan penyebabnya yaitu antara lain (a) bahasa Melayu Manado sudah lama berfungsi sebagai lingua franca di daerah itu, (b) bahasa Melayu Manado merupakan bahasa yang berprestise tinggi di daerah itu, (c) kebutuhan akan bahasa pengantar, bahasa Indonesia, bagi anak-anak untuk memasuki sekolah, (d) perkembangan bahasa Indonesia pada daerah itu mengakibatkan bahasa Melayu Manado semakin kuat, semua keluarga mengajarkan anak-anaknya berbahasa Indonesia, walaupun sebenarnya yang diajarkan adalah bahasa Melayu Manado, hal ini karena masyarakat disana beranggapan bahasa Melayu Manado itu sama dengan bahasa Indonesia. Pada penelitian tersebut, Danie memang tidak mengatakan bahwa bahasa di Minahasa tersebut telah punah, tetapi melihat faktafakta yang telah ditemukan oleh Danie, bahasa yang ada di Minahasa tersebut telah berada pada proses menuju kepunahan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ayatrohaedi (1990) dilaporkan sedang berlangsung proses kepunahan bahasa akibat pergeseran bahasa di Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat. Pada penelitiannya tersebut, Ayatrohaedi menemukan ada tiga kelompok bahasa yang ada didaerah tersebut, yaitu, pertama bahasa Sunda, yang digunakan oleh etnis Sunda yang menjadi petani dan karyawan, bahasa ini juga digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan sampai kelas tiga sekolah dasar. Bahasa kedua yaitu bahasa Jawa Cirebon, yang digunakam oleh para penyebar agama Islam dan pedagang pasar. Kemudian, bahasa yang ketiga adalah bahasa Indonesia yang digunakan oleh sekelompok kecil orang Arab, Pakistan dan India. Pada mulanya arah pergeseran bahasa pada daerah tersebut adalah ke
11
arah bahasa Jawa Cirebon, hal ini disebabkan karena sebagian besar anak-anak usia sekolah di daerah tersebut bersekolah di Cirebon. Namun, seiring dengan perkembangan waktu arah pergeseran bahasa di daerah tersebut mengarah ke bahasa Sunda, hal ini disebabkan karena perkembangan infrastruktur jalan menuju Bandung. Akibatnya, sesudah tiga puluh tahun kemudian, bahasa Jawa Cirebon, yang dulu terdengar digunakan oleh anak-anak dan pedangang dipasar tidak lagi terdengar. Menurut Ayatrohaedi dalam sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang bahasa Jawa Cirebon di Jatiwangi akan punah. Dari penelitian-penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa pergeseran bahasa ini diawali dengan terjadinya Diglosia dalam satu daerah. Pada saat terjadi Diglosia, bahasa-bahasa pada satu daerah masih menempati ranah masing-masing, sehingga penutur bahasa pada daerah tersebut harus melakukan code-switching atau pindah kode di ranah di mana bahasa tersebut digunakan. Namun, kemudian pergersaran bahasa dimulai saat salah satu bahasa mulai digunakan secara massif di ranah yang digunakan oleh bahasa lainnya, peristiwa ini yang disebut dengan kebocoran Diglosia. Seperti yang terjadi pada penelitian-penelitian diatas, bahasa yang awalanya hanya dipakai pada ranah pendidikan dan pekerjaan, atau ranah yang lebih berprestise, akhirnya juga dipakai pada ranah keluarga. Pada saat tersebutlah sebuah bahaasa mengalami pergeseran. Pergeseran bahasa yang membawa sebuah bahasa ke arah kepunahan terjadi ketika orang tua yang menggunakan bahasa tersebut tidak lagi mengajarkanya kepada anak-anak mereka, dan tentunya anak-anak tersebut juga tidak akan mengajarkan bahasa tersebut kepada keturunannya kelak.
12
Hal demikian juga diperkirakan terjadi pada bahasa Wotu. Penelitian tentang pergeseran bahasa Wotu belum banyak dilakukan. Salah satu peneliti yang melakukan penelitian tentang pergeseran bahasa pada bahasa Wotu adalah Masruddin (2009). Dalam penelitiannya Masruddin meneliti pergeseran bahasa Wotu beradasarkan sikap bahasa dari penutur bahasa Wotu. Dari hasil penelitiannya Masruddin menemukan bahwa bahasa Wotu telah mengalami pergeseran, dan pergeseran telah membawa bahasa Wotu di ambang kepunahan. Hal tersebut dibuktikan dengan sikap bahasa penutur bahasa Wotu yang lebih memilih menggunakan bahasa Bugis atau bahasa Indonesia dalam aktifitas seharihari, termasuk dalam ranah keakraban dan kekeluargaan. Penelitian yang dilakukan oleh Masruddin (2009) tersebut, mengilhami penelitian ini untuk meneliti lebih jauh tentang pergeseran bahasa Wotu. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, Jika penelitian yang dilakukan oleh Masruddin melihat dari sisi Sikap Bahasa, maka penelitian akan berfokus kepada bentukbentuk bahasa Wotu yang mengalami pergeseran serta faktor-faktor sosial yang berkontribusi dalam pergeseran bahasa Wotu. Jadi, penelitian ini nantinya akan melengkapi penelitian yang telah dilakukan oleh Masruddin, serta menambah dan memperbaharui informasi mengenai pergeseran bahasa di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Wotu.
13
1.6. Landasan Teori 1.6.1. Sosiolinguistik Sosiolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyrakat oleh sosioliogi (wardaugh, 1986:4; Holmes,1992:1; Hudson, 1996:2). bahasa dalam kajian Sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa dalam kajian linguistik teoritis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Istilah sosiolinguistik muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver C. Currie dalam Ditmar (1976:27) yang menyatakan perlu adanya kajian mengenai hubungan antara prilaku ujaran dan status sosial. Unsur-unsur yang dikaji sosiolinguistik yaitu menelaah hubungan bahasa dengan pemakainya, berkaitan erat pula dengan pemilihan bahasa. Sehingga untuk mengetahui bagaimana bentuk pola pemilihan bahasa yang dilakukan oleh suatu masyarakat tutur, maka komponen-komponen yang terlibat dalam peristiwa tutur itu merupakan landasan dari kajian ini. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kajian penggunaan bahasa pada sebuah masyarakat tutur menggunakan pendekatan kontekstual, khususnya dengan menggunakan konsep komponen tutur sebagai dasar ancangannya. Konsep komponen tutur yang dimaksud adalah yang dimunculkan oleh Dell Hymes. Hymes (1972:59-65) dalam tulisan yang berjudul „Models of Interaction of Language and Social Life’ telah menunjukkan adanya komponen tutur yang
14
dianggap berpengaruh terhadap pemilihan bahasa dalam bertutur. Hymes menyebutkan hal tersebut sebagai Component of Speech. Untuk memudahkan penghafalan komponen-komponen tutur itu Hymes merangkumnya dalam sebuah konsep akronim menjadi SPEAKING yakni: S (setting and scene), P (participants), E (end; purpose and goal), A (act sequences), K (key; tone or spirit of act), I (instrumentalities), N (norms of interactions), G (genres). Setiap tuturan atau ujaran manusia dalam berkomunikasi selalu erat kaitannya dengan kompenen tutur. Namun demikian tidaklah semua komponen tutur itu muncul sekaligus dalam sebuah tuturan. Hal demikian disebabkan karena memang setiap komponen tutur memiliki fungsi dan peran masing-masing yang tidak dapat disamakan dengan yang lainnya. Olehnya itu penelitian akan mengacu pada teori sosiolinguistik yakni suatu keterkaitan yang bersistem antara struktur bahasa dan struktur pemakaian bahasa. Dalam hal ini berarti bahwa sosilinguistik tidak hanya memfokuskan perhatiannya terhadap bahasa itu sendiri , tetapi juga memperhatikan tingkah laku verbal yang meliputi latar belakang sosial kemasyrakatan dan fungsi interaksi masyarakat. 1.6.2. Pemilihan Bahasa Berkenaan dengan pemilihan bahasa, selain pendekatan sosiologis seperti yang dilakukan oleh para ahli terdahulu yang bertumpu pada domain sosiologis, pendekatan psikologi sosial juga perlu dipertimbangkan.
Menurut Fasold
(1984:208), penelitian tentang pemilihan bahasa dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan disiplin ilmu, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial,
15
dan pendekatan antropologi, pendekatan psikologi sosial tidak meneliti struktur sosial, seperti ranah-ranah, tetapi meneliti proses-proses psikologi manusia seperti motivasi dalam pemilihan suatu bahasa atau ragam suatu bahasa untuk digunakan pada keadaan tertentu. Seperti yang telah dikemukakan oleh Chaer dan Agustina (2010:205), dalam kelompok masyarakat Indonesia yang aneka bahasa tampaknya pemilihan bahasa lebih ditentukan oleh latar belakang kejiwaan, termasuk motivasi para penuturnya. Dalam kaitannya dengan pemilihan bahasa, pada situasi tertentu dwibahasawan dapat saja melakukan campur koder (code mixing) atau alih kode (code switching) dari suatu bahasa ke bahasa lain karena adanya faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor yang dimaksud adalah seperti pembicara atau penutur, lawan tutur, perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, perubahan situasi dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan. Hymes (1974:351) mengemukakan bahwa alih kode itu dapat terjadi bukan hanya antar bahasa, melainkan juga variasi-variasi terhadap suatu bahasa. Berkenaan dengan pernyataan Hymes tersebut, apabila dikaitkan dengan situasi kedwibahasaan di Indonesia, alih kode dapat terjadi dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah atau sebaliknya dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah atau sebaliknya dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah. Namun, alih kode itu dapat pula terjadi dalam suatu bahasa, misalnya dalam DJ. Yaitu alih kode dari BJ rendah (ngoko) ke BJ tinggi (krama) atau sebaliknya.
16
Fishman (1972:112) mengemukakan bahwa pada umumnya pemilihan bahasa itu dalam masyarakat dwibahasa ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya, yaitu lokasi, situasi, dan topik pembicaraan. Sejalan dengan itu, oleh Kamaruddin (1992:42-43) disebutkan bahwa dalam pemilihan bahasa terdapat beberapa faktor yang harus diperhitungkan. Faktor-faktor itu berhubungan dengan peserta (partisipan) tutur, situasi, isi pembicaraan, dan fungsi interaksi. Pemilihan bahasa biasanya didasarkan kepada satu atau kombinasi beberapa faktor tersebut. Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa corak pemilihan bahasa peserta tutur juga berkaitan dengan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, latar belakang etnis, hubungan kekerabatan, dan hubungan kekuasaan. Peserta tutur dapat menjadi dasar kriteria pemilihan bahasa. Kemampuan bahasa peserta tutur merupakan salah satu pertimbangan dalam pemilihan bahasa termasuk dalam melakukan alih kode. Hal ini dimaksudkan untuk menginklusifkan para peserta tutur. Faktor situasi berkaitan dengan situasi sosial, ekonomi, tingkat kekerabatan, ada tidaknya pengaruh dari luar, atau tekanan sosial. Terhadap situasi sosial ekonomi, seseorang biasanya memilih bahasa tertentu (rendah) apabila berbicara kepada seseorang yang memiliki status ekonomi yang lebih rendah dari dirinya, begitupun sebaliknya, apabila berbicara kepada seseorang yang memiliki status sosial/ekonomi yang lebih tinggi, maka biasanya bahasa yang dipilih adalah bahasa tinggi pula. Tingkat keakraban (situasi akrab) juga merupakan salah satu faktor dalam pemilihan bahasa. Dalam konteks kedwibahasaan di Indonesia terhadap orang yang berasal dari suku atau bahasa yang sama (BD) biasanya seseorang lebih cenderung memilih BD di banding
17
dengan BI karena alasan lebih akrab. Orang yang belum akrab disapa dengan bahasa Indonesia, sedangkan dengan teman akrab disapa dengan bahasa daerah (Kamaruddin, 1992:43) Tekanan sosial juga mempengaruhi peserta tutur dalam pemilihan bahasa, seperti situasi di Filipina, bahasa nasional Filipina adalah bahasa Tagalog, tetapi tidak memainkan peranan sebagai bahasa nasional yang memainkan peranan itu adalah bahasa Inggris. Bahasa Inggris adalah bahasa asing bagi semua orang Filipina dan bahasa Inggris tidak bisa dipergunakan sebagai bahasa rendah untuk mengisi fungsi-fungsi bahasa daerah. Orang Filipina hanya mempunyai bahasa daerah yang bisa dipergunakan sebagai bahasa pergaulan atau bahasa untuk menjalin hubungan sosial. Apabila orang Filipina mencoba memilih bahasa Inggris dalam bergaul, dia dianggap sok, dan oleh karena itu dimaki-maki. Dengan demikian, ada semacam tekanan sosial yang memaksa orang Filipina menggunakan bahasa daerahnya. Faktor selanjutnya adalah topik pembicaraan, yaitu ada topik-topik tertentu cocok menggunakan bahasa tertentu. Apabila topik pembicaraan itu menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan teknologi, politik, ekonomi, dan atau bidang kehidupan modern lainnya biasanya dipilih bahasa yang dominan (ragam tinggi), tetapi kalau topik pembicaraan itu menyangkut kehidupan sehari-hari, tradisi, adat istiadat, pekerjaan (petani) biasanya digunakan BD (bahasa ibu). Kamaruddin (1992:118) mengemukakan bahwa pembicaraan tentang politik meningkatkan proporsi pemakaian BI. Hal ini tidak mengherankan karena
18
pembicaraan mengenai politik termasuk unsur kehidupan masyarakat yang berciri “kemodernan”. Hal kemodernan inilah yang menuntut pemakaian BI. Pemilihan bahasa dapat juga ditentukan berdasarkan fungsi interaksinya. Fungsi-fungsi tersebut dapat meningkatkan status penuturnya mengakomodiasi ekabahasawan,
baik
untuk
mengingklusifkan
seseorang
maupun
untuk
mengeksplisitkannya. Salah satu studi yang dilakukan oleh Laosa (dalam Fasold, 1984 ; 186), yang meneliti penggunaan bahasa Spanyol bagi anak-anak sekolah dasar dari tiga kelompok masyarakat penutur Spanyol di USA (Cuban Americans in Miami : Mexican Americans in Austin, Texas ; New York City Puetro Ricans) yang memfokuskan perhatiannya pada pemilihan bahasa antara bahasa Spanyol dan bahasa Inggris didalam tiga situasi yaitu, didalam keluarga (di rumah), didalam kelas, dan aktivitas rekreasi di sekolah. Laosa menemukan bahwa penggunaan bahasa Spanyol lebih sering digunakan dalam situasi keluarga, tetapi kurang digunakan dalam situasi kelas dan situasi aktivitas rekreasi di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa ranah keluarga merupakan ranah pemakaian bahasa pertama (bahasa ibu) yang paling utama. Dalam situasi kedwibahasaan di Indonesia tumpang tindih pemilihan bahasa berdasarkan ranah pemakaiannya masih sering dijumpai. Terhadap ranahranah formal, seperti di kantor, sekolah, atau situasi formal lainnya kadangkadang antara BI dan BD sering dipilih secara silih berganti, begitu pula sebaliknya, pada situasi yang akrab santai, atau pada situasi nonformal lainnya
19
antara kedua bahasa tersebut sering dipilih. Hal ini menunjukkan bahwa situasi kedwibahasaan pada umumnya di Indonesia belum stabil atau mantap, sehingga belum diperoleh gambaran yang jelas bagaimana situasi kontak bahasa antara BI dan BD. 1.6.3. Kedwibahasawan Istilah kedwibahasaan atau bilingualism, sering digunakan semakna dengan istilah multilingualisme. Mackey (1972:555) menyatakan bahwa konsep bilingualism telah mengalami perluasan makna. Namun Romaine (1995: 11) mengungkapkan bahwa istilah bilingualism adalah istilah untuk penggunaan dua bahasa saja. Para ahli telah banyak memberikan definisi tentang kedwibahasaan. Seperti Bloomfield (1995:54-55) yang berpendapat bahwa kedwibahasaan adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan kemampuan yang seimbang. Selanjutnya, Lado (1964) mengatakan bahwa kedwibahasaan adalah kemampuan menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya atau hampir sama baiknya.
Secara teknis mengacu kepada pengetahuan dua bahasa
bagaimanapun tingkat penguasaannya oleh seseorang. Selanjutnya, Abas (1983) mengemukakan bahwa kedwibahasaan dapat diartikan sebagai kemampuan dalam dua bahasa atau lebih. Lukman (2000) menyatakan bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang memiliki kemampuan di dalam dua bahasa atau lebih, atau minimal mempunyai kemampuan dalam bahasa kedua.
Jadi kita dapat
mengatakan bahwa ketika seseorang mampu berbicara atau mempunyai
20
kemampuan dalam menggunakan dua bahasa maka ia
bisa disebut sebagai
dwibahasawan. Dilain pihak Sesuai dengan pendapat Mackey (1972) dan kemudian diikuti oleh Yassi (2004) yang menyatakan bahwa bilingualism adalah penggunaan dua bahasa atau lebih, jadi bilingualisme itu juga telah mencakup istilah multilingualisme. Dalam hal ini, penulis menentukan sikap bahwa dalam penelitian ini istilah kedwibahasaan telah termasuk di dalamnya istilah multilingualisme. Bilingualisme dalam hal ini mengacu pada seseorang yang mampu menggunakan lebih dari satu atau dua bahasa. Jadi orang yang menguasai empat bahasa tetap bisa disebut bilingualisme. 1.6.4. Ranah Hal penting untuk bertahan atau punahnya sebuah bahasa haruslah dilihat dari penggunaannya dalam masyarakat saat ini. Penggunaan bahasa yang meluas pada berbagai ranah dan yang dilakukan oleh sebagian besar warga masyarakatnya, terutama golongan mudanya, merupakan gejala masih kuatnya pemertahanan bahasa itu (Sumarsono, 2013). Salah satu aspek yang penting dalam ranah ini adalah menyangkut pemilihan bahasa (language choice), yaitu dipilihnya bahasa tertentu dalam ranah tertentu pula. Ranah merupakan konstelasi antara topik, lokasi, dan partisipan. Suatu ranah dapat berupa ranah keluarga (family domain), misalnya. Jika seseorang berbicara di rumah dengan anggota keluarga yang lain dengan topik mengenai kehidupan sehari-hari, itu biasanya disebut ranah keluarga (Lukman,2000).
21
Analisis ranah juga berhubungan dengan diglosia dan beberapa ranah dapat bersifat lebih formal daripada yang lainnya. Dalam masyarakat yang mengenal diglosia bahasa rendah (low language) lebih sering digunakan pada ranah-ranah keluarga, sedangkan bahasa tinggi (high language) lebih sering digunakan pada ranah yang lebih bersifat formal, seperti ranah pendidikan dan pemerintahan. Berkaitan dengan bahasa rendah dan bahasa tinggi dalam konteks kebahasaan di Indonesia, BD biasanya ditempatkan sebagai bahasa rendah (low language) dan BI sebagai bahasa tinggi (high language). Hal ini disebabkan oleh fungsi kedua bahasa tersebut, BD dipakai pada hal-hal yang bersifat tidak resmi seperti dalam komunikasi antara sesama anggota keluarga, tetangga, pasar atau kegiatan-kegiatan sehari-hari lainnya. BI biasanya digunakan sebagai bahasa komunikasi resmi seperti pada lingkungan pendidikan dan pemerintahan (Lukman: 2000). Fishman (1972) sendiri menyebut empat ranah, yaitu ranah keluarga, ketetanggaan, kerja dan agama. Selain itu, Timm (1980) dalam penelitiannya tentang “Dwibahasawan Breton-French di Brittany”
menemukan enam belas
ranah, yaitu keluarga, tetangga, jalan, pasar, toko, warung, bar, pekerjaan tani, pekerjaan lain, Gereja, klub senior warga kota (senior citizen clubs), pesta-pesta perayaan masyarakat, lingkungan seltik (cercles caltiques), sekolah dan media siaran (radio dan televisi). Kamaruddin
(1992)
mengemukakan
bahwa
situasi
kedwibahasaan
membawa pengaruh pada pemakaian bahasa dalam berbagai ranah kehidupan
22
seperti : situasi kehidupan rumah, pasar, tempat kerja, dengan tetangga, tempat ibadah, sekolah, Puskesmas, kantor desa, kantor camat, kantor Bupati, dan kantor polisi. Selanjutnya dikemukakan bahwa pada ranah-ranah seperti situasi rumah, tempat kerja, menunjukkan angka rata-rata di atas 90%, sedangkan pada ranah pasar (73%), tempat ibadah (79,5%), dan kantor desa (50,5%). Selanjutnya, pada ranah-ranah sekolah, Puskesmas, kantor kecamatan, dan kantor tingkat persentase penggunaan BD dan BI tidak perlu jauh berbeda. Penggunaan BD, BI, maupun campuran antara BD dan BI, maupun campuran antara BD dan BI hanya berkisar (20 s.d. 40%). Kecuali untuk kantor polisi, penggunaan BI menempati persentase yang paling tinggi, yaitu 30%, di antara semua ranah yang telah disebutkan diatas. Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa BD masih merupakan bahasa komunikasi utama bagi masyarakat desa atau daerah di Sulawesi Selatan. Tingginya persentase pemakaian BD pada ranah-ranah tradisional (nonformal) merupakan suatu indikator bahwa BD masih tetap dipertahankan. Keadaan seperti itu menggambarkan bahwa BI sebagai (B2) yang pada umumnya sudah dikuasai oleh masyarakat termasuk masyarakat di pedesaan, belum dapat menggeser fungsi-fungsi BD. Selain ranah-ranah seperti diatas yang merupakan variabel-variabel penting dalam pemilihan bahasa, terdapat pula situasi atau keadaan tertentu yang menyebabkan dipilihnya suatu bahasa, seperti marah, bertengkar, bergurau, membujuk, dan lain-lain. Kamaruddin (1992) menyebutkan sejumlah situasi
23
tertentu yang menyebabkan dipilihnya suatu bahasa seperti, bermimpi, berdua, minta tolong kepada orang lain, bercerita, bernyanyi, dan berbicara politik. Berdasarkan hasil penelitiannya, terungkap bahwa pemakaian bahasa pada situasisituasi tersebut diatas didominasi oleh BD, yaitu (97,5%). Hanya sekitar (0,50%) yang menggunakan BI dan (2%) yang menggunakan campuran BD dan BI. Dalam kaitannya dengan pergeseran penggunaan bahasa, khususnya bahasabahasa daerah di Indonesia, fenomena seperti itu mulai tampak. Beberapa ranah yang dulunya diperankan oleh BD, sudah mulai diganti dengan BI, meskipun sering terjadi tumpang tindih yang pada ranah tertentu sifatnya formal (kantor) justru BD yang dipilih. Oleh sebab apa yang dinyatakan oleh Wolf via Masruddin (2009) bahwa manakala bahasa T dapat digunakan untuk menjalin keakraban dan hubungan sosial, maka terbuka jalan untuk bahasa T menggeser bahasa R. Hal ini sangat terasa terjadi dalam kehidupan masyarakat Wotu. Utamanya kaum muda, hampir di semua ranah mereka menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Bugis. Padahal sebelumnya pada banyak ranah itu, orang wotu menggunakan bahasa Wotu. Hal ini telah berlangsung bertahun-tahun. Sangat terasa pergeseran bahasa pada banyak ranah di daerah penutur bahasa Wotu. 1.6.5. Faktor-faktor Sosial dalam Pergeseran Penggunaan Bahasa Berkenaan dengan permasalahan bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat penuturnya, yang merupakan objek kajian Sosiolinguistik, Oetomo (1987)mengemukakan bahwa dalam mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat penuturunya terdapat tiga bidang utama yang lazim digolongkan
24
dalam sosiolingistik, yaitu (1) sosiologi bahasa, yang pada hakikatnya menelaah interaksi
dua
segi
perilaku
manusia,
yaitu
penggunaan
bahasa
dan
pengorganisasian bahasa oleh masyarakat, (2) berkenaan dengan pengkajian bahasa terhadap penggunaannya dalam konteks sosial budaya, dan (3) berkenaan dengan struktur bahasa dan perkembangannya dalam konteks sosial masyarakat bahasa. Bidang-bidang kajian sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Oetomo diatas,
menunjukkan
bahwa
kajian
tentang
penggunaan
bahasa
dalam
hubungannya dengan masyarakat penuturnya sangat terkait dengan faktor-faktor sosial dan budaya masyarakatnya. Adanya pola-pola sosial dan budaya yang beragam dalam suatu masyarakat menyebabkan variasi pilihan bahasa dalam masyarakat turut beragam. Taha
(1985)
mengemukakan
bahwa
sosiolinguistik
menempatkan
kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai dan pemakaiannya didalam masyarakat. Ini berarti bahwa Sosiolinguistik, pertama-tama memandang bahasa sebagai sesuatu sistem sosial dan sistem komunikasi, yang merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan. Bahasa sebagai sistem sosial, pemakaiannya tidak semata-mata ditentukan oleh faktor linguistik, tetapi juga faktor-faktor sosial. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa mencakup, antara lain, status sosial, kedudukan sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jabatan atau pekerjaan, dan keanggotaan seseorang dalam suatu jaringan sosial tertentu.
25
Bell (1976) mengemukakan bahwa ada asumsi penting di dalam sosiolinguistik
yang menyatakan bahwa bahasa itu tidak pernah monolitik ;
bahasa tidak pernah tunggal karena bahasa itu selalu mempunyai ragam atau varian. Asumsi
ini
mengimplisitkan bahwa Sosiolinguistik
memandang
masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam, setidak-tidaknya dalam hal penggunaan atau pemilihan ragam bahasa mereka. Hal senada juga dikemukakan oleh Fasold (1984) dengan konsep societal multingualism yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat beberapa bahasa. Bahkan dia berani mengatakan bahwa Sosiolinguistik itu ada karena ada pilihan-pilihan dalam penggunaan bahasa. Adanya ragam dan variasi bahasa yang tersedia dalam masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh Bell dan Fasold diatas, mengisyaratkan yang dikemukakan oleh Bell dan Fasold diatas, mengisyaratkan bahwa individu atau kelompok sebagai anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk memilih satu atau lebih dari bahasa yang tersedia. Namun, pemilihan bahasa pada umumnya sangat bergantung pada faktor-faktor sosial dan faktor-faktor situasional seperti yang dikemukakan oleh Oetomo dan Taha. Cahyono (1995) mengemukakan bahwa dua orang yang dibesarkan dalam lingkungan geografis yang sama, memiliki cara berbicara yang berbeda karena sejumlah faktor sosial. Aspek sosial bahasa itu perlu diperhatikan karena menunjukkan identitas sosial dan keanggotaan kelompok sosial atau masyarakat bahasa yang berbeda. Dalam hubungannya dengan aspek sosial itu, penelitian tentang variasi bahasa biasanya juga mengandung usaha untuk mendeskripsikan
26
latar belakang penutur bahasa. Hasil penelitian itu dapat digunakan untuk mengetahui dialek sosial. Dialek sosial ialah variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat menurut lapisan masyarakat, tingkat pendidikan, kedudukan dalam masyarakat, usia, jenis kelamin, dan beberapa acuan yang lain. Penggunaan bahasa berdasarkan tingkatan sosial dalam masyarakat dapat dijumpai dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan istilah undak usuk bahasa. Sehubungan dengan undak usuk itu, bahasa jawa dibedakan atas dua tingkatan yaitu, krama untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah. Suwito (1983) mengemukakan contoh penggunaan bahasa Jawa dalam bentuk dialog antara si penanya dan si penjawab. Kalau si penanya mempunyai status sosial yang lebih rendah dari si penjawab. Kalau si penjawab, maka biasanya digunakan bentuk krama, sedangkan si penjawab menggunakan ngoko : kalau si penanya mempunyai status sosial lebih tinggi dari si penjawab, maka dia menggunakan bentuk ngoko, sedangkan si penjawab menggunakan bentuk krama ; kalau status sosial penanya dan penjawab sederajat, maka kalau si penanya menggunakan bentuk krama, si penjawab pun harus menggunakan bentuk krama. Tingkah laku kebahasaan para anggota suatu masyarakat bahasa ditentukan oleh berbagai faktor sosial yang timbul dalam masyarakat itu. Tampubolon (1983) telah mengutip definisi Sosiolinguistik dari Fishman yang mengatakan bahwa faktor-faktor sosial itu terutama adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, status kawin, hubungan kekeluargaan, kedudukan (jabatan) status ekonomi, peristiwa sosial, tempat, waktu, topik, tujuan, dan tingkat keakraban. Keragaman tingkah laku kebahasaan disebabkan oleh faktor-faktor sosial diatas mempengaruhi
27
struktur bahasa yang dipergunakan dan dengan demikian, muncullah berbagai ragam dalam bahasa yang bersangkutan. Selanjutnya, dia juga mengemukakan bahwa ragam-ragam sosial suatu bahasa mencerminkan struktur masyarakat yang bersangkutan. Dia menunjukkan bahwa BJ merupakan salah satu contoh yang baik sekali sebagai objek studi tentang ragam-ragam sosial. Sistem sapaan dalam berbagai bahasa seperti contoh dalam BJ diatas, menunjukkan keterlibatan faktor-faktor sosial dalam suatu konteks pertuturan. Tampubolon (1983) membedakan dua sistem sapaan, yaitu sistem asimetris dan sistem sapaan simetris. Sistem asimetris biasanya ditemukan dalam masyarakat feodalistis dan masyarakat yang beriorentasi pada hubungan kekeluargaan. Sebaliknya, sistem sapaan simetris terdapat pada umumnya dalam masyarakat egolitaria. Namun, penggunaan salah satu sistem ini secara murni jarang ada. Kenyataannya dalam masyarakat modern kedua sistem ini dipakai. Faktor umur, jenis kelamin, jabatan, dan hubungan kekeluargaan pada umumnya menjadi penyebab pemakaian sistem asimetris. Mattulada (1983) dalam penelitiannya mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam pembangunan masyarakat desa yang berlokasi di empat desa di Sulawesi Selatan, yaitu desa Bontonompo, desa Banyorang, desa Kambuno, dan desa Cabengnge mengungkapkan bahwa warga desa yang menggunakan bahasa Indonesia lebih banyak dalam arti intensitas penggunaannya lebih tinggi daripada penggunaan BD-nya sendiri dalam kehidupan mereka sehari-hari, baik di rumah maupun didalam masyarakat. Hal itu terjadi (menurut dia) karena tiga hal, yakni : (1) pengalaman mobilitas seseorang, (2) tingkat pendidikan, dan (3) adanya rasa
28
bangga menempatkan
BI sebagai
simbol
kemajuan. Selanjutnya,
juga
dikemukakan bahwa tingkat pendidikan formal masa kanak-kanak dapat juga dipandang sebagai faktor penting untuk memungkinkan seseorang menggunakan BI lebih banyak dengan kemampuan yang lebih tinggi. Semakin tinggi kemampuan
mereka
menggunakan
bahasa
nasional,
semakin
banyak
menggunakan BI daripada BD mereka sendiri. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula intensitas penggunaan BI-nya. Hal ini tentunya berkorelasi pula dengan penggunaan BI-nya. Situasi seperti ini apabila dikaitkan dengan pemertahanan BD, maka pemertahanan BD menjadi lemah.Keadaan diatas menunjukkan bahwa faktor pendidikan merupakan salah satu faktor yang cukup penting disamping faktorfaktor lain seperti, jenis kelamin, dan mobilitas penduduk karena biasanya faktorfaktor tersebut terkait satu sama lain dalam diri seseorang. Faktor sosial lain yang penting dalam pergeseran bahasa adalah pola perkawinan. Steven (1985) menyatakan bahwa berdasarkan penelitiannya pada pola perkawinan silang antara penutur bahasa Inggris dengan non English telah menghasilkan generasi yang tidak mengenal bahasa yang non-English. Mereka hanya menjadi monolingual bahasa Inggris. Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Yamamoto (2005) mengenai perkawinan silang antara JapaneseFilifino, dimana ia menyatakan bahwa bahasa yang banyak digunkan pada keluarga ini adalah bahasa Jepang dibandingkan dengan bahasa Filifina. Hal ini memungkinkan faktor pola perkawinan silang orang Wotu menjadi salah satu faktor sosial utama yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa.
29
1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Pengumpulan Data Pada pengumpulan data mengenai penggunaan bahasa Wotu, bahasa Bugis dan bahasa Indonesia ini digunakan dua metode pengumpulan data yaitu metode simak dengan teknik simak libat cakap atau observasi berpartisipasi dan metode cakap dengan teknik wawancara langsung. Hasil dari kedua metode beserta teknik-tekniknya tersebut yang kemudian akan dianalisis. Metode simak digunakan untuk mengumpulkan data tuturan langsung dari penutur bahasa Wotu. hal ini dilakukan untuk melihat bentuk-bentuk dan unsurunsur bahasa Wotu yang mengalami pergeseran serta melihat bahasa apa saja yang mempengaruhi pergeseran tersebut. Dalam proses observasi peneliti akan melakukan pengamatan dan terlibat langsung dalam interaksi sosial dan interaksi verbal yang
terjadi
diantara masyarakat Wotu.
Ranah-ranah yang akan
diobservasi langsung antara lain: keluarga, ketetanggaaan, pasar, keagamaan dan kehidupan sosial lainnya. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data ini yaitu berupa recorder yang berguna setiap tuturan yang ada, selain itu peneliti akan mencatat setiap tuturan yang ada. Kemudian, metode cakap digunakan untuk memverifikasi dan melengkapi data dari metode simak. Melalui wawancara akan diajukan sejumlah pertanyaan sebagai langkah verfikasi data. Wawancara dilakukan terhadap para pemangku adat Wotu sekaligus sebagai penutur bahasa Wotu berdasarkan jenis kelamin, kelompok umur, tingkat pendidikan, dan profesi.
30
1.7.2. Analisis Data Setelah data dikumpulkan selanjutnya yang akan dilakukan adalah menganalisis data. Data yang dikumpulkan dengan metode simak dengan teknik simak libat cakap atau observasi langsung akan dianalisis dengan melihat bentukbentuk dan unsur-unsur bahasa tuturan yang mendapat pengaruh atau mengalami pergeseran. Jadi dalam hal ini penulis akan melihat apakah bahasa Wotu telah mengalami pergeseran dari segi fonem-fonemnya, morfem-morfemnya, leksikonleksikonnya, sintaksis atau struktur bahasanya sampai pada tataran kalimat dalam setiap ranah yang berbeda. Pergesaran tersebut kemudian dianalisis dengan membandingkan
bahasa
Wotu
dengan
bahasa
yang
diperkirakan
mempengaruhinya, dalam hal ini bahasa Bugis dan bahasa Indonesia. Pada tahap analisis selanjutnya akan diperkuat lagi dengan mengambil data dari hasil wawancara. Data dari hasil wawancara ini akan dianalisis untuk melihat faktorfaktor sosial apa yang berkontribusi dalam pergeseran bahasa Wotu. 1.8. Sistematika Penyajian Penyajian hasil penelelitian ini nantinya akan dibagi menjadi lima bab. Bab-bab tersebut terdiri dari. (a) Bab I Pendahuluan. Pada bab ini terdiri dari Latarbelakang masalah yaitu merupakan permasalahan dan alasan yang melatari peneliti melakukan penelitian tersebut. Selain itu juga terdapat Rumusan Masalah yang berupa pertanyaan-pertanyaan penelitian yang didasari dari permasalahan yang terdapat pada Latarbelakang. Kemudian terdapat juga Tujuan Penelitian yang merupakan jawaban dari Rumusan Masalah sebelumnya. Selanjutya yaitu
31
manfaat penelitian yang terdiri manfaat apa saja yang akan diperoleh baik manfaat teoritis ataupun manfaat praktis.Dalam bab ini juga terdapat Tinjauan Pustaka yaitu penelitian-penelitian terdahulu yang juga membahasa atau meneliti permasalahan pergeseran bahasa seperti pada penelitian ini. Kemudian pada bab ini juga terdapat Landasan Teori yaitu kerangka berpikir yang digunakan dalam memecahkan masalah yang berkenaan dengan topik atau objek penelitian. Kemudian yang terakhir pada bab ini juga dipaparkan metode-metode beserta teknik-teknik yang digunakan mulai dari pengumpulan data sampai dengan menganalisis data. (b) Bab II wujud penggunaan bahasa Wotu, bahasa Bugis dan bahasa Indonesia pada berbagai ranah. Pada bab ini mula-mula akan dibahas mengenai bahasa-bahasa apa aja yang ada di kecamatan Wotu, kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kemudian, pada bab ini juga akan membahas mengenai kedudukan setiap bahasa tersebut dalam berbagai ranah. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan wujud penggunaan bahasa Wotu, bahasa Bugis dan bahasa Indonesia pada berbagai ranah. (c) Bab IIIUnsur-unsur bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Wotu ketika berkomunikasi.Bab ini berisi pemaparan analisis data-data secara detail, dari data-data yang telah diperoleh saat pengumpulan data. Pada bab ini juga akan dipaparkan hasil-hasil yang diperoleh dari analisis yang dilakukan. Pada pembahasan ini akan difokuskan pada penjelasan jawaban pada rumusan masalah yang pertama yaitu mengenai unsurunsur bahasa Wotu yang mengalami pergeseran. (d) Bab IV faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap penggunaan bahasa Wotu, bahasa Bugis dan bahasa Indonesia. Pada bab ini akan menguraikan faktor-faktor sosial yang
32
berkontribusi terhadap pergeseran penggunaan bahasa Wotu. (e) Bab V Kesimpulan. Bab ini berisi kesimpulan dari hasi analsis data yang terdapat pada Bab-bab Pembahasan. Hal ini didasari oleh pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada penelitian masalah.