BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dewan Da’wah Jawa Tengah adalah salah satu kelompok perwakilan yang tergabung dalam Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia atau biasa disebut Dewan Dakwah. Pengurus Pusat yayasan tersebut berkedudukan di Jakarta dan memiliki perwakilan di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya di Surakarta sebagai kota representatif Kelompok Dewan Da’wah Jawa Tengah. Dewan Dakwah dikukuhkan keberadaannya melalui Akte Notaris Syahrim Abdul Manan No. 4, tertanggal 9 Mei 1967 (dakwahnews.com, 2015). Maksud dan tujuan didirikan Dewan Dakwah adalah terwujudnya tatanan kehidupan yang Islami berasaskan Islam, taqwa, dan keridhaan Allah Ta’ala (dewandakwah.or.id, 2015). Salah satu misi Dewan Dakwah adalah menyebarkan pemikiran Islam yang bersumber dari Alquran dan Assunnah dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang Islami. Dewan Dakwah memiliki berbagai bidang program, yaitu bidang pendidikan, bidang kaderisasi, bidang sekretariat, bidang luar negeri, bidang dakwah, dan bidang pemberdayaan daerah. Program dalam bidang pendidikan mencakup tiga hal, yaitu mengusahakan terbentuknya Pusat Pengkajian Pendidikan dengan cara melakukan pengkajian kembali filsafat Islam tentang ilmu dan pendidikan dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan Islam di Indonesia, menciptakan dan mengembangkan model pendidikan yang dapat menghilangkan kebodohan, meningkatkan keterampilan, dan menumbuhkan sikap mandiri bagi umat Islam, serta menumbuhkan kesadaran mengenai kedudukan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang paling bertanggung jawab dalam menghasilkan
generasi
muda
yang
beraqidah
(dewandakwah.or.id, 2015). 1
shahihah
dan
berakhlak
mulia
2 Dalam penelitian ini, secara spesifik akan berkaitan dengan program dalam bidang pendidikan, terutama poin ketiga, yaitu mengenai kedudukan keluarga sebagai pendidikan utama untuk anak agar menjadi pribadi yang baik dan benar sesuai dengan ajaran Agama Islam. Sebagai penunjang program tersebut maka diadakan berbagai kajian mengenai upaya membangun keluarga harmonis yang sesuai dengan pedoman Agama Islam, yaitu Alquran dan Hadits. Kajian tersebut menggunakan berbagai buku panduan, salah satunya adalah buku berjudul “Prophetic Parenting” oleh Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Salah satu kajian yang diulas adalah kepatuhan anak kepada orang tua, sebagaimana tercantum dalam buku tersebut di Bagian Ketiga Bab VI tentang perintah untuk anak berbakti kepada orang tua semasa orang tua hidup. Hal-hal yang diulas pada halaman 209 – 252 tersebut antara lain mengenai adanya banyak perintah di dalam Alquran dan Hadits yang mengulas tentang pentingnya kepatuhan anak kepada orang tua. Perilaku tersebut merupakan kewajiban kedua setelah kewajiban untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana yang tercantum dalam Alquran surat Annisa ayat 36 yang memiliki terjemahan sebagai berikut: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan apa yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan menyombongkan diri.” (Alquran, 4: 36) Perintah kepatuhan anak kepada orang tua juga tercantum dalam Alquran surat Luqman ayat 14 dengan terjemahan sebagai berikut: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orang tuamu. Hanya kepada-Ku kembalimu.” (Alquran, 31:14) Kepatuhan yang dimaksud mencakup tentang perintah untuk berbuat baik, memelihara orang tua sampai lanjut usia, tidak membentak, berkata yang baik, termasuk
3 mendoakan demi kebaikan kedua orang tua, sebagaimana yang tercantum dalam Alquran surat Al-Isra’ ayat 23 dan 24 yang memiliki terjemahan sebagai berikut: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’” (Alquran, 17: 23-24) Selain perintah di dalam Alquran, perintah kepatuhan anak kepada orang tua juga tercantum dalam beberapa hadits, seperti hadits riwayat Ibnu Majah,“Bahwasanya ada seseorang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa hak kedua orang tua atas anaknya?’ Beliau menjawab, ‘Mereka berdua adalah surga sekaligus nerakamu.” Hadits riwayat Tirmidzi, “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” Hadits riwayat Imam Ahmad dan Nasa’i, “Selalu berbaktilah kepadanya (ibu), karena surga itu berada di bawah telapak kakinya.” Beberapa perintah mengenai kewajiban anak untuk patuh kepada orang tua tersebut ditekankan dalam kajian Kelompok Dewan Da’wah Jawa Tengah yang diselenggarakan setiap Selasa dan Jumat yang berfokus pada pembentukan keluarga harmonis. Orang tua yang mengikuti kajian tersebut secara langsung maupun tidak langsung menyampaikan nilai-nilai agama yang dipahaminya kepada anak, salah satunya tentang kewajiban anak patuh pada orang tua. Melalui keterlibatan dan pengamatan lapangan yang telah dilakukan oleh peneliti maka ditemukan bahwa anak yang memiliki orang tua yang tergabung dalam Kelompok Dewan Da’wah Jawa Tengah cenderung bersikap patuh. Kepatuhan merupakan cerminan perilaku bermoral sehingga tidak bebas nilai (Islampos.com, 2015). Sikap kepatuhan memuat nilai-nilai sosial budaya maupun agama, dalam hal ini peneliti berfokus pada nilai-nilai Agama Islam. Tidak hanya disebabkan oleh
4 nilai-nilai agama, sikap kepatuhan juga cocok dengan negara Indonesia yang memiliki kultur kolektif. Pada kultur kolektif, orang tua memperlakukan anak dengan lebih disiplin, kurang memberi ruang dalam membuat keputusan sendiri, menekankan kebergantugan anak dengan orang tua, dan anak kurang mampu mengutarakan keinginan pribadinya. Selain itu, pada kultur kolektif, kontrol orang tua kepada anak jauh lebih tinggi, bahkan ketika seorang anak telah beranjak dewasa (Yaman et al, 2010). Pola asuh pada kultur kolektif cenderung membentuk anak untuk berperilaku lebih patuh dan masih melibatkan orang tua dalam mengambil setiap keputusan. Pada pola asuh tersebut, anak juga cenderung mengikuti keinginan orang tua dan mengalahkan keinginan sendiri jika mengenai masa depannya. Kepatuhan tersebut dilakukan karena otoritas yang dimiliki oleh orang tua (Baron et al., 2008). Selain itu, sikap kepatuhan yang ditunjukkan anak juga disebabkan oleh kepercayaan bahwa ibu lebih mengerti tentang anaknya secara emosional dan ayah memiliki pengalaman lebih dibanding anak (Hakim, et al, 2012). Didukung pula oleh norma yang ada di dalam budaya Jawa yaitu ‘ngemong’ yang menciptakan pola tersendiri, bahwa seorang anak percaya dan merasa harus patuh kepada orang tua (Hakim, et al, 2012). Hal ini didasarkan pada sikap bahwa anak tidak boleh melawan orang tua dan harus taat pada perintah orang tua. Anak tidak memiliki kebebasan memilih atau memutuskan segala sesuatu sendiri secara mutlak. Sikap tersebut didukung dengan adanya ikatan emosional antara anak dan orang tua (Santrock, 2011). Kepatuhan sendiri memiliki definisi bahwa seseorang memilih untuk mengikuti perintah atau keinginan dari orang yang secara hirarki memiliki status sosial lebih tinggi (Miller, 2000). Akan tetapi, seiring perkembangan zaman dan perkembangan anak maka terjadi penurunan kepatuhan anak pada orang tua. Perilaku tersebut ditunjukkan dengan sikap anak yang tidak lagi melibatkan orang tua dalam memutuskan sesuatu, bersikap tidak sopan, dan merasa lebih tahu daripada orang tua. Fenomena tersebut dipengaruhi oleh
5 lingkungan pertemanan yang meluas, kepercayaan diri yang meningkat karena pencapaian prestasi, dan kemampuan dalam berargumentasi (woi-belilah.id, 2015). Perkembangan anak merupakan salah satu faktor perubahan sikap. Oleh karena itu, peneliti berfokus pada periode perkembangan anak yang sedang menuju dewasa atau secara lebih mudah dikatakan usia dewasa awal (Arnett, 2000). Individu yang telah menginjak usia dewasa awal, umumnya telah melewati masa-masa kritis fase remaja, tetapi hal tersebut tidak menjadikannya sebagai pribadi dewasa yang telah matang. Menurut Arnett (2000), mulai muncul kedewasaan pada seorang individu pada usia setelah menyelesaikan sekolah menengah atas hingga sebelum menikah, yaitu antara usia 18 – 25 tahun. Pada usia tersebut, individu mulai belajar untuk memutuskan kebutuhan hidupnya sendiri, tetapi belum dapat benar-benar lepas dari aturan orang tua ataupun norma sosial secara umum. Fokus eksplorasi diri yang dilakukan pada masa tersebut terutama pada tiga wilayah utama, yaitu pandangan hidup, pekerjaan, dan permasalahan cinta (Arnett, 2000). Tugas perkembangan pada masa dewasa awal salah satunya adalah memperdalam kemampuan dalam membangun komitmen pada persahabatan maupun pasangan (Santrock, 2011). Anak usia dewasa awal mulai belajar untuk tidak berpikir dan bersikap egois dalam menentukan segala sesuatu karena harus mempertimbangkan posisi orang lain, terutama orang-orang terdekatnya. Akan tetapi, perkembangan dalam kemampuan berpikir abstrak tersebut juga mendukung individu untuk memiliki kepercayaan bahwa dirinya lebih memahami kebutuhan pribadinya dibandingkan orang lain (Nickerson & Nagle, 2005). Karakteristik masa dewasa awal yang kompleks mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dalam rentang usia tersebut sehingga ada beberapa pertentangan yang harus dipilih oleh individu untuk dapat menjadi pribadi yang matang (psychoshare.com, 2015). Tantangan tersebut antara lain, sebagai berikut: 1) Penentuan identitas atau kekaburan identitas, 2) Kemandirian atau bergantung dengan orang lain, 3) Sukses atau gagal dalam
6 jenjang pendidikan maupun karir, 4) Cepat menikah atau lambat menikah, dan 5) Memiliki hubungan sosial yang sehat atau menarik diri. Interaksi anak dan orang tua yang baik dapat membantu masa-masa krisis tersebut. Dalam hal ini, pemberian perhatian dan batasan yang cukup merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh anak. Selain itu, anak yang memiliki hubungan dekat dan hangat dengan orang tua cenderung menunjukkan perilaku patuh pada keinginan atau perintah orang tua (Shaffer & Kipp, 2007). Pada umumnya, usia dewasa awal adalah masa ketika anak berupaya untuk mengurangi ketergantungan dengan orang lain, terutama orang tua, dan memutuskan segala sesuatu secara mandiri (Santrock, 2011). Keputusan-keputusan yang tidak dilakukan secara mandiri karena keterikatan dewasa awal pada orang tua dapat menghambat hubungan interpersonal dan karir yang akan dibangun (Santrock, 2011). Namun, hal tersebut seringkali tidak dapat dilakukan secara penuh karena masih merasa terbatasi dengan larangan orang tua. Aspek kepercayaan antara anak ke orang tua juga menjadi faktor yang sangat penting sehingga anak menurut pada orang tua (Hakim, et al, 2012; Lestari, et al, 2013; Tyas, et al, 2013). Fenomena kepatuhan tersebut membuat peneliti melakukan wawancara awal kepada anak-anak yang memiliki orang tua yang tergabung dalam kelompok Dewan Da’wah Jawa Tengah. Wawancara awal tersebut dilakukan melalui pertanyaan, “Menurut Anda, apakah yang dimaksud dengan patuh kepada orang tua?” Jawaban yang diberikan subjek dalam wawancara awal adalah sebagai berikut: “Patuh itu menuruti orang tua karena kita sadar kalau orang tua punya pengalaman lebih daripada kita.” (S1/WA) “Patuh itu ya orang tua bilang atau nasehati aku kalau menurutku itu bener dan sesuai ya bakal tak patuhi, Khad.” (S2/WA) “Kalau menurut aku kepatuhan itu sebuah proses. Proses kepatuhanku kalau digrafik, grafiknya kayak huruf U.. dari masih SD ada di titik atas, terus menurun pas remaja, dan ini lagi proses naik.. kalau dirangkum seperti itu.” (S3/WA)
7 Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh ketiga subjek tersebut maka ditemukan bahwa kepatuhan masih dilakukan oleh anak usia dewasa awal. Akan tetapi, kepatuhan pada orang tua menurut anak tidak selalu sama dengan kepatuhan yang diharapkan oleh orang tua atau aturan dalam ajaran Agama Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara yang telah dilakukan kepada subjek, yaitu: “Akumulasi kemenurutanku akhirnya membuatku berpikir bahwa selamanya nurut tuh nggak.. istilahnya gimana ya nggak.. nggak selamanya bagus juga..” (S1/W1/432-434) “Patuh.. mematuhi semua perintah.. Ya nggak [semua] sih, yang baik-baik aja.. Ya kalau disuruh, disuruh buat apa lah, sehari-hari ya, buat beli atau apa, ya patuh, ngikutin lah.. [tetapi] Kalau aku nggak [selalu langsung melakukan apa yang disuruh]..” (S2/W2/347-349) “Jadi maksudnya gini, kan maksudnya patuh itu kan maksudnya terus-terus, tapi aku tuh nggak terus-terusan gitu lho..” (S3/W2/1290-1291) Hal tersebut dialami dan disadari oleh anak ketika mulai memasuki masa dewasa awal. Perkembangan pikiran, perubahan lingkungan pertemanan, dan perbedaan zaman memiliki pengaruh pada sikap yang ditunjukkan oleh anak. Namun, subjek secara umum lebih menekankan pada pengaruh adanya tahapan perkembangan dewasa awal, sebagaimana yang dikatakan oleh subjek sebagai berikut: “Terutama saya semenjak masuk kuliah itu.. kadar kepatuhan saya itu mulai berkurang.. jadi apa-apa harus saya pikirkan secara rasional dulu, pertimbangkan.. nggak apa namanya satu arah dari orang tua..” (S1/W2/687-689) “Hmm.. kalau.. ada sih bilang ‘aku mau ngambil ini’ baru.. baru kita ngomong ‘mau ngambil ini kenapa’ ‘oh ya udah’ ya jadi ya bilang dulu, intinya aku bilang dulu sama bapak sama ibu mau ngapa itu bilang.. Kalau besar ini.. biasanya langsung.. ya langsung, habis mau, habis ngambil keputusan, habis ngambil apa baru bilang ‘aku habis gini gini gini’” (S2/W2/143-146) “Aku ngerasa aku tuh dulu tuh patuh banget sama orang tua gitu lho.. apa tuh iya iya iya iya iya.. sampai-sampai akhirnya kayak sampai aku tuh pada titik puncak.. ‘ah ya udah lah, aku pengen kayak gini’.. Dulu itu kapan ya? Titik puncaknya itu waktu aku SMA lulus.. itu aku udah mulai puncak.. akhirnya aku, aku kan nggak langsung, nggak langsung balik jadi anak nakal, tapi aku gimana ya, mulai longgar, kayak gitu..” (S3/W1/1297-1303)
8 Subjek menyatakan bahwa terkadang subjek memiliki perbedaan pandangan dengan orang tua. Hal tersebut dipahami oleh anak sebagai tuntutan yang baik melihat adanya pengalaman orang tua yang lebih banyak dibandingkan anak. Akan tetapi, pada akhirnya anak memiliki pandangan tersendiri. Selain itu, sikap tersebut merupakan upaya anak dewasa awal untuk menunjukkan kemandirian dan otonomi yang dimilikinya. Sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu subjek, yaitu: “Ya faham sih maksudnya orang tua tuh pengen yang terbaik buat anaknya, nah yang terbaik buat bapak menurut beliau itu adalah jadi seperti itu, karena beliau udah merasakan jadi seperti, ya jadi orang yang mapan dan kemudian beliau merasa itu tuh enak gitu.. akhirnya anaknya ya anaknya disuruh kayak gitu.. cuman saya nggak bisa..” (S1/W1/439-443) Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini akan berfokus pada permasalahan berikut. Pertama, kepatuhan merupakan salah satu tuntutan yang diberikan orang tua kepada anak sebagai salah satu proses interaksi anak dan orang tua yang juga ditekankan dalam ajaran Agama Islam. Namun, referensi penelitian mengenai kepatuhan anak pada orang tua, terutama yang didasarkan pada pendekatan ajaran agama masih terbatas. Kedua, bagi dewasa awal, kepatuhan memengaruhi pilihan-pilihan tentang masa depan. Anak dewasa awal memiliki pemikiran sendiri mengenai keinginannya sehingga orang tua tidak bisa memaksa anak untuk melakukan atau memaksa sesuatu. Ketiga, berdasarkan studi pendahuluan juga didapatkan bahwa anak masih membutuhkan saran dan nasihat dari orang tua sehingga anak tidak mengabaikan apa yang diperintahkan oleh orang tua dan tetap berusaha menunjukkan kepatuhan. Hal tersebut mendorong peneliti untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kepatuhan anak pada orang tua melalui sudut pandang anak berusia dewasa awal yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama Islam. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena sejauh ini belum ada penelitian yang mendalami tentang kepatuhan anak kepada orang tua yang berkaitan dengan mengambil keputusan tentang masa depan, terutama pilihan sekolah, karir, dan pasangan hidup.
9 Penelitian-penelitian mengenai kepatuhan secara umum lebih menitikberatkan pada pengembangan karakter kepatuhan pada peserta didik dalam konteks pendidikan (Asmarani, 2006; Ekliningtyas, 2005; Lubis, 2000; Sarbaini, 2011) atau konflik anak remaja kepada orang tua karena tuntutan kemandirian (Beveridge & Berg, 2007; Cumsille, et al., 2006; Laird &Marrero, 2011; Nickerson & Nigle, 2005). Fokus penelitian ini mengenai kepatuhan anak pada orang tua yang tergabung dalam Kelompok Dewan Da’wah Jawa Tengah melalui sudut pandang anak berusia dewasa awal. Hal-hal yang akan diulas berfokus pada kepatuhan anak dewasa awal kepada orang tua yang dapat dilihat dari bagaimana anak mengidentifikasikan kepatuhan dirinya kepada orang tua, bagaimana pengalaman kepatuhan anak kepada orang tua dalam perbedaan keinginan antara anak dan orang tua, bagaimana anak memandang kepatuhan kepada orang tua, dan apa yang dirasakan seorang anak ketika mematuhi orang tua dan mengesampingkan keinginan sendiri. Keinginan yang dimaksud secara khusus berkaitan dengan pilihan sekolah, karir, dan pasangan hidup, sebagaimana hal tersebut merupakan tahapan perkembangan yang sedang dijalani oleh anak usia dewasa awal berkaitan dengan kemandiriannya untuk memutuskan sendiri kebutuhannya dan lepas dari orang tua.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami perspektif subjektif anak dewasa awal mengenai kepatuhan kepada orang tua yang tergabung dalam Kelompok Dewan Da’wah Jawa Tengah dan rutin mengikuti kajian keislaman yang ada di Surakarta.
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:
10 1. Secara teoritis, penelitian ini memberi sumbangsih secara umum untuk Psikologi Keluarga dan secara khusus dalam subjek kepatuhan. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat berkontribusi untuk berkembangnya Psikologi Islam dalam tema keluarga. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami bagaimana seorang anak tetap patuh kepada orang tua, sebagai hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan nilai-nilai religius, utamanya agama Islam, kepada anaknya.