BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia. Sebelum mengenal bahasa Indonesia sebagian besar bangsa Indonesia mempelajari dan menggunakan bahasa daerah dalam interaksi kehidupan masyarakat. Ucapan dan cara penyampaian ideide dipengaruhi kebiasaan yang lazim digunakan oleh masyarakat itu. Bahasa daerah tetap dipelihara oleh negara sebagai bagian kebudayaan yang hidup. Bahasa Karo, merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya dalam kehidupan berinteraksi seharihari. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai bahasa pertama dalam komunikasi sosial dari berbagai lapisan masyarakat Karo. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan yang universal mempunyai peranan penting sehingga melalui bahasa dapat dilihat tinggi rendahnya suatu bangsa. Komunikasi dengan menggunakan bahasa merupakan pemahaman dan pemberian respon yang kita berikan dapat berupa kalimat perintah, berita, pertanyaan, jawaban, dan lain-lain. Namun, ada orang yang beranggapan bahwa kompetensi penggunaan bahasa seakan-akan dicapai dengan sempurna melalui keturunan dan warisan saja. Pandangan ini keliru karena kemampuan penguasaan dan penggunaan bahasa harus melalui latihan-latihan baik mengenai pengucapan maupun mempergunakan bahasa dengan baik dan benar. Bahasa adalah alat komunikasi
Universitas Sumatera Utara
antar masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf 1984:16). Di lain pihak ada komunikasi dilakukan dengan tulisan. Hal tersebut berarti kompetensi menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan dan kemampuan memakai apa yang dicoba. Jadi, relevansi bahasa terhadap pemikiran manusia sangat erat sekali. Sesuai dengan kodrat manusia maka kerangka karangan pemikirannya tetap berkembang, sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya sehingga perkembangan bahasa juga ikut serta di dalamnya. Bukti yang nyata adalah ilmu pengetahuan dengan perkembangan tidak mungkin diterapkan tanpa bahasa. Tidak selamanya seseorang yang berbahasa itu dapat menganalisis suatu bahasa yang akurat, baik bahasa ibu yang sedang atau yang akan dipelajari. Ilmu kebahasaan yang dimiliki akan menolong penutur untuk menuturkannya sebagaimana dituturkan oleh penutur asli bahasa itu. Bahasa Karo yang kita ketahui terdiri atas beberapa dialek, di antara dialek tersebut masih berperan di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, misalnya dengan ucapan, kegiatan kemasyarakatan dan interaksi sosial berlangsung dengan menggunakan bahasa Karo, baik di tempat asal penutur di Kabupaten Karo maupun di daerah lainnya di tempat perantauan mereka. Bahasa Karo sebagai bahasa daerah terus berkembang dan berfungsi sebagai alat komunikasi, pendukung kebudayaan dan lambang identitas masyarakat
Karo.
Untuk
itu,
bahasa-bahasa
daerah
perlu
dibina
dan
dikembangkan. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 menyatakan bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang
Universitas Sumatera Utara
dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Batak Toba, Karo, Madura, Jawa, dan sebagainya). Bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara, juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Mengingat hal tertera di atas, di dalam politik bahasa Indonesia (Halim, 1984 : 22) bahwa dalam rangka merumuskan fungsi dan kedudukan bahasa daerah perlu dipertimbangkan hal-hal berikut : 1. Bahasa daerah tetap dibina dan dipelihara oleh masyarakat pemakainya, yang merupakan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945. 2. Bahasa daerah sebagai kekayaan budaya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bahasa nasional beserta untuk pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah itu sendiri. 3. Bahasa daerah tidak hanya berbeda dalam struktur kebahasaannya, tetapi juga berbeda jumlah penutur aslinya 4. Bahasa-bahasa tertentu dipakai sebagai alat penghubung baik lisan maupun tulis, sedangkan bahasa daerah dipakai secara lisan. Unsur-unsur bahasa dapat diteliti dari berbagai tinjauan tata bahasa seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Morfologi merupakan salah satu bidang linguistik yang membicarakan kata dengan pembentukannya. Pembentukan kata dalam bahasa Karo dilakukan dengan cara mempertemukan satu morfem dengan morfem lain. Morfem merupakan salah satu unsur bahasa yang bermakna dan berfungsi membentuk
Universitas Sumatera Utara
kata. Proses pembentukan kata yang dilakukan disebut proses morfologi. Proses morfologi meliputi afiksasi, reduplikasi, dan kompositum (pemajemukan). Penelitian terhadap reduplikasi pada ummnya hanya terbatas pada bentuk, fungsi, dan makna yang dianalisis secara sederhana dan belum tuntas terutama mengenai keproduktifan bentuk reduplikasi dengan arti tertentu tanpa melihat konteks terbentuknya reduplikasi tersebut, misalnya: Mandi-mandi Tidur-tiduran corat-coret pukul-pukulan tembak-tembakan gerak-gerik mondar-mandir makan-makan minum-minum bolak-balik Berdasarkan asumi bahwa reduplikasi morfologis bentuk terikat dan bentuk bebas bahasa Karo juga merupakan hasil dari bentukan para pemakainya atau penuturnya. Kemungkinan berbagai tipe bentuk reduplikasi pasti akan terbentuk, seiring kebutuhan penuturnya. Inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk mengadakan penelitian terhadap reduplikasi morfemis bentuk bebas dan bentuk terikat yang terdapat dalam bahasa Karo.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini akan mencari jawaban atas masalah penelitian yang dirumuskan sebagai berikut : 1.
Bagaimana tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan bentuk?
2.
Bagaimana arti reduplikasi morfemis bebas konteks bahasa Karo ?
3.
Bagaimana arti reduplikasi morfemis terikat konteks bahasa Karo ?
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan : 1.
Mendeskripsikan tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan bentuknya.
2.
Mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis bebas konteks dalam bahasa Karo.
3.
Mendeskripsikan arti reduplikasi morfemis terikat konteks dalam bahasa Karo.
1.4 Manfaat Penelitian Temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk : 1.
Sebagai bahan rujukan untuk bahan penelitian selanjutnya khususnya yang membahas reduplikasi morfemis terikat konteks dan bebas konteks.
2.
Sebagai sumber informasi atau rujukan untuk meningkatkan pemahaman tentang reduplikasi morfemis bebas konteks dan terikat konteks bagi peneliti bahasa-bahasa daerah.
3.
Melestarikan dan menghindarkan dari kepunahan sekaligus sebagai usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Karo.
1.5 Landasan Teori Dalam penelitian ini digunakan analisis struktur bahasa berdasarkan teori linguistik deskriptif struktural. Di antara penganut aliran ini Bloomfield (1953), Nida (1964), Chaer (1994), Samsuri (1978), Ramlan (1987), dan Simatupang (1983). Mereka berprinsip bahwa kajian atau telaah bahasa harus bersifat deskriptif. Artinya, telaah itu berdasarkan bahasa yang diteliti sebagaimana adanya dan bukan yang semestinya ada.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan sinkronis, yaitu menjelaskan atau memerikan tipe-tipe reduplikasi morfologi bahasa Karo yang ada saat ini. Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam reduplikasi morfemis bahasa Karo. Untuk itu, buktibukti reduplikasi didefinisikan dan dibandingkan guna melihat pola-polanya. Untuk mengetahui tipe-tipe reduplikasi dalam morfologis bahasa Karo maka diacu dari pendapat
Simatupang. Menurut
Simatupang (1983:57)
reduplikasi morfemis bahasa Indonesia dapat dibagi dalam beberapa tipe, yaitu 1)
Tipe R-1 (D + R) : rumah-rumah, pohon-pohon, perdebatan-perdebatan.
2)
Tipe R-2 (D + R) : bolak-balik, kelap-kelip, desas-desus, tindak-lanjut.
3)
Tipe R-3 ((D + R) + ber-) : berlari-lari, berteriak-teriak, bercakap-cakap
4)
Tipe R-4 ((D + R) + ber-/-an): bersalam-salaman (salam-salaman), berpacar-pacaran (pacar-pacaran).
5)
Tipe R-5 (D + (R + ber-)) : anak-beranak, adik-beradik, kait-berkait, gantiberganti.
6)
Tipe R-6 ((D + R) + meN-) : melompat-lompat, membawa-bawa, melihatlihat, membaca-baca, termasuk juga dalam tipe ini: terbatuk-batuk, terbiritbirit.
7)
Tipe R-7 (D + (R + meN-)) : pukul-memukul, tolong-menolong, bantuMembantu, kait-mengait.
8)
Tipe R-8 (D + (R + meN-/-i)): hormat-menghormati, cinta-mencintai, dahulu-mendahului
9)
Tipe R-9 ((D + R) + meN-/-kan): menggerak-gerakan, melambai-lambaikan, membagi-bagikan.
Universitas Sumatera Utara
10)
Tipe R-10 ((D + R) + meN-/-i): menghalang-halangi, menakut-nakuti, menutup-nutupi
11)
Tipe R-11 ((D + R) + se-/-nya): setinggi-tinggi(-nya), sekuat-kuat(-nya), seberat-berat(-nya).
12)
Tipe R-12 ((D + R) + ke-/-(-nya)): ketiga-tiga(-nya), keenam-enam(-nya), kedua-dua(-nya)
13)
Tipe R-13 ((D + R) + ke-/-an) : kehitam-hitaman, kehijau-hijauan, keputihputihan. Bentuk ini hanya terbatas pada kata sifat yang tidak memiliki antonim. (tidak ditemukan bentuk kekering-keringan, kebaru-baruan).
14)
Tipe R-14 ((D + R) + -an) : rumah-rumahan, kapal-kapalan, untunguntungan, koboi-koboian.
15)
Tipe R-15 (D + (R + -em-)) : kilau-kemilau, taram-temaram, tali-temali, turun-temurun.
16)
Tipe R-16 (D + Rp) : tetangga, lelaki, leluhur, seseorang, beberapa, sesuatu, sesekali.
17)
Reduplikasi semantik, yaitu proses pengulangan arti melalui penggabungan dua bentuk yang bersinonim: cerdik-pandai, arif-bijaksana, tutur-kata, semak-belukar.
18)
Bentuk-bentuk residu (bentuk yang sangat terbatas): hal-ihwal, adat-istiadat, alim-ulama, sebab-musabab. Meskipun tipe reduplikasi yang dikemukakan
Simatupang (1983: 137)
tampaknya cukup banyak, pada dasarnya ia menggolongkan reduplikasi atas tiga macam juga, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi berimbuhan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan fungsinya reduplikasi dapat dibagi menjadi: a.
Reduplikasi paradigmatis, yaitu reduplikasi yang tidak mengubah kelas kata maupun identitas kata: rumah-rumah, guru-guru, anak-anak (menyatakan jamak).
b.
Reduplikasi
derivasional,
yaitu
reduplikasi
yang
mengubah
kelas/jenis/kategori kata, atau mengubah identitas kata: rumah-rumahan, buah-buahan, pukul-memukul, tindak-tanduk, gerak-gerik. Adapun berdasarkan ada atau tidaknya unsur pengikat sintaksis, reduplikasi dapat dibagi menjadi dua yaitu a. Reduplikasi bebas konteks, yaitu reduplikasi yang artinya sudah dapat ditentukan tanpa memperhitungkan konteksnya: tidur-tiduran (tidur-tidur). b. Reduplikasi terikat konteks, yaitu reduplikasi yang artinya baru dapat ditentukan dengan memperhitungkan konteksnya: 1) Sudah dua malam kami tak tidur-tidur 2) Jagalah adiknya itu baik-baik Untuk menentukan identitas kata, sama halnya dengan afiksasi, dapat ditempuh tiga cara (tes) yang dikemukakan Verhaar (1985), yaitu melalui (1) tes keanggotaan kategorial kata, (2) tes dikomposisi leksikal, dan (3) tes struktur sintaksis. Contoh: 1) a. Anak saya sudah bekerja. b. Anak-anak saya sudah bekerja. Dengan tes pertama sudah diketahui bahwa anak-anak sama jenis katanya dengan anak. Kesimpulannya ialah bahwa R adalah reduplikasi paradigmatik. 2) a. Saya melihat orang di sawah.
Universitas Sumatera Utara
b. Saya melihat orang-orangan di sawah. Meskipun dengan tes pertama dapat dibuktikan bahwa orang dan orangorangan tergolong ke dalam kelas yang sama, dengan tes kedua diketahui bahwa orang memiliki ciri semantis [+BERNYAWA], sedangkan orang-orang memiliki ciri semantis [+BERNYAWA]. Kesimpulannya ialah bahwa Reduplikasi di atas tergolong reduplikasi yang derivasional.
Universitas Sumatera Utara