BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan sangat erat kaitannya dengan bangsa Indonesia, dengan beragam kebudayaan yang dimiliki, Indonesia menjadi kaya dengan adat istiadat, suku bangsa, flora dan fauna. Pada prinsipnya, budaya merupakan salah satu identitas suatu bangsa. Banyak budaya dan adat istiadat yang memberikan kontribusi positif bagi bangsa Indonesia dan menjadi daya tarik sebagai aset pariwisata. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, budaya sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. “Lautan adalah tempat kita berenang begitu luasnya, begitu menelan semuanya, sehingga kita tidak mengetahui eksistensinya sebelum kita keluar darinya. Kebudayaan lebih penting dari yang kita kira.” (Eric Weiner, The Geography of Bliss, 2012). Hal 1 Melalui budaya manusia pada dasarnya belajar banyak hal dan mampu untuk mempertahankan kehidupan serta kelestarian budaya lokal. Robert Lowie (dalam Tatengkeg, 2009) mendefinisikan budaya sebagai seluruh pengetahuan yang diterima individu dari masyarakat berupa kepercayaan, ada istiadat, kaidah-kaidah kesenian, kebiasaan-kebiasaan tentang makanan serta kemahiran yang diterimanya, bukan karena olah kecakapan sendiri, melainkan sebagai warisan zaman dahulu melalui pendidikan resmi atau tidak resmi.
1
Kebudayaan merupakan milik masyarakat. Kebudayaan tidak pernah menjadi milik individu semata. Kebudayaan selalu memiliki karakter sosial sebagai milik bersama masyarakat. Setiap individu yang tinggal dalam satu kebudayaan, secara tidak langsung ataupun langsung ikut dan terlibat dalam peraturan dan pola perilaku yang sudah diwariskan. Budaya adalah serangkaian pengetahuan yang sudah melewati
masa dari generasi ke
generasi sampai pada hal yang terdalam yang diberikan oleh masyarakat (Castillo, 1997). NTT, khususnya wilayah Manggarai merupakan suatu daerah yang kaya akan hasil alam dan masih kental adat istiadatnya. Letak demografis Manggarai terletak pada 8o LU– 8o30’ LS dan 119o30’– 120o30” BT; Luas wilayah 4.188,90 Km2; Batas Wilayah Utara berbatasan dengan Laut Flores, Timur berbatasan dengan Kab. Ngada, Barat berbatasan dengan Kab. Manggarai Barat, dan arah Selatan berbatasan dengan Laut Sawu. Secara demografi, daerah Manggarai menyimpan banyak hasil alam yang mampu menunjang kehidupan masyarakatnya. Tempat dan suhu udara yang cocok mendukung daerah ini sebagai penghasil kopi, cengkeh, vanili, dan coklat yang saat ini sudah merambah ke pasar eksport. Masyarakat Manggarai juga terkenal dengan keramahtamahannya. Salah satu tarian yang terkenal dari daerah Manggarai adalah tarian caci yang sudah terkenal di banyak negara seperti Eropa dan Australia (Wikipedia, 2013). Daerah Manggarai secara kultural merupakan salah satu daerah di NTT yang memberlakukan sistem perkawinan yang dikenal dengan belis.
2
Sebuah tradisi yang mirip dengan yang ada di Cina, India, dan Itali (Tatengkeng, 2009). Tradisi atau budaya belis di adat Manggarai ini masih menjadi proses penting dalam suatu perkawinan. Perkawinan adat manggarai bertujuan untuk tetap mempertahankan garis keturunan dan menjalin sistem kekerabatan dengan wilayah luar. Perkawinan dalam adat Manggarai mempunyai sejumlah proses dan tata cara yang berdasarkan adat istiadat. Belis merupakan bentuk mas kawin yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai bentuk mahar perkawinan. Sejarah belis telah berlangsung sejak jam kerajaan Todo sampai dengan kedatangan kerajaan Goa di daerah Manggarai (Tuname, 2012). Belis ini diberikan oleh anak wina (pihak laki-laki) kepada anak rona (pihak perempuan). Belis yang diberikan berupa hewan ternak seperti kuda dan kerbau, dan biasanya juga ditambah dengan babi. Pemberian jumlah hewan ternak juga dilihat berdasarkan kasta yang dimiliki oleh keluarga, semakin tinggi kasta yang dimiliki maka semakin banyak hewan ternak yang akan diberikan. Menurut Coolhaas (1942), besarnya belis untuk kasta dalu atau bangsawan yaitu 20 ekor hewan (kuda dan kerbau), kasta gelarang (menengah) sebanyak 10 ekor hewan, dan kasta leke/ata leke (rakyat biasa), memberikan sebanyak 7 ekor hewan. “belis itu kan adat toh, memang bayak yang merasa berat. Waktu itu belisnya saya mahal memang, tapi ada keluarga juga yang ikut bantu jadi tidak buat beban.” (Aris, wawancara tanggal 25 Mei 2013)
3
Selain memperhitungkan tentang tinggi dan rendahnya kasta, hal lain yang dijadikan patokan dalam memberikan belis adalah status sosial dan status pendidikan dari kedua calon mempelai. Semakin tinggi status sosial dan status pendidikan yang dicapai oleh kedua mempelai, maka harga belis yang diminta oleh pihak keluarga anak rona juga tinggi. Simbol mengenai tradisi pemberian belis yaitu sebagai bentuk penghargaan terhadap kaum wanita dan untuk membalas air susu ibu. Penghargaan ini diberikan oleh pihak laki-laki terhadap pihak keluarga perempuan. Makna belis sebagai ungkapan terimakasih karena orang tua sudah
bersusah
payah
untuk
untuk
mengurus,
mengasuh
dan
membersarkan, menykolahkan anaknya dari kecil hingga dewasa bahkan sampai memperoleh pekerjaan yang layak bagi anakanya. Belis dijadikan sebagai pengganti atas anak perempuan tersebut. Pandangan dan pemaknaan ini secara turun temurun tetap dipercaya sebagai suatu budaya yang tetap harus dijalankan dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya (Lawang & Purwaningsih, 2010). Penyerahan kesepakatan belis dan acara tawar menawar ini dilakukan dalam upacara adat yaitu temu kope/pongo yang dihadiri oleh kedua keluarga calon pengantin. Waktu upacara ini dilakukan, ada yang disebut sebagai ata tongka yaitu juru bicara dari pihak anak rona dan anak wina
yang akan memberikan patokan pembayaran belis dan banyaknya
hewan ternak untuk kesepakatan perkawinan. Ata tongka mahir dalam soal dan pembicaraan adat (Coolhaas, 1942). Apabila sudah mendapat
4
kesepakatan mengenai uang pinang, belis, upacara adat, maka hari pernikahan
pun
ditentukan.
Sebaliknya,
apabila
belum
menemukan
kesepakatan pembayaran belis maka upacara adat ditunda. Menurut Wigjodipoero (1983) dalam perkawinan tidak hanya faktor agama dan dan hukum positif tertulis yang memegang peranan penting, tetapi faktor sosial lainnya seperti adat istiadat, budaya, falsafah hidup masyarakat juga ikut memegang peranan dalam pelaksanaan sebuah perkawinan. Tujuan perkawinan adat Manggarai yaitu untuk mendapatkan keturunan, menambah eratnya jalinan keluarga besar dan bertujuan untuk saling membahagiakan pria dan wanita. Para leluhur orang Manggrai mengakui hubungan suami istri yang selain mengasihi dan tetap setia satu sama lain mandatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan (Janggur, 2010). Daerah lain yang masih mempertahankan tradisi belis yaitu derah Alor, daerah ini memberlakukan belis untuk keluarga perempuan bangsawan dengan pemberian ratusan moko (yang digunakan dalam belis) dan untuk orang biasa hanya mencapai puluhan moko berukuran lima anak panah, ditukar akan mendapatkan padi 3 ton atau kambing atau babi 5 ekor, selembar kain selimut dan gong. Daerah Sumba, perempuan bangsawan dibelis dengan ratusan hewan (kuda dan kerbau) dengan barang emas mamuli (perhiasan emas berbentuk omega). Untuk menentukan siapa yang akan menerima bagian dari belis, biasanya diadakan perundingan di mana orang yang akan mendapatkan bagian adalah orang tua perempuan, paman, kakak laki-laki dan tua adat (Tatengkeng, 2009).
5
Peneliti memulai melakukan studi pendahuluan dengan melakukan wawancara kepada beberapa pihak yang mewakili kriteria sebagai sumber data, hal ini dilakukan agar permasalahan penelitian bukan hanya ada di benak peneliti, namun benar-benar terjadi di lapangan. “banyaknya pemberian belis dari laki-laki ke keluarga perempuan tergantung pada status sosial orang tua, strata masyarakat dan tingkat pendidikan calon perempuannya. (Janggur, wawancara tanggal 3 September 2012, 18.00).
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan bersama bapak Janggur, peneliti menyimpulkan bahwa besarrnya pemberian belis dilihat dari status sosial yang disangadang oleh orang tua, strata dalam msayarakat, serta tingkat pendidikan yang diraih oleh calon memperlai wanita. Tidak jarang isu mengenai belis ini membawa dampak buruk bagi perempuan. Menurut Prawijaya (dalam http://kupang.tribunnews.com 2012), peluang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi di NTT juga diakibatkan oleh tradisi belis. Menurut Garzilli (1995), sebuah penelitian yang dilakukan di India, menemukan sebanyak 82.818 kasus kekerasan terhadap perempuan akibat mas kawin, sedangkan di Itali ditemukan bahwa mas kawin meningkatkan peluang terjadinya perceraian dalam rumah tangga. “sampe sekarang saya tidak setuju dengan budaya belis yang sampe bayar ratusan juta rupiah. Secara tidak langsung, perempuan dan laki-laki yang sudah nikah terbebani dengan budaya belis ini, kalo laki-laki tekanan datang saat keluarga perempuan menyinggung belis yang belum di bayar lunas, sedangkan kalo perempuannya sudah di bayar belis mahal tapi tidak bisa mengurusi rumah tangganya. ” (Yopi, wawancara tanggal 27 November 2012)
6
Hasil wawancara ini dapat disimpulkan bahwa belis membawa dampak negatif bagi calon mempelai laki-laki dan juga calon mempelai wanita. Ada temuan lain yang menarik seputar belis ini, yaitu dari sejumlah data-data yang
dikumpulkan Divisi Perempuan Tim Relawan untuk
Kemanusiaan-Flores (TRUK-F). TRUK-F telah melakukan penelitian di kabupaten Sikka-Maumere sejak tahun 2003 hingga beberapa bulan pada tahun 2006. Dari data kasus yang terkumpul sebanyak 104 kasus dan disimpulkan belis menjadi alasan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Temuan tahun 2003 terdapat 5 kasus, yakni pasangan tidak dapat melaksanakan perkawinan Katholik karena belis belum terbayar. Suami pun tertekan karena terus menerus dipaksa oleh pihak keluarga perempuan untuk segera membayar belis. Pada tahun 2005 antara lain ada 12 kasus perempuan diperlakukan dengan kekerasan oleh suami. Saat istri melarikan diri ke keluarganya, suami dan keluarganya mendesak untuk kembali sebab belis sudah dibayar lunas. Sementara temuan di tahun 2006 antara lain, terdapat 19 kasus suami yang merantau mencari uang untuk membayar belis. “belis sudah banyak mengalami pergeseran makna, dulu tidak pake uang, hanya hewan saja, sekarang saja sudah bayar dengan uang. Belis memang harus dibayar oleh laki-laki untuk perempuan sebagai tanda mengharga keluarga perempuan. Ada saya punya om mau melamar, trus omong tentang belis. Besarnya belis waktu itu 100 juta, akhirnya kami punya keluarga pikir-pikir dulu, trus kami tawarmenawar, tapi keluarga wanitanya tidak mau. Akhirnya, tidak ketemu hasil akhirya tidak melamar, batal menikah.” (Engki, wawancara tanggal 24 April 2013)
7
Tradisi budaya belis ini sudah banyak mengalami pergeseran makna. berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa pada saat ini belis menggunakan uang dan hewan sebagai belis, sedangkan pada tradisi asli tidak menggunakan uang. Status sosial tinggi yang dimiliki oleh keluarga pihak wanita akan mempengaruhi jumlah pemberian belis oleh pihak laki-laki. Semakin tinggi status sosial dan gelar pendidikan yang dimiliki pihak perempuan maka belis yang akan diterima besar dan dapat mencapai 70 sampai 500 juta (Selus, 2013). Hal ini menimbulkan permasalahan baru dalam memaknai belis. “belis itu hakikat sebenanya adalah simbolik sebagai bentuk penghargaan harga diri dan kasih sayang terhadap perempuan. Belis itu sudah banyak mengalami pergeseran makna, sehingga orang memaknai belis seperti utang piutang bahkan sampai membuat surat kontrak yang bermaterai dan isinya tentang pelunasan belis, selain itu juga belis berimbas pada sisi peempuannya. Jadi, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka harga belis juga akan ikut naik.” (Ibu Yustina Ndung, wawancara tanggal 26 November 2012)
Tradisi belis juga berkaitan dengan harga diri bagi seorang laki-laki maupun keluarga besarnya. Pemaknaan belis sebagai harga diri atau jati diri dapat dipahami sebagai usaha seseorang untuk mendapatkan harkat dan martabat dalam masyarakat yang menerapkan tradisi belis. ketika seorang laki-laki mampun memenuhi tuntutan belis yang diajukan oleh pihak kelurga perempuan maka laki-laki tersebut akan mengalami suatu kebanggan tersendiri karena dapat menunjukkan bahwa dirinya mampu untuk menikah dan menghidupi calon istrinya serta mampu untuk menjalani dan
8
menghadapi segala tantangan hidup dalam bahtera rumah tangga (Lawang & Purwaningsih, 2010) Berbeda halnya dengan laki-laki yang belum mampu membayar belis diberikan sanksi secara adat, yaitu diwajibkan untuk tinggal bersama dengan keluarga istri dan bekerja di ladang ayah mertua, serta tidak diperbolehkan mengunjugi keluarganya sampai mandapat ijin dari ayah mertuanya (Janggur, 2010). “Belis itukan untuk ungkapan terimakasih dan ungkapan balas air susu ibu sebenarnya. Ada banyak kasus yang orang Sumba menikah dengan enu Manggarai. nikahnya tidak dilakukan dengan upacara adat sama sekali sehingga suami ikut keluarga istri. Belisnyanya juga belum bayar. Akhirnya sampe belasan tahun bekerja di kampung istri sudah. Akhirnya buat upacara adat baru setelah itu diijinkan untuk pindah ke Sumba, ikut suaminya.” (Lian, wawancara tanggal 24 April 2013)
Kesimpulan mengenai wawancara bersama saudara Lian diatas adalah belis adalah sebagai simbol penghargaan terhadap perempuan. Apabila pihak laki-laki belum membayar lunas belis maka akan tinggal bersama dengan orang tua dari pihak wanita sampai mampu membayar belis. “waktu saya bayar belis, berat e... saya kurang setuju dengan adat belis yang sampe bayar mahal sekali. Dulu pihak perempuan minta 250 juta, kami tidak sanggup, akhirnya ada kesepakatan adat jadinya 150 juta saja. Itu semua sudah termasuk dengan uang bumbu untuk pesta. Acara adat untuk dapat kesepakatan juga lama e, hampir 2 sampai 3 minggu” (Jian, (anak wina) wawancara tanggal 14 Mei 2013 20.12 WIB) . “saya rasa belis itu 50/50 e kae.. soalnya itukan adat to, tidak mau kita ikut, trus beratnya waktu saya dilamar rasakayak perempuan tu seperti di beli e. Saya sama sekali campur dalam penentuan belis, hanya orang tua dan saja.saya juiga kasian dengan kelyarga suami”
jadi mau tu, saya tidak ikut keluarga
9
(Iin (anak rona) wawancara tanggal 14 Mei 2013 21.13 WIB). Kesimpulan dari 2 wawancara diatas adalah, belis memberikan dampak yang kurang baik bagi anak wina dan anak rona. Mereka mengganggap bahwa belis memberatkan keduanya serta keluarga. Oleh anak rona, belis di maknai sebagai “beli” perempuan, yang menjatuhkan harkat dan martabat perempuan. Dan bagi anak wina, belis dirasakan berat dengan jumlah uang yang banyak berkisar ratusan juta rupiah. Fenomena mengenai belis memberikan dampak psikologi yang beragam bagi pelaku yaitu calon keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai perempuan serta masyarakat pada umumnya. Tradisi belis memberikan perasaan tertentu bagi pelaku maupun orang-orang yang terlibat didalamnya. Perasaan ini mencakup kebahagiaan, kesedihan maupun suka dan duka. Pada dasarnya tujuan perkawinan adat Manggarai yaitu untuk mendapatkan keturunan, menambah eratnya jalinan keluarga besar dan bertujuan untuk saling membahagiakan pria dan wanita. Para leluhur orang Manggrai mengakui hubungan suami istri yang selain mengasihi dan tetap setia satu sama lain mandatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan (Janggur, 2010). Perkawinan adalah salah satu lembaga yang paling penting dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat dan kesejahteraan. Komitmen yang ada dalam pernikahan memiliki efek positif, misalnya kesejahteraan pasangan dan pada pendapatan ( Stutzer & Frei, 2006). Tujuan hidup
10
manusia adalah mencapai kebahagian, salah satunya adalah dalam perkawinan. Diener & Oishi (2000) mengatakan bahwa orang yang menikah lebih bahagia daripada individu yang masih melajang. Hal ini disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan dasar, terpenuhinya kebutuhan afiliasi, meningkatnya kemampuan menyelesaikan masalah, dan meningkatnya self esteem. Temuan ini konsisten dengan pandangan luas bahwa pernikahan memberikan meningkatkan
dukungan
finansial
kesejateraan
dan
pribadi
emosional, (Shields
&
dapat Wooden,
langsung dalam
http://www.melbourneinstitute.com). Fakta atau fenomena di atas menunjukkan bahwa meskipun banyak persoalan yang dihadapi masyarakat Manggarai mengenai tradisi belis, sampai saat ini masih mempertahankan tradisi adat dan istiadatnya. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa sebenarnya makna belis bagi masyarakat Manggarai? 2. Bagaimana tradisi belis mempengaruhi kondisi subjective well being anak wina dan anak rona? 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi pencapaian subjective well being anak wina dan anak rona? 4. Bagaimana masyarakat Manggarai memelihara, menjaga dan terus melestarikan budaya adat istiadat mengenai belis tersebut? Untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian tersebut, maka penelitian ini dilakukan.
11
B. Tujuan penelitian Berdasarkan pada fenomena yang telah dijelaskan, tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu untuk mengetahui subjective well being pada anak wina dan anak rona terkait tradisi belis. Diharapkan menjadi masukan untuk tetua adat serta pengamat budaya agar tradisi belis memberikan dampak positif bagi masyarakat Manggarai khususnya anak wina dan anak rona.
C. Manfaat penelitian Penelitian dengan tema subjective wel- being yang dikaitkan dengan budaya belis pada daerah Manggarai Nusa Tenggara Timur diharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
khasanah
ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi klinis dan psikologi sosial. 2. Manfaat Praktis Temuan atau hasil yang diperolah malalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yaitu: a. Tetua adat Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pemikiran dan pertimbangan bagi semua kalangan masyarakat Manggarai khusunya pemerhati budaya atau tetua adat agar bersama-sama melakukan perubahan dan mengembalikan makna belis yang sesungguhnya, sehingga nantinya,
12
makna belis di masyarakat benar-benar didasarkan pada kearifan budaya. b. Masyarakat Diperlukan kesadaran dan pemahaman yang luas bagi masyarakat Manggarai untuk mewariskan budaya dan mengetahui dampak lain dari budaya belis terhadap subjective well-being dan dinamika psikologis anak rona dan anak wina. c. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi lebih lanjut untuk penelitian selanjutnya dengan tema yang sama mengenai belis, selain itu juga untuk memperkaya kepustakaan tentang subjective wellbeing.
D. Keaslian Penelitian Budaya belis telah menjadi topik pembahasan yang menarik untuk terus diteliti. Beberapan peneliti yang lebih dulu melalukan penelitian tentang hal ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Deazsy Agustina Tatengkeng (2009), yang meneliti tentang tradisi belis dalam Perkawinan Suku Dawan. Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologi yang bertujuan untuk mengetahui makna tradisi belis dalam perkawinan suku Dawan dan bagaimana dinamika psikologis yang dialami oleh perempuan yang sudah menikah. Penelitian ini menggunakan observasi partsipan dan wawancara yang mendalam kepada 7 orang subyek. Kesimpulan penelitian ini adalah makna belis sebagai simbol atau tanda penghargaan terhadap
13
perempuan, tanda ikatan kekeluargaan, tanda perempuan masuk dalam klen suami. Dampak negatif bagi perempuan suku Dawan yang sudah menikah jika diberikan terlalu tinggi nilainya dan jika belis diberikan hanya untuk mendapatkan keuntungan beberapa pihak saja. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Roberta Teyseran dengan judul Pembayaran Jujur (belis) dalam perkawinan Adat masyarakat timor di Kecamatan Insana Tengah kabupaten Timur Tengah Utara (2012) bertujuan ingin mengatahui aspek yang mempengaruhi jujur (belis) dalam perkawinan adat masyarakat Timor dan juga ingin mengetahui akibat hukum dalam aspek kekerabatan yang ditimbulkan jika jujur (belis) dihutang. Subyek penelitian terdiri dari responden sejumlah 22 (dua puluh dua) orang yang terdiri dari 2 (dua) orang Tokoh Adat, 5 (lima) orang kerabat pria yang pernah melakukan pembayaran jujur, 5 (lima) orang kerabat wanita yang pernah menerima pembayaran jujur, 5 (lima) orang suami yang pernah melakukan perkawinan adat dengan pembayaran jujur, 5 (lima) orang istri yang pernah melakukan perkawinan adat dengan pembayaran jujur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal yang mempengaruhi pemberian jujur (belis) dalam masyarakat adat Timor adalah tingkat pendidikan, status sosial, kekayaan, dan belis dari ibu si gadis pada waktu perkawinan. Penelitian yang dilakukan oleh Rubenson A. Banfatin (2012) yang berjudul Pergeseran Makna Belis (Sebuah Studi Pada Masyarakat Etnis Sikka Di kota Kupang Propisnsi Nusa Tenggara Timur) mendalami perkawinan adat masyarakat etnis Sikka yang menempatkan mas kawin
14
(belis) sebagai hal yang penting karena memiliki makna sebagai simbol penghargaan dan pengakuan kepada harkat dan martabat seorang perempuan. Belis mengalami pergeseran makna dikarenakan pembayaran belis berdasarkan tuntutan-tuntutan yang melebihi batas kemampuan seseorang dan mulai menyalahkan adat. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat Sikka saat ini, belis mengalami pergeseran makna, di mana masyarakat memaknai belis sebagai simbol prestise. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pergeseran makna belis adalah: simbol prestise, nilai ekonomi dan benda-benda belis. Pakh Yerakh (2009) dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam rangka penulisan Tesis dengan judul Akibat hukum Pemberian Beli Menurut Hukum Perkawinan Adat Timor di Kecamatan Nakamese Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur bertujuan untuk mengetahui alasan-alasan pemberian belis dalam perkawinan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Tehnik pengambilan sampling yaitu dengan purposive sampling serta wawancara terhadap narasumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan pentingnya pemberian belis dalam perkawinan
adat
Timor
adalah
syarat
sahnya
sebuah
perkawinan,
memberikan penghargaan terhadap keluarga istri, untuk merubah marga istri mengikutu marga suami. Apabila keluarga suami belum melaksanakan pemberian belis maka suami harus tetap tinggal dalam keluarga istrinya dan istri belum memakai marga suami.
15
Penelitian yang dilakukan oleh Hendrik Hubert Horaloyz (2009) tentang Fungsi dan Tujuan Belis dalam pelaksanaan perkawinan Adat Sikka di Kecamatan Sikka. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti tentang eksistensi belis dalam pelaksanaan perkawinan adat Sikka. Selain itu untuk mengetahui akibat hukum dalam perkawinan adat Sikka apabila belis (jujur) dibayar dengan cara dihutang. Penelitian ini bersifat yuridis sosiologis Bedasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1). Tujuan dan fungsi belis adalah sebagai simbol penghargaan dan pengakuan kepada harkat dan martabat seorang perempuan dan melindungi harga dirinya. 2). Akibat hukumnya apabila dalam perkawinan adat Sikka apabila belis (jujur) dibayar dengan cara hutang adalah status yang tidak jelas dari pihak pria terhadap perkawinan dan status kepemilikan istri yang belum utuh dan tidak jelasnya status pria selama belum terpenuhinya pelunasan pembayaran belis (jujur). Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Dina Rahel Korang Lawang dan Indriyanti eka Purwaningsih tahun 2010 dengan judul Makna Belis Dalam Perkawinan Suku Mardang di Kabupateng Alor, Nusa Tenggara Timur (Tinjauan Psikososiokultural). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makan belis dalam perkawinan suku Mardang di kabupaten Alor dan sikap masyarakat terhadap perubahan belis moko serta usaha melestarikan budaya adat menyangkut belis tersebut. Subyek penelitian ini adalah masyarakat Alor suku Mardang di Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian ini merupakan
penelitian
kualitatif.
Metode
pengumpulan
data
melalu
wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan
16
bahwa belis bagi masyarakat Alor dimaknai sebagai simbol status, harga diri atau jati diri, dan rasa terimakasih. Usaha yang dilakukan dalam rangka melestarikan dan mempertahankan tradisi budaya belis moko melalui menegakan aturan-aturan adat dan dijadikan sebagai simbol atau lambang perkawinan bagi masyarakat Alor yang merupakan warisan budaya nenek moyang suku Mardang di pulai Pantar. Penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian ini mengambil lokasi di daerah Manggarai, dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif etnofenomenologi. Tehnik pengambilan data menggunakan cara observasi partisipan dan depth interview. Penelitian menggunakan kriteria dari tehnik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2005), purposive sampling adalah tehnik pengambilan sample data dengan pertimbangan tertentu. Kriteria yang yang sesuai untuk dijadikan sebagai responden adalah tetua adat, pengamat budaya Manggarai, anak wina dan anak rona serta masyarakat pada umumnya. Penelitian ini juga didasarkan pada teori subjective well-being yang dikemukakan oleh Diener. Berdasarkan pendapat Diener (1984) yang mengemukakan bahwa individu dengan subjective well-being yang tinggi akan lebih memperoleh kepuasan hidup, emosi positif, dan menurunkan emosi negatif, sehingga dalam mengahadapi berbagai peristiwa hidup menjadi lebih baik.
17