BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Anak merupakan seseorang yang memiliki rentang usia sejak anak dilahirkan hingga usia tujuh belas tahun, dimana masing-masing anak tumbuh dan belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya (Centers for Disease Control and Prevention, 2014). Anak termasuk individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya. Dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, anak membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasinya untuk belajar mandiri sesuai dengan usia perkembangannya (Supartini, 2004). Usia prasekolah merupakan usia dimana anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat sehingga pada masa ini sering disebut sebagai periode emas (Mansur, 2011).
Anak usia prasekolah adalah anak yang
mempunyai rentang usia tiga sampai enam tahun (Muscari, 2005). Bila dalam periode ini anak tidak mendapatkan perhatian yang optimal maka akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada periode selanjutnya (Mansur, 2011). Sistem kekebalan tubuh pada anak usia prasekolah belum dapat berkembang sempurna, sehingga rentan terhadap berbagai serangan penyakit. Tidak sedikit anak pada masa ini terserang penyakit yang mengharuskan anak untuk mendapatkan perawatan dan perhatian khusus di rumah sakit/ hospitalisasi (Potter & Perry, 2009).
1
2
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan terencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal dirumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Menurut Kazemi, Ghazimoghaddam, Besaharat & Kashani (2012), selama masa anak-anak, sekitar minimal 30% anak pernah mengalami perawatan di rumah sakit, sementara itu sekitar 5% pernah dirawat beberapa kali di rumah sakit. Selama hospitalisasi anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang ditunjukkan dengan pengalaman yang traumatic dan stress (Supartini, 2004). Stress merupakan gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut (Hawari, 2013). Penyebab stress yang utama pada anak yang mengalami hospitalisasi adalah perpisahan dengan orang tua, adanya cedera dalam tubuhnya serta nyeri yang timbul (Wong, 2009). Stres yang dialami anak timbul akibat pengalaman selama hospitalisasi yang menyebabkan anak cemas, takut sehingga anak berperilaku tidak adaptif. Anak menginterpretasikan hospitalisasi sebagai hukuman dan perpisahan dengan orang tua sebagai kehilangan kasih sayang (Muscari, 2005). Shives (2005) dalam Ramdaniati (2011), menjelaskan bahwa sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan pengalaman yang mengancam serta dapat menimbulkan respon emosional yang menyebabkan anak sulit beradaptasi selama hospitalisasi. Adaptasi menurut Sunaryo (2004) merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh karena belajar dari pengalaman untuk mengatasi stress. Apabila
3
seseorang mengalami kesulitan dalam mengatasi hal-hal yang memicu stres maka akan mengalami hambatan atau kesulitan dalam beradaptasi. Anak yang mengalami stress hospitalisasi akan sulit beradaptasi selama perawatan di rumah sakit. Sehingga tidak jarang anak bereaksi agresif, marah, tidak mau bekerjasama dengan perawat dan ketergantungan dengan orang tua. Reaksi tidak adaptif yang anak perlihatkan selama hospitalisasi memerlukan perhatian khusus, terutama bagi perawat (Supartini, 2004). Perawat dalam memenuhi kebutuhan anak selama hospitalisasi tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, namun juga memenuhi kebutuhan psikologis, sosial dan kebutuhan perkembangan anak (American Academy of Pediatric, 2006 dalam Hart & Walton, 2010). Salah satu cara perawat dalam memenuhi kebutuhan psikologis, sosial dan kebutuhan perkembangan anak yaitu dengan atraumatic care. Atraumatic Care dalam perawatan anak sebagai bentuk perawatan terapeutik yang dapat mengurangi stress akibat hospitalisasi. Terapi bermain sebagai salah satu bentuk asuhan atraumatic care (Supartini, 2004). Terapi bermain merupakan salah satu bentuk aktivitas yang utama pada masa anak-anak. Menurut Hetherington & Parke (1979) dalam Desmita (2005) permainan bagi anak-anak sebagai suatu bentuk aktivitas yang menyenangkan. Terapi Bermain menurut Pedro-Carroll & Reddy (2005) dalam Association for Play Therapy (2014) membantu anak beradaptasi lebih adaptif terhadap stress yang dialami. Salah satu fungsi bermain adalah sebagai terapi dimana dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan stress yang
4
dialaminya. Melalui kegiatan bermain, anak dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan permainan (Supartini, 2004). Clay therapy merupakan jenis terapi bermain kreativitas seni dan keahlian (creative art and craft) (Rahmani & Moheb, 2010). Menurut Muscari (2005) pemilihan permainan untuk terapi bermain harus disesuaikan dengan usia anak. Perkembangan anak usia prasekolah yang menonjol yaitu perkembangan motorik kasar dan halus. Terapi bermain Clay therapy sesuai dengan perkembangan anak usia prasekolah. Dimana permainan clay therapy merupakan jenis permainan meremas dan membentuk clay yang membantu anak melatih kemampuan motorik halusnya (Kearns, 2004). Clay therapy sebagai alat yang efektif dalam meningkatkan kemampuan anak dalam memecahkan masalah, menurunkan kecemasan, pengambilan keputusan serta pengendalian impuls dan kemarahan (Landerth, 2004). Bermain clay memungkinkan anak dapat mengeluarkan emosi yang tertahan serta mengekspresikan emosionalnya (Schaefer & Kaduson, 2006). Penelitian yang penerapannya dilakukan oleh Morais, Roecker, Salvagoni, Denise, Eler, & Gabrielle (2014) mengenai clay therapy dimana hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa penggunaan clay therapy sebagai terapi dapat mempromosikan kreativitas, kesadaran diri dan menguntungkan pada mereka dengan kecemasan. Rahmani & Moheb (2010) dalam penelitiannya menunjukan bahwa intervensi clay therapy menurunkan kecemasan pada anak.
5
Studi pendahuluan dilaksanakan pada tanggal 13 November 2014 di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar Bali melalui observasi terhadap 10 pasien anak usia prasekolah di ruang Kaswari. Dimana dari hasil observasi didapatkan data bahwa terdapat 7 pasien anak tidak adaptif terhadap tindakan seperti saat perawat datang untuk tindakan perawatan seperti pengukuran tanda-tanda vital, pemasangan infus, pemberian obat dan pengambilan darah untuk cek laboratorium. Semua anak memberikan respon bervariasi ada yang menangis, berontak, memeluk ibunya serta berteriak minta pulang. Hasil wawancara dengan kepala ruangan dan beberapa perawat yang dinas di ruang Kaswari didapatkan data terdapat tempat bermain di luar ruangan dan orang tua diperbolehkan menemani anak selama perawatan di rumah sakit. Terapi bermain jarang dilakukan di ruang Kaswari dan hanya dilakukan bila ada mahasiswa yang praktik saja dikarenakan jumlah perawat yang tidak sesuai dengan jumlah pasien. Terapi bermain: Clay Therapy belum pernah diterapkan di ruang Kaswari. Terapi bermain clay therapy dapat dilakukan bersama dengan orang tua sehingga jumlah perawat tidak menjadi permasalahan dalam menjalankan terapi bermain ini. Data dari rekam medis RSUD Wangaya didapatkan bahwa jumlah pasien usia prasekolah dari tahun 2011 sebanyak 671 (43,46%), tahun 2012 sebanyak 418 (40,54%), tahun 2013 sebanyak 637 (35,35%) serta tahun 2014 yang telah didata hingga bulan Oktober sebanyak 625 (37,27%). Terlihat fluktuatif pada populasi
6
anak yang mengalami hospitalisasi di Ruang Kaswari dari tahun 2011 hingga 2014. Clay therapy berdasarkan hasil penelitian dan pendapat para ahli, sangat bermanfaat bagi anak. Berdasarkan fenomena, hasil penelitian, serta konsep teori, maka peneliti tertarik mengkaji lebih jauh tentang pengaruh clay therapy terhadap perilaku adaptif pada anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi.
1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah penelitian ini yaitu adakah pengaruh clay therapy terhadap perilaku adaptif pada anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi di Ruang Kaswari RSUD Wangaya?”
1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh clay therapy terhadap perilaku adaptif pada anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi
1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik responden berdasarkan: umur, jenis kelamin, lama dirawat dan pengalaman dirawat 2. Mengetahui perbedaan perilaku adaptif sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol dan perlakuan 3. Mengetahui perbedaan selisih perilaku adaptif sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol dan perlakuan
7
4. Mengetahui pengaruh masing-masing karakteristik anak (jenis kelamin, lama dirawat dan pengalaman dirawat) dengan perilaku adaptif sesudah pada anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi
1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Praktis 1. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi Rumah Sakit dimana fasilitas bermain sangat diperlukan dalam penatalaksanaan atraumatic care dan terapi bermain clay therapy dapat menjadi penatalaksanaan perilaku adaptif pada anak usia prasekolah yang mengalami hospitlisasi 2. Sebagai bahan masukan bagi profesi keperawatan terutama keperawatan anak dalam penatalaksanaan atraumatic care yaitu perilaku adaptif pada anak hospitalisasi dengan terapi bermain clay therapy
1.4.2. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai masukan dan bahan pengembangan penelitian dalam ilmu pengetahuan terutama dalam keperawatan anak. Dan berguna sebagai informasi dan pengetahuan peneliti berikutnya, bahwa terapi bermain clay therapy dapat mempengaruhi perilaku adaptif anak dirawat di Rumah Sakit.