BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hidung merupakan salah satu organ penting bagi tubuh manusia. Salah satu fungsi hidung adalah sebagai organ penghidu, yaitu berperan penting dalam melindungi manusia dari lingkungan yang berbahaya seperti kebakaran, kebocoran gas, makanan busuk, asap dan polusi udara (Muxworthy, 1999; Sobol et al., 2002; Quinn dan Ryan, 2003). Gangguan fungsi penghidu juga dapat merupakan tanda dari adanya sebuah penyakit (Sobol et al., 2002; Santos et al., 2004; Nordin dan Bramerson, 2008). Hidung sangat penting untuk membersihkan udara yang dihirup dan untuk memodifikasi respirasi dan merupakan sumber yang dapat diakses penelitian
untuk
paparan kontaminan udara. Lapisan mukus sangat penting dalam
mengkondisikan udara yang dihirup dan menyediakan permukaan yang lengket untuk perangkap partikel dan gas yang dihirup. Manusia merupakan penghirup udara melalui hidung, rongga hidung merupakan tempat awal yang terluka diinduksi oleh iritan hirup, tempat partikel terdeposisi, dan tempat absorbsi gas dan uap yang potensial berbahaya (Gluck et al., 2003). Gangguan penghidu dapat diakibatkan oleh beberapa macam sebab, berdasar lokasinya penyebab gangguan penghidu dibagi menjadi kausa konduktif dan sensorineural. Gangguan konduktif adalah semua proses yang dapat menyebabkan obstruksi pada hidung, sehingga terjadi gangguan molekul odoran mencapai epitel penghidu. Gangguan sensorineural adalah semua proses yang
1
2
langsung mempengaruhi serta mengganggu epitel penghidu atau jalur penghidu sentral. Gangguan sensorineural dapat diakibatkan oleh kerusakan neuroepitelium karena zat toksin yang dihirup, dan kerusakan saraf olfaktori sentral akibat tumor, trauma kepala dan kausa degeneratif (Sobol et al., 2002; Quinn dan Ryan, 2003) Penelitian menunjukkan kira-kira 2 juta orang Amerika mengalami gangguan fungsi penghidu, kurang dari 1 % berusia dibawah 65 tahun dan lebih dari 50 % pada usia lebih dari 65 tahun (Sobol et al., 2002; Quinn dan Ryan, 2003; Lalwani dan Mafong, 2004). Pada penelitian terbaru dilaporkan, kira-kira 14 juta orang Amerika yang berusia di atas 55 tahun menderita gangguan fungsi penghidu kronik (Pinto et al., 2008). Salah satu penyebab gangguan penghidu adalah akibat paparan toksin zat kimia yang dapat merusak mukosa dari indera penghidu. Dari beberapa toksin zat kimia, bensin adalah zat kimia yang sering dijumpai sehari-hari terutama pada penggawai SPBU. Gangguan penghidu dapat dikarenakan paparan kronis senyawa benzene, senyawa ini dapat menyebabkan kerusakan epitel olfaktori bila terjadi paparan kronis minimal 5 menit sampai dengan 3 hari (Ophardt, 2003). Beberapa studi sebelumnya melaporkan paparan uap bensin pada petugas SPBU dapat menyebabkan terjadinya penyakit paru-paru. Penelitian terhadap perubahan histologi dengan mikroskop elektron pada binatang marmot yang terpapar uap bensin di laboratorium, melaporkan bahwa uap bensin menyebabkan perubahan histologi, yang meningkat sesuai dengan durasi paparan. Terdapat infiltrasi sel radang pada mukosa dan submukosa trakea, hilangnya silia pada epitel trakea, dan bertambahnya ukuran
kelenjar submukosa trakea, terdapat
3
kerusakan dan deskuamasi pada epitel trakea, dan infiltrasi serta menurunnya jumlah sel goblet. (Al-saggaf et al., 2009). Cowart et al. (1997), menunjukkan kerusakan neuroepitelium dan bulbus olfaktorius akibat paparan toksin zat kimia yang dibawa udara dapat menyebabkan gangguan penghidu. Amoore (1986), juga melaporkan mengenai terjadinya gangguan penghidu pada pekerja akibat paparan bahan kimia industri. Beberapa macam bahan kimia yang umum diketahui dan dapat menyebabkan gangguan penghidu diantaranya adalah ammonium, formaldehid, syanoakrilat, stiren, herbisida, pestisida, asap rokok, benzena, butyl asetat dan pelarut cat (Bromley, 2000). Bensin merupakan jenis bahan bakar produk komersial dengan volume terbesar di dunia, memiliki substansi kompleks dengan komposisi yang bervariasi tergantung dari sumber bahan dasarnya (minyak mentah), proses penyaringan, spesifikasi formula, musim dan faktor lainnya (Grebic et al., 2007). Bensin mengandung hidrokarbon hasil sulingan dari produksi minyak mentah. Bensin mengandung gas yang mudah terbakar, pada umumnya bahan bakar ini digunakaan untuk mesin dengan pengapian busi. Sifat yang dimiliki bensin sebagai berikut: mudah menguap pada temperature normal, tidak berwarna, tembus pandang dan berbau, mempunyai titik nyala rendah (-10° sampai -15°C), berat jenis yang rendah (0,60-0,78), dapat melarutkan oli dan karet, menghasilkan jumlah panas yang besar (9,500-10,500 kcal/kg), dan sedikit meninggalkan karbon setelah dibakar (www.pom.go.id).
4
Formulasi bahan bakar bensin mengandung komponen volatil dan non volatil dengan derajat destilasi yang lebar. Dalam kondisi normal pada pengguna bahan bakar bensin dan fasilitas produksi bahan bakar bensin, paparan terutama terjadi melalui inhalasi atau zat yang menguap (Benson et al., 2001). Emisi uap bensin maupun asap kendaraan bermotor telah dikenali sebagai sumber paparan baik pada kelompok pekerja maupun non-pekerja terhadap komponen organik zat volatil. Dari beberapa jenis komponen organik zat volatil BTEX ( benzene, toluene, ethylbenzene dan xylene) merupakan empat jenis zat yang banyak diteliti karena banyak terkandung di dalam bahan bakar bensin dan asap mesin kendaraan (Lee et al., 2002). Risiko terjadinya kanker akibat terpapar bahan bakar bensin yang mengandung benzena telah menjadi pembicaraan sejak dahulu. Tetapi sekitar tahun 1990 benzena digunakan sebagai indikator terhadap paparan bahan bakar bensin terutama pada pekerja di SPBU. Kadar benzena dalam bahan bakar bensin berkisar antara 2-6% di Negara Nordic. Waktu kerja yang diperbolehkan adalah 8 jam sehari, para petugas SPBU di Nordic terpapar benzena sekitar 0.5-1 mg/m3. Paparan terhadap uap bensin di SPBU terutama saat pengisian bahan bakar bensin ke tangki mobil. Pengisian 30 liter yang mengandung 5% volume benzena ke dalam mobil, terdapat sekitar 700 mg benzena yang terhirup. Konsentrasi total hidrokarbon di udara saat proses pengisian bahan bakar bensin adalah 10 sampai 100 kali lipat benzena. Petugas SPBU juga dapat terpapar gas emisi kendaraan, termasuk polisiklik aromatik hidrokarbon, aldehid, dan 1,3-butadiene (Lynge et al., 1997).
5
Hidrokarbon di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) yang banyak dijumpai di daerah industri dan daerah yang padat lalu lintas. Bila PAH masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker. Salah satu jenis PAH adalah benzena (C6H6) yang pada konsentrasi 100 ppm dampaknya dapat menyebabkan iritasi membran mukosa olfaktori (Soemarno, 2007). Berdasar KepMen KLH no. 128 tahun 2003 disyaratkan kandungan total hidrokarbon minyak bumi yang tidak lebih dari 15% di awal proses bioremediasi. Kandungan total hidrokarbon minyak bumi di akhir proses bioremediasi disyaratkan di bawah 1%, kandungan toluena, etil-benzene, xylene, dan hidrokarbon polisilkik aromatik disyaratkan masing-masing berada di bawah 10 ppm, sedangkan kandungan benzena disyaratkan berada di bawah 10 ppm (Ajo IAIN SN, 2010). Terpapar uap bensin dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat (SSP). Tidak terdapat efek yang signifikan kecuali pada mata dan iritasi tenggorokan, hal ini terlihat pada sukarelawan yang terpapar selama 30 menit pada konsentrasi 1.054 ppm, atau selama 8 jam pada konsentrasi 150-270 ppm. Gejala pusing ringan dialami oleh relawan setelah terpapar selama 1 jam pada 2600 ppm. Gejala pada susunan saraf pusat lainnya seperti sakit kepala, menurunnya nafsu makan, mengantuk, dan gangguan koordinasi dapat terjadi. Pada kasus lainnya terpapar dengan uap bensin selama beberapa menit pada
6
konsentrasi yang tinggi (sekitar 5000 ppm) dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran, edema paru , dan kematian (CCOHS 1997). B. Rumusan Masalah Pekerja di SPBU sering bekerja kontak dengan zat folatil dari bahan bakar bensin dan gas buang kendaraan bermotor, yang
mempunyai kadar VOCs
(Volatile Organic Compounds) yang lebih tinggi dibanding petugas yang bekerja di dalam ruangan yang tidak secara langsung terpapar. Ketika mengisi bensin di SPBU, baik petugas pengisi bensin maupun konsumen dapat terpapar uap bensin. Namun, orang yang bekerja di SPBU akan terpapar uap bensin lebih banyak daripada orang yang sesekali mengisi bensin. Jalur inhalasi merupakan jalur paparan yang umum untuk masuknya bensin ke dalam tubuh. Umumnya, aroma volatil bensin memberikan peringatan akan adanya konsentrasi yang berbahaya. Ambang batas aroma volatil bensin adalah 0,025 ppm. Paparan akut uap bensin dapat menyebabkan iritasi mukosa hidung, telinga berdenging, mual, muntah, dada terasa perih, sukar bernafas, denyut jantung tidak normal, sakit kepala, lemah, mabuk, disorientasi, penglihatan terganggu, bendungan paru, gangguan darah, kelumpuhan, kejang, dan koma (www.pom.go.id). Kerusakan neuroepitelium dan bulbus olfaktorius akibat paparan toksin zat kimia yang dibawa udara dapat menyebabkan gangguan penghidu. Beberapa macam bahan kimia yang umum diketahui yang dapat menyebabkan gangguan penghidu diantaranya adalah ammonium, formaldehid, syanoakrilat, stiren, herbisida, pestisida, asap rokok, benzena, butyl asetat dan pelarut cat (Quinn et al., 2003).
7
C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat perbedaan gangguan fungsi penghidu pekerja Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dibandingkan bukan pekerja SPBU di kota Yogyakarta? D. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan adalah tentang Fungsi Penghidu pada Pekerja Industri Pengolahan Batu Kapur di Yogyakarta, oleh Ethni pada tahun 2003, yang menunjukkan hubungan paparan debu kapur dengan kejadian gangguan penghidu. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa paparan debu kapur dapat menyebabkan terjadinya gangguan penghidu pada pekerja pabrik pengolahan batu kapur. Pernah dilakukan penelitian oleh Aufa pada tahun 2010 tentang pengaruh paparan uap bensin terhadap gangguan penghidu. Pemeriksaan fungsi penghidu dengan menggunakan standarisasi enam zat volatile sesuai dengan penelitian oleh Sianipar, yaitu campora, capcaisin, carbon disulfide, vanili, oleum menthol piperiate dan eter. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah terjadi penurunan fungsi penghidu pada pekerja operator SBPU yang terpapar secara lansung sebesar 37,5% dan kelompok yang tidak terpapar kontrol 10%. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, dimana penelitian ini menggunakan alat pemeriksaan fungsi penghidu yang baik dan detail yaitu dengan menggunakan Sniffin’s Test Olfactory Screening 12. Alat ini merupakan skrining untuk gangguan penghidu yang menggunakan 12 stik yang berisikan dengan baubauan berupa jeruk, jeruk nipis,pisang, nanas, kayu manis, cengkeh, , ikan, dan
8
lain-lain. Alat skrining ini dapat membedakan jenis gangguan penghidu berupa hiposmia atau normal. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan gangguan fungsi penghidu pada pekerja Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dibanding bukan pekerja SPBU di Yogyakarta. F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemilik SPBU untuk menambah wawasan tentang efek paparan uap bensin terhadap kesehatan terutama fungsi penghidu, sehingga dapat menjadi dasar evaluasi keselamatan dan kesehatan pekerja, Diharapkan hasil ini dapat dipakai sebagai bahan acuan untuk keselamatan kerja dan kesehatan kerja dilakukannya tindakan preventif.
para pekerja SPBU, sehingga dapat