Bab 2 Landasan teori 2.1 Konsep Remaja Jepang Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri. Erikson dalam Hurlock (1999 : 208), megemukakan: Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat. Apakah ia seorang anak atau seorang dewasa? Apakah nantinya ia dapat menjadi seorang suami atau ayah?...Apakah ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang ras atau agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya? Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau akan gagal. Selayaknya remaja pada umumnya, remaja Jepang juga masih berada pada tahap pencarian jati diri. Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Marcia dan Nielsen (1997 : 146), kondisi dimana para remaja yang masih terbawa arus dan belum tahu harus mengarah kemana disebut dengan diffused identity, dan remaja yang berjuang dalam pencarian jati diri disebut moratorium.Hal mengenai pencarian jati diri remaja juga dikemukakan Takeuchi (2004 : 61) : 青年期はモラトリアムを脱し、職業選択から自律性擭得と自我同一性 達成に至る大きいな発達的移行期である。青年は職業選択作業を遂行 する途上で自己の同一性に「出会う」発達過程をたどる。 Terjemahan: Remaja seharusnya keluar dari status moratoriumnya, dan melangkah menuju tahap dimana mereka dapat mencapai otonomi mereka sendiri dan masuk ke dalam perkembangan transisi berikutnya termasuk bertugas menemukan pekerjaaan atau menemukan jalan menuju karir yang diinginkan. Dalam mencari jati diri, remaja sangat membutuhkan arahan untuk menentukan yang terbaik. Arahan-arahan yang dapat diberikan kepada remaja dalam menemukan jati dirinya, adalah melalui komunikasi. Apabila komunikasi tidak tercipta dengan baik, remaja tidak bisa memiliki arahan yang tepat dalam membentuk jati dirinya. Seperti yang diungkapkan Erikson dalam Semiun (2003 : 321):
Remaja tidak dapat membiarkan dirinya untuk tidak menjadi apa-apa, ia berjuang agar dirinya diperhatikan meskipun ia berfungsi dalam cara yang berlawanan dengan apa yang diterima oleh masyarakat dan kebudayaannya. Dan ini yang disebut identitas negatif. Dari teori di atas, dapat diketahui bahwa komunikasi merupakan hal yang penting dalam pembentukan identitas remaja. Mengenai pencarian jati diri remaja dan komunikasi, Takashi (2008 : 170), mengungkapkan: 議論の回避を高く示す青年はアイデンティティ達成得点が短く、職業 決点におけるモラトリアムの決点が高かった。逆に議論による立場の 明確化を高く示す青年は模索の得点が高かった。 Terjemahan: Menghindari pembicaraan atau komunikasi memiliki efek negatif terhadap status nilai achieved identity, dan mempunyai efek positif terhadap nilai moratorium. Pembicaraan atau komunikasi untuk mencari jalan keluar memiliki korelasi positif dengan nilai achieved identity.
2.2 Definisi Konsep Diri Konsep diri merupakan bagian penting dalam kehidupan setiap individu. Menurut Ahmed dan Bruinsma (2006 : 551), teori konsep diri merupakan teori evaluasi diri. Secara lebih mendalam mengenai konsep diri, Papalia ( 2006 : 279) mengemukakan: “Self concept is our total image of ourselves. It is what we believe about who we are – our total picture of our abilities and traits.” Terjemahan: “Konsep diri adalah keseluruhan gambaran tentang diri kita. Konsep diri merupakan apa yang kita percaya mengenai diri kita – seluruh gambaran mengenai kemampuan dan sifat kita.” Tidak jauh berbeda, Hurlock (1990 : 58) memberikan pengertian tentang konsep diri sebagai gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Konsep diri ini
merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki individu tentang mereka sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi dan prestasi. Pendapat yang serupa yang disampaikan oleh Brim dan Traeger dalam Prayitno (2002 : 119), konsep diri merupakan pendapat, perasan, gambaran seseorang tentang dirinya sendiri baik yang menyangkut materi, fisik maupun psikhis (sosial, emosi, moral dan kognitif yang dimiliki seseorang. Adapun : 1. Konsep diri yang menyangkut materi, yaitu pendapat seseorang tentang segala sesuatu yang dimilikinya, baik yang menyangkut harta benda maupun bentuk tubuhnya. 2. Konsep diri yang menyangkut sosial, yaitu perasaan eseorang tentang kualitas hubungannya dengan orang lain. 3. Konsep diri yang menyangkut emosi , yaitu pendapat seseorang tentang keadaan emosinya (bahagia, sedih, menderita, berani dan sebagainya). 4. Konsep diri yang menyangkut moral, yaitu pandangan seseorang bahwa ia jujur, penyayang, taat beragama dan sebagainya. 5. Konsep diri yang menyangkut kognitif yaitu pendapat seseorang tentang kecerdasannya baik dalam memecahkan masalah maupun prestasinya. Dari beberapa pengertian di atas dapat dietahui bahwa konsep diri merupakan cara pandang dan keyakinan seseorang mengenai dirinya sendiri. Pandangan ini mencakup keseluruhan mengenai dirnya (fisik, kepribadian, kemampuan, kelemahan dan sebagainya). Konsep diri merupakan refleksi dari apa yang dipandang, dirasakan, dan apa yang dialami individu mengenai dirinya sendiri. Dengan demikian, seseorang yang berkata “saya mampu” atau “saya tidak mampu”, “saya pemberani” atau “saya penakut”, merupakan konsep orang tersebut terhadap dirinya.
2.2.1 Perkembangan Konsep Diri Konsep diri bukanlah faktor yang terbentuk atau dibawa sejak lahir. Rogers dalam Burns (1993 : 50), menyatakan bahwa perkembangan konsep diri merupakan pertumbuhan pengalaman yang lambat. Tidak ada konsep diri yang terbentuk dengan terpisah dari pengalaman pribadi dan kesadaran seseorang. Dengan demikian semakin dewasa seseorang, maka semakin banyak pengalaman hidupnya, dan semakin mantap pula konsep diri orang tersebut. Menurut Willey dalam Calhoun dan Acocela (1995 : 76 ), dalam perkembangan konsep diri, yang digunakan sebagai sumber pokok infomasi adalah interaksi dengan orang lain, karena seiring dengan pertumbuhannya, individu selalu
berinteraksi
dengan orang lain. Tidak jauh berbeda, Baldwin dan Holmes dalam Calhoun dan Acocella (1995 : 77), mengemukakan bahwa konsep diri merupakan hasil belajar seseorang melalui hubungannya dengan orang lain (significant others). Yang dimaksud dengan significant others oleh Calhoun dan Acocella (1995 : 77-79), adalah: a. Orangtua Kontak dengan orangtua adalah kontak sosial yang paling awal yang seseorang lakukan. Bayi sangat bergantung pada orangtua untuk kelangsungan hidupnya, misalnya dalam masalah makanan, perlindungan, dan kenyamanan. Akibatnya, orangtua menjadi amat penting di mata anak. Kenyataan ini menyebabkan apa yang dikomunikasikan orangtua pada anak, lebih berkesan daripada informasi lain yang anak terima sepanjang hidupnya. Orangtua memberikan informasi yang cenderung konstan tentang diri seorang anak dan sangat mempengaruhi harapan yang anak ingin capai. Akhirnya, yang paling penting adalah orangtua mengajarkan anak bagaimana ia menilai dirinya sendiri. Bagaimanapun perlakuan
orangtua terhadap anak, anak akan menerimanya dengan anggapan bahwa ia memang pantas diperlakukan seperti itu. Nilai diri yang dimilikinya diperoleh dari nilai yang diberikan orangtua kepada mereka. Penilaian yang berasal dari orangtua akan berlangsung terus menerus dalam diri anak. Burns (1993 : 203) mengatakan bahwa umpan balik dari orang yang dihormati merupakan salah satu faktor penting pembentuk konsep diri individu. Umpan balik yang diberikan oleh orangtua kepada anak akan menentukan bentuk konsep diri yang akan berkembang pada anak – konsep diri positif atau konsep diri negatif. Pengalaman tentang penolakan atau disayangi oleh orangtua, mempengaruhi cara individu memandang dirinya. Dalam masa permulaan anak-anak, mereka sangat percaya bahwa persepsi tentang dirinya dapat dilihat dari reaksi yang diberikan oleh orang-orang yang dihormatinya, khususnya orangtua. b. Teman sebaya Kawan sebaya menempati kedudukan kedua setelah orangtua sebagai salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pembentukan konsep diri seseorang. Pada awalnya, anak merasa cukup hanya dengan mendapatkan cinta dan penerimaan dari orangtua. Dalam perkembangannya, anak membutuhkan penerimaan dari anakanak lain dalam kelompoknya. Jika penerimaan ini tidak ia terima, misalnya: diejek
dan
dijauhi, maka pembentukan
konsep
dirinya akan terganggu.
Hubungan anak dengan teman sebayanya mempengaruhi penilaiannya terhadap diri sendiri. c. Masyarakat Penilaian masyarakat mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang. Pandangan masyarakat tentang diri seorang anak, akan dianggap oleh anak tersebut sebagai sebuah kebenaran dan menjadi nyata dalam hidupnya, misalnya bila
masyarakat menganggap bahwa ia adalah seorang anak yang sukses, maka ia percaya bahwa ia akan menjadi orang yang sukses. Tapi bila masyarakat menilai bahwa anak itu akan tumbuh sebagai seorang penjahat, maka besar kemungkinannya
ia akan
tumbuh sebagai seorang penjahat. Seperti pengaruh
orangtua dan kawan sebaya, masyarakat memberikan penilaian terhadap diri seseorang dan penilaian itu diterimanya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu tidak lahir dengan konsep diri. Konsep diri terbentuk seiring dengan perkembangan hidup individu. Konsep diri merupakan suatu faktor yang dipelajari oleh seseorang, yang terbentuk dari pengalaman seseorang dalam berhubungan dengan orang lain. Sumber informasi mengenai konsep diri seseorang dapat diperoleh melalui interaksinya dengan orang lain, yaitu orang tua, teman sebaya dan masyarakat.
2.2.2 Dimensi Konsep Diri Menurut Calhoun & Acoccela (1995 : 67), konsep diri memiliki 3 dimensi, yaitu : a. Pengetahuan Konsep diri dapat diperoleh dari pengetahuan atau gambaran indvidu terhadap dirinya. Dalam hal ini pengetahuan mengacu pada hal-hal yang berada di luar (kuantitas) maupun dalam diri individu (kualitas). Hal-hal yag berada di luar diri individu meliputi usia, jenis kelamin, kebangsaan, pekerjaan, dan lainnya. Sedangkan hal yang berada dalam diri manusia merujuk pada sifat, kemampuan, temperamen dan sebagainya. Dengan demikian, julukan yang individu berikan terhadap dirinya sendiri, merupakan hasil dari pengetahuan yang individu miliki terhadap dirinya.
Pengetahuan bisa diperoleh dengan cara membandingkan diri individu dengan kelompok pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu tidaklah menetap sepanjang hidupnya. Pengetahuan bisa berubah dengan cara merubah tingkah laku individu tersebut atau dengan cara merubah kelompok pembanding. b. Harapan Dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan. Selain pandangan tentang siapa dirinya, individu juga mempunyai satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan menjadi apa dimasa mendatang. Singkatnya, individu mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri. Pengharapan yang dimiliki setiap individu terhadap dirinya, tidaklah selalu sama. Pengharapan terhadap diri sendiri dapat dikatakan sebagai ideal diri. Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana individu harus berperilaku berdasarkan standar, tujuan, atau penilaian personal tertentu (Stuart dan Sundeen, 1998 : 229). Dalam hal ini, standar dapat ditentukan berdasarkan cita-cita atau nilai-nilai yang ingin dicapai individu. Dari standar yang telah ditentukan tersebut, ideal diri dapat membantu individu untuk mencapai cita-cita atau nilai yang ingin dicapainya. Akan tetapi jika standar yang ditetapkan individu terlalu tinggi melampaui diri nyata (diri empiris), akan terjadi ketidakcocokan persepsi antar diri nyata dan diri ideal, sehingga sangat mungkin timbul frustasi pada individu tersebut (Calhoun dan Acocella, 1995 : 70). c. Penilaian Dimensi yang terakhir dari konsep diri adalah penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri berasal dari pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat terjadi pada dirinya. Penilaian juga dapat berasal dari keyakinan individu tentang bagaimana orang lain mempersepsikannya.
Penilaian menyangkut unsur evaluasi, seberapa besar individu menyukai dirinya sendiri. Penilaian inilah yang kemudian menghasilkan harga diri individu. Perolehan harga diri pada individu (baik harga diri rendah atau tinggi), dapat dilihat dari frekuensi pencapaian tujuan. Individu yang sering menemui kegagalan dalam hidupnya, akan memperoleh harga diri yang rendah, begitu pula sebaliknya. Harga diri juga dapat diperoleh dari orang lain. Cinta, penghargaan, penerimaan dari orang lain akan berpengaruh pada penilaian individu terhadap dirinya (Keliat, 1992). Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa konsep diri terdiri dari beberapa dimensi yang dipadukan, yang pada akhirnya membentuk konsep diri. Dimulai dari pengetahuan individu tentang dirinya (dari dalam maupun luar). Setelah memiliki pengetahuan tentang dirinya, individu mulai memiliki harapan-harapan terhadap dirinya. Harapan tersebut memunculkan ideal diri, yaitu keinginan individu berlaku sesuai dengan standar. Setelah ideal diri terbentuk muncullah penilaian individu terhadap dirinya. Penilaian ini menghasilkan harga diri. Suka atau tidak suka, baik atau buruk penilaian individu, serta penolakan atau penerimaan yang diberikan orang lain akan mempengaruhi perolehan harga diri individu.
2.2.3 Jenis Konsep Diri Konsep diri individu yang satu dengan lainnya, tidaklah selalu sama. Konsep diri bergantung pada respon individu terhadap rangsangan yang ada di sekitarnya. Calhoun dan Acocella membedakan Konsep diri dibedakan menjadi 2, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman, baik itu pikiran, perasaan, persepsi dan tingkah laku individu. Dengan demikian, positif atau negatif konsep diri seseorang, dapat dilihat dari tingkah lakunya. Apabila seseorang memiliki konsep diri positif,
maka perilaku yang muncul pun cenderung positif, dan sebaliknya, seseorang yang menilai dirinya negatif, maka perilaku yang muncul pun cenderung negatif (Calhoun dan Acocella, 1990 : 72).
2.2.3.1 Konsep Diri Positif Konsep diri positif diukur dari besarnya penerimaan diri individu. Individu yang memiliki konsep diri yang positif adalah individu yang memahami betul dirinya, serta menerima fakta yang beragam mengenai dirinya serta menerima dirinya apa adanya (baik kekurangan maupun kelebihannya) secara positif. Individu dengan konsep diri positif akan mampu merancang tujuan-tujuan hidup yang sesuai dengan realita, sehingga lebih besar kemungkinan individu untuk mencapai tujuan hidupnya (Calhoun dan Acocella, 1995 : 74). Menurut Brooks dalam Rakhmat (2005 : 105), individu yang memiliki konsep diri positif ditandai oleh 5 hal, yaitu: 1. Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah. Dengan konsep diri yang positif, individu akan memiliki rasa percaya diri bahwa ia mampu menghadapi serta mengatasi masalah yang ia hadapi. 2. Ia merasa setara dengan orang lain Individu yang merasa setara dengan orang lain, memiliki karakteristik rendah diri, tidak sombong, tidak menganggap rendah orang lain, dan selalu mengahargai orang lain. 3. Ia menerima pujian tanpa rasa malu Pujian yang diberikan orang lain, mampu diterima individu tanpa rasa malu. Meskipun
demikian,
pujian
yang
diterimanya
membanggakan diri apalagi meremehkan orang lain.
tidak
membuatnya
terlalu
4. Ia menyadari bahwa setiap orang memiliki perasaan, keinginan serta perilaku yang tidak seluruhnya dapat disetujui masyarakat. Dalam hal ini individu mampu memiliki kepekaan yang cukup besar terhadap perasaan orang lain. Ia akan mencoba untuk memahami dan menghargai orang lain, walaupun terkadang perilaku orang tersebut tidak disetujui oleh masyarakat. 5. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya. Individu yang memiliki konsep diri positif akan mampu menerima kekurangankekurangan dalam dirinya. Ia akan mampu mengintrospeksi dirinya, dan mampu mengubah dirinya agar menjadi lebih baik sehingga dapat diteeima di tengah masyarakat. Apabila individu memiliki konsep diri yang positif, maka ia akan mampu menata masa depannya dengan sikap optimis. Calhoun dan Acocella (1995 : 74) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki konsep diri positif memungkinkan orang tersebut untuk dapat maju ke depan secara bebas, berani dan spontan, serta mampu menghargai orang lain. Baginya kehidupan merupakan sesuatu yang menyenangkan dan penuh kejutan. Konsep diri yang positif akan menjadi modal individu dalam merancang kehidupannya di masa kini maupun masa mendatang. Dengan konsep diri positif, individu akan memandang positif dirinya maupun orang lain, sehingga ia akan mendapat umpan balik yang positif pula dari lingkungannya.
2.2.3.2 Konsep Diri Negatif Calhoun dan Acocella (1995 : 72), membagi konsep diri negatif menjadi dua, yaitu:
1. Individu memandang dirinya secara acak, tidak teratur, tidak stabil, dan tidak ada keutuhan diri. Ia tidak mengetahui siapa dirinya, kelemahannya, kelebihannya serta apa yang dihargai dalam hidupnya. 2. Kebalikan dari jenis konsep diri negatif yang pertama, individu yang memiliki konsep diri negatif memandang dirinya terlalu stabil dan terlalu teratur. Dengan demikian individu memjadi seorang yang kaku dan tidak bisa menerima ide-ide baru yang bermanfaat baginya. Burns (1993 : 72) menjelaskan bahwa konsep diri negatif merupakan evaluasi diri negatif (negative self-evaluation), membeci diri (self-hatred), perasaan rendah diri (inferiority), kurang menghargai serta menerima diri (lack of feeling of personal worthiness and self acceptance). Individu yang memiliki konsep diri yang negatif akan memiliki penilaian negatif terhadap dirinya sehingga merasa bahwa dirinya tidak cukup berharga dibandingkan oranglain. Konsep diri seseorang dapat dilihat dari sikap mereka. Seperi yang diungkapkan Murmanto (2007 : 67): Konsep diri yang jelek akan mengakibatkan rasa tidak percaya diri, tidak berani mencoba hal-hal baru, tidak berani mencoba hal-hal yang menantang, takut gagal, takut sukses, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa tidak berharga, merasa tidak layak untuk sukses, pesimis, dan masih banyak perilaku inferior lainnya. Tidak jauh berbeda, Brooks dalam Rakhmat (2005 : 105), mengemukakan bahwa perilaku individu yang negatif ditandai dengan: 1. Peka terhadap kritik Bagi individu dengan konsep diri negatif, kritik merupakan hal yang salah. Ia sangat tidak tahan terhadap kritik dan mudah menjadi marah dan naik pitam karena kritik tersebut. Ia tidak mampu mengendalikan emosinya dan mempersepsikan bahwa kritik adalah suatu usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Oleh karena itu ia
akan menghindari dialog yang terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai logika yang keliru. 2. Sangat responsif terhadap pujian Ia tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya terhadap pujian yang diterimanya. Baginya segala sesuatu yang menjunjung harga dirinya menjadi pusat perhatiannya. 3. Cenderung bersikap hiperkritis Ia selalu mencela, meremehkan dan mengeluh tentang apapun dan siapapun. Ia tidak sanggup mengungkapkan pengakuan atau pengahargaan terhadap kelebihan orang lain. 4. Cenderung merasa tidak disenangi dengan orang lain Ia merasa tidak diperhatikan orang lain, karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh sehingga tidak dapat menciptakan kehangatan dan
keakraban
persahabatan. Ia selalu merasa rendah diri atau bahkan berperilaku negatif (membenci, mencela, mengajak berkelahi, bermusuhan dan sebagainya). 5. Bersikap pesimis terhadap kompetisi Hal ini dapat terlihat dari keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap bahwa dirinya tidak berdaya melawan persaingan yang hanya akan merugikan dirinya. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa konsep diri seseorang menjadi bagian yang sangat penting dalam diri individu karena sangat mempengaruhi cara individu berperilaku. Individu yang memiliki konsep diri yang negatif akan memiliki pandangan yang negatif, baik tentang dirinya maupun orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal ini tentunya akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan sekitarnya. Seperti yang dikemukakan oleh bahwa individu dengan konsep diri
posiitifDengan demikian, penilaian seseorang terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan, bergantung dari konsep diri yang dimilikinya.
2.3 Teori Labeling Teori labeling berfokus pada signifikan labeling (nama, reputasi) yang diberikan kepada kita (Henslin, 2007 : 155). Dalam teori ini, labeling mengacu pada labeling yang negatif, misalnya “penjahat”, “pelacur”, “cabul”, “brandalan”, “serampangan”, “anak bodoh” dan sebagainya. Teori labeling menekankan pada pentingnya melihat sebuah penyimpangan dari sudut pandang individu yang menyimpang tersebut. Teori ini mengupas persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang bisa memperoleh cap atau labeling dan efek labeling tersebut terhadap tingkah laku berikutnya. Lemert dalam Hurton (1999 : 199), mengemukakan: Dengan mencap suatu perbuatan sebagai perbuatan menyimpang, maka itu berarti kita mulai menciptakan serangkaian perbuatan yang cenderung mendorong orang untuk melakukan penyimpangan yang lebih besar, dan akhirnya menciptakan pola hidup menyimpang. Jadi tindakan pemberian cap mengawali pembenaran ramalan-pribadi (self-fulfilling prophesy). Pernyataan di atas, menjelaskan bahwa seseorang yang diberi cap “penjahat” akan benar-benar menjadi “penjahat”.
Teori ini menekankan bahwa pemberian
julukan, yang merupakan suatu reaksi dari masyarakat, akan mempengaruhi diri individu yang diberi julukan. Hurton (1999 : 200), juga menjelaskan bahwa proses pemberian cap sangatlah penting karena ia dapat merupakan awal perjalanan hidup yang terus-menerus menyimpang dan tanpa akhir. Labeling yang pada akhirnya menjadi kenyataan, terjadi melalui suatu proses. Hurton (1999 : 200), memberikan gambaran mengenai suatu proses labeling yang menjadi pemicu suatu tindakan penyimpangan.Gambaran proses tersebut antara lain:
1. Seseorang yang dicap ‘penyimpang’ akan diberhentikan dari pekerjaannya atau dikucilkan dari kelompok profesinya, diasingkan oleh orang-orang konvensional dan bahkan mungkin dipenjarakan dan disebut sebagai ‘kriminal’ untuk selamalamanya. 2. Pada saat seseorang telah tergantung pada hubungan-hubungan yang bersifat menyimpang, ia mulai menggunakan tindakan menyimpang sebagai alat pelindung terhadap tekanan masyarakat konvensional yang mencap dirinya sebagai penyimpang. 3. Penyimpangan menjadi fokus perhatian utama reorganisasi perjalanan hidup orang tersebut. Berdasarkan pemaparan proses di atas, penyimpangan yang terjadi karena labeling, diawali oleh perlakuan masyarakat terhadap seseorang yang dianggap menyimpang. Setelah memberi labeling “penyimpang”, masyarakat mulai benarbenar memperlakukan orang tersebut sebagai “penyimpang”. Tindakan tersebut ditandai dengan pengabaian, pengucilan, dan pengasingan. Tindakan pengasingan terkadang diiringi oleh pernyataaan dan sikap tidak hormat masyarakat (Hurton, 1999 : 200). Melalui pengucilan tersebut, si “penyimpang” tidak bisa berinteraksi dengan normal dengan lingkungan sekitarnya, dan mereka seperti dipaksa untuk berhubungan dengan hal-hal yang hanya berhubungan dengan peyimpangan. Dan sebagai hasil akhirnya, hanya hal-hal yang bersifat menyimpanglah yang bisa ia lakukan. Singkatnya, orang yang dijuluki “penjahat”, akan mulai diperlakukan sebagai “penjahat” dan khirnya orang tersebut akan benar-benar menjadi “penjahat”. 2.4 Hubungan Labeling Dengan Konsep Diri Mengenai nama julukan atau labeling yang diterima seseorang, Mulyana (2002 : 275) mengemukakan bahwa:
Nama yang kita terima tidak hanya mempengaruhi kehidupan kita, tetapi juga mempengaruhi orang lain untuk memperlakukan kita, dan terpenting mempengaruhi kita dalam mempersepsi diri-sendiri....Nama adalah bagian dari konsep-diri yang sangat penting.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hurlock (1999 : 173 & 235), yang menjelaskan bahwa nama dan julukan dapat mempengaruhi konsep diri anak-anak dan remaja. Sebuah nama yang mengakibatkan cemoohan atau yang menggambarkan status kelompok minoritas, dapat mengakibatkan perasaan rendah diri. Perasaan rendah diri merupakan bagian dari konsep diri negatif, yang ditandai dengan tidak adanya kepercayaan terhadap diri sendiri, pengabaian terhadap peraturan, serta tidak memiliki tanggung jawab. Individu yang memiliki konsep diri yang negatif mengalami kesulitan dalam menerima dirinya
sendiri
sehingga menyebabkan
buruknya penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial pada diri mereka (Hurlock, 1992 : 261). Perasaan rendah diri dapat ditunjukkan dengan adanya gangguan dalam hubungan sosial, perasaan tidak mampu yang menyebabkan rendahnya motivasi untuk berprestasi, pandangan hidup yang pesimis dan penarikan diri secara sosial (Stuart dan Sundeen, 1998: 230). Labeling cenderung menjadi bagian dari konsep diri kita dan membantu kita ke jalur yang mendorong kita ke penyimpangan ataupun mengalihkan kita dari labeling tersebut (Henslin, 2007 : 155). Pada kasus Shinagawa Daichi, labeling mendorongnya ke arah penyimpangan. Hal ini terjadi karena labeling yang diterimanya telah diterakan dalam dirinya, membentuk konsep dirinya, sehingga pada akhirnya ia menerima dirinya sebagai seorang peyimpang. Seperti yang dikemukakan Atkinson (1999 : 171), bahwa seorang anak yang mendapatkan celaan atau hukuman, akan mengintegrasikan pengalamannya ke dalam citra dirinya. Mungkin mereka akan menyimpulkan bahwa mereka bukan orang yang baik dan
merasa malu. Dengan demikian, seorang anak yang dilabel “bodoh”, akan benarbenar berpikir bahwa dirinya memang bodoh dan bertindak selayaknya anak yang bodoh, misalnya tidak adanya motivasi untuk berprestasi sehingga presatasinya di sekolah kurang baik. Tidak jauh berbeda, Coloraso (2003 : 155) menjelaskan bahwa : bahwa ketika pikiran, perasaan dan kecenderungan diabaikan, diremehkan atau dihukum, anak-anak dapat sampai pada keyakinan bahwa memang ada sesuatu yang salah dengan mereka, dan mereka mulai berperilaku seolah-olah bahwa hal itu memang benar. Dari teori-teori di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa labeling memiliki pengaruh yang besar terhadap konsep diri, karena penilaian yang seseorang dapat tentang dirinya berasal dari lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, jika orangorang yang berada di lingkungan sekitar memberikan label yang negatif kepada seseorang, maka orang tersebut juga akan memandang negatif dirinya sehingga mereka akan benar-benar berpikir bahwa dirinya memang penyimpang dam mulai bertindak selaras sesuai dengan label yang diberikan. Selanjutnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, seseorang yang diberi labeling negatif akan mulai diasingkan, ditolak, dan tidak dihormati lingkungan sekitarnya. Proses pengasingan tersebut juga menjadi salah satu pemicu timbulnya perasaan tidak berharga dan tidak diterima. Dengan demikian, labeling negatif yang diberikan kepada seseorang akan mempengaruhi penilaiannya terhadap dirinya, yang pada akhirnya membentuk konsep diri negatif negatif yang tercermin pada perilaku-perilaku negatif.
2.5 Teori penokohan Dalam suatu cerita, tokoh memiliki peranan yang penting. Tokoh memiliki peranan sebagai pelaku dan pembawa cerita. Dengan demikian, tanpa kehadiran tokoh, sebuah cerita tidak mungkin dapat disampaikan. Nurgiyantoro (2002 : 165), menjelaskan:
Istilah tokoh dapat menunjuk kepada orangnya atau perilaku ceritanya dan istilah tokoh cerita. Dapat juga dikatakan sebagai orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan , melalui tindakan. Untuk mengukur kepribadian seorang tokoh, dapat dilakukan melalui metode verbal dan non verbal. 1. Metode Verbal (melalui percakapan) Nurgiyantoro (2002 : 201), mengemukakan bahwa percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam sebuah cerita, dimaksudkan untuk menggambarkan sifat dari tokoh-tokoh tersebut. Tidak semua percakapan menunjuk kan sikap tokoh. Namun percakapan yang baik dan efektif adalah percakapan yang menunjukkan sifat atau watak dari tokoh pelakunya. 2. Metode non Verbal (melalui deskripsi perbuatan) Metode non verbal merupakan penyampaian info tanpa menggunakan bahasa. Seperti yang dijelaskan Nurgiyantoro (2002 : 203) : Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Dengan demikian, melalui metode verbal (percakapan), dan metode non verbal (tingkah laku, ekspresi wajah, penampilan, postur, isyarat dan lain-lain), kita dapat memperoleh pengetahuan mengenai unsur-unsur yang berkaitan dengan tokoh yang ada dalam alur cerita karya sastra.
2.6 Teknik Montase Menurut Humprey (2005 : 150), teknik montase adalah salah satu teknik mendasar dalam sinema. Teknik montase itu sendiri berasal dari perfilman, yang
memiliki arti memotong-motong, memilah-milah, serta menyambung-nyambung gambar sehingga menjadi kesatuan yang utuh. Teknik montase dalam bidang perfilman digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan. Sehingga pada dasarnya, teknik montase mengambil sebuah kegiatan yang terdapat pada sebuah film, menggabung-gabungkannya dan membentuk kesatuan yang utuh sehingga mampu dimengerti oleh orang umum. Teknik montase juga seringkali digunakan untuk mencuptakan suasana. Teknik ini juga digunakan dalam penyajian ekacakap karena pikiran-pikiran yang susulmenyusul. Teknik montase pun bisa menyajikan kesibukan latar seperti hiruk pikuk kota atau suatu kekalutan.