BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegepti yang masih menyerang penduduk dunia saat ini. World Health Organization (WHO) memperkirakan Insiden DBD telah tumbuh meningkat secara dramatis di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir. Angkaangka yang sebenarnya dari kasus DBD yang tidak dilaporkan dan banyak kasus yang kesalahan klasifikasi. Salah satu perkiraan baru-baru ini menunjukkan bahwa infeksi DBD sebesar 390 juta per tahun. Penelitian lain, memperkirakan 3,9 milyar orang, di 128 negara, berada pada daerah yang beresiko terinveksi virus dengue (WHO, 2014). Negara-negara anggota WHO secara teratur melaporkan jumlah tahunan kasus ini. Pada tahun 2010, hampir 2,4 juta kasus dilaporkan. Meskipun beban global penuh penyakit ini tidak pasti, namun dari hasil pencatatat kasus DBD terlihat terjadi peningkatan tajam dalam jumlah kasus yang dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir (WHO, 2014). Penyakit ini endemik di 100 negara. Insidens demam dengue terjadi baik di daerah tropik maupun subtropik wilayah urban, menyerang lebih dari 100 juta penduduk tiap tahun, dan sekitar 30.000 kematian terjadi terutama untuk anak-anak. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Achmadi, 2010). DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968 yaitu ditemukan sebanyak 54 kasus dengan 24 kematian atau Case Fatality Rate (CFR) 41.5%, kemudian penyakit ini menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD terbesar pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun 1998 dengan Incidence Rate (IR) sebesar 35,19/100.000 penduduk dan CFR sebesar 2% (Soegijanto, 2003). Sejak penemuan tersebut, setiap tahunnya jumlah kasus DBD cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data Kemenkes tahun 2013 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah kematian 871 orang (IR 45.85 per 100.000 penduduk dan CFR 0.77%). Jumlah kasus ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2012
yang
sebesar 90.245 kasus
dengan IR 37,27 (Kemenkes, 2014). Diantara beberapa provinsi mengalami peningkatan jumlah kasus DBD,salah satunya adalah Sumatera Utara selain, Riau, Kepri, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bali dan Kalimantan Utara. Jumlah kasus DBD berdasarkan data yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 sebanyak 4.732 kasus kesakitan dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 45 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu
sebanyak 1.253 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 16 orang. (Dinkes Prov Sumut, 2014). Secara teoritis peningkatan jumlah penderita DBD dipengaruhi oleh adanya mobilitas penduduk dan arus urbanisasi yang tidak terkendali, kurangnya jumlah dan kualitas SDM pengelola program DBD di setiap jenjang administrasi, kurangnya kerjasama serta komitmen lintas program dan lintas sektor dalam pengendalian DBD, sistim pelaporan dan penanggulangan DBD yang terlambat dan tidak sesuai dengan standar, perubahan iklim yang cenderung menambah jumlah habitat vektor DBD, infrastruktur penyediaan air bersih yang tidak memadai, serta letak geografis Indonesia di daerah tropik mendukung perkembangbiakan vektor dan pertumbuhan virus serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan DBD (Depkes RI, 2007). Berdasarkan kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian DBD, maka Departemen Kesehatan telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam pengendalian penyakit DBD, yaitu menemukan kasus secepatnya dan mengobati sesuai prosedur tetap, memutuskan mata rantai penularan dengan pemberantasan vektor (nyamuk dewasa dan jentik-jentiknya), kemitraan dengan wadah Kelompok Kerja Operasional DBD (POKJANAL DBD), pemberdayaan masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan peningkatan profesionalisme pelaksana program (Depkes RI 2007). Pemerintah
telah
melakukan
berbagai
upaya
dalam
menanggulangi
munculnya kasus-kasus DBD. Namun, pemerintah tidak dapat melaksanakan sendiri
tanpa peran berbagai pihak untuk melaksanakan tugasnya. Sehingga salah satu cara untuk memperlancar pelaksanaannya adalah dengan mempergunakan hukum dan perundang-undangan seperti yang terdapat dalam pasal 5 UU No. 36 tahun 2009 disebutkan bahwa “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan”. Departemen Kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Dengan diberlakukannya UU No 23 tahun 2014 sebagai revisi UU No. 12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah serta PP No. 38 tahun 2007
tentang
pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daeraha kabupaten/kota, sebagai daerah otonom telah terjadi pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah termasuk didalamnya kewenangan dalam bidang kesehatan. Namun kelambanan penanganan merebaknya penyakit demam berdarah itu tidak lepas dari kendala jarak dalam hubungan struktural antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota sebagai pelaksana program. Akibatnya, sosialisasi mengenai bahaya serangan DBD amat kurang. Itulah sebabnya mengapa penyakit DBD ini terjadi berulang-ulang dan cenderung makin besar. Di sisi lain, perilaku masyarakat telah menambah suburnya opulasi nyamuk Aedes aegypti terutama di
perkotaan. Kebanyakan
kota-kota
besar berkembang
pesat
dengan
segala
implikasinya, seperti tumbuhya daerah kumuh karena urbanisasi, terbatasnya pasokan air bersih, manajemen pengelolaan kota yang tidak sempurna, dan manajemen lingkungan yang tidak profesional. Semua itu menimbulkan bertambahnya tempattempat yang dapat dipakai bersarang dan berkembang biaknya nyamuk itu. Pesatnya populasi nyamuk di kota besar didukung pula oleh tumbuhnya gedung-gedung bertingkat tinggi dan tertutup rapat serta semakin banyaknya perumahan dengan pagar yang tinggi. Akibatnya, nyamuk itu semakin berkembang pesat sejalan dengan pertumbuhan manusia di perkotaan yang memiliki banyak permasalahan tersebut. Sebagai bagian dari program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular, program pencegahan dan penanggulangan penyakit demam berdarah dengue (DBD) penting untuk dilaksanakan karena penyakit ini mudah mewabah, vaksin pencegahannya belum ditemukan, dan vektor perantara penyakit ini tersebar luas di lingkungan sekitar masyarakat. Wujud nyata dari perhatian pemerintah terhadap penyakit
DBD
adalah
dengan
dikeluarkannya
Program
Pencegahan
dan
Penanggulangan Penyakit DBD diberbagai daerah yang dilanda penyakit ini. Pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD ini didasarkan pada Keputusan Menteri No.1501/Menkes/ Per/ 2010 tentang jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan. Strategi pemberantasan DBD yang dilakukan secara menyeluruh baik di tingkat pusat dan tingkat daerah belum menunjukkan hasil yang maksimal,
seharusnya semakin di optimalkan kembali, salah satunya adalah dengan menerapkan atau mengadopsi system pencegahan negara-negara lain yang terbukti efektif dalam menurunkan angka kejadian DBD, salah satunya strategi pencegahan dan penanggulan DBD di Negara Kuba. Negara Amerika Latin ini mampu mengendalikan kasus DBD di negaranya dengan memobilisir masyarakat secara konsisten melakukan pemberantasan sarang nyamuk di seluruh negeri, secara terus-menerus dan serentak sepanjang tahun serta penemuan biolarvasida labiofam, sebuah vaksin yang terbuat dari bakteri, efektif menurunkan angka penderita demam berdarah (Ardiawan, 2015). Selain itu Strategi Kawalan dan Pencegahan Dengue di Malaysia merupakan salah satu strategi yang cukup berhasil menanggulangi DBD, dimana salah satu program yang berhasil dari strategi tersebut adalah program Communications for Behavioral Impact (Combi). Combi merupakan program
komunikasi untuk
perubahan tingkah laku dan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang peranan, tanggungjawab dan penglibatan komuniti dalam pencegahan DBD. Selain itu, program ini bertujuan menumbuhkan
tabiat dan tingkah laku positif yang
mengutamakan kebersihan dan kesehatan dalam kalangan anak-anak serta remaja melalui penglibatan Combi Junior yang dimaksimalkan dilaksanakan di Kawasan Rukun Tetangga (KRT) sebagai langkah terbaik bagi memberikan kesadaran kepada golongan muda mengenai DBD (Kementrian Kesehatan Malaysia, 2009). Disamping itu juga sistem kewaspadaan dini telah dilakukan di Malaysia dan terbukti efektif dalam menurunkan angka kejadian DBD. Pemerintah Indonesia perlu membentuk sistem tersebut untuk memberikan peringatan dini bagi masyarakat setiap
tahunnya sebelum terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) DBD sehingga masyarakat dapat mengantisipasinya. Sistem ini dapat memanfaatkan media elektronik sebagai sarana sosialisasi. Isi sosialisasi mencakup gejala khas DBD yaitu demam tinggi, perdarahan terutama di kulit, serta apa yang harus dilakukan terhadap penderita DBD. Sosialisasi juga perlu mencakup upaya pemberantasan DBD yang efektif dan efisien seperti PSN dan upaya perlindungan diri seperti pemasangan kelambu pada saat anak tidur siang, kawat kasa pada lubang ventilasi udara dan memakai penolak nyamuk (Sungkar, 2007). Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Singapura, penelitian mengenai pengendalian vektor DBD di Indonesia masih tertinggal karena keterbatasan dana. Peningkatan anggaran untuk menunjang penelitian terhadap virus dengue
maupun
nyamuk
Aedes
Aegypti
dapat
mendorong
keberhasilan
pemberantasan DBD (Sungkar, 2007). Pemberantasan DBD tidak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat namun perlu dilakukan terus menerus sehingga kemungkinan terjadinya KLB atau peningkatan jumlah penderita DBD dapat dihindari. Kerjasama seluruh lapisan masyarakat mendorong keberhasilan pemberantasan DBD (Sungkar, 2007). Kota Medan merupakan salah satu daerah yang dikategorikan endemis di Provinsi Sumatera Utara. Data laporan Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013 terdapat kasus DBD sebanyak 1270 kasus DBD dengan kematian sebanyak 9 kasus. Pada tahun 2014 prevalensi kasus DBD sebanyak 1698 kasus dengan kematian sebanyak 15 kasus.Kecamatan yang ada di Kota Medan semuanya sudah diklasifikan
menjadi daerah endemis DBD. Kecamatan Medan Helvetia, Medan Sunggal, Medan Baru, Medan Denai dan Medan Selayang merupakan lima kecamatan yang paling tinggi kasusnya (Dinkes Kota Medan, 2014). Kota Medan merupakan salah satu kota dengan penduduk yang padat, dan mobilitas penduduk yang tinggi, serta merupakan salah satu wilayah endemis DBD yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit Demam berdah dengue (DBD). Kejadian penyakit DBD selama 5 (lima) tahun terakhir dapat di lihat pada tabelberikut. Tabel 1.1. Distribusi Jumlah Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2010-2014 Jumlah Meninggal Kasus 1 2010 3.011 22 2 2011 2.384 22 3 2012 1.101 6 4 2013 1.270 9 5 2014 1.689 15 (Sumber : Dinas Kesehatan Kota Medan, 2014. No
Tahun
IR
CFR
1.37 1.09 0.50 0.58 0.77
0.73% 0.92% 0.54% 0.71% 0.89%
Untuk Kota Medan berbagai strategi dan kebijakan dalam upaya penberantasan DBD telah dilakukan mengingat DBD yang bisa mewabah dan harus dihambat penyebarannya sehingga tidak meluas dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Lebih dari itu angka kematian harus ditekan serendah mungkin. Pada tahun 2010, Dinas Kesehatan Kota Medan merencanakan Peraturan Daerah (Perda) untuk Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah. Rencana perda tersebut masih dalam bentuk draft yang belum terealisasi
hingga tahun ini. Penyebab Perda tersebut belum terealisasi tidak diketahui kenapa. (hasil wawancara dari Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan). Oleh
karena
itu
Dinas
Kesehatan
Kota
Medan
yang
bertugas
menyelenggarakan sebagian kewenangan daerah dibidang kesehatan, mempunyai program prioritas yaitu Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit DBD. Hal tersebut dikarenakan penyakit DBD adalah penyakit menular yang berbahaya dan dalam waktu singkat bisa menimbulkan kematian. Berbagai strategi yang telah dilaksanakan di Kota Medan dan telah dilaksanakan tiap tahunnya meliputi menemukan dan melaporkan kasus secepatnya dengan bekerjasama dengan kelurahan dan lingkungan dan rumah sakit, pemberantasan sarang nyamuk melalui gerakan Jumat bersih disetiap kelurahan setiap minggunya, fogging, abatisasi, dan surveilan epidemiologi, pembentukan kader juru pemantau jentik di kelurahan serta pernah membentuk tim Patroli kesehatan tahun 2006 yaituTim terpadu yang terdiri dari Kepala Lingkungan, Petugas Kesehatan Lingkungan (Sanitarian) puskesmas untuk melaksanakan
kegiatan
pemantauan/pemeriksaan
penemuan jentik,
dini
pengawasan
adanya kebersihan
penyakit lingkungan
menular, dengan
melakukan kunjungan kerumah-rumah, lingkungan sekitarnya dan selanjutnya diminta untuk melaporkan kepada Kepala Kelurahan dan Puskesmas (Dinkes Kota Medan, 2014). Pada kenyataannya pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan penyakit demam berdarah dengue (DBD) Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2014 belum mampu mengatasi kasus DBD secara maksimal hal ini terlihat dari masih
tingginya insiden kasus DBD di Kota Medan yaitu 1698 kasus pada tahun 2014, dan terjadi peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya yaitu 1.270 kasus (2013) dan kasus 1.101 (2011). Dengan asumsi belum adanya komitmen bersama antar lintas sektor dan masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai analisis implementasi program pencegahan dan penanggulangan DBD dalam menurunkan Insiden DBD berbasis kelurahan di Kota Medan Tahun 2014.
1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini
adalah
bagaimana
implementasi
program
pencegahan
dan
penanggulangan DBD dalam menurunkan insiden DBD berbasis kelurahan di Kota Medan Tahun 2014.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi program pencegahan dan penanggulangan DBD dalam menurunkan insiden kelurahan di Kota Medan Tahun 2014 sehingga diketahui keberhasilan dan hambatan-hambatan yang timbul dalam pemberantasan DBD di Kota Medan.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan dalam menyusun kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan DBD. 2. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat agar lebih mengetahui dengan jelas faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan kejadian DBD sehingga diharapkan dapat berperan aktif dalam pencegahan DBD. 3. Memberi kontribusi dalam pengembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan. 4. Sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya mengenai kebijakan pemberantasan DBD.