1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama yang paling sempurna di sisi Allah adalah Islam1, dengan satu mottonya rahmatan li al-‘âlamîn – rahmat bagi sekalian alam. Kata alam di sini bukan hanya menyangkut makhluk hidup seperti halnya manusia dan binatang tetapi juga alam semesta. Dalam agama Islam –secara garis besar– dikenal dua pembidangan hukum, yaitu ibadah dan muamalah. Hukum ibadah adalah serangkaian peraturan yang mengatur hubungan antara seorang hamba dengan Sang Khaliq. Sedangkan hukum muamalah adalah seperangkat aturan yang mengatur tentang interaksi antar sesama manusia. Dalam bidang muamalah, Islam memberikan aturan-aturan yang sifatnya sangat longgar guna memberikan kesempatan bagi perkembangan hidup manusia dikemudian hari. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah dari Tsabit dari Anas, Nabi bersabda :
ﻛﻞ ﺍﳘﺎ ﻋﻦ ﺍﻻﺳﻮﺩ ﺑﻦ.ﺎﻗﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺷﻴﺒﺔ ﻭﻋﻤﺮ ﻭﺍﻟﻨﺣﺪ ﺎﺩ ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦﺛﻨﺎ ﲪ ﺣﺪ.ﺛﻨﺎ ﺃﺳﻮﺩ ﺑﻦ ﻋﺎﻣﺮﺣﺪ: ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ.ﻋﺎﻣﺮ ﱯ ﻨ ﺃﻥ ﺍﻟ, ﻋﻦ ﺃﻧﺲ, ﻭﻋﻦ ﺛﺎﺑﺖ. ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ, ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ,ﻫﺸﺎﻡ ﺑﻦ ﻋﺮﻭﺓ ﻗﺎﻝ. ﻟﻮ ﱂ ﺗﻔﻌﻠﻮﺍ ﻟﺼﻠﺢ: ﻓﻘﺎﻝ.ﺮ ﺑﻘﻮﻡ ﻳﻠﻘﹼﺤﻮﻥ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣ
1
Depag R.I, al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. al- Waah, 1993, hlm. 78.
2
: ﻗﺎﻝ. ﻗﻠﺖ ﻛﺬﺍ ﻭﻛﺬﺍ:ﻣﺎﻟﻨﺨﻠﻜﻢ؟ ﻗﺎﻟﻮﺍ:ﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺮ ﻓﻤ.ﻓﺨﺮﺝ ﺷﻴﺼﺎ 2
( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ﺍﻧﺘﻢ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺄﻣﺮﺩﻧﻴﺎﻛﻢ
“Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Amr al-Naqid menceritakan kepada kami dari Aswad bin Amir, Abu Bakar berkata, Aswad bin Amir menceritakan kepada kami, dari Hammad bin Salamah, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Tsabit, dari Anas bahwa Nabi saw melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma. Beliau bersabda: Jika kalian tidak melakukannya pasti itu lebih baik. Anas berkata: Maka pohon itu menghasilkan buah yang jelek. Kemudian Nabi lewat kepada mereka dan bertanya: Bagaimana dengan hasil perkawinan pohon kurma kalian? Mereka menjawab: Engkau mengatakan begini begitu. Nabi berkata: Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”. (HR. Muslim). Berkaitan dengan muamalah ini, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bersama, yaitu terpenuhinya segala kebutuhan manusia, maka Islam menetapkan adanya konsep hak milik umum terhadap suatu harta. Konsep hak milik umum yang digunakan oleh Islam mempunyai makna yang berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimaksud oleh sistem sosialis dan komunis. Konsep hak milik umum yang dimaksud dalam Islam adalah harta-harta yang memberikan manfaat besar kepada masyarakat berada di bawah pengawasan umum3, hal ini dimaksudkan demi tercapainya kepentingan umum dalam masyarakat. Akan tetapi pengakuan terhadap kepemilikan individu tetap diberi ruang dalam Islam. Dengan tujuan agar umat Islam tetap memiliki ghirah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Konsep hak milik umum ini diterapkan pada harta-harta yang diperuntukkan untuk kemaslahatan dan kepentingan umum. Harta-harta jenis 2
Imâm Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairiy al-Naisâbûriy, Shahîh Muslim, Juz. 2, Beirut: Dâr al-Fikr, tt, hlm. 426. 3 Afzalul Rahman, Economic Doctrines Of Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin, “Doktrin Ekonomi Islam”, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995, hlm. 113.
3
ini dalam istilah fiqh mu’âmalah disebut dengan al-amwâl
al-‘âmmah.
Menurut Mushtafa Ahmad Zarqa, dalam kitabnya al-Madkhâl al-Fîqh alÂmm, al-amwâl al-‘âmmah didefinisikan sebagai harta yang tidak masuk ke dalam kepemilikan individu yang digunakan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan bersama4. Pada dasarnya semua harta diciptakan untuk kepentingan masyarakat. Hal ini selaras dengan firman Allah surat al-Baqarah ayat 29: (29:)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ
ﺽ َﺟﻤِﻴﻌًﺎ ِ ﺭ ﻢ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄ َﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ َﺧ ﹶﻠ َﻖ ﹶﻟ ﹸﻜﻫ
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (Qs. Al-Baqarah: 29). 5
Akan tetapi para ahli fiqh memberi ketentuan diantara harta-harta yang boleh dimiliki atau tidak dimiliki secara perorangan. Harta yang boleh dimiliki secara perorangan dengan sebab-sebab yang menyebabkan kepemilikan misalnya binatang buruan, ikan di laut, kayu bakar liar, dan tanah yang mati. Sedangkan harta yang tidak dapat dikuasai oleh perorangan seperti sungai yang besar, barang tambang yang berada di perut bumi, jalan-jalan umum, jembatan, dan lain-lain.6 Secara syar’i, telah ditetapkan tiga jenis harta yang mutlak menjadi milik umum, dan tidak dapat dikuasai secara perorangan, yaitu air, rumput,
4
Mushtafa Ahmad Zarqa, al-Madkhâl al-Fîqh al-Âmm, Juz 3, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t,
5
Depag RI, op.cit, hlm. 13. Mushtafa Ahmad Zarqa, op. cit, Juz. 3, hlm. 222.
hlm.221. 6
4
dan api. Ketiga harta tersebut dalam istilah fiqh mu’âmalah dikenal dengan istilah al-mubâhât al-‘âmmah. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:
, ﻋﻦ ﺍﻷﻋﺮﺍﺝ,ﻧﺎﺩ ﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻋﻦ ﺃﰊ ﺍﻟﺰ,ﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺣﺪ : ﺃ ﹼﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ" ﺛﻼ ﺙ ﻻ ﳝﻨﻊ,ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ 7
(ﺎﺭ" )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻭﺍﻟﻨ, ﻭﺍﻟﻜﻼﺀ,ﺍﳌﺎﺀ
“Muhammad bin Abdillah bin Yazid menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan dari Abi Zinad, dari A’raj, dari Abi Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: tiga hal yang tidak ada penghalang atasnya yaitu: air, rumput, dan api.” (HR. Sunan Ibnu Majah). Kata “tidak ada penghalang” dalam hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa air, rumput, dan api merupakan milik bersama manusia dimuka bumi ini, sehingga siapapun mempunyai hak yang sama dalam mengakses manfaat dari ketiga jenis benda tersebut. Oleh karena itu praktek monopoli terhadap ketiga jenis benda tersebut tidak dibenarkan dalam perspektif agama. Dalam konteks masyarakat Indonesia, dari ketiga jenis harta almubâhât al-‘âmmah tersebut yang sangat urgen bagi kehidupan manusia adalah air. Karena air merupakan kebutuhan dasar manusia. Melihat akan pentingnya air bagi hajat hidup orang banyak, maka UUD 45 sebagai konstitusi tertinggi memberikan perlindungan terhadap air, yaitu penguasaan air oleh negara. Hal ini tertuang dalam pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang berbunyi:“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 7
Al-Imâm al-Hâfîdz Abî Abdullah Muhammad bin Yazîd al-Qazwîniy Ibn Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, Juz. 2, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t., hlm. 826.
5
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.8 Perspektif HAM atas kebutuhan dasar akan air ini juga dipertegas dalam level global. Pada bulan November 2002, komite PBB untuk hak ekonomi, sosial dan budaya mendeklarasikan akses terhadap air merupakan sebuah hak dasar (a fundamental right). Disebut bahwa air adalah benda sosial dan budaya, dan tidak hanya komuditi ekonomi.9 Hak individu untuk mendapatkan air merupakan hak dasar asasi yang sejajar dengan hak untuk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan. Air merupakan barang publik (public goods) dan akses manusia terhadap air bersifat terbuka (open access). Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka akan semakin besar pula kebutuhan manusia akan air. Sedangkan kuantitas air semakin lama semakin menurun. Hal ini disebabkan karena ulah manusia yang kurang akrab dengan air, seperti kegiatan penebangan hutan secara liar, penggundulan tanah, dan kegiatan pencemaran air. Berkurangnya sumber air disertai dengan populasi manusia yang semakin meningkat, maka hal ini akan mendapat perhatian khusus oleh pemerintah. Di negara Indonesia, dengan argumen efisiensi (pengeluaran sekecil-kecilnya) dan efektifitas (berdaya guna dan tepat sasaran), maka pada tanggal 18 Maret 2004 DPR beserta presiden Megawati Sukarno Putri telah mensahkan sebuah Undang-undang baru sebagai solusi atas kondisi 8 9
air, hlm. 1
UUD 45 Hasil Amandemen, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. ke-1, 2002, hlm. 26. P. Raja siregar, Privatisasi Air, Http/ www.walhi.or.id,/kampanye/air/privatisasi/priv-
6
kelangkaan air yaitu UU Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004. Undangundang ini membuka pintu bagi swasta atau pemilik kapital untuk menguasai sumber-sumber air yang dapat mengakibatkan lahirnya neoliberalisme dan kapitalisme ekonomi. Hal ini dapat kita lihat adanya komponen hak guna usaha yang tertuang dalam pasal 9 ayat 1 yang berbunyi: “Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya”.10 Ditengah kontroversi yang ada, lahirnya Undang-undang ini adalah bagian dari penyesuaian struktural pesanan Bank Dunia yang mensyaratkan reformasi menyeluruh
dari sektor air di Indonesia, dengan
program
WATSAL (Water Resuorces Sector Adjustmen Loan) yaitu utang yang bernilai US $ 300 juta. Reformasi sektor air ini meliputi reformasi kerangka regulasi dan institusi, pengelolaan daerah aliran sungai dan irigasi.11 Diskripsi di atas memperlihatkan bahwa dengan lahirnya Undangundang Sumber Daya Air ini, maka air yang semula berfungsi sebagai public goods akan beralih fungsi menjadi private goods. Pengalihan fungsi air ini dalam perpektif fiqh mu’âmalah bertentangan dengan konsep al-amwâl al‘âmmah dalam Islam. Selain itu, jika ditinjau dari geografis negara Indonesia yang berada di garis katulistiwa, maka Indonesia adalah negara agraris, yaitu mayoritas matapencaharian penduduk Indonesia adalah sebagai petani, yang mana dalam proses pertanian tidak akan terlepas dengan istilah pengairan.
10
UU Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004, Jakarta: CV. Eko Jaya, Cet. ke-1, 2004,
hlm. 8. 11
P. Raja Siregar, et al., Politik Air: Penguasaan Air Melalui Utang, Jakarta: WalhiKAU, Cet. ke-1, 2004, hlm. 18.
7
Ketika air berfungsi sebagai private goods,
maka para petani akan
mengeluarkan cost yang banyak sebagai biaya produksi pertanian. Padahal sebagai akibat
perjalanan politik yang kurang kondusif, produk-produk
pertanian kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Apa lagi disusul pula dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang memiliki keperpihakan kepada kaum miskin. Dari latar belakang itulah kiranya menurut penulis UU Sumber Daya Air tersebut layak untuk
dikaji
menjadi sebuah skripsi dengan judul,
“Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 9 Undang-Undang Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004 tentang Hak Guna Usaha Air Relevansinya dengan Konsep Al-Amwâl Al-‘Âmmah dalam Islam”. B. Rumusan Masalah Dari uraian di atas memperlihatkan adanya ketimpangan antara dunia konsep (hukum Islam) dengan dunia empirik (pasal 9 UU Sumber Daya Air No. 7 Th. 2004 tentang hak guna usaha air) di masyarakat. Titik ketimpangan tersebut menimbulkan permasalah yang dihadapi oleh hukum Islam yaitu, “Bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap pasal 9 UU Sumber Daya Air (SDA) No.7 Th. 2004 Tentang hak guna usaha air?”. Untuk membatasi pembahasan dalam penulisan penelitian ini, maka pokok permasalah tersebut dapat dirumuskan menjadi sebuah rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya UU Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004? 2. Apa substansi dari UU Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004?
8
3. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap pasal 9 UU Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004 tentang hak guna usaha air relevansinya dengan konsep al-amwâl al-‘âmmah dalam Islam? C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Skripsi 1. Tujuan Penyusunan a. Untuk memperoleh gambaran latar belakang lahirnya UU Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004. b. Untuk memperoleh gambaran tentang substansi UU Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004. c. Untuk memperoleh gambaran tinjauan hukum Islam dari pasal 9 UU Sumber Daya Air (SDA) No. 7 th. 2004 tentang hak guna usaha air relevansinya dengan konsep al-amwâl al-‘âmmah dalam Islam. 2. Kegunaan Penyusunan. a. Pengembangan dan pengaktualisasian hukum Islam, khususnya dalam bidang muamalah. b. Sumbangsih kepada pemerintah dalam menentukan sebuah kebijakan khususnya yang berkaitan dengan pemeliharaan kepentingan umum bagi warga dan negara Indonesia. c. Kegunaan akademik, untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar SI dalam bidang hukum Islam. D. Telaah Pustaka Telaah pustaka merupakan kegiatan penelaahan terhadap buku-buku yang relevan dengan bentuk kajian yang sedang dilakukan. Kegiatan ini
9
merupakan salah satu upaya untuk menghindari adanya duplikasi dalam sebuah penulisan karya tulis. Penelitian terhadap “Pasal 9 Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004 tentang Hak Guna Usaha Air Relevansinya dengan Konsep AlAmwâl Al-‘Âmmah dalam Islam”, merupakan sebuah penelitian yang menitik beratkan pada kajian interpretasi hak atas air yang tertuang dalam pasal 9 undang-undang sumber daya air tersebut dan sejauh manakah relevansinya dengan konsep Al-Amwâl Al-‘Âmmah dalam Islam. Banyak para analis yang concern terhadap lingkungan yang memberikan interpretasi bahwa pasal 9 tersebut merupakan sebuah pasal yang mengarah pada praktek privatisasi air, sehingga dalam penelitiannya, mereka menempatkan masalah privatisasi air sebagai persoalan yang sangat penting dalam kancah perekonomian. Karena hal ini menyangkut dengan kebutuhan dasar manusia akan air yang sejajar dengan kebutuhan pelayanan pendidikan, dan kesehatan. Ketika undang-undang privatisasi air ini diaplikasikan, maka berarti telah merampas hak dasar manusia tersebut. Para analis tersebut misalnya, P. Raja Siregar, Adam Mahfud, Hening Parlan, dan Adi Nugroho dalam bukunya “Politik Air: Penguasaan Air Melalui Utang” dalam pembahasan tentang privatisasi air, mereka menyebutkan bahwa lahirnya Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004 yang memberikan peluang kepada swasta untuk mengambil alih kewenangan pemerintah ini sarat dengan muatan politik kebijakan ekonomi
10
Bank Dunia yaitu program WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) senilai US $ 300 juta.12 Dalam bab yang lain, mereka juga mendiskripsikan tentang kasuskasus lokal yang sebagai bentuk penerapan privatisasi air ini, yaitu adanya beberapa PDAM yang sudah dan akan diambil kewenangannya dari pemerintah melalui skema “privatisasi”.13 Selain itu, dalam buku yang berjudul “Water Wars: Privatisasi, Provit, dan Polusi” yang ditulis oleh Vandhana Shiva, seorang feminis dan aktifis lingkungan dari India. Vandhana Shiva mendeskripsikan dengan panjang lebar mengenai privatisasi air yang dilakukan di negara-negara ketiga merupakan sebuah intervensi politik ekonomi yang digencarkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan IMF melalui program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Programs/SAP) dalam bentuk suntikan dana yang dikucurkan kepada negara-negara yang sedang berkembang.14 Dalam buku tersebut ia juga memberikan beberapa contoh perusahaan raksasa yang berkorporasi dalam bisnis air. Vivendi Environment dan Suez Lyonnase des Eaux merupakan industri air yang berasal dari Perancis dengan jangkauan bisnis mencapai 120 negara. Beberapa perusahaan lain yang ikut berkorporasi dalam bisnis air ini misalnya Aguas de Barcelona (Spanyol) dan
12
P. Raja Siregar, op. cit, hlm. 75-77. Ibid, hlm. 101-112. 14 Vandhana Shiva, Water Wars: Privatization, Pollution and Profit, terj. Achmad Uzair “Water Wars: Privatisasi, Provit,dan Polusi”, Yogyakarta: Insist Pres, Cet. ke-1, 2002, hlm. 99107. 13
11
beberapa perusahaan Inggris
seperti Thames Water, Biwater, dan United
Utilities.15 Kedua buku di atas memberikan eksplorasi tentang interpretasi hak guna usaha air sebagai kebijakan pemerintah yang mengarah kepada praktek privatisasi air, sehingga dalam dataran aplikatif kebijakan tersebut memberikan dampak negatif kepada masyarakat. Berdasarkan pada penelaahan di atas, belum didapatkan mengenai pembahasan materi dari hak guna usaha air secara komprehansip, pembahasan hanya terbatas pada kasus-kasus baik lokal maupun Internasional berkaitan dengan penerapan hak guna usaha air. Oleh karena itu, menurut penulis, perlu adanya upaya untuk mengkaji materi hak guna usaha air sebagaimana yang tertuang dalam pasal 9 Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004 dalam perspektif hukum Islam sesuai dengan bidang akademik penulis, karena hal ini sangat berkaitan dengan konsep al-mashâlih al-‘âmah (kemaslahatan bersama) dalam hidup bermasyarakat. Disamping itu, kajian ini juga dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat berkaitan dengan interpretasi hak atas air yang tertuang dalam pasal 9 tersebut. Karena penelitian ini juga untuk mencari titik relevansi antara hak guna usaha air dengan konsep al-amwâl al-‘âmmah dalam Islam, maka perlu kiranya penulis mengadakan penelaahan terhadap kitab-kitab fiqih sebagai landasan teori.
15
Ibid, hlm. 112-118.
12
Terdapat beberapa kitab fiqh yang relevan dengan objek kajian. Diantaranya adalah “al-Madkhâl al-Fîqh al ‘Âmm” karya Mushtafa Ahmad Zarqa. Dalam salah satu sub babnya yang membahas tentang al-amwal al‘ammah, beliau menempatkan air sebagai harta yang tidak dapat dimiliki secara perorangan karena melihat urgensi harta ini adalah untuk kepentingan umum, sebagaimana sebuah hadist yang dikutip dari Imam Ahmad.16 Selain kitab fiqh di atas, T. M. Hasbi Ash Shiddiqiey dalam karyanya “Pengantar Fiqih Muamalah” dalam pembahasan harta masyarakat umum, Beliau memposisikan air sebagai benda al-mubâhât al-‘âmmah yang tidak bisa dimiliki secara perorangan karena adanya nas yang melegitimasinya sebagaimana sebuah hadist yang Ia kutip dalam kitab Radd al-Muhtar.17 Hal senada juga termaktub dalam kitab-kitab fiqh yang lain, seperti al-Ahkam alMu’amalat, Badai’ al-Shanai’, dan kitab al-Hidayah. E. Metode Penulisan Skripsi 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk dalam kategori library research18 dengan mengambil bentuk penelitian dokumenter, karena kajiannya adalah sebuah pasal dari Undang-undang yang merupakan dokumen negara. 2. Sumber Data Sebagai sumber data primer dari penelitian ini adalah UU Sumber Daya Air (SDA) 16
No. 7 Th. 2004, kitab-kitab fiqih muamalah yang
Mushtafa Ahmad Zarqa, op. cit., Juz. 3, hlm. 221-224. T.M. Hasbi Ash Shiddiqiey, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, Cet. ke-3, 2001, hlm. 187-191. 18 Penggolongan Jenis-jenis reseach dapat dilihat dalam Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Penerbit Andi, Cet. ke-30, 2000, hlm.3. 17
13
membahas tentang konsep al-amwal al-‘ammah seperti; al-Ahkam alMu’amalat, Badai’ al-Shanai’, al-Hidayah, al-Madkhâl al-Fîqh al ‘Âmm, dan Pengantar Fiqih Muamalah. Sedangkan sumber data sekundernya adalah buku-buku, surat kabar, artikel, kitab-kitab hadits, dan literatur-literatur lainnya yang sesuai dengan kajian yang dilakukan. 3. Metode Pengumpulan data Karena jenis penelitian ini adalah library research, maka metode pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan membaca dan menelaah dengan seksama literatur-literatur pokok dan literatur –literatur lain yang berkaitan dengan pokok bahasan. Dalam pengumpulan data ini, diperlukan tiga langkah utama yang meliputi; a. Inventarisasi data, merupakan kegiatan pengelompokan data. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga akurasi data yang telah diperoleh, sehingga akan didapatkan data yang valid. b. Deskripsi data. Data yang sudah dilakukan inventarisasi, kemudian dideskripsikan dalam sebuah laporan penelitian. c. Identifikasi data. Data yang sudah dideskripsikan, kemudian diidentifikasikan secara jelas agar dapat menunjukkan alur klausulnya, sehingga dapat diajukan proposisi-proposisi terhadap data tersebut. 19
19
hlm. 167.
Muhammad Ali, Strategi Penelitian Pendidikan, Bandung: Angkasa, Cet. ke-1, 1993,
14
4. Analisis Data Untuk
menganalisis
data
yang
terkumpul,
maka
penulis
menggunakan metode analisis kualitatif, dengan mengambil bentuk analisis deskripsi (deskriptif analitis), yaitu kegiatan menganalisis dengan cara menyajikan data secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. 20 Hal ini dimaksudkan agar kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya dapat dikembalikan langsung pada data yang telah diperoleh. Teknis operasional dari model analisis ini adalah dengan menyajikan data secara sistematik, kemudian
data
dianalisis
dan
diolah
didasarkan
pada
analisis
kecenderungan. F. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan pemahaman yang mendalam, maka skripsi ini penulis susun dengan sistematika sebagai berikut: Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, telaah pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Dari bab ini dapat diketahui apa yang sebenarnya melatarbelakangi perlunya pembahasan skripsi ini. Selanjutnya dapat diketahui batasan dan rumusan masalah yang relevan untuk dikaji serta tujuan dan kegunaan yang hendak dicapai. Disamping itu dapat pula dicermati metode dan pendekatan apa yang digunakan dalam skripsi ini serta sistematika penulisannya. 20
hlm. 6.
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1998,
15
Bab kedua merupakan landasan teori yang mendeskripsikan tentang konsep al-amwâl al-‘âmmah dalam Islam. Bab ini terdiri dari tiga sub bab yang meliputi: pengertian dan ruang lingkup al-amwâl al-‘âmmah, pembagian al-amwâl al-‘âmmah, dan al-amwâl al-‘âmmah
sebagai objek jual beli
menurut pandangan ulama’ fiqh. Dari bab ini diharapkan bisa memberikan deskripsi secara komprehensip mengenai pembahasan al-amwâl al-‘âmmah dalam Islam, sehingga memberikan sebuah landasan teori yang kuat berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Bab ketiga merupakan temuan penelitian yang mendeskripsikan tentang latar belakang lahirnya Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) No. 7 Th. 2004, tinjauan umum dari isi undang-undang tersebut, kemudian pembahasan lebih spesifik pada substansi hak guna usaha air yang termuat dalam pasal 9, serta tujuan dan manfaat yang diinginkannya. Dari bab ini diharapkan dapat diketahui hal-hal yang melatar belakangi lahirnya undangundang tersebut, tinjauan umum tentang isi undang-undang tersebut, dan substansi dari pasal 9 yang berkenaan dengan hak guna usaha air serta tujuan dan manfaatnya sehingga dapat diketahui pemahaman yang lebih mendalam. Bab keempat merupakan analisis data, yang terdiri dari analisa makna hak guna usaha air serta relevansinya dengan konsep al-amwâl al-‘âmmah dalam Islam. Bab kelima
merupakan kesimpulan akhir dari penulisan skripsi ini
yang berisi kesimpulan dan saran-saran.