BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengungsi perempuan merupakan salah satu pihak yang dianggap rentan (vulnerable) ketika berada di tempat pengungsian atau relokasi (Martiany, 2015; Komnas Perempuan, 2007; Pittaway, Bartolomei, & Rees, 2007; Benjamin & Fancy, 1998). Anggapan tersebut didasarkan pada adanya konstruk budaya dalam masyarakat yang sejak awal memandang perempuan dan laki-laki pada posisi yang tidak sejajar (Anderson dalam van Dijkhorst & Vonhof, 2005; Minza, 2004). Salah satu komunitas pengungsi yang masih menunggu kejelasan nasib adalah pengungsi Syiah Sampang di Rusunawa Puspo Agro, Sidoarjo, Jawa Timur. Pengungsi Syiah Sampang masih tinggal di tempat relokasi karena tuntutan pengungsi untuk kembali ke kampung halaman belum dikabulkan oleh Pemerintah Kabupaten Sampang. Relokasi pengungsi ke rumah susun yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sampang sejak tanggal 20 Juni 2013 merupakan suatu upaya Pemerintah untuk menjamin keamanan dan kecukupan fasilitas bagi warga Syiah Sampang (TTR, 2013). Survei awal ke daerah relokasi menunjukkan terdapat beberapa perbedaan kondisi antara kampung halaman masyarakat Syiah di Sampang dengan Rumah Susun Puspo Agro, Sidoarjo. Perbedaan-perbedaan yang ada dapat dibedakan menjadi perbedaan lingkungan, perbedaan pola perilaku, dan perbedaan pola pekerjaan. Perbedaan lingkungan mengacu pada perubahan kondisi tempat tinggal yang dialami masyarakat Syiah Sampang ketika direlokasi ke Rusunawa Puspo Agro. Masing-masing keluarga pada masyarakat Sampang memiliki rumah sendiri di kampung halaman. Rumah tersebut pada umumnya terdiri dari beberapa bangunan dengan fungsi yang berbeda satu dengan yang lain, seperti bangunan 1
2
utama, bangunan untuk dapur, kamar mandi, dan kandang ternak. Namun, masing-masing keluarga masyarakat Syiah Sampang kini menempati satu kamar di Rusunawa Puspo Agro. Pengaturan tempat tinggal di rumah susun pada dasarnya memiliki efek positif dan efek negatif. Hidup bersama di rumah susun membantu mengeratkan ikatan antar pengungsi sebagai suatu komunitas. Kebersamaan tersebut juga memudahkan koordinasi bagi pengungsi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Duncan (2005) yang mengungkapkan bahwa camp pengungsian dapat berperan sebagai medium bagi para pegungsi untuk saling menguatkan satu sama lain. Penelitian oleh Minza (2005) juga menyatakan bahwa hubungan yang terjalin di tempat pengungsian mempengaruhi keputusan individu ketika akan pindah dari tempat pengungsian. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lokasi pengungsian dapat menjadi tempat terjalinnya hubungan yang lebih erat pada pengungsi. Tinggal di satu kamar, di sisi lain, dapat dipandang sebagai suatu bentuk keterbatasan ruang gerak. Tidak adanya kebun untuk menanam sayuran kebutuhan sehari-hari berpengaruh terhadap pola perilaku masyarakat Syiah Sampang yang menjadi lebih konsumtif. Masyarakat Syiah Sampang kini cenderung akan membeli segala bahan masak, bahkan membeli makanan jadi. Hal ini berbeda dengan kehidupan masyarakat di Sampang yang terbiasa menanam sayuran di kebun, sehingga dapat langsung memetik apabila membutuhkan. Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sampai saat ini mendampingi masyarakat Syiah Sampang mencoba menghadirkan kembali kehidupan berkebun bagi masyarakat dengan tanah yang tersedia. Namun, keterbatasan lahan tidak bisa mengakomodasi kebutuhan seluruh masyarakat Syiah Sampang untuk dapat bekerja kembali di kebun. Penggarapan kebun untuk sementara masih terbatas pada kaum laki-laki.
3
Hal ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk preferensi gender yang memberikan akses lebih besar kepada laki-laki untuk mendapatkan sumber daya karena laki-laki dianggap bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pola perilaku masyarakat yang lebih konsumtif berpengaruh terhadap biaya hidup masyarakat yang semakin membesar. Selain lebih konsumtif, masyarakat juga cenderung royal dalam mengeluarkan uang, baik untuk kebutuhan pangan maupun kebutuhan gaya hidup. Pengeluaran untuk kebutuhan gaya hidup, seperti handphone, paling mencolok terlihat pada kelompok usia remaja. Gaya hidup remaja Syiah Sampang yang lebih modern dianggap dipengaruhi oleh tempat tinggal masyarakat yang sekarang berada di tengah kota. Kelompok usia anak-anak cenderung terlihat lebih senang membeli makanan kecil. Salah satu narasumber berpendapat bahwa perilaku tersebut telah menjurus pada pemborosan, namun para ibu tidak mampu menghentikan perilaku sang anak. Para ibu cenderung memenuhi permintaan anak. Membesarnya biaya hidup masyarakat Syiah Sampang tidak diimbangi dengan meningkatnya pendapatan masyarakat selama tinggal di Rumah Susun Puspo Agro, Sidoarjo. Sampai saat ini masyarakat masih mendapatkan jatah uang bulanan (jatah hidup atau jadup) dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Namun, jatah hidup tidak selalu didapatkan pengungsi secara rutin. Pengungsi pun bekerja untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Pengungsi Syiah Sampang di Area Relokasi Sidoarjo pada umumnya bekerja sebagai pengupas kelapa. Upah yang diberikan disesuaikan dengan jumlah kelapa yang berhasil dikupas dalam satu hari. Tiap butir kelapa dihargai sekitar empat ratus rupiah. Penghasilan masyarakat dari pekerjaan mengupas kelapa juga dinilai tidak besar. Hal ini dikarenakan pengeluaran masyarakat yang meningkat selama tinggal di rusun.
4
Kondisi tempat pengungsian atau relokasi pada dasarnya menuntut pengungsi, baik perempuan maupun laki-laki, dewasa, remaja, maupun anak-anak, untuk memiliki resiliensi yang baik. Hal ini dikarenakan kondisi tempat pengungsian atau relokasi pada umumnya berbeda dengan kondisi kampung halaman. Berbagai penelitian mengenai adaptasi pengungsi di tempat pengungsian atau relokasi menggarisbawahi perlunya pengungsi untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan baru sebagai suatu upaya untuk dapat bertahan hidup (Widayani, 2014; Suprianto, 2012; Wahyuningsih, 2006). Kemampuan adaptasi yang baik diperlukan karena adanya perbedaan antara kampung halaman dengan tempat pengungsian atau area relokasi, baik berupa perbedaan lingkungan tempat tinggal, budaya, maupun kondisi sosial ekonomi. Perubahan hidup dan perbedaan kondisi antara kampung halaman dengan tempat pengungsian atau tempat relokasi umum dialami oleh pengungsi. Perempuan dianggap sebagai salah satu pihak yang rentan mengalami pengalaman negatif pada waktu-waktu yang demikian (Martiany, 2015; Komnas Perempuan, 2007; Pittaway, dkk., 2007; Benjamin & Fancy, 1998). Anderson (dalam van Dijkhorst & Vonhof, 2005) mengungkapkan bahwa perempuan dianggap rentan bukan dikarenakan oleh fisik perempun yang lemah, namun karena adanya pengaturan-pengaturan (arrangements) dalam masyarakat yang pada akhirnya menempatkan perempuan pada posisi yang lebih tidak menguntungkan. Pengaturan-pengaturan yang dimaksud termanifestasi pada peran tradisional yang menempatkan perempuan pada ranah domestik. Peran tersebut pada akhirnya dapat memperkecil akses perempuan ke sumber daya dan membatasi mobilitas perempuan. Konstruk budaya yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih tidak menguntungkan mencerminkan relasi gender yang belum seimbang. Relasi gender yang
5
demikian dapat tereproduksi oleh berbagai aktor di masyarakat, seperti institusi agama dan Pemerintah (Minza, 2004). Institusi agama berperan dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai relasi gender, yang pada umumnya menempatkan perempuan pada ranah domestik dan laki-laki pada ranah publik. Kebijakan Pemerintah sering kali mempengaruhi ranah domestik yang belum tentu dapat menguntungkan perempuan. Relasi gender yang tidak seimbang pada akhirnya dapat membatasi akses perempuan ke sumber daya serta melemahkan posisi tawar (bargaining power) dan pilihan alternatif (fall back position) kaum perempuan. Posisi tawar (bargaining power) individu dalam rumah tangga mempengaruhi hasil yang didapatkan individu ketika terjadi proses negosiasi (Agarwal, 1997). Salah satu faktor yang mempengaruhi posisi tawar (bargaining power) adalah pilihan alternatif (fall back position) individu, pilihan lain individu yang menentukan kondisi individu ketika kerja sama dalam suatu rumah tangga gagal (Agarwal, 1997). Pilihan alternatif (fall back position) yang baik dapat memberikan posisi tawar (bargaining power) yang kuat pada individu dalam suatu rumah tangga. Akses terhadap sumber daya mempengaruhi pilihan alternatif (fall back position) dalam situasi darurat (van Dijkhorst & Vonhof, 2005). Keterbatasan akses terhadap sumber daya pada kondisi darurat menyebabkan pilihan alternatif (fall back position) perempuan lebih sedikit karena perempuan terkondisikan untuk tidak memiliki pilihan lain dalam menjalani hidup selain pilihan yang ditawarkan sesuai dengan konstruksi sosial masyarakat. Pilihan alternatif (fall back position) yang tidak banyak menempatkan individu pada risiko yang lebih besar. Hal ini dapat disebabkan oleh kecenderungan perempuan untuk bertahan dalam kondisi yang ada meskipun kondisi tersebut bukan merupakan kondisi terbaik bagi perempuan (Agarwal, 1997).
6
Terdapat beberapa hal yang dianggap mencerminkan kerentanan posisi perempuan di lokasi pengungsian. Hal-hal yang dimaksud berkaitan dengan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan, jenis pekerjaan yang dilakukan, kurangnya privasi di tempat pengungsian, dan kepemilikan/property (Krause, 2014; Salkeld, 2008; Pittaway, dkk., 2007; Minza, 2005; Benjamin & Fancy, 1998). Kaum pria pada umumnya dianggap sebagai kepala keluarga sehingga kaum prialah yang diundang dalam berbagai diskusi untuk menentukan nasib pengungsi. Perempuan yang dianggap sebagai istri dinilai akan dengan sendirinya mengikuti suami (Komnas Perempuan, 2007). Namun, rumah tangga pada dasarnya tidak bisa dilihat sebagai suatu unit kesatuan (teori unitary model) karena tiap individu dalam keluarga memiliki prioritas dan kepentingan masing-masing (Kiewisch, 2015). Kepentingan yang berbeda-beda tersebut dapat terakomodasi apabila tiap pihak memiliki kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Tidak diikutsertakannya perempuan dalam diskusi mengenai nasib pengungsi mencerminkan adanya keterbatasan akses perempuan terhadap informasi. Keterbatasan akses pada akhirnya dapat mengurangi kesempatan pengungsi perempuan untuk berpartisipasi dalam proses diskusi maupun proses pengambilan keputusan. Salah satu diskusi yang diadakan ketika dilakukan survei di Rumah Susun Puspo Agro adalah diskusi mengenai pembukaan kebun untuk menanam sayuran. Diskusi tersebut mayoritas dihadiri oleh kaum laki-laki. Pengungsi perempuan pada umumnya berkecimpung dalam pekerjaan-pekerjaan bergaji kecil (Salkeld, 2008; Minza, 2005). Hal tersebut bisa dikarenakan oleh tidak banyaknya kesempatan kerja untuk kaum perempuan (Minza, 2005). Namun, fenomena tersebut juga dapat terjadi karena terbatasnya mobilitas kaum perempuan (van Djikhorst &
7
Vonhof, 2005). Terbatasnya mobilitas kaum perempuan disebabkan oleh adanya tanggung jawab domestik bagi kaum perempuan, yaitu mengurus rumah dan keluarga. Sebagian besar pengungsi perempuan Syiah Sampang bekerja sebagai pengupas kelapa karena tidak banyak pekerjaan lain yang berpotensi untuk dijalani. Selain jarak tempat kerja yang dekat, bekerja mengupas kelapa juga tidak menuntut individu untuk meluangkan waktu sehari penuh di tempat kerja. Pengungsi perempuan Syiah Sampang pada umumnya bekerja sampai siang hari, untuk kemudian pulang dan kembali mengurus urusan rumah tangga. Hal tersebut menggambarkan adanya tanggung jawab ganda pada kaum perempuan, yaitu tanggung jawab mencari uang dan tanggung jawab rumah tangga, yang menyempitkan peluang kerja kaum perempuan. Kondisi tempat pengungsian juga berpotensi tidak aman bagi perempuan karena kurangnya privasi (Minza, 2005; Benjamin & Fancy, 1998). Kurangnya privasi dapat terjadi karena tidak ada pemisahan ruang publik dengan ruang personal, atau tidak ada pemisahan fasilitas untuk perempuan dan laki-laki. Kurangnya privasi dapat menimbulkan rasa tidak aman pada diri perempuan karena adanya rasa takut akan beberapa hal tidak menyenangkan yang berpotensi terjadi, seperti pelecehan ataupun perkosaan. Namun, tidak didapatkan bukti akan terjadinya hal-hal demikian di Rusunawa Puspo Agro. Tidak adanya bukti mengenai kekerasan berbasis gender yang terjadi di Rusunawa Puspo Agro dapat dikarenakan oleh nilai yang dipegang masyarakat Madura dan Syiah, kelompok etnis dan agama yang diafiliasikan dengan pengungsi, yang menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat (Halimatusa’diyah, 2013; Hefni, 2007). Penghormatan masyarakat Madura terhadap perempuan terlihat dari ibu, istri, dan anak perempuan yang menempati posisi istimewa dalam kehidupan masyarakat. Penghargaan kaum Syiah pada perempuan didasarkan pada kekaguman masyarakat Syiah pada dua
8
sosok perempuan, yaitu Fatimah dan Zaenab. Penghormatan tersebut termanifestasi dalam beberapa peraturan dalam Syiah, seperti nikah mut’ah, peraturan perceraian, dan hak waris. Meskipun demikian, penempatan perempuan pada posisi yang terhormat tersebut pada akhirnya menjadikan mobilitas perempuan terbatas dengan alasan perlunya perlindungan bagi kaum perempuan. Hal lain yang dapat menjadikan perempuan lebih rentan selama tinggal di tempat pengungsian berhubungan dengan kepemilikan (property). Perempuan di kebudayaan tertentu memiliki kepemilikan (property) akan barang yang bergerak (mobile goods), sehingga barang-barang tersebutlah yang pertama kali akan dijual dalam kondisi darurat (Minza, 2005). Apabila kaum perempuan sudah tidak memiliki kepemilikan akan barang apa pun, pilihan alternatif (fall back position) kaum perempuan akan lebih terbatas. Hal ini menempatkan kaum perempuan pada kondisi yang lebih berisiko. Namun, data mengenai kepemilikan pada pengungsi perempuan Syiah Sampang tidak tersedia. Perempuan masih dianggap sebagai pihak yang rentan dalam situasi pengungsian. Anggapan demikian pada umumnya hanya melihat perempuan sebagai korban dan pihak yang pasif. Freedman (dalam Krause, 2014) mengungkapkan bahwa perempuan memang rentan dan membutuhkan perlindungan pada kondisi-kondisi tertentu. Namun, kondisi tersebut tidak boleh dijadikan landasan berpikir bahwa perempuan hanya sekadar korban yang rentan. Hal ini dikarenakan situasi pengungsian atau relokasi juga dapat menjadi kesempatan bagi perempuan untuk menemukan potensi diri maupun mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri (Arostegui, 2013; Sherwood & Liebling-Kalifani, 2012; Komnas Perempuan, 2007). Situasi pengungsian atau relokasi dapat memberikan kesempatan terjadinya konstruksi, negosiasi, dan pendefinisian ulang akan peran dan relasi gender (Krause, 2014;
9
Minza, 2004; 2005). Perubahan pada peran dan relasi gender dapat berpengaruh pada akses terhadap sumber daya dan posisi tawar (bargaining power) dalam suatu hubungan, sehingga perubahan peran dan relasi gender memberikan harapan pada perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik untuk mengembangkan diri. Perempuan memerlukan kemampuan adaptasi dan mempertahankan fungsi diri yang baik untuk dapat menjawab segala tantangan di tempat pengungsian atau relokasi. Kemampuan tersebut dinamakan resiliensi (Compton & Hoffman, 2012; Bonnano, 2004). Pengungsi perempuan Syiah Sampang diasumsikan memerlukan resiliensi yang baik untuk dapat menghadapi berbagai perubahan dan tantangan di Rusunawa Puspo Agro, Sidoarjo, antara lain keterbatasan akses terhadap sumber daya dan keterbatasan mobilitas. Resiliensi yang baik juga diperlukan pengungsi perempuan Syiah Sampang karena belum ada kepastian waktu mengenai kepulangan pengungsi ke kampung halaman, sehingga pengungsi perempuan Syiah Sampang juga harus terus menyesuaikan diri dengan kondisi di rumah susun. Topik resiliensi pada pengungsi perempuan Syiah Sampang penting untuk diteliti karena dua alasan. Pertama, studi literatur oleh Hutchinson dan Dorset (2012) mengungkapkan bahwa faktor yang paling berkontribusi terhadap resiliensi pada pengungsi perempuan adalah faktor internal, yaitu kualitas personal individu. Krause (2014) juga mengungkapkan bahwa perubahan nasib pada pengungsi perempuan, salah satunya melalui negosiasi relasi gender, hanya akan terjadi apabila individu memiliki inisiatif untuk melakukan perubahan tersebut. Hasil penelitian oleh Hutchinson dan Dorset (2012) serta Krause (2014) mengimplikasikan bahwa faktor internal memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap resiliensi maupun nasib pengungsi perempuan. Namun, individu sebagai makhluk sosial
10
tidak terlepas dari budaya masyarakat setempat yang berpotensi mempengaruhi individu (Gergen, 2001). Pengungsi perempuan Syiah Sampang juga tidak terlepas dari budaya komunitas yang pada akhirnya dapat mempengaruhi resiliensi individu. Hal ini berarti faktor eksternal juga memiliki peran penting pada resiliensi individu. Peran penting faktor eksternal terhadap resiliensi ditegaskan oleh Kumpfer (1999) yang mengungkapkan bahwa budaya, seiring dengan keluarga, komunitas, dan rekan sebaya, merupakan faktor eksternal yang berinteraksi dengan faktor internal individu dalam mempengaruhi resiliensi. Hutchinson dan Dorset (2012) juga tidak menafikkan pengaruh faktor eksternal terhadap resiliensi pada pengungsi perempuan. Penelitian Sherwood dan Liebling-Kalifani (2012) pun menyatakan bahwa pemberian kesempatan pada pengungsi perempuan untuk mendapatkan akses yang memadai ke berbagai fasilitas dan peluang merupakan langkah vital untuk menguatkan (empower) pengungsi perempuan. Penelitian-penelitian tersebut mengimplikasikan bahwa faktor eksternal juga berpengaruh terhadap resiliensi. Maka, penelitian ini juga akan mempertimbangkan pengaruh faktor eksternal dalam mempengaruhi resiliensi pengungsi perempuan. Kedua, nasib pengungsi Syiah Sampang hingga saat ini belum dapat ditentukan. Kepulangan pengungsi ke kampung halaman belum dapat terealisasi karena tidak semua pihak di Sampang, Madura dapat menerima pengungsi kembali. Hal ini menunjukkan perlunya pengungsi untuk memiliki resiliensi yang baik supaya dapat bertahan dengan kondisi di area relokasi (Majidi & Hennion, 2014). Penelitian mengenai resiliensi pengungsi, terutama perempuan pengungsi yang merupakan salah satu pihak yang rentan, diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi pengungsi di area relokasi. Hal tersebut pada akhirnya dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bagi pihak-pihak yang akan melakukan intervensi pada kelompok yang diteliti. Berbagai uraian tersebut
11
menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini meneliti resiliensi pengungsi perempuan Syiah Sampang di area relokasi, Rusunawa Puspo Agro, Sidoarjo. B. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah diungkapkan, rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: bagaimana resiliensi pengungsi perempuan Syiah Sampang di Area Relokasi Sidoarjo? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami resiliensi pengungsi perempuan Syiah Sampang di area relokasi, Rumah Susun Puspo Agro, Sidoarjo. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memperkaya literatur akademik di bidang Psikologi Kebencaaan, terutama terkait bencana sosial (konflik sosial). 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi praktis pada pihak-pihak yang ingin melakukan intervensi pada pengungsi perempuan Syiah Sampang yang direlokasi di Rusunawa Puspo Agro, seperti pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga lain. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan peraturan yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan pengungsi perempuan di area relokasi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi berbagai lembaga yang akan memberikan bantuan kepada pengungsi perempuan berupa pemberian gambaran awal mengenai kelompok yang diteliti. Gambaran awal tersebut dapat menjadi salah satu dasar pemikiran untuk
12
merancang program bagi pengungsi perempuan yang disesuaikan dengan kebutuhan yang bersangkutan.