BAB I PENDAHULUAN
A. TOPIK PENELITIAN
Pola Pendampingan Orang Tua dalam Memandu Anak Menonton Televisi: Survei terhadap Orang Tua Siswa Sekolah Dasar di Kelurahan Catur Tunggal, Sleman, D.I. Yogyakarta.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Televisi sebagai salah satu media elektronik menjadi media yang paling dekat dengan anak-anak. Sebagai media elektronik yang bersifat audio visual, televisi memiliki nilai lebih untuk menarik minat anak-anak dibandingkan media lainnya, seperti buku dan radio. Mereka tertarik dengan gambar warna-warni yang ditawarkan oleh setiap tayangan anak-anak, juga dengan suara-suara lucu dan menarik yang digunakan. Anak-anak pun betah untuk duduk berjam-jam menyaksikan tayangan favorit mereka di televisi. Yang dikatakan sebagai program untuk anak adalah program yang khusus dibuat dan ditayangkan untuk anak pada waktu-waktu tertentu1. Tayangan dengan anak dibuat secara khusus dengan menarik untuk menghibur anak. Tayangan anak tersebut kemudian dapat dibagi menjadi dua kategori. Tayangan kartun atau boneka yang dibuat memang untuk menghibur anak dengan jalan ceritanya. Kategori lain adalah tayangan yang bersifat pendidikan dimana karakter-karakter menarik yang dimunculkan juga berperan membantu anak belajar dan mengajarkan keterampilan. Program yang ditayangkan untuk anak tersebut 1
Raymond Williams. Televisi. Resist Book. 2009. Hal 107
1
berhasil menjadikan menonton televisi sebagai salah satu kegiatan harian anak. Tingginya porsi anak berinteraksi dengan televisi dalam kesehariannya tidak didukung oleh pola menonton televisi yang sehat. Menonton televisi yang sehat mencakup: batasan waktu menonton televisi, pemilihan tayangan yang tepat, serta pendampingan anak saat menonton televisi2. Tidak semua acara yang disaksikan oleh anak merupakan program anak. Anak juga menghabiskan jam menonton televisi bersama orang tua, terutama ibu, dengan program yang disaksikan merupakan program untuk orang tua. Contohnya, anak turut menyaksikan program sinetron yang seringkali menyajikan adegan kekerasan yang tidak semestinya disaksikan oleh anak. Orang tua diharapkan memiliki peran dalam menciptakan pola menonton televisi yang sehat bagi anak karena televisi bagaikan orang asing yang terus berada di dalam rumah dan mengajarkan berbagai macam hal kepada anak3. Disamping itu pula bila anak dibiarkan menonton televisi sesuai keinginannya, maka jadwal kegiatan lain seperti tidur dan mengerjakan tugas akan mengikuti jadwal tayangan televisi. Jenis acara yang disaksikan anak-anak juga tidak selalu aman bagi mereka. Bahkan tidak jarang mereka menonton tayangan yang mengandung konten yang berbahaya tanpa ada bimbingan dari orang tua untuk mencerna maksud sebenarnya. Bila porsi menonton televisi yang besar tidak disertai dengan peran orang tua menciptakan pola menonton yang sehat dikhawatirkan anak akan menerima mentah-mentah apa yang disuguhkan oleh tayangan televisi yang mereka tonton. Anak menjadikan televisi sebagai sumber pembelajaran bagi anak mengenai dunia sekitarnya tanpa adanya bimbingan dari orang tua. Padahal sebenarnya televisi juga mengandung konten yang baik untuk pendidikan anak bila orang tua dapat mengontrol kebiasaan menonton televisi mereka. 2
Panduan Kidia. Laporan Utama: Hari Tanpa TV. Terarsip di:
http://www.kidia.org/panduan/tahun/2009/bulan/06/tanggal/22/id/108/ 3
Milton Chen: Anak dan Televisi Buku Panduan Orang Tua Mendampingi Anak-anak Menonton
TV. PT Gramedia Pustaka Utama. 1996. Hal 29
2
Sesungguhnya dapat dikatakan semua pihak yang dekat dengan anak-anak adalah guru mereka. Tidak hanya orang tua dan guru di sekolah, semua orang yang berhubungan dengan anak dapat merupakan contoh bagi mereka. begitu pula dengan televisi. Menurut data yang dipublikasikan oleh Nielsen Media periode JanuariMaret 2008, 21% dari total penonton televisi adalah anak-anak usia 5-14 tahun. Anak-anak menghabiskan waktu rata-rata tiga jam setiap harinya untuk menonton televisi. Mereka menghabiskan waktu menonton televisi paling banyak pada pagi hari antara pukul enam hingga sepuluh pagi dan di siang hingga malam hari antara pukul dua belas siang hingga sepuluh malam4. Hasil penelitian Nielsen Index terhadap anak-anak di Indonesia menunjukkan sebagian besar anak Indonesia menghabiskan waktunya menonton televisi selama 30-35 jam seminggu atau 1560-1820 jam setahun. Angka tersebut lebih besar daripada waktu yang mereka habiskan di sekolah dasar yang tidak lebih dari seribu jam per tahun5. Televisi bahkan telah menjadi teman interaksi yang lebih besar bagi anak, melebihi interaksi mereka dengan orang tua. Sebagai sesama anggota keluarga, sudah selayaknya bila orang tua menjadi sahabat terdekat bagi anak. Orang tua menjadi tempat bercerita dan tempat bertanya bagi anak. Anak mendapatkan pengetahuan dan informasi yang mereka butuhkan dari orang tua, terutama dari ibu yang secara sosial berperan sebagai orang tua yang membesarkan anak. Namun, tidak semua orang tua dapat menghabiskan waktunya seratus persen untuk mengurus anak-anak mereka. Orang tua juga mempunyai kewajiban untuk bekerja mencari nafkah disamping kewajiban mengasuh anak-anak mereka. Tidak sedikit keluarga dimana ayah dan ibu keduanya bekerja di luar rumah, jauh dari anak mereka. Sedangkan kewajiban ibu rumah tangga yang tidak bekerja pun terbagi antara mengurus anak dengan kegiatan rumah tangga.
4
Media dalam Kehidupan Anak. Terarsip di:
http://www.kidia.org/panduan/tahun/2010/bulan/11/tanggal/01/id/171/ 5
Syailendra Putra: Anakku Bertingkah Seperti Sinchan. Pustaka Widyawara. 2009. Hal 35
3
Dengan segala situasi diatas, akhirnya orang tua mencari pihak lain yang dapat menggantikan peran mereka dalam mengasuh anak. Mulai dari asisten rumah tangga hingga benda hasil teknologi yang menarik bagi anak, seperti video game dan televisi. Televisi telah menjadi hal yang lumrah bagi setiap rumah tangga di Indoenesia. Bahkan di kota-kota besar tidak jarang kita temui keluarga yang memiliki lebih dari satu pesawat televisi dalam satu rumah. Mereka biasanya meletakkan televisi di ruang keluarga dan juga di setiap kamar. Tujuannya, agar setiap anggota keluarga dapat menyaksikan acara kegemaran masing-masing tanpa perlu terganggu oleh anggota keluarga lain yang ingin menyaksikan acara berbeda. Sesungguhnya, tanpa disadari pengaturan letak televisi seperti itu mengurangi waktu interaksi anak dengan orang tua yang sebelumnya juga telah tereduksi oleh kesibukan orang tua. Anak akan menonton tayangan kegemaran mereka masing-masing di kamar, sehingga orang tua dan anak kehilangan waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan diri masing-masing. Tanpa disadari televisi pun turut berperan merengangkan hubungan orang tua dan anak. Di satu sisi, memang orang tua merasa bebas dari pertengkaran kecil dengan anak akibat televisi. Namun disisi lain, orang tua tidak memiliki waktu untuk berbagi cerita dengan anak mengenai apa yang terjadi di sekolah, hubungan anak dengan temannya, serta perkembangan akademik anak. Orang tua melewatkan apa yang terjadi dalam kehidupan anak mereka dan juga tanda-tanda munculnya masalah dalam kehidupan si anak. Hanya karena pengaturan peletakan televisi dalam rumah dapat mempengaruhi pola interaksi orang tua dengan anak. Satu televisi dalam rumah yang diletakkan di ruang keluarga dapat menjadi sarana berkumpul keluarga. Anggota keluarga menonton televisi bersama, saling berdiskusi mengenai apa yang ditampilkan di televisi. Hal yang tidak terjadi bila setiap anggota keluarga memiliki televisi di ruang pribadinya masing-masing. Mereka akan menghabiskan
4
waktu luang di kamar masing-masing, bukannya bersama sebagai anggota keluarga. The American Academy of Pediatric merekomendasikan para orangtua untuk tidak menaruh televisi di kamar tidur anak. Ini untuk menghindarkan anak dari terlalu banyak menonton televisi dan agar orangtua tetap bisa mengontrol tayangan televisi yang ditonton anak6. Televisi yang kini telah menjadi bagian dari hampir seluruh rumah tangga di Indonesia pun tak elak memberikan efek bagi pemirsanya di rumah tangga tersebut, tidak terkecuali terhadap anak-anak. Seperti benda hasil teknologi lainnya, efek yang dapat diterima anak-anak dari televisi dapat berupa efek positif maupun negatif. Berbedanya efek tayangan televisi terhadap setiap individu satu dengan yang lain tergantung dari jenis tayangan televisi yang dikonsumsi. Televisi menyajikan tayangan-tayangan untuk anak-anak sebagai salah satu pemirsanya. Tayangan anak-anak tersebut dikemas dengan menarik untuk hiburan anak. Gambar dengan warna-warni, tarian dan nyanyian, serta cerita yang lucu menjadi senjata tayangan tersebut untuk menarik anak-anak menonton. Televisi adalah perkembangan abad ke-20 yang memiliki dampak paling besar terhadap anak-anak. Rata-rata remaja Amerika lulusan sekolah menengah atas lebih banyak menghabiskan waktu mereka di depan televisi daripada yang mereka habiskan di dalam kelas7. Berbagai dampak positif maupun negatif televisi telah diungkapkan para ahli. Televisi telah berperan dalam menyajikan programprogram pendidikan yang memberikan motivasi, menambah informasi anak mengenai dunia di luar lingkungan mereka, dan memberikan model tentang perilaku-perilaku proporsional. Anak dapat melihat dan mempelajari kehidupan di luar dunia mereka lebih dari yang dapat diajarkan guru, orang tua, maupun teman sebaya melalui televisi. Mereka melihat apa yang dilakukan dan kebiasaan-kebiasaan anak-anak lain yang 6
The TV Junkie terarsip dalam: http://www.mediaindonesia.com/mediaperempuan/index.php/read/2008/05/15/158/7/The-TVJunkie 7 John W. Santrock. Life-Span Development:Perkembagan Masa Hidup. Penerbit Erlangga. 2002. Hal 276
5
tinggal di negara yang berbeda. Dengan pembelajaran seperti itu anak-anak dapat menerima, memahami, dan mempelajari cara hidup yang berbeda dari yang mereka lakukan. Tidak sedikit pula tayangan anak-anak tersebut yang menyisipkan kontenkonten edukatif dalam tayangannya. Acara seperti Sesame Street dan Barney and Friends mengajarkan anak kemampuan kognitif seperti: mengenal warna, berhitung, dan membaca. Kemampuan bersosialisasi juga disisipkan dalam konten acara-acara anak tersebut. Dalam tayangan dicontohkan bagaimana seorang anak meminta maaf pada temannya bila melakukan kesalahan atau bagaimana cara meminta sesuatu dengan baik kepada orang lain. Hasil penelitian yang dilakukan Lesser pada tahun 1979 terhadap anakanak yang menyaksikan Sesame Street menunjukkan bahwa mereka yang menonton tayangan tersebut tidak hanya belajar mengenai huruf dan angka, namun mereka juga diajarkan cara membangun interaksi dengan orang dewasa. Anak juga belajar mengambil kesimpulan sebagai bagian penting dalam memecahkan masalah8 Tayangan Sesame Street telah menunjukkan kepada anak cara belajar yang menggembirakan dan menghibur. Bahwa hiburan dan pendidikan dapat berangsung secara bersamaan. Pembelajaran kepada anak dapat berlangsung secara menyenangkan dengan memberikan contoh bagaimana cara melakukan sesuatu, daripada memberikan teori tentang bagaimana sesuatu dilakukan. Misalkan daripada memberitahu anak bahwa mereka harus berbagi dengan temannya, Sesame Street menunjukkan kepada anak tokoh dalam tayangan mereka berbagi dengan temannya. Sayangnya, tidak semua tayangan yang ditujukan untuk anak memberikan efek yang baik bagi anak yang menyaksikannya. Pada dasarnya, tayangan anakanak dibagi menjadi tiga klasifikasi: aman, hati-hati, dan bahaya. Tayangan yang aman adalah tayangan yang tidak mengandung unsur kekerasan, seks, ataupun
8
Putra. Op.Cit.Hal 29
6
mistis. Sedangkan klasifikasi hati-hati dan berbahaya sama-sama mengandung ketiga unsur tersebut, hanya saja kadarnya yang berbeda9 Tayangan dengan klasifikasi hati-hati dan bahaya inilah yang patut menjadi perhatian bagi orang tua. Tayangan dengan klasifikasi hati-hati masih dapat disaksikan oleh anak, asalkan dengan pendampingan dan pengawasan dari orang tua untuk menghindari anak menyerap konten negatif yang muncul. Tayangan dengan klasifikasi bahaya seharusnya tidak disaksikan oleh anak sama sekali karena mengandung konten negatif bagi anak. Konten negatif dalam tayangan tersebut dapat memberikan efek negatif anak seperti adegan kekerasan dan pornografi. Bila ditampilkan dan dinikmati anak secara berkelanjutan, maka akhirnya anak akan menganggap konten negatif dalam tayangan tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Pengaruh yang diberikan televisi kepada anak tidak hanya disebabkan oleh konten tayangan, namun juga oleh jam tayang. Jam tayang tayangan anak yang cenderung berturutan, membuat banyak tersitanya waktu luang anak di depan televisi. Mereka enggan beranjak sebelum semua tayangan selesai. Waktu anak untuk melakukan kegiatan lainnya pun akhirnya mengikuti jadwal tayangan tersebut10. Mereka cenderung untuk menunda aktivitas lain seperti mandi, makan, mengerjakan pekerjaan rumah, dan belajar hingga setelah kegiatan menonton televisi selesai. Anak yang menghabiskan waktu luang dengan menonton televisi berarti mengurangi waktu luang mereka yang digunakan untuk bersosialisasi dengan keluarga dan teman sebayanya. Sedangkan kegiatan bermain bersama adalah cara anak-anak untuk bersosialisasi. Bila waktu luang mereka digunakan untuk menonton, maka mereka mengurangi kegiatan bermain di luar rumah yang bermanfaat bagi anak untuk mempelajari kehidupan bermasyarakat. Peter Gray, dalam American Journal of Play, menuliskan bahwa dengan bermain secara bebas anak mendapatkan kompetensi dasar yang diperlukan untuk
9
Ibid. Hal 52-53 Syailendra Putra. Anakku Dididik dan Diasuh Naruto.PustakaWidyamara. 2009. Hal. 23
10
7
menjadi orang dewasa11. Pada saat anak bermain dengan teman sebayanya mereka membuat peraturan dan memastikan semua anak bermain dengan adil. Sembari bermain, anak belajar untuk membuat keputusan, memecahkan masalah, dan mengontrol diri sendiri. Anak pun belajar untuk mengontrol emosi pada saat bermain. Sikap emosional berlebihan dan keras kepala harus diredam anak bila ingin tetap diterima dalam kelompok bermainnya. Peter LaFreniere, profesor psikologi perkembangan Universitas Maine, mengatakan permainan yang kasar dan menyebabkan jatuh membantu mengajarkan regulasi emosi bagi anak laki-laki12. Mereka harus belajar untuk mengontrol emosi dan tidak menyakiti orang lain apabila ingin mempertahankan teman-temannya. Dengan begitu, ketika dewasa mereka terdidik menjadi pria yang dapat mengontrol emosi. Televisi telah menjadi salah satu sahabat terbaik anak. Waktu interaksi anak dengan televisi bahkan telah menyaingi waktu interaksi anak dengan orang tua. Konsumsi televisi anak seharusnya menjadi perhatian orang tua dalam proses pendidikan dan pembentukan anak menjadi pribadi yang baik. Televisi harus dapat dimanfaatkan orang tua sebagai salah satu media belajar anak, bukan benda yang memberikan efek negatif terhadap perkembangan anak. Penelitian ini melihat pada bagaimana peran orang tua sebagai pelindung anak dari efek tayangan televisi dengan fokus penelitian pada orang tua dengan anak yang masih bersekolah di sekolah dasar. Apakah orang tua memiliki peran? Juga untuk melihat bentuk peran serta apa saja yang telah dilakukan para orang tua dalam perannya sebagai pemandu anak menonton televisi demi menciptakan pola menonton televisi yang sehat.
11
Harnowo, Putro Agus: Anak yang Kurang Bermain Banyak Timbulkan Masalah. Terarsip dalam http://www.detikhealth.com/read/2011/09/23/144642/1729038/764/anak-yang-kurang-bermainbanyak-timbulkan-masalah 12 Ibid.
8
C. RUMUSAN MASALAH
Pertanyaan
utama
yang
diajukan
dalam
penelitian
ini
adalah:
Bagaimana peran orang tua dalam memandu anak menonton tayangan televisi?
D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk 1. Mencari tahu peran orang tua dalam memandu anak menonton tayangan televisi. 2. Mencari tahu hubungan antara karakteristik orang tua dengan peran orang tua dalam memandu anak menonton televisi. 3. Mencari tahu interaksi antara orang tua dan anak dalam membimbing anak menonton televisi
E. MANFAAT PENELITIAN
1. Untuk mengetahui sejauh mana pola menonton televisi yang sehat menurut KIDIA telah diterapkan orang tua dalam kegiatan anak menonton televisi. 2. Sebagai bentuk evaluasi terhadap bentuk peran orang tua dalam memandu anak menonton televisi dalam mencapai pola menonton televisi yang sehat.
F. KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep penelitian ini menggunakan Pola Menonton Televisi Sehat yang dicetuskan oleh KIDIA dengan poin-poin: peran orang tua, kebiasaan anak menonton televisi, dan pola menonton televisi sehat.
9
a. Peran Orang Tua
Sebagai orang tua, telah menjadi kewajiban untuk memberikan yang terbaik untuk anak. Baik dalam hal-hal yang bersifat materiil maupun non materiil. Orang tua juga sudah selayaknya menjauhkan anak dari hal-hal negatif yang dapat memberikan efek buruk bagi kehidupan anak. Salah satu kewajiban orang tua adalah untuk memberikan bimbingan kepada anak melakukan aktifitas. Telah menjadi tugas orang tua untuk memberikan panduan kepada anak mana hal-hal yang baik dan mana hal yang akan memberikan dampak negatif. Tidak terkecuali dalam kegiatan menonton televisi. Tanpa sadar orang tua telah menyuguhkan dunia dan segala masalah di dalamnya kepada anak melalui program televisi. Televisi dapat diibaratkan sebagai orang asing yang hadir di rumah, kemudian ia menunjukkan hal yang baik dan buruk kepada anak13. Kebebasan yang diberikan orang tua kepada anak dalam mengonsumsi televisi telah menghilangkan penyaring efek negatif televisi kepada anak. Anak pun dibiarkan menyerap hal-hal buruk yang diajarkan sehingga mereka akan menganggap bahwa hal tersebut adalah hal yang lumrah. Orang tua seringkali tidak menyadari apa yang mereka lakukan dapat memberikan efek buruk bagi perkembangan anak. Mereka cenderung membiarkan anak melakukan kegiatan yang menyenangkan bagi anak mereka apa bila pengaruh buruknya tidak terlihat langsung. Dengan dua sudut dalam melihat televisi, Syailendra Putra dalam Anakku Bertingkah Seperti Sinchan merumuskan cara yang dapat dilakukan orang tua untuk membentuk hubungan yang positif dengan televisi yaitu dengan orang tua harus aktif mempelajari bagaimana dan apa media yang dikonsumsi oleh anak. Dengan mengetahui apa yang disaksikan anak, orang tua dapat membuat batasan-
13
Chen: Op.Cit. Hal 31
10
batasan yang jelas dan tepat bagi anak. penting juga bagi orang tua untuk tidak membiarkan anak menonton televisi sendirian. Orang tua harus membantu anak mengembangkan kebiasaan yang sehat dalam menikmati tayangan televisi dengan membuat anak disiplin dengan menggunakan waktu untuk melakukan aktifitas lain yang lebih bermanfaat. Waktu yang biasanya digunakan untuk menonton televisi dapat digunakan untuk melakukan aktifitas lain seperti bermain permainan edukatif atau menghabiskan waktu di luar ruangan. Jadwal menonton televisi anak sehendaknya ditentukan oleh orang tua dimana baik orang tua maupun anak tidak menyalakan televisi jam-jam tertentu yang dapat digunakan untuk menjalin keakraban antar anggota keluarga. Dengan begitu orang tua dapat menjadi teladan bagi anak dalam pembatasan diri terhadap menikmati tayangan televisi. Bentuk bimbingan orang tua lainnya bisa diwujudkan dengan melakukan Mediasi Orang Tua (Parental Mediation) yang dirumuskan Oleh Amy I. Nathason yang dikutip dalam jurnal berjudul Mediasi, Anak, Televisi: Pentingnya Mediasi Orang Tua bagi Anak Saat Menonton Televisi karya Frizky Yulianti Nurnisya14 yang dimuat dalam Jurnal Komunikator mediasi dapat dilakukan dalam bentuk: 1. Active Mediation: Terjadi percakapan langsung antara orang tua dan anak pada saat menonton televisi dalam bentuk mediasi ini. Orang tua mengajak anaknya terlibat dalam percakapan selama kegiatan menonton televisi. Mereka membicarakan tayangan yang sedang ditonton bersama, membahas bersama apa yang ditampilkan di televisi. Topik percakapan juga bisa mengenai topik-topik umum dan kegiatan sehari-hari. Dalam membicarakan tayangan, penting bagi orang tua untuk memiliki literasi media yang baik agar dapat memberikan panduan baik dan buruk secara tepat kepada anak dalam proses menonton televisi. 2. Restrictive Mediation: Bentuk mediasi ini ditandai dengan adanya batasan langsung dari orang tua terhadap pola menonton televisi anak. orang tua 14
Frizky Yulianti Nurnisya. Mediasi, Anak, Televisi: Pentingnya Mediasi Orang Tua bagi Anak Saat Menonton Televisi dimuat dalam Jurnal Komunikator/Vol.1/No.2/Nov 2009/JIK UMY/Yogyakarta
11
memberikan batasan yang jelas dalam bentuk larangan kepada anak dalam kegiatan menonton televisi. Tayangan apa yang boleh ditonton, pukul berapa saja yang dapat dihabiskan untuk menonton televisi. Menurut Nathanson, bentuk mediasi ini masih bersifat negatif karena bersifat melarang hingga tidak menghilangkan tendensi negatif. 3. Coviewing: Orang tua menemani anak dalam kegiatan menonton televisi, namun tidak memberikan batasan ataupun melarang. Orang tua hanya hadir menemani anak. Dengan keberadaan orang tua mendampingi saat menonton televisi, anak akan merasa dibatasi dengan sendirinya. Anak akan menghindari tontonan yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam keluarga.
b. Kebiasaan Anak Menonton Televisi
Televisi diperlakukan sebagai teman dekat telah biasa kita lihat pada kehidupan anak-anak masa kini, terutama bagi anak yang hidup di kota. Peran televisi dalam kehidupan generasi muda menjadi perhatian tersendiri. Generasi muda merupakan penonton dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan pemirsa terlevisi dari kelompok usia lain. Waktu tonton televisi anak meningkat ketika memasuki usia sekolah dasar, kemudian menurun selama masa sekolah menengah dan perguruan tinggi15. Anak-anak cenderung untuk lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi dibandingkan dengan waktu yang mereka habiskan untuk berinteraksi dengan anggota keluarga. Guru besar Mandel School of Applied Social Science, Mark Singer, menyatakan bahwa bagi anak-anak televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan16. Maccoby, senada dengan Schramm,
15 16
George Comstock,dkk. Television and Human Behaviour. Columbia University Press. 1978. Putra Op.Cit. Hal 22
12
menyatakan anak yang memiliki hubungan yang tegang dengan orang tua menghabiskan waktu lebih banyak untuk menonton televisi17. Tidak jarang pula orang tua secara tidak sengaja menggantikan posisi mereka dengan televisi sebagai pengasuh anak. Orang tua menyajikan televisi kepada anak sebagai hiburan dan pengalih perhatian agar anak tidak ’merepotkan’ orang tua. Bila anak menangis, nyalakan televisi dengan program anak favorit, maka anak akan terdiam karena perhatiannya teralih. Menonton televisi juga dijadikan sebagai kegiatan yang mengisi jam-jam dalam keseharian anak yang seharusnya dapat diisi dengan kegiatan interaksi anak dengan orang tua. Televisi sebagai hasil teknologi sesungguhnya bukanlah benda yang selalu membawa pengaruh buruk. Sebagai pengguna, orang tua dapat menjauhkan anak dari pengaruh televisi dengan memilah apa yang akan televisi sajikan kepada anak-anak mereka. Bila apa yang anak-anak konsumsi tayangan-tayangan edukasi akan memiliki pengaruh yang berbeda dengan bila mereka mengonsumsi tayangan-tayangan dewasa. Program anak juga tidak sama bagus untuk anak segala usia. Masingmasing acara ada klasifikasinya lagi. Efek yang ditimbulkan tayangan tersebut bisa berbahaya bagi anak diluar kualisifikasi usia. Contohnya adalah tayangan animasi yang identik dengan anak-anak. Tidak semua tayangan animasi aman dari konten berbahaya bagi anak. Tidak sedikit tayangan animasi yang justru mengandung tayangan kekerasan atau pornografi. Namun karena tayangan animasi merupakan tayangan yang identik dengan anak-anak, maka akhirnya anak-anak dan bahkan orang tua merasa tidak masalah bila menyaksikan tayangan animasi. Padahal anggapan tayangan animasi dibuat untuk anak maka aman mereka saksikan tidaklah selalu benar. Banyak tayangan animasi yang sesungguhnya jauh dari kategori aman untuk tayangan anak. Tom dan Jerry yang penuh dengan adegan kekerasan, serta Crayon Shinchan yang mengandung muatan pornografi dapat memberikan efek negatif bila disaksikan oleh anak.
17
Comstock,dkk. Op.Cit. Hal 9.
13
Kebiasaan anak menonton televisi tidak hanya perlu diperhatikan dari sisi tayangan yang ditonton, namun juga berapa waktu yang dihabiskan anak untuk menonton televisi. Waktu senggang anak digunakan untuk menonton televisi telah menjadi kegiatan yang lumrah. Berkegiatan, seperti makan dan mengobrol dengan anggota keluarga lain, juga biasa dilakukan di depan televisi. Selama tidak menganggu aktivitas lain, menghabiskan waktu di depan televisi pun dianggap tidak masalah. Namun tanpa disadari orang tua bila waktu-waktu tersebut diakumulasi, akan muncul angka jumlah waktu anak menonton televisi yang mengejutkan. Bila dalam satu hari anak menonton televisi sebanyak lima jam, maka berarti ia sudah menghabiskan satu hari lebih dalam satu minggu hanya untuk menonton televisi. Bila dihitung lebih luas lagi, itu berarti 120 jam atau lima hari penuh dalam satu bulan. Televisi memang dapat menjadi sarana belajar yang positif bagi anak. Program tayangan edukatif anak sesungguhnya dapat membantu orang tua memberikan pendidikan kepada anak dalam bentuk hiburan, tanpa perlu anak merasa dipaksa belajar. Namun bila tidak ada bimbingan dari orang tua, televisi dapat menjadi musuh bagi perkembangan positif anak.
c. Pola Menonton Televisi Sehat
Pola Menonton Televisi Sehat bagi anak dicetuskan oleh Kidia yang merupakan kependekan dari Kritis! Media untuk Anak. Kidia merupakan gerakan yang digagas oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) yang memiliki tujuan: 1. Melindungi anak dari pengaruh negatif media. 2. Memberdayakan posisi orangtua dan guru sebagai pendamping anak dalam berinteraksi dengan media.
14
3. Mendorong peningkatkan kualitas isi media untuk anak18. Televisi dapat menjadi guru yang baik anak-anak bila orang tua dapat memandu tontonan anak-anak mereka. Karena pada dasarnya televisi adalah benda yang netral, hanya saja isinya yang membuat televisi dapat memberikan efek positif ataupun negatif tergantung perilaku konsumennya. Untuk menghindarkan anak dari efek negatif televisi, maka KIDIA mencetuskan pola menonton televisi sehat. Pola menonton televisi sehat tersebut terdiri dari: 1. Batasan waktu menonton televisi 2. Pemilihan acara yang tepat 3. Pendampingan orang tua pada saat anak menonton televisi Ketiga poin diatas diharapkan dapat menjadi acuan orang tua dalam melakukan apa saja untuk menciptakan pola menonton televisi yang baik bagi anak. Orang tua dapat membandingkan pola menonton televisi anak-anak mereka dengan pola menonton televisi sehat yang dicetuskan oleh KIDIA. Orang tua selayaknya menentukan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan anak untuk menunjang pendidikannya. Anak sebaiknya tidak dibiarkan memilih sendiri kegiatan apa yang akan mereka lakukan setiap mereka memiliki waktu kosong mereka. Menonton televisi sebagai kegiatan di waktu luang memang telah lumrah dilakukan setiap manusia. Bahkan banyak kegiatan sehari-hari dilakukan sembari menonton televisi. Hal tersebut tidak hanya dilakukan anak-anak namun juga oleh orang tua. Karena telah menjadi hal yang lumrah, maka kita membiarkan kegiatan tersebut terus dilakukan. Membiarkan anak terus menonton televisi bukanlah tindakan yang baik dilakukan oleh orang tua. Bukan karena kegiatan tersebut berbahaya bagi anak, hanya saja harus diimbangi dengan kegiatan lainnya yang bermanfaat. Bila tidak ada pengaturan jadwal menonton televisi yang jelas dari orang tua, anak akan menghabiskan terlalu banyak waktu di depan televisi. Kegiatan lain yang wajib dilakukan pun menjadi terabaikan, seperti mandi, makan, dan mengerjakan PR.
18
Tujuan Kidia terarsip pada http://www.kidia.org/profile/2/
15
Orang tua sebaiknya menentukan kapan waktu anak dapat menonton televisi, disesuaikan dengan jadwal kegiatan anak lainnya. Pastikan anak telah mengerjakan semua kewajibannya sebelum mereka mulai menonton. Waktu luang diantara kegiatan juga jangan sampai hanya dihabiskan di dalam rumah sembari menonton televisi. Orang tua seharusnya mengarahkan juga anak untuk menghabiskan waktu luang mereka dengan bermain bersama teman-temannya. Orang tua yang telah menentukan jadwal menonton televisi bagi anak mereka, maka dapat dikategorikan telah melaksanakan poin pertama dari pola menonton televisi sehat. Televisi sebagai hasil teknologi ciptaan manusia merupakan benda yang bersifat netral. Tayangan yang disiarkanlah yang membuat televisi dapat bersifat negatif maupun positif bagi pemirsanya, tidak terkecuali bagi anak. Tidak semua tayangan yang ditujukan untuk anak-anak pada dasarnya layak untuk disaksikan mereka. Namun bukan berarti sedikit tayangan yang bersifat edukatif dan baik bagi perkembangan anak. Pada setiap tayangan televisi diberikan tanda yang menunjukkan pemirsa yang sepantasnya menyaksikan acara tersebut, diantaranya adalah Semua Umur. Tanda Semua Umur (SU) mengindikasikan bahwa acara tersebut layak dan aman disaksikan oleh pemirsa dari semua kalangan usia, termasuk anak-anak. Namun kenyataannya, tayangan tersebut masih mengandung konten yang berbahaya bagi anak seperti kekerasan dan pornografi. Contohnya adalah tayangan kartun Spongebob Squarepants yang tayang setiap hari Senin sampai Minggu di Global TV. Acara ini ditujukan untuk semua umur dengan menampilkan tanda Semua Umur pada setiap tayangan. Ide pembuatan tayangan ini yang berasal dari ahli biota laut untuk memperkenalkan kehidupan dan karakter laut kepada anak-anak agar anak mau mempelajari mengenai kehidupan dalam lautan. Sayangnya dalam acara tersebut sering muncul adegan-adegan kekerasan. Tayangan yang dikemas dalam bentuk animasi menunjukkan bahwa tidak ada efek yang dirasakan oleh sang tokoh yang mengalami kekerasan. Hal tersebut
16
dapat membuat anak lumrah dengan tindak kekerasan yang dilakukan, juga anak dapat berfikir bahwa tidak akan ada efek yang timbul dari tindakan kekerasan. Tidak sesuainya kualifikasi acara dengan isi tayangan inilah yang wajib menjadi perhatian para orang tua. Hendaknya orang tua mengetahui tayangan apa yang disaksikan oleh anaknya dan seperti apa konten tayangan tersebut. Bila memang ada konten yang berbahaya dalam tayangan yang disaksikan oleh anak, harus ada tindakan tegas dari orang tua untuk menjauhkan anak dari tayangan tersebut. Bila orangtua telah menentukan tayangan-tayangan apa saja yang disaksikan oleh anak dapat dikatakan orang tua telah melaksanakan pola menonton televisi sehat yang kedua. Konten yang tidak sesuai dengan tontonan ideal anak-anak harus menjadi perhatian bagi orang tua. Anak tidak seharusnya dibiarkan asik menonton tayangan tanpa penjelasan dari orang yang lebih dewasa. Bila dibiarkan seperti itu, sama saja mereka dibiarkan menerima pelajaran dari ‘guru-guru’ yang tampil di televisi tanpa ada filternya. Sebaiknya orang tua menjadi rekan anak dalam menonton televisi. Orang tua turut menyaksikan tayangan televisi bersama anak. Dengan seperti itu, orang tua dapat memberikan penjelasan kepada anak mengenai adegan-adegan yang dimunculkan di televisi. Anak pun dapat bertanya secara langsung apabila ada informasi yang mereka tidak mengerti yang disajikan oleh televisi. Mereka menjadikan orang tua mereka sebagai guru nomer satu, bukan orang lain. Orang tua juga dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap adegan ataupun
konten
yang
dianggap
berbahaya
bagi
anak.
Bila
televisi
mengindikasikan akan menyajikan sesuatu yang tidak pantas disaksikan oleh anak, orang tua dapat mengganti saluran terlebih dahulu. Dengan demikian anak terhindar dari menyaksikan hal yang tidak pantas bagi mereka. Namun juga harus disertai penjelasan yang dapat diterima oleh anak dari orang tua. Kegiatan belajar bersama anak dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan pendampingan menonton televisi. Chen (1994) merumuskan kegiatankegiatan yang dapat dilakukan orang tua pada saat mendampingi anak menonton
17
televisi. Kegiatan-kegiatan yang disarankan, seperti: bertanya mengenai pemahaman kosakata anak, bercerita pengalaman orang tua yang berhubungan dengan kejadian dalam cerita, dan mendiskusikan apa yang akan terjadi pada sang tokoh Dengan ikut mendampingi anak menonton televisi, orang tua dapat mengetahui pemahaman anak tentang kosakata yang digunakan pada tayangan anak dengan bertanya pada mereka apabila ada kosakata sulit. Anak juga dapat bertanya langsung kepada orang tuanya apa maksud kosakata sulit yang digunakan sang tokoh. Tidak jarang pula tayangan anak menggunakan istilah dalam bahasa asing, sehingga apabila anak tidak mengerti istilah yang digunakan dapat langsung bertanya pada orang tua. Orang tua bercerita kepada anak mengenai pengalaman mereka berhubungan dengan apa yang terjadi pada sang tokoh dapat mendekatkan hubungan orang tua dengan anak. Bercerita pengalaman berarti membuka masa lalu orang tua kepada anak, membuat anak menjadi lebih memahami orang tua. Anak pun melihat orang tuanya dapat sehebat tokoh yang ditampilkan. Orang tua juga dapat mengajak anak mendiskusikan hal-hal yang akan atau telah terjadi dalam tayangan yang disaksikan bersama. Orang tua dapat bertanya kepada anak apa yang akan terjadi pada sang tokoh. Dengan memberikan pertanyaan seperti itu, orang tua dapat melatih daya khayal anak. Juga dapat ditanyakan pula mengapa hal tersebut dapat terjadi pada sang tokoh. Pendampingan dari orang tua pada saat menonton televisi juga dapat memberikan kesempatan anak untuk bertanya langsung kepada orang tua bila ada hal yang tidak dimengerti dari tayangan yang mereka saksikan. Dengan begitu, anak terhindar dari mencari pengertian dan mengambil kesimpulan mereka sendiri. Pengaplikasian tingkah laku tokoh dalam tayangan juga dapat dikontrol oleh orang tua dengan cara menjelaskan kepada anak apa yang boleh dan tidak boleh ditiru dari tingkah laku yang dimunculkan di televisi dengan alasan yang dapat diterima anak.
18
Orang tua yang telah melakukan pendampingan kepada anak pada kegiatan anak menonton televisi berarti mereka telah melaksanakan pola menonton televisi sehat yang ketiga. Kegiatan anak menonton televisi sebaiknya mengikuti pola menonton televisi sehat yang telah dijabarkan diatas. Dengan mengikuti pola tersebut orang tua telah menjalankan kegiatan diet televisi bagi anak dengan meminimalisir efek buruk dari tayangan tanpa menghilangkan efek positifnya. Semakin banyak poin yang diterapkan orang tua terhadap kebiasaan anak menonton televisi, maka semakin sehat pola menonton televisi anak yang diterapkan oleh orang tua.
G. METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode survei. Survei adalah metode pengamatan atau penyelidikan secara kritis untuk mendapatkan keterangan yang tepat terhadap suatu persoalan dan objek tertentu, di daerah kelompok komunitas atau lokasi yang akan ditelaah19. Metode ini melakukan pengamatan terhadap kelompok manusia yang dilakukan dengan skala besar pada waktu yang bersamaan. Metode survei dipilih karena merupakan metode yang cocok untuk menggambarkan secara jelas situasi dan kondisi20. Selain itu juga karena dibutuhkan suatu metode yang mampu melihat objek permasalahan yang sama dalam cakupan wilayah yang luas. Survei dilakukan bila melibatkan unit yang cukup besar, sehingga hasil yang ditemukan akan menggambarkan fakta populasi yang diselidiki secara umum. Tujuan penelitian survei menurut Donald Ary seperti yang dikutip oleh Rosady Ruslan adalah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan informasi tentang variabel, bukan tentang individu,
19
Rosady Ruslan: Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Rajawali Pers. 2010. Hal. 21 20 Ibid. Hal 20
19
2. Mencari informasi yang akan digunakan untuk memecahkan masalah, bukan untuk menguji hipotesis, 3. Untuk mengukur apa yang ada tanpa bertanya mengapa hal itu ada. 4. Dilakukan untuk mengukur pendapat, prestasi, atau kontrak psikologis atau sosiologis21. Dalam penelitian mengenai peran orang tua dalam membimbing anak menonton televisi ini dilakukan untuk melihat fakta yang ada di lokasi wilayah penelitian berlangsung. Penelitian ini mencoba untuk mendapatkan keterangan mengenai sejauh mana peran serta orang tua dalam membimbing anak menonton televisi. Tujuan penggunaan metode survei dalam penelitian mengenai peran orang tua dalam membimbing anak menonton televisi sesuai dengan yang teleh disebutkan diatas untuk mengumpulkan informasi mengenai variabel, bukan mengenai individu. Dalam penelitian ini akan mencari tahu mengenai peran orang tua dalam membimbing anak menonton televisi dengan berdasarkan pada poinpoin pola menonton televisi sehat yang telah disusun oleh KIDIA.
i. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian mengenai peran orang tua dalam membimbing anak menonton televisi adalah para orang tua yang memiliki anak yang bersekolah di Sekolah Dasar di wilayah Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. Orang tua murid yang dijadikan sampel adalah orang tua murid dari siswa kelas satu sekolah dasar. Pemilihan kelompok umur tersebut dengan mengacu pada tahap perkembangan kognisi anak menurut Jean Piegiet yang tercantum pada jurnal berjudul Mediasi, Anak, Televisi: Pentingnya Mediasi Orang Tua bagi Anak Saat Menonton Televisi tulisan Frizky Yulianti Nurnisya22. Menurut Piegiet, anak pada tahap pra-operasional (3-6 tahun) dan tahap operasi konkret (7-11 21
Andi Prastowo. Memahami Metode-Metode Penelitian Suatu Tinjauan Teoritis dan Praksis. Ar-
Ruzz Media. 2011. Hal 177 22
Nurnisya. Op.Cit.
20
tahun) belum bisa memilah tayangan televisi. Mereka membutuhkan bimbingan orang tua dalam menonton televisi karena belum dapat membedakan antara realita yang ditampilkan dalam televisi dengan realita yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat23. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Schramm (1961) di Amerika Serikat yang dikutip oleh Takeo Furu dalam The Function of Television for Children and Adolescents, awal masa SD juga merupakan masa dimana perubahan kognitif anak terjadi secara pesat24. - Populasi: orang tua siswa Sekolah Dasar yang ada di wilayah Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. Jumlah populasi orang tua adalah 908 orang. Dengan sampel sebanyak 91 orang tua.
- Kerangka sampel: 1. Orang tua tinggal dalam rumah yang sama dengan anak 2. Memiliki sedikitnya satu unit televisi di dalam rumah 3. Anak memiliki kebiasaan menonton televisi.
- Definisi Operasional:
1. Penentuan jenis tayangan yang ditonton Melihat ada tidaknya peran turut campur orang tua dalam menentukan tayangan apa-apa saja yang dapat disaksikan oleh anak. Judul dari tayangan yang boleh dan tidak boleh disaksikan ditentukan langsung oleh orang tua ataukah anak bebas menonton apa saja yang disukainya. 2. Penentuan waktu menonton Melihat waktu yang dapat digunakan anak setiap harinya untuk menonton televisi ditentukan oleh orang tua ataukah anak bebas 23 24
Ibid. Takeo Furu. The Function of Television for Children and Adolescents. Monumenta Nipponica: Sophia University. Tokyo.1971. Hal 45
21
menonton televisi di waktu luang. Setiap kali anak memiliki waktu luang dapat bebas menonton televisi tanpa larangan dari orang tua. 3. Pendampingan pada saat menonton Orang tua menemani anak dalam kegiatan menonton televisi. Dalam kegiatan menonton bersama, orang tua dapat menjelaskan kepada anak hal-hal yang muncul di televisi. Anak juga dapat bertanya secara langsung kepada orang tua bila ada hal yang ia kurang mengerti di televisi. Dengan begitu anak akan mendapatkan informasi langsung dari orang tua mereka, tidak dari orang lain yang belum tentu memberikan informasi dengan benar. 4. Kebiasaan Anak Menonton Televisi Kebiasaan yang akan dilihat adalah jenis tayangan apa yang biasa disaksikan anak, waktu-waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi dalam setiap harinya, dan pengawasan yang diterima anak dalam menonton televisi dari orang tua.
ii. Teknik Pengambilan Data:
Teknik pengambilan data pada metode survei menghasilkan data primer yang didapat dari sumber langsung di lapangan. Data primer pada penelitian ini akan didapat menggunakan kuesioner. Singarimbun, seperti yang dikutip oleh Prastowo, berpendapat bahwa penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok25. Kuesioner akan dibagikan kepada sampel yang telah mewakili populasi. Populasi pada penelitian ini adalah orang tua siswa sekolah dasar.
iii. Teknik pemilihan sampel: Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode nonprobability sampling dimana setiap individu dalam populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel penelitian. 25
Prastowo. Op.Cit. Hal 175-176
22
Cara pemilihan sampel yang akan digunakan adalah dengan Quota Sampling. Teknik ini menentukan sample dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah kuota yang diinginkan oleh peneliti26. Kuesioner diberikan kepada masing-masing sampel dengan cara mendatangi masing-masing sampel sampai kuota sampel sesuai dengan jumlah populasi telah tercapai.
iv. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kelurahan Caturtunggal terbagi menjadi 20 pedukuhan dengan jumlah sekolah dasar sebanyak 14 sekolah dasar negeri dan 7 sekolah dasar swasta. Penentuan lokasi penelitian di Kelurahan dikarenakan oleh keunikan karakterisitik Caturtunggal sebagai daerah dengan perkembangan paling pesat di D.I. Yogyakarta, baik secara budaya maupun ekonomi. Perkembangan pesat ditunjukkan dengan banyaknya pendatang yang bermukim di Kelurahan Caturtunggal, terutama karena perguruan-perguruan tinggi yang ada di wilayah tersebut. Kehadiran para pendatang kemudian memacu pertumbuhan ekonomi semakin pesat dari bidang barang dan jasa.
26
Ruslan. Op.Cit. Hal 156
23