BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan- perubahan sosial sebagai konsekuensi modernisasi, industrilisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menimbulkan dampak positif dan negatif pada masyarakat. Dampak positif yang bisa dilihat pada masyarakat antara lain berkembangnya sarana informasi dan telekomunikasi, berkembangnya ilmu – ilmu baru dibidang kedokteran dan lain sebagainya, sedangkan dampak negatif yang tampak dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas disertai tindakan kekerasan, kenakalan remaja, penyalahgunaan obat, dan lain sebagainya (Rina, 2011). Salah satu dampak negatif yang semakin hari semakin meningkat di lingkungan masyarakat adalah
kriminalitas disertai tindakan kekerasan. Pada kota-kota besar di
Indonesia, tindakan kekerasan baik individual maupun kelompok merupakan berita harian yang hampir selalu disajikan oleh media massa, baik itu media cetak maupun media elektronik (Aisyah, 2010). Pada media massa dipaparkan bahwa kekerasan dapat terjadi dimanapun, seperti dijalan raya, di sekolah, di kompleks perumahan dan tempat-tempat yang tidak terduga. Kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku yang dimiliki oleh individu yang mengarah pada perilaku agresif. Fenomena perilaku agresif dalam bentuk kekerasan yang sering kali berujung pada jatuhnya korban jiwa, menunjukkan bahwa kekerasan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, tidak memandang siapa yang menjadi korban maupun pelaku kekerasan (Mu’tadin, 2002).
Perilaku agresif didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai orang lain (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan perilaku agresif sebagai tingkah laku yang diarahkan pada tujuan untuk menyakiti makhluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan yang menyakitkan. Perilaku agresif pada dasarnya tidak hanya terkait dengan masalah kekerasan secara fisik semata namun juga banyak perilaku agresif yang dimulai dari perkataan (verbal), ataupun olok-olokan yang dirasakan menyakitkan oleh individu yang menjadi korban dan berakhir pada perilaku agresif fisik berupa pemukulan, penusukan, penganiayaan dan bentuk perilaku agresif lainnya yang dapat berujung pada tindakan kriminalitas (Badriyah, 2013). Perilaku agresif dapat muncul disemua kalangan usia tidak terkecuali pada usia remaja. Perilaku agresif yang kini ditunjukkan oleh remaja, tidak hanya dalam bentuk tawuran semata tetapi juga dapat berupa perkelahian, saling mencaci maki, penganiayaan, pencurian, pembunuhan, dan bentuk agresif lainnya yang kemudian mengarah pada tindakan kriminal yang tentunya merugikan orang. Kerugian yang disebabkan oleh perilaku agresif yang remaja lakukan tidak hanya merugikan orang lain dari segi material saja namun juga dapat menimbulkan korban jiwa. Perilaku agresif di kalangan remaja yang cenderung meningkat mengakibatkan keresahan bagi warga masyarakat sekitar (Saad, 2003). Tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku agresif yang dari tahun ke tahun meningkat dan menjadi pusat pemberitaan di media. Tawuran dikategorikan termasuk ke dalam perilaku agresif karena dalam tawuran terdapat perilaku fisik atau verbal yang sengaja dilontarkan dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain (Azhar, 2012). Komnas Perlindungan Anak (PA) mencatat pada tahun 2011 angka kasus tawuran pelajar meningkat 100% dibanding tahun sebelumnya (TvOneNews, 2012).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2000) di Provinsi Bali dengan melibatkan remaja berusia 13 tahun hingga 19 tahun menunjukkan kenakalan remaja yang mengarah pada tindak kriminalitas, seperti pemerasan dan pencurian di kota Denpasar mencapai angka sekitar 7,2% dan dikabupaten Gianyar sebesar 5,8%. Pencurian yang dilakukan oleh remaja di kota Denpasar sebesar 8,9% dan dikabupaten Gianyar sebesar 17,7%. Sementara itu data dari Polda Bali menyebutkan pada tahun 2009 terdapat 75 kasus kekerasan remaja dan 90,3% pelakunya berusia 13-18 tahun. Remaja sebagai pelaku kekerasan di Provinsi Bali terus mengalami peningkatan sebesar 3% tiap tahun (Polda Bali, 2012). Data yang ada dilapangan didasari oleh kasus-kasus yang memang melibatkan remaja sebagai pelakunya. Keterlibatan remaja kedalam perilaku agresif dapat dilihat dari kasus penganiayaan yang pernah menjadi fokus pemberitaan di lingkungan masyarakat Bali. Masyarakat di Bali pernah diresahkan oleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok remaja putri. Sekelompok remaja putri yang tergabung dalam anggota geng motor di wilayah Denpasar diketahui telah melakukan tindak penganiayaan terhadap salah satu teman remaja putrinya yang juga merupakan anggota geng motor. Perkelahian yang terjadi bahkan sempat direkam oleh remaja putri yang ikut dalam penganiayaan tersebut. Penganiayaan yang dilakukan terhadap korban yang juga merupakan temannya sendiri terjadi di awal tahun 2012, dengan cara memukuli, menonjok, menampar, menjambak rambut korban serta menggunting baju dan celana korban hingga nyaris telanjang. Pemicu dari penganiayaan yang dilakukan adalah karena kekesalan yang dirasakan oleh salah satu anggota geng yang merasa tersinggung karena baju geng mereka tidak dipakai dan diinjakinjak (Kompas, 2013). Gambaran kasus yang dipaparkan diatas menunjukkan bahwa remaja berpotensi melakukan perilaku agresif.
Remaja didefinisikan sebagai suatu periode perkembangan individu mulai dari puncak pubertas sampai kepada status dewasa. Remaja juga diuraikan sebagai tahapan transisi antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja ditandai dengan datangnya masa pubertas dan bersamaan itu pula adanya perubahan yang terjadi pada diri remaja yaitu meliputi perubahan fisik, perubahan psikis dan perubahan secara sosial (Santrock, 2007). Selain munculnya perubahan-perubahan pada diri remaja, masa remaja juga ditandai dengan adanya gejolak-gejolak emosi dikarenakan masa transisi yang dialami. Stabilitas emosi pada remaja yang masih tergolong labil menyebabkan remaja sering kali terlibat dalam masalah di lingkungan sosialnya. Remaja terkadang tidak dapat mengendalikan emosi sehingga dapat memunculkan tingkah laku agresif (Gunarsa, 2000). Menurut Gessel (dalam Hurlock, 1980) mengungkapkan bahwa individu yang berusia 14 tahun seringkali mudah marah, mudah dirangsang, emosinya cenderung meledak dan tidak berusaha mengendalikan emosinya. Sebaliknya pada saat individu berada pada usia 19 tahun, emosi individu tidak meledak-ledak sehingga badai dan tekanan berkurang pada saat akan memasuki usia dewasa awal. Remaja dihadapkan pada beragam permasalahan yang berkaitan dengan tugas-tugas perkembangannya (Djalali, 2009). Setiap tahapan masa remaja memiliki tugas perkembangan yang berbeda dan berhasil atau gagalnya individu dalam melaksanakan tugas perkembangannya pada periode tertentu akan mempengaruhi individu dalam menjalankan tugas perkembangannya pada periode selanjutnya (Agustiani, 2009). Salah satu tugas perkembangan pada remaja adalah mencapai kemandirian emosi. Namun seperti diketahui remaja digambarkan sebagai storm and stress yaitu pergolakan emosi yang dibarengi dengan kurangnya kemampuan individu dalam mengelola emosi, mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar serta adanya keterikatan yang kuat dengan teman sebaya sehingga remaja mengalami permasalahan untuk mencapai kemandirian emosi
(Hurlock, 2002). Ketegangan-ketegangan yang timbul akibat kurangnya kemampuan remaja dalam mengendalikan emosi akan menjadi konflik yang berkepanjangan. Bila remaja tidak mampu untuk mengatasi konflik yang dihadapi maka akan timbul perasaan gagal yang mengarah pada frustrasi yang merupakan pemicu munculnya perilaku agresif itu sendiri (Azhar, 2012). Frustrasi muncul akibat tidak tercapainya tujuan yang individu harapkan sehingga dapat memunculkan kemarahan yang dapat memicu munculnya perilaku agresif pada diri individu. Faktor penyebab munculnya perilaku agresif pada diri remaja dapat berasal dari dua sumber yaitu sumber yang berasal dari diri individu dan sumber yang berasal dari luar diri individu. Faktor yang sumbernya berasal dari diri individu, yaitu perasaan frustrasi, perasaan
negatif, pikiran atau kognisi, dan pengalaman masa kecil. Faktor yang
sumbernya berasal dari luar individu berupa serangan, pengaruh teman, pengaruh kelompok, kondisi tidak menyenangkan yang diciptakan orang tua, konflik keluarga, dan pengaruh model (Aisyah, 2010). Pengaruh model yang dimaksudkan adalah anak akan meniru sikap dari perilaku orang yang dianggapnya dekat selama ini dengan anak. Meniru perilaku orang lain sebagai modelnya sesuai dengan teori belajar sosial (social learning theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) yang menyebutkan bahwa orang akan belajar untuk bersikap dan berperilaku melalui atau dengan mengamati perilaku orang lain yang sering dikenal sebagai model. Individu juga belajar melalui observasi (observational learning) yang dikenal dengan imitasi atau modelling yaitu proses pembelajaran yang terjadi ketika individu mengobservasi dan meniru perilaku orang lain. Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) orang tua merupakan model utama bagi seorang anak pada awal kehidupannya dan juga merupakan sumber penguatan dan objek imitasi utama perilaku agresif anak dimasa yang akan datang. Apabila orang tua
berperilaku agresif dalam keluarga maka anak akan belajar dan meniru perilaku agresif yang orang tua tunjukkan sehingga dimasa yang akan datang anak akan berperilaku agresif. Kedudukan orang tua di dalam keluarga selain sebagai model utama juga sebagai pembentuk kepribadian anak. Pengaruh orang tua dalam pembentukan kepribadian anak berkaitan dengan pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Hasil temuan oleh Lutfi, Nur Hidayah, dkk pada anak-anak SMU dikota Malang menyatakan bahwa penyebab utama remaja berperilaku agresif adalah pola sikap orang tua terhadap anaknya (Shochib, 2000). Pola sikap orang tua terhadap anaknya yang dimaksudkan adalah pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dirumah. Pola asuh merupakan interaksi yang terjalin antara orang tua dengan anaknya. Pola asuh yang diterapkan orang tua merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan dalam pembentukan kepribadian anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Farrington (dalam (Shochib, 2000) menyatakan bahwa sikap orang tua yang kasar dan keras, perilaku orang tua yang menyimpang, dinginnya hubungan antara orang tua dan anak atau antara ayah dan ibu, orang tua yang bercerai, dan ekonomi rendah menjadi pendorong utama anak akan berperilaku agresif. Menurut Shochib (2000) orang tua yang bersikap otoriter menjadi pendorong anak berperilaku agresif. Sikap otoriter dan kekerasan yang ditunjukkan oleh orang tua akan mempengaruhi kepribadian anak sehingga anak memiliki kepercayaan diri yang rendah yang dapat menghambat kemajuan anak atau menjadikannya agresif. Pola asuh yang menerapkan bahwa anak harus patuh akan nilai dan prinsip yang orang tua pegang, pemberian hukuman terutama hukuman fisik dan menuntut anak menuruti kehendak orang tuanya sering disebut dengan pola asuh otoriter (authoritarian parenting style). Menurut Hurlock (1980) pola asuh otoriter merupakan suatu metode disiplin yang diterapkan oleh orang tua kepada anak. Pada pengasuhan otoriter orang tua selalu membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk selalu mengikuti
petunjuk orang tua. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter memiliki kekuasaan tertinggi atas keputusan yang harus dibuat oleh anak. Pengasuhan secara otoriter yang memberikan hukuman fisik kepada anak ketika tidak mampu memenuhi standar yang orang tua tetapkan memberikan dampak pada anak. Anak akan merasa marah dan kesal kepada orang tuanya akan tetapi anak tidak berani mengungkapkan kemarahan yang dirasakan dan melampiaskannya kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif (Sarwono, 1988). Remaja yang dibesarkan dalam pola pengasuhan yang otoriter tentu akan merasakan perasaan frustasi yang merupakan pemicu munculnya perilaku agresif. Remaja yang terbiasa dengan hukuman akan mudah sekali agresif, garang, menunjukkan gangguan emosional, memiliki banyak masalah, dan banyak yang meninggalkan rumah segera setelah mereka mampu. Beberapa remaja yang tidak dapat melepaskan diri dari keterkurungan otoritas
orang tuanya sering kali menunjukkan kepatuhan dan
menyesuaikan diri dengan standar-standar perilaku yang diatur oleh orang tuanya namun pada kenyataannya mereka menderita kehilangan rasa percaya diri dan lebih tertekan dari pada kelompok teman sebayanya (Maulida, 2008). Penelitian Eyefni (2011) menunjukkan bahwa 61,7 % orang tua masih menerapkan tipe pola asuh otoriter. Orang tua yang menerapkan tipe pola asuh otoriter akan menuntut dan mengendalikan anak karena kekuasaan, tanpa adanya kehangatan, tidak memberikan bimbingan, dan tidak ada komunikasi dua arah. Orang tua yang cenderung otoriter sangat menghargai kepatuhan, menilai perilaku anak dengan standar mutlak, rasa hormat terhadap kekuasaan dan tradisi, sehingga memiliki rasa tanggung jawab dan memiliki kompetensi yang sedang, cenderung menarik diri secara sosial dan tidak memiliki spontanitas. Pola asuh otoriter yang orang tua terapkan memberikan dampak pada tumbuh kembang anak. Orang tua yang selalu menuntut anak untuk memenuhi standar yang ditetapkan membuat
anak menjadi frustasi sehingga ketika berada diluar rumah anak akan bertindak seenaknya dan berpotensi melakukan perilaku agresif (Sarwono, 2002). Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang orang tua terapkan dalam mengasuh anak memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk kepribadian anak. Pola asuh otoriter yang orang tua terapkan di dalam kelurga mengakibatkan anak tidak mampu untuk mengembangkan kemampuan yang anak miliki. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter memberikan batasan, kendali dan kontrol yang penuh, serta memberikan hukuman kepada anak sehingga ketika berada di luar rumah anak akan menunjukkan perilaku yang tidak dapat ditunjukkan di dalam rumah dan berpotensi melakukan perilaku agresif. Remaja yang diasuh dengan tipe pola asuh otoriter berpeluang melakukan perilaku agresif karena remaja belum mampu mengelola emosi sehingga ketika orang tua tidak memberikan peluang anak untuk mendapat kebebasan berpendapat, adanya batasan dan kontrol yang penuh atas kehidupan anak maka anak akan berperilaku agresif diluar lingkungan keluarga. Atas dasar fakta-fakta dan permasalahan yang ada peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara kecenderungan pola asuh otoriter (authoritarian parenting style) dengan gejala perilaku agresif pada Remaja.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan yang signifikan antara kecenderungan pola asuh otoriter (authoritarian parenting style) dengan gejala perilaku agresif pada Remaja.
C. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang pola asuh otoriter dan perilaku agresif pada remaja merupakan hasil dari pemikiran peneliti dan bukan merupakan peniruan terhadap penelitian sebelumnya. Terdapat enam penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini. Berikut ini peneliti akan memaparkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan dengan menggunakan salah satu dari kedua variabel yang peneliti teliti. Empat penelitian memiliki dua variabel yang terdiri dari satu variabel bebas dan satu variabel tergantung dalam penelitiannya yaitu, Wahyudi (2013) dalam penelitiannya variabel bebas yang digunakan adalah inferiority feeling dan variabel tergantungnya yaitu agresivitas. Ernawati (2012) dalam penelitiannya terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas yang dipergunakan adalah kepercayaan diri dan variabel tergantungnya adalah kecenderungan perilaku agresif. Penelitian Hedo dan Sudhana (2014) menggunakan dua variabel yaitu variabel bebasnya adalah pembacaan dongeng dan variabel tergantungnya adalah agresivitas. Penelitian Nando (2011) terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebasnya adalah perilaku menonton film kekerasan dan variabel tergantunya adalah perilaku agresif. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Hafsah (2009) terdiri dari satu variabel tergantung yaitu perilaku agresif, dua variabel bebas yaitu persepsi pola asuh authoritarian dan asertivitas, serta satu variabel moderator yaitu tahap perkembangan. Rina (2011) dalam penelitiannya menggunakan satu variabel yaitu perilaku agresif. Perbedaan antara penelitian yang disebutkan diatas dengan penelitian yang peneliti lakukan saat ini adalah terletak pada variabel bebas yang peneliti pergunakan. Penelitian yang dilakukan peneliti saat ini menggunakan satu variabel bebas yaitu pola asuh otoriter dan satu variabel tergantung yang peneliti pergunakan yaitu perilaku agresif. Populasi dari penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2013) adalah remaja delinkuen di PSMP Antasena Magelang dengan jumlah subjek penelitian berjumlah 56
orang. Penelitian Ernawati (2012) populasinya adalah siswa kelas dua SMU N 1 Rembang dengan jumlah subjek penelitian berjumlah 72 orang. Hedo dan Sudhana (2014) menggunakan jumlah subjek sebesar 92 orang ibu dengan populasi penelitiannya adalah ibu anak usia dini di seluruh sekolah taman kanak-kanak (TK) di wilayah Denpasar. Populasi penelitian yang dilakukan oleh Nando (2011) adalah siswa SMK Pelita kecamatan Ciampea kabupaten Bogor dengan subjek penelitian berjumlah 45 orang. Populasi dalam penelitian yang dilakukan oleh Hafsah (2009) adalah anak binaan Lembaga Permasyarakatan Anak Kutoarja Jawa Tengah. Rina (2011) dalam penelitiannya menggunakan subjek penelitian sebanyak 204 orang dengan populasi penelitian adalah siswa kelas II dan kelas III di SMP Pahlawan Toha Bandung. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini adalah populasi yang digunakan merupakan remaja yang berdomisili di Provinsi Bali. Terdapat 3 penelitian sebelumnya yang menggunakan pendekatan korelasional yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ernawati (2012), Nando (2011), dan Wahyudi (2013). Sementara itu Hedo dan Sudhana (2014) dalam penelitiannya menggunakan pendekatan komparasi sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rina (2011) menggunakan pendekatan deskriptif. Satu penelitian menggunakan mix method yaitu penelitian yang dilakukan oleh Hafsah (2009). Penelitian yang dilakukan oleh Hafsah (2009), Rina (2011), dan Wahyudi (2013) memiliki persamaan dalam teknik pengambilan sampel yaitu sama-sama menggunakan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Ernawati (2012) dalam penelitiannya menggunakan teknik pengambilan sampel yaitu cluster sampling sementara itu, Hedo dan Sudhana (2014) menggunakan teknik pengambilan sampel area probability random sampling. Nando (2011) menggunakan incidental sampling sebagai teknik pengambilan sampel dalam penelitiannya. Perbedaan antara penelitian sebelumnya yang sudah
dipaparkan diatas dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini adalah peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel menggunakan multistage cluster sampling. Metode analisis data yang digunakan oleh Hedo dan Sudhana (2014) adalah uji beda (independent samples t-test). Penelitian yang dilakukan oleh Rina (2011) menggunakan metode analisis data yaitu analisis deskiptif untuk mengolah data yang diperoleh. Nando (2011) menggunakan analisis chi-square testsebagai metode analisis data dalam penelitiannya. Sementara itu dua penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2013) dan Ernawati (2012) menggunakan metode analisis data product moment dalam penelitiannya, sedangkan Hafsah (2009) menggunakan metode analisis data uji univariat analysis of variance dan parsial corelation pada data kuatitatif yang diperoleh sementara data kualitatif yang diperoleh dianalisis menggunakan verbatim. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang peneliti lakukan saat ini adalah peneliti menggunakan metode analisis data regresi sederhana untuk mengolah data yang diperoleh dalam penelitiannya.
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kecenderungan pola asuh otoriter (authoritarian parenting style) dengan gejala perilaku agresif pada Remaja. Penelitian ini juga ingin melihat seberapa besaran variasi pada variabel pola asuh otoriter untuk menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel perilaku agresif, dan memprediksi variabel perilaku agresif apabila variabel pola asuh otoriter dimanipulasi.
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis Memberikan sumbangan informasi bagi bidang psikologi khususnya Psikologi Perkembangan dan Psikologi Sosial dalam hal ini hubungan antara kecenderungan pola asuh otoriter (authoritarian parenting style) dengan gejala perilaku agresif pada Remaja. 2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dan pengetahuan bagi orang tua dan masyarakat untuk menyiapkan kehidupan yang lebih baik bagi remaja dengan cara memberikan gambaran akan pentingnya peranan pola asuh yang orang tua terapkan dalam keluarga terhadap terbentuknya perilaku remaja. Bagi pihak sekolah dan guru dengan adanya informasi dan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, diharapkan khususnya bagi guru bidang studi bimbingan konseling memberikan bimbingan dan penyuluhan agar para siswasiswi dapat mampu mengontrol perilaku agar tidak terjerus ke dalam perilaku-perilaku agresif yang dapat merugikan orang sekitarnya. Bagi remaja sendiri, diharapkan mampu untuk mengendalikan diri ketika berada pada siatuasi-situasi yang tidak menyenangkan agar tidak mudah terpancing kedalam perilaku agresif.