1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang besar, amat kaya, dan sangat berpotensi menjadi negara yang berhasil. Indonesia terdiri dari sumber daya manusia dengan populasi yang besar dan memiliki latar belakang sosio-kultur yang beragam, serta kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Dengan kekayaan itulah, Indonesia menyimpan potensi yang besar untuk berkembang sebagai suatu bangsa dan negara yang maju.Indonesia merupakan kontestan yang dapat diperhitungkan dalam persaingan keberhasilan atau prestasi internasional. Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia mendukung pernyataan tersebut saat sehari sebelum peringatan hari jadi Indonesia yang ke-66, Zhang Qiyue di Jakarta yang menyatakan bahwa Indonesia adalah kekuatan ekonomi dan negara berkembang terbesar di Asia Tenggara. Indonesia saat ini memainkan peranan yang semakin besar di panggung regional maupun internasional (indonesian.cri.cn, 17 Agustus 2011). Selaras dengan pernyataan tersebut, Direktur Pembinaan TK dan SD Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah
(Mandikdasmen)
Depdiknas,
Mudjito
AK
di
Jakarta
menyebutkan bahwa kehadiran delegasi Indonesia di ajang olimpiade internasional baik untuk bidang sains maupun matematika tingkat sekolah dasar (SD) mulai diperhitungkan oleh sejumlah negara peserta lainnya yang selama ini menduduki peringkat juara. "Kalau dua atau tiga tahun lalu, kehadiran delegasi Indonesia masih sebatas sebagai pengamat saja, kini di ajang seperti Internasional Mathematics and Science Olympiad (IMSO), Wizard
2
At Mathematic International Competition (Wizard), International Mathematics Competition (IMC), Elementary Mathematics International Contest (EMIC) delegasi kita disegani bahkan menjadi ancaman bagi negara lain." Ia mengatakan bahwa ketua tim olimpiade dari negara peserta lain seperti Thailand dan Taiwan menilai prestasi anak-anak Indonesia di ajang olimpiade tumbuh pesat bahkan dalam waktu singkat sudah mampu mengungguli delegasi negara-negara lain yang selama ini selalu menjadi juara. Ketua Tim Olimpiade dari Thailand mengaku delegasinya sudah tersusul oleh prestasi siswa Indonesia dan mereka berjanji untuk mengalahkan Indonesia di ajangajang sejenis pada tahun depan. (www.indonesia.go.id, 2 November 2009). Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa bangsa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi negara yang berhasil dilihat dari pengakuan bangsa lain terhadap bangsa Indonesia. Dalam pandangan umum, diketahui bahwa pada dasarnya setiap individu dapat mencapai sebuah prestasi tergantung pada kemampuan yang dimiliki dan usaha yang dilakukan. Di sisi lain, prestasi dan keberhasilan tidak dapat hanya dicapai oleh salah satu golongan individu saja, melainkan prestasi dan keberhasilan dapat dicapai oleh semua individu. Hal ini memiliki pengertian bahwa semua individu memiliki kemampuan
yang
relatif
sama
untuk
mencapai
keberhasilan.
Pada
kenyataannya, terdapat golongan individu yang tampak lebih sering mencapai prestasi dan keberhasilan daripada golongan individu lainnya. Jika terdapat individu atau kelompok tertentu yang menunjukkan bahwa mereka lebih banyak mencapai keberhasilan, maka yang menjadi faktor penentu keberhasilan seseorang merupakan achievement motivation (motivasi berprestasi) individu tersebut.
3
Setiap individu memiliki motivasi berprestasi yang berkembang dari salah satu kebutuhan manusia yaitu need for achievement (kebutuhan untuk berprestasi). Motivasi berprestasi berarti keinginan untuk dapat lebih unggul, dapat mencapai suatu standar dan untuk mencapai suatu keberhasilan. Definisi lain menyebutkan bahwa motivasi berprestasi adalah dorongan atau keinginan yang kuat dari diri individu untuk melaksanakan tugas sesuai dengan standar keberhasilan yang telah ditentukan. Motivasi berprestasi didefinisikan sebagai keinginan seorang individu untuk meningkatkan atau mempertahankan pada kemampuannya tingkat tinggi dalam kegiatan tertentu (Berry & Houston, 1993). McClelland (1987) menemukan dari berbagai indikasi individu dengan kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi lebih memilih untuk mengambil resiko yang memiliki peluang sukses. Individu dengan kebutuhan berprestasi yang tinggi memiliki keinginan yang kuat untuk mengambil tanggungjawab pribadi untuk melaksanakan tugas, cenderung menetapkan tujuan yang tidak terlalu sulit sehingga masih dalam jangkauannya untuk dapat diraih, dan memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan umpan balik bagi kinerjanya. McClelland (1967, 1987) melaporkan bahwa individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi memiliki ciri-ciri: 1) tanggungjawab pekerjaan, 2) kebutuhan akan umpan balik, 3) inovatif, 4) pengambilan resiko, 5) persistence(kegigihan). Individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi seperti pencirian di atas cenderung memiliki peluang untuk berprestasi lebih sering dan berprestasi lebih tinggi dibandingkan individu dengan motivasi berprestasi rendah. Individu dengan motivasi berprestasi yang rendah dicirikan dengan individu yang suka memiliki tugas-tugas yang ekstrem (sangat mudah atau sangat sulit), butuh imbalan kesenangan lebih cepat, kurang gigih, konsep diri
4
yang rendah, termotivasi secara ekstrinsik, merasa terancam terhadap umpan balik pekerjaannya, dan cenderung tidak menyukai situasi yang penuh dengan keberhasilan (Parker & Johnson, 1981). Dengan demikian peluang individu untuk berprestasi dan berhasil yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah cenderung kecil sehingga pencapaiannya biasanya tidak banyak dan tidak maksimal. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa agar individu dapat banyak mencapai prestasi yang banyak, maka idealnya individu tersebut hendaknya memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. Tentu merupakan harapan negara agar semua penduduk bangsa Indonesia ikut berpartisipasi menyumbangkan keberhasilan bagi kemajuan Indonesia. Kemajuan Indonesia akan bergantung pada sejauh mana bangsa Indonesia secara keseluruhan dapat memiliki motivasi berprestasi yang tinggi agar mampu untuk mencapai keberhasilan, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa prestasi bangsa Indonesia masih belum mampu mengejar jumlah dan tingkatan prestasi yang dicapai oleh negara-negara maju lain yang bahkan memiliki populasi lebih sedikit daripada Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya indikasi motivasi berprestasi yang cenderung rendah pada rata-rata warga Indonesia. Tentu harapan negara adalah bahwa seluruh bangsa Indonesia ikut berpartisipasi demi kemajuan Indonesia terlepas dari latar belakang suku, agama maupun ras. Fenomena saat ini justru menunjukkan bahwa terdapat suatu kelompok yang lebih sering mencapai prestasi dan keberhasilan daripada kelompok lainnya. Khususnya dalam hal ini, terdapat kecenderungan keturunan Tionghoa Indonesia
untuk
lebih
banyak
mencapai
prestasi
dan
keberhasilan
dibandingkan dengan warga non-Tionghoa secara luas, atau khususnya warga
5
Jawa. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya prestasi yang lebih banyak dicapai oleh murid-murid berlatarbelakang keturunan Tionghoa antara lain sebagai berikut: 1. Tim Olimpiade Matematika Indonesia meraih medali perak, dan dua perunggu serta dua penghargaan honorable mention pada International Mathematics Olympiad (IMO 2008) yang berlangsung di Madrid dari tanggal 10-22 Juli 2008. Pelajar Indonesia yang kembali menggoreskan prestasi pada kejuaraan Internasional Olimpiade Matematika adalah Andres Dwi Maryanto dari SMAK Kolose St. Yusuf Malang yang meraih medali perak, dua medali perunggu masing-masing oleh Aldrian Olbaja dari SMAK 1 BPK Bandung dan Fahmy Fuady dari SMA Pribadi Bandung. Selain itu Indonesia juga memperoleh dua penghargaan honourable mention yang diterima Joseph Andreas dari SMAK BPK Penabur Jakarta dan Saadah Sajana Carita dari SMA Semesta Semarang. Dikatakannya dengan prestasi yang diraih pelajar Indonesia pada IMO 2008 ini ranking Indonesia di tingkat Olimpiade Matematika keseluruhan naik, dari posisi ranking 52 menjadi ranking ke-36 dunia (www.wartaterkini.com, 20 Juli 2006). 2. Dua Tim Indonesia meraih empat medali emas, tiga perak dan dua perunggu pada International Olympiad Astronomy and Astrophysics (IOAA) ke-2 yang berlangsung 19-27 Agustus 2008 itu. Tim Indonesia A meraih dua medali emas, satu perak dan satu perunggu sedangkan Tim Indonesia B meraih dua emas dua perak dan satu perunggu. Juara umum diraih oleh Tim India yang meraih dua emas, tiga perak dan satu perunggu. Medali Tim Indonesia A sebagai tim inti dipersembahkan oleh Lorenz VG da Silva dan Adi Suwardi, sedangkan perak dan perunggu dipersembahkan oleh Esther
6
Brigitha dan Eky Valentian Febrianto. Tim Indonesia B sendiri yang tampil sebagai tim tamu tampil lebih produktif. Dua emas dipersembahkan oleh Ridho Wahyudi Wibowo dan Amar Kusumah. Dua perak dipersembahkan oleh Yudho Ahmad Diponegoro, Marshiela serta sekeping perunggu diraih lewat Veena Salim. 3. Dari kompetisi penelitian sains tingkat internasional, pelajar Indonesia berhasil membawa pulang sedikitnya tujuh medali emas. Di ajang lomba penelitian dan presentasi tingkat dunia atau International Conference of Young Scientists (ICYS) 2009 di Polandia 24-28 April, pelajar Indonesia mengharumkan nama Indonesia dengan meraih enam emas, satu perak, dan tiga perunggu.Perolehan dua medali emas didapat dari bidang fisika oleh Guinandra Lutfan Jatikusumo (SMA Taruna Nusantara) dengan penelitian berjudul "Menghilangkan Asap dan Debu dari Tank Perang", serta Idelia Chandra (SMA St.Laurensia) yang meneliti perbedaan suara secara fisika dalam Gamelan Bali. Medali emas lainnya dari bidang komputer dipersembahkan Nugra Akbari (SMA Global Mandiri) dengan mempresentasikan penelitian soal batik yang dapat didesain lewat fractal. Selanjutnya, tiga medali emas didapat dari bidang ekologi dipersembahkan J. Karli (SMA Cita Hati) yang mempresentasikan soal durian yang ternyata dapat membunuh nyamuk, Gabriella Alicia Kosasih (SMA St Laurensia) soal bakteri yang dapat memutus rantai molekul oli sehingga mudah dihancurkan tanah, dan Fernanda Novelia (SMA Petra 3) soal cara mengontrol hama dengan cara efektif. Uraian di atas telah memaparkan berbagai prestasi akademis yang diraih oleh siswa keturunan Tionghoa, akan tetapi prestasi siswa Jawa juga
7
tidak kalah jumlahnya di masa dewasa ini. Prestasi siswa warga Jawa dapat terlihat dari kisah tentang seorang putri tukang becak bernama Raeni yang memiliki IPK kuliah yang nyaris sempurna di Universitas Negeri Semarang. Raeni merupakan salah satu dari ratusan mahasiswa Unnes angkatan 2010 yang memperoleh beasiswa yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi namun berprestasi tinggi. Prestasi Raeni pada semesterpertama dituntaskan dengan indeks prestasi 4,00. Semester berikutnya yakni 3,96. Dengan begitu, untuk sementara indeks prestasi kumulatif (IPK)-nya 3,98, yaitu nyaris sempurna (unnes.ac.id, 26 Agustus 2011). Kisah berikutnya adalah mengenai seorang penjual mainan kayu, Asmah, yang berhasil menguliahkan kelima anak-anaknya. Asmah bersama suami tidak tamat SD. Mereka bekerja keras melawan tantangan hidup di ibu kota Jakarta guna dapat menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Kerja kerasnya menjual mainan kayu yang sederhana menuai hasil, sehingga akhirnya mereka mampu untuk menguliahkan kelima anaknya. Kini anak pertamanya sudah menjadi arsitek. Anak kedua menjadi perancang busana dan anak ketiga menjadi dosen di UNJ. Anak keempat sebentar lagi akan memperoleh gelar sarjana. Anak terakhir, yang masih kuliah di Universitas Pitaloka, baru-baru ini mendapat beasiswa ke Korea Selatan selama satu tahun (www.majalahsekar.com, 11 Mei 2011). Pemaparan di atas menggambarkan fenomena pencapaian prestasi akademis siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa di skala nasional. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan siswa keturunan Tionghoa yang mampu mencapai prestasi akademis yang lebih banyak daripada siswa Jawa.
8
Pada saat yang bersamaan, fenomena yang berbeda tampak pada pencapaian prestasi akademis siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa di kota Yogyakarta. Dari hasil penelurusan data nilai ujian nasional SMU/MA tahun 2010/2011 yang diambil dari Dinas Pendidikan kota Yogyakarta, ditemukan bahwa dari tujuh SMU yang memiliki konsentrasi siswa keturunan Tionghoa yang banyak, hanya ada dua SMU yang mampu masuk ke dalam daftar 20 SMU dengan nilai rerata ujian nasional tertinggi di kota Yogyakarta dan hanya ada lima SMU yang memiliki nilai rerata ujian nasional di atas nilai rerata ujian nasional kota Yogyakarta. Jumlah keseluruhan SMU/MA yang ada di kota Yogyakarta adalah sebanyak 53 SMU/MA. Berdasarkan wawancara peneliti dengan pihak Dinas Pendidikan kota Yogyakarta diketahui bahwa hasil seperti ini sudah berlangsung lama dan prestasi akademik SMU yang memiliki konsentrasi keturunan Tionghoa di kota Yogyakarta cenderung sama dari tahun ke tahun, tanpa ada perubahan yang berarti. Padahal di sisi lain, SMU negeri yang banyak terdapat siswa Jawa di kota Yogyakarta justru menempati rangking tertinggi dalam perolehan nilai rerata ujian nasional di Yogyakarta, dan hasil ini relatif sama dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan persoalan yang berbeda dengan fenomena prestasi akademis siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa pada skala nasional. Permasalahan muncul akibat dari penemuan yang tidak konsisten antara prestasi kedua kelompok ini di skala nasional dan prestasi mereka di wilayah kota Yogyakarta. Data di atas menunjukkan bahwa stereotipe siswa keturunan Tionghoa memiliki kecenderungan untuk memiliki motivasi berprestasi dalam bidang akademis yang lebih besar daripada warga Jawa, akan tetapi fenomena yang ditemukan di kota Yogyakarta tampaknya tidak
demikian.
Dengan
demikian,
penelitian
ini
mengajukan
sebuah
9
pertanyaan awal yaitu adakahperbedaan motivasi berprestasi akademik antara siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa? Motivasi berprestasi individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain oleh etnisitas individu. Hal ini memiliki pengertian bahwa terdapat perbedaan motivasi berprestasi siswa jika ditinjau dari latar belakang etnisitasnya. Sebuah penelitian dilakukan pada tiga kelompok etnis di Amerika Serikat.
Penelitian
tersebut
mengungkapkan
bahwa
terdapat
motivasi
berprestasi yang lebih tinggi pada kelompok Anglo-Amerika daripada kelompok Meksiko dan Afrika-Amerika (Ramirez & Price-Williams, 1976). Penelitian lainnya menemukan juga bahwa terdapat pengaruh yang signifikan etnisitas terhadap motivasi berprestasi akademik siswa Arab dan siswa Afrika-Amerika dengan siswa Eropa-Amerika. Ditemukan bahwa siswa etnis minoritas cenderung lebih termotivasi untuk berhasil secara akademik ketika mereka di sekolah dan memiliki konsep diri yang lebih tinggi daripada siswa EropaAmerika (Kovach, 2002). Penelitian serupa juga menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada keyakinan efikasi diri, motivasi berprestasi dan strategi belajar responden dari etnisitas yang berbeda pada mahasiswa strata satu di Malaysia (Yusuf, 2010). Dari berbagai penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan motivasi berprestasi siswa ditinjau dari etnisitasnya. Dengan demikian penelitian ini menduga bahwa terdapat perbedaan motivasi berprestasi akademik antara siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa. Faktor lain yang berpengaruh terhadap motivasi berprestasi adalah dukungan orangtua. Disebutkan bahwa perkembangan motivasi berprestasi ini mulai dibentuk pada tahapan kritis selama masa anak-anak awal (4-8 tahun).
10
Cassidy dan Lynn (1991) menggali bahwa lingkungan keluarga dapat memberi pengaruh pada motivasi dan keberhasilan atau prestasi (Halawah, 2006). Motivasi berprestasi ini dibentuk melalui interaksi anak dengan orang-orang terdekat beserta pengalaman mereka, di mana anak menghabiskan waktu yang cukup banyak pada tahapan perkembangan awal anak(Parker & Johnson, 1981). Anak-anak umumnya menghabiskan cukup banyak waktu orangtuanya. Ditemukan pula dalam berbagai penelitian bahwa faktor seperti kelekatan, otonomi dan dukungan orangtua (Wong, Wiest & Cusick, 2002) keterlibatan orangtua dalam sekolah anaknya (Maya, 2002; Paulson, 1996) dan tingkat pendidikan dan budaya orangtua (Carpenter dan Hayden, 1985; Hossler dan Stage, 1992) memiliki hubungan dengan motivasi berprestasi siswa (Baker, Kanan, dan Al-Misnad, 2008). Atkinson dan Feather menyebutkan bahwa orang tua yang berhasil, cenderung menyediakan latihan kemandirian sejak dini yang dibutuhkan dalam perkembangan motivasi berprestasi. Individu yang memiliki role model (sosok panutan) yang merupakan sosok pencapai keberhasilan yang tinggi dalam pengalaman awal kehidupannya akan mengembangkan kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi, sedangkan individu yang memiliki sosok panutan yang merupakan sosok pencapai keberhasilan yang rendah akan
lebih
susah
untuk
mengembangkan
motivasi
berprestasi
yang
tinggi(Muola, 2010).Orangtua umumnya merupakan sosok panutan terdekat anak. Oleh karena itu, anak yang memiliki orangtua yang merupakan sosok pencapai keberhasilan yang tinggi akan lebih mudah mengembangkan motivasi berprestasi yang tinggi.Dengan demikian, interaksi dengan keluarga, teman sebaya dan sekolah menjadi penting bagi pengembangan motivasi berprestasi
11
anak-anak hingga dewasa kelak (Parker & Johnson, 1981). Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh dukungan orangtua terhadap motivasi berprestasi akademik siswa. Oleh karena itu, penelitian ini turut menduga bahwa terdapat pengaruh dukungan orangtua terhadap motivasi berprestasi siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa. Selain faktor-faktor yang telah diuraikan di atas, terdapat pula faktor status sosial orangtua anak turut mempengaruhi motivasi berprestasi siswa. Penelitian yang dilakukan di Timur Tengah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kemiskinan dan pengangguran dengan kurangnya motivasi berprestasi (Tall, Owaidat, & Shraim, 1999; Kakavoulis, 1998). Temuan yang mirip juga diketahui pada penelitian di negara-negara barat oleh Davidson dan Schniedewind (2005), Nguyen (2006) dan Cassidy (2000). Muola (2010) menyebutkan bahwa anak-anak dengan ayah yang menempuh pendidikan tingkat tinggi dan memiliki pekerjaan berpenghasilan tinggi, umumnya memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. Selanjutnya disebutkan bahwa Heckhausen mengutip dari beberapa penelitian bahwa motivasi berprestasi meningkat sejalan dengan status sosialnya. Motivasi berprestasi tampak lebih tinggi dalam kelas sosial menengah daripada kelas sosial rendah (Muola, 2010). Dari penelitian-penelitian tersebut dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara status sosial orangtua dengan motivasi berprestasi siswa. Orangtua yang memiliki status sosial yang menengah-atas akan cenderung menerapkan pola asuh yang akan mendorong pengembangan motivasi berprestasi anaknya. Orangtua akan menerapkan pola asuh yang mendorong anak-anaknya untuk mencapai sebuah keberhasilan, sama seperti apa yang telah dicapai oleh orangtua tersebut. Dari pemaparan di atas, dapat
12
diketahui bahwa terdapat pengaruh status sosial orangtua siswa terhadap motivasi berprestasi siswa. Dari berbagai penemuan tersebut, penelitian ini turut ingin mengetahui apakah terdapat pengaruh status sosial orangtua terhadap motivasi berprestasi akademik siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa. Orang keturunan Tionghoa merupakan salah satu etnis yang telah memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Populasi orang keturunan Tionghoa adalah sebesar 1,45% dari keseluruhan total populasi Indonesia. Dengan data tersebut, dapat diketahui bahwa orang keturunan Tionghoa merupakan salah satu etnis minoritas di Indonesia (Suryadinata, dkk., 2003). Sebagai salah satu etnis minoritas di Indonesia, ternyata mereka mampu untuk menunjukkan eksistensinya sebagai etnis yang turut berperan banyak dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia.Tidak sedikit prestasi dan keberhasilan Indonesia yang didukung oleh peranan keturunan Tionghoa dalam berbagai bidang. Ada pula karakteristik psikologis yang khas pada kelompok ini.Ditinjau dari salah satu dimensi kebudayaan yang dikemukakan oleh Hofstede and Bond (1984) yang disebut confucian dynamism, menjelaskan bahwa budaya bergerak pada rentangan orientasi jangka pendek hingga orientasi jangka panjang. Dimensi ini meliputi nilai-nilai seperti thrift (penghematan), persistence (kegigihan), memiliki rasa malu, dan mengurutkan (jenjang) hubungan. Secara khusus, istilah confucian work dynamism merujuk kepada pengertian individu yang berdedikasi, bermotivasi, bertanggungjawab, dan berpendidikan dengan rasa komitmen pada identitas dan kesetiaan organisasional. Negara yang memiliki confucian work dynamism yang tinggi adalah Cina, Hong Kong,
13
Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan. Orientasi jangka panjang mendorong pada sifat penghematan, kegigihan dan kerelaan untuk merendahkan diri untuk mencapai sebuah tujuan. Orientasi jangka pendek menunjukkan ciri konsisten membelanjakan (harta) guna mempertahankan tekanan sosial, kurang melakukan penghematan, kecenderungan untuk ingin mendapatkan hasil yang cepat, dan mementingkan penampilan luar (Jandt, 2004). Dilihat dari penjelasan confucian dynamism, maka keturunan Tionghoayang hidup di Indonesia merupakan orang keturunan dari negara Cina yang memiliki nilai confucian dynamism yang tinggi. Karakteristik psikologis inilah yang mendorong orang keturunan Tionghoa untuk memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. Oleh karena itu, sebagai orang keturunan negara Republik Rakyat Cina yang memiliki nilai confucian dynamism yang tinggi tersebut, tidak sedikit orang keturunan Tionghoa Indonesia yang masih memegang nilai-nilai ini. Prestasi dan keberhasilan orang keturunan Tionghoa Indonesia dipandang mengagumkan, namun prestasi dan keberhasilan orang nonTionghoa lainnyakhususnya dalam hal ini adalah orang Jawa, tidak dapat diingkari. Hal ini sempat diutarakan oleh Sudarsono dalam wawancaranya yang menyebutkan bahwa masyarakat hanya memandang secara hitam dan putih, menganggap bahwa orang keturunan Tionghoa semuanya suka kerja keras dan sukses, akan tetapi tidak semua pribumi malas bekerja bahkan banyak juga diantara mereka yang sukses(tempo.co.id, 4 Juni 1997). Pernyatan Sudarsono tersebut telah dibuktikan oleh berbagai prestasi khususnya prestasi akademis yang telah dipaparkan sebelumnya. Orang Jawa merupakan warga pribumi Indonesia yang telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2000,
14
orang Jawa merupakan etnis mayoritas terbesar di Indonesia dengan persentase 30 persen dari populasi Indonesia. Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar jumlah anggotanyadi antara 500-an suku bangsa yang ada di Indonesia (Melalatoa, 1995). Menurut Wijayanti dan Nurwianti (2011), orang Jawa dicirikan memiliki lima kekuatan karakter utama yaitu berterima kasih, kebaikan, kependudukan, keadilan dan integritas. Berdasarkan kekuatan karakter dan keutamaan yang menonjol pada suku Jawa tersebut, dapat dikatakan bahwa suku Jawa ialah suku yang senang berkumpul dan hidup bermasyarakat dengan didasarkan pada sikap adil, gotong royong, dan saling berbagi. Selain itu dalam kehidupannya, suku Jawa banyak bersyukur atas apa yag telah diberi Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa segala sesuatu sudah menjadi takdir dari-Nya (Wijayanti & Nurwianti, 2011). Mulder (1973) menyatakan bahwa orang Jawa mempunyai sikap rila, sabar, narimo, andap asor (merendahkan diri) dan prasaja (bersahaja). Selaras dengan pernyataan tersebut Saksono dan Dwiyanto (2011) menyebutkan bahwa sikap-sikap orang Jawa seperti narimo ing pandum, iklas, alon-alon waton kelakon sepintas menunjukkan kelemahan orang Jawa, padahal menurut beberapa ahli nilai-nilai tersebut justru menunjukkan kekuatan batin orang Jawa dalam mengatasi tantangan hidupnya. Narimaini sebenarnya merupakan sikap hidup yang positif dan sama sekali bukan berarti tidak berusaha sebaikbaiknya. Penekanan konsep ini adalah tidak memaksakan sesuatu. Mereka tetap berusaha untuk maju dan berkembang (Darmaputra, 1992). Orang yang narima adalah orang yang dalam keadaan kecewa dan sulit tetapi dapat bereaksi secara rasional, tidak “ambruk” apabila sesuatu yang diinginkannya tidak tercapai. Narima menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak
15
dapat dielakkan dari usaha yang telah dilakukan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Sikap narimo memberi daya tahan untuk menanggung nasib yang buruk (Saksono & Dwiyanto, 2011).Sikap ikhlas (iklas) juga memiliki makna yang positif. Iklas dan rila pun harus dipahami sebagai keutamaan yang positif, bukan sebagai sikap menyerah dalam arti yang buruk, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan untuk melepaskan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Magnis-Suseno, 1991). Menurut Koentjaraningrat (1978), pada zaman dahulu orang Jawa yang tergolong priyayi berorientasi pada masa lampau, sedangkan yang tergolong petani berorientasi pada masa kini. Padahal menurut Hermans (1967) dan Heckhausen (1967), individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi berorientasi ke masa depan. Koentjaraningrat(1978) juga menyatakan bahwa kelompok Jawa priyayi maupun petani dalam segala hal menggantungkan diri pada nasib, sedangkan Weiner (1972) menyatakan bahwa orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi akan mengatribusikan sukses pada usaha. Mulder (1973) mengemukakan bahwa pada zaman dahulu pendidikan dalam keluarga Jawa tidak bermaksud untuk menghasilkan orang yang dapat berdiri sendiri akan tetapi bertujuan mendidik untuk menjadi orang yang sosial. Pada masa tahun 1990-an orang Jawa desa yang buta huruf dan hidupnya sangat miskin, pada umumnya menerima keadaan hidupnya sebagai rangkaian hidup yang penuh dengan kesengsaraan yang harus dijalankannya dengan tabah, pasrah dan menerima nasib. Sebaliknya dalam aktivitas yang berhubungan dengan produksi pertanian, kehidupan ekonomi, kehidupan sosial dan kehidupan keluarga, orang harus hidup secara aktif dan senantiasa
16
berusaha. Hal ini disebut ikhtiar (Koentjaraningrat, 1994). Seperti halnya orang desa, orang priyayi yang tinggal di kota juga senantiasa menekankan pada konsep “nasib” yaitu bahwa hidup adalah rangkaian kesengsaraan, tetapi juga mengakui arti dari ikhtiar manusia. Bagi orang priyayi, betapa pun beratnya dan sengasaranya ikhtiyar ini, orang wajib berusaha sebanyak mungkin untuk memperbaiki keadaannya (Koentjaraningrat, 1994). Kondisi orang Jawa kini mengalami beberapa perubahan. Nilai-nilai budaya yang berasal dari Eropa Barat, pemberontakan-pemberontakan yang bersifat politik, serta proses peralihan dari suatu peradaban agraris ke peradaban industri yang sedang berlangsung, telah merusak nilai-nilai budaya tradisional yang ada (Koentjaraningrat, 1994). Paham atau keyakinan orang Jawa bahwa hidup itu sudah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa itu rupanya mulai retak. Ada semacam pemberontakan untuk melawan nasib atau takdir (Saksono & Dwiyanto, 2011). Terdapat orang Jawa yang di satu pihak masih mengakui adanya nasib atau takdir, di pihak lain ia mulai bangkit untuk tidak sepenuhnya percaya pada nasib atau takdir yang menimpanya. Hal ini semisal banyak penduduk desa adalah migran-migran musiman yang tinggal di kota selama jangka waktu tertentu dalam setahun, memiliki sikap hidup yang lebih aktif sehingga mereka sudah tidak lagi menganggap bahwa usaha manusia itu tergantung pada nasibnya saja (Koentjaraningrat, 1994). Contoh lainnya adalah seperti ribuan buruh pabrik di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur yang mulai berani menuntut upah yang lebih baik (Saksono & Dwiyanto, 2011). Baik orang desa maupun orang kota saat ini sudah lebih banyak berorientasi pada keberhasilan karya mereka, dan merasakan kepuasan dan kebanggaan atas usaha mereka untuk mencapai
17
keberhasilan (Koentjaraningrat, 1994). Globalisasi dan neoliberalisme juga telah mempengarhui budaya Jawa masa kini. Pencarian rezeki tidak lagi ditunggu. Orang Jawa ramai-ramai memanfaatkan produk teknologi. Hampir setiap keluarga Jawa baik yang di pedesaan maupun di perkotaan tidak ada yang tidak memiliki sepeda motor, dengan alasan demi efisiensi waktu dan efektivitas hasil(Saksono & Dwiyanto, 2011). Transfer nilai dan falsafah Jawa ini kepada generasi muda (anak-anaknya) masih dilakukan dalam masyarakat Jawa saat ini. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa terdapat pergerseran nilainilai pada orang Jawa di masa dewasa sekarang ini. Satu sisi, masih ada golongan yang meyakini hidupnya sudah ditakdirkan, sedangkan di sisi lain tidak meyakini sepenuhnya sehingga mulai terlibat secara aktif
untuk
memperbaiki keadaannya (nasib). Pergeseran nilai di kalangan orang Jawa menyangkut motivasi berprestasi yang telah diuraikan di atas memang tidak dapat dipungkiri, akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Wijayanti dan Nurwianti (2011) belum lama ini menunjukkan bahwa kekuatan karakteristik orang Jawa saat ini yang paling menonjol adalah karakter berterima kasih yang berarti dalam kehidupannya, suku Jawa banyak bersyukur atas apa yag telah diberi Tuhan Yang maha Esa dan percaya bahwa segala sesuatu sudah menjadi takdir dari-Nya (Wijayanti & Nurwianti, 2011). Dari pemaparan di atas, maka penelitian ini menduga bahwa terdapat perbedaan motivasi berprestasi akademik pada siswa keturunan Tionghoa dan siswa warga Jawa. Jika dilihat dari status sosial orang keturunan Tionghoa,
umumnya
mereka berada pada status sosial yang di atas rata-rata orang Jawa. Meskipun data mengenai perbandingan status sosial orang keturunan Tionghoa dan
18
orang Jawa belum cukup memadai saat ini, akan tetapi asal-usul perbedaan status sosial diantara kedua kelompok ini dapat dilihat dari sejarah. Dilihat dari sejarah Indonesia pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah Belanda membedakan antar berbagai bangsa yang ada di Hindia Belanda itu waktu, setiap golongan diperbolehkan tinggal di daerah yang khusus bagi mereka. Di bawah ini adalah pembagian golongan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah zaman dulu bagi penduduk Hindia Belanda: 1. Kelompok orang Eropa, termasuk orang Indo-Belanda 2. Kelompok orang Timur Asing, di sini dimaksud orang-orang asing asal Asia seperti orang Tionghoa, orang Jepang, orang Arab, dan orang India. 3. Pribumi, atau kelompok inlander diantaranya terdapat warga Jawa. Ordonansi dari pemerintah mengenai ketiga kelompok tersebut di atas, membuat kelompok-kelompok ini tunduk kepada undang-undang yang berbeda-beda bagi kelompok-kelompok itu(librarything.com, tanpa tanggal). Pada golongan pertama merupakan golongan yang berkuasa dan memiliki status sosial-ekonomi yang paling baik pada masa itu. Golongan kedua diantaranya adalah orang-orang etnis Tionghoa dan keturunannya. Golongan ketiga adalah masyarakat pribumi. Golongan ketiga ini menempati posisi paling bawah, baik untuk kekuasaan dan status sosial ekonomi. Pemerintah Belanda memperlakukan golongan kedua sebagai minoritas perantara (middlemen minority), yaitu sebagai pelaku ekonomi dalam bidang distribusi atau perdagangan. Golongan yang diisi etnis Tionghoa ini ditugaskan untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat pribumi demi kepentingan
pemerintah
Belanda.
Sebagai
gantinya,
etnis
Tionghoa
memperoleh hak-hak khusus (privileges) dalam bidang perdagangan dan sosial
19
politik. Hak-hak khusus tersebut menyebabkan etnis Tionghoa berkesempatan memiliki status ekonomi yang relatif baik dan dipandang memiliki kelas sosial dan politik yang lebih tinggi dari pribumi (Kwartanada, 2004). Sebaliknya orang Jawa sebagai salah satu etnis pribumi mengalami dampak dari ordonisasi yang telah dilakukan sejak zaman pemerintahan Belanda. Sejak dulu orang Jawa dikategorikan sebagai golongan ketiga sehingga menempati posisi paling bawah, baik untuk kekuasaan dan status sosial ekonomi. Dampaknya adalah orang Jawa tidak memperoleh hak-hak khusus seperti orang keturunan Tionghoa. Hingga kini orang Jawa yang berpenghasilan rendah tidak sedikit sehingga mereka tergolong ke dalam status ekonomi yang lebih rendah daripada keturunan Tionghoa. Akibat dari penghasilan yang rendah tersebut, tidak sedikit orang Jawa yang tidak mampu mengenyam pendidikan yang tinggi sehingga status sosial mereka di masyarakat pun dipandang lebih rendah daripada keturunan Tionghoa.Dalam berbagai penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya menyebutkan bahwa motivasi berprestasi siswa dipengaruhi oleh status sosial orangtuanya. Dengan demikian penelitian ini menduga ada pula pengaruh status sosial terhadap motivasi berprestasi pada siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa. Merangkum semua temuan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh etnisitas, dukungan dan status sosial orangtua motivasi berprestasi akademik siswa. Dengan demikian, penelitian ini ingin mengetahui apakah terdapat peran etnisitas, dukungan dan status sosial orangtua terhadap motivasi berprestasi pada konteks siswa warga keturunan Tionghoa dan siswa warga Jawa di Yogyakarta?
20
Penelitian yang serupa dengan penelitian ini pernah dilakukan sebelumnya oleh Martaniah (1982). Martaniah meneliti mengenai motif sosial remaja Cina dan remaja Jawa di Yogyakarta. Martaniah (1982) menemukan bahwa rata-rata nilai prestasi remaja Jawa lebih rendah dibanding remaja Cina. Banyak kejadian bersejarah yang terjadi selama rentang waktu tahun 1982 saat dilakukannya penelitian Martaniah dengan saat ini, salah satunya adalah Tragedi Mei 1998 dimana banyak orang keturunan Tionghoa yang menjadi korban pembunuhan, pemerkosaan wanita serta penjarahan toko-toko milik mereka (Blackburn, 2009; Coomaraswamy, 1999; Jusuf, Timbul, Gultom, & Frishka, 2008). Identifikasi yang kuat terhadap kelompok etnis seseorang memiliki dampak terhadap motivasi, prestasi akademik, dan konsep diri akademiknya (Oyserman, Harrison & Bybee, 2001). Apabila seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai salah seorang anggota sebuah kelompok etnis, dapat memberi dampak negatif terutama jika itu berkaitan dengan stereotipe yang negatif (Steele & Aronson, 1995), atau dapat memiliki dampak yang positif jika itu berkaitan dengan stereotipe yang positif.Disebutkan bahwa identitas etnis minoritas dapat memberikan resiko pada penurunan keterlibatan akademik individu karena dipengaruhi oleh status negatif dari kelompok rasial mereka dalam masyarakat (Aronson, 2002; Fordham & Ogbu, 1986). Pasca terjadinya tragedi Mei 1998, masyarakat keturunan Tionghoa Indonesia hidup di tengah-tengah stereotipe yang positif dan juga negatif. Stereotipe positif mengenai mereka adalah bahwa orang keturunan Tionghoa adalah orang-orang yang ulet, pekerja keras, gigih, banyak meraih keberhasilan dan banyak yang bergelut di bidang bisnis dan perdagangan(beritabatavia.com, 15 November 2011). Masyarakat Tionghoa dikenal sudah akrab dengan tradisi
21
kerja keras, ulet, gigih, hidup sederhana, hemat, dan tidak neka-neka (suaramerdeka.com, 18 Februari 2007). Terdapat pula stereotipe negatif mereka antara lain adalah bahwa masyarakat keturunan Tionghoa tidak nasionalis, eksklusif dan materialistis. Prestasi orang keturunan Tionghoa yang disiarkan di berbagai media semakin memperkuat pembentukan stereotipe orang keturunan Tionghoasebagai orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi daripada etnisitas lainnya dalam hal ini termasuk orang Jawa. Padahal disebutkan bahwa identitas etnis minoritas dapat memberikan resiko pada penurunan keterlibatan akademik individu karena dipengaruhi oleh status negatif dari kelompok rasial mereka dalam masyarakat (Aronson, 2002; Fordham & Ogbu, 1986). Berlainan dengan masyarakat Tionghoa, masyarakat Jawa adalah etnis mayoritas di Indonesia yang hidup dengan stereotipe sebagai kelas sosial menengah bawahseperti yang dikemukakan Willmot (Sunarto, 2000). Orang keturunan Tionghoa memandang pribumi sebagai orang-orang memiliki kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dari mereka. Kesenjangan ekonomi antara keturunan Tionghoa dan pribumi terlihat juga dalam Keppres no.14A tahun 1980 yang terdapat sebutan bahwa kaum pribumi adalah golongan ekonomi lemah
dan
orang
Tionghoa
Indonesia
adalah
golongan
ekonomi
kuat(Suryadinata, 1988). Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai orang yang ikhlas menerima takdir, akan tetapi orang Jawa kurang dikenal dengan sifatsifat yang menyangkut kegigihan untuk berprestasi. Penelitian
ini
dipandang
dapat
memperkaya
wacana
psikologi
pendidikan dalam tema motivasi berprestasi dengan menyertakan etnisitas, dukungan dan status sosial orang tua sebagai salah satu faktor yang
22
berhubungan dengan motivasi berprestasi akademik siswa. Penelitian ini akan dilakukan dalam konteks yang berbeda, yaitu dalam konteks siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa. Selama ini perbandingan prestasi atau keberhasilan akademik yang dicapai oleh siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa banyak menjadi perhatian masyarakat, bahkan sudah menjadi stereotipe yang umum di masyarakt bahwa siswa keturunan Tionghoa lebih banyak memiliki motivasi berprestasi akademik daripada siswa Jawa dilihat dari banyaknya prestasi ataupun keberhasilan yang mereka capai. Penelitian seputar kedua kelompok etnisitas ini yang melibatkan konteks sosial memang belum banyak diteliti. Masyarakat masih meyakini stereotipe ini dan memiliki sikap ‘taken for granted’ atau ‘leave it as it is’ tanpa melakukan penelitian empiris guna mendapatkan scientific proof. Dengan demikian, penelitian ini adalah upaya untuk membuktikan secara ilmiah apakah terdapat peran etnisitas, dukungan dan status sosial orangtua terhadap motivasi berprestasi akademik siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa. Penelitian ini dipandang perlu untuk dilakukan mengingat bahwa masih terbatasnya penelitian motivasi berprestasi akademik yang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek status sosial dan kultural individu pada siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa di masa dewasa ini. Hal ini diperkuat dengan perhatian mengenai hal yang sama dimana Maehr memandang bahwa teori-teori motivasi secara primer didasarkan dari pandangan dominan laki-laki kulit putih di Amerika. Sebagai tandingan, Maehr and Nicholls
(1980)
menawarkan konsep-konsep motivasi berprestasi yang turut menyertakan variasi sosio-kultural dalam mempelajari tujuan keberhasilan serta upaya seseorang untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut (Fontayne, Sarazin &
23
Famouse, 2001). Meskipun penelitian ini tidak bertujuan untuk membangun konsep yang baru tentang motivasi berprestasi, tapi penelitian ini hendak meneliti motivasi berprestasi akademik yang turut menyertakan faktor-faktor sosio-kultura.Penelitian ini menjadi penting untuk diteliti karena pengetahuan individu dapat didapat dari mana saja. Pengetahuan tersebut dapat berupa sesuatu yang bersifat ilmiah dan non-ilmiah. Salah satu pengetahuan yang bersifat non-ilmiah adalah mitos dan stereotipe. Apabila pengetahuan yang non-ilmiah (belum ada pembuktian) ini diyakini, maka akan terinternalisasi menjadi belief atau nilai-nilai yang diyakini individu. Akhirnya, perilaku individu akan didorong oleh persepsi mereka terhadap lingkungannya serta nilai-nilai yang diyakininya. Penelitian Martaniah (1982) dan penelitian ini terpisah oleh waktu yang panjang dengan perubahan sosial yang cukup signifikan. Dengan demikian dimungkinkan terjadi banyak perubahan psikologis individu, sehingga perlu dilakukan penelitian yang serupa dengan penelitian Martaniah (1982) tersebut, dengan memperhatikan variabel-variabel lainnya. Dengan demikian peneliti tertarik untuk meneliti peran etnisitas, dukungan serta status sosial orangtua terhadap
motivasi berprestasi
siswaketurunan Tionghoa dan siswa Jawa.
B. Rumusan Permasalahan Dari uraian di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah apakah terdapat peran etnisitas, dukungan dan status sosial orangtua terhadap motivasi berprestasi akademikpada siswa keturunan Tionghoadan siswa Jawa di Yogyakarta?
24
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji empirik peran etnisitas, dukungan dan status sosial orangtua terhadap motivasi berprestasi akademik siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa. Hal ini memiliki pengertian bahwa penelitian ini ingin mengetahui: 1. Adakah pengaruh etnisitas, dukungan dan status sosial orangtua secara bersama-sama terhadap motivasi berprestasi siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa? 2. Adakah pengaruh etnisitas terhadap motivasi berprestasi akademik pada siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa? 3. Adakah pengaruh dukungan orangtua terhadap motivasi berprestasi akademik pada siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa? 4. Adakah pengaruh status sosial orangtua terhadap motivasi berprestasi akademik pada siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa?
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoritis yaitu dapat memperkaya khazanah penelitian psikologi dalam tema motivasi berprestasi akademik yang melibatkan variabel-variabel sosio-kultural. Selain itu manfaat praktisnya adalah guna mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang berperan terhadap motivasi berprestasi akademik pada siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa sehingga dari masing-masing kelompok dapat belajar dari nilai-nilai budaya etnisitas demi keberhasilannya.
25
E. Keaslian Penelitian Berbagai penelitian mengenai motivasi berprestasi, dukungan orang tua dan kaitannya status sosial yang mempengaruhinya sudah banyak dilakukan. Penelitian serupa dengan penelitian ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, antara lain: a. Penelitian Priyono (2003) dengan judul “Studi Komparasi tentang Konsep Diri, Motivasi Berprestasi, dan Perilaku Belajar pada Siswa yang Dikelompokkan”. Teori motivasi berprestasi yang digunakan dalam penelitian ini mendasarkan pada teori motivasi berprestasi Rohwer, Rohwer, dan Howe (1980). Meskipun penelitian ini sama-sama merupakan studi komparasi, akan tetapi studi komparasi dilakukan pada kelompok siswa yang dikelompokkan berdasarkan prestasi belajarnya. Selanjutnya, subyek penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VI SD di Semarang. Pada penelitian yang akan dilakukan saat ini memiliki beberapa perbedaan. Pertama, penggunaan teori motivasi berprestasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori motivasi berprestasi dari Eccles dan Wigfield (1995). Kedua, meskipun pemilihan subyek dalam penelitian Priyono (2003) dan penelitian yang akan dilakukan ini sama-sama menggunakan purposive sampling, akan tetapi subyek yang digunakan dalam penelitian Priyono (2003) adalah siswa-siswi SD, sedangkan subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMU. Selain itu, variable lain yang terkait dalam penelitian Priyono dan penelitian ini berbeda. b. Penelitian Davis (2007) dengan judul “Hubungan Antara Persepsi Terhadap Dukungan Sosial Keluarga dengan Motivasi Berprestasi Siswa SMU di Kabupaten Kutai Barat-Kalimantan Timur”. Teori motivasi berprestasi
26
penelitian ini mendasarkan pada teori motivasi berprestasi milik McClelland (1987) dan dilakukan terhadap siswa-siswi SMU di Kutai Barat yang berusia 15-18 tahun dan dipilih secara random sampling. Selain itu teori dukungan sosial keluarga penelitian ini mendasarkan pada teori Johnson dan Johnson (dalam Fitri, 2000) dengan penekanan pada dukungan keluarga secara luas (ayah, ibu, adik, dan kakak). Pada penelitian yang akan dilakukan saat ini memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian Victoria Stella Davis, akan tetapi perbedaannya tampak pada beberapa hal. Pertama, penggunaan teori motivasi berprestasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori motivasi berprestasi dari Eccles dan Wigfield (1995). Kedua, teori dukungan sosial orangtua yang akan digunakan dalam penelitian ini mendasarkan pada teori dukungan sosial Smet (1994) dimana penekanan penelitian ini akan menekankan pada dukungan sosial orangtua saja. Ketiga, meski subyek dalam penelitian Victoria (2007) dan penelitian yang akan dilakukan ini sama-sama mengambil kisaran usia 15-18 tahun, akan tetapi pemilihan subyek yang akan dilakukan dalam penelitian ini mengguankan purposive sampling
mengingat
bahwa
subyek
akan
dipilih
secara
sengaja
berdasarkan kriteria khusus berdasarkan latar belakang etnisitasnya, yaitu subyek keturunan Tionghoa dan siswa Jawa. c. Penelitian Merlyana (1996) dengan judul “Hubungan Antara Dukungan Sosial, Kepercayaan diri dan Motif Berprestasi dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II SMU Trinitas Bandung”. Teori motivasi berprestasi dalam penelitian ini mendasarkan pada teori Atkinson, dan dari teori ini dibuatlah skala motivasi berprestasi yang disebut Mehrabian Measures Achievement. Dari skala ini dimodifikasi oleh Prihastuti (1994) yang
27
dijadikan sebagai alat ukur penelitian ini. Teori dukungan sosial didasarkan pada teori House dan Kahn (1985). Subyek penelitian ini adalah subyek dengan rentang usia 16-18 tahun yang diambil secara random sampling. Penelitian yang akan dilakukan ini berbeda dengan penelitian Merlyana berdasarkan pada perbedaan penggunaan dasar teori motivasi berprestasi Eccles dan Wigfield (1995), teori dukungan sosial orangtrua dari Smet (1994), pengambilan sampel secara khusus dengan purposive sampling, serta variabel lain yang akan diteliti dalam penelitian ini berbeda dengan variabel yang digunakan dalam penelitian ini. d. Penelitian Suhaili (2007) dengan judul “Hubungan Dukungan Sosial Orangtua dan Motivasi Belajar Siswa dengan Prestasi Bahasa Inggris Siswa SMKN I Godean Sleman. Teori dukungan sosial yang diguanakan dalam peneltian ini mendasarkan pada teori dukungan sosial Johnson dan Johnson (1991). Subyek penelitian ini adalah siswa-siswi SMKN I Godean, berusia 16-18 tahun yang diambil secara simple random sampling. e. Penelitian Martaniah (1992) dengan judul “Motif Sosial Remaja Jawa dan Keturunan Cina: Statu Studi Perbandingan”. Penelitian ini dilakukan pada subyek remaja Tionghoa dan Jawa dengan menggunakan teori McClelland sebagai dasar teori motivasi berprestasi. Meskipun penelitian ini memiliki banyak kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan, akan tetapi penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan teori motivasi berprestasi dari Eccles dan Wigfield (1995). Selain itu, penelitian Martaniah tersebut telah dilakukan pada tahun 1992dan dirasa penting untuk meneliti kembali motivasi berprestasi warga Tionghoa dan warga Jawa di masa dewasa ini
28
karena selama kurun waktu 27 tahun ini dimungkinkan terdapat beberapa perubahan yang terjadi pada remaja WNI Tionghoa dan warga Jawa. f.
Penelitian Wandansari (2004) dengan judul “Peran Dukungan Orangtua dan Guru terhadap Penyesuaian Sosial Anak Berbakat Intelektual”. Penelitian ini dilakukannya terhadap 12 anak berbakat intelektual usial sekolah dasar yaitu usia 6-11 tahun. Dari penelitian ini didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi signifikan antara tingkat dukungan orang tua dan tingkat penyesuaian sosial anak berbakat intelektual, dan tidak terdapat korelasi signifikan antara dukungan guru dan tingkat penyesuaian sosial anak berbakat intelektual.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti di atas adalah pada teori utama yang digunakan untuk mengungkapkan motivasi berprestasi, dukungan orangtua serta status sosial orangtua. Selain itu, penelitian di atas sebagian besar dilakukan terhadap subyek dari berbagai macam latarbelakang sosial dan etnisitas, sedangkan penelitian ini mengkhususkan subyeknya hanya pada siswa keturunan Tionghoa dan siswa Jawa.