1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Merupakan suatu langkah maju dalam perkembangan perbankan, terutama bagi perbankan syariah atau Perbankan Islam (Islamic Banking) lebih dikenal dengan istilah perbankan syariah, merupakan bank yang dijalankan dengan didasarkan pada syariat Islam. Prinsip utama dari perbankan syariah adalah larangan terhadap penarikan bunga dalam bentuk apapun dalam melakukan transaksi dan melakukan kegiatan bisnis dan perdagangan. Perbankan syariah ini, telah diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (selanjutnya ditulis UUPS).1Perbankan syariah mendapat perlakuan yang sama (equal treatment) dengan perbankan konvensional, bahkan Bank Indonesia (selanjutnya ditulis BI) telah mempersiapkan peraturan dan fasilitas penunjang yang mendukung operasional Dual Banking System, yaitu terselenggaranya dua sistem perbankan sekaligus (konvensional dan syariah) secara berdampingan dengan sistem administrasi jelas terpisah. Ketika undang-undang tersebut belum disahkan, baru ada satu bank syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Bank Syariah menurut hukum positif Indonesia (sebelum UUPS terbentuk) dimungkinkan melalui Pasal 6 Huruf (m) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, yang
1
UUPS berlaku pada tanggal 16 Juli 2008 pada Lembaran Negara R.I. Tahun 2008 No. 94 dan TLN No. 4867. Adiwarman Karim, ”Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan”, Edisi Dua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 171. Tim Pengembangan Perbankan Syariah – Institut Bankir Indonesia, ”Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional”, Djambatan, Jakarta, 2001, hlm. 14. Dapat dilihat, http// www.icmi.or.id., http://
[email protected].
2 memperbolehkan menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah. Sejalan dengan upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam Cetak Biru (Blue Print)
Pengembangan Perbankan
Syariah Nasional, perlu upaya mewujudkan Bank Syariah yang mampu memberikan manfaat optimal bagi masyarakat luas (secara makro dan mikro ekonomi) melalui:2 1. Pengembangan jaringan agar dapat melayani seluruh segmen pasar yang membutuhkan; 2. Aktif mendukung sektor riil terutama UKM; 3. 4-5 % market share dari total banking sistem; 4. 40 % pembiayaan berupa pembiayaan bagi hasil. Pada kenyataannya penerapan skim bagi hasil oleh bank dapat bervariasi, tergantung dari beberapa faktor, antara lain: level transparansi sistem, adanya benchmark dalam system, preferensi investor, rasio kekayaan dan kebutuhan dasar. Masyarakat secara perlahan menghadapi paradigma baru yaitu pemahaman, pengertian atau pandangan yang sama sekali baru mengenai keberadaan bank syariah (Bank Islam).3 Paradigma baru yang pertama adalah hubungan bank dengan nasabah, yaitu adanya hubungan kontrak (contractual agreement) atau akad antara investor pemilik dana atau shahibul maal dengan investor pengelola dana atau mudharib yang bekerjasama untuk melakukan usaha yang produktif dan berbagi keuntungan secara adil (mutual investment 2
http:// www.bi.go.id/utama/publikasi/upload. Blue Print Pengembangan Perbankan Syariah Nasional, hlm. 6 dan hlm. 24. Perbankan Syariah: Sebuah alternatif dan sebuah pilihan yang memiliki konsekuensi. Jika ingin mengembangan perbankan syariah maka harus mendapat dukungan berupa: a. Pengembangan pasar modal dan pasar keuangan syariah b. Pengembangan kebijakan moneter syariah c. Pengembangan kebijakan fiskal syariah d. Pengembangan sistem akuntansi syariah e. Pengembangan sistem hukum syariah. dll Hal tersebut di atas perlu mendapat dukungan berupa integrated policy.Dalam pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia, diperlukan penyusunan konsep dan strategi dengan visi yang jelas (clear vision), bertahap dan berkesinambungan (gradual and sustainable), comprehensive dan consisten (istiqamah) dengan prinsip syariah. Adiwarman Karim, Loccit. 3 Dhani Gunawan Idat, “Perbankan Syariah Indonesia Menuju Milenium Baru: Prospek Dan Tantangan “ Majalah Pengembangan Perbankan, Edisi No. 80, November-Desember 1999, hlm. 47-49.
3 relationship). Hubungan kerjasama investasi tersebut, mewujudkan suatu hubungan usaha yang harmonis karena berdasarkan suatu asas keadilan usaha dan menikmati keuntungan yang disepakati secara proporsional. Sedangkan dalam bank konvensional, pada dasarnya merupakan hubungan kreditur dengan debitur dengan menerapkan sistem bunga. Sistem bunga ini hanya bertujuan meraih profit atau keuntungan dengan seringkali mengabaikan kondisi nyata nasabah apakah usahanya sedang mengalami keuntungan atau kerugian, walaupun diakui sistem bank konvensional (sistem bunga) merupakan sistem yang aplicable di seluruh dunia, kenyataannya terlihat kesulitan untuk menahan negative spread yang pernah terjadi, sehingga sangat merepotkan kondisi perbankan di Indonesia. Paradigma kedua adalah adanya larangan-larangan kegiatan usaha tertentu oleh bank syariah yang bertujuan menciptakan kegiatan perekonomian yang produktif, adil dan menjunjung tinggi moral. Produktif dengan cara mengikis habis konsep time value of money dan melarang transaksi yang bersifat spekulatif. Adil dengan menerapkan konsep usahanya bagi hasil dan tidak memungkinkan deposan yang memiliki uang banyak menanamkan dananya pada bank tanpa menanggung resiko sedikitpun. Secara moral, konsep syariah tidak akan menyalurkan dana untuk proyek yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral, seperti pembiayaan indusri minuman keras, sarana perjudian, atau proyek-proyek lain yang dapat merusak moral atau kesehatan manusia. Paradigma ketiga adalah kegiatan usaha bank syariah lebih variatif dibandingkan dengan bank konvensional, karena bank syariah tidak hanya berlandaskan sistem bagi hasil (mudharabah) tetapi juga sistem jual beli (murabahah), sewa beli, serta penyediaan jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Secara aplikasi tidak dapat disangkal lagi bahwa keragaman kegiatan usaha bank syariah telah menumbuhkembangkan berbagai aspek ekonomi dalam masyarakat, sehingga akan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kebutuhan dunia usaha. Paradigma keempat, adalah penyajian laporan keuangan bank syariah akan terkait erat dengan konsep investasi dan norma-norma moral /sosial dalam kegiatan usaha bank. Penyajian laporan keuangan bank sebagai lembaga pencari keuntungan, juga terdapat laporan keuangan yang terkait dengan bank sebagai fungsi sosial, serta mengacu kepada konsep dasar laporan keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan, transparan, adil dan dapat diperbandingkan.4 Secara teoritis keunggulan dan ketahanan lembaga keuangan atau perbankan syariah terletak pada sistem bagi hasil dan berbagi risiko. Sistem ini diyakini oleh para ulama sebagai jalan keluar untuk menghindari penerimaan dan pembayaran bunga (riba), seperti dikutip dari Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya: 4
Dhani Gunawan Idat, Loccit. Lihat, Wahyu Sumitro, ”Asas-Asas Perbankan Isalam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful)”, cetakan 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 11.
4 ”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. Sebenarnya di Indonesia maupun di Dunia Islam terdapat dua aliran pemikiran sehubungan dengan sistem keuangan dan perbankan. Aliran pertama berpendapat bahwa bunga bank itu tidak tergolong riba, karena yang disebut riba adalah pembungaan uang oleh mindering yang bunganya sangat tinggi sehingga disebut “lintah darat” itu atau “bunga dengan suku bunga tinggi” (ad’afan mudhoafan). Aliran ini disebut aliran liberal. Aliran kedua berpendapat bahwa bunga bank itu tetap riba. Kendatipun demikian, bank sebagai lembaga keuangan, tidak dilarang, bahkan diperlukan. Karena itu yang harus diciptakan adalah sebuah bank yang tidak bekerja atas dasar bunga melainkan atas bagi hasil yang dikenal dalam fiqh muamalah sebagai transaksi qirad atau mudharabah. Aliran ini dapat dikategorikan sebagai pemikiran fundamentalis. Islam tidak menolak usaha menghasilkan laba, oleh karenanya tidak ada alasan bagi lembaga keuangan bank untuk tidak masuk dalam suatu kemitraan dengan pengusaha dan meminjamkan dana, tanpa memungut bunga, tetapi memperoleh bagi hasil dan berbagi risiko (profit and loss sharing) dengan para pengusaha. Lagi pula, sistem bagi hasil lebih menjamin penggunaan sumber daya dalam perusahaan secara murni untuk kepentingan masyarakat, karena pemilik dana tidak hanya meminjamkan dana hanya kepada usaha besar saja, yang punya jaminan cukup, tetapi juga akan mampu membiayai orang kecil yang punya rencana usaha yang baik, mempercepat
5 pengembangan teknologi, akan menuju partnership, menyediakan dana-dana untuk inovasi yang dianggap bermanfaat.5 Sistem bagi hasil dalam dunia perbankan adalah suatu sistem yang meliputi tata cara hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana. Selanjutnya, dari sistem bagi hasil ini terdapat beberapa hal yang harus dipahami agar dalam penerapannya tidak menimbulkan keraguan bagi masyarakat nasabah yang akan menggunakan jasa atau pelayanan bank, yaitu:6 1. Bank yang menggunakan sistem bagi hasil adalah bank yang dalam operasinya secara utuh dan total menghindari kemungkinan adanya unsur riba (bunga); 2. Untuk menghindari kemungkinan adanya unsur riba, ada 4 prinsip yang harus diterapkan: a. Tidak menetapkan di muka suatu imbalan yang jumlahnya pasti atas suatu hasil usaha; (QS. Luqman ayat 34 yang artinya: “…..dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok”. b. Tidak melakukan perdagangan/penyewaan barang dengan pembayaran berupa barang yang sama dan sejenis (seperti uang rupiah dengan uang rupiah) dengan memperoleh kelebihan, baik kualitas maupun kuantitas). Dalam ekonomi barter di jaman Rasululah Saw. Tidak diperkenankan meminjam satu gantang gandum dilunasi dengan satu setengah gantang gandum (riba), kecuali bila pelunasan itu dengan komoditas yang berbeda, misalnya, beras. c. Tidak meminta sesuatu imbalan apa pun atas pokok utang, kecuali apabila tambahan itu diberikan oleh yang berutang atas dasar sukarela pada waktu jatuh tempo dan tidak disyaratkan sebelumnya; d. Pemilik modal dan pengguna modal bersepakat membagi keuntungan yang akan diperoleh setelah diusahakan dalam suatu periode waktu tertentu. Telah sepakat Fuqaha, bahwa bagi hasil (mudharabah)7 adalah boleh (jaiz). 5
Zainul Arifin, ”Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek”, Alvabet, Jakarta, 1999, hlm. 125-126. Adiwarman A. karim, Loccit. 6 Usman Hidayat, “Sepenggal Konsep Perbankan Bagi Hasil”, Tabloid “Hikmah” Nomor 6 Edisi Mei 1995, hlm. 6. Lihat, Sobhi Mahmassani, Ahmad Sudjono (Penerjemah), “Filsafat Hukum Dalam Islam”, Al Ma’arif, Bandung, 1976, hlm. 31. 7 Dikutip dari, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, ”Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum”, DEPAG RI., Jakarta, 2002, hlm. 244. Al Mudharrabah, yaitu perjanjian antara pemilik untuk membiayai sepenuhnya suatu proyek dengan pembagian keuntungan berdasarkan persetujuan bersama. Mudharabah berasal dari kata adhadhardabu fil’ardhi artinya bepergian untuk urusan dagang. Hukumnya Jaiz (boleh) dengan Ijma Rcsullulloh pernah melakukan mudharabah dengan Siti Khadizah Al Kubro,
6 Rasulullah saw. sebelum tugas kerasulannya telah melakukan mudharabah dengan Khadijah r.a. Rosulullah Saw. sendiri mencontohkan konsep bagi hasil dalam berniaga. Ketika itu, beliau mendapatkan/meniagakan modal yang diamanatkan kepadanya dari Siti Khadijah. Kemudian beliau pergi berniaga ke Negeri Syam. Keuntungan berniaga dibagi menurut kesepakatan. Selanjutnya, Bank Indonesia (BI) mempunyai visi dan misi, serta melakukan strategi dalam pengembangan perbankan syariah lebih bersifat market driven, seperti yang tertuang dalam Cetak Biru Perbankan Syariah Indonesia. Berdasarkan nilai-nilai syariah, visi pengembangan perbankan syariah di Indonesia adalah:9 “Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sector riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (share-based financing) dan transaksi riil dalam keranmgka keadilan, tolong-menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat”. Sementara itu, misi yang menjelaskan peran Bank Indonesia dalam mencapai visi tersebut di atas adalah:10 “Mewujudkan iklim yang kondusif untuk pengembangan perbankan syariah yang istiqomah terhadap prinsip-prinsip syariah dan mampu berperan dalam sektor riil, yang meliputi; 1. Melakukan kajian dan penelitian tentang kondisi, potensi serta kebutuhan perbankan syariah secara berkesinambungan; 2. Mempersiapkan konsep dan melaksanakan pengaturan dan pengawasan yang berbasis risiko guna menjamin kesinambungan operasi perbankan syariah yang sesuai dengan karakteristiknya; 3. Mempersiapkan infrastruktur guna peningkatan efisiensi operasional perbankan syariah; 4. Mendesain kerangka `entry and exit` perbankan syariah yang dapat mendukung stabilitas sistem perbankan“ Fokus utama strategi pengembangan sistem perbankan syariah meliputi hal-hal:11
dengan modal yang berasal dari Khadizah Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan. Ini terjadi sebelum beliau diangkat menjadi rasul. 9 Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Di Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 16. 10 Cetak Biru (Blue Print), Loccit. 11 M. Syafi’i Antonio, Ibid, hlm. 227. Dapat dilihat, Adiwarman Karim, Opcit. Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Opcit, hlm. 171-172.
7 1. 2. 3. 4.
Penyempurnaan ketentuan; Pengembangan jaringan Bank Syariah; Pengembangan piranti Moneter; Pelaksanaan kegiatan sosialisasi Perbankan syariah.
Strategi pengembangan Bank Syariah diarahkan untuk meningkatkan kompetensi usaha yang sejajar dengan sistem perbankan konvensional dan dilakukan secara komprehensif dengan mengacu pada analisis kekuatan dan kelemahan perbankan syariah saat ini. Salah satu yang penting dilakukan dalam upaya pengembangan ini adalah penyempurnaan ketentuan-ketentuan
berkaitan
dengan
undang-undang.
Strategi
pengaturan
pengembangan ini diarahkan untuk menciptakan sistem Perbankan Syariah yang sehat dan dapat berjalan sesuai dengan Nature of bussines bank syariah itu sendiri. Sedangkan, sasaran pengembangan perbankan syariah sampai tahun 2011 adalah:12 1. 2. 3. 4.
Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan; Diterapkannya prinsip-prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah; Terciptanya perbankan syariah yang kompetitif dan efisien; Terciptanya stabilitas sistemik serta terrealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas. Dalam perkembangan yang dilakukan oleh perbankan syariah pada praktiknya
akan menjadi lebih kompleks, terkait dengan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi yang mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut maka yang menjadi salah satu permasalahan menarik dalam kaitannya dengan Pembiayaan Syariah yang disalurkan oleh Bank Syariah adalah mengenai tanggung jawab bank syariah itu sendiri. Tanggung jawab merupakan hal yang sangat esensial bagi bank syariah, sebab hal tersebut akan berpengaruh kepada tingkat kepercayaan masyarakat kepada bank syariah dan otomatis akan mempengaruhi kinerja serta kredibilitas bank syariah. Pentingnya tanggung jawab bagi pihak nasabah, 12
Cetak Biru (Blue Print), Ibid, hlm 17.
8 memaksa bank untuk dipenuhinya berbagai tindakan, dengan menerapkan salah satu diantaranya prinsip Good Corporate Governance (selanjutnya ditulis GCG). GCG menurut Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya ditulis PBI) Nomor 8/4/PBI/2006 tentang penerapan GCG bagi Bank Umum, sedangkan Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya ditulis PBI) Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah (selanjutnya ditulis BUS) Dan Unit Usaha Syariah (Unit Usaha Syariah). Penerapan GCG itu sendiri diharapkan dapat meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan stakeholders, dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum pada industri perbankan syariah. Penyelenggaraan GCG di dalam industri perbankan syariah harus memenuhi prinsip shariah (sharia compliance). Selain itu, merupakan modal dasar untuk menyelenggarakan bisnis perbankan secara efektif dan berkesinambungan. GCG (Good Corporate Governance) juga merupakan prinsip dasar pengelolaan perusahaan yang baik yang dapat mendukung penyelenggaraan usaha perbankan. Penerapan prinsip GCG selain untuk meningkatkan daya saing bank itu sendiri, juga untuk lebih memberikan perlindungan kepada masyarakat.13Penerapan GCG menjadi subuah kewajiban mengingat sektor perbankan merupakan sektor yang mengelola dana publik (nasabah). Penerapan prinsip GCG merupakan sebuah keharusan bagi bank syariah dalam menjalankan usahanya. Hal tersebut, secara otomatis prinsip GCG memiliki keterkaitan baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah.
13
Indra Surya dan Ivan Yustiavanda, Penerapan Good Corporate Governance Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, Kencana Praneda Media, Jakarta, 2006. Hlm. 116.
9 Selanjutnya pembiayaan syariah yang dilakukan oleh bank syariah pada dasarnya merupakan jenis pembiayaan yang berisiko tinggi, oleh karena itu bank syariah diwajibkan memakai berbagai cara umtuk meminimalisir risiko tersebut. Salah satu cara untuk meminimalisir risiko tersebut ialah dengan cara menerapkan prinsip kehati-hatian bank secara benar dan didukung oleh Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) seperti halnya yang dilakukan oleh bank umum konvensional. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) UUPS, yang menyatakan: “Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya.” ”Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian”. Oleh karena bank syariah wajib menerapkan prinsip kehati-hatian bank dan Good Corporate Governance sesuai peraturan yang berlaku. Penerapan prinsip kehati-hatian bank dan Good Corporate Governance bagi bank syariah merupakan hal yang sifatnya essensial. Hal tersebut dikarenakan bank merupakan lembaga intermediasi yang menumpulkan dana masyarakat dan menyalurkannya kembali pada masyarakat. Pada bank konvensional proses intermediasi dilakukan dengan menerima dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit, sedangkan pada bank syariah proses intermediasi dilakukan dengan menerima dana masyarakat dalam bentuk simpanan berdasarkan prinsip syariah dan menyalurkannya dalam bentuk pembiayaan syariah. Dalam hal ini yang menyebabkan pentingnya Penerapan prinsip kehati-hatian bank dan Good Corporate Governance bagi
10 bank syariah karena dalam menyalurkan dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan, seringkali disalurkan dalam bentuk pembiayaan yang berisiko tinggi
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Good Corporate Governance (GCG) dalam pembiayaan syariah pada bank Syariah ?. 2. Bagaimana tanggungjawab bank syariah dalam pembiayaan syariah dikaitkan dengan Prinsip Kehati-hatian dan Good Corporate Governance (GCG) berdasarkan Undangundang Perbankan Syariah ?.