BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara peringkat keempat dengan populasi terbesar di dunia, hal ini diungkap dari artikel yang ditulis oleh Purnomo (detik finance, 2014). Jumlah populasi yang besar tersebut secara tidak langsung berpengaruh pula pada jumlah tenaga kerja yang ada di Indonesia. Berdasarkan data dari Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (2010), Indonesia memiliki populasi yaitu 237,64 juta jiwa dan di dalamnya terdapat sekitar 104,9 juta jiwa penduduk yang bekerja. Dari jumlah tersebut, jumlah perempuannya hanya 38,1 juta orang (36,32%). Hal ini berarti jumlah pekerja perempuan hanya ada 36,32% saja dari total pekerja Indonesia. Pemerintah bahkan telah memberi kesempatan untuk perempuan dapat bekerja seperti warga negara yang lain serta telah membuat sebuah aturan tentang hak perempuan untuk dapat bekerja yaitu aturan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tentang Warga Negara dan Penduduk yang berbunyi bahwa “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hal serupa juga terdapat dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”. Namun sayang sekali hanya sedikit perempuan yang mau mengambil kesempatan tersebut, apalagi jika dilihat dari posisi dalam organisasi, semakin tinggi jabatan tersebut maka sulit ditemukan perempuan di dalamnya. Sedikit sekali perempuan yang dapat menempati posisi-posisi tertinggi dalam sebuah perusahaan. Hal ini sesuai dari artikel yang dimuat dalam Okezone yang isi artikelnya yaitu hanya terdapat 5% perempuan di Indonesia yang memimpin duduk di kursi manajer (Anugrah, 2015).
1
2
Menurut Wentling (2003) perempuan dalam manajemen dan kepemimpinan menjadi topik yang penting karena jumlah perempuan yang menduduki posisi senior level management masih sangat terbatas, perempuan hanya terlihat menduduki posisi middle level management (Wentling, 2003). Sedikitnya jumlah perempuan dalam posisi tinggi tersebut bisa dikarenakan banyak penyebab antara lain faktor budaya, stereotip dari masyarakat atau bahkan dari diri perempuan itu sendiri. Sekarang banyak perempuan yang memilih tidak mengambil kesempatan di dunia organisasi karena perempuan itu sendiri yang membatasi diri mereka. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan salah satu peneliti di Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, perempuan pada umumnya membatasi diri mereka karena takut mendapat stigma dari masyarakat bahwa yang seharusnya aktif di luar rumah itu laki-laki bukan perempuan. “Tapi ternyata kendalanya itu dari pihak perempuan itu sendiri. Secara kultural sebetulnya, secara budaya jadi ada pendapat bagi perempuan sendiri kalo terlalu aktif di luar rumah, nanti ee pekerjaan di area domestik itu terbengkalai.” (PSW.W1.9-11). “Kalo, ya emang ya itu karena mungkin dari perempuannya sendiri yang ibaratnya ee takut nanti kalo misalnya terlalu aktif di luar nanti ada, masih ada stigma sebetulnya.” (PSW.W1.34-36). Di Indonesia memang masih banyak yang menganggap tabu jika perempuan menjadi seorang pemimpin. Faktor budaya yang seperti itulah yang membuat para perempuan memilih membatasi diri untuk menjadi seorang pemimpin. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Wright dan Tellei (1993) yang meneliti tentang Women In Management In Indonesia. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa hambatan utama mengapa perempuan kurang banyak yang menjabat sebagai manajer di perusahaan karena nilai budaya yang menempatkan kodrat perempuan hanya sebagai ibu dan seorang istri, gaya perilaku organisasi orang Indonesia, dan menstereotipkan perempuan dalam manajemen. Stereotip gender yang beredar tersebut yaitu “pria adalah pengambil keputusan yang
3
emosinya lebih stabil atau intelektualnya lebih tinggi” sedangkan “perempuan lebih tertarik untuk mengurusi suami dan anak-anaknya”. Stereotip tersebut membuat siklus kehidupan yang umum terjadi yaitu pria yang bekerja kemudian menjadi pemimpin sebuah perusahaan sedangkan para perempuan seharusnya hanya mengurusi urusan di dalam rumah. Stereotip perempuan dipandang tidak sesuai untuk menjadi pemimpin sehingga membuat perempuan merasa inferior untuk menjadi pemimpin. Stereotip itu yang membuat keberadaan perempuan Indonesia dalam kepemimpinan organisasi masih sangat jarang ditemukan. Selain faktor budaya tersebut ada beberapa hambatan lainnya yang membuat perempuan sulit menjadi seorang pemimpin antara lain yaitu karena persepsi tidak yakin dari orang lain terhadap kemampuan perempuan, sedikitnya kesempatan promosi jabatan untuk para perempuan dan mentoring dipersepsikan tidak memberikan banyak pengaruh untuk peningkatan dalam karirnya (Tlaiss & Kauser, 2010). Weyer (2007) juga menjabarkan hambatan lainnya mengapa para perempuan sulit untuk mencapai karir yang lebih tinggi, hal ini bisa disebabkan karena perusahaan lebih cenderung untuk memilih karyawan pria karena dinggap mempunyai kemampuan yang lebih dari perempuan serta adanya stereotip terhadap gaya kepemimpinan, pemimpin perempuan dianggap kurang mempunyai karakteristik untuk menjadi perempuan yang sukses. Hal-hal tersebutlah yang membuat perempuan sulit untuk mencapai karir yang lebih tinggi (Weyer, 2007). Peluang perempuan untuk memimpin dalam era kepemimpinan Presiden Jokowi ini pun sebenarnya sudah terlihat meningkat. Presiden telah memberikan peluang yang cukup lebar kepada para perempuan untuk memimpin. Hal ini terlihat pada tahun 2014 menjadi tahun kepemimpinan dengan jumlah menteri terbanyak yaitu delapan dari tiga puluh empat jumlah menteri yang ada. Dalam parlemen sendiri pun telah diberikan peraturan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif yang memerintahkan partai politik untuk
4
memasukkan minimal 30% perempuan dalam daftar calon anggota legislatif dan memberikan kesempatan sebesar-besarnya agar para perempuan dapat mengisi kursi parlemen, namun lagi-lagi yang terjadi jumlah perempuan yang menempati kursi tersebut hanya sekitar 17,32% (Aritonang, dalam Kompas 2014). Kesempatan yang diberikan sebenarnya sudah banyak namun mengapa hanya sedikit perempuan yang berkeinginan untuk berada di posisi pemimpin tersebut. Padahal jika dilihat dari kemampuannya, perempuan juga tidak kalah jika dibandingkan para pria dalam hal memimpin. Pemimpin perempuan memiliki beberapa keunggulan dalam memimpin seperti memiliki ketelitian yang tinggi. Selain itu pemimpin perempuan juga memiliki hubungan personal yang lebih unggul dibandingkan para pria. Mereka juga lebih toleran terhadap kebijakan perusahaan, seperti lebih dapat memaklumi kondisi bawahannya (Utami, 2013). Keunggulan tersebut pun diakui oleh para pemimpin perempuan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini. Salah satu subjek mengatakan bahwa pemimpin perempuan biasanya lebih unggul untuk melihat hal-hal yang detail serta memiliki komunikasi yang lebih ramah dan intim kepada orang lain. “Menurutku sih dua poin itu yang lebih dari cowok, e kita lebih detail dan kita lebih, lebih punya bahasa cinta dalam tanda kutip.” (K.W1.354-355). Penelitian Tosi, Rizzo dan Carrol (1990) juga membuktikan bahwa sebenarnya perempuan pun bisa mengelola organisasi sebaik para pria karena pada dasarnya perempuan memiliki sifat-sifat dasar untuk sukses sebagai pemimpin dalam berkarier. Kaum perempuan umumnya sabar, memiliki empati, dan multitasking. Mereka mampu mengerjakan beberapa hal sekaligus. Selain itu, perempuan juga punya bakat alami untuk menjalin jaringan dan bernegosiasi. Sifat-sifat dan kemampuan itu memang tidak eksklusif hanya dimiliki perempuan. Banyak laki-laki juga memiliki sifat dan kemampuan yang sama. Hanya saja perempuan cenderung lebih sering menunjukkannya.
5
Keunggulan-keunggulan tersebut ternyata tidak terlalu berdampak signifikan untuk para perempuan, hal ini terlihat dari sedikitnya jumlah pemimpin perempuan yang ada di Indonesia. Perempuan masih harus mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang lebih bernilai, mempelajari tentang otoritas, kepemimpinan, serta karakter, menunjukkan kompetensi terbaiknya dalam bekerja dan menciptakan kualitas kerja yang tinggi agar menumbuhkan kepercayaan perusahaan untuk memberikan kesempatan pada mereka (Klenke, 2003; dan Wentling, 2003). Dalam kepemimpinan contohnya, pemimpin perempuan juga harus berusaha keras agar menjadi pemimpin dengan kompetensi terbaik termasuk kompetensi pengambilan keputusan sehingga perempuan tidak lagi dipandang sebelah mata karena pengambilan keputusan merupakan salah satu tugas penting dalam sebuah kepemimpinan. Tugas pengambilan keputusan merupakan bagian inti dari sebuah organisasi sehingga erat kaitannya dengan seorang pemimpin. Seorang pemimpin dituntut untuk dapat mengambil keputusan sebaik mungkin karena dia juga yang akan mengelola hasil dari keputusan tersebut dan mereka akan dinilai dari hasil keputusan tersebut. Pengambilan keputusan merupakan bagian penting dari sebuah organisasi karena keputusan-keputusan tersebut yang akan menentukan bagaimana suatu organisasi dapat menyelesaikan masalah, mengalokasikan sumber daya dan meraih target. Dengan demikian setiap pemimpin harus menajamkan keterampilan dalam membuat keputusan. Keberhasilan ataupun kegagalan suatu perusahaan merupakan hasil dari keputusan yang dibuat oleh para pemimpin. Dalam mengambil keputusan, seorang pengambil keputusan tentu memegang peranan penting dalam prosesnya. Menurut Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1997), seorang pengambil keputusan adalah seorang pemecah masalah, ia akan memilih salah satu dari alternatif-alternatif yang ada atau mungkin menemukan alternatif lain di luar alternatif yang ada sebelumnya. Selain itu, para pengambil keputusan di semua jenis organisasi juga
6
akan menghadapi jenis masalah dan keputusan yang berbeda pada saat mereka melakukan pekerjaannya bahkan ia dapat membuat satu atau dua jenis keputusan yang berbeda. Keputusan-keputusan tersebut akan disesuaikan dengan masalah yang sedang dihadapi. Menurut Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1997); Robbins dan Coulter (2010); dan Wood, Wallace, dan Zeffane (1998), terdapat dua jenis keputusan yaitu: keputusan yang terprogram (keputusan berulang yang dapat ditangani dengan menggunakan pendekatan rutin atau kebiasaan) dan keputusan tak terprogram (keputusan yang biasanya bersifat unik, baru dan tidak berulang serta melibatkan solusi yang disesuaikan). Namun yang terjadi dalam masyarakat, kebanyakan proses pengambilan keputusan tersebut dilakukan para kaum pria, jarang sekali yang melibatkan perempuan, contohnya proses pengambilan keputusan di sebuah pabrik Nigeria. Biasanya, para buruh perempuan di pabrik tersebut memilih untuk tidak ikut berpartisipasi pada proses pengambilan keputusan karena bagi mereka pendapatnya tidak akan didengar karena sebagian besar dari pemimpin pabrik di Nigeria adalah para pria (Adefolaju, 2013). Para pria dianggap lebih baik dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan perempuan sehingga stereotip tersebut membuat para perempuan jarang terlibat dalam proses pengambilan keputusan (Ivancevich, Konopaske, Robert, & Matteson, 2007). Hal tersebut juga terjadi di Indonesia, seperti hasil penelitian yang ditemukan oleh Agusnawati (2006) tentang Peran Kaum Perempuan dalam Pengambilan Keputusan pada Masyarakat Pengelola Hutan Kemiri di Mario Pulana, Sulawesi Selatan. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pada umumnya pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan Kemiri di Mario Pulana dilakukan oleh laki-laki. Diskriminasi ini tentu saja berdampak buruk pada pendapatan keluarga, contohnya seperti ketika hendak melakukan makkoko/maddare (pemilik lahan menyerahkan lahannya yang sudah ditanami bibit tanaman kemiri kepada orang lain) perempuan tidak pernah dilibatkan dalam
7
pengambilan keputusan untuk menyerahkan lahan kepada pakkoko/paddare (orang yang diserahi lahan). Padahal seandainya perempuan dilibatkan, mungkin saja mereka memilih untuk mengelola sendiri atau mempekerjakan orang untuk menambah pendapatan keluarga dibanding diserahkan kepada orang lain. Dalam organisasi juga demikian, seperti penemuan penelitian Munsira (2009) yang meneliti tentang peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan pada lembaga Organisasi Pemerintah Kota Bau-Bau yang ternyata tergolong masih rendah. Kaum perempuan pada lembaga Pemerintah Kota BauBau memang memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam membuat, menyusun, merumuskan laporan dan hasil kerja namun tidak memiliki kewenangan penuh dalam mengontrol dan menentukan arah kebijakan, prioritas program dan proyek. Salah satu penyebab rendahnya peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan yaitu faktor budaya, telah terjadi penempatan perempuan sebagai makhluk sekunder yang telah lama melekat di masyarakat. Pemahaman bahwa laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan tersebutlah yang membuat peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan di Indonesia masih tergolong rendah. Padahal jika perempuan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan akan berdampak positif pada organisasi. Perempuan sebenarnya mampu mengorganisir risiko yang timbul dari setiap keputusan dibandingkan pria. Di saat-saat terjepit dan mengecewakan sekalipun, perempuan ternyata memiliki banyak ide darurat yang justru bisa menyelamatkan organisasi dan bisa menciptakan banyak peluang baru. Dalam mengambil keputusan, perempuan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Kepekaan sosial ini membuat para perempuan lebih bisa berempati pada rekan kerja, sehingga rekan kerja akan merasa lebih diperhatikan dan punya dampak positif pada bawahan serta organisasi (Dini, 2013). Selain itu, perempuan juga sebenarnya lebih memiliki pemikiran yang mendetail terkait dalam analisis pengambilan keputusan. Mereka cenderung menganalisis masalah-masalah
8
sebelum membuat suatu keputusan dan mengolah keputusan yang telah dibuat, sehingga menghasilkan pertimbangan masalah serta alternatif penyelesaian yang lebih seksama (Robbins dan Judge, 2008). Dalam proses pengambilan keputusan itu juga erat kaitannya dengan gaya pengambilan keputusan dari para perempuan pengambil keputusan tersebut. Dengan mempelajari gaya pengambilan keputusan seorang pemimpin dapat memahami pemimpin beserta proses pengambilan keputusannya, membantu memprediksi keputusan apa yang akan dihasilkan, hingga memberikan pandangan bagaimana mempertahankan dan memperbaiki manajerial efektif dalam lingkungan yang kompetitif serta membantu pemimpin untuk merancang pekerjaan yang sesuai antara dirinya dan tugas-tugasnya (Rowe & Boulgarides, 1992). Gaya pengambilan keputusan biasanya merefleksikan bagaimana seseorang mempersepsikan dan merespon sebuah informasi. Menurut Rowe dan Mason (1987), gaya pengambilan keputusan adalah sebuah proses kognitif yang mewakili cara seseorang mendekati masalah dan menggunakan informasi untuk memformulasikan sebuah keputusan. Gaya pengambilan keputusan terdiri dari dua dimensi yang berbeda yaitu toleransi terhadap ambiguisitas (tolerance for ambiguity) dan orientasi nilai (value orientation) (Kinicki & Williams, 2013). Tolerance for ambiguity adalah tingkat toleransi seseorang terhadap ambigiusitas seperti terhadap situasi yang pasti atau tidak pasti. Seseorang dengan tolerance for ambiguity yang tinggi akan dapat maju dengan pesat pada situasi yang tidak pasti. Sedangkan value orientation merefleksikan seseorang yang fokus terhadap salah satu tugas dan teknis pekerjaan atau kepentingan orang dan kepentingan sosial ketika mengambil keputusan. Beberapa contoh bisa sangat fokus pada tugasnya dan tidak terlalu memperhatikan kepentingan orang, namun beberapa orang bisa sebaliknya. Menariknya, setelah dilakukan penelitian untuk mengetahui gaya pengambilan keputusan pada pemimpin perempuan, hasilnya pun cukup beragam. Salah satu contohnya yaitu
9
dalam penelitian yang dilakukan oleh Daewoo (1996) dalam pengambilan keputusan, orientasi nilai yang dimiliki oleh pemimpin perempuan Ohio Amerika lebih condong ke orientasi hubungan dengan orang lain. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Taleb (2010) pada pemimpin perempuan di Arab Saudi, dari ketujuh pemimpin perempuan yang ditelitinya tersebut ditemukan bahwa mereka condong mengadopsi kepemimpinan yang juga beorientasi pada orang lain. Dalam penelitian di atas dijelaskan bahwa pemimpin dengan gaya people oriented ini biasanya akan mempertimbangkan orang yang ada di dalam maupun di luar organisasi dalam mengambil keputusan. Namun hal ini bebeda dengan hasil penelitian Sikdar dan Mitra (2012) yang menemukan bahwa pemimpin perempuan di perusahaan bisnis United Arab Emirates (UAE) cenderung tidak mengikuti gaya people oriented karena bagi mereka pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang cenderung task oriented dalam memimpin. Keberagaman hasil penelitian itulah yang akhirnya membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai gaya pengambilan keputusan pada pemimpin perempuan. Selain itu, karena banyaknya tantangan di Non-Governmental Organization yang membuat peneliti ingin meneliti tentang gaya pengambilan keputusan pemimpin perempuan yang berkecimpung di NGO. Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang menghambat perkembangan NGO. Tentu saja permasalahanpermasalahan tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi seorang pemimpin dalam menentukan keputusan-keputusan yang bersifat solutif. Permasalahan tersebut diantaranya yaitu: a.
Kendala dana operasional “isu salah satu program besarnya dari NGO kan kemandirian atau keberlanjutan secara finansial karena kan kami lembaga apa swasta yang tidak dibantu
10
pemerintah sehingga kami harus cari uang sendiri, dan itu juga dialami oleh sekian juta NGO yang lain” (A.W1.434-437). “karena kami kan tidak disubsidi oleh pemertintah. Kalau kami tidak mendapatkan income lalu bagaimana kami memastikan keberlanjutan operasional kami” (A.W1.20-24). “kita kan pasti butuh operasional ya, dana operasional yang terbatas kan, jadi kita tidak bisa main seperti perusahaan, kita mau membesarkan skala perusahaan kita main investasi misalnya, gitu, pinjem bank misalnya, kita kan tidak bisa seperti itu” (M.W1.213-218) “nyari pegawai yang mumpuni untuk ngurusin itu ya. Punya link banyak, bisa dealing dengan luar negeri, itu gak gampang. Kalopun ada mungkin mahal ya gajinya. Gitu, padahal kita mungkin gak mampu untuk menggaji ee yang kemampuannya seperti itu” (M.W1.228-231). “Artinya dana itu hanya untuk memenuhi kebutuhan disabilitasnya, tapi bukan untuk istilahnya membayar saya atau membayar listrik di tempat ini, atau membayar biaya operasional kami, bukan” (A.W1.91-97).
b.
Dampak buruk pendonor “bagusnya kalau porsinya 50-50, tapi sayangnya kita masih 70-80, bahkan ada beberapa bagian yang 90% pendonor” (A.W1.457-462). “Terus untuk perusahaan-perusahaan tambang yang merusak lingkungan, kami gak boleh menerima dana dari mereka. Nah itu juga limitasi dari CSR” (A.W1.120-122). “banyak yang karena alasan politik dan macem macem banyak dari dana-dana yang dulu dialokasikan untuk Asia gitu dialihkan untuk Afrika” (A.W1.509-523).
c.
Keberlanjutan “Tapi yang mejadi konsen saya sebagai pemimpin disini adalah bagaimana ee kita itu bisa sustainable gitu kan istilahnya ya itu tadi berkaitan dengan pembiayaan operasional sehari-hari” (M.W1.20-23). “semua-semua penanganan masalah sosial diserahkan kepada apa namanya kepada LSM dengan situasi-situasi bahwa dia tidak mempunyai sumber daya yang berkelanjutan ya sudah” (A.W1.73-77). “Mungkin pemerintah memberikan dana gratis, nah itu biasanya juga sulit membuat mereka apa namanya mereka pasti lebih senang diberi dana gratis, tapi biasanya dana gratis itu habis untuk beli pulsa, habis untuk kebutuhan konsumtif” (A.W1.249-252).
11
d.
Turn over anggota “karena orangnya juga gak bisa digocekki ya anak-anak NGO tu jadi itu mempengaruhi gaya pengambilan keputusan untuk percaya pada orang lain” (K.W1.181-183). Tantangan-tantangan tersebut tentu membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Selain
tenaga dan usaha yang besar, pemimpin perempuan juga dituntut untuk profesional dalam mengambil keputusan. Namun uniknya ternyata dari hasil preliminary study yang dilakukan peneliti kepada beberapa para aktivis NGO yang dipimpin oleh para perempuan, mereka mengatakan bahwa perempuan terlalu mengandalkan perasaan bahkan terkadang juga terlalu memperhatikan perasaan orang lain dalam mengambil keputusan. Sikap terlalu memperhatikan perasaan orang lain itu juga terkadang membawa dampak terhadap proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan tersebut akhirnya memakan waktu yang lama karena terlalu banyak yang harus dipertimbangkan sehingga pemimpin perempuan di NGO terkesan terlalu berhati-hati. Dalam mengambil keputusan mereka juga sangat membutuhkan dukungan anggotanya, ketika anggota sudah mendukung ia baru akan berani mengambil sebuah tindakan. Selain itu mereka juga terkesan subjektif dalam mengambil keputusan, bahkan terkadang sampai mementingkan kepentingan pihak tertentu saja. Permasalahan-permasalah yang telah dijabarkan di ataslah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti mengenai gaya pengambilan keputusan perempuan yang memimpin NGO. Ditambah lagi, sangat menarik jika permasalahan ini diteliti dengan metode kualitatif sehingga memungkinkan untuk mendapatkan gambaran utuh serta dinamika yang menyeluruh tentang gaya pengambilan keputusan pada pemimpin perempuan. Hasil penelitian yang didapat dari analisis kuantitatif oleh Engen, Leeden dan Willemsem (2001); Daewoo (1996); Rowe dan Boulgarides (1992); serta Sikdar dan Mitra (2012)
12
hanya dapat menjawab tentang apa gaya pengambilan keputusan yang dimiliki oleh pemimpin perempuan dan kurang menjawab tentang bagaimana makna gaya pengambilan keputusannya. Pertanyaan penelitian yang demikian bisa terjawab oleh penelitian kualitatif sehingga penelitian mendalam yang bersifat kualitatif ini dirasa penting untuk dilakukan.
B. Rumusan Masalah Kemampuan untuk mengelola organisasi dengan baik merupakan tugas utama seorang pemimpin karena pemimpin merupakan posisi yang sangat penting dalam sebuah manajemen di organisasi, terutama dalam tugas pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan tersebut tidak jarang akan dipengaruhi oleh gaya pengambilan keputusan yang dimiliki oleh pemimpin itu sendiri, baik pemimpin pria maupun perempuan. Berdasarkan permasalahan yang telah dijabarkan dalam latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: bagaimana gaya pengambilan keputusan perempuan yang memimpin NGO?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana gaya pengambilan keputusan perempuan yang memimpin NGO.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan bisa memberikan manfaat teoritis maupun praktis bagi organisasi, para peneliti selanjutnya, subjek sendiri serta para perempuan lainnya. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi organisasi untuk memahami pemimpin perempuan beserta proses pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan kemampuan mereka untuk memikirkan tentang situasi, memproses informasi,
13
dan membuat keputusan. Selain itu, dengan mempelajari gaya pengambilan keputusan bisa membantu memprediksi keputusan yang dihasilkan. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi terutama penelitian yang terkait tentang gaya pengambilan keputusan pemimpin perempuan di NGO. Menurut pengamatan sementara peneliti, sebenarnya para perempuan memiliki bakat dan peluang untuk menjadi pemimpin namun karena masih sedikitnya role model yang dapat diteladani akhirnya mereka menganggap tabu seorang perempuan bisa memimpin, khususnya dalam penelitian ini yaitu memimpin sebuah NGO, sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran bagi para perempuan untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Pemahaman yang mendalam tentang gaya pengambilan keputusan pada pemimpin NGO perempuan ini juga dapat berfungsi sebagai refleksi atas perjalanan hidup, pemikiran dan perkembangan yang telah dilewati oleh subjek sendiri. Penelitian ini dapat menjadi bahan pengetahuan bagi mereka tentang pentingnya gaya pengambilan keputusan agar dapat melakukan pengambilan keputusan secara efektif dan efisien.