Bab 9
Mandiri dengan Lol Buatan Sendiri Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
125
K
etika krisis ekonomi menerjang Indonesia pada tahun 1997, ditandai dengan hancurnya nilai tukar rupiah terhadap US$, dari semula sekitar Rp 2.800/US$ menjadi di atas Rp 15.000/US$, muncul wacana untuk meminta bantuan kepada Dana Moneter International (IMF). Tujuannya tak lain untuk membantu stabilitas rupiah yang setiap hari terus tergerus nilainya terhadap valuta asing.
Koleksi Pribadi
Rizal Ramli bersama Robert E. Rubin, Mentri Keuangan Amerika era Presiden Clinton.
126
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Ketika itu, mayoritas ekonom Indonesia, terutama yang menjadi pejabat pada masa Orde Baru dan kalangan akademik yang terkait dengan ekonom Orde Baru, sangat pro dengan kedatangan IMF. Bahkan banyak dari mereka yang mendewa-dewakan kehebatan IMF. Tokoh ekonom yang menjadi darling IMF adalah Widjojo Nitisastro, yang memberi nasihat kepada Presiden Soeharto agar mengundang IMF untuk menyelesaikan krisis moneter di Indonesia. Di belakang Widjojo berderet ekonom Mafia Berkeley, termasuk beberapa ekonom muda yang aktif mengajar di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia – ketika itu statusnya masih “pengamat ekonomi”. Salah satu ekonom yang sangat kritis terhadap peranan IMF adalah Rizal Ramli. Maklum, dia banyak mempelajari pengalaman kegagalan program IMF di banyak negara seperti Amerika Latin, Afrika dan Philipina. Menurut Rizal Ramli: “IMF hanya sukses di negara-negara dalam tahap awal pembangunan ekonomi, seperti Indonesia pada tahun 1960-an atau negaranegara yang skala ekonominya kecil. Pada kasus negara-negara yang pembagunan ekonominya sudah pada tahap lanjut dan skala ekonominya besar, seperti Meksiko, Brazil, Argentina, keterlibatan IMF justru semakin memperburuk kondisi ekonomi negara yang bersangkutan dan semakin menjerumuskan mereka ke dalam perangkap utang (debt trap)”. Pada 7 Oktober 1997, Rizal Ramli diundang untuk menghadiri pertemuan dan diskusi terbatas dengan Managing Director IMF Michel Camdessus. Camdessus ingin mendapatkan masukan tentang rencana keterlibatan IMF dalam penanganan krisis moneter Indonesia. Setelah pertemuan di Hotel Borobudur tersebut, Michel Camdessus langsung bertemu Presiden Soeharto di istana. Keesokan harinya, 8 Oktober 1997, Rizal Ramli menulis Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
127
artikel yang menolak program IMF di Indonesia, yang dimuat banyak media massa (lihat box Neokolonialisme Baru?). Namun keberatan Rizal Ramli itu diabaikan. Pemerintah, yang diwakili Menteri Keuangan Marie Muhammad dan Gubernur BI Sudradjad Djiwandono tetap menandatangani Letter of Intent (LoI) yang pertama dengan IMF. Bahkan atas saran Mafia Berkeley yang dipimpin Widjojo, pada bulan Januari 1998 Presiden Soeharto menandatangani sendiri letter of intent (LoI), disaksikan Managing Director IMF, Michel Camdessus (lihat foto halaman 119). Padahal penandatangan perjanjian dengan IMF oleh Presiden nyaris tidak pernah terjadi, karena biasanya yang tanda tangan cukup Menteri Keuangan dan/atau Gubernur Bank Sentral. Tetapi Mafia Berkeley sengaja membujuk agar Presiden Soeharto yang menandatangani agar mereka di kemudian hari bisa “cuci tangan”. Seperti terlihat dalam Box Neokolonialisme Baru?, Rizal Ramli pun segera menuliskan gugatannya di media massa, yang kemudian dikutip secara luas oleh media cetak di Indonesia. Ketika itu, Rizal Ramli mengungkapkan bahwa mengundang IMF justru akan menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis yang lebih dalam. Rizal tegas menyatakan: IMF bukan “Dewa Penolong” melainkan “Dewa Amputasi”. Selain gagal menyembuhkan penyakit, dokter yang diminta tolong juga melakukan berbagai amputasi yang tidak perlu dan membebankan biaya kegagalannya kepada sang pasien. IMF telah memberikan “obat” yang salah, sehingga membuat perekonomian Indonesia makin terpuruk. Dampak dan tahapan kehancuran ekonomi Indonesia akibat keterlibatan IMF mulai terjadi pada tanggal 8 Oktober 1997, yaitu ketika Indonesia masih dalam tahapan sangat awal dari krisis moneter. Sangat menyedihkan bahwa tahap-tahap berbahaya seperti yang diperingatkan oleh Rizal Ramli tersebut hampir seluruhnya betul-betul terjadi. 128
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
129
Rizal Ramli bersama Stanley Fischer Deputy Managing Director IMF, dan DR. Anwar Nasution, Deputy Gubernur Bank Indonesia. Keterlibatan IMF justru membuat krisis ekonomi di Indonesia semakin parah dan mendalam. Akibat salah diagnosis dan salah obat, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1998 minus 12,8 persen. “Memang tanpa keterlibatan IMF, krisis ekonomi akan tetap terjadi. Tapi, namun skalanya relatif lebih kecil (pertumbuhan ekonomi antara minus 2% sampai 0%) pada tahun 1998.,” kata Rizal Ramli. Rizal Ramli juga menilai kebijakan yang disarankan IMF kepada Indonesia malah kerap menjerumuskan Indonesia ke krisis yang lebih parah, seperti kasus likuidasi 16 bank pada bulan Oktober 1997, yang memicu rush terhadap puluhan bank besar Indonesia seperti BCA, Danamon, dll, membuat kolaps sistem perbankan nasional, dan kian menenggelamkan nilai tukar rupiah. 130
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Biaya sosial ekonomis dari krisis tersebut adalah kerusuhan sosial Mei 1998 (IMF-provoked riots). Dalam banyak kasus keterlibatan IMF di Amerika Latin dan Afrika, saran-saran IMF sering memicu demonstrasi besar-besaran, kerusuhan massal yang memakan korban jiwa, dan kejatuhan pemerintahan. Di samping itu, dalam kasus Indonesia, keterlibatan IMF meningkatkan puluhan juta pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta, biaya rekapitalisasi bank lebih dari Rp 600 triliun, serta tambahan beban utang puluhan miliar dolar yang masih terasa hingga saat ini. IMF juga memicu kerusuhan sosial melalui saran yang diberikan. Atas saran IMF, untuk memangkas subsidi BBM dan listrik, pemerintah menaikkan harga BBM pada tanggal 4 Mei 1998. Selang sehari kemudian, ribuan mahasiwa di Makassar turun ke jalan dan terjadi bakar-bakaran untuk memprotes kenaikan harga BBM. Pada hari berikutnya, aksi tersebut meluas ke Medan, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan puncaknya berakhir di Jakarta 12 Mei 1998. Akibat saran IMF tersebut, ratusan orang meninggal di seluruh Indonesia, ribuan luka-luka, ratusan gedung dan ribuan kendaraan hancur dan terbakar. Inilah contoh kesekian kalinya di negara berkembang, dimana terjadi kerusuhan sosial akibat saran IMF (IMF provoked riots). Sebenarnya, beberapa hari sebelum pemerintah menaikkan harga BBM, Rizal Ramli bersama dua ekonom lainnya diundang Direktur Asia Pasifik IMF, Hubert Neiss, ke kamar hotelnya di Grand Hyatt. Neiss menanyakan sikap ketiga ekonom itu terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM sekitar 30%. Rizal Ramli tercenung. Dalam kondisi politik yang kian memanas, rencana Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
131
kenaikan harga BBM hanya akan semakin mengobarkan amarah rakyat. “Sebagai ekonom, saya dapat memahami semua argumen kenapa harga BBM harus dinaikkan. Tapi, dalam situasi politik yang mulai panas, timing menaikkan harga BBM itu tidak tepat. Rakyat sudah sangat tertekan. Bisa muncul kerusuhan,” kata Rizal Ramli. “Anda terlalu berlebihan menilai kondisi politik di Indonesia, Mr. Ramli,” kata Hubert Neiss. Ia memaparkan, selama di Indonesia, setiap pagi dia lari di daerah miskin, di belakang Grand Hyatt sekitar Kebon Kacang, dan sering berpapasan dengan orang Indonesia. “Mereka kelihatan happy dan penuh senyum,” kata Neiss. Rizal Ramli kesal karena petinggi IMF itu sangat menyederhanakan perasaan rakyat dengan senyum yang tersungging di mulutnya. Ia menyesalkan kenapa Hubert Neiss tidak memahami bahwa orang Indonesia selalu tersenyum, apalagi jika bertemu dengan orang asing. Padahal, perut mereka sedang keroncongan. “Mr. Neiss, saya tak mau berdebat. Tapi, tolong dicatat apa yang saya katakan,” kata Rizal Ramli. Dan seperti yang diperkirakan oleh Rizal Ramli, akibat saran IMF dan kesombongan Hubert Neiss, terjadi kerusuhan yang mencapai puncaknya pada 12 Mei 1998. Menurut Rizal Ramli, “memang ada faktor-faktor politik dalam negeri dan persaingan antara faksi tentara, tetapi saran IMF adalah pemicu utama dari kerusuhan sosial Mei 1998”. Pada tahun 2001, ketika Rizal Ramli menjadi Menko Perekonomian, dia mendapat telepon dari Direktur salah satu Bank Asing terbesar di dunia dari Hongkong yang menyatakan keinginannya untuk datang ke Jakarta, 132
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
133
karena mereka ingin membeli aset-aset dan perusahaan Indonesia yang harganya sudah sangat rontok (depressed assets). Sang penelepon juga mengatakan akan membawa Hubert Neiss yang telah menjadi pejabat dan penasehat utama Bank tersebut di Asia. Rizal Ramli, yang hatinya masih sangat pedih akibat malapetaka Mei 1998 akibat saran-saran Hubert Neiss, mengatakan dengan nada cool kepada sang penelepon: “Sudah tentu saya akan menerima Anda dan tim. Tetapi saya menolak menerima Anda jika membawa serta Hubert Neiss, orang yang telah menghancurkan ekonomi Indonesia dan membuat nilai perusahaan dan asset Indonesia hancur... koq sekarang ingin ikut membeli dengan harga sangat murah”. Direktur Bank Asing tersebut akhirnya datang tanpa Hubert Neiss. Dalam rangka memberikan pandangan yang lebih berimbang tentang peranan lembanga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia, Rizal Ramli membentuk Tim Indonesia Bangkit (TIB) bersama ekonom-ekonom dari think tank independen dan dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia. TIB sangat efektif memberikan pandangan alternatif terhadap analisa dan solusi masalah ekonomi Indonesia, diluar garis Washington Consensus. TIB juga memiliki garis keberpihakan yang sangat kuat pada kepentingan rakyat dan kepentingan nasional, serta dengan tegas dan kritis menolak subordinasi kebijakan ekonomi Indonesia kepada kepentingan internasional. Dalam berbagai kesempatan dalam forum internasional dan nasional, Rizal Ramli sering mengemukakan pendapat kritisnya tentang kerusakan yang diakibatkan oleh peranan IMF di Indonesia dan perlunya dilakukan reformasi terhadap lembaga seperti IMF dan Bank Dunia. Pada presentasinya di seminar Working Group on Institutional Reform in Global Financial 134
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Governance, yang diorganisir oleh Carnegie Endowment for International Peace, Rizal Ramli berdebat langsung dengan Senior Advisor dan mantan Direktur Fiskal IMF Jack Boorman. Banyak kalangan akademik yang hadir untuk pertama kalinya mendengar langsung malpraktek IMF di Indonesia dan banyak yang akhirnya ikut mengambil sikap lebih kritis terhadap IMF. Hadir pada pertemuan tersebut, Prof. John Williamsons dari Institute for International Economics, Montek Ahluwalia (Direktur Independent Evaluation Office IMF), Ann Florini dari Brooking Institution, Nancy Bridsall (President of Center for Global Development), Gobind Nankani (Vice President Bank Dunia) dan ahli-ahli dari Council on Foreign Relation. Rizal Ramli juga aktif dalam forum-forum Working Group tentang reformasi IMF yang diorganisir oleh Universitas Oxford, Inggris. Di dalam negeri, Rizal Ramli aktif dalam diskusi dan presentasi untuk membawa garis baru dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Dalam Sidang Pleno “Exit Policy” di acara Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-16, di Batu, Malang, pertengahan Juli 2003, yang dihadiri ratusan Sarjana Ekonomi dari seluruh Indonesia, Rizal Ramli mendapat banyak dukungan dan tepuk tangan ketika dengan nada cool mematahkan argumen dari panelis yang mewakili Bank Dunia dan IMF seperti Jack Boorman (Penasihat Direktur Pelaksana IMF), Andrew Steer (Kepala Perwakilan Bank Dunia di Jakarta), Stephen Grenville (Deputi Gubernur Bank Sentral Australia), Jesus Estanislao (Mantan Menteri Keuangan Philipina) dan Olam Chaipravat (Penasihat PM Thailand).
Mitos-Mitos IMF Menurut Rizal Ramli, salah obat IMF di Indonesia dapat dilihat dari tiga tahap kebijakan sejak bulan Oktober 1997. Pada tahap pertama, kebijakan Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
135
Rizal Ramli bersama Anoop Singh, Direktur Asia IMF, dan John Donsworth, Perwakilan IMF Indonesia. yang disarankan IMF untuk melakukan stabilisasi keuangan justru malah menciptakan destabilisasi finansial dan kebangkrutan. Ketidakstabilan tersebut terutama dipicu oleh kebijakan moneter super ketat (tight money policy). Tingkat bunga antarbank meroket dari 20% menjadi sekitar 300% pada kuartal ketiga 1997, terburuk sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Kebijakan moneter tersebut menciptakan liquidity crunch dalam perbankan Indonesia, karena banyak bank mengandalkan sebagian likuiditasnya dari pasar uang antarbank. Kesalahan itu dilanjutkan IMF dengan melikuidasi 16 bank tanpa persiapan yang matang pada bulan November 1997. Akibatnya, kepercayaan maasyarakat terhadap perbankan nasional menjadi runtuh dan segera memicu capital outflow sekitar US$ 5 miliar. Hal itu membuat nilai rupiah yang sudah melemah menjadi lebih anjlok lagi. Depresiasi rupiah yang tak terkendali tersebut semakin dimungkinkan setelah beberapa bulan sebelumnya (14 Agustus 1997) kurs rupiah diambangkan (free float). Pengambangan justru kian memicu capital outflow yang mendorong nilai tukar rupiah makin melemah. Akibatnya, dunia usaha menerima pukulan ganda dari anjloknya nilai tukar rupiah dan tingkat bunga 136
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
supertinggi. Perusahaan-perusahaan mengalami kesulitan likuiditas, diikuti oleh kebangkrutan massal dan belasan juta pemutusan hubungan kerja (PHK). Tahap kedua adalah transformasi atau pengalihan utang swasta menjadi utang publik. Saran-saran IMF telah meningkatkan utang Pemerintah Republik Indonesia luar biasa besar, khususnya utang domestik, yang sebelum ditangani IMF, nyaris tidak ada. Sebelum krisis 1997, total utang Indonesia mencapai US$ 136 miliar yang terdiri dari utang pemerintah US$ 54 miliar dan US$ 82 miliar utang swasta. Namun pada tahun 2001, setelah melalui program rekapitalisasi dan berbagai penjualan junk bond, utang luar negeri Pemerintah Indonesia meningkat menjadi US$ 74 miliar, ditambah utang domestik sebesar Rp 647 triliun (sekitar US$ 60 miliar).. Sedangkan utang swasta setelah krisis berkurang menjadi US$ 67 miliar karena percepatan pembayaran maupun restrukturisasi utang. “Sebagai akibat dari krisis finansial dan salah obat IMF, utang Indonesia bertambah dua kali lipat selama empat tahun masa krisis,” kata Rizal Ramli. Pada tahap ketiga, berbagai akibat dari salah obat IMF mulai berdampak luas pada APBN. Untuk tahun 2005 saja, pos pembayaran utang dalam APBN sekitar Rp 160 triliun, baik untuk pembayaran utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Anggaran untuk pembayaran utang tersebut setara dengan tiga kali gaji seluruh pegawai negeri dan TNI, atau lebih dari delapan kali anggaran untuk pendidikan. Dengan beban APBN yang sangat besar tersebut, pemerintah Indonesia Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
137