BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1.
Kejadian Scabies
1.1. Pengertian Scabies Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (mite) Sarcoptes scabei, yang termasuk dalam kelas Arachnida. Tungau ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau bersifat mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut kutu badan. Penyakit ini juga mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara langsung atau melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah dipergunakan penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya. Skabies menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti disela-sela jari, siku, selangkangan. Skabies identik dengan penyakit anak pondok pesantren, penyebabnya adalah kondisi kebersihan yang kurang terajaga, sanitasi yang buruk, kurang gizi dan kondisi ruangan terlalu lembab dan kurang mendapat sinar matahari secara langsung. Penyakit kulit scabies menular dengan cepat pada suatu komunitas yang tinggal bersama sehingga dalam pengobatannya harus dilakukan secara serentak dan menyeluruh pada semua orang dan lingkungan pada komunitas yang terserang skabies, karena apabila dilakukan pengobatan secara individual maka akan mudah tertular kembali penyakit skabies (Yosefw, 2007).
Universitas Sumatera Utara
1.2. Epidemiologi. Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Dibeberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6 % - 27 % populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja (Sungkar, 1995). Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1983 diketahui bahwa disepanjang sungai Ucayali, Peru, ditemukan beberapa desa di mana semua anak-anak dari penduduk asli desa tersebut mengidap skabies. Behl ada tahun 1985 menyatakan bahwa prevalensi skabies pada anak-anak de desa-desa Indian adalah 100%. Di Santiago, Chili, insiden tertinggi terdapat pada kelompok umur 10-19 tahun (45%) sedangkan di Sao Paolo, Brazil insiden tertinggi terdapat pada anak dibawah umur 9 tahun. Di India, Gulati melaporkan prevalensi tertinggi pada anak usia 5-14 tahun. Hal tersebut berbeda dengan laporan Srivatava yang menyatakan prevalensi skabies tertinggi terdapat pada anak dibawah 5 tahun. Di negara maju prevalensi skabies sama pada semua golongan umur (Maibach, 1997) Pada tahun 1975 terjadi wabah skabies di perkampungan Indian di Kepulauan San Blas, Panama. Penduduk didaerah tersebut hidup dalam lingkungan yang padat dengan jumlah penghuni tiap rumah 13 orang atau lebih. Pada survei pertama didapatkan prevalensi skabies sebesar 28% pada suatu kelompok dan pada kelompok yang lain 42%. Dua tahun kemudian dilakukan survei pada pulau Van lebih besar yang berpenduduk 2.000 orang. Pada survei tersebut ditemukan bahwa 90% penduduk mengidap skabies. Pada tahun 1986 survei di Indian lainnya berpenduduk 756 orang didapatkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa prevalensi skabies anak-anak yang berumur 10 tahun adalah 61% dan pada bayi yang kurang dari 1 tahun adalah 84% (Orkin, 1997) Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit skabies banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, insidennya sama terjadi pada pria dan wanita. Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu endemik dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10-15 tahun (Harahap, 2000) Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6%-12,9%, dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di Bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 734 kasus skabies yang merupakan 5,77% dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi skabies adalah 6% dan 3,9%. Prevalensi skabies sangat tinggi pada lingkungan dengan tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai (Depkes. RI, 2000).
1.3. Etiologi Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda , kelas Arachnida, ordo Ackarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih, kotor, dan tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 – 350 mikron, sedangkan yang jantan lebih
Universitas Sumatera Utara
kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut, setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50 . Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12 hari (Handoko, 2001). Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian larva meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati setelah meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi (Mulyono, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar pada suhu kamar selama lebih kurang 7 – 14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang (Andrianto & Tie, 1989).
1.4. Patogenesis. Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kirakira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Handoko, 2001).
1.5. Cara Penularan. Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung. Yang paling sering adalah kontak langsung yang saling bersentuhan atau dapat pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di Amerika Serikat dilaporkan, bahwa skabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual
Universitas Sumatera Utara
meskipun bukan merupakan akibat utama (Brown, 1999). Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, atau apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama disatu tempat yang relative sempit. Apabila tingkat kesadaran yang dimiliki oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan program kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada (Benneth, 1997). Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan yang dipakai oleh masyarakat luas. Di Jerman terjadi peningkatan insidensi, sebagai akibat kontak langsung maupun tak langsung seperti tidur bersama. Faktor lainnya fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama di lingkungan padat penduduk (Meyer, 2000).
1.6. Gejala Klinis Skabies a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya,
Universitas Sumatera Utara
serta kehidupan di pondok pesantren, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier). c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang bewarna putih keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, ratarata panjang satu cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, aerola mame (wanita), umbilicus, bokong, genetalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki. d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. e. Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit yang umumnya muncul disela-sela jari, siku, selangkangan dan lipatan paha, dan muncul gelembung berair pada kulit. (Mawali, 2000).
Universitas Sumatera Utara
1.7. Klasifikasi Skabies Adapun bentuk-bentuk khusus skabies yang sering terjadi pada manusia adalah sebagai berikut :(a). Skabies pada orang bersih yang merupakan skabies pada orang dengan tingkat kebersihannya cukup, bisa salah didiagnosis karena kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur. (b). Skabies pada bayi dan anak lesi skabies yang mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di muka. (c). Skabies yang ditularkan oleh hewan dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut. Misalnya peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat-tempat kontak, dan akan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi bersih-bersih.(d). Skabies Nodular terjadi akibat reaksi hipersensitivitas. Tempat yang sering dikenai adalah genitalia pria, lipatan paha, dan aksila. Lesi ini dapat menetap beberapa minggu hingga beberapa bulan, bahkan hingga satu tahun walaupun telah mendapat pengobatan anti skabies. (e).Skabies Inkognito, obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda scabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan steroid topikal yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penurunan respons imun selular. (f). Skabies terbaring di tempat tidur merupakan penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur
Universitas Sumatera Utara
dapat menderita skabies yang lesinya terbatas. (g). Skabies krustosa
(
Norwegian Scabies), lesinya berupa gambaran eritodermi, yang disertai skuama generalisata, eritema, dan distrofi kuku. Krusta terdapat banyak sekali, dimana krusta ini melindungi sarcoptes scabiei di bawahnya. Bentuk ini mudah menular karena populasi sarcoptes scabiei sangat tinggi dan gatal tidak menonjol. Bentuk ini sering salah didiagnosis, malahan kadang diagnosisnya
baru
dapat
ditegakkan
setelah
penderita
menularkan
penyakitnya ke orang banyak. Sering terdapat pada orang tua dan orang yang menderita retardasi mental (Down’s syndrome), sensasi kulit yang rendah (lepra, syringomelia dan tabes dorsalis), penderita penyakit sistemik yang berat (leukemia dan diabetes), dan penderita imunosupresif (Emier, 2007). 1.8. Diagnosa Skabies Kelainan kulit menyerupai dermatitis, dengan disertai papula, vesikula, urtika, dan lain-lain. Garukan tangan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Di daerah tropis, hampir setiap kasus scabies terinfeksi sekunder oleh streptococcus aureus atau staphylococcus pyogenes (Mawali, 2000). Diagnosis ditegakkan atas dasar : (1). Adanya terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau kelok-kelok, panjangnya beberapa millimeter sampai 1 cm, dan pada ujungnya tampak vesikula, papula, atau pustula. (2). Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, aerola mame (wanita), umbilicus, bokong, genetalia eksterna (pria). Pada orang dewasa jarang terdapat di muka dan kepala, kecuali pada penderita imunosupresif,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi diseluruh permukaan kulit. (3). Penyembuhan cepat setelah pemberian obat antiskabies topikal yang efektif. (4). Adanya gatal hebat pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita gatal, harus dicurigai adanya scabies. Gatal pada malam hari disebabkan oleh temperatur tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat (Mawali, 2000). Diagnosa skabies dilakukan dengan membuat kerokan kulit pada daerah yang berwarna kemerahan dan terasa gatal. Kerokan yang dilakukan sebaiknya dilakukan agak dalam hingga kulit mengeluarkan darah karena sarcoptes betina bermukim agak dalam di kulit dengan membuat terowongan. Untuk melarutkan kerak digunakan larutan KOH 10 persen selanjutnya hasil kerokan tersebut diamati dengan mikroskop dengan perbesaran 10-40 kali. Cara lain adalah dengan meneteskan minyak immesi pada lesi, dan epidermis diatasnya dikerok secara perlahan-lahan (Mawali, 2000). 1.9. Pengobatan Skabies Pengobatan skabies dapat dilakukan dengan delousing yakni shower dengan air yang telah dilarutkan bubuk DDT (Diclhoro Diphenyl Trichloroetan). Pengobatan lain adalah dengan mengolesi salep yang mempunyai daya miticid baik dari zat kimia organic maupun non organic pada bagian kulit yang terasa gatal dan kemerahan dan didiamkan selama 10 jam. Alternatif lain adalah mandi dengan sabun sulfur/belerang karena kandungan pada sulfur bersifat antiseptik dan antiparasit, tetapi pemakaian sabun sulfur tidak boleh berlebihan karena membuat kulit menjadi kering.
Universitas Sumatera Utara
Pengobatan skabies harus dilakukan secara serentak pada daerah yang terserang skabies agar tidak tertular kembali penyakit skabies (Sadana, 2007). Selain itu, obat tradisional juga berkhasiat dalam menangani pengobatan Skabies. Misalnya, khasiat tanaman obat permot (Passiflora foeltida) melalui aplikasi secara topical atau dengan menggosok-gosokkan pada kulit yang terserang skabies, mengakibatkan terjadinya pembesaran pori-pori kulit, sehingga bahan aktif yang terkandung dalam tanaman permot akan diabsorbsi ke dalam kulit dan beraktivitas terhadap tungau. Diduga khasiat yang memberikan pengaruh terhadap kematian sarcoptes scabiei adalah asam hidrosianat dan alkaloid (Ken, 1992 & Wijayakusuma, 1995).
1.10. Prognosis. Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat serta syarat pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi, penyakit ini dapat di berantas dan memberikan prognosis yang baik (Harahap, 2000).
Universitas Sumatera Utara
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian skabies Tinggal bersama dengan sekelompok orang seperti di pesantren berisiko mudah tertular berbagai penyakit skabies. Penularan terjadi melalui dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Adapun yang termasuk faktor internal adalah kebersihan diri, perilaku, dan yang termasuk faktor eksternal adalah lingkungan, budaya dan sosial ekonomi.
2.1. Kebersihan Diri Pemeliharaan kebersihan diri berarti tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan diri sesorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Seseorang dikatakan memiliki kebersihan diri baik apabila, orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, tangan dan kuku, kebersihan kaki dan kebersihan genitalia (Badri, 2004). Banyak manfaat yang dapat di petik dengan merawat kebersihan diri, memperbaiki
kebersihan
diri,
mencegah
penyakit,
meningkatkan
kepercayaan diri dan menciptakan keindahan (Wartonah, 2003) a. Kebersihan Kulit Kebersihan
individu
yang
buruk
atau
bermasalah
akan
mengakibatkan berbagai dampak baik fisik maupun psikososial. Dampak fisik yang sering dialami seseorang tidak terjaga dengan baik adalah gangguan integritas kulit (Wartonah, 2003) Kulit yang pertama kali menerima rangsangan seperti rangsangan sentuhan, rasa sakit, maupun pengaruh buruk dari luar. Kulit berfungsi untuk melindungi permukaan tubuh, memelihara suhu tubuh dan mengeluarkan kotoran-kotoran tertentu. Kulit juga penting bagi produksi
Universitas Sumatera Utara
vitamin D oleh tubuh yang berasal dari sinar ultraviolet. Mengingat pentingnya kulit sebagai pelindung organ-organ tubuh didalammnya, maka kulit perlu dijaga kesehatannya (Wijayakusuma, 2004). Penyakit kulit dapat disebabkan oleh jamur, virus, kuman, parasit hewani dan lain-lain. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit adalah Skabies ( Juanda, 2000). Sabun dan air adalah hal yang penting untuk mempertahankan kebersihan kulit. Mandi yang baik adalah : 1). Satu sampai dua kali sehari, khususnya di daerah tropis. 2). Bagi yang terlibat dalam kegiatan olah raga atau pekerjaan lain yang mengeluarkan banyak keringat dianjurkan untuk segera mandi setelah selesai kegiatan tersebut. 3). Gunakan sabun yang lembut. Germicidal atau sabun antiseptik tidak dianjurkan untuk mandi sehari-hari. 4). Bersihkan anus dan genitalia dengan baik karena pada kondisi tidak bersih, sekresi normal dari anus dan genitalia akan menyebabkan iritasi dan infeksi. 5). Bersihkan badan dengan air setelah memakai sabun dan handuk yang sama dengan orang lain (Webhealthcenter, 2006). b. Kebersihan tangan dan kuku Indonesia adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya menggunakan tangan untuk makan, mempersiapkan makanan, bekerja dan lain sebagainya. Bagi penderita skabies akan sangat mudah penyebaran penyakit ke wilayah tubuh yang lain. Oleh karena itu, butuh perhatian ekstra untuk kebersihan tangan dan kuku sebelum dan sesudah beraktivitas. 1). Cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah ke
Universitas Sumatera Utara
kamar mandi dengan menggunakan sabun. Menyabuni dan mencuci harus meliputi area antara jari tangan, kuku dan punggung tangan. 2). Handuk yang digunakan untuk mengeringkan tangan sebaiknya dicuci dan diganti setiap hari. 3). Jangan menggaruk atau menyentuh bagian tubuh seperti telinga, hidung, dan lain-lain saat menyiapkan makanan. 4). Pelihara kuku agar tetap pendek, jangan memotong kuku terlalu pendek sehingga mengenai pinch kulit (Webhealthcenter, 2006). c. Kebersihan Kaki Para santri selalu memakai sepatu setiap hari. Sehingga kaki akan selalu berada pada tempat tempat yang tertutup. Para santri dianjurkan menjaga kebersihan kakinya dengan selalu memakai sepatu dan kaus kaki yang kering agar terhindar dari penyakit kulit skabies, karena sarkoptis skabie selalu hidup pada tempat-tempat yang lembab dan tertutup (Webhealthcenter, 2006).
d. Kebersihan Genitalia Karena minimnya pengetahuan tentang kebersihan genitalia, banyak kaum remaja putri maupun putra mengalami infeksi di alat reproduksinya akibat garukan, apalagi seorang anak tersebut sudah mengalami skabies diarea terterntu maka garukan di area genitalia akan sangat mudah terserang penyakit kulit skabies, karena area genitalia merupakan tempat yang lembab dan kurang sinar matahari. Salah satu contoh pendidikan kesehatan di dalam keluarga, misalnya bagaimana orang tua mengajarkan anak cebok secara benar. Seperti penjelasan, bila
Universitas Sumatera Utara
ia hendak cebok harus dibasuh dengan air bersih. Caranya menyiram dari depan ke belakang bukan belakang ke depan. Apabila salah, pada alat genital anak perempuan akan lebih mudah terkena infeksi. Penyebabnya karena kuman dari belakang (dubur) akan masuk ke dalam alat genital. Jadi hal tersebut, harus diberikan ilmunya sejak dini. Kebersihan genital lain, selain cebok, yang harus diperhatikan yaitu pemakaian celana dalam. Apabila ia mengenakan celana pun, pastikan celananya dalam keadaan kering. Selain kebersihan genital, peningkatan gizi juga merupakan hal yang penting untuk tumbuh kembang anak. Bila alat reproduksi lembab dan basah, maka keasaman akan meningkat dan itu memudahkan pertumbuhan jamur. Oleh karena itu seringlah menganti celana dalam (Safitri, 2008).
2.2. Perilaku Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan kebiasaan untuk menerapkan kebiasaan yang baik, bersih dan sehat secara berhasil guna dan berdaya guna baik dirumah tangga, institusi-institusi maupun tempat-tempat umum.
Kebiasaan
menyangkut
pinjam
meminjam
yang
dapat
mempengaruhi timbulnya penyakit menular seperti baju, sabun mandi, handuk, sisir haruslah dihindari (Dinkes Prov. NAD,2005) Salah satu penyebab dari kejadian skabies adalah pakaian yang kurang bersih dan saling bertukar-tukar pakaian dengan teman satu kamar. Hal itulah yang tidak diperhatikan serius oleh pimpinan pondok pesantren dan santri itu sendiri. Para santri dapat menghindari penyakit skabies dengan menjaga kebersihan pakaiannya. Dengan rajin
mencuci dan menjemur
Universitas Sumatera Utara
pakaian sampai kering dibawah terik matahari. Dan jangan menggunakan pakaian yang belum kering atau lembab. Biasakan mencuci sedikit tapi sering (Emier, 2007) 2.3. Lingkungan Kebersihan lingkungan adalah kebersihan tempat tinggal, tempat bekerja, dan berbagai sarana umum. Kebersihan tempat tinggal dilakukan dengan cara membersihkan jendela dan perabot santri, menyapu dan mengepel lantai, mencuci peralatan makan, membersihkan kamar, serta membuang
sampah.
Kebersihan
lingkungan
dimulai
dari
menjaga
kebersihan halaman dan selokan, dan membersihkan jalan di depan asrama dari sampah (Ponpes, 2007). Penularan penyakit skabies terjadi bila kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan tidak terjaga dengan baik. Faktanya, sebagian pesantren tumbuh dalam lingkungan yang kumuh, tempat mandi dan WC yang kotor, lingkungan yang lembab, dan sanitasi buruk (Badri, 2008). Ditambah lagi dengan perilaku tidak sehat, seperti menggantung pakaian di kamar, tidak membolehkan pakaian santri wanita dijemur di bawah terik matahari, dan saling bertukar pakai benda pribadi, seperti sisir dan handuk (Depkes, 2007) 2.4. Budaya Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu maka tidak boleh dimandikan. Sehingga skabies sangat mudah berkembang pada tempat disela-sela tubuh karena tidak dibersihkan. Padahal jika rajin mandi
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan besar skabies akan susah berkembang ditubuh manusia. Seharusnya jika sebagian budaya tidak membolehkan mandi bagi orang yang sakit maka dapat dibersihkan dengan cara mengelap bagian tubuh dengan handuk yang basah. Terutama pada tempat-tempat yang mudah dihinggapi skabies. 2.5. Sosial Ekonomi Kebersihan diri memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya. Yang menjadi penghambat saat pencegahan penyakit skabies adalah keterlambatan atau kurangnya uang kebutuhan yang dikirim orangtua untuk para santri selama diasrama tiap bulannya. Dan banyak para santri yang saling tukar alat mandi sampai kiriman tiba. Sebagian dari santri apabila belum mendapatkan kiriman dari orangtuanya mereka mandi tanpa menggunakan sabun atau sampo. Apabila saat mandi kurang bersih maka penyakit scabies akan semakin mudah menyerang tubuh para santri.
Universitas Sumatera Utara