BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan generasi penerus bangsa. Perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anak harus menjadi perhatian utama seluruh masyarakat. Bayi baru lahir dan anak-anak merupakan kelompok yang rentan terhadap kekurangan gizi dan penyakit menular, dimana banyak dari kondisi tersebut dapat dicegah dan diobati secara efektif (WHO, 2013). Angka kematian balita di dunia masih cukup tinggi. Pada tahun 2011, sebanyak 6,9 juta anak berusia dibawah lima tahun meninggal dunia. Hampir 75% penyebab kematian anak disebabkan oleh enam kondisi yaitu : penyebab kematian neonates, pneumonia, diare, malaria campak dan HIV/AIDS (WHO,2013). Angka kematian anak di Indonesia juga masih tinggi. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa angka kematian anak di Indonesia tidak banyak mengalami penurunan dibanding hasil SDKI 2007. Angka Kematian Balita hanya turun dari 44 per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup. Hal ini masih jauh dari tujuan MDGs ke 4 yang menyebutkan bahwa target angka kematian balita diharapkan turun mencapai 23/1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Jumlah kematian anak di Provinsi DIY mengalami fluktuasi sepanjang tahun 2010-2012. Peningkatan terjadi terutama pada angka kematian bayi. Hasil Survai 13
14
Demografi dan Kesehatan (SDKI) tahun 2012 menunjukan bahwa Angka Kematian Bayi di DIY mempunyai angka yang relatif tinggi yaitu sebesar 25 per 1000 kelahiran hidup (target MDGs sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015). Apabila melihat hasil SDKI 2012 tersebut maka masalah kematian bayi merupakan hal serius yang harus diupayakan penurunanya agar target MDGs dapat dicapai. Sedangkan untuk angka kematian Balita di DIY tahun 2012 sebanyak 450 balita , sehingga angka kematian balita dilaporkan sebanyak 9,8 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan DIY, 2012). Angka kematian Bayi di Bantul pada tahun 2011 sebanyak 8,5/1000 kelahiran hidup. Kecamatan Banguntapan merupakan daerah dengan angka kematian bayi tertinggi di kabupaten Bantul. Pada tahun 2011 angka kematian balita di Bantul mencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan. Kasus kejadian penyakit pada balita seperti diare, pneumonia dan gizi buruk terbanyak berada di wilayah Banguntapan (Profil Kesehatan Bantul, 2012). Salah satu strategi untuk menurunkan angka kematian balita adalah dengan penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Iliness (WHO, 2013). MTBS merupakan pendekatan terpadu untuk penanganan balita sakit yang didasarkan pada penyebab utama kematian balita (Depkes, 2008). MTBS merupakan strategi menyeluruh dengan tujuan untuk mengurangi kematian dan kesakitan anak di negara berkembang (UNICEF, 1999). MTBS dikembangkan oleh badan kesehatan dunia WHO dan UNICEF pada tahun 1992. Indonesia telah mengadopsi pendekatan MTBS sejak tahun 1996 dan
15
implementasinya dimulai tahun 1997. MTBS diterapkan oleh Depkes setelah melalui proses adaptasi bersama UKK IDAI (Depkes,, 2008). Strategi
MTBS
mencakup
tiga
komponen
yaitu;
1)
peningkatan
keterampilan penatalaksanaan kasus dari petugas kesehatan melalui penyediaan pedoman klinis manajemen terpadu balita sakit, disesuaikan dengan konteks lokal, dan pelatihan untuk mempromosikan penggunaannya; 2) peningkatan sistem kesehatan; dan 3) peningkatan praktik kesehatan di tingkat keluarga dan masyarakat melalui pendidikan Ibu, ayah, pengasuh anak yang lain dan anggota masyarakat, dengan satu fokus pada perilaku sehat, kepatuhan, perawatan di rumah dan promosi kesehatan secara menyeluruh (Depkes, 2008). Setelah pengembangan komponen pertama dan kedua dilakukan di berbagai negara di seluruh dunia termasuk Indonesia, para peneliti sekarang berfokus pada pengembangan komponen ketiga yaitu peningkatan praktek kesehatan di tingkat keluarga dan masyarakat (Aga et al, 2007). Keberhasilan dalam mengurangi kematian balita tidak hanya membutuhkan ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan yang terlatih dengan baik. Keberhasilan pengobatan anak sakit juga bergantung pada tindak lanjut pengobatan di rumah. Keluarga mempunyai tanggung jawab utama dalam merawat anak. Keberhasilan pengobatan di rumah bergantung pada kemampuan komunikasi petugas dengan ibu penderita. Ibu perlu mengetahui cara memberi obat dan mengerti tentang pentingnya pengobatan bagi anak (Depkes, 2008). Dalam tatanan rumah tangga, MTBS mempromosikan perilaku mencari pelayanan yang tepat, perbaikan gizi dan pelayanan pencegahan, serta penerapan
16
yang benar dari anjuran perawatan (Depkes, 2008). Ibu balita sebagai pemberi asuhan utama pada balita mempuntai peran penting dalam tatalaksana manajemen terpadu balita sakit di rumah. Tujuan utama MTBS dalam tatanan rumah tangga adalah untuk memberdayakan keluarga dalam meningkatkan faktor yang berkaitan dengan perkembangan, nutrisi, dan kesehatan anak. Kondisi tersebut tidak akan tercapai apabila kita tidak mengetahui pengetahuan , sikap dan perilaku ibu terkait kesehtaan anak (Agha et al., 2007). Meskipun rumah tangga dan masyarakat memiliki tanggung jawab utama dalam menyediakan perawatan terhadap anak, dalam beberapa kasus mereka tidak dilibatkan secara aktiv atau dikonsultasikan dalam pengembangan dan penerapan program terkait isu kesehatan, nutrisi, serta pertumbuhan dan perkembangan anak. Keberhasilan dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas anak membutuhkan partisipasi aktif dan kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan keluarga dengan dukungan dari masyarakat setempat. Keluarga dan masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan terkait pertumbuhan dna perkembangan kesehatan anak (UNICEF, 1999). Keluarga menjadi fokus perhatian untuk memaksimalkan potensi anak. Pengetahuan dan kesadaran dari keluarga dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan esensial anak, yaitu kebutuhan gizi, pelayanan kesehatan, kasih sayang, stimulasi perkembangan, pendidikan dan perlindungan anak memegang peranan yang sangat penting (Depkes RI, 2011). Ibu merupakan bagian terdekat dari kehidupan anak. Partisipasi Ibu dan keluarga sangat penting dalam penatalaksanaan balita sakit
17
(Setyani, 2011). Ibu akan mencari pelayanan kesehatan jika ibu merasa penyakit anaknya serius (Goldman, 2000). Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Secara resmi keluarga sebagai lembaga sosial yang berkembang di semua masyarakat. Disamping itu, keluarga sebagai unsur dalam struktur sosial merupakan dasar pembentuk struktur sosial yang lebih luas. Peran dan tingkah laku yang dipelajari dalam keluarga merupakan contoh peran tingkah laku yang diperlukan dalam segi-segi lainya di masyarakat (Goodge, 1995). Oleh karena itu keluarga mempunyai posisi yang sangat strategis dalam pencegahan dan penanganan masalah gizi pada balia sesuai dengan tatalaksana MTBS. Masalah gizi adalah hal yang sangat penting dan mendasar bagi kehidupan manusia. Kekurangan gizi selain dapat menimbulkan masalah kesehatan (morbiditas, mortalitas dan disabilitas), juga menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Dalam skala yang lebih luas, kekurangan gizi dapat menjadi ancaman bagi ketahanan dan kelangsungan hidup suatu bangsa (Depkes, 2013). Anak usia balita merupakan golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan gizi, sehingga masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting dan perlu perhatian yang serius (Anggraeni dan Indrarti, 2010). Periode pertumbuhan dan perkembangan anak mulai di dalam kandungan ibu sampai umur 2 tahun disebut masa kritis tumbuh-kembang. Bila anak gagal melalui periode kritis ini maka anak tersebut sudah terjebak dalam kondisi “point of no return”, artinya walaupun anak
18
dapat dipertahankan hidup tetapi kapasitas tumbuh-kembangnya tidak bisa dikembalikan ke kondisi potensialnya (Depkes, 2010). Status gizi anak balita merupakan indikator pencapaian pembangunan kesehatan karena kekurangan gizi pada anak balita berkaitan dengan akses yang rendah terhadap pelayanan kesehatan. Selain itu, kurang gizi pada anak meningkatkan resiko kematian, menghambat perkembangan kognitif, dan mempengaruhi status kesehatan pada usia remaja dan dewasa. Status gizi balita merupakan indikator kesehatan dan ststus gizi penduduk (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2010). Masalah gizi di Indonesia yang belum selesai tertangani adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting) (Depkes, 2013). Prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia sebesar 17,9 persen dan stunting 35,6 % (Riskesdas, 2010).
Hasil
pemantauan status gizi balita di Kabupaten Bantul pada tahun 2011 dilaporkan balita gizi kurang sebesar 10,79 % (10,67 % laki-laki dan 10,91 % perempuan) dan status gizi buruk sebesar 0,52% ( 0,48 % laki-laki dan 0,57% perempuan) dengan prevalensi tertinggi di Kecamatan Banguntapan (Profil Kesehatan Bantul, 2013). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul bulan Februari (2012), jumlah balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk di Puskesmas Banguntapan 1 sebanyak 149 (7,83 %). Sejak Indonesia mengalami krisis multidinesi pertengahan tahun 1997 dan merebaknya isu gizi buruk atau busung lapar terjadilah pergeseran pusat perhatian pada anak gizi buruk. Kejadian gizi buruk menjadi isu politik yang sangat kuat. Sehingga upaya perbaikan gizi pada balita terfokus pada penanganan anak yang
19
ditemukan gizi buruk yang bersifat kuratif. Pemerintah lebih memfokuskan pada upaya kuratif, sedangkan upaya preventifnya tidak digalakkan. Padahal dalam upaya penanggulangan masalah gizi buruk seperti yang termuat dalam pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan, mengisyaratkan pentingnya upaya preventif-promotif disamping yang bersifat kuratif. Selama ini intervensi terhadap balita yang kekurangan gizi lebih banyak tercurah pada pemberian makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan perencanaannya didasarkan pada indikator berat badan menurut umur (BB/U). Ini yang harus direformasi pada upaya perbaikan gizi (Depkes, 2010). Penelitian tentang MTBS pada rumah tangga sebelumnya telah dilakukan oleh Wansi et al., (2000) di Malawi. Dari penelitian tersebut menunjukan bahwa ada beberapa poin positif yang perlu didorong dan banyak daerah yang masih membutuhkan intervensi secara aktif. Sebagai contoh, sebagian besar anak diberi ASI hingga usia 2 tahun, tetapi memperoleh makanan tambahan lebih awal. Kebanyakan masyarakat mengerti tentang kelambu, tetapi jarang yang menggunakanya. Hasil dari penelitian ini memberikan gambaran tentang pelaksanaan MTBS di rumah tangga, dan menjadi dasar bagi pemerintah Malawi dalam menyusun kebijakan tentang kesehatan balita dan rumah tangga terutama dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas di Malawi. Penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Agha et al., (2007) tentang pelaksanaan MTBS rumah tangga di Pakistan. Hasil dari penelitian ini menunjukan pentingnya pendidikan dan penyebarluasan key family practices kepada masyarakat
20
pedesaan terutama perempuan. Dari beberapa penelitian tersebut, peneliti
lebih
memfokuskan pada pelaksanaan MTBS di rumah tangga pada balita secara umum dan belum ada penelitian yang mengarah ke spesifik balita gizi kurang dan gizi buruk. Selain itu, di negara tersebut juga sudah dilaksanakan program MTBS rumah tangga maupun komunitas. Sementara di Indonesia sendiri, khususnya di Bantul, MTBS di rumah tangga belum banyak di kenal dan belum ada penerapan program tersebut. Oleh karena itu penelitian mengenai pelaksanaan MTBS di rumah tangga yang memiliki balita dengan ststus gizi kurang dan gizi buruk diperlukan untuk mengetahui sejauh mana MTBS diterapkan oleh rumah tangga yang memliki balita denngan status gizi kurang dan gizi buruk sehingga nantinya dapat dilakukan tindak lanjut yang dapat membantu dalam penanganan balita dengan gizi kurang dan gizi buruk. Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di wilayah Banguntapan adalah Puskesmas Banguntapan 1. Puskesmas ini merupakan Puskesmas dengan cakupan pelaksanaan MTBS tertinggi di kabupaten Bantul. Hasil studi pendahuluan didapatkan bahwa lebih dari 90% balita yang berkunjung ke Puskesmas ditatalaksana dengan MTBS.
B.
Rumusan Masalah
Keberhasilan dalam mengurangi kematian balita tidak hanya membutuhkan ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan yang terlatih dengan baik, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif masyarakat dan keluarga. Masalah
21
kesehatan pada balita terutama berkaitan dengan status gizi dapat dicegah dan ditangani mulai dari level paling bawah yaitu keluarga melalui perilaku keluarga dalam pelaksanaan MTBS pada tatanan rumah tangga. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui bagaimana gambaran pelaksanaan MTBS dalam tatanan rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang dan status gizi buruk di wilayah Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta.
C. a.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
pelaksanaan MTBS pada rumah tangga yang memiliki balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk di wilayah Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta. b.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah; 1. Memperoleh gambaran pelaksanaan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk. 2. Memperoleh gambaran perlaksanaan pemberikan makanan pendamping ASI setelah anak berusia 6 bulan, dan melanjutkan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk. 3. Memperoleh gambaran pelaksanaan pemberikan gizi mikro pada anak dengan jumlah yang cukup (vitamin A dan zat besi), baik dalam diet mereka atau melalui suplementasi pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk.
22
4. Memperoleh gambaran pelaksanaan imunisasi penuh pada anak sesuai jadwal yang telah ada (BCG, DPT, OPV, dan campak) sebelum anak berusia satu tahun pada keluarga dengan status gizi kurang dan gizi buruk. 5. Memperoleh gambaran pelaksanaan keluarga dalam membuang feses (termasuk feses anak-anak) dengan aman, dan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar, sebelum menyiapkan makanan dan sebelum memberikan makan pada anak pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan, kajian pustaka dan
bahan bacaan bagi peneliti lain dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang program MTBS di Puskesmas dan MTBS pada tatanan rumah tangga. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Puskesmas, Dinas Kesehatan dan lintas sector terkait dalam memperoleh gambaran perilaku penerapan MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk di wilayah Puskesmas Banguntapan 1 bantul Yogyakrta. Selian itu juga dapat memberikan masukan untuk perencanaan dan pengembangan kebijakan kesehtaan rumah tangga melalui pelayanan MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk. 3. Bagi Peneliti
23
Meningkatkan keilmuan penulis dalam penelitian selanjutnya, terutama terkait MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk.
E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai penerapan MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita dengan ststus gizi kurang dan gizi buruk belum pernah dilakukan sebelumya, penelitian terkait MTBS yang pernah dilakukan sebelumnya ialah; 1.
Galenso ( 2008) tentang pengetahuan ibu anak balita terhadap tata laksana
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Toili III Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian observasional kuantitatif dengan rancangan cross sectional, menggunakan metode wawancara terstruktur (kuisioner). Subyek penelitian adalah ibu dari anak balita yang anaknya sakit dan berobat di puskesmas (poli MTBS), variabel yang dilihat adalah pendidikan formal ibu anak balita, konseling petugas MTBS serta pengetahuan ibu anak balita mengenai tatalaksana MTBS. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama menggunakan rancangan penelitian kuantitatif . Perbedaanya adalah pada variabel penelitian,dimana pada penelitian yang akan dilakukan variabelnya adalah pelaksanaan MTBS dalam tatanan rumah tangga. 2.
Penelitian Agha et al. (2007) tentang Eight Key Household Practices of
Integrated Management of Childhood Ilnesses (IMCI) Among Mothers of Children Aged 6 to 59 month in Gambat, Sindh, Pakistan. Penelitian ini merupakan penelitian
24
deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah 5 komponen praktek MTBS dalam seting rumah tangga dan hubunganya dengan malnutrisi sebagai hasil yang diharapkan. Perbedaanya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah variabel penelitain dimana penelitian yang akan dilakukan menggunakan 11
komponen
MTBS dalam tatanan rumah tangga dan tempat yang akan dilakukan adalah di Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta. 3.
Penelitian Ebuehi dan Adebajo (2010) tentang Improving Caregiver’s Home
Management of Common Childhood Illness Trought Community Level Intervention. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang membandingkan antara wilayah dengan MTBS pada tatanan rumah tangga/ komunitas dengan wilayah non MTBS tatanan rumah tangga/ komunitas. Penelitian ini dilakukan di Osasun State, Nigeria. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada variabel penelitian dimana pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan satu variabel yaitu pelaksanaan MTBS rumah tangga yang meliputi 5 komponen MTBS komunitas. Tempat penelitian yang akan dilakukan juga berbeda, yaitu di Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta dimana di puskesmas tersebut belum menerapkan MTBS komunitas karena di Indonesia memang belum ada yang menggunakan MTBS komunitas.