BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko penyebab penyakit kardiovaskuler yang dapat meningkatkan angka kejadian dan kematian yang tinggi di seluruh dunia (Bare dan Smeltzer, 2002). Menurut laporan pertemuan World Health Organization (WHO) tahun 2011, hipertensi menyebabkan 8 juta kematian pertahun diseluruh dunia dan 1,5 juta kematian pertahun di wilayah Asia Tenggara. Menurut American Heart Association (AHA) tahun 2013, menunjukkan sebanyak 77,9 juta jiwa menderita hipertensi. Hipertensi dapat dikendalikan apabila ditangani dengan baik sejak dini. Namun demikian, banyak pasien hipertensi yang baru menyadari menderita hipertensi ketika telah terjadi komplikasi dari penyakit ini (Prasetyorini dan Prawesti, 2012). Hipertensi dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti kerusakan pada otak, jantung, ginjal, bahkan kerusakan pada mata (Depkes, 2006). Prinsip pengobatan hipertensi adalah dengan pengaturan diet, olahraga, selalu memeriksakan tekanan darah secara rutin serta dengan pemberian obat (antihipertensi) (Yulianti dan Maloedyn, 2006). Salah satu obat golongan diuretik yang sering digunakan untuk pengobatan hipertensi adalah spironolakton. Spironolakton merupakan obat hipertensi golongan diuretik lemah yang bekerja dengan menghambat reabsorbsi ion natrium dan sekresi ion kalium pada tubuli distal dan duktus kolingentes daerah korteks (Katzung, 2001). Penggunaan spironolakton dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping seperti hiperkalemia dan ginekomastia (Ganiswarna, 1995). Prinsip penggunaan obat tradisional untuk terapi penyakit adalah berdasarkan pengalaman empiris. Salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai antihipertensi secara
empiris adalah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Bagian yang digunakan sebagai obat herbal pada belimbing wuluh adalah daun, buah, dan bunga (Nurrahmani, 2012). Menurut Yuskha (2008) menyimpulkan bahwa ekstrak etanol buah belimbing wuluh memiliki potensi sebagai diuretik alami. Menurut penelitian Hernani dkk., (2009) menyatakan bahwa ekstrak etanol dan fraksi n-heksan daun belimbing wuluh mengandung senyawa phytol yang diduga dapat menurunkan tekanan darah pada kucing yang teranestesi. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa daun belimbing wuluh mengandung senyawa flavonoid yang dapat menimbulkan efek diuretik dengan mekanisme aksi melalui peningkatan natriuresis (Prasetya, 2007). Selain itu, Nurikha (2015) menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun belimbing wuluh dosis 60 dan 120 mg/kgBB/hari memiliki efek antihipertensi pada tikus hipertensi yang diinduksi monosodium glutamat (MSG). Pemakaian obat sintetis sering menimbulkan efek samping dan kontraindikasi terhadap penyakit tertentu, sehingga tidak semua orang dapat menggunakannya. Alternatif terapi yang aman sangat dibutuhkan adalah terapi kombinasi. Kombinasi antara obat sintetis dengan herbal dianggap efektif dan aman karena dapat mengurangi efek samping dari pemakaian obat sintetis serta dapat meningkatkan efek antihipertensi (McKenney, 1995). Meskipun penelitian tentang uji efek antihipertensi ekstrak etanol daun belimbing wuluh sudah dilakukan, akan tetapi penelitian tentang kombinasi obat hipertensi (spironolakton) dengan ekstrak etanol daun belimbing wuluh di Indonesia belum dilakukan. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang bersifat melengkapi data hasil penelitian yang dilakukan Hernani, dkk., (2009) dengan menggunakan metode dan hewan uji yang berbeda. Oleh sebab itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi kombinasi ekstrak etanol daun belimbing wuluh dan spironolakton terhadap penurunan tekanan darah tikus yang diinduksi MSG.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah : Apakah pemberian ekstrak etanol daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dapat meningkatan efek antihipertensi spironolakton pada tikus hipertensi yang diinduksi oleh MSG?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya peningkatan efek antihipertensi spironolakton pada tikus hipertensi yang diinduksi MSG setelah diberi perlakuan ekstrak etanol daun belimbing wuluh.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa : 1. Membuktikan secara ilmiah bahwa kombinasi ekstrak etanol daun belimbing wuluh dengan spironolakton berkhasiat untuk menurunkan tekanan darah pada tikus hipertensi yang diinduksi oleh MSG.. 2. Memberikan informasi pemanfaatan ekstrak etanol daun belimbing wuluh untuk pengembangan obat antihipertensi dalam penelitian lebih lanjut.
E. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi Hipertensi adalah suatu penyakit kronis dimana tekanan darah arteri sistemik meningkat di atas tekanan darah normal (Nurrahmani, 2012). Tekanan darah normal sistol berkisar 90-120 mmHg dan diastol 60-80 mmHg. Penderita dinyatakan telah mengalami
hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistol ≥140 mmHg dan diastol ≥ 90 mmHg (Nugroho, 2012). Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko penyakit kardiovaskuler dengan angka kejadian yang tinggi (Hamonangan, 2011). Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menyebutkan
bahwa prevalensi penyakit hipertensi di Indonesia mencapai 31,7% dari
populasi penduduk Indonesia di usia 18 tahun ke atas. Sebanyak 60% penderita hipertensi akan menderita stroke, gangguan jantung, gagal ginjal dan kebutaan. Hipertensi sering disebut juga sebagai “silent killer” karena terjadi tanpa gejala (Depkes RI, 2006). Ketika gejala timbul, maka hipertensi menjadi penyakit yang harus diterapi seumur hidup (Yulianti dan Maloedyn, 2006). Biasanya, penderita hipertensi mengalami berbagai macam komplikasi pada organ-organ vital seperti jantung, otak, ginjal, dan pembuluh darah (Depkes RI, 2006). Beberapa penelitian mengatakan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat terjadi melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ atau karena efek tidak langsung yaitu stres. Ketika seseorang mengalami stres, maka tubuh akan memproduksi hormon (norephineprin/ephineprin) yang dapat meningkatkan tekanan darah. Menurut The Seventh Report of The Joint National Commite on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi stadium I dan stadiumII (Tabel I). Tabel I. Klasifikasi Hipertensi menurut The Sevent Report of The Joint National Commite on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Hight Blood Presure (JNC 7) (Chobanian, 2004). Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah Sistol Tekanan Darah Diastol (mmHg) (mmHg) Normal <120 <80 Prehipertensi 120-139 80-89 Hipertensi stadium 1 140-159 90-99 Hipertensi stadium 2 ≥160 ≥100
Klasifikasi hipertensi akan mempermudah dalam menentukan rekomendasi tindak lanjut berikutnya. Selain itu, perlu dikaji lebih dalam mengenai jenis hipertensi yang diderita pasien untuk menentukan penatalaksanaan terapi yang dibutuhkan (Chobanian, 2004).
Berdasarkan etiologinya, jenis hipertensi dibagi menjadi dua yaitu hipertensi esensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang tidak jelas penyebabnya. Sekitar 90% pasien termasuk kategori hipertensi primer. Faktor-faktor yang berperan sebagai penyebab hipertensi primer seperti bertambahnya umur, stres, hereditas (genetik) dan jenis kelamin. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh adanya penyakit lain atau penyebab yang sudah diketahui, seperti adanya penyakit ginjal, kelainan hormonal, obesitas, mengkonsumsi minuman yang beralkohol, merokok, aterosklerosis, tumor pada kelenjar adrenal dan pemakaian obat-obatan (Klabunde, 2007). Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang bertanggung jawab dalam sistem pengendalian tekanan darah, yaitu melalui sistem renin-angiotensin aldosteron pada penyesuaian tekanan darah dalam jangka panjang (Tjay dan Rahardja, 2007). Pengendalian tekanan darah oleh ginjal dilakukan melalui beberapa cara, yaitu jika tekanan darah meningkat maka ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke normal. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin. Peningkatan tekanan darah oleh enzim renin yang dihasilkan oleh ginjal mengakibatkan pelepasan hormon aldosteron sehingga menimbulkan peningkatan ekskresi kalium oleh ginjal (Nurrahmani, 2012). Tekanan darah ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu peningkatan volume darah, curah jantung dan resistensi vaskuler perifer. Peningkatan volume darah dapat menyebakan retensi air dan natrium di ginjal. Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup jantung, sedangkan isi sekuncup jantung ditentukan oleh aliran balik vena dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh darah dan viskositas darah. Semua
parameter tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sistem saraf simpatis dan parasimpatis, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan faktor lokal berupa bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah (Nafrialdi, 2007). Obat-obat sintetik yang sering digunakan pada pasien hipertensi diklasifikasikan menjadi enam yaitu : 1. Diuretik Diuretik dapat menurunkan tekanan darah dengan cara meningkatkan ekskresi natrium, klorida, dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel (Katzung, 2001). Efek samping yang sering muncul pada penggunaan obat ini adalah hipokalemia, hipotensi, hiperurisemia, disfungsi seksual, dan lain-lain (Depkes RI, 2006). Contoh obat golongan diuretik adalah furosemid, hidroklortiazid, spironolakton, dan lain-lain (Ganiswarna, 1995). 2. Beta-bloker Beta-bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dalam memompa darah dan mengurangi jumlah darah yang dipompa oleh jantung (Yulianti dan Maloedyn, 2006). Obat ini bekerja dengan cara menghambat kinerja syaraf simpatik pada organ jantung. Beta-bloker digunakan dalam terapi antihipertensi karena dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan enzim renin dari ginjal (Nugroho, 2012). Contoh obat golongan beta-bloker adalah bisoprolol, atenolol, propanolol, dan lain-lain (Tjay dan Rahardja, 2007). 3. ACE-inhibitor ACE-inhibitor merupakan enzim penting dalam sistem renin angiotensin aldosteron (Nugroho, 2012). Obat ini mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. Hasilnya adalah penurunan level angiotensin II yang menyebabkan penurunan sekresi aldosteron sehingga dapat mengekskresi garam dan air. Akibatnya, tekanan darah menjadi
turun. Efek samping pada obat golongan ACE-Inhibitor adalah sakit kepala, nyeri lambung, kebingungan dan impotensi (Nugroho, 2012). Contoh obat golongan ACEInhibitor adalah kaptopril, lisinopril, enalapril dan perindopril (Tjay dan Rahardja, 2007). 4. Vasodilator langsung Vasodilator langsung adalah obat hipertensi yang bekerja merelaksasikan otot-otot polos pada pembuluh darah, terutama arteri sehingga akan menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi dapat menimbulkan reaksi kompensasi yang kuat berupa peningkatan denyut dan kontraktilitas jantung, peningkatan renin plasma dan retensi cairan. Contoh obat-obat vasodilator adalah minoksidil, natrium nitroprusid, diazoksid dan hidralazin (Stringer, 2006). 5. Alfa-bloker Mekanisme kerja antihipertensi golongan alfa-bloker adalah dengan cara memblokade reseptor α1 adrenergik di pembuluh darah terhadap efek vasokonstriksi norephineprin dan ephineprin sehingga terjadi dilatasi arteriol dan vena. Contoh obat golongan alfa-bloker adalah prazosin, doksazosin, terazosin dan trimasozin (Nugroho, 2012).
6. Antagonis kalsium Antagonis kalsium merupakan obat generasi baru yang mempunyai selektivitas yang lebih tinggi (Nafrialdi, 2007). Obat ini bekerja dengan cara menghambat masuknya ion kalsium ke dalam kanal ion kalsium pada membran sel otot polos vaskuler dan otot jantung (Nugroho, 2012). Contoh obat golongan antagonis kalsium adalah nifedipin, nikardipin, isradipin, amlodipin, felodipin, verapamildan diltiazem (Ganiswarna, 1995).
2. Spironolakton Spironolakton merupakan obat hipertensi golongan diuretik hemat kalium. Obat ini dapat bekerja menghambat aldosteron yang menginduksi reabsorpsi ion natrium dan sekresi
ion kalium pada tubuli distal ginjal. Contoh obat golongan diuretik hemat kalium adalah spironolakton, triamteren dan amilorid (Tjay dan Rahardja, 2007). Secara klinis, spironolakton digunakan untuk penderita hiperaldosteronisme, baik yang primer (meningkatnya produksi ACTH ektopik) maupun yang sekunder yaitu gagal jantung dan sirosis hepatis (Stringer, 2006). Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien yang menderita hiperkalemia atau kegagalan ginjal yang berat. Dosis spironolakton yang digunakan pada penderita hipertensi adalah 25 mg dan 100 mg sehari dalam dosis bagi. Efek samping yang utama dari spironolakton adalah ginekomastia dan hiperkalemia. Ginekomastia adalah
pembengkakkan
pada
jaringan
payudara laki-laki
yang
disebabkan
oleh
ketidakseimbangan hormon estrogen dan testosteron (Tjay dan Rahardja, 2007).
Gambar 1. Struktur kimia spironolakton (Katzung, 2001)
3. Belimbing wuluh Tanaman di Indonesia banyak yang bisa memberi manfaat untuk kehidupan, salah satu diantaranya adalah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Belimbing wuluh merupakan salah satu spesies dalam famili Averrhoa yang tumbuh di daerah dengan ketinggian 500 m di atas permukaan laut dan dapat ditemui di tempat yang banyak terkena sinar matahari langsung dan cukup lembab (Dalimarta, 2008). Belimbing wuluh mempunyai batang kasar berbenjol-benjol, percabangan sedikit dan arahnya condong ke atas. Cabang muda berambut halus seperti beludru dan berwarna coklat muda. Daunnya merupakan daun majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Anak daun bertangkai pendek, bentuknya bulat telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal membundar, tepi rata dan mempunyai panjang 2-10 cm, lebar 1-3 cm, warnanya hijau, dan
permukaan bawah hijau muda. Bunga belimbing wuluh berbentuk malai, berkelompok, keluar dari batang atau percabangan yang besar. Bunganya kecil-kecil berbentuk bintang dan warnanya ungu kemerahan. Buahnya berupa buah buni, bentuknya bulat lonjong bersegi, warnanya hijau kekuningan, bila masak berair banyak, rasanya asam dan bijinya berbentuk bulat telur serta gepeng (Dalimartha, 2008).
Gambar 2. Tanaman belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Sistem taksonomi untuk tanaman belimbing wuluh menurut Backer dan Den Brink (1963) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida-dycotyledonea (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas
:-
Ordo
: Oxalidales
Famili
: Oxalidaceae
Genus
: Averrhoa
Spesies
: A. bilimbi L. (belimbing wuluh) Belimbing wuluh di Indonesia memiliki nama daerah yang berbeda-beda diantaranya
adalah limeng, selimeng, thlimeng (Aceh), selemeng (Gayo), asom, belimbing, balimbingan
(Batak), malimbi (Nias), balimbiang (Minangkabau), belimbing asam (Melayu), balimbing (Lampung), calingcing, balingbing (Sunda), blimbing wuluh (Jawa), bhalimbing bulu (Madura), balimbing buloh (Bali), limbi (Bima), balimbeng (Flores), libi (Sawu)dan belerang (Sangi) (Dalimartha, 2008). Secara empiris, belimbing wuluh dapat digunakan untuk mengobati batuk dan sariawan. Daunnya berkhasiat sebagai pereda rasa sakit, obat gondok, dan rematik. Buahnya digunakan sebagai obat untuk batuk rejan, gusi berdarah, sariawan, meredakan sakit gigi, jerawat, mengecilkan pori-pori, menghilangkan panu, hipertensi, dan memperbaiki fungsi pencernaan (Wijayakusuma, 2008). Menurut penelitian Yuskha (2008) membuktikan bahwa ekstrak etanol buah belimbing wuluh memiliki aktivitas sebagai diuretik. Menurut Hernani dkk., (2009) ekstrak etanol dan fraksi n-heksan daun belimbing wuluh dapat menurunkan tekanan darah kucing yang teranestesi. 4. Kandungan senyawa aktif dalam tanaman belimbing wuluh Beberapa kandungan senyawa aktif terdapat pada tanaman belimbing wuluh. Batang belimbing wuluh mengandung senyawa aktif saponin, tanin, glukosida, kalsium oksalat, sulfur asam formiat dan peroksidase. Daun belimbing wuluh telah diketahui mengandung senyawa tanin, flavonoid, asam formiat, peroksidase dan kalium sitrat. Buahnya mengandung senyawa asam ascorbat, niacin, riboflavin, karoten, thiamin, kalsium, besi, (Nurrahmani, 2012). Senyawa aktif yang terdapat dalam daun belimbing wuluh yang teridentifikasi dengan gas
chromatography-mass
spectrometri
(GC-MS)
adalah
senyawa
turunan
asam
dikarboksilat yaitu dietil phytalat. Senyawa lainnya adalah senyawa phytol, asam ferulat, asam lemak seperti asam miristat, etil palmitat dan 6, 10, 14 trimetil pentadekanon-2. Senyawa aktif yang diduga berperan sebagai antihipertensi adalah senyawa phytol (Hernani dkk, 2009).
COOH
Senyawa phytol Gambar 3. Struktur kimia phytol daun belimbing wuluh (Hernani dkk, 2009).
5. Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses penarikan zat-zat aktif dalam tumbuhan dengan menggunakan pelarut tertentu (Ansel, 1989). Simplisia yang diekstraksi mengandung senyawa yang dapat larut dan tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lainlain. Beberapa golongan senyawa aktif yang terdapat dalam simplisia adalah minyak atsiri, alkohol, flavonoid, dan lain-lain (Depkes RI, 2000). Ekstraksi dapat dilakukan dengan cara panas yaitu sokletasi dan refluks. Ekstraksi cara ini digunakan untuk tanaman yang mengandung zat-zat yang tahan terhadap pemanasan. Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan cairan penyari yang selalu baru. Umumnya, sokletasi dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah cairan penyari yang relatif konstan dengan bantuan pendingin balik. Refluks adalah ekstraksi dengan cairan penyari pada titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah cairan penyari terbatas yang relatif konstan dengan bantuan pendingin balik (Depkes RI, 2000). Ekstraksi untuk tanaman dengan kandungan senyawa aktif yang tidak tahan terhadap pemanasan dapat dilakukan dengan cara dingin, yaitu perkolasi dan maserasi. Perkolasi adalah proses penyarian bahan dengan memasukkan simplisia kering ke dalam wadah berbentuk kerucut atau silinders (perkolator) dengan mengalirkan cairan penyari secara kontinyu dalam bentuk tetesan hingga jernih (Voigt, 1994). Cara ekstraksi yang sering digunakan dalam penelitian adalah ekstraksi dengan cara dingin, yaitu maserasi. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya. Prinsip kerja
maserasi adalah cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif yang terlarut akan terdesak keluar dari sel karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel. Peristiwa tersebut terjadi berulang kali sampai terjadi keseimbangan kandungan zat aktif terlarut di luar sel dan di dalam sel (Depkes RI, 1986). Keuntungan cara penyarian dengan metode maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana serta mudah diusahakan. Kerugian metode ini adalah waktu yang diperlukan untuk proses ekstraksi simplisia cukup lama dan cairan penyari yang digunakan relatif lebih banyak (Depkes RI, 1986). Cairan penyari yang digunakan untuk ekstraksi dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan senyawa aktif yang diinginkan, sehingga senyawa tersebut dapat dipisahkan dari kandungan lain yang tidak diinginkan (Depkes RI, 2000). Salah satu cairan penyari yang dapat digunakan untuk ekstraksi adalah etanol. Etanol digunakan sebagai cairan penyari karena tidak beracun, absorbsinya ke dalam sel cukup baik, bakteri dan kapang sulit tumbuh dalam etanol (Depkes RI, 1986). 6. Monosodium glutamat (MSG) Monosodium glutamat (Gambar 4) adalah garam natrium dari asam glutamat yang biasa digunakan masyarakat sebagai penyedap makanan atau penambah rasa dalam makanan. Penggunaan MSG tidak hanya dalam masakan ibu rumah tangga, tetapi MSG banyak digunakan sebagai bahan tambahan dalam setiap olahan makanan yang diproduksi oleh industri makanan maupun restoran (Ardyanto, 2004). Monosodium glutamat merupakan turunan kimia L-Glutamic acidmonosodium salt atau natrium glutamat dan D-glutamat. D-Glutamat yang terkandung dalam MSG inilah yang memiliki banyak efek samping. Konsumsi MSG yang berlebihan merupakan faktor resiko
untuk menderita penyakit hipertensi dan macam-macam penyakit lainnya seperti asma, kanker, diabetes, kelumpuhan serta penurunan kecerdasan.
Gambar 4. Struktur kimia monosodium glutamat (Loliger, 2000)
Apabila MSG ditambahkan dalam makanan akan membentuk asam glutamat bebas yang ditangkap oleh reseptor khusus di otak. Penggunaan MSG secara berlebih dalam makanan dapat menyebabkan beberapa keluhan seperti rasa panas dileher, lengan, dada, dan kaku otot yang menyebar sampai ke punggung. Gejala lain berupa rasa panas dan kaku di wajah, diikuti nyeri dada, sakit kepala, mual, muntah, dan jantung berdebar-debar (Ardyanto, 2004). Pemberian MSG pada tikus dapat memicu terjadinya hipertensi melalui kenaikkan kadar LDL, VLDL, trigliserid, total kolesterol dan mengalami penurunan kadar HDL. Akibatnya, pembuluh darah akan mengalami aterosklerosis sehingga dapat menyebabkan tekanan darah tinggi karena pembuluh darah mengalami penyempitan (Singh dkk, 2011).
7. Hewan Percobaan Tikus Putih (Rattus norvegicus) Hewan percobaan atau sering disebut juga hewan uji adalah hewan yang khusus diternakkan untuk keperluan penelitian ilmiah. Hewan uji tersebut digunakan sebagai model untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Hewan percobaan yang paling sering digunakan untuk penelitian ilmiah adalah tikus. Secara garis besar, tikus memiliki fungsi, bentuk organ, proses biokimia dan biofisik antara tikus dengan manusia memiliki banyak kemiripan (Hedrich, 2006). Spesies tikus yang sering digunakan sebagai model percobaan yaitu tikus putih yang memiliki ciri-ciri rambut berwarna putih dan mata berwarna merah. Berat badan tikus jantan dewasa berkisar 267-500 gram dan betina 225-325 gram. Keunggulan tikus putih sebagai hewan percobaan yaitu karena siklus hidupnya yang relatif pendek dan dapat berkembangbiak dengan cepat. Hewan ini berukuran kecil sehingga
pemeliharaannya relatif mudah dan cocok untuk berbagai penelitian (Malole dan Pramono, 1989). Rattus norvegicus mempunyai 3 galur, yaitu Sprague Dawley, Wistar, dan Long Evans. Galur Sprague Dawley memiliki tubuh yang ramping, kepala kecil, telinga tebal dan pendek dengan rambut halus, serta ukuran ekor lebih panjang daripada badannya. Galur Wistar memiliki kepala yang besar dan ekor yang pendek. Galur Long Evans memiliki ukuran tubuh yang kecil serta bulu pada kepala dan bagian tubuh depan berwarna hitam. Rattus norvegicus digunakan karena memiliki saluran pencernaan tipe monogastrik dengan pola makan omnivora sama seperti manusia (Malole dan Pramono 1989). Selain itu, hewan ini tidak memiliki kantung empedu sehingga perlakuan dengan memberi obat secara paksa (cekok) tidak mengakibatkan muntah (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
F. Landasan Teori Spironolakton adalah salah satu antihipertensi dari golongan obat diuretik hemat kalium yang dapat menurunkan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol. Obat tersebut merupakan obat sintetis yang dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah (Depkes, 2006). Selain pengobatan menggunakan obat-obat sintetis, pengobatan menggunakan tumbuhan obat juga digunakan untuk mengobati hipertensi salah satunya adalah belimbing wuluh. Belimbing wuluh secara empiris telah digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional untuk mengobati hipertensi. Bagian tanaman belimbing wuluh yang sering digunakan sebagai antihipertensi adalah daun dan buah (Nurrahmani, 2012). Berdasarkan hasil penelitian Yuskha (2008), menyimpulkan bahwa ekstrak etanol buah belimbing wuluh memilki potensi sebagai diuretik alami. Menurut Hernani dkk., (2009), menyatakan bahwa ekstrak etanol dan fraksi n-heksan daun belimbing wuluh dapat
menurunkan tekanan darah kucing teranestesi dan mengandung senyawa phytol yang diduga berperan sebagai antihipertensi. Menurut penelitian Prasetya (2007), menyimpulkan bahwa daun belimbing wuluh mengandung senyawa flavonoid yang dapat menimbulkan efek diuretik dengan mekanisme aksi meningkatkan natriuresis. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa ekstrak etanol daun belimbing wuluh dosis 60 dan 120 mmHg memiliki efek antihipertensi pada tikus hipertensi yang diinduksi monosodium glutamat (Nurikha, 2015). Pengobatan hipertensi dapat diberikan kombinasi dua obat yaitu obat hipertensi golongan diuretik dengan ACE-Inhibitor atau ARB atau beta-bloker, diuretik lemah dengan diuretik kuat (Sukandar, 2008). Penelitian ini mencoba memberikan kombinasi obat tradisional dengan obat sintetis yaitu daun belimbing wuluh yang memiliki efek diuretik dengan spironolakton sehingga pemberian secara kombinasi diharapkan dapat memberikan efek penurunan tekanan darah yang lebih tinggi.
G. Hipotesis Berdasarkan landasan teori di atas, dapat ditarik hipotesis bahwa ekstrak etanol daun belimbing wuluh dapat meningkatkan efek antihipertensi spironolakton pada tikus hipertensi yang diinduksi oleh MSG.