BAB 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar belakang Masalah Peninggalan sejarah yang diwariskan dapat menimbulkan suatu konflik, seperti yang terjadi di kawasan Kaukasus tepatnya di Nagorno-Karabakh. Secara geografis, wilayah ini terletak di Azerbaijan, namun penduduknya didominasi etnis Armenia. Memang, apabila dilihat dari sejarahnya, Nagorno-Karabakh telah ditaklukkan berbagai bangsa selama berabad-abad, dan ketika kawasan Kaukasus terpecah menjadi tiga negara berdasarkan komposisi etnis dominannya yaitu Armenia, Azerbaijan dan Georgia. Di periode ini untuk pertama kalinya Armenia dan Azerbaijan terlibat perang terbuka dalam memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh. Konflik yang terjadi antara Armenia dan Azerbaijan di wilayah ini memang telah lama ada, namun konflik besarnya dimulai pada tahun 1988 dengan demonstrasi massal yang terjadi di Nagorno-Karabakh, yang merupakan wilayah dari Republik Soviet Azerbaijan, untuk bergabung dengan Republik Soviet Armenia. Kemudian pada tahun 1992 pemberontakan yang terjadi sejak 1988 menjadi perang antara Armenia dan Azerbaijan.1 Sejak tahun 1994 perang terhenti dengan adanya sebuah perjanjian, meskipun tahap yang paling intensif dari konflik tersebut telah diikuti fase peredaman dengan adanya perjanjian gencatan senjata yang melahirkan Bishkek Protocol. Namun, hingga saat ini pihak yang bersengketa masih saling berkonflik di sepanjang daerah
1
H. Kruger, The Nagorno-Karabakh Conflict: A Legal Analysis, Springer, London, 2010, p. xi.
1
gencatan senjata. Wilayah yang diduduki Armenia pun masih terdiri dari NagornoKarabakh dan tujuh distrik administratif di sekitarnya.2 Meskipun pada Mei 1994 kesepakatan gencatan senjata di Nagorno-Karabakh diadakan, tidak ada pasukan internasional ditempatkan untuk memantau garis depan dan tidak ada kesepakatan politik yang diikuti. Peranan mediator sebagai pihak ketiga dalam upaya perdamaian konflik ini telah tercapai dengan adanya penandatanganan perjanjian untuk melakukan gencatan senjata dalam jangka waktu yang tak terbatas dan ditandatangani para pemimpin militer dari Armenia, Azerbaijan, dan NagornoKarabakh pada tanggal 26 Juli 1994.3 Setelah periode gencatan senjata mulai berjalan tahun 1994, dinamika konflik yang terjadi di Nagorno-Karabakh tetap ada. Hal ini dibuktikan bahwa setelah perjanjian gencatan senjata, implementasi dalam protokol tersebut gagal diterapkan karena terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang dipicu dari serangan terorisme di Azerbaijan pada bulan Juli 1994.4 Kemudian pasukan Azerbaijan membangun pertahanan mereka di sekitar Nagorno-Karabakh dan pelanggaran perjanjian gencatan senjata menjadi lebih intens. Laporan resmi Karabakh melaporkan bahwa hampir 25.000 pengungsi telah kembali ke Nagorno-Karabakh selama 1994. Kemudian, pada bulan November 2004 seorang tentara Azerbaijan tertembak di dekat
H. Kruger, The Nagorno-Karabakh Conflict: A Legal Analysis, p. xi. T. D. Waal, Black Garden: Armenia and Azerbaijan Through Peace and War, University Press, New York, 2003, p. 253. 4 Pusat Studi Strategis, Konflik Armenia-Azerbaijan, Departemen Luar Negeri Republik Azerbaijan, 2007, p. 68. 2 3
2
perbatasan Karabakh dan pada bulan Januari 2005 satu tentara Azerbaijan kembali tewas tertembak oleh tentara Armenia.5 Tidak hanya itu, dari tahun 2006 sampai 2012 tercatat peningkatan pelanggaran gencatan senjata yang dilakukan Azerbaijan walaupun upaya mediasi masih dilakukan oleh pihak OSCE sebagai mediator. Seperti yang dilansir oleh Minorities at Risk Project, pada tahun 2006 ada sekitar 600 dan terus meningkat sampai mencapai angka 16.300 kali pelanggaran yang dilakukan oleh Azerbaijan pada tahun 2012.6 Sedangkan pada tanggal 8 November 2004 seorang tentara Armenia menembak dan membunuh tentara Azerbaijan di dekat perbatasan Nagorno-Karabakh. Ada kontak senjata yang terjadi antara Armenia dan Azerbaijan.7 Dalam penyelesaian konflik ini, pihak ketiga yang turut campur adalah OSCE Minks Group. OSCE Minks Group bertujuan menyediakan forum–forum negosiasi yang sesuai untuk resolusi konflik sebagai suatu usaha penyelesaian melalui cara-cara damai. Diketuai oleh Perancis, Amerika Serikat dan Rusia serta memiliki 57 negara partisipan dari Eropa, Asia Tengah dan Amerika Utara. Sejak Februari 1992, proses usaha mediasi terhadap penyelesaian konflik Armenia-Azerbaijan dalam Konferensi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (CSCE
Minorities at Risk Project (MAR), “Chronology for Armenians in Azerbaijan”, (16 Juli 2010) http://www.cidcm.umd.edu/mar/chronology.asp?groupId=37301 dalam jurnal Skripsi Ensi Aditya Kristiani Keterlibatan Rusia dalam Upaya Resolusi Konflik Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan 2008-2012, p. 3 6 Anonim, “Azerbaijan violated ceasefire about 16300 times in 2012”, News.am http://m.news.am/eng/news/135058.html dalam jurnal Skripsi Ensi Aditya Kristiani Keterlibatan Rusia dalam Upaya Resolusi Konflik Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan 2008-2012, p. 3. 7 Anonim, “Azerbaijan violated ceasefire about 16300 times in 2012”, News.am http://m.news.am/eng/news/135058.html dalam jurnal Skripsi Ensi Aditya Kristiani Keterlibatan Rusia dalam Upaya Resolusi Konflik Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan 2008-2012, p. 3. 5
3
yang sekarang dikenal sebagai OSCE) terus berlangsung. Pada pertemuan Dewan Menteri OSCE yang diselenggarakan di Helsinki pada tanggal 24 Maret 1992, sebuah keputusan dikeluarkan untuk mengadakan sebuah konferensi mengenai NagornoKarabakh di Minks di bawah pengawasan OSCE.8 Dibantu juga Commonwealth of Independent States (CIS), sebagai pihak yang turut serta dalam proses mediasi pada saat itu. OSCE menegaskan adanya partisipasi CIS untuk membantu OSCE ketika Rusia mendeklarasikan bahwa OSCE sendiri tidak dapat mengamankan wilayah yang berkonflik. Akhirnya di tahun 1994 CIS, Rusia, dan OSCE berhasil meyakinkan pihakpihak yang berkonflik untuk menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mengakhiri kekerasan meskipun sebagian besar sengketa antara Armenia dan Azerbaijan masih belum terselesaikan. 9 Seperti yang telah disebutkan pada paragraf-paragraf sebelumnya, setelah periode gencatan senjata, masih terdapat dinamika konflik di Nagorno-Karabakh. Sehingga pihak OSCE sebagai mediator terus melakukan pertemuan-pertemuan dengan pihak yang berkonflik untuk usaha perdamaian setelah implementasi dari Protokol Bishkek gagal diterapkan dalam menghentikan konflik yang terjadi. Kedua pihak yang bersengketa masih memiliki konflik di sepanjang daerah perbatasan dan terlibat kontak senjata sehingga konflik ini dapat dikatakan sebagai konflik beku karena
Pusat Studi Strategis, Konflik Armenia-Azerbaijan, Departemen Luar Negeri Republik Azerbaijan, 2007, p. 67. 9 B. Başer, ‘Third Party Mediation In Nagorno-karabakh: Part Of The Cure Karabakh: Part Of The Cure Or Part Of The Disease?’, OAKA, 2008, p. 93. 8
4
upaya damai masih belum berhasil walaupun juga telah diintervensi oleh berbagai pihak dalam penyelesaian konflik ini. 1. 2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, bahwa upaya mediasi dalam konflik Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan masih berlangsung sejak adanya perjanjian gencatan senjata pada tahun 1994 hingga sekarang. Namun, konflik tersebut masih belum terselesaikan. Tulisan ini akan berusaha menjawab pertanyaan sebagai berikut: “Mengapa upaya mediasi dalam konflik Nagorno-Karabakh berjalan tidak efektif?” 1. 3 Tinjauan Pustaka Ada beberapa tulisan yang dirasa penting dalam membantu penulis untuk mengkaji penulisan tesis ini. Beberapa tulisan yang dimuat oleh penulis memberikan gambaran mengenai konflik Nagorno-Karabakh, sehingga dalam mengkaji penelitian mengenai upaya mediasi dalam konflik Nagorno-Karabakh. Tulisan-tulisan ini diharapkan membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini, walaupun dari kajiankajian tersebut masih belum ada yang menyebutkan keberhasilan upaya mediasi dalam penyelesaian konflik Nagorno-Karabakh namun dirasa cukup membantu penulis dalam mengkaji penulisan tesis ini. Seperti dalam tulisan Behlül Özkan, ia mengatakan bahwa ada tiga faktor penting dalam memahami dan menganalisis konflik Nagorno-Karabakh: perjuangan masyarakat dengan tragedi sejarah dan budaya yang menghasilkan ketidakamanan, 5
transformasi sosial dan perlawanan rezim otoriter, serta ekonomi dalam konteks warisan Soviet. Memang faktor tersebut sangat penting dalam menganalisis konflik antara Armenia dan Azerbaijan. Seperti yang ditulis oleh Thomas De Waal dalam bukunya, bahwa pada wilayah tersebut terdapat dua versi sejarah yang bertentangan, NagornoKarabakh merupakan suatu daerah yang terbagi antara Kristen dan Muslim, Armenia dan Turki, serta barat dan timur. Masalahnya adalah tidak ada pihak yang bisa memutuskan dimana letak pembagian daerah tersebut. Di satu sisi, bagi Armenia wilayah Nagorno-Karabakh merupakan bukit indah berhutan yang membentang, sedangkan bagi Azerbaijan, Nagorno-Karabakh adalah fakta sejarah keadilan. Arti budaya dan simbol dari Nagorno-Karabakh untuk Armenia adalah daerah terakhir dari peradaban Kristen dan tempat bersejarah bagi pangeran Armenia dan uskup sebelum dunia timur Turki dimulai. Azerbaijan berbicara mengenai wilayah Nagorno-Karabakh adalah sebagai tempat kelahiran maupun daerah sekolah seni musik, yang menjadi tempat kelahiran musisi dan penyair mereka.10 Dalam upaya perdamaian antara kedua pihak tersebut, aktor eksternal memainkan peran penting di kawasan ini, seperti yang dikatakan Behlül Özkan11: ”Competition among them provides plenty of room to maneuver for the ruling elites of the Caucasian states to defend their self-interests. Rather than being pawns in the global energy game as the ‘Great T. D. Waal, Black Garden: Armenia and Azerbaijan Through Peace and War, p. 3. B. Özkan, ‘Who Gains from the No War No Peace Situation A Critical Analysis of the Nagorno-Karabakh Conflict’, Geopolitics, Vol. 13 issue 3, 2008, p. 574. 10 11
6
Gamers’ would have us believe, these elites play external actors against each other to maximize their profits.” Salah satunya adalah peran Amerika Serikat sebagai salah satu Co-Chairman dari Minks Group yang campur tangan konflik ini, dalam Journal of Muslim Minority Affairs tulisan dari Kamer Kasim yang berjudul American Policy toward the NagornoKarabakh Conflict and Implications for its Resolution mengatakan bahwa Amerika Serikat mengalami kesulitan khusus dalam menangani konflik. Di satu sisi kepentingan Amerika Serikat membutuhkan perlindungan integritas teritorial dan stabilitas Azerbaijan karena memiliki sumber daya energi yang besar. Pada tahun 1992, Kongres Amerika Serikat mengeluarkan Undang-Undang Support Freedom. Namun, karena pengaruh dari lobi Armenia, pada Bagian 907 dari Undang-Undang Support Freedom mencegah pemerintah AS mengirim bantuan kemanusiaan ke Azerbaijan, hal itu tertulis dalam Undang-Undang Support Freedom yang berbunyi bahwa bantuan dari Amerika di bawah undang-undang ini maupun undang-undang lain (selain bantuan dengan Judul V Undang-Undang ini yaitu Pembatasan Bantuan untuk Azerbaijan) mungkin tidak tersedia kepada Pemerintahan Azerbaijan hingga Presiden menentukan, dan melaporkan kepada Kongres bahwa Pemerintahan Azerbaijan telah mengambil langkah-langkah nyata untuk menghentikan semua blokade dan penggunaan ofensif lain dari kekuatan terhadap Armenia dan Nagorno Karabakh.12
K. Kasim, ‘American Policy Toward the Nagorno-Karabakh Conflict and Implications for Its Resolution’, Muslim Minority Affairs, Vol. 32, No. 2, 2012, p. 231. 12
7
Hal tersebut berarti bahwa Amerika akan melanjutkan bantuannya ke Azerbaijan ketika pemerintahan Azerbaijan berhenti melakukan tindakan perlawanan terhadap Armenia. Kemudian hal itu berdampak negatif terhadap hubungan Amerika-Azerbaijan untuk waktu yang lama. Pemerintah AS juga mengalami kesulitan dalam menganalisis peran Rusia dan menerapkan strategi terhadap konflik Nagorno-Karabakh.13 Dalam jurnal yang berjudul Unfreezing the Nagorno-Karabakh Conflict? Evaluation Peacemaking Efforts under the Obama Administration sebuah tulisan dari Thomas Ambrosio, menulis bahwa baik pihak yang bertikai maupun aktor-aktor global merasa terdorong untuk menantang status quo dan mencari solusi damai untuk konflik. Sebuah gencatan senjata yang dicapai pada 1994 dan situasinya sebagian besar tetap statis. Meskipun ada insiden ancaman senjata dari kedua belah pihak yang masih berupaya untuk mempertahankan wilayah, dan upaya perdamaian yang dilakukan oleh kekuatan eksternal untuk menengahi kedua belah pihak, Nagorno-Karabakh dianggap sebagai salah satu dari beberapa konflik ‘beku’ di bekas Uni Soviet.14 Padahal dalam tulisannya Kamer Kasim juga mengatakan bahwa Azerbaijan adalah negara yang paling penting di antara negara-negara merdeka Republik Kaukasian dan menjadi pusat perhatian bagi kebijakan AS di kawasan Kaukasia,
K. Kasim, ‘American Policy Toward the Nagorno-Karabakh Conflict and Implications for Its Resolution’, p. 231. 14 T. Ambrosio, ‘Unfreezing the Nagorno-Karabakh Conflict? Evaluation Peacemaking Efforts Under the Obama Administration’, Ethnopolitics, Vol. 10, No. 1. Maret, 2011, p. 96. 13
8
karena posisinya yang strategis juga dikombinasikan dengan sumber daya yang kaya minyak dan gas alam. Kerjasama Azerbaijan dengan Georgia, sekutu AS lainnya di kawasan itu terutama setelah "Revolusi Mawar" juga penting untuk strategi regional AS. Amerika Serikat dan Azerbaijan kemudian juga bekerja sama dalam program Caspia Guard, yang bertujuan untuk mencegah proliferasi senjata pemusnah massal, terorisme dan penyelundupan. Program ini juga bertujuan untuk melindungi pengembangan energi dan transportasi di Caspian. Meskipun adanya kerjasama dengan Azerbaijan, pemerintah AS masih belum mampu mengikuti kebijakan yang mencerminkan kepentingan strategis Azerbaijan yang juga disebabkan pengaruh dari Armenia.15 Sehingga ketika Amerika mengeluarkan Undang-Undang Support Freedom memberikan pengaruh terhadap kerjasama antara Amerika dan Azerbaijan.16 Dari paragraf sebelumnya, dapat kita lihat bahwa adanya keinginan dari Amerika dalam mencampuri masalah di wilayah itu yang dikarenakan adanya kerjasama dengan Azerbaijan. Dengan demikian, campur tangan dari pihak ketiga pun sebenarnya bukan hanya karena keinginan untuk ”mendamaikan”, namun juga karena adanya faktor lain seperti kerjasama Amerika dengan Azerbaijan yang membutuhkan perlindungan integritas teritorial dan stabilitas Azerbaijan karena memiliki sumber
K. Kasim, ‘American Policy Toward the Nagorno-Karabakh Conflict and Implications for Its Resolution’, p. 232. 16 T. Ambrosio, ’Unfreezing the Nagorno-Karabakh Conflict? Evaluation Peacemaking Efforts Under the Obama Administration’, p. 98. 15
9
daya energi yang besar serta Azerbaijan adalah negara yang paling penting di antara negara-negara merdeka Republik Kaukasian.17 Dalam latar belakang telah disebutkan mengenai tulisan dari Thomas De Waal bahwa peranan mediator sebagai pihak ketiga dalam upaya perdamaian konflik ini telah tercapai dengan adanya penandatanganan perjanjian untuk melakukan gencatan senjata dalam jangka waktu yang tak terbatas dan ditandatangani oleh para pemimpin militer dari Armenia, Azerbaijan, dan Nagorno-Karabakh pada tanggal 26 Juli 1994. Namun dinamika konflik yang terjadi di Nagorno-Karabakh tetap ada, masih terjadi baku tembak di wilayah tersebut seperti yang tertulis dalam Minorities at Risk Project (MAR), “Chronology for Armenians in Azerbaijan”, bahwa pada bulan November 2004 seorang tentara Azerbaijan tertembak di dekat perbatasan Karabakh. 18 Dan pada bulan Januari 2005 satu tentara Azerbaijan kembali tewas tertembak tentara Armenia, tidak hanya itu, dari tahun 2006 sampai 2012 tercatat peningkatan pelanggaran dari sekitar 600 hingga 16.300 kali pelanggaran yang dilakukan oleh Azerbaijan pada tahun 2012. 19
17 K. Kasim, ‘American Policy Toward the Nagorno-Karabakh Conflict and Implications for Its Resolution’, p. 232. 18 Anonim, “Azerbaijan violated ceasefire about 16300 times in 2012”, News.am http://m.news.am/eng/news/135058.html dalam jurnal Skripsi Ensi Aditya Kristiani Keterlibatan Rusia dalam Upaya Resolusi Konflik Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan 2008-2012, p. 3. 19 Anonim, “Azerbaijan violated ceasefire about 16300 times in 2012”, News.am http://m.news.am/eng/news/135058.html dalam jurnal Skripsi Ensi Aditya Kristiani Keterlibatan Rusia dalam Upaya Resolusi Konflik Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan 2008-2012, p. 3.
10
Walaupun telah dilakukan upaya perdamaian yaitu dengan adanya gencatan senjata yang melahirkan Bishkek Protocol, namun upaya tersebut hanya meredam konflik. Wilayah Nagorna-Karabakh masih dijaga ketat oleh pihak yang berkonflik karena masih terjadi kontak senjata antara pihak Armenia dan Azerbaijan. Hal itu juga didukung oleh tulisan dari Tim Potier dalam Jurnal yang berjudul Referendum to Determine Nagorno Karabakh's Final Status- A Critical Appraisal yang mengatakan bahwa pada realitanya kondisi yang memang benar damai masih belum dapat dicapai, penyelesaian mungkin tidak akan pernah tercapai, dikarenakan kedua belah pihak lebih memilih berjuang untuk wilayah Nagorno-Karabakh.20 Pembahasan yang akan ditawarkan penulis dalam tesis ini yang tidak dijelaskan oleh beberapa penulis di atas mengenai mediasi dalam konflik Nagorno-Karabakh adalah penulis menganggap bahwa upaya mediasi dalam konflik Nagorno-Karabakh dianggap tidak efektif. Hal itu terbukti setelah adanya perjanjian gencatan senjata yaitu Protokol Bishkek, implementasi dalam protokol tersebut gagal diterapkan karena terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang dipicu dari serangan terorisme di Azerbaijan pada bulan Juli 1994. Setelah itu pasukan Azerbaijan membangun pertahanan mereka di sekitar Nagorno-Karabakh dan pelanggaran perjanjian gencatan senjata menjadi lebih intens. Masih terdapat kontak senjata yang dilakukan oleh kedua belah pihak di sepanjang daerah gencatan senjata yang
T. Potier, ‘Referendum to Determine Nagorno Karabakh's Final Status - A Critical Appraisal’, Muslim Minority Affairs, Vol. 32, No. 2, 2012, p. 274. 20
11
dikarenakan bahwa pihak yang berkonflik masih belum memiliki kesiapan dalam mencapai perdamaian. Kemudian, karena para pihak tidak siap untuk berdamai menjadi sebuah cerminan bahwa prinsip netralitas tidak dimiliki oleh pihak mediator, sehingga mediasi yang dilakukan pihak mediator tidak mampu menghentikan konflik yang terjadi. 1. 4 Kerangka Konseptual 1.4. 1 Mediasi Touval dan Zartman (1989: 177) mendefiniskan mediasi sebagai intervensi yang diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, yang mempunyai kerjasama diplomatis dengan pihak yang menjadi mediator, kerjasama diplomatis tersebut didasarkan pada penggunaan langsung tanpa kekerasan dan tidak ditujukan untuk membantu salah satu pihak yang menang. Seperti jasa baik, mediasi membantu pihakpihak yang bersengketa berkomunikasi, dan seperti konsiliasi hal tersebut menekankan mengubah pandangan dan sikap kedua belah pihak terhadap satu sama lain – tetapi ia juga melakukan fungsi tambahan seperti menyarankan ide untuk kompromi dan mereka bernegosiasi dan berunding langsung dengan kedua belah pihak, mediasi pada dasarnya adalah sebuah proses politik tanpa komitmen sebelunya dari pihak-pihak terkait untuk menerima ide mediator.21
W. Carlsnaes, T. Risse & B.A. Simmons, Handbook Hubungan Internasional, edisi Bahasa Indonesia Handbook Hubungan Internasional, diterjemahkan oleh Imam Baehaqi, Nusa Media, Bandung, 2013, p. 816. 21
12
Mediasi melibatkan keikutsertaan pihak ketiga yang netral dan independen dalam suatu sengketa. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di antara para pihak.22 Mediasi bersifat adaptif dan responsif. Analisis umum dari karakteristik mediasi dapat didasarkan dari23: 1. Mediasi merupakan perpanjangan dan kelanjutan dari pihak-pihak yang memiliki upaya manajemen konflik; 2. Mediasi melibatkan intervensi dari individu, kelompok, atau organisasi untuk turut campur dalam sengketa yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih; 3. Mediasi adalah non-koersif, anti kekerasan dan tidak mengikat dalam suatu intervensi; 4. Mediasi mengubah sengketa bilateral menjadi interaksi nonbilateral, dengan menambahkan jumlah mediator menjadi lebih dari satu pihak. Efek mediasi yang struktual ini mengubah dan menciptakan suatu titik fokus baru untuk mencapai kesepakatan damai; 5. Mediator yang masuk dalam sengketa memengaruhi, mengubah, mengatasi, memodifikasi dengan berbagai cara;
H. Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, p. 34. J. Bercovitch, ‘The Structure and Diversity of Mediation in International Relations’, dalam J. Bercovitch (eds.), Mediation in Internation Relations, Multiple Approaches to Conflict Management, Palgrave, New York, 2003, p. 4. 22 23
13
6. Secara langsung maupun tidak, mediator perlahan membawa ide, pengetahuan, sumber daya dan kepentingan kepada pihak-pihak yang bersengketa. Mediator menjadi aktor penting berdasarkan asumsi dan agenda mereka sendiri mengenai sengketa yang diselesaikan. Dan mediator bersikap tertarik serta peduli dengan pihak-pihak yang bersengketa; 7. Mediasi merupakan bentuk intervensi yang bersifat sukarela. Hal ini berarti pihak-pihak yang bersengketa masih tetap bisa mengkaji atas hasil yang didapat oleh mediator dalam perselisihan mereka, serta pihak yang bersengketa mempunyanyi kebebasan untuk menerima maupun menolak hasil dari mediasi; 8. Mediasi beroperasi secara ad hoc atau sementara. Idealnya, kesuksesan mediasi dapat menghasilkan: terhentinya suatu kekerasan, perjanjian yang memungkinkan setiap pihak yang bersengketa mendapatkan nama baik dalam dunia internasional maupun nasional, suatu pandangan yang baik terhadap pemimipin negara yang bersengketa dalam masyarakat dunia, pengaturan yang akan menjamin dalam penerapan perjanjian apapun yang telah dicapai, dan hubungan yang lebih baik antara pihak yang bersengketa. Hal tersebut tentu saja tidak semuanya bisa dicapai ketika mediator memutuskan untuk menengahi sengketa yang terjadi. Tingkat kesuksesan mediator tentunya dapat diukur dengan jumlah hasil yang telah dicapai. Dalam upaya mediasi dapat dilihat dengan lima syarat
14
yang penting untuk menunjukkan bahwa mediasi yang dilakukan tersebut telah sukses, yaitu24: 1. Para pihak yang bersengketa harus sadar bahwa mereka tidak mungkin mendapatkan apa yang mereka inginkan secara sepihak; 2. Apabila memakan biaya, maka jalan alternatif untuk perjanjian haruslah tidak melibatkan biaya ekonomi maupun biaya politik yang tidak dapat diterima; 3. Perwakilan para pihak yang bersengketa harus memiliki otoritas yang cukup untuk berbicara mewakili pihak mereka dan berkomitmen dalam menjalankan tugasnya; 4. Kepentingan internasional maupun kepentingan regional dari pihak yang bersengketa harus memiliki tekanan atau desakan agar resolusi dapat tercapai; 5. Mediator yang tersedia harus diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dalam menangani sebuah konflik, seharusnya pihak yang berkonflik memiliki kesiapan maupun kematangan agar upaya perdamaian yang dilakukan dapat berjalan dengan efektif. Memang pihak mediator dalam konflik Nagorno-Karabakh dapat diterima oleh pihak yang berkonflik untuk menengahi perkara yang ada. Namun, pertemuan mediasi yang dilakukan oleh para pihak masih belum menghentikan perkara
L. Susskind and E. Babbitt, ‘Overcoming the Obstacles to Effective Mediation of International Disputes’, dalam J. Bercovitch dan J. Z. Rubin, Mediation in Internation Relations, Multiple Approaches to Conflict Management, Palgrave, New York, 2003, p. 31. 24
15
yang terjadi di antara para pihak. Hal tersebut disebabkan oleh suatu hal yang disebut dengan kematangan. Kematangan maupun kesiapan para pihak yang bersengketa merupakan hal yang harus dimiliki oleh para pihak yang bersengketa. Hal tersebut berarti bahwa apakah kematangan tersebut dapat meliputi kesiapan dari diri pihak yang bersengketa, sebagaimana juga atas dasar pertimbangan hubungan para pihak yang bersengketa. Konsep kesiapan menyediakan sebuah analisis untuk membantu menjelaskan mengapa kesepakatan dapat dicapai dalam situasi tertentu tetapi tidak pada pihak yang bersengketa. Konsep ini juga merupakan sebuah preskriptif atau bersifat memberi petunjuk maupun bantuan untuk membantu para pembuat kebijakan membedakan perselisihan yang mana disetujui untuk bernegosiasi dan memerlukan perubahan dalam diplomasi agar menjadi lancar.25 Mengenai konsep kematangan atau kesiapan untuk menengahi sebuah perkara, berpusat dari persepsi dari para pihak agar tidak mendapati sebuah jalan buntu dalam mencapai resolusi konflik. Kematangan dalam mencapai upaya perdamaian tersebut sebenarnya hanya merupakan sebuah kondisi. Kondisi yang diperlukan oleh pihak yang berkonflik maupun pihak ketiga sebagai mediator dengan harapan agar konflik yang ada dapat terhenti dan hasil dari upaya perdamaian tersebut dapat diterima oleh pihak yang
R. N. Haass, ‘Ripeness and the settlement of international disputes’, Survival, Vol. 30, No. 3, 1988, p. 232. 25
16
berkonflik.26 Ketidaksiapan pihak yang berkonflik untuk dimediasi dapat dilihat setelah ditandatangani Protokol Bishkek, salah satu pihak dari Azerbaijan melakukan penyerangan terhadap pihak lain yaitu suatu Partai dari Armenia dan kemudian memicu adanya penyerangan yang terus berlanjut. Kemudian kedua pihak kembali saling berjaga di sepanjang daerah gencatan senjata dan memperkuat pertahanan mereka yang diawali oleh militer dari Azerbaijan setelah para pengungsi kembali ke NagornoKarabakh. Lagipula, karena ketidaksiapan atau kematangan dari pihak yang bersengketa menimbulkan adanya ketidaknetralan dari pihak mediator. Pelanggaran prinsip netralitas tersebut merupakan suatu cerminan dari sikap ketidaksiapan para pihak yang berkonflik untuk dimediasi dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi. Prinsip netralitas dalam suatu mediasi tentunya sangat diperlukan agar proses penyelesaian suatu konflik dapat terlaksana tanpa harus menyakiti salah satu pihak. Seperti yang telah disebutkan penulis di paragraf sebelumnya bahwa mediasi melibatkan keikutsertaan pihak ketiga yang netral dan independen dalam suatu sengketa. Prinsip netralitas tersebut dimaksudkan agar pihak-pihak yang bersengketa dapat menerima hasil dari pertemuan mediasi yang dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga masalah yang terjadi antara para pihak yang bersengketa dapat diselesaikan tanpa adanya masalah yang muncul lagi di antara para pihak yang bersengketa.
I. W. Zartman, ‘The Timing of Peace Initiatives: Hurting Stalemates and Ripe Moments’, The Global Review of Ethnopolitics, Vol. 1, No. 1, 2001, p. 9. 26
17
Dalam menjalankan mediasi, mediator memang bebas menentukan bagaimana proses penyelesaian sengketanya berlangsung. Perannya di sini tidak semata-mata mempertemukan para pihak agar bersedia berunding, tetapi mediator juga terlibat dalam perundingan dengan para pihak dan dengan sifat netralitas yang dimiliki oleh mediator, pihak yang bersengketa dapat memberikan saran-saran atau usulan dalam proses penyelesaian sengketa. Dalam tulisan mengenai mediasi di atas memang tidak menyinggung secara rinci mengenai prinsip netralitas. Netralitas atau ketidakberpihakan bermaksud bahwa pihak ketiga sebagai mediator tidak memihak salah satu pihak dan dapat bersifat tegas dalam menengahi sengketa yang ada, sehingga prinsip netralitas haruslah dimiliki oleh mediator agar hasil dari upaya mediasi itu sendiri dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dan dalam upaya mediasi, seperti yang disebutkan dalam paragrafparagraf sebelumnya, mediator harus terampil, beralasan dan dapat dipercaya. Hal tersebutlah yang merupakan alasan bahwa prinsip keadilan dari pihak ketiga merupakan dasar dari etika mediasi.27 Lagipula, kesuksesan mediasi yang dijelaskan sebelumnya menyebutkan bahwa para pihak yang bersengketa harus sadar bahwa mereka tidak mungkin mendapatkan apa yang mereka inginkan secara sepihak. Namun, pihak yang berkonflik seperti tidak dapat menerima hasil dari upaya mediasi yang hal tersebut dikarenakan bahwa pihak yang berkonflik sebenarnya tidak memiliki kesiapan untuk dimediasi. Hal 27
H. Hung, ‘Neutality and Impartiality in Mediation’, ADR Bulletin, Vol. 5. No. 3, 2002, p. 2.
18
tersebut dapat membantu untuk menjawab pertanyaan yang ada dalam penulisan tesis ini mengenai ketidakefektifan upaya mediasi. Mediasi dalam konflik Nagorno-Karabakh memang telah dilakukan sejak tahun 1992, dan pada tahun 1994 kesepakatan telah dicapai dengan adanya penandatanganan perjanjian yang juga dibantu oleh CIS ketika Rusia mendeklarasikan bahwa OSCE sendiri tidak dapat mengamankan wilayah yang berkonflik. Kesepakatan tersebut dimaksudkan untuk melakukan gencatan senjata dalam jangka waktu yang tak terbatas dan ditandatangani oleh para pemimpin militer dari Armenia, Azerbaijan, dan Nagorno-Karabakh. Perjanjian gencatan senjata itu bertujuan agar kedua pihak menarik pasukannya dari wilayah yang diperebutkan dan tetap melaksanakan pertemuan-pertemuan resmi untuk mencari jalan damai. Namun, karena adanya ketidaksiapan para pihak untuk dimediasi, para pihak kembali mengangkat senjata mereka untuk mempertahankan wilayah Nagorno-Karabakh. Sehingga, upaya mediasi yang menghasilkan perjanjian gencatan senjata tidak tercapai dan dianggap tidak efektif. Seperti yang dikatakan oleh Susskind dalam buku yang dieditori oleh Bercovitch, upaya mediasi dapat dikatakan berhasil apabila terhentinya suatu kekerasan antara pihak yang bersengketa. Namun setelah periode gencatan senjata, kedua belah pihak perlahan memperkuat pertahanan mereka di sepanjang perbatasan wilayah yang diperebutkan.28 Syarat yang menyatakan bahwa mediasi berjalan efektif 28
T. D. Waal, Black Garden: Armenia and Azerbaijan Through Peace and War, p. 253.
19
pun tidak terlaksana, karena pihak-pihak yang bersengketa yaitu Armenia dan Azerbaijan menginginkan sebuah keputusan yang bersifat secara sepihak. Hal itu dikarenakan kedua belah pihak lebih memilih untuk berjuang dalam mengklaim wilayah Nagorno-Karabakh, para pihak menginginkan wilayah Nagorno-Karabakh berada dalam kawasan mereka.29 Sehingga pihak mediator yaitu OSCE terus melakukan pertemuan-pertemuan agar konflik tersebut dapat terselesaikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Apabila mediasi yang dilakukan dalam konflik ini berjalan efektif, maka pihak yang bersengketa harusnya dapat menerima hasil dari mediasi yang pertama yaitu perjanjian gencatan senjata yang mengsyaratkan agar kedua pihak menarik pasukannya dari wilayah yang diperebutkan dan serta adanya pemberitaan mengenai kontak senjata antara kedua belah pihak Lagipula, pelanggaran prinsip netralitas oleh pihak mediator yang merupakan cerminan dari sikap tidak siap dari pihak yang berkonflik tersebut, membuat Azerbaijan menganggap para Co-Chairman OSCE yaitu Rusia, Amerika Serikat serta Perancis lebih memihak kepada Armenia. Hal tersebut dikatakan oleh Habib Marmadov yang merupakan Sekretaris II di Kedutaan Besar Azerbaijan untuk Indonesia bahwa pihak Azerbaijan menginginkan adanya negara tambahan seperti Turki dan Jerman untuk menjadi Co-Chairman namun ditolak oleh 3 negara tersebut karena adanya pengaruh lobi dari pihak Armenia.30
29
T. Potier, ‘Referendum to Determine Nagorno Karabakh's Final Status - A Critical Appraisal’,
30
H. Marmadov, dalam wawancara langsung dengan Kedutaan Azerbaijan untuk Indonesia 24
p. 274.
20
1. 5 Argumen Utama Berdasarkan paparan sebelumnya, argumen utama yang dapat ditarik adalah bahwa upaya mediasi yang dilakukan oleh OSCE dan CIS tidak efektif yang disebabkan oleh: 1. Ketidaksiapan dari para pihak yang berkonflik dalam upaya perdamaian, sehingga masing-masing pihak merasa dirugikan; 2. Pihak ketiga sebagai mediator tidak memiliki sikap netralitas dalam melakukan mediasi yang merupakan sebuah cerminan dari ketidaksiapan para pihak bersengketa dalam melakukan upaya perdamaian. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya permasalahan yang timbul setelah adanya kegagalan pada implementasi perjanjian gencatan senjata di tahun 1994. Pihak Armenia dan Azerbaijan sama-sama memperkuat pertahanan militer mereka di sepanjang wilayah yang diperebutkan yang dipicu dari serangan terorisme di Azerbaijan pada bulan Juli 1994. Dan kemudian masing-masing pihak masih terus berjaga dan melakukan kontak senjata meskipun perjanjian gencatan senjata telah ditandatangani, sehingga pihak OSCE sebagai mediator masih diperlukan agar sengketa yang terjadi dapat diselesaikan. Selain itu, ketidaknetralan dari pihak mediator timbul dari cerminan sikap ketidaksiapan para pihak yang bersengketa untuk
Februari 2015.
21
dimediasi dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi sehingga hasil dari mediasi tidak dapat diterima oleh salah satu pihak yang berkonflik. 1. 6 Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data berdasarkan data-data sekunder (data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis orang lain), studi literatur yang digunakan penulis untuk mengolah data dari jurnal, buku-buku, serta sumber-sumber dari internet yang merupakan situs resmi yang berhubungan konflik Nagorno-Karabakh serta upaya mediasi yang dilakukan oleh pihak ketiga yaitu OSCE dan CIS. Kemudian untuk metode selanjutnya penulis melakukan wawancara ke pihak terkait dengan penulisan tesis ini yaitu Sekretaris II Kedutaan Besar Azerbaijan untuk Indonesia. Setelah data diperoleh, penulis akan menggunakan data tersebut untuk menjawab rumusan masalah sekaligus membuktikan argumen utama yang telah disusun sebelumnya, selanjutnya digunakan dalam pengambilan kesimpulan. 1. 7 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi empat bab yaitu pada Bab 1 yang menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tinjauan pustaka, argumen utama, kerangka konseptual, metodologi penelitian dan, sistematika penulisan. Pada Bab 2, membahas mengenai awal mula konflik Nagorno-Karabakh dari tahun 1988 hingga tercapainya perjanjian gencatan senjata pada tahun 1994, serta membahas
22
mengenai terorisme Armenia di Azerbaijan serta sedikit mengulas mengenai Khojaly Genocide. Bab 3, akan membahas mengenai rumusan masalah dalam penulisan tesis ini yaitu mengapa upaya mediasi dalam konflik Nagorno-Karabakh berjalan tidak efektif. Bab 4 merupakan penutup dan kesimpulan dari semua bab serta pelajaran penting mengenai penulisan tesis ini.
23