BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Harimurti Kridalaksana, 2008: 24). Kelangsungan hidup suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh faktor dinamika yang dialami oleh penuturnya. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak terlepas dari peristiwa komunikasi karena manusia hidup dalam suatu masyarakat. Melalui bahasa, kita dapat mengungkapkan dan mengemukakan segala sesuatu yang menjadi buah pikiran dan perasaan. Bahasa memiliki kaidah pemakaian yang bersifat sistematis. Kaidah atau aturan itu merupakan suatu himpunan patokan yang berdasarkan struktur bahasa yang lebih dikenal dengan istilah tata bahasa. Tata bahasa dibagi dalam lima bagian, yaitu tata bunyi (fonologi), tata bentuk (morfologi), tata kalimat (sintaksis), semantik, dan wacana. Wacana menurut Sumarlam (2013: 30) dalam buku Teori dan Praktik Analisis Wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu. Dengan demikian, hubungan antarbagian wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hubungan bentuk atau bisa disebut dengan kohesi (cohesion) dan hubungan makna atau bisa disebut dengan koherensi (coherence). 1
2 Kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan, 1987: 96). Kohesi dalam wacana meliputi struktur lahir atau segi bentuk yang disebut aspek gramatikal dan struktur batin atau segi makna yang disebut aspek leksikal. Sementara itu koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Di samping itu, pemahaman tentang hubungan koherensi dapat ditempuh dengan cara menyimpulkan hubungan antarproposisi dalam tubuh wacana itu (Mulyana, 2005: 31). Adapun contoh penggunaan penanda kohesi gramatikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana adalah sebagai berikut: (170) “Aku ki seneng mas ngrungokake gelombang radio Melati iki, apa meneh yen sing ngasuh panjenengan. [...] (SBIMK/H192/P22). ‘Aku senang mas mendengarkan gelombang radio Melati ini, apa lagi yang mengasuh Anda.’ [...] Data (170) di atas mengandung unsur kohesi, yaitu kohesi gramatikal dan termasuk dalam kategori pengacuan/referensi, sedangkan jenisnya adalah pengacuan persona III bentuk bebas yaitu kata panjenengan ‘Anda’ yang mengacu kepada tokoh yang bernama Wisnu dalam cerkak yang berjudul Saumpama Bocah Ireng Manis Kuwi. Maka termasuk pengacuan endofora anaforis karena acuannya berada di dalam teks dengan acuan Wisnu yang disebutkan sebelumnya atau antasendennya berada di sebelah kiri. Bagaimanakah penanda kohesi gramatikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana? Ditemukan penanda kohesi gramatikal yang sama dengan data
3 (170) di atas atau ditemukan penanda kohesi gramatikal yang berbeda dengan data (170) di atas? Contoh penggunaan penanda kohesi leksikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana adalah sebagai berikut: (427) Nining isih semester loro, Tutik semester papat, njur Misye semester enem padha karo Dewi, nanging umur-umurane isih tuwa Dewi. (PSAD/H130/P20). ‘Nining masih semester dua, Tutik semester empat, lalu Misye semester enam sama dengan Dewi, tetapi umur-umurannya masih tua Dewi.’ Pada data (427) menunjukkan repetisi epizeuksis yang ditunjukkan dengan kata semester ‘semester’ yang diulang sebanyak tiga kali untuk menjelaskan bahwa kedudukan kata tersebut sangat penting dalam kalimat. Kata semester ‘semester’ sangat penting karena berfungsi menjelaskan bahwa keempat tokoh dalam penggalan cerita di atas ada yang semester dua, empat, serta enam. Bagaimanakah penanda kohesi leksikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana? Ditemukan penanda kohesi leksikal yang sama dengan data (427) di atas atau ditemukan penanda kohesi leksikal yang berbeda dengan data (427) di atas? Selanjutnya, contoh penggunaan penanda koherensi dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana adalah sebagai berikut: (473) Sing mesthi, cedhak Mas Nang kok semangatku saya tambah. (MK/H69/P70). ‘Yang pasti, dekat Mas Nang kok semangatku semakin tambah.’ Pada data (473) menunjukkan penanda koherensi berupa penekanan yaitu pada kata mesthi ‘pasti’ yang berfungsi menyatakan penekanan bahwa tokoh yang bernama Ana pasti merasa semangatnya semakin bertambah ketika dekat dengan tokoh yang bernama Nanang. Maksud dari wacana tersebut adalah memberikan
4 penjelasan kepada pembaca bahwa semangatnya Ana pasti semakin bertambah karena dekat dengan Nanang. Bagaimanakah penanda koherensi dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana? Ditemukan penanda koherensi yang sama dengan data (473) di atas atau ditemukan penanda koherensi yang berbeda dengan data (473) di atas? Wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana yang menjadi objek kajian penelitian ini dapat dikategorikan sebagai wacana tulis. Di dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana terkandung berbagai sarana keutuhan wacana yaitu kohesi gramatikal, kohesi leksikal, dan koherensi. Ary Nurdiana merupakan satu dari sekian pengarang sastra Jawa yang sering menulis di berbagai majalah bahasa Jawa seperti Jaya Baya, Panjebar Semangat, dan Djaka Lodhang. Pengarang yang merupakan guru, juga memberikan pengajaran agar para muridnya melestarikan sastra Jawa. Beliau selalu mengajak murid-muridnya untuk menuliskan karya-karya melalui “mesinmesin” penerbitan karya sastra Jawa. Para muridnya diperkenalkan dengan pengarang sastra Jawa yang terkenal, untuk mendukung agar mereka bersemangat dalam berkarya. Pengarang juga berkiprah di Sanggar Sastra Triwida Tulungagung ini sering menulis cerpen, artikel, opini, psikologi, cerita misteri, tersebar di majalah Anita, Cemerlang, Mitra, Intan, Warta Bumi Putera, KPI, Ponorogo Pos, dan juga buku Antologi Cerkak “Puber Kedua” ini. Cerkak merupakan suatu karya sastra Jawa yang berbentuk prosa. Cerkak merupakan hasil cipta dan pemikiran kreatif dari pengarang yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan berupa prosa tanpa terikat patokan dalam pembuatannya. Cerkak bisa digunakan oleh seseorang untuk mengalurkan
5 gagasan, ide, pendapat, dan juga keinginannya tentang apa pun yang menjadi kehendak pengarang itu sendiri melalui sebuah cerita yang relatif singkat. Terkadang cerkak juga dapat digunakan sebagai wadah bagi orang-orang yang ingin mengabadikan suatu kisah hidupnya atau kisah hidup orang lain menurut versi pengarang. Bisa berupa kejadian yang bersifat fiksi ataupun nonfiksi sesuai imajinasi pengarang. Di era globalisasi, cerkak semakin kurang diperhatikan apalagi dibaca oleh masyarakat di zaman sekarang. Eksistensi karya sastra Jawa semakin tergerus oleh hadirnya buku-buku tentang ilmu pengetahuan dan teknologi daripada bukubuku tentang budaya tradisonal khususnya cerkak ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya buku-buku tersebut yang beredar di pasaran dibandingkan dengan buku tentang budaya yang ada di sekitar kita. Berbagai usaha untuk mengenalkan budaya tradisional melalui karya sastra Jawa terutama cerkak masih belum maksimal. Terlihat dari peran media yang lebih condong menampilkan tentang informasi-informasi modern daripada budaya tradisional. Hanya terdapat beberapa media massa yang peduli terhadap budaya tradisional. Penelitian mengenai wacana telah banyak dilakukan. Berikut penelitian yang berhubungan dengan penelitian wacana berbahasa Jawa: 1.
“Wacana Novel Jaring Kalamangga Karya Suparto Brata (Suatu Tinjauan Kohesi dan Koherensi)” yang ditulis oleh Puji Utami, dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS pada tahun 2012. Skripsi ini mengambil novel sebagai data penelitian yang kemudian dianalisis dengan menggunakan tinjauan kohesi dan koherensi.
6 2.
“Analisis Wacana Cerpen Bocah-Bocah Berseragam Biru Laut Karya Puthut EA” yang ditulis oleh Rizka Tri Permatasari, dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS pada tahun 2013. Skripsi ini berisikan tentang analisis terhadap cerpen yang berjudul Bocah-Bocah Berseragam Biru Laut karya Puthut EA yang meneliti aspek gramatikal dan aspek leksikal serta konteks situasi dan sosio-kultural yang terdapat dalam cerpen tersebut.
3.
“Wacana Antologi Cerkak “Wiring Kuning” Karya Trinil (Kajian Kohesi dan Koherensi)” yang ditulis oleh Ikhsan Mahendra, dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS pada tahun 2013. Skripsi ini berisikan tentang analisis kohesi
gramatikal, kohesi
leksikal, koherensi,
serta
menjelaskan
karateristik wacana antologi cerkak tersebut. Ketiga penelitian di atas membahas tentang kohesi dan koherensi, namun yang membedakan dengan penelitian wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana yaitu, jenis penanda kohesi dan koherensi yang ditemukan dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini berbeda variasi dari penelitian di atas. Salah satu yang membedakan yakni penanda kohesi gramatikal yang berupa persona II dapat menggunakan dua penanda namun tidak bisa saling menggantikan. Contoh analisis data yang menggunakan dua penanda berupa persona II adalah sebagai berikut. (182) “Kowe ki pancen neka-neka lho Dhik. Apa rumangsamu kowe ki elek? (MK/H61/P16). ‘Kamu itu memang ada-ada saja lho Dhik. Apa menurutmu kamu itu jelek?’ Pada data (182) menunjukkan pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan yaitu enklitik -mu ‘kamu‘ pada satuan lingual rumangsamu ‘menurutmu’ yang mengacu pada tokoh yang bernama Ana. Maka pengacuan
7 tersebut merupakan endofora anaforis karena mengacu pada tokoh yang bernama Ana yang telah disebut terdahulu. Kemudian data (182) di atas dibagi dengan teknik bagi unsur langsung (BUL) menjadi berikut. (182a) “Kowe ki pancen neka-neka lho Dhik. ‘Kamu itu memang ada-ada saja lho Dhik.’ (182b) Apa rumangsamu kowe ki elek? ‘Apa menurutmu kamu itu jelek?’ Kemudian data (182b) diuji dengan teknik lesap akan menjadi berikut. (182c) Apa rumangsaØ kowe ki elek? ‘Apa menurutØ kamu itu jelek?’ Hasil analisis data (182c) dengan teknik lesap ternyata pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan -mu ‘kamu’ wajib hadir. Jika pronomina tersebut dilesapkan, data tersebut tetap gramatikal dan berterima karena -mu ‘kamu’ yang mereferen pada kata kowe ‘kamu’ memiliki satu kelas persona II. Data (182b) selanjutnya diuji dengan teknik ganti pada pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan -mu ‘kamu’, menjadi sebagai berikut. (182d) “Apa rumangsa ‘Apa menurut
-mu sampeyan -mu kamu
kowe ki elek?
kamu itu jelek?’
Dari data (182d) di atas, pronomina persona II tunggal bentuk terikat lekat kanan -mu ‘kamu’ ternyata dapat digantikan dengan pronomina sampeyan ‘kamu’ karena pronomina tersebut masih dalam tataran yang sama. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini. Hal yang menarik perhatian penulis untuk meneliti antologi cerkak ini sebagai berikut. Pertama,
8 cerkak merupakan karya sastra berbentuk prosa yang dihasilkan dari pemikiranpemikiran, renungan, kritik sosial, kisah hidup, atau pengalaman pribadi yang dituangkan dalam bahasa Jawa. Cerkak semakin berkurang eksistensinya di sekitar kita, padahal sebagai masyarakat, khususnya Jawa, cerkak adalah salah satu wadah untuk menuangkan ide-ide kreatif yang ada dalam hati pengarang. Bahwa penuangan ide ke dalam cerkak merupakan salah satu cara untuk terus melestarikan budaya tulis menulis melalui karya sastra. Kedua, penelitian tentang wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana belum pernah diteliti. Hal ini membuat penulis tertarik untuk meneliti antologi cerkak tersebut karena belum terjamah penelitian. Alasan ketiga yaitu di dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini memiliki tingkat kekohesifan dan kekoherensian yang tinggi. Setelah penulis membaca Antologi Cerkak “Puber Kedua” ini, ternyata terdapat berbagai unsur kohesi gramatikal, kohesi leksikal, serta koherensi. Beberapa penanda kohesi gramatikal yang terdapat dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini misalnya kata kula ‘saya’, dalem ‘aku’, sliramu ‘dirimu’, panjenengan ‘kamu’, awake dhewe ‘diri kita’, dan dheweke ‘dia’ yang termasuk pengacuan persona; kata wingi ‘kemarin’, mengko ‘nanti’, kepengker ‘kemarin’, kono ‘situ’, dan kae ‘itu’ yang termasuk pengacuan demonstratif; kata persis ‘sama’, padha ‘sama’, dan kaya-kaya ‘seperti’ yang termasuk pengacuan komparatif; kata durung kagungan pacar ‘belum punya pacar’ dan jomblo ‘jomblo’ yang termasuk substitusi; kata muga-muga ‘semoga’ yang merupakan konjungsi harapan; kata banjur ‘kemudian’ yang merupakan konjungsi urutan. Adapun beberapa kohesi leksikal yang terdapat dalam wacana
9 Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini misalnya kata ngewangi ‘membantu’ dan mbantu ‘membantu’ yang merupakan sinonimi; kata ayu ‘cantik’ dan elek ‘jelek’ yang merupakan antonimi. Penanda koherensi yang terdapat dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini misalnya kata kayata ‘seperti halnya’ yang merupakan sarana penghubung berupa contoh; kata nyatane ‘kenyataannya’ yang merupakan sarana penghubung berupa penekanan; dan kata dadi ‘jadi’ yang merupakan sarana penghubung berupa kesimpulan. Masih banyak penanda-penanda kohesi dan koherensi yang terdapat dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ini. Dengan alasan tersebut peneliti tertarik untuk meneliti antologi cerkak ini. B. Pembatasan Masalah Dalam sebuah penelitian, diperlukan adanya pembatasan masalah agar peneliti dapat menekankan batasan mengenai objek kajian yang akan diteliti dan dapat fokus pada masalah yang diteliti serta tidak melenceng dari masalah yang dikaji. Adapun pembatasan dalam penelitian ini adalah mengenai aspek kohesi dan koherensi dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana yang terbit pada tahun 2011. C. Rumusan Masalah 1.
Bagaimanakah penanda kohesi gramatikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana?
2.
Bagaimanakah penanda kohesi leksikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana?
3.
Bagaimanakah penanda koherensi dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana?
10 D. Tujuan Penelitian 1.
Mendeskripsikan penanda kohesi gramatikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana.
2.
Mendeskripsikan penanda kohesi gramatikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana.
3.
Mendeskripsikan penanda koherensi dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu:
1.
Manfaat Teoretis Penelitian mengenai wacana dalam wacana Antologi Cerkak “Puber
Kedua” karya Ary Nurdiana ini diharapkan memberi sumbangan yang bermanfaat bagi teori-teori linguistik, khususnya teori yang berkaitan dengan analisis wacana berbahasa Jawa. 2.
Manfaat Praktis Manfaat praktis merupakan temuan penelitian yang dapat memberi
sumbangan bagi peneliti itu sendiri, lembaga atau mahasiswa studi, dan masyarakat luas pada umumnya. Manfaat praktis penelitian ini antara lain: a.
Dapat membantu pembaca dalam memahami isi wacana khususnya dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana.
b.
Dapat digunakan sebagai model penelitian bahasa di masa mendatang dan dipakai sebagai referensi bagi mahasiswa yang akan meneliti lebih lanjut mengenai analisis wacana dari segi kohesi dan koherensi.
11 F. Kajian Teori 1. Pengertian Wacana Wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa yang mempunyai awal atau akhir yang nyata, berkesinambungan, mempunyai kohesi dan koherensi yang disampaikan secara lisan dan tertulis (Tarigan, 1987: 27). Dalam situasi komunikasi, apa pun bentuk wacananya, diasumsikan adanya penyapa (addressor) dan pesapa (addressee). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis, sedangkan pembaca adalah pesapa. Dalam sebuah wacana, harus ada unsur pesapa dan penyapa. Tanpa adanya kedua unsur itu, tidak akan terbentuk suatu wacana. (Abdul Rani, 2006: 4) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 1265) wacana adalah 1) Komunikasi verbal, 2) Keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan, dan 3) Satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, khotbah. Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan (seperti pidato, ceramah, kuliah, khotbah, dan dialog) atau tertulis (cerpen, cerbung, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis lainnya) yang dilihat dari struktur lahir (bentuk) bersifat kohesif (saling terkait) dan dari segi struktur batin (makna) bersifat koheren (terpadu). (Sumarlam, 2013: 30). Jadi, dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang meneliti tentang bahasa, baik disampaikan secara lisan maupun tertulis yang memiliki unsur kohesi dan koherensi.
12 2.
Jenis-jenis Wacana Pengklasifikasian wacana dapat didasarkan menurut beberapa segi
pandangan, yaitu wacana dapat dilihat dari bahasa pengungkapannya, media yang digunakan, jenis pemakaiannya, cara, dan tujuan pemaparannya. 1. Berdasarkan bahasa yang dipakai untuk mengungkapkannya, wacana dibagi menjadi: a. Wacana bahasa Nasional (Indonesia), yaitu wacana yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarananya. b. Wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dan sebagainya), yaitu wacana yang diungkapkan dengan menggunakan sarana bahasa lokal atau daerah. c. Wacana bahasa Internasional (bahasa Inggris), yaitu wacana yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa Inggris. d. Wacana yang diungkapkan dengan bahasa lain, seperti bahasa Belanda, Jerman, Italia, dan sebagainya. 2. Berdasarkan media yang digunakannya maka wacana dapat dibagi atas: a. Wacana tulis, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau melalui media tulis. Untuk dapat menerima atau memahami wacana tulis maka sang penerima atau pesapa harus membacanya. Di dalam wacana tulis terjadi komunikasi secara tidak langsung antara penulis dengan pembaca. Wacana tulis ini dalam referensi bahasa Inggris disebut oleh sebagian ahli dengan written discourse dan sebagiannya lagi dengan written text.
13 b. Wacana lisan, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau media lisan. Untuk dapat menerima dan memahami wacana lisan maka sang penerima atau pesapa harus menyimak dan mendengarkannya. 3. Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya, wacana dapat dibagi atas: a. Wacana monolog (monologue discourse),
yaitu
wacana
yang
disampaikan oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Wacana monolog ini bersifat searah dan termasuk komunikasi tidak interaktif. Contoh dari wacana monolog ini adalah orasi ilmiah, khotbah, penyampaian visi misi, dan sebagainya. b. Wacana dialog (dialogue discourse), yaitu wacana atau percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung. Wacana dialog ini bersifat dua arah dan masing-masing partisipan secara aktif ikut berperan di dalam komunikasi. Contoh dari wacana dialog adalah seminar, musyawarah, diskusi, dan sebagainya. 4. Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yaitu: a. Wacana prosa, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa (Jawa: gancaran). Wacana berbentuk prosa ini dapat berupa wacana tulis maupun lisan. Contoh dari wacana prosa tulis berupa cerita pendek (cerpen), cerita sambung (cerbung), novel, artikel, dan undang-undang. Lalu untuk wacana prosa lisan berupa pidato, khotbah, dan kuliah. b. Wacana puisi, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi (Jawa: geguritan). Wacana berbentuk puisi ini dapat berupa wacana tulis dan lisan. Contoh dari wacana puisi tulis ini berupa puisi dan syair,
14 sedangkan untuk contoh wacana puisi lisan yaitu puitisasi atau puisi yang dideklamasikan dan lagu-lagu. c. Wacana drama, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun wacana lisan. Bentuk wacana drama tulis terdapat pada naskah drama atau naskah sandiwara, sedangkan bentuk wacana drama lisan terdapat pada pemakaian bahasa dalam peristiwa pementasan drama, yakni percakapan antarpelaku dalam drama tersebut. 5. Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi lima macam: a. Wacana narasi atau wacana penuturan, yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu. Wacana narasi ini berorientasi pada pelaku dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis. b. Wacana deskripsi, yaitu wacana yang bertujuan melukiskan, menggambarkan, atau memberikan sesuatu menurut apa adanya. c. Wacana eksposisi, yaitu wacana yang tidak mementingkan waktu dan pelaku. Wacana ini berorientasi pada pokok pembicaraan dan bagianbagiannya secara logis. d. Wacana argumentasi, yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang dilengkapi dengan data-data sebagai bukti dan bertujuan meyakinkan pembaca akan kebenaran ide atau gagasannya. e. Wacana persuasi, yaitu wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat, biasanya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk memengaruhi
15 secara kuat pada pembaca atau pendengar untuk melakukan nasihat atau ajakan tersebut (Sumarlam, 2013: 36). Dari beberapa jenis wacana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana termasuk: (1) wacana bahasa lokal atau daerah yang diungkapkan dengan bahasa Jawa, antara kalimat yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan, (2) wacana tulis yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau melalui media tulis yang berupa buku antologi, (3) wacana monolog, (4) wacana prosa yaitu yang berbentuk prosa tulis berupa antologi cerkak, (5) wacana narasi yang berorientasi pada pelaku dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis. 3. Sarana Keutuhan Wacana Bahasa memiliki tubuh yang tersusun atas bentuk (form) dan makna (meaning), keduanya berhubungan sangat erat dan saling berkaitan. Sebagaimana di dalam wacana yang dibagi atas hubungan bentuk yang disebut kohesi dan hubungan makna yang disebut koherensi. Wacana bukan merupakan kumpulan kalimat yang masing-masing berdiri sendiri atau terlepas. Kalimat-kalimat dalam wacana merupakan gabungan antara pertautan bentuk (kohesi) dan perpaduan makna (koherensi), sehingga kalimat satu dengan yang lainnya dalam wacana saling berhubungan membentuk kepaduan informasi atau gagasan. Dengan begitu, pembaca atau pendengar akan mudah mengetahui jalan pikiran penulis tanpa merasa bahwa ada semacam jarak yang memisahkan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya. Penelitian ini akan memaparkan sarana keutuhan wacana yang meliputi kohesi, kohesi gramatikal yang terdiri dari (1) Pengacuan (referensi), (2)
16 Penyulihan (substitusi), (3) Pelesapan (elipsis), dan (4) Perangkaian (konjungsi). Kohesi leksikal yang terdiri atas (1) Pengulangan (repetisi), (2) Padan kata (sinonimi), (3) Oposisi makna (antonimi), (4) Sanding kata (kolokasi), (5) Hubungan atas-bawah (hiponimi), dan (6) Kesepadanan (ekuivalensi). Koherensi yang terdiri atas (1) Penanda koherensi berupa penekanan, (2) Penanda koherensi berupa simpulan atau hasil, dan (3) Penanda koherensi berupa contoh. a.
Kohesi Anton M. Moeliono (1988: 34) menyatakan bahwa wacana yang baik dan
utuh mensyaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal (Mulyana, 2005: 26). Kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan, 1987: 96). Gutwinsky dalam Tarigan (1987: 96) dalam buku Cohesion in Literary Texts (1976: 26) menyebutkan bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun strata leksikal tertentu. Jadi, kohesi adalah kepaduan atau keterikatan yang menghubungkan antarunsur dalam tataran sintaksis pada tuturan sebuah wacana, baik secara gramatikal maupun secara leksikal. Kohesi gramatikal berupa referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi. Kohesi leksikal berupa repetisi, sinonimi, antonimi, kolokasi, hiponimi, serta ekuivalensi. 1) Kohesi Gramatikal Kohesi gramatikal adalah keterkaitan gramatikal antara bagian-bagian wacana (Baryadi, 2001: 10). Menurut Sumadi, kohesi gramatikal adalah perpautan
17 bentuk antara kalimat-kalimat yang diwujudkan dalam sistem gramatikal (2004: 62). Dalam analisis wacana, segi bentuk atau struktur lahir wacana disebut aspek gramatikal wacana (Sumarlam, 2013: 40). Secara lebih rinci, aspek gramatikal wacana meliputi: (1) pengacuan (reference), (2) penyulihan (substitution), (3) pelesapan (ellipsis), (4) perangkaian (conjunction) (Halliday dan Hasan, 1976:6; Sumarlam, 1996:66; Baryadi, 2001: 10). Berikut penjelasan keempat aspek gramatikal tersebut dan disertai dengan contoh-contoh dalam analisis wacana. 1.1
Pengacuan (Referensi)
Menurut Kridalaksana (2008: 208) referensi ialah hubungan antar referen (unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa) dengan lambang yang dipakai untuk mewakilinya. Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Berdasarkan tempatnya, apakah acuan itu berada di dalam teks atau di luar teks maka pengacuan dibedakan menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana itu, dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana (Sumarlam, 2013: 41). Jenis kohesi yang pertama, pengacuan endofora berdasarkan arah pengacuannya dibedakan menjadi dua jenis lagi, yaitu pengacuan anaforis (anaphoric reference) dan pengacuan kataforis (cataphoric reference). Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden
18 di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu. Sementara itu, pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian. Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain itu dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara unsur yang satu dengan unsur lainnya). Dengan demikian, jenis kohesi gramatikal pengacuan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu (1) pengacuan persona, (2) pengacuan demonstratif, dan (3) pengacuan komparatif. Ketiga macam pengacuan itu beserta contoh-contohnya dapat diperhatikan pada uraian berikut (Sumarlam, 2013: 41). 1.1.1 Pengacuan Persona Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak. Pronomina persona I tunggal, II tunggal, III tunggal ada yang berupa bentuk bebas (morfem bebas) dan ada pula yang terikat (morfem terikat). Selanjutnya yang berupa bentuk terikat ada yang melekat di sebelah kiri (lekat kiri) dan ada yang melekat di sebelah kanan (lekat kanan) (Sumarlam, 2013: 41-42). Dengan demikian, satuan lingual kula, kowe, dan dheweke, misalnya, masing-masing merupakan pronomina persona I, II, dan III tunggal bentuk bebas. Adapun bentuk terikatnya adalah dak- (misalnya pada daktulis), tak- (pada taktulis), masing-masing adalah bentuk terikat lekat kiri; atau –ku (misalnya pada omahku), -mu (pada omahmu) yang masing-masing
19 merupakan bentuk terikat lekat kanan, klasifikasi pronomina persona secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel 1 seperti berikut. Tabel 1. Klasifikasi pengacuan persona bahasa Jawa. Aku, kula, kawula, dalem, ingsun Tg:
Terikat lekat kiri: dak-/takTerikat lekat kanan: -ku
I
Aku kabeh, kula sedaya, kita, Jm: Kita sedaya, awake dhewe Kowe, sampeyan, panjenengan, sliramu Tg: Persona
Terikat lekat kiri: ko-
II Terikat lekat kanan: -mu Jm:
Kowe kabeh, panjenengan sedaya Dheweke, piyambakipun Terikat lekat kiri: di-, dipun-
Tg: Terikat lekat kanan: -e, -ne
III
-ipun, -nipun Jm:
Dheweke kabeh, panjenengan sedaya
Contoh data pengacuan persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan adalah sebagai berikut: (287) “Putri, nanging aku kulina diceluk Puput Mas.” jawabe karo mesem. (SBIMK/H191/P11). ‘Putri, tetapi aku biasa dipanggil Puput Mas. jawabnya sambil senyum.’ Pada data (287) terdapat pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan yaitu –e ‘nya’ pada kata jawabe ‘jawabnya’. Pengacuan ini termasuk
20 dalam pengacuan endofora anaforis karena acuannya berada di dalam teks yaitu tokoh bernama Puput yang telah disebutkan sebelum kata jawabe. 1.1.2 Pengacuan Demonstratif Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini (seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu), akan datang (seperti pagi dan siang). Sementara itu, pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta) (Sumarlam, 2013: 44). Klasifikasi pronomina demonstratif tersebut dapat diilustrasikan dalam bentuk tabel 2 seperti berikut. Tabel 2. Klasifikasi pengacuan pronomina demonstratif bahasa Jawa. Kini: saiki, sapunika, samenika Lampau: wingi, biyen, kepungkur Waktu y.a.d: sesuk, ...ngarep, dalu Netral: enjing, siyang, sonten
Demonstratif (Penunjukkan)
Dekat dengan penutur: kene, iki Agak jauh dengan penutur: kono, iku, kuwi Tempat Jauh dengan penutur: kana, kae Menunjuk secara eksplisit: Sala, Yogya
Contoh data pengacuan pronomina demonstratif awan adalah sebagai berikut.
21 (301) Awan iki aku dolan ana studio. (SBIMK/H200/P69). ‘Siang ini aku main di studio.’ Pada data (301) terdapat pronomina demonstratif awan ‘siang’ yang mengacu pada waktu yang netral. Data di atas termasuk ke dalam jenis pengacuan eksofora karena pronomina demonstratif waktu awan acuannya tidak terdapat di dalam teks. 1.1.3 Pengacuan Komparatif (Perbandingan) Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan untuk membandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan (Sumarlam, 2013: 46). Berikut adalah contoh pengacuan komparatif. (322) Mripate sing kaya dimar kentekan lenga nyawang aku. (IAKA/H179/P2). ‘Matanya yang seperti pelita kehabisan minyak memandangku.’ Pada data (322) terdapat pengacuan komparatif kaya yang mengacu pada perbandingan persamaan antara mata dengan pelita kehabisan minyak. 1.2
Penyulihan (Substitusi)
Substitusi adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu (Kridalaksana, 2008: 229). Dilihat dari segi satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal (Sumarlam, 2013: 47). Berikut contoh data substitusi frasal.
22 (329) “Al... ora nggawa apa-apa?” pitakone Rita ngetutake jumangkahe Aldo. [...] (IAKA/H185/P59). [...] loro-lorone njur meneng maneh. (IAKA/H185/P61). ‘Al... tidak membawa apa-apa? Tanya Rita sambil mengikuti langkahnya Aldo. [...] dua-duanya lalu diam lagi.’ Pada data (329) di atas terdapat substitusi frasal. Pada data tersebut kata Rita dan Aldo digantikan atau disubstitusikan dengan frasa loro-lorone ‘duaduanya’. 1.3
Pelesapan (Elipsis)
Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lain yang ujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 2008: 57). Menurut Sumarlam (2013: 50) adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara lain ialah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat), (2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca, pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan (5) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam komunikasi secara lisan. Contoh pelesapan (elipsis) dapat dilihat pada data berikut. (339) Bocah kuwi ireng manis, umur-umurane meh padha karo adhiku sing nomer enem. Ya kira-kira Ø umur telulasan taun. Ø Awake katon ringkih banget, kuru. Ø Rambute lurus ditata apik, Ø lambene tipis, Ø irunge mancung, Ø njur alise kandel, wis ta, pokoke bocah kuwi pancen nyenengake. Yen kuwi adhiku... (SBIMK/H190/P5). ‘Anak itu hitam manis, umur-umurnya hampir sama dengan adikku yang nomor enam. Ya kira-kira Ø umur tiga belas tahun. Ø Badannya terlihat cungkring sekali, kurus. Ø Rambutnya lurus ditata rapi, Ø bibirnya tipis, Ø hidungnya mancung, Ø alisnya juga tebal, sudahlah, pokoknya anak itu memang menyenangkan. Andai saja dia adikku...’ Pada data (339) di atas, terdapat satuan lingual yang dilesapkan yaitu berupa kata bocah kuwi ‘anak itu’ yang berfungsi sebagai subjek dalam kalimat
23 tersebut. Subjek yang sama tersebut dilesapkan sebanyak enam kali demi efektivitas dan kepraktisan bahasa. Jika data di atas tidak diuji dengan teknik lesap akan menghasilkan kalimat tidak efektif. 1.4
Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik atau pemarkah disjungtif (Sumarlam, 2013: 52). Dilihat dari segi maknanya pun, perangkaian unsur dalam wacana mempunyai bermacam-macam makna. Makna perangkaian beserta konjungsi yang dapat dikemukakan di sini antara lain sebagai berikut. (1)
Sebab-akibat (kausalitas): sebab ‘sebab’, amarga ‘karena’, mulane ‘makanya’
(2)
Pertentangan: nanging ‘tetapi’
(3)
Kelebihan (eksesif): malah ‘malah’
(4)
Perkecualian (eksetif): kajaba ‘kecuali’
(5)
Konsesif: senajan ‘meskipun’, najan ’meski’
(6)
Tujuan: amrih ‘supaya’, supados/supaya ‘supaya’
(7)
Penambahan (aditif): lan ‘dan’, ugi/uga ‘juga’, sarta ‘serta’
(8)
Pilihan (alternatif): utawa ‘atau’, apa ‘apa’, punapa ‘apa-apa’
(9)
Harapan (optatif): muga-muga ‘semoga’, mugi-mugi ‘semoga’
(10)
Urutan (sekuensial): banjur ‘kemudian’, terus ‘terus’, lajeng ‘lalu’
24 (11)
Perlawanan: suwalike ‘sebaliknya’
(12)
Waktu (temporal): sawise ‘setelah’, sabubare ‘sesudahnya’, sabanjure ‘setelahnya’, sadurunge ‘sebelumnya’
(13)
Syarat: yen ‘jika’, menawa ‘misalkan’
(14)
Cara: kanthi (cara) mangkono ‘dengan (cara) begitu’
(15)
Makna lainnya: (yang ditemukan dalam tuturan) Berikut contoh data konjungsi berupa penambahan (aditif).
(336) Dewi njur nimpal reseg lan nutugake olehe resik-resik omah karo kanca kost sing cacahe papat kuwi. (PSAD/H129-130/P13). ‘Dewi lalu mengumpulkan kotoran dan menyelesaikan bersih-bersih rumah dengan teman kost yang berjumlah empat itu.’ Pada data (336) di atas terdapat konjungsi aditif kata lan ‘dan’ yang berfungsi menghubungkan antara klausa pertama dengan klausa kedua. 2)
Kohesi Leksikal Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal
antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal diantaranya ialah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya (Mulyana, 2005: 29). Kohesi leksikal diperoleh dengan cara memilih kosa kata yang serasi (Tarigan, 1987: 102). Dalam hal ini, untuk menghasilkan wacana yang padu, pembicara atau penulis dapat menempuhnya dengan cara memilih kata-kata yang sesuai dengan isi kewacanaan yang dimaksud. Hubungan kohesif yang diciptakan atas dasar aspek leksikal, dengan pilihan kata yang serasi, menyatakan hubungan makna atau relasi dengan satuan lingual yang lain dalam wacana.
25 Menurut Sumarlam (2013: 55) Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonimi (padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4) hiponimi (hubungan atas-bawah), (5) antonimi (lawan kata), dan (6) ekuivalensi (kesepadanan). a.
Repetisi (pengulangan) Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau
bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa, atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi sembilan macam, yaitu. 1. Repetisi epizeuksis adalah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. 2. Repetisi tautotes adalah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi. 3. Repetisi anafora adalah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. 4. Repetisi epistrofa adalah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir barus (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. 5. Repetisi simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut. 6. Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut. 7. Repetisi epanalepsis adalah pengulangan satuan lingual yang berupa kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama.
26 8. Repetisi anadiplosis adalah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya. 9. Repetisi utuh/penuh adalah pengulangan satuan lingual secara utuh atau secara penuh. Satuan lingual yang diulang bisa berupa satu baris, satu kalimat secara utuh, atau bahkan satu bait atau beberapa kalimat secara utuh (Sumarlam, 2013: 60). Berikut merupakan contoh data repetisi anadiplosis. (438)“Mas! Aku ora seneng yen awakmu arep dadi pengkhianat bab katresnan. Katresnan kuwi larang mas regane...” (SBIMK/H199/P62). ‘Mas! Aku tidak suka jika dirimu akan menjadi pengkhianat bab percintaan. Percintaan itu mahal mas harganya.’ Pada data (438) di atas terdapat repetisi anadiplosis yaitu pengulangan pada kata katresnan ‘percintaan’ pada akhir kalimat pertama lalu diulang lagi pada awal kalimat berikutnya. Pengulangan ini berfungsi untuk memperjelas bahwa kata tersebut sangat penting dalam wacana tersebut. b.
Sinonimi (Padan Kata) Menurut Sumarlam (2013: 61) Sinonimi dapat diartikan sebagai nama
lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana. Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), (2) kata dengan kata, (3) frasa dengan frasa, dan (5) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.
27 Berikut merupakan contoh data sinonimi kata dengan kata. (447) Aku ora arep nduweni kepinginan ngianati cinta utawa katresnan marang Retno saiba Retno uga gelem nampa Puput dadi adhine. (SBIMK/H197/P51). ‘Aku tidak mau memiliki keinginan mengkhianati cinta atau percintaan kepada Retno saiba Retno juga mau menerima Puput menjadi adiknya.’ Pada data (447) di atas terdapat sinonimi jenis kata dengan kata. Kata cinta ‘cinta’ bersinonim dengan kata katresnan ‘percintaan’. Kata cinta ‘cinta’ memiliki arti yang sama dengan kata katresnan ‘percintaan’. c.
Antonimi (Oposisi Makna) Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang
lain atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub, (3) oposisi hubungan, (4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk. Oposisi makna atau antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu mendukung kepaduan makna wacana secara semantis (Sumarlam, 2013: 63). Berikut merupakan contoh data antonimi yang berupa oposisi mutlak. (452) Sopir phanter sing lagi medhun saka mobil njur pamer untu, mesem grapyak. [...] (PSAD/H128/P3). [...] sopir mau enggal munggah mobil maneh, nanging Dewi enggal sepata... (PSAD/H128/P4). ‘Sopir phanter itu baru turun dari mobil lalu unjuk gigi, tersenyum bersahabat. [...] [...] sopir itu baru naik mobil lagi, tetapi Dewi segera supaya...’
28 Pada data (452) di atas terdapat antonimi yang berupa oposisi mutlak yaitu kata medhun ‘turun’ dan munggah ‘naik’. Kedua kata tersebut memiliki arti yang berlawanan secara mutlak. d.
Kolokasi (Sanding Kata) Sumarlam (2013: 67) menyebutkan bahwa kolokasi atau sanding kata
adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Berikut merupakan contoh data kolokasi. (465) Tibake jagongan karo Puput rasane ngluwih-ngluwihi yen mangan rujak petis kae nikmate. Bocah pancen nyenengake. Sifate sing blak-blakan nambah kagumku marang dheweke. Ngomonge lincah tur sajak wis rumangsa kenal suwe karo aku. Omongane ora nganggo tedheng alingaling. Mula saka kuwi aku kaget yen kenal wae dheweke wis gelem nyritakake kahanane sing jebule ngundang rasa welas ana ati. (SBIMK/H192/P23). ‘Ternyata berbincang dengan Puput rasanya melebihi makan rujak petis nikmatnya. Anak yang memang menyenangkan. Sifatnya yang terbuka menambah kagumku terhadap dirinya. Bicaranya lincah dan seperti sudah merasa kenal lama dengan aku. Omongannya tidak ada yang ditutup-tutupi. Maka dari itu aku kaget jika kenal dengan dirinya sudah mau menceritakan keadaannya yang ternyata mengundang rasa kasihan di hati.’ Pada data (465) di atas terdapat pemakaian kata jagong ‘bincang’ pada satuan lingual jagongan ‘berbincang’, omong ‘bicara’ pada satuan lingual ngomonge ‘bicaranya’, omong ‘bicara’ pada satuan lingual omongane ‘omongannya’, dan crita ‘cerita’ pada satuan lingual nyritakake ‘menceritakan’ yang saling berkolokasi dan mendukung kepaduan wacana dalam paragraf tersebut. Istilah-istilah tersebut berkaitan dalam hal perbincangan.
29 e.
Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah) Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut hipernim atau superordinat. Berikut merupakan contoh data hiponimi. (467) Iki lho sing diarani pesawat tempur Sky Hawk. Iku sing diarani F-16...” mengkono unine Mas Tri akeh. ‘Ini lho yang dinamakan pesawat tempur Sky Hawk. Itu yang dinamai F-16... begitulah kata Mas Tri panjang lebar.’ Pada data (467) di atas terdapat hiponimi yaitu pesawat tempur ‘pesawat tempur’ yang merupakan superordinat atau hipernimnya, sedangkan hiponimnya adalah Sky Hawk dan F-16. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut. pesawat tempur
Sky Hawk
F-16
Bagan 1: Hiponimi kata pesawat tempur. f.
Ekuivalensi (Kesepadanan) Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu
dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan.
30 Demikian telah peneliti uraikan mengenai macam-macam penanda kohesi dalam wacana yang akan peneliti gunakan sebagai landasan untuk menganalisis data dalam penelitian ini. Berikut merupakan contoh data ekuivalensi. (470) Kok ngguya-ngguyu ta, sajake ana sambungane kepriye? Aku mengko sing nyambungake. (MK/H61/P18). ‘Kok tertawa sih, sepertinya ada hubungannya gimana? Aku nanti yang menghubungkan.’ Pada data (470) di atas terdapat ekuivalensi yang ditunjukkan pada kata sambungane ‘hubungannya’ dan nyambungake ‘menghubungkan’. Kedua kata tersebut berasal dari morfem dasar yang sama yaitu sambung ‘hubung’. Kedua kata itu mengalami proses afiksasi dan menunjukkan adanya hubungan kesepadanan. b.
Koherensi Istilah “koherensi” mengandung makna ‘pertalian’. Dalam konsep
kewacanaan, berarti pertalian makna atau isi kalimat (Tarigan, 1987: 32). Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Di samping itu, pemahaman tentang hubungan koherensi dapat ditempuh dengan cara menyimpulkan hubungan antarproposisi dalam tubuh wacana itu (Mulyana, 2005: 31). Koherensi wacana sebenarnya mereferensi pada fungsi kepragmatisan bahasa sebagai sarana komunikasi, artinya suatu wacana yang dipergunakan dalam komunikasi, baik ragam lisan maupun tulis harus menitikberatkan kepentingan pada segi semantis dan maknanya. Sarana koherensi wacana dapat
31 berupa referensi dan inferensi yang berfungsi memperjelas dan mempertalikan makna kalimat dalam wacana. Menurut Angelo yang dikutip Tarigan (1987: 105) ada 15 sarana yang dapat digunakan untuk menentukan kekoherensian sebuah wacana. Sarana koherensi tersebut adalah: 1. Sarana penghubung koherensi yang bersifat rentetan atau seri (sepisan, kapindho, banjur, akhire). 2. Sarana penghubung bersifat aditif atau penambahan (lan, uga, maneh). 3. Sarana penghubung berupa pronomina (iki, aku, dheweke). 4. Sarana penghubung berupa repetisi/pengulangan kata. 5. Sarana penghubung berupa sinonim. 6. Sarana penghubung yang dimulai dari keseluruhan menuju ke bagian. 7. Sarana penghubung yang dimulai dari kelas ke anggota. 8. Sarana penghubung berupa penekanan (nyatane, wis mesthi). 9. Sarana penghubung berupa perbandingan (ora beda, kaya). 10. Sarana penghubung berupa pertentangan (nanging, suwalike). 11. Sarana penghubung berupa kesimpulan (dadi, ngono mau). 12. Sarana penghubung berupa contoh (umpamane, kayata). 13. Sarana penghubung berupa kesejajaran/paralelisme. 14. Sarana penghubung berupa lokasi (ana kana, ana kene). 15. Sarana penghubung berupa kala atau waktu (sawetara iku, wiwitane). Dalam penelitian ini dipilih beberapa di antaranya yaitu koherensi sebagai (1) sarana penghubung berupa penekanan, (2) sarana penghubung berupa simpulan atau hasil, (3) sarana penghubung berupa contoh. Peneliti
32 hanya mengambil tiga koherensi dari lima belas macam koherensi karena sebagian besar macam koherensi sudah terwakili oleh penanda kohesi, baik kohesi gramatikal maupun leksikal. Berikut merupakan contoh data koherensi yang berupa penekanan. (476) Aku mesem, pancen seneng duwe kanca kaya Mbak Anti iki, ngreti atine kancane sing lagi susah. (MK/H60/P12). ‘Aku tersenyum, memang senang punya teman seperti Mbak Anti ini, mengerti hati temannya yang lagi susah.’ Pada data (476) di atas terdapat penanda koherensi yang berupa penekanan yang ditunjukkan dengan kata pancen ‘memang’ yang berfungsi untuk menyatakan penekanan maksud yang terdapat dalam wacana tersebut. Maksud dari wacana tersebut adalah untuk menjelaskan kepada pembaca supaya mengerti betapa senangnya tokoh aku dalam cerita tersebut kepada tokoh yang bernama Mbak Anti yang mengerti bahwa hati tokoh utama sedang susah. 4. Pengertian Cerkak dan Antologi Cerkak Istilah cerkak diambil dari bahasa Jawa yang merupakan kepanjangan dari cerita cekak yang berarti cerita pendek. Suminto (2000: 9) mengatakan bahwa cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca. Di dalam cerpen tidak dituntut terjadinya perubahan nasib dari pelakupelakunya. Hanya suatu lintasan dan secercah kehidupan manusia, yang terjadi pada suatu kesatuan waktu. Cerkak adalah suatu karya sastra Jawa yang berbentuk prosa. Cerkak yang akrab disebut dengan nama cerpen (dalam bahasa Indonesia) memuat suatu cerita yang umumnya berbentuk sebuah narasi yang di dalamnya memuat berbagai kisah kehidupan entah itu fiksi maupun nonfiksi. Dengan kata
33 lain pengarang cerkak dapat membuat cerita cerkak sesuai dengan hati dan kehendak pengarang itu sendiri. Tema yang diangkat dalam cerkak sangat beragam. Tema-tema tersebut di antaranya politik, sosial, budaya, percintaan, religi, dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang pengarang mengekspresikan perasaannya melalui cerkak yang dibuatnya. Lebih penting dari itu, di dalam suatu cerkak memuat suatu amanat yang dapat diambil sebagai ilmu kehidupan. Pengertian mengenai kata “antologi” dimulai dari melihat bahasa serapan. Kata “antologi” sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia karena telah diserap, merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yaitu “anthology” yang berarti kumpulan/bunga rampai. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (2007: 25) kata “antologi” mempunyai pengertian kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang. Dengan demikian, antologi cerkak merupakan kumpulan dari beberapa cerkak yang dibuat menjadi sebuah buku. G. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara, alat prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data, dan analisis data (Edi Subroto, 1992: 31).
34 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif artinya studi
kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi dalam suatu konteks, tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya (Sutopo, 2006: 137). Sedangkan penelitian kualitatif artinya teknik penetuan sampelnya dengan cuplikan (nukilan) yang lazim juga disebut purposive sampling. Teknik cuplikan berkaitan dengan pemilihan dan pembatasan jumlah serta jenis dari sumber data yang akan digunakan dalam penelitian. Pemikiran mengenai teknik cuplikan ini hampir tidak bisa dihindari oleh peneliti dalam pelaksanaan penelitiannya, mengingat selalu terdapat beragam keterbatasan yang dihadapi peneliti, misalnya mengenai waktu, tenaga, biaya, dan mungkin juga hal-hal lainnya (Sutopo, 2006: 62). Sumber datanya diarahkan pada sumber data yang memiliki data penting, produktif, sesuai dengan permasalahan penelitian teori dan tujuan penelitian (Sutopo, 2002: 36). Oleh karena itu, penelitian ini mendeskripsikan secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi dalam suatu konteks, tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya. Data yang terkumpul adalah bahasa komunikasi yang berupa kata-kata dan atau kalimat yang dianggap penting sesuai permasalahan yang akan diteliti, tujuan penelitian, dan teori yang digunakan. 2.
Alat Penelitian Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam
penelitian ini merupakan alat yang paling dominan dalam penelitian, sedangkan alat bantu berguna untuk membantu jalannya penelitian. Alat utama merupakan
35 peneliti sendiri artinya kelenturan sikap peneliti mampu menggapai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2002: 35-36). Alat bantu dalam penelitian ini berupa alat elektronik dan alat tulismenulis. Alat elektronik berupa laptop, flashdisk, dan printer. Alat tulis berupa buku tulis, pensil, bolpoin, dan kertas HVS. 3.
Data dan Sumber Data Data adalah fenomena lingual khusus yang mengandung dan berkaitan
langsung dengan masalah yang dimaksud. Data yang demikian itu, substansinya dipandang berkualifikasi sahih (valid) dan terandal (reliable) (Sudaryanto, 2015: 6). Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat pembentuk wacana yang mengandung unsur kohesi dan koherensi yang terdapat dalam sumber data. Sumber data adalah asal data penelitan itu diperoleh. Data sebagai objek penelitian secara umum adalah informasi atau bahasa yang disediakan oleh alam yang dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti (Edi Subroto, 1992: 34). Sumber data secara menyeluruh dapat dikelompokkan menjadi beberapa yaitu narasumber (informan), peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, beragam gambar, dan rekaman, serta dokumen atau arsip (Sutopo, 2002: 50-54). Sumber data dalam penelitian ini adalah cerkak yang terdapat dalam buku Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana. 4.
Sampel Sampel penelitian adalah data yang disahkan untuk dikaji, yang dijadikan
objek penelitian sesuai dengan teori dan rumusan masalah yang digunakan dan tujuan penelitian. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nasution
36 (1988: 29) sampling ialah pilihan peneliti aspek apa dari peristiwa apa dan siapa dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu dan karena itu dilakukan terus menerus sepanjang penelitian. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Dalam penelitian kualitatif, teknik cuplikannya cenderung bersifat purposive karena dipandang lebih mampu menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi realitas yang tidak tunggal. Pilihan sampel diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data yang penting yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti (Sutopo, 2006: 45-46). Adapun sampel dalam penelitian ini adalah tuturan yang berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat pembentuk wacana dari data yang mewakili informasi. 5.
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan metode simak yaitu dengan cara
menyimak penggunaan bahasa. Metode simak atau penyimakan adalah metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 2015: 203). Penyimakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati semua kata, frasa, klausa, dan kalimat berbahasa Jawa yang mengandung kohesi gramatikal, kohesi leksikal, dan koherensi dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana. Adapun teknik yang dipakai yaitu teknik catat dilakukan dengan cara melakukan pencatatan terhadap data berupa tuturan yaitu kata, frasa, klausa, atau kalimat dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana ke dalam komputer. Agar lebih akurat dan lebih meyakinkan ketika dilakukan pengecekan lewat penayangan di layar tayangan. Hasil dari penyimakan dan pencatatan kemudian dianalisis.
37 6.
Metode dan Teknik Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih dan
metode padan. Metode agih adalah suatu metode yang alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 2015: 18). Teknik dasar metode agih disebut teknik bagi unsur langsung atau teknik BUL. Dengan demikian, karena cara yang digunakan pada awal kerja analisis ialah membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur; dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 2015: 37). Teknik BUL ini dipakai untuk menganalisis bentuk penanda kohesi gramatikal dan kohesi leksikal dalam wacana Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana, kemudian dilanjutkan dengan teknik lesap dan teknik ganti. Teknik lesap dilaksanakan dengan melesapkan (melepaskan, menghilangkan, menghapuskan, mengurangi) unsur tertentu satuan lingual yang bersangkutan (Sudaryanto, 2015: 43). Jika hasil dari pelesapan tidak gramatikal maka unsur yang bersangkutan mempunyai kadar keintian yang tinggi sehingga tidak dapat dihilangkan. Seperti halnya dengan teknik lesap, teknik ganti digunakan untuk mengetahui kadar keintian yang diganti. Adapun contoh kohesi gramatikal berupa pengacuan demonstratif adalah sebagai berikut: (309) Rong minggu sawise kedadeyan ana Maospati iku Dewi nampa layang saka Trisanto, kang surasane nrenyuhake ati... (PSAD/H137/P66). ‘Dua minggu setelah kejadian di Maospati itu Dewi menerima surat kabar dari Trisanto, yang serasa menyayat hati...’
38 Pada data (309) terdapat pengacuan demonstratif tempat agak jauh dengan penutur iku ‘itu’ yang merujuk pada Maospati. Pengacuan tersebut merupakan pengacuan endofora yang bersifat anaforis. Kemudian data (309) di atas dibagi dengan teknik bagi unsur langsung (BUL) menjadi berikut. (309a) Rong minggu sawise kedadeyan ana Maospati iku ‘Dua minggu setelah kejadian di Maospati itu’ (309b) Dewi nampa layang saka Trisanto, kang surasane nrenyuhake ati... ‘Dewi menerima surat kabar dari Trisanto, yang serasa menyayat hati...’ Kemudian data (309a) diuji dengan teknik lesap akan menjadi berikut. (309c) Rong minggu sawise kedadeyan ana Maospati Ø ‘Dua minggu setelah kejadian di Maospati Ø’ Hasil analisis data (309c) dengan teknik lesap, ternyata pronomina demonstratif tempat agak jauh dengan penutur yaitu kata iku ‘itu’ apabila dilesapkan, data tersebut masih gramatikal dan berterima karena informasi yang diterima oleh pembaca masih lengkap dan jelas. Data (309a) selanjutnya diuji dengan teknik ganti pada pronomina demonstratif tempat agak jauh dengan penutur iku ‘itu’, menjadi sebagai berikut. (309d) Rong minggu sawise kedadeyan ana Maospati iku kae ‘Dua minggu setelah kejadian di Maospati
itu itu
Pada data (309d) penanda pengacuan demonstratif tempat agak jauh dengan penutur iku ‘itu’ apabila diganti dengan kae ‘itu’ secara gramatikal dapat berterima karena berada pada tingkat tutur yang sama, tetapi keduanya berbeda terkait dengan arah dan jarak waktu antara keduanya, iku ‘itu’ menunjukkan pada arah yang lebih dekat dibandingkan dengan kae ‘itu’.
39 Adapun contoh kohesi leksikal berupa antonimi adalah sebagai berikut. (457) “Ya ra maido mas, awakmu lanang, aku rak bocah wadon. (MK/H66/P52). ‘Ya tidak menyalahkan mas, kamu laki-laki, aku kan perempuan.’ Pada data (457) dilihat dari kekohesifan paragrafnya, tampak bahwa pada kalimat-kalimatnya terdapat kohesi leksikal yang yaitu antonimi berupa oposisi kutub. Satuan lingual yang menunjukkan antonimi itu dapat dilihat pada pemakaian kata lanang ‘laki-laki’ dengan kata wadon ‘perempuan’. Kedua kata tersebut memiliki makna yang berlawanan. Kemudian data (457) di atas dibagi dengan teknik bagi unsur langsung (BUL) menjadi berikut. (457a) “Ya ra maido mas, ‘Ya tidak menyalahkan mas,’ (457b) awakmu lanang, ‘kamu laki-laki,’ (457c) aku rak bocah wadon. ‘aku kan perempuan.’ Kemudian data (457b) dan data (457c) diuji dengan teknik lesap akan menjadi berikut. (457d) awakmu Ø, ‘kamu Ø,’ (457e) aku rak bocah Ø, ‘aku kan Ø,’ Hasil analisis data (457d) dan data (457e) dengan teknik lesap, ternyata wacana di atas menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima. Hal ini dikarenakan unsur penting dalam wacana ketika dilesapkan, menjadikan wacana tidak kohesif. Oleh karena itu, satuan lingual lanang ‘laki-laki’ dan perempuan ‘perempuan’ memiliki kadar keintian yang sangat tinggi serta wajib hadir dalam wacana.
40 Metode padan dipakai untuk mengkaji sarana koherensi. Metode padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji atau menentukan identitas satuan lingual tertentu dengan memakai alat penentu yang berada di luar bahasa, terlepas dari bahasa dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Edi Subroto, 1992: 55-56). Teknik yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu (PUP). Alat penentunya adalah kenyataan atau segala sesuatu (bersifat luar bahasa) yang ditunjukkan oleh bahasa. Metode padan berdasarkan alat penentunya dibagi menjadi lima yaitu: 1)
Metode padan referensial dengan alat penentunya kenyataan yang ditunjuk bahasa atau referen bahasa,
2)
Metode padan fonetis artikulatoris dengan alat penentunya organ bicara atau organ pembentuk bahasa,
3)
Metode padan translational dengan alat penentunya bahasa lain,
4)
Metode padan ortografis dengan alat penentunya tulisan,
5)
Metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra tutur. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode padan referensial untuk
mengetahui makna yang ditunjukkan oleh sarana koherensi. Adapun contoh koherensi berupa simpulan/hasil adalah sebagai berikut. (497) Apa meneh aku arang pisah karo wong tuwaku. Dadi ya rada kaget. (MK/H66/P52). ‘Apa lagi aku jarang berpisah dengan orang tuaku. Jadi ya agak kaget.’ Pada data (497) menunjukkan penanda koherensi berupa simpulan/hasil yaitu pada kata dadi ‘jadi’ yang berfungsi menerangkan bahwa kesimpulan dari penggalan paragraf tersebut adalah karena jarang berpisah dengan orang tua, jadi ya agak kaget.
41 7.
Metode Penyajian Hasil Analisis Data Menurut Sudaryanto (2015: 8) tahap penyajian hasil analisis data adalah
upaya sang peneliti menampilkan dalam wujud “laporan” tertulis akan apa-apa yang telah dihasilkan dari kinerja analisis, khususnya kaidah. Menurutnya, dalam penyajian hasil analisis data tentu saja memprasyaratkan adanya kelayakan baca; dan kelayakan baca yang dimaksud adalah demi pemanfaatan yang terikat pada tujuan tertentu; antara lain: diketahinya dengan saksama makna setiap kaidah, diketahuinya secara menyeluruh hubungan antar-kaidah, dan diketahuinya kekhasan kaidah dalam bahasa tertentu jika kaidah yang bersangkutan dibandingkan dengan kaidah bahasa yang lain, dan sebagainya (Sudaryanto, 2015: 240). Metode penyajian hasil analisis dalam penelitian ini menggunakan metode informal dan metode formal. a. Metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa (a natural language). b. Metode formal adalah perumusan dengan tanda dari lambang, tanda yang dimaksud di antaranya adalah tanda bintang (*) dan tanda kurung biasa (), adapun lambang adalah lambang huruf sebagai singkatan nama. H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari tiga bab, yaitu Pendahuluan, Pembahasan, dan Penutup. Bab I Pendahuluan, pada bab ini berisi latar belakang, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, kajian teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
42 Bab II Pembahasan, pada bab ini berisi data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis secara kohesi dan koherensi dalam buku Antologi Cerkak “Puber Kedua” karya Ary Nurdiana. Bab III Penutup, pada bab ini berisi kesimpulan dan saran.