BAB I PENDAHULUAN “ “Manusia adalah makhluk sosial”, bahwa “tiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya”, bahwa “kunci pengetahuan adalah logika”, dan “dasar pengetahuan adalah fakta”.” Aristoteles A. Latar Belakang
Tulisan ini bertujuan untuk memotret demokrasi deliberatif diaras lokal yang terbingkai dalam Musrenbang dalam ranah lokal desa. Dimana musyawarah rencana pembangunan dalam desa dilaksanakan baik dalam tingkatan-tingakatan lembaga masyarakat terkecil, tingkat padukuhan hingga musyawarah tingkat desa. Demokrasi merupakan elemen penting dalam kehidupan bernegara. Kekuasaan yang berada ditangan rakyat mutlak sebagaimana istilah demokrasi yang berarti government by the people atau rakyat yang berkuasa. Berangkat dari istilah Yunani, kata Demos berarti rakyat, kratos/ kratein berarti kekuasaan/ berkuasa. Perkembangan demokrasi kemudian tidak mampu menyesuaikan dengan bergulirnya zaman. Peran negara yang diutamakan untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan, menuntut negara untuk berperan aktif dalam berupaya menstabilkan taraf kehidupan warga negaranya. Oleh karena itu, demokrasi merupakan instrumen vital dalam mengokohkan kedaulatan bangsa, penting untuk dikaji agar mencapai tujuan bangsa dalam penyelenggaraan walfare state. Berakhirnya rezim otoritarian ala neo-feodalisme menempatkan rakyat sebagai kawula dibalik identitas bangsa yang merdeka. Euforia demokrasi perlahan mampu tampil kepermukaan, sebagaimana esensinya dalam menjunjung tinggi universalitas warganegara yang menekankan pada the rule of law dan menjunjung tinggi hak – hak asasi manusia. Bergulirnya masa reformasi
1998 kemudian melahirkan tampilan baru terhadap wajah demokrasi. Desentralisasi dan otonomisasi misalnya, mulai dilahirkan dalam tatanan pluralitas hierarki kekuasaan. Kebijakankebijakan otonomi daerah1 pasca kemerdekaan menjadi serentetan upaya terhadap penanaman demokrasi bahkan dalam ranah lokal. Sebab, bagaimanapun juga demokrasi merupakan bagian seni dalam memanfaatkan kekuasaan secara bijak, sehingga mampu menjadi instrumen maupun tools menuju masyarakat yang berkeadilan, berperikemanusiaan, berbagi dalam pluralitas, dan menyusun sinergi dalam memanifestasikan seluruh potensi.2 Hal tersebut kemudian menyimpulkan pada adanya strategi demokratisasi yang ditumbuhkan dalam struktur hierarki yang berangkat dari kewenangan terbawah sistem pemerintahan lokal. Desentralisasi dan demokrasi lokal terbangun sebagai bentuk tatanan baru yang mengedepankan prinsip transparansi, bersih dan akuntabel. Demokrasi lokal sendiri merupakan turunan dari good governance yang menempatkan desentralisasi sebagai penyebaran kewenangan yang diikuti oleh proses devolusi politik dalam prosedur demokrasi berupa Pemilihan Kepala Daerah langsung (Pilkada), sebagai simbol partisipasi publik yang mendorong kesadaran politik masyarakat ditingkat lokal.3 Selain peran masyarakat dalam penyelenggaraan Pilkada langsung, partisipasi publik diukur dalam sejauh mana keterlibatan masyarakat dalam berperan menentukan arah kebijakan yang ditetapkan dari pemerintah pusat sehingga menghasilkan kebijakan yang adil dan demokratis. Mengingat keputusan pemerintah dalam kebijakan yang didasari oleh peran serta
1
Kebijakan Otonomi daerah daerah yang riil dan seluas – luasnya yang dianut oleh NKRI yaitu semasa berlakunya Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 , Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 hingga UU Nomor 23 Tahun 2014. 2 Redi Panuju, Studi Politik: Oposisi dan Demokrasi, (Yogyakarta: Interpreebook).2011., hlm.5. 3 M. Faishal. Aminuddin, Globalisasi dan Neoliberalism: Pengaruh dan Dampaknya bagi Demokratisasi Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka).2009, hlm. 184.
masyarakat akan mendorong terjadinya suatu sinergi antar masyarakat dan pemerintah. Namun, realitas yang ditampilkan justru mengundang perhatian pemerintah terhadap koreksi-koreksi kebijakan yang diselenggarakan. Maka hal tersebut menjadi penting untuk mempertimbangkan terobosan-terobosan yang efektif dalam rangka pembentukan kebijakan yang optimal dan tanpa melakukan perubahan secara terus-menerus. Pentingnya partisipasi kemudian dimaknai Cleaver sebagai sebuah instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program yang lebih baik. Sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan, partisipasi memiliki peran sebagai proses untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas individu sehingga menghasilkan perubahan positif bagi mereka. 4 Analisa yang kemudian dilakukan ialah melalui identifikasi manifestasi deliberasi demokrasi yang direalisasikan melalui Musrenbang yang dilaksanakan dalam lokus wilayah desa Pandowoharjo. Dimana penerapan Musrenbang yang demokratis dan berkeadilan pun euforianya lahir dari terbitnya reformasi kebijakan pemerintahan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Beberapa hal yang menjadi latar belakang gencarnya Musrenbang di Desa Pandowoharjo, baik musyawarah
antar
lembaga
masyarakat
maupun
musyawarah
padukuhan
kemudian
menyimpulkan dinamika terhadap arus demokratisasi yang direalisasikan dalam masyarakat ditingkat lokal. Penulis akan mengedepankan esensi deliberative democracy dalam sebuah sistem pemerintahan lokal yang tumbuh dari bawah bukan atas dasar instruksi dari atas, yang lahir sebagai kesadaran masyarakat sosial yang partisipatif bukan atas dasar intervensi pemerintahnya. Dibangun melalui indikator penyelenggaraan musyawarah pembangunan ditiap-tiap kelompok kolektif masyarakat yang mendorong luasnya ruang publik khususnya dalam cerminan 4
E.L Rahim, Partisipasi dalam Prespektif Kebijakan Publik., dalam http://www.repository.ung.ac.id diakses Pada tanggal 27 Mei 2015.
partisipasi politik ditingkat lokal. Dalam potret Desa Pandowoharjo yang menjadi salah satu penyandang keberhasilan identitas Desa Wisata di Yogyakarta, tidak saja dilatarbelakangi oleh potensi-potensi pariwisata di daerah tersebut. Desa yang berada diwilayah Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini merupakan hasil penyatuan lima wilayah yang disebut sebagai Kalurahan Lama pada tahun 19465. Kalurahan Lama yang terdiri dari Kalurahan Jabung, Kalurahan Brayut, Kalurahan Tlacap, Kalurahan Majegan menyatu membentuk satu wilayah desa Pandowoharjo. Bentuk wilayah yang disebut sebagai Kalurahan Lama dikepalai oleh seorang Glondhong. Desa Pandowoharjo memiliki 22 Padukuhan yang dikepalai oleh seorang Kepala Dukuh yang dipilih langsung secara aklamasi oleh masyarakat. Bentuk perangkat desa dibidang keamanan dalam sistem Kalurahan Lama disebut dengan Jogoboyo. Kepala Desa pertama di Desa Pandowoharjo ialah Bapak Hardjosuwito yang hanya bertahan selama 6 bulan yang kemudian digantikan oleh Bapak Sugiyopranoto yang ditetapkan sebagai Kepala Desa seumur hidup. Pemilihan Kepala Desa pada saat itu dilaksanakan melalui ditunjuknya seorang tokoh oleh para tokoh – tokoh masyarakat yang dianggap berpengaruh pada saat itu. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan Desa Nomor 22 Tahun 1999 hingga amandemen terakhir dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Desa Pandowoharjo mampu menampilkan dinamika perkembangan yang signifikan terkait partisipasi penduduk baik dalam musyawarah mufakat hingga persoalan pembangunan diwilayah desa, baik tingkat padukuhan maupun kelompok kolektif masyarakat yang terbentuk ditengah masyarakat lokal terbawah dalam desa. 5
Hasil wawancara mengenai konteks lokal Desa Pandowoharjo kepada Bapak Margana, Kepala Bagian Kesejahteraan Masyarakat dan Pertanahan Desa. Pada tanggal 27 Juli 2015, berlokasi di Kantor Pemerintahan Desa Pandowoharjo.
Desa ini memiliki visi dan misi dalam membentuk desa yang berbasis wisata dan budaya. Proses pembentukan basis desa yang berpotensi wisata dan budaya lahir dari aktivitas musyawarah rencana pembangunan yang dilaksanakan secara berkala baik ditingkat dusun, RT/RW, karang taruna, kelompok tani hingga tingkatan musyawarah desa. Musrenbang yang dilaksanakan dalam semangat penyelenggaraan kebijakan baru pemerintahan desa, kemudian membuka peluang seluas-luasnya bagi desa dalam melaksanakan sistem pemerintahan hingga tercapainya pembangunan sebagaimana yang diinginkan. Dimana esensi Musrenbang berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Adapun hal yang bersifat strategis sebagaimana yang dimaksud ialah terkait; a) penataan Desa, b) perencanaan Desa, c) kerja sama Desa, d) rencana investasi yang masuk ke Desa, e) pembentukan BUM Desa, f) penambahan dan pelepasan Aset Desa, dan g) kejadian luar biasa.6 Musyawarah rencana dan pembangunan desa merupakan sebuah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan desa (stakeholders) untuk menyepakati Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) dalam tahuntahun anggaran yang direncanakan.7 Musrenbang bukanlah suatu perhelatan bagi daerah dalam menyelenggarakan pidato-pidato yang disampaikan oleh kepala daerah/desa terhadap masyarakatnya, bukan sekedar rangkaian acara silaturahmi yang melalui sesi-sesi seremonial 6
Lihat Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Bagian Keenam mengenai Musyawarah Desa Pasal 54 Ayat 1 dan 2. 7 Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), Panduan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa, (Canadian International Development Agency (CIDA) dan The Asia Foundation (TAF).2008, hlm.5
amtar masyarakat terhadap pemimpinnya. Namun, lebih jauh lagi rangkain Musrenbang diselenggarakan dalam rangka melahirkan partisipasi aktif warga masyarakat. Semangat musyawarah dan partisipatif mendorong musrenbang sebagai ajang bersahabat bagi warga masyarakat terutama kelompok miskin dan perempuan dalam menyuarakan aspirasi dan kebutuhannya. Berangkat dari lemahnya peran kelompok perempuan dan minoritas masyarakat miskin dalam proses penetapan prioritas program dan kegiatan pembangunan daerah menampilkan potret Musrenbang tanpa semangat musyawarah yang partisipatif dan dialogis. 8 Adapun prinsip musyawarah dalam penyelenggaraan Musrenbang Desa dimana peserta musyawarah memiliki keberagaman tingkat pendidikan, latar belakang, kelompok usia, jenis kelamin dan status sosialekonomi yang hadir baik dari kelompok perangkat desa yang ada maupun lapisan masyarakat yang terlibat. Perbedaan dan berbagai sudut pandang tersebut diharapkan menghasilkan keputusan terbaik bagi kepentingan masyarakat banyak dan desa diatas kepentingan individu atau golongan.9 Musrenbang di tingkat Desa aktif diperankan oleh pemerintah desa dan berbagai komponen warga yang membaur membentuk kolektifitas serta bekerjasama dalam memikirkan cara memajukan dan membangun desa hingga mencapai apa yang menjadi target kemajuan desanya. Adapun tujuan Musrenbang yang disimpulkan oleh Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) sebagai berikut,10
8
Ibid., hlm. vi. Ibid., hlm. 15. 10 Op.Cit., 9
1.
Menyepakati prioritas kebutuhan/ masalah dan kegiatan desa yang akan menjadi bahan penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Desa dengan bentuk pemilahan sedemikian, -
Prioritas kegiatan desa yang akan dilaksanakan oleh desa sendiri dan dibiayai melalui dana swadaya desa/ masyarakat;
-
Prioritas kegiatan desa yang akan dilaksanakan oleh desa sendiri yang dibiayai melalui Alokasi Dana Desa (ADD) yang berasal dari APBD kabupaten/kota atau sumber dana lainnya;
-
Prioritas masalah daerah yang ada di desa yang akan diusulkan melalui musrenbang kecamatan untuk menjadi kegiatan pemerintah daerah dan dibiayai oleh APBD Kabupaten/Kota atau APBD Provinsi.
2.
Menyepakati Tim Delegasi desa yang akan memaparkan persoalan daerah yang ada di desanya pada forum Musrenbang Kecamatan untuk penyusunan program pemerintah daerah/ SKPD tahun berikutnya. Menganalisa kembali esensi sebuah Musrenbang dalam melengkapi proses kemapanan
desa, beberapa penelitian yang mendahului pengulasan fenomena terkait maka peneliti kemudian menegaskan titik fokus pembahasan yang mengokohkan esensi tersebut. Pencapaian penelitian yang telah dilaksanakan oleh Artati Ajeng Nareswati melalui tulisannya yang berjudul Lensa Praksis Penyelenggaraan Musrenbangdes Desa Wonolelo Pleret Bantul Yogyakarta pada tahun 2011 menampilkan benang-benang merah dalam sisi pelaksanaan Musrenbangdes. Garis persoalan yang dihasilkan melalui identifikasi peneliti memaparkan sebuah persoalan pada realitas kecenderungan partisipasi yang didominasi oleh peran elit dalam proses Musrenbang di Desa Wonolelo. Hal yang mengindikasikan persoalan interaksi antar aktor yang kemudian
menjadi penanda atas hubungan kesepahaman hegemonik.11 Kecenderungan yang disimpulkan dalam mengidentifikasi proses Musrenbangdes tersebut ditujukan pada derajat tingkat partisipasi mengindikasikan pada proses konsultasi dan penentraman. Dimana secara umum partisipasi warga sudah tampak karena adanya aktivitas dialog dengan publik, yang berarti masyarakat memiliki hak untuk didengar pendapatnya meskipun pada akhirnya tidak terlibat secara langsung dalam forum penetapan dan pengusulan pembangunan. Kesimpulan lainnya yang menjadi titik tolak kajian penelitian ini pada hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Wawan Sutopo dalam Mewujudkan Good Village Governance, Analisis Isi Prinsip Transparansi, Responsivitas, Akuntabilitas dan Partisipasi Masyarakat dalam UU Nomor 6 Tahun 2014. Kajian kebijakan yang didasarkan pada implementasi deskriptif peneliti menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan desa masih memerlukan beberapa ketentuan pendukung yang mengarah terhadap penguatan peran serta masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa. Kemudian, analisa peneliti didukung oleh asumsi terhadap partisipasi masyarakat yang menjadi sarana mobilisasi pemerintah dalam menyukseskan program-program pembangunan desa yang diiringi oleh upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat desa. Analisa mengarahkan penelitian terhadap kajian implementasi yang didasarkan pada esensi dalam kandungan butir-butir pasal yang terkait isu khusunya dalam paparan UU Nomor 6 Tahun 2014. Kajian penelitian terakhir yang mendorong pentingnya partisipasi masyarakat dalam Musrenbangdes yang didasarkan pada konsep Deliberative Democracy ialah hasil analisa oleh 11
Hubungan kesepahaman hegemonik berdasarkan asumsi peneliti merupakan sebuah kondisi dimana masyarakat desa memilih untuk pasif terhadap berlangsungnya Musrenbangdes di Desa mereka dan menyerahkan segala urusan kepada elit – elit desa yang dipercaya dan dianggap memilki kompetensi dalam proses pembangunan desa khususnya secara sukarela.
Jason Kalopas dalam Implementasi Pengaturan Anggaran Desa Berbasis Musyawarah Perencanaan Pembangunan Studi Kasus di Desa Bakun dan Desa Buo Kecamatan Loloda Kabupaten Halmahera Barat pada tahun 2010. Benang merah terhadap proses kajian tersebut menampilkan kesimpulan terkait persoalan partisipasi masyarakat yang merupakan pemeran inti dalam proses penyelenggaraan Musrenbangdes tidak terwujud. Mengingat realitas mengarah pada pelaksanaan Musrenbangdes yang didasarkan pada kepentingan aparat pemerintah desa dan pihak kecamatan. Adapun minimnya partisipasi ditunjukkan pada terbatasnya peserta Musrenbangdes, dikecualikan terhadap klan – klan aparatur pemerintahan desa dan kecamatan sebagaimana kriteria kekeluargaan, satu organisasi politik dan lain sebagainya. Maka dinamika isu dalam persoalan pentingnya peran masyarakat sebagai elemen utama penyelenggaraan Musrenbangdes akan dikaji melalui implementasi proses keberlangsungan Musrenbang diaras terbawah kelompok atau lembga masyarakat hingga musyawarah padukuhan. Realitas penyelenggaraan musyawarah sebagai instrumen terhadap demokrasi deliberasi ini akan dikaji dalam sudut pandang implementasi yang telah berlangsung di Desa Pandowoharjo Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman Provinsi DI Yogyakarta. Menampilkan out sense atas kajian-kajian penelitian yang menggeneralisasi isu Musrenbang yang minim partisipatif, maka musyawarah rencana pembangunan keefektifannya dipengaruhi oleh arena musyawarah bahkan dalam kelompok-kelompok terkecil dalam masyarakat desa. Deliberasi demokrasi pada prosesnya hadir justru dalam forum-forum terkecil musyawarah yang menjadi bagian dari proses musyawarah rencana pembangunan di Desa Pandowoharjo. Dimana partisipasi masyarakat hadir dalam proses-proses rembug perencanaan pembangunan desa serta mempengaruhi proses deliberatifnya menuju Musyawarah Rencana
Pembangunan di Desa Pandowoharjo. Tingkat partisipasi yang berbeda dalam tiap-tiap forum pra pelaksanaan Musrenbang inilah kemudian dianalisa melalui derajat partisipasi sebagaimana yang diajukan oleh Sherry Arnstein sebagaimana identifikasinya dalam melihat kekuasaan yang didistribusikan antar masyarakat dengan pemerintah yang memiliki kadar partisipasi yang berbeda-beda. B. Rumusan Masalah Berkaitan dengan proses kajian terhadap manifestasi Musrenbangdes sebagai instrumen deliberative democracy terhadap optimalisasi partisipasi publik ditingkat lokal. Peneliti kemudian akan menguraikan analisa terhadap strategi tersebut berdasarkan studi manifestasi melalui rumusan masalah sebagai berikut, 1. Bagaimana implementasi konsepsi Deliberative Democracy dalam forum warga praMusrenbang di Desa Pandowoharjo Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta? 2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam forum warga dan forum Musrenbang di Desa Pandowoharjo? C. Tujuan Penelitian Berangkat dari penyelenggaraan otonomisasi dalam penjajakan kebijakan yang mengoptimalisasi keberhasilan terhadap desentralisasi lokal, mengantarkan peneliti dalam misimisi pencapaian tersebut. Beberapa tujuan utama dalam penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yang diajukan diantaranya sebagai berikut,
1. Penelitian ini akan mengidentifikasi inisiasi proses penyelenggaraan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), baik musyawarah pembangunan ditingkat desa hingga musyawarah Padukuhan/ dusun ditingkat lokal. 2. Menganalisa
implementasi
terhadap
konsepsi
demokrasi
deliberatif
dalam
penyelenggaraan musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) di Desa Pandowoharjo. 3. Menyimpulkan strategi - strategi penyelenggaraan demokrasi lokal berdasarkan penerapan konsep demokrasi deliberatif dalam penyelenggaraan Perencanaan Pembangunan di Desa Pandowoharjo. D. Landasan Teori 1. Teori Demokrasi Deliberatif Demokrasi deliberatif merupakan turunan konsep diskursus praktis, yang mencakup formasi opini dan aspirasi poltis (politische Meinungs-Und Willenbildug), prseduralisme atau kedaulatan rakyat sebagai prosedur (volksouverȁnitȁt als Verfahren). Berasal dari bahasa Latin deliberatio yang dikontruksikan dalam deliberation, yang berarti “konsultasi”, “menimbangnimbang” atau kosakata politis menyebutnya sebagai “musyawarah”. Dimana definisi tersebut berada dalam konteks “publik” atau “kebersamaan secara politis”. Diungkapkan oleh Jurgen Habermas, sebagai ahli waris Marxisme kritis barat melalui asumsinya; “Proses pengambilan keputusan adalah proses yang menghilangkan kemungkinan – kemungkinan lainnya. Mereka meproduksi lebih banyak “tidak” ketimbang “ya”. Dan semakin rasional mereka bergerak maju, maka semakin luas mereka menguji kemungkinan – kemungkinan lain maka semakin besar pula derajat negosiasi
mereka. meminta partisipasi intensif yang melibatkan semua pihak sama saja mendorong mereka menemukan prinsip frustasi. Siapapun yang memahami demokrasi dengan cara ini, pada kesimpulannya bahwa ini hanya cocok dengan rasionalitas”.12 Konsep penggabungan deliberatif terhadap demokrasi ini mengarahkan pandangan bukan lagi pada ide negara hukum, namun lebih jauh lagi terhadap legitimasi. Teori deliberatif demokrasi tidak memusatkan terhadap aturan atau pedoman tertentu yang mengarahkan terhadap apa yang harus dilaksanakan oleh warga negara, namun merujuk pada bagaimana prosedur yang dilaksanakan dalam menghasilkan aturan atau pedoman tersebut.13 Demokrasi deliberatif menyetujui pada hasil – hasil keputusan berdasarkan kolektifitas. Dimana asumsi ini secara sederhana mengakumulasikan tentang bagaimana prosedur opini publik yang hadir secara mayoritas dan mencapai keputusan mufakat. Demokrasi deliberatif mengacu pada prosedur formasi opini dan aspirasi secara demokratis.14 Teori ini menekankan pada pentingnya peran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan. Agar keputusan yang ditetapkan tidak mengecewakan masyarakat dan meminimalisir terjadinya dis-komunikasi antar pemerintah dengan masyarakat. Rasionalitas Habermas terhadap demokrasi sangat kritis dalam diskursus untuk menimbang-nimbang terlebih dahulu kebijakan yang akan diproses. Keterlibatannya selain stakeholders, penguasa dan kekuasaan serta masyarakat sesuai dengan integritas sosial dengan kesadaran payung hukum dalam menghindari etnosentrisme yang mewujudkan demokrasi dalam multikulturalis. 12
Muliansyah Abdurrahman W, Demokrasi Lokal: Opini dan Wacana Dinamika Politik. (Yogyakarta: Litera Buku).2012, hlm.150. 13 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius).2009, hlm.128. 14 Ibid., hlm.129
Demokrasi deliberatif kemudian, berdasarkan fungsi klasiknya mendorong pada intensitas partisipasi warga negara dalam bentuk aspirasi dan opini terhadap proses pembentukan kebijakan sebagaimana akan selaras dengan kehendak warga negara itu sendiri. Berangkat dari perubahan kebijakan yang terus terjadi, diskursifitas dalam deliberasi demokrasi ini mengupayakan untuk menemukan “titik sambung” komunikatif diantara negara, pasar dan masyarakat yang selama ini terblokade oleh kepentingan – kepentingan elit. Dimana kekuasaan yang menerobos saluran – saluran komunikasi yang tersumbat itu adalah proses – proses diskursif didalam apa yang disebut Habermas sebagai “ruang publik politis”. Teori ini tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi dalam negara hukum melalui gerakan diskursus publik diberbagai bidang sosial-politis-kultural untuk meningkatkan partisipasi demokratis warga negara.15 Diskurusus praktis mendorong semua orang yang berkepentingan dapat memperlihatkan persetujuan atas hukum yang diberlakukan. Maka Habermas kemudian mengasumsikan penekanannya kembali bahwa dalam sebuah sistem politik tidak boleh menyatakan dirinya sebagai
sebuah
deliberatif
hanya
jika
tersedia
sebuah
prosedur
diskursif
yang
mentransformasikan pengaruh-pengaruh ruang publik, termasuk kekuasaan sosial-menjadi kekuatan politik yang dihasilkan secara komunikatif. Model politik demokrasi ini juga disebut sebagai “model bendungan” (schleusenmodell) dimana negara hukum demokratis tersusun atas pusat dan pinggiran, proses penemuan keputusan digambarkan sebagai arus informasi dari pinggiran menuju pusat. Esensi pinggiran disini merujuk pada ruang publik bahkan dalam kelompok minoritas terbawah dalam menemukan, menafsirkan dan mengartikulasikan masalahmasalah yang kemudian diajukan kepada pusat. Pemahaman pusat terhadap permasalahan publik 15
F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris: Deskripsi, Kritik dan Dekonstruksi. (Yogyakarta: Kanisius),2007 hlm 126127.
diawali oleh aktivitas tersebut yang kemudian dipertanggung jawabkan dan menentukan keputusan politik atasnya.16 Pendekatan ini menghubungkan pada konsep “ruang publik” yang mencakup opini-opini publik dalam masyarakat warga negara (cvil society) dan menempatkan mereka sebagai “jalan” arena diskursif yang menjembatani persoalan diruang privat menuju ruang publik. Maka, diskursifitas kemudian mendorong aktivitas politik komunikasi masyarakat dan pemerintah dalam mengkonsolidasikan keputusan atau kebijakan yang sesuai dengan kepentingan bersama. Sebagaimana kutipan Habermas terhadap pentingnya warga negara dalam diskursifitas; “Masyarakat warga negara terdiri atas perhimpunan – perhimpunan, organisasi dan gerakan – gerakan yang kurang lebih bersifat spontan. Yang menyimak, memadatkan yang secara nyaring meneruskan resonansi keadaan persoalan kemasyarakatan didalam wilayah – wilayah privat kedalam ruang publik politis.”17 Dalam hal ini wilayah – wilayah privat mencakup wilayah – wilayah internal dalam masyarakat yang lokusnya lebih kecil dan dianggap menggugah perhatian masyarakat oleh sebab membawa implikasi negatif maupun postif ditengah kehidupan masyarakat. Sebagaimana menggaris bawahi bahwa deliberasi diperlukan untuk mencapai resolusi atas terjadinya resistensi kepentingan. Tegaknya demokrasi deliberatif sebagaimana komitmen Habermas terhadap demokrasi dalam negara hukum dilandasi oleh beberapa prinsip utama sebagai berikut;
16
Ahmad Faizin Karimi. Pemikiran dan Perilaku Politik Kiai Haji Ahmad Dahlan. (Yogyakarta: MUHI Press).2012, hlm. 90-91. 17 Op.Cit.,hlm.92
a) Prinsip deliberasi, artinya sebelum mengambil keputusan perlu mengambil pertimbangan yang mendalam dengan semua pihak yang terkait. b) Prinsip reasonableness, artinya dalam melakukan pertimbangan bersama hendaknya ada kesediaan untuk memahami pihak lain, dan argumentasi yang dilontarkan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. c) Prinsip kebebasan dan kesetaraan kedudukan, artinya semua pihak yang terkait memiliki peluang yang sama dan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran, pertimbangan dan gagasan secara terbuka serta kesediaan untuk mendengarkan18. Sebagai koridor dalam membuka ruang komunikasi antar masyarakat terhadap pemerintah atau penguasa diatasnya, demokrasi deliberasi kemudian disebut sebagai two way traffic. Dalam hakikatnya sebagai bentuk komunikasi hidup oleh sebab membuka jalan dalam pemecahan masalah melalui rembuk dan berfikir bersama. Dimana proses berfikir dilandasi oleh kesadaraan akan kesetaraan dan sense of belonginging atau rasa saling membutuhkan. Tidak ada pihak yang berada dalam kedudukan minoritas oleh sebab semua kelompok adalah sama. Baik dalam pandangan kedudukan penguasa atau pemerintah maupun dalam kelompok masyarakatnya. Dimana keduanya memiliki kewajiban untuk saling melengkapi satu dengan lainnya dan membentuk sembuah ikatan atau simbiosis. Selain itu keterdukugan kelompok-kelompok masyarakat yang merupakan hasil peleburan tekanan minoritas dalam membentuk kolektifitas dan membentuk forum-forum
18
T. Meyer. Cara Mudah Memahami Demokrasi dalam Fatkhurrohman. Mengukur Kesamaan Paham Demokrasi Deliberatif, Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Konstitusional. Jurnal Konstitusi: Pusat FH Universitas Widyagama Malang.
informal masyarakat dimaknai Habermas sebagai hak komunikatif warga negara. Dimana terealisasinya hak tersebut justru melalui terbentuknya dikursus-diskursus informal yang dapat dilaksanakan secara inklusif dan dapat mempersoalkan segala tema relevan yang mungkin. Sehingga terbentuknya forum formal penentu kebijakan/ keputusan kemudian bukanlah menjadi locus satu-satunya, sebab demokrasi deliberatif mengkonsentrasikan banyak hal yang menjadi „ruang-antara‟ terhadap terbentuknya demokratisasi dan kebijakan. Dimana deliberative democracy dalam fenomena musyawarah rencana pembangunan desa ini kemudian diterjemahkan dalam konsep-konsep ruang publik dan partisipasi masyarakat khususnya dalam ruang-ruang publik informal yang menjembatani proses partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Musrenbang Desa. a. Konsep Ruang Publik Ruang publik merupakan elemen yang lahir dari adanya penggunaan istilah „privat‟ dalam kelompok manusia kebanyakan tanpa pangkat dan tanpa hak khusus untuk boleh memberikan perintah yang ditafsirkan sebagai sesuatu yang disebut publik. Makna spesifik dalam istilah „privat‟sebagai „khusus‟ ini masih diperbincangkan hingga saat ini yang kemudian menjadi pertentangan khusus antara istilah kepentingan istimewa dengan kepentingan privat. Dimana dalam kerangka feodalisme juga mencakup kepada orang – orang yang memiliki hak – hak istimewa, yakni mereka dengan keleluasaan hak dan dalam previlege tertentu. Dalam kriteria institusional, konsep ruang publik yang diajukan oleh Jurgen Habermas, secara sosiologis didefinisikan sebagai suatu wilayah terpisah yang dibedakan dari ruang privat dimana pada akhir abad pertengahan masyarakat feodal belum dapat dibuktikan keadaannya.
Pengertian ruang publik dalam lingkup spasial (sphere) menjadi lokus warga negara. Beberapa filsuf politik, dalam hal ini termasuk Jurgen Habermas mendefinisikan ruang publik yaitu berkaitan dengan aktvitas suatu komunitas bahasa (sprachgemeinschaft) dan bahkan dengan akal sehat manusia (sensus communis) maka ia adalah ruang sosial yang terbentuk lewat interaksi dan komunikasi sosial. Herry-Priyono dalam surveynya menyimpulkan enam indikator ruang publik diantaranya; modal sosial (jaringan trust dan resiprositas), pelayanan publik (keamanan, pendidikan, kesehatan, jalan, lingkungan hidup, dll), barang publik (kebutuhan umum sebagai antisipasi kegagalan pasar), budaya publik (bahasa, sikap, selera, cara pikir civility), tempat publik (ruang publik/ ruang untuk bertemu untuk debat dan diskusi, dan interrelasi antara pasar, keluarga pemerintah dan kelompok independen yang membentuk sosialitas masyarakat).19 Ruang publik dalam prespektif Habermas dimaknai sebagai ruang publik politis. Dalam hal ini ruang publik dibayangkan sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan dalam ruang privat dengan kepentingan dalam ruang publik. Ruang publik politis dimaknai sejak abad ke-18 ditandai oleh adanya analisa Habermas terhadap perubahan struktur ruang publik pada zaman modern. Ruang publik ini bersifat mediatif, yang mampu menjembatani kepentingankepentingan yang bersebrangan, yakni kepentingan kaum borjuis yang sering bersebrangan dengan kepentingan masyarakat sipil lainnya. Ruang publik berupaya menjembatani yang berbeda sehingga mampu dipertemukan dan berdiskursus dalam mencapai kemufakatan. Sebagaimana dikutip dalam filsafat politik Jurgen Habermas,20
19
Antonious Galih Prasetyo. Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran Jurgen Habermas tentang Ruang Publik. (Yogyakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.16 No.2).2012.,hlm. 170. 20 Rezza.A.A.Wattimena. Melampaui Negara Hukum Klasi.(Yogyakarta: Kanisius).2007.,hlm.126-127.
“Infrastruktur publik seperti majelis – majelis, presentasi-presentasi publik, dan seterusnya, termasuk metafor-metafor arsitektur tentang ruang. Disini , kita berbicara tentang forum-forum, ruang-ruang, arena-arena dan hal-hal seperti itu. Ruang publik ini masih berkaitan erat dengan kehidupan-kehidupan lokal, yang pesertanya dapat secara fisik hadir. Semakin para partisipan itu melepaskan dirinya dari kehadiran dengan konsep fisik dan melebarkan dirinya pada kehadiran virtual yang menyangkut banyak partisipan, seperti pembaca, pendengar, atau penyimak yang dikaitkan dengan media publik, semakin jelas pola-pola abstraksi yang memasuki struktur-struktur ruang yang semakin melebarkan panggung ruang publik.” Terdapat dua prasyarat yang memenuhi indikator terhadap ruang publik yang ideal, yaitu bebas dan kritis. Bebas dimaknai sebagai kebebasan bagi semua pihak untuk berbicara, berkumpul dan berpartisipasi kapanpun dalam ruang politis. Sedangkan kritis didedifinisikan sebagai kesiapan dan kemampuan individu dalam berlaku adil dan bertanggung jawab menyoroti proses pengambilan keputusan yang bersifat publik. Sedangkan rasionalitas ruang publik dapat dinilai dalam penyelenggaraan fungsinya sebagai mediasi antara otonomi privat dengan kekuasaan politik. Ruang publik politis mengesensikan penjamin tercapainya rasionalitas dalam kekuasaaan negara. Dimana legitimasi kekuasaan negara bukanlah legitimasi feodalistik berdasar garis keturunan melainkan legitimasi rasional. Pada intinya kemudian, ruang publik mengubah otoritas politis negara menjadi otoritas nasional dalam ranah publik.21
21
Ibid.,
Ruang publik dalam prespektif Habermas yang berorientasi pada ruang publik politik, memiliki keseragaman asumsi tersebut sebagaimana prespektif banyak pemikir kontemporer. Ruang publik memiliki peran yang sangat vital dalam mengokohkan demokrasi sebagai ruang masyarakat sipil yang menjembatani negara dengan individu privat. Logika ruang publik dalam logika politik Habermas tidak pernah jauh dari asal muasal adanya ruang privat. Robotnikov mendukung asumsinya bahwa distingsi antara ruang publik dengan ruang privat biasanya diidentifikasi atas dasar tiga bipolaritas, yaitu masyarakat versus individu, keterlihatan yang berlawanan dengan penyembunyian hingga keterbukaan dan ketertutupan.22 Ruang publik muncul dan berkembang pertama kali pada abad ke-17 beriringan dengan pengaruh kapitalisme. Dimana kelas borjuis mengawali identifikasi ruang publik dalam kolektifitas aktivitas borjuis dalam proses produksi kapitalis. Dimana kelas yang diisi oleh kelompok komersial atau pedagang dan profesional sebagai ruang publik borjuis. Antitesis adanya ruang publik dan ruang privat kemudian mengantarkan konstruksi terhadap ruang publik. Ruang publik yang tidak dapat dipahami secara gamblang sebagai ruang fisik yang konkrit, dimensi terhadap ruang publik yang diorientasikan secara keruangan dan nonkeruangan yang abstrak yang kemudian menjadi bagian dari pemahaman asumsi Habermas terhadap ruang publik. Terdapat tiga hal normatif yang ideal dalam konsep ruang publik sebagai berikut:23 1. Ruang publik merupakan sejenis pergaulan sosial yang samasekali tidak mengasumsikan kesamaan status antar orang karena konsep status, dalam ruang
22
Antonious Galih Prasetyo. Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran Jurgen Habermas tentang Ruang Publik. (Yogyakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.16 No.2).2012.,hlm. 172. 23 Ibid.,hlm. 174.
publik sendiri dipandang tidak memiliki signifikansi apapun. Dimana orientasi utama bukan pada kedudukan melainkan kesamaan dan kesetaraan nilai bagi setiap orang. Dimana kedudukan tertinggi bukan melalui tolok ukur materi melainkan sebaik apa argumen yang mampu dilontarkan. 2. Meskipun setiap orang memiliki kepentingan yang dipengaruhi oleh perbedaan status, kepentingan sendiri juga dipandang tidak memiliki signifikansi. Apa yang menyatukan orang-orang yang bertamu diruang publik adalah kesamaan akan penggunaan rasio yang berkarakter “tanpa kepentingan” (“disinterested” interest of reason). Artinya, justifikasi terhadap argumen yang muncul dalam ruang publik haruslah berlandaskan pada kepentingan umum dan bukannya kepentingan partikular. 3. Ruang publik pada prinsipnya bersifat inklusiv. Inklusivitas ini tercermin dari formalitas keras dari syarat untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Yaitu, setiap anggota umat manusia yang dapat menggunakan rasionalitasnya. Optimistis Habermas terhadap keberhasilan konstruksi ruang publik menekankan asumsinya terhadap ruang publik sebagai bangunan teoritis yang komperhensif dalam konsepsi demokrasi deliberatif. Dimana esensi deliberatif dalam ruang publik sebagai isu legitimasi politik. Dryzek mendukung asumsi Habermas melalui
penekanannya terhadap demokrasi
deliberatif yang merupakan jawaban atas keberlangsungan demokrasi klasik-ortodoks yang memahami demokrasi dalam kerangka agregasi preferensi dan kepentingan warga negara melalui sarana konvesional melalui voting dan keterwakilan di parlemen. Konklusi terhadap masa depan ruang publik sebagai dasar deliberasi demokrasi sebagai ruang publik politis, dimaknai sebagai kondisi komunikasi yang mendorong kekuatan solidaritas
yang menyatukan masyarakat dalam membentuk kekuatan dalam melawan resistensi dan intervensi terhadap sumber-sumber lain, seperti uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi negara) dalam menciptakan suatu keseimbangan. Sehingga ruang publik kemudian menjadi agenda yang otonom dari negara dan pasar. Terutama bagi jejaring komunikasi, ruang publik politis bersifat otonom sebab tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalis, melainkan berasal dari sumber-sumbernya sendiri.24 b. Partisipasi Publik Partisipasi merupakan indikator penting dalam demokratisasi, betapa tidak lahirnya kebijakan desentralisasi di Indonesia pun ditandai oleh penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis partisipasi.25 Secara harfiah partisipasi berasal dari kata participation yang berarti peran serta. Yang secara luas kemudian dimaknai sebagai peran secara aktif maupun pro-aktif dalam suatu kegiatan. Sumarto menjelaskan makna partisipasi dalam orientasi proses yang berkembang dan mendorong perkembangan interaksi yang lebih baik antar stakeholder sehingga kesepakatan-kesepakatan tindakan involutif dapat teralisasi dalam proses deliberatif. Dimana ruang untuk belajar, refleksi, mendengar dan memulai suatu tindakan sebagai aksi bersama dapat terjadi.26 Bryant & White memaknai partipasi lebih mendalam dalam konteks adminitrasi pembangunan sebagai partisipasi oleh masyarakat atau oleh penerima manfaat proyek dalam pembuatan dan perancangan proyek. Dimana partisipasi dalam hal ini mengandung makna pada 24
F.Budi Hardiman. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas.(Yogyakarta: Penerbit Kanisius).2009.hlm.,133. 25 R Khairul Muluk. Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah.(Bayumedia Publishing: Malang). 2007.hlm.,4. 26 Drs.Moch.Solekhan,MAP.Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat.(Malang: Setara Press).2014.hlm.,141.
sikap keterbukaan terhadap presepsi dan perasaan orang lain, perhatian yang mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat serta kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak lain terhadap suatu kegiatan.27 Sedangkan dalam konteks politis, partisipasi dimaknai sebagai pemungutan suara, keanggotan dalam partai, kegiatan dalam perkumpulan sukarela, gerakan protes, dsb. Dimana makna tersebut diilhami dalam perkembangan demokratisasi pada tahun 1950 hingga 1960-an. Sementara, Midgley mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat berkonotasi pada the direct involvement of ordinary people in local affair. Dimana partisipasi masyarakat dimaknai pada adanya keterlibatan masyarakat biasa pada urusan-urusan setempat secara langsung. Maka makna partisipasi beradasarkan konklusi dari asumsi-asumsi para pakar, dalam ranah pemerintahan daerah dipahami sebagai keterlibatan langsung masyarakat secara sukarela dan mandiri, baik dalam pelaksanaan maupun perencanaan kebijakan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.28 Selanjutnya, penyelenggaraan partisipasi publik memiliki perbedaan dalam proses pengambilan keputusannya. Dimana perbedaan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh bentuk partisipasi yang berlangsung dan area pengambilan keputusan. Sebagaimana Burns, Hambelton, dan Hogget mengasumsikan partisipasi publik yang berlangsung dalam beberapa area pengambilan keputusan. Pertama, praktik operasional yang menyangkut perilaku dan kinerja pegawai dalam institusi publik, isu – isu yang berkaitan dalam aspek lainnya dalam kualitas pelayanan publik, keterandalan dan keteraturan pelayanan, fasilitas bagi pengguna jasa dengan kebutuhan tertentu dan sebagainya. Kedua, keputusan pembelanjaan 27 28
Ibid.,hlm.46. Ibid.,hlm.56.
yang berkaitan dengan anggota yang didelegasikan, anggaran yang menyangkut modal besar, sampai pada anggaran pendapatan menyeluruh yang berkaitan dengan gaji pegawai, dan biaya rutin bagi kantor tertentu dan bagaimana proses penyelenggaraannya, termasuk mengenai peningkatan pendapatan melalui peningkatan pajak lokal. Ketiga, pembuatan kebijakan yang menyangkut tujuan strategis dari sebuah pelayanan, rencana strategis bagi pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu, serta prioritas pembelanjaan dan keputusan alokasi sumber daya lainnya. Dimana lokus penyelenggaraannya lebih banyak menyelaraskan pada proses pelaksanaan pemerintahan didaerah. Antoft dan Nofak mengungkapan bentuk lain proses partisipasi dalam lokus yang lebih sempit terhadap komunitas dalam memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuk tersebut dapat berlangsung secara simultan, dimana partisipasi memberikan kesempatan bagi penduduk untuk menikmati akses partisipasi yang lebih besar. Mengingat tidak semua penduduk dapat menyampaikan aspirasinya secara langsung dalam waktu yang bersamaan dan dengan kepentingan yang sama. Sehingga terdapat kendala – kendala tertentu seperti waktu, tenaga dan sumber daya lainnya yang membatasi partisipasi tersebut. Adapun partisipasi yang tergolong dalam indikator tersebut dapat berbentk partisipasi elektoral, aktivitas loby, penyelenggaraan agenda perwakilan, pencapaian tujuan partisipasi.29 Ketidak seramagaman penyelenggaraan partisipasi tersebut kemudian mendorong pada kadar partisipasi yang berbeda – beda pula khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjunjung prinsip partisipatif. Kadar menunjukkan indeks kadar yang didasari oleh peran warga dalam berpartisipasi, mulai dari yang tidak berpartisipasi samasekali melalui
29
Ibid.,hlm.55.
manipulasi hingga peran warga yang memegang kendali dalam pelaksanaan partisipasi sebagai kuasa warga. Kadar partisipasi tersebut kemudian ditunjukkan melalui teori tangga partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein dan disebut sebagai ladder of partisipation. Konsep yang mengkategorikan partisipasi sebagai kekuasaan warga dalam mempengaruhi perubahan kebijakan ini, memiliki tiga derajat partisipasi yang disimbolkan melalui delapan anak tangga partisipasi. Sebagaimana pada gambar berikut,
8 7
Kendali Warga Kuasa yang didelegasi
6
Kemitraan
5
Penentraman
4
Konsultasi
3
Derajat kuasa wargaa
Derajat tanda partisipasi
Pemberian Informasi
2
Terapi
1
Manipulasi
Non Partisipasi
Bagan 1.1 Tangga Partisipasi dari Sherry Arnstein30 Derajat terendah dalam indikator non partisipasi menunjukkan bahwa tujuan partisipasi pada dasarnya tidak untuk mendukung rakyat untuk berpartisipasi dalam pembuatan rencana dan pelaksanaan suatu program, tetapi untuk pemegang kuasa untuk sekedar mendidik masyarakatnya dalam menciptakan formalitas kepuasan bagi partisipan. Derajat ini mengakumulasikan dua anak tangga yaitu terapi dan manipulasi. Derajat kedua yang mencakup elemen pemberian informasi, konsultasi dan penentraman mulai menandai adanya partisipasi 30
Ibid.,hlm.59.
yang murni timbul dari masyarakat. Ditandai oleh adanya ativitas dialog dengan publik yang merealisasikan hak warga untuk didengar pendapatnya baik oleh pemerintah, stakeholder maupun masyarakat lainnya. Dimana pemberian informasi menunjukkan sebuah komunikasi satu arah dari pihak yang berwenang kepada publik seperti; pengumuman, penyebaran pamflet, dan laporan tahunan. Konsultasi menunjukkan adanya komunikasi dua arah antara pihak yang berwenang dengan masyarakat misalnya; melalui survei sikap, temu warga, dan public sharing. Sedangkan penentraman melibatkan aktivitas yang lebih mendalam dengan mengajak masyarakat untuk memiliki peran ganda sebagai partisipan dan komite pembuatan kebijakan meskipun hak pembuatan kebijakan berada pada kewenangan pemegang kekuasaan. Derajat tertinggi kemudian ditunjukkan pada kuasa warga, dimana terbukanya peluang dalam ruang publik bagi warga masyarakat dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Peran aktif warga ditunjukkan melalui partisipasinya secara langsung baik dalam proses pembuatan kebijakan maupun pelayanan publik. Hal ini kemudian menunjukkan adanya redistribusi kekuasaan dari pemerintah terhadap masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dimana elemen derajat tertinggi ini mencakup aktivitas kemitraan, kuasa yang didelegasi dan kendali warga. E. Definisi Konseptual Musyawarah rencana pembangunan desa atau yang disebut sebagai Musrenbangdes merupakan sebuah arena baru menyambut reformasi desentralisasi dalam ranah lokal. Sebagai sebuah forum yang dilaksanakan secara partisipatif oleh seluruh pemangku kepentingan desa. Dimana elemen pemangku kepentingan tersebut mencakup perangkat desa yang terdiri dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Pemerintah Desa, masyarakat sipil hingga kelompok
kepentingan
diluar
ranah
informal
(Swasta).
Penyelenggaraan
Musrenbangdes
yang
mengedepankan unsur partisipatif bagi seluruh warga ini mendorong pada perhatian masyarakat dan seluruh stakeholder terhadap isu-isu strategis. Isu – isu tersebut diantaranya mencakup penataan fisik desa, perencanaan pembangunan desa, kerjasama atau relasi kemitraan desa terhadap kelompok kepentingan lainnya, rencana investasi yang akan masuk ke desa, pembentukan BUMDes hingga penambahan dan pelepasan aset, serta bentuk kejadian luar biasa yang terjadi di desa. Selain itu, Musrenbangdes mendorong pembangunan dan pemberdayaan masyarakat melalui lahirnya partisipatif warga masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan kebijakan daerah dan menyepakati Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa dalam tahun anggaran sebagimana yang disepakati). Proses kesepakatan yang terbentuk atas dorongan kehadiran forum-forum baik formal dan informal masyarakat lokal kemudian mendorong pada sebuah kemufakatan dalam terbentuknya sebuah kebijakan. Dalam rangka meminimalisir ketimpangan kepentingan dan resistensi antar masyarakat terhadap pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Maka indikator aspirasi publik yang membawa pengaruh demokratisasi melalui akumulasi aspirasi hadir sebagai prosedur terbentuknya kebijakan. Hal tersebut semata-mata sebagai jalan dalam menghindari etnosentrisme yang mewujudkan demokrasi dalam multikulturalis sebagaiamana rasionalitas sosiolog Jurgen Habermas. F. Definisi Operasional Musyawarah rencana pembangunan desa merupakan arena dalam demokrasi lokal yang mengindikasikan pada hadirnya deliberasi demokrasi. Dimana hal tersebut dianalisa melalui implementasi berlangsungnya Musrenbangdes yang dipengaruhi oleh hadirnya ruang-ruang publik informal di desa yang membaur secara kolektif dan merealisasikan partisipasi masyarakat
ditingkat Padukuhan. Masyarakat sipil yang berperan dalam musyawarah rencana pembangunan desa kemudian memanfaatkan ruang-ruang publik yang diantaranya dibentuk melalui kolektifitas kelompok masyarakat seperti Gerakan Kelompok Tani (GAPOKTAN), PKK/ Dasa Wisma, Kelompok Pemuda, dsb. G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penlitian Penelitian ini mengadopsi jenis penelitian studi kasus deskriptif kualitatif yang menggambarkan suatu gejala, fakta atau realita. Penggunaan jenis studi kasus ini menuntun peneliti dalam mengulas realitas Musrenbang berdasarkan pengaruh dan implikasi yang ada untuk kemudian dianalisa beradasarkan fakta dilapangan dan didukung oleh konsep yang telah diajukan. Sehingga konklusi yang diperoleh atas dasar sinkronisasi konsep mendukung peneliti dalam mencapai tujuan penelitian. 2. Metode Penelitian Menggunakan metode studi kasus (case study), sebagai bagian dari metode kualitatif melalui pendalaman kasus dengan mengumpulkan beraneka ragam informasi. Creswell mendefinisikan studi kasus sebagai suatu eksplorasi dari sistem-sitem yang terkait (bounded system). Sedangkan Patton (2002) membantu pemahaman terhadap studi kasus yang mendefinisikan studi kasus sebagai studi tentang kekhususan atau kompleksitas suatu kasus tunggal dan berusaha untuk memahami kasus tersebut dalam konteks situasi terhadap satu entitas tunggal yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini peneliti menghubungkan studi kasus terhadap kasus yang merupakan sebuah fenomena dalam masyarakat lokal yaitu Musyawarah Rencana Pembangunan Desa. Dimana masyarakat desa maupun pemerintah sebagai aktor-aktor yang berperan didalamnya. Studi kasus yang mendalami fenomena musyawarah rencana
pembangunan desa dalam berbagai isu pembangunan kemudian didukung oleh berperannya aktor masyarakat maupun pemerintah desa. Dimana realisasi partisipasi masyarakat pun didalami justru dalam forum-forum informal yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat-masyarakat desa untuk kemudian ditindak lanjuti dalam forum musyawarah desa sebagaimana terlaksana pada tanggal 30 Januari 2015. 3. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Observasi dilakukan pada tiap-tiap kegiatan perkumpulan atau musyawarah ditingkat lokal masyarakat desa, seperti dalam forum musyawarah Padukuhan, forum PKK ibu-ibu di Padukuhan, Kelompok Pemuda hingga Musyawarah dusun/ RT/ RW. Observasi dilaksanakan melalui keterlibatan penulis sebagai anggota forum khususnya dalam forum PKK Padukuhan dan internal Perangkat Desa dalam pembahasan pembangunan desa. Observasi dilaksanakan dalam menganalisa pola partisipasi dan komunikasi antar masyarakat dalam forum/ kelompok masyarakat yang terbentuk. Dimana pola-pola tersebut, dalam PKK khususnya sebagaimana terealisasi dalam pembahasan isu perencanaan pembangunan yang diajukan oleh kelompok PKK dalam pengajuan program pada Musyawarah Desa. Adapun hasil keberlangsungan observasi bahwa masyarakat mampu dengan mandiri dan solid untuk bernegosiasi terkait isu yang diperbincangkan dalam forum. Komunikasi bersifat inklusif antar satu individu terhadap yang lainnya untuk menyepakati atau menmukan jalan keluar dalam persoalan yang dibicarakan. Persoalan minimnya kader ibu-ibu dalam kegiatan Posyandu balita maupun lansia, dapat sesegera mungkin dibicarakan dan mengevaluasi hal lainnya. Observasi yang dilaksanakan peneliti diantaranya di Balai Desa Pandowoharjo bersama Kepala Desa, Carik, Kepala Bagian Pembangunan Desa dan Kabag Pemerintahan Desa
Pandowoharjo dalam membicarakan isu pembangunan Desa. Kemudian, observasi pelaksanaan PKK dihalaman rumah kediaman Kepala Dukuh Tlacap-Grojogan Desa Pandowoharjo. b. Focus Group Discussion (FGD) Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk memperoleh data dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. Diskusi fokus yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 2015 kepada Ketua RW maupun Ketua RT di Padukuhan Tlacap-Grojogan di kediaman Bapak Nurtamsi pada Pukul 20.00-22.00. Diskusi intesif dalam rangka mengkonfirmasi informasi dan data-data yang telah diperoleh. Baik yang berasal dari dokumen RPJM Desa maupun hasil wawancara dari berbagai pihak. Fokus kelompok diskusi ini diikuti oleh Ketua RW 02 Padukuhan Tlacap-Grojogan, Ketua RT 03 dan Ketua RT 04 serta perwakilan kelompok GAPOKTAN (Gerakan Kelompok Tani). Adapun pembahasan yang dibicarakan ialah terkait konfirmasi penyelenggaraan Musrenbang Desa Pandowoharjo yang dilaksanakan melalui forum-forum informal di Padukuhan baik forum diskusi kelompok kolektif masyarakat maupun dalam musyawarah di Padukuhan yang dihadiri oleh seluruh kelompok masyarakat di Padukuhan. Seperti halnya musyawarah RW yang rutin dilaksanakan berpengaruh dalam proses partisipatif masyarakat ditingkat RW lebih mandiri dan otonom dalam proses perencanaan pembangunan di wilayahnya. c. Wawancara Efektif terhadap Tokoh Masyarakat Sebagai teknik pengumpulan data utama yang dilakukan melalui percakapan personal secara lagsung. Dimana hal ini ditujukan untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan antar peneliti terhadap individu yang diteliti. Pelakasnaan wawancara akan dilaksanakan secara terbuka dengan tujuan percakapan jelas dan wawancara riwayat secara lisan oleh tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dan informasi
yang lebih banyak terhadap isu yang dimaksud oleh peneliti. Wawancara yang telah dilaksanakan oleh peneliti dalam pengumpulan informasi terhadap beberapa narasumber, yang dalam hal ini dianggap sebagai pihak yang menguasai informasi sebagaimana yang dibutuhkan oleh peneliti. Adapun narasumber tersebut diantaranya, 1. Kepala Desa Pandowoharjo, Bapak Catur Sarjumiharta. 2. Carik atau Sekertaris Desa, Bapak Ismardiyanto. 3. Kepala Bagian Perencanaan dan Pembangunan Pemerintahan Desa Pandowoharjo, Bapak Marjana. 4. Kepala Bagian Pemerintahan, Bapak Margana. 5. Kepala Padukuhan Saragan dan Tokoh Masyarakat, Bapak Sudadiyo. 6. Sekertaris PKK Desa Pandowoharjo, Ibu Janari 7. Kepala Padukuhan Tlacap, Ibu Titi. 8. Kader Posyandu dan Tokoh Masyarakat Desa, Ibu Ratih. 9. Kepala Dusun/ Ketua RW Grojogan, Bapak Nurtamsi 10. Ketua RT 03 Dusun Grojogan, Bapak Purwanto 11. Ketua RT 04 Dusun Grojogan, Bapak Winarto 12. Ketua GAPOKTAN Padukuhan Tlacap, Bapak Parjio Beberapa hal yang menjadi pokok pembahasan dalam tiap-tiap wawancara terhadap aktor-aktor tersebut diantaranya terkait proses penyelenggaraan musrenbang di tingkat desa, hingga musyawarah informal yang mendukung pencapaian Musrenbang Desa. Kemudian mengenai bagaimana peranan antar aktor maupun kelompok masyarakat hingga bagaimana pengaruh yang diimplementasikan oleh musyawarah atau forum-forum informal masyarakat yang dalam proses partisipatif.
d. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan teknik utama pengumpulan data primer yang wajib dilakukan oleh peneliti dalam melengkapi data penelitian. Dalam hal ini peneliti menggunakan bebebrapa literatur terkait dengan isu musrenbang dan demokrasi lokal dalam mendukung data-data yang telah diperoleh. Adapun literatur yang akan digunakan oleh penulis merupakan berbagai macam studi mengenai Musrenbangdes, partisipasi publik dan konsep-konsep pendukung deliberasi demokrasi. 4. Tenik Analisa Data Secara umum bahwa penelitian ini akan mengidentifikasi implementasi Musrenbangdes dalam konsepsi Deliberasi Demokrasi yang diselenggarakan dalam ranah lokal. Dimana proses demokratisasi lokal ini lahir dalam kelompok-kolompok kolektif masyarakat yang terbentuk secara solid dan otonom. Menguraikan inisiasi-inisiasi yang mendorong penyelenggaraan kegiatan untuk kemudian mampu mengahdirkan upaya-upaya sebagai reforma demokratisasi lokal yang mampu diterapkan dalam masyarakat desa dalam upaya optimalisasi perencanaan pembangunan desa. Analisis kemudian memfokuskan pada research question terhadap ruang publik yang dibentuk oleh masyarakat sebagai proses partisipatif dalam Musyawarah Rencana Pembangunan di Desa Pandowoharjo. Dimana ruang publik digunakan dalam melihat sejauh mana ruang partisipasi masyarakat dapat berlangsung. Sedangkan konsep partisipatif sebagai analisa dalam mengelaborasi proses perencanaan serta implementasi aktor-aktor yang berperan dalam penyelenggaraan musyawarah desa.
H. Sistematika Penulisan Dalam mempermudah proses penulisan yang lebih rinci sebagai hasil penelitian, maka penulis membagi penulisan hasil penelitian ini kedalam lima bab. Dimana bab-bab tersebut kemudian mencakup beberapa sub-bab turunan. Bagian bab pertama merupakan pendahuluan, berisikan latar belakang yang mencakup permasalahan atau isu yang melatar belakangi pengambilan tema, kemudian dilanjutkan pada tujuan penelitian, pembatasan pembahasan, penjabaran konsep pendukung, dan metode yang digunakan.
Bab kedua memuat proses
Musrenbang di Desa Pandowoharjo Sleman, Yogyakarta sebagai forum ruang publik. Bab ketiga berisikan implementasi deliberative democracy dalam forum warga pra-Musrenbang di Desa Pandowoharjo. Bab keempat berisikan partisipasi masyarakat dalam Musrenbang di Desa Pandowoharjo Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman DI Yogyakarta. Bab terakhir memuat kesimpulan, yang terdiri dari kesimpulan teoritis dan implikasi teoritis.