BAB I BUDAYA POLITIK DI INDONESIA Standar Kompetensi : 1. Menganalisis budaya politik di Indonesia Kompetensi Dasar : 1.2.
Menganalisis type-type budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia
B. Tipe – Tipe Budaya Politik Almond dan Sidney Verba mengidentifikasi tiga tipe budaya politik, yaitu parochial, subyek / kaula, dan partisipan. Perhatikanlah deskripsi budaya politik berikut ini, selanjutnya jawablah pertanyaan di bawahnya ! Budaya Politik Jawa Budaya politik Jawa dipengaruhi etika “kawulo gusti” yang dibangun semenjak zaman kerajaan. Orang Jawa dikenal tabah dan ulet. Dalam hubungan satu lain mereka terhubung melalui pola bahasa “kromo inggil.” Pola hubungan inilah yang menciptakan keharmonisan dan kerukunan hidup masyarakat Jawa. Berbagai falsafah berkembang dan dilaksanakan secara konsisten. Seperti dalam menghadapi tantangan hidup mereka menerapkan falsafah “nrimo ing pandum” (menerima dengan pasrah). Dalam meniadakan kesombongan, mereka memakai istilah “ojo dumeh” (jangan mentang – mentang). Dalam menghormati orang yang dituakan dan mengangkat jasa – jasanya untuk dicontoh dan membenamkan dalam-dalam kekeliruan para tokoh tersebut supaya tidak terulang mereka menggunakan istilah”mikul duwur mendhem jero”. Sementara itu, untuk meningkatkan kebersamaan dan kekeluargaan dikenal istilah ”mangan ora mangan waton kumpul” (makan atau tidak makan asal bersatu). Dalam hal pekerjaan agar dilaksanakan dengan benar dan teliti dikenal istilan “alon – alon waton klakon.” Untuk merendahkan diri dan mengurangi kesewenang-wenangan, walaupun terhadap bawahan dikenal istilah “ngono yo ngono ning ojo ngono”. Ini sejalan dengan tata karma dalam menyampaikan kritik sekalipun terhadap pihak yang kalah, masyarakat Jawa menerapkan istilah ”ngluruk tanpa bolo, digdaya tanpa aji, menang tanpa ngasorake.” Oleh karena itu, dalam politik orang Jawa relativ merendah dibanding suku – suku lain di Indonesia. Ini terlihat dari bagaimana mereka menyelipkan keris. Apabila orang Bugis, Makasar, Minangkabau, Banjarmasin, dan Aceh menyelipkan senjata di depan (perut) sehingga mudah dilihat, maka orang Jawa menyimpan kerisnya di belakang punggung agar tidak tampak mengancam. Itulah sebabnya dalam politik orang Jawa lebih suka berkelahi di belakang daripada berhadap – hadapan. (Inu Kencana S, 2004 : 61)
Analisa Kasus IV 1. Menurut deskripsi budaya politik di atas, bagaimanakah kesadaran politik orang Jawa ? …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………… 2. Apakah yang menjadi landasan sikap orang Jawa dalam berpolitik ? …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………... 3. Bagaimanakah orang Jawa mengembangkan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya, sebagaimana terungkap dalam deskripsi budaya politik di atas ? …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………... 4. Apakah orang Jawa menyampaikan kritik terhadap tokoh politik atau sesama warganegara, identifikasilah bagaimana cara mereka menyampaikan kritik, jelaskan alasanmu ? …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………... Sekarang cermatilah materi mengenai tipe-tipe budaya politik di bawah ini ! Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada beberapa negara Almond dan Verba menyimpulkan tipe dan ciri budaya politik sebagai berikut : 1. Budaya politik parochial, yang berciri : a. Tidak memiliki orientasi atau pandangan sama sekali (nol), baik sikap (afektif), pengetahuan ( kognitif) maupun penilaian (evaluatif) dan tidak memiliki harapan terhadap sistem politik.
b. Masyarakat bersikap acuh tak acuh terhadap obyek politik, tetapi tetap peduli terhadap nilai-nilai primordial seperti adat istiadat, etnis dan agama. c. Obyek politik yang paling utama adalah pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik ,contohnya pemilihan Kepala Desa, Pilkada, Pemilu DPR/DPD/DPRD dan Pilpres Budaya budaya politik parochial umumnya terbatas pada suatu wilayah yang sempit, ada pada masyarakat tradisional dan sederhana dimana belum berkembang spesialisasi. Tokoh melaksanakan peran ganda, sebagai tokoh politik, ekonomi, agama dan lain – lain serta tidak ada peranan politik yang bersifat khas berdiri sendiri. Masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek politik yang luas kecuali daerahnya sendiri, tidak menyadari dan mengabaikan adanya pemerintahan atau politik. Mereka tinggal di daerah terpencil dan bermata pencaharian petani, buruh yang bekerja di perkebunan dimana kontak dengan sistem politik kecil. 2. Budaya politik subyek, yang berciri : a. Memiliki orientasi terhadap output atau pelaksanaan kebijakan publik yang sangat tinggi, tetapi orientasi terhadap input dan diri sendiri sebagai aktor politik sangat rendah. b. Peran politik masyarakat bersifat pasif. c. Masyarakat menyadari otoritas pemerintah, sehingga hanya melahirkan kepatuhan dan ketaatan tanpa disertai sikap kritis 3. Budaya politik partisipan, yang berciri : a. Masyarakat memiki orientasi terhadap seluruh obyek politik, baik input maupun output, dan terhadap diri sendiri sebagai aktor politik. b. Memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa dirinya sebagai aktor politik mampu mempengaruhi kehidupan politik bangsa dan negaranya. c. Aktif rasional, berperan aktif dalam proses politik tetapi juga tunduk pada hukum dan kewenangan pemerintah Dalam kenyataannya tidak satupun negara yang memiliki budaya politik murni salah satu dari tiga tipe di atas. Menurut Muhtar Masoed dan Colin MacAndrews ada 3 model kebudayaan politik berdasarkan proporsi ketiga tipe budaya politik sebagaimana disebutkan Almond dan Sidney Verba, yaitu model: a. Masyarakat demokratis industrial yang terdiri dari aktivis politik. Jumlah partisipan mencapai 40 s/d 60%, subyek 30% dan parochial 10%. Mereka kritis melindungi kepentingan khusus mereka. b. Sistem politik otoriter dimana sebagian besar rakyat sebagai subyek yang pasif, tunduk pada hukumnya tapi tidak melibatkan diri dalam urusan politik dan pemerintahan. Sebagian lagi berbudaya partisipan (seperti mahasiswa, kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah) dan parochial (seperti petani dan buruh yang hidup didaerah perkebunan). c. System demokratis pra–industrial, sebagian masyarakat berbudaua politik parochial, Hidup di desa dan buta huruf. Pengetahuan dan keterlibatan dalam politik sangat sedikit. Jumlah partisipan sangat kecil, biasanya dari kaum profesional terpelajar, pengusaha, dan tuan tanah. Demikian pula jumlah budaya politik subyek sangat kecil.
Dengan demikian selain 3 jenis budaya politik di atas. Ada variasi diantara ketiga tipe tersebut yaitu budaya politik: 1. Subyek - parochial Budaya politik yang sebagian besar warganya telah menolak tuntutan masyarakat feodal atau kesukuan. Telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih komplek dengan stuktur pemerintah pusat yang bersifat khusus. Cenderung menganut sistem pemerintahan sentralisasi. 2. Subyek – partisipan Sebagian besar masyarakatnya telah mempunyai orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara sebagian kecil lainnya terus berorientasi kearah struktur pemerintahan yang otoriter dan secara relatif mempunyai serangkaian orientasi pribadi yang pasif. 3. Parochial – partisipan Berlaku di negara-negara berkembang yang masyarakatnya menganut budaya dalam stuktur politik parokial. Tetapi untuk keselarasan diperkenalkan norma-norma yang bersifat partisipan. 4. Kewarganegaraan Merupakan budaya politik ideal, yaitu kombinasi yang seimbang atau proporsional antara karakteristik aktif rasional (tidak emosional), memiliki informasi yang cukup mengenai politik, loyalitas, kepercayaan, dan kepatuhan terhadap pemerintah, kepercayaan sesama warga negara dan keterikatan pada keluarga, suku, dan agama (Cholisin).
Analisa Kasus V Jawaban kalian pada pertanyaan nomor 1 sampai dengan 4 pada kasus budaya politik Jawa di atas pasti mempermudah pemahaman kalian mengenai tipe – tipe budaya politik. Setelah mencermati materi mengenai ciri – ciri tipe budaya politik di atas, simpulkanlah tipe budaya politik Jawa, ungkapkan dengan jelas alasanmu ! ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………..… …………………………………...………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… A. Budaya Politik di Indonesia Rusadi Sumintapura menyimpulkan Indonesia menganut budaya politik yang bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di pihak lain. Selain itu sikap ikatan primodalisme dan paternalisme masih mengakar kuat. Pendapat lain menyatakan bahwa di Indonesia berkembang budaya politik elit , terdiri dari kaum pelajar yang berpengaruh dan lebih berperan dalam pemerintahan, dan budaya politik massa yang kurang memahami politik sehingga mudah terbawa arus. Clifford Geertz, seorang antropolog dari Amerika Serikat, membagi budaya politik masyarakat Indonesia menjadi tiga, yaitu: a. Budaya politik abangan ditunjukkan oleh golongan petani kecil b. Bdaya politik santri yang ditunjukkan pemeluk agama Islam yang taat, dan c. Budaya politik priyayi yaitu golongan yang terdiri dari kaum terpelajar dan golongan atas dan penduduk kota terutama para pegawai. Hampir senada Herbert Feith, seorang Indonesianis dari Australia, menyatakan bahwa selain budaya politik nasional, di Indonesia berkembang sub budaya politik yang dominan yaitu budaya politik aristocrat jawa dan wiraswastawan Islam dibanding sub budaya politik yang lain. Affan Gaffar, menyatakan bahwa pola budaya politik Indonesia sangat didominasi kelompok etnis yang dominan, yaitu Jawa. Budaya etnis Jawa sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elit politik Indonesia. Menurutnya, ada tiga ciri dominan yang terdapat dalam budaya politik Indonesia, yaitu : 1. Hirarki yang ketat/tegas Sebagian besar masyarakat di Indonesia, terutama masyarakat Jawa pada dasarnya bersifat hirarkis. Hal ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat biasa. Penguasa dicitrakan sebagai kelompok yang pemurah, baik hati dan pelindung, sedangkan rakyat berada pada posisi harus patuh, tunduk, setia dan taat pada penguasa. 2. Kecenderungan Patronage Yaitu pola hubungan patron-client yang saling berinteraksi dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Sumber daya yang dimiliki oleh Patron biasanya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan materi; sedangkan Client memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan dan kesetiaan. Pola hubungan ini oleh Yahya Muhaimin disebut sebagai pola Bapakisme (bapak-anak). Bapak (patron) sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material bahkan spiritual serta emosional anak, sebaliknya para anak (client) dijadikan tulang punggung yang setia dan penuh pengabdian. 3. Kecenderungan Neo-patrimonialistik Meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasional, misalnya birokrasi, tetapi perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial yaitu berada dibawah kontrol langsung pimpinan negara.
Analisa Materi I 1. Identifikasilah tipe – tipe budaya politik di Indonesia !
2. Perhatikan masyarakat di sekitar kalian, benarkah sub budaya politik sebagaimana diungkap para ahli itu ada pada masyarakat sekitarmu ! Cermatilah sikap dan perilaku mereka, deskripsikanlah ciri – ciri mereka !
3. Cermatilah apakah dampak masing – masing budaya politik yang mereka tampilkan itu terhadap sistem politik (Indonesia), jelaskan pendapatmu !