BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, kasus fraud yang terjadi di perbankan semakin marak. Sebagai contoh adalah pembobolan kredit fiktif di Bank Jateng Syariah senilai Rp 94 miliar dan Bank Jateng Cabang Semarang Rp 18 miliar. Pada tahun 2011 saja sudah ada delapan kasus pembobolan bank di Indonesia yang mencakup dana miliaran Rupiah. Kedelapan kasus tersebut di antaranya kasus pembobolan BRI Tamini Square senilai Rp 29 miliar, pembobolan Bank BII Kantor Cabang Pangeran Jayakarta senilai Rp 3,6 miliar, pembobolan Bank Mandiri senilai Rp 18 miliar, pembobolan BNI Cabang Depok, pencairan deposito tanpa diketahui pemilik yang terjadi di BPR Pundi Artha Sejahtera, pembobolan Bank Danamon Kantor Cabang Menara Danamon senilai hampir Rp 3 miliar, penggelapan dana nasabah Bank Panin senilai Rp 2,5 miliar dan pembobolan nasabah premium di Citibank senilai Rp 4,5 miliar yang melibatkan tersangka Malinda Dee (www.solopos.com, diakses 25 Februari 2013). Di luar negeri, kasus fraud yang cukup fenomenal adalah pembobolan yang dilakukan salah satu manajer investasi bernama Nick Leeson pada tahun 1995 yang menyebabkan bangkrutnya Bank Barings Inggris. Leeson membobol bank-bank menggunakan dana nasabah untuk melakukan aktivitas investasi di luar sepengetahuan pihak bank dan ketika investasi itu gagal maka bank tertua di Inggris itu pun bangkrut. Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan
1
Eropa juga diawali dengan kejahatan perbankan yang dilakukan para penilai kredit perumahan di Amerika Serikat dengan melakukan penilaian aset melebihi nilai yang sebenarnya sehingga kredit perumahan yang dicairkan nilainya jauh lebih tinggi daripada aset yang ditanggungkan (www.solopos.com, diakses 25 Februari 2013). Kasus fraud di Indonesia, Inggris dan Amerika punya penyebab sama, yaitu lemahnya pengawasan intern terhadap perilaku mencari keuntungan (opportunity seeking) dari para karyawan. Oleh karena itu pengawasan intern terhadap karyawan perbankan sangat perlu dilakukan secara maksimal. Tingginya tingkat persaingan antar bank dan tingkat risiko menyebabkan pihak Manajemen bank perlu meningkatkan pengendalian intern. Peningkatan pengendalian intern pada dasarnya bertujuan untuk melindungi harta milik perusahaan dengan meminimalkan kemungkinan terjadinya penyelewengan, pemborosan, kemacetan kredit, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja. Pengendalian intern dapat dilakukan melalui pemeriksaan intern atau pelaksanaan audit intern. Internal Audit adalah fungsi penilaian yang independen yang ditetapkan oleh organisasi untuk memeriksa dan mengevaluasi secara obyektif aktivitas-aktivitas organisasi. Hasil analisa Internal Audit berupa saran, rekomendasi, analisis, dan informasi akan bermanfaat bagi Manajemen dalam mengupayakan agar perusahaan berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bank adalah suatu badan usaha dengan tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries) yang menyalurkan dana dari pihak
2
yang berkelebihan dana (idle fund surplus) kepada pihak yang membutuhkan dana atau kekurangan dana (deficit unit) pada waktu yang ditentukan (Dendawijaya, 2009:14). Peran bank sebagai lembaga perantara keuangan juga dinyatakan dalam PSAK No. 31, bahwa bank merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus unit) dan pihak yang memerlukan dana (deficit unit), serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. (Ikatan Akuntan Indonesia, 2007:31.1). Sebagai lembaga perantara keuangan yang menghimpun dan menyalurkan dana, bank sangat rawan terhadap kecurangan (fraud). Bank Indonesia menyatakan ada lima titik rawan pada kegiatan operasional perbankan yang dapat disalahgunakan sehingga terjadi fraud. Menurut Direktur Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia, yaitu Joni Swastanto, titik rawan operasional perbankan tersebut terdapat pemberian kredit, penghimpunan dana, jasa, aktivitas pembukuan atau akuntansi dan pada teknologi informasi. (www.lppi.or.id, diakses 24 Januari 2013) Dari segi perkreditan atau pembiayaan, fraud dapat terjadi berupa debitur fiktif, agunan fiktif, Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK), penyuapan, dokumen kredit cacat hukum. Dari segi pendanaan atau funding, fraud dapat terjadi berupa bilyet deposito palsu atau dipalsukan, penyalahgunaan bilyet deposito, transaksi deposito fiktif. Dari segi jasa atau services, fraud dapat terjadi berupa penggandaan dokumen transfer, tagihan kartu kredit bermasalah, letter of
3
credit (L/C) fiktif, perubahan Real Time Gross Settlement (RTGS). Dari segi aktivitas pembukuan atau akuntansi, fraud dapat terjadi berupa pembebanan biaya bank untuk kepentingan pribadi, pengakuan pendapatan tidak riil tanpa koreksi, tidak melakukan pencatatan, mark up biaya, pencatatan transaksi fiktif. Dari segi teknologi
informasi,
fraud
dapat
terjadi
berupa
penyalahgunaan password, pembukaan brankas di pagi hari dan penutupannya di sore hari oleh pejabat tidak berwenang disertai penyerahan password (www.infobanknews.com, diakses tanggal 24 Januari 2013). Dalam konteks tersebut di atas, fraud yang terjadi di perusahaan perbankan dapat disebabkan karena lemahnya pengendalian intern bank terhadap Sumber Daya Manusia (SDM). SDM perbankan dapat menjadi sumber dan pelaku kejahatan perbankan apabila tidak dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan terkait dengan mitigasi risiko atas tindak kejahatan perbankan. Swastanto mengatakan bahwa pemicu utama permasalahan yang terjadi pada beberapa bank, antara lain karena tidak menerapkan sepenuhnya prudential principles (prinsip kehati-hatian) dalam kegiatan operasional, rendahnya integritas pejabat, Satuan Kerja Audit Intern (selanjutnya disebut Internal Audit) tidak berfungsi dan law enforcement masih lemah. Untuk itu itu perlu upaya preventif atau mitigasi dengan peningkatan pengendalian intern dan fungsi Internal Audit, penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), prinsip know your employee, peningkatan peran Direktur Kepatuhan, dan penerapan whistle blower (www.infobanknews.com, diakses tanggal 24 Januari 2013).
4
Fraud tidak cukup hanya dicegah, namun juga harus ada suatu aktivitas untuk mendeteksi fraud, agar kejadian fraud serupa tidak terjadi. Dengan adanya aktivitas deteksi fraud, maka akan diketahui cara mendeteksi secara dini terjadinya kecurangan-kecurangan yang timbul, karakteristik, modus operandi, penyebab utama fraud. Kesemua hal itu dapat terca[au jika didukung dengan kompetensi auditor intern yang memadai. Sehubungan dengan begitu pentingnya fungsi Internal Audit dalam mendeteksi fraud untuk kelangsungan perusahaan, maka dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian: ”Peran Internal Audit dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud) pada Perusahaan Perbankan”.
B. Perumusan Masalah Berpedoman pada latar belakang masalah tersebut di atas dapat dikemukakan perumusan masalah adalah “apakah Internal Audit berperan dalam mendeteksi fraud?”
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan analisa dan membuktikan secara empiris peran Internal Audit dalam mendeteksi fraud pada perusahaan perbankan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, antara lain:
5
1.
Kegunaan Teoritis Untuk mengembangkan pengetahuan tentang teori maupun alat yang berhubungan dengan pemeriksaan (auditing), khususnya mengenai peran Internal Audit dalam mendeteksi fraud.
2.
Kegunaan Praktis a.
Bagi Peneliti Sebagai penambah wawasan dan pengetahuan mengenai peran Internal Audit dalam mendeteksi fraud.
b.
Bagi Perusahaan Sebagai bahan masukan dan informasi bagi Manajemen perusahaan mengenai peran Internal Audit dalam mendeteksi fraud, sehingga dapat mengambil suatu keputusan strategis di masa yang akan datang.
c.
Bagi Akademik Sebagai penambah daftar kepustaakaan dan bahan referensi mengenai peran Internal Audit dalam mendeteksi fraud.
d.
Bagi Peneliti Lain Sebagai bahan studi banding dan bahan referensi penelitiannya di masa yang akan datang.
6