ARTIKEL ILMIAH
INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI SENI KERAJINAN TRITIK DAN JUMPUTAN SEBAGAI TRADISI DI WILAYAH SURAKARTA, JAWA TENGAH ( Kajian Pengembangan Konsep Hak Kekayaan Intelektual dalam Perlindungan ”Traditional Knowledge”) oleh : Dr. Supanto, S.H.,M.Hum. Drs. Sarwono, M.Sn.
ABSTRAK INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI SENI KERAJINAN TRITIK DAN JUMPUTAN SEBAGAI TRADISI DI WILAYAH SURAKARTA, JAWA TENGAH ( Kajian Pengembangan Konsep Hak Kekayaan Intelektual dalam Perlindungan ”Traditional Knowledge”). Supanto dan Sarwono, P3HKI LPPM UNS, 2009, 149 halaman
Permasalahan penelitian bagaimanakah jenis-jenis motif tritik dan jumputan sebagai seni kerajinan di wilayah Surakarta dan proses pembuatannya. Apa latar belakang penggunaannya pada piranti upacara adat Jawa di wilayah Surakarta serta makna simbolisnya. Bagaimana hak kekayaan intelektual yang dimungkinkan dalam perlindungan seni kerajinan tritik dan jumputan sebagai ”traditional knowledge” di wilayah Surakarta serta bagaimana kebijakan pemerintah daerah untuk itu. Metodologinya, lokasi di wilayah Surakarta, bentuk penelitiannya studi kasus tunggal, dan bersifat deskriptifkualitatif. Sehubungan dengan penelitian hukum, merupakan penelitian hukum sosiologis. Sumber data berupa: karya seni, informan, upacara adat Jawa, dan dokumen. Teknik pengumpulaan data dengan wawancara, observasi, dan studi dokumen. Teknik cuplikan lebih bersifat “purposive sampling”. Teknik analisis kualitatif, secara mengalir. Simpulan yang diperoleh bahwa jenis-jenis motif tritik dan jumputan sebagai seni kerajinan di wilayah Surakarta berupa motif kain dodot, penataannya dibentuk bokongan, dan Songkokan. Terdapat motif dodot blumbangan. Motif sindur merupakan kain yang dibuat sebagai bahan untuk selendang, Motif pare anom yang komposisi warna dasarnya hijau dan kuning. Motif kain kemben bangun tulak, motif kain selendang umumnya pada pakaian kebaya sebagai busana adat. Proses pembuatan seni tersebut dengan Teknik Ikat Celup, Teknik Perintang. Ada tiga golongan dalam perintangan warna yaitu teknik ikatan, tritik, dan bundelan, termasuk jumputan, remasan, dan lipatan. Penggunaannya umumnya dipakai dalam upacara perkawinan khususnya motif kain dodot. Juga untuk kostum tari Bedhaya Anglir
1
Mendhung digunakan kain dari seni tritik dan jumputan. Makna simbolis yang terkandung dalam upacara adat Jawa di wilayah Surakarta merupakan nilainilai falsafah orang Jawa yang dibentuk menurut kerangka kultur yang religius – magis (ajaran Tasawuf Jawa). HKI dimungkinkan dalam perlindungan seni kerajinan tritik dan jumputan sebagai ”traditional knowledge” di wilayah Surakarta, namun mengandung kekurangan. Kebijakan pemerintah daerah sehubungan dengan ”traditional knowledge” di wilayah Surakarta didasarkan Visi Kota Surakarta, yakni terwujudnya kota Sala sebagai kota budaya, namun belum dapat maksimal. Tidak adanya peraturan daerah mengenai HKI, khususnya mengenai perlindungan pengetahuan tradisional. Penanganannya oleh beberapa dinas, akibatnya bisa saling lempar tanggungjawab dan tidak bersinergi. Kata kunci:
Hak kekayaan intelektual Nilai-nilai budaya
Pengetahuan tradisional Seni kerajinan
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam dunia global, Indonesia telah menjadi anggota WTO, sehingga di antaranya harus
mematuhi kesepakatan TRIPs, sehingga Indonesia perlu
memeberlkauannya dengan produk legislasi mengenai hak kekayaan inteletual (HKI). Peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaaan Intelektual/ HKI (hak cipta, merek, paten, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan perlindungan varietas tanaman) yang telah diadaptasikan ke dalam sistem hukum Indonesia sebagai pengaruh globalisasi. Pengaruh ini tidak bisa terelakkan karena Indonesia telah mengikuti kesepakatan WTO (World Trade Organization) yang mengharuskan adanya kesesuaian penuh mengenai peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut. Berkaitan dengan seni tradisional, dalam hal ini seni kerajinan
tritik dan jumputan
termasuk
perlu
dalam
“traditional
knowledge”,
yang
memperoleh
perlindungan. Dalam perlindungan ini, potensi jenis HKI yang berhubungan dengan seni kerajinan tritik dan jumputan dikaji agar memperoleh gambaran konseptual-yuridis yang tepat untuk memberikan perlindungannya, serta ditambah komitmen
pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah
(Pemerintah Kota Surakarta). Hal ini penting sehubungan dengan globalisasi, nilai-nilai dibalik HKI sebenarnya merupakan budaya barat (kapitalis), 2
sementara itu masyarakat Indonesia memiliki
nilai budaya sendiri dalam
menghadapi perkembangan global tersebut. Perlindungan hukum menjadi kegiatan penguatan masyarakat dalam mencipta. Karya di bidang seni yang tradisional maupun moderen menjadi bukti kualitas budaya masyarakat, sehingga peningkatan penciptaan di bidang seni perlu dibangun agar
mendatangkan kemanfaatan, tidak hanya secara
budaya namun ekonomi maupun politik bagi masyarakat. Penghargaan bagi individu-individu sebagai pencipta harus dilakukan dan didorong untuk kemjauan seni dan merangsang kreativitas masyarakat, serta keseluruhannya sebagai pengembangan budaya masyarakat, yang
secara juga
merupakan realisasi pembangunan nasional. Dalam rangka perlindungan dan mengembangkannya memerlukan studi karya-karya yang disusun secara sistematik sebagai seni kerajinan tritik dan jumputan yang berada di wilayah Surakarta. Dengan demikian dapat diketahui karakteristik yang didasarkan pada kekhasan, keunikan dan historis pada seni kerajian tritik dan jumputan tersebut yang merupakan kekayaan “traditional knowledge” sebagai kekayaan budaya bangsa yang secara keseluruhan bersama dengan budaya-budaya lokal daerah-daerah lain.
Mengkaji hal ini
berhubungan dengan kajian hokum sebgai norma yang mengatur kepentingan individu maupun masyarakat agar terlindungi dan sejalan dengan program pembangunan. Oleh karena itu, perhatian konsep teoritik perlindungan HKI menjadi strategis terhadap potensi pengembangan seni kerajinan tritik dan jumputan sesuai dengan tuntutan global namun tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat. Demikian pula pengembangan teori di bidang kebijakan dan hukum dalam pemerintahan untuk melindungi perwujudan “traditional knowledge”, khususnya seni kerajinan tritik dan jumputan sebagai asset budaya dan ekonomi daerah, yang mengandung kekayaan kearifan lokal sekaligus dapat dijadikan kapital sosial untuk membangun dunia kerajinan masyarakat yang lebih terbuka serta bertanggung jawab sesuai akar budaya masayarakat. Perkembangan globalisasi menghendaki jaminan perlindungan HKI khsususnya terhadap traditional knowledge, namun mengandung pertentangan filosofis HKI berasal dari kebudyaan barat yang bersifat 3
individualis/negara maju, sementara itu traditional knowledge sebagai khasanah budaya timur /negara berkembang. Traditional knowledge berupa seni kerajinan tritik dan jumputan merupakan hasil karya budaya yang penuh dengan nilai-nilai dan simbol-simbol budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa (Surakarta). 2. Perumusan Masalah Tritik dan jumputan sebgai seni kerjaianan merupakan ”traditional knowledge” perlu memperoleh kajian perlindungan HKI apa yang potensial dimanfaatkan, serta bersamaan dengan itu upaya-upaya oleh pemerintah sehubungan dengan aset dan budaya daerah. Dalam hal ini disusun rumusan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimanakah jenis-jenis motif tritik dan jumputan sebagai seni kerajinan di wilayah Surakarta ? 2. Bagaimana proses pembuatan seni kerajinan tritik dan jumputan tersebut? 3. Apa latar belakang penggunaan seni tritik dan jumputan pada
piranti
upacara adat Jawa di wilayah Surakarta ? 4. Apa makna simbolis yang
terkandung pada motif
seni tritik dan
jumputan dalam upacara adat Jawa di wilayah Surakarta ? 5. Bagaimana perlindungan
hak kekayaan intelektual yang dimungkinkan dalam seni kerajinan tritik dan jumputan sebagai ”traditional
knowledge” di wilayah Surakarta ? 6. Bagaimana kebijakan pemerintah daerah guna memberikan perlindungan seni kerajinan tritik dan jumputan sebagai ”traditional knowledge” di wilayah Surakarta ? 3. Tinjauan Pusataka 3.1.
Integrasi Sistem Nilai Budaya Jawa dengan Budaya Nasional
Secara global kebudayaan adalah segala aktivitas di seluruh belahan bumi; meliputi etimologi, definisi, serta wujud
yang
terdiri dari ciri, unsur, dan
perkembangan kebudayaan dengan dasar sama (universal). Perbedaan terletak pada faktor lingkungan yang mempengaruhi, sehingga cara beradaptasi mahkluk hidupnya, salah satunya manusia, mampu menciptakan bentuk kebudayaan beragam. Keberagaman tersebut menarik untuk dikaji secara khusus pada bagian 4
terkecilnya, sebagai contoh untuk mengetahui elemen pembentuk kebudayaan nasional, dapat ditelaah melalui kebudayaan daerahnya. Hal tersebut dapat diibaratkan rangkaian benang merah, meskipun dilihat satu sisi, tetapi rangkaian lain tetap menjadi bagian penting, sebagai penghubung suatu ’wujud’. Kebudayaan nasional adalah wujud yang dimaksud. Kebudayaan tidak dapat dipandang sebagai ide-ide spiritual belaka. Karakter alamiah dari suatu daerah, ikut menetukan ciri suatu kebudayaan. Hal tersebut tampak dalam aspek peradaban material, misalnya makanan, pakaian, persenjataan, peralatan, tempat tinggal, pemukiman, sarana transportasi, dan metode komunikasi (Raga, 2000 : 21-24). Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1974 : 9) berasal dari bahasa Sansekerta budhayah, bentuk jamak dari budhi yang berarti akal, sehingga pengertian kebudayaan berarti hal-hal berhubungan dengan akal sebagai buah usaha manusia. Istilah budaya dalam bahasa Inggris culture berasal dari kata bahasa Latin colere, berarti mengolah, mengerjakan, terutama tanah atau bertani. Bertolak dari pernyataan tersebut, arti culture mengalami perkembangan, yakni segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam. Kata kebudayaan juga berasal dari terjemahan kata kultur. Kata tersebut dalam bahasa Latin cultura berarti memelihara, mengolah, dan mengerjakan. Cakupan kebudayaan dalam kaitan ini menjadi sangat luas, seluas hidup manusia. Hidup manusia meliputi memelihara, mengolah, dan mengerjakan berbagai hal-hal yang menghasilkan tindak budaya. Konsep kebudayaan menjadi sangat beragam dan meloncat-loncat, karena kompleksnya aktivitas manusia (Alisjahbana, 1986 : 207-208). Menurut Budiono (2000 : 5-7). Perbendaharaan bahasa Jawa yakni budi dan daya merupakan istilah yang memiliki pengertian sama dengan kata budaya. Penggabungan kedua kata itu, sehingga membentuk pengertian baru. Jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan disebut trisakti, yakni pikiran, perasaan, dan kemauan. Ketiga unsur tersebut sering disebut cipta, rasa dan karsa. Trisakti itulah yang disebut budi, yakni jiwa yang sudah masak dan cerdas, sehingga mampu menampilkan kebaruan. Budi manusia mempunyai sifat istimewa, luhur dan halus, sehingga segala benda ciptaan manusia mempunyai kedua sifat luhur dan halus sesuai pelajaran etika dan estetika. Etika diartikan 5
sebagai pranata tindak sopan santun menyangkut nilai moral, sedangkan estetika berhubungan dengan hal indah, halus, dan luhur. Trisakti mampu memasukkan segala isi alam yang ada di luar ke dalam jiwa melalui panca indra, juga mengolah segala isi alam masuk dalam jiwa sehingga menjadi buah budi manusia disebut kebudayaan (Suwaji, 1992 : 2, 9). Tinggi-rendahnya kebudayaan menunjukan kualitas budi, serta peradaban dalam hidup suatu bangsa. Kebudayaan adalah sifat utuh atau sifat keseluruhan hidup suatu bangsa. Definisi kebudayaan berupa sebuah konseps, bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai maksud bahwa kebudayaan terdiri dari beberapa pola-pola nyata maupun tersembunyi, dari dan untuk perilaku yang diperoleh, dipindahkan dengan simbol-simbol, menjadi hasil-hasil tegas dari kelompokkelompok manusia. Inti pokok dari kebudayaan adalah gagasan-gagasan tradisional (yaitu diperoleh dan dipilih secara historis), khususnya nilai-nilai tergabung dari pihak lain sebagai unsur-unsur berpengaruh terhadap tindakan selanjutnya (Budiono, 2000 : 8). Sistem nilai budaya merupakan tingkat paling abstrak dari adat, dan merupakan konsepsi dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai halhal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sebaliknya, sistem normanorma dan sistem hukum lebih konkret, sedangkan perturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat, merupakan adat istiadat paling konkret tetapi terbatas lingkupnya, sebagai contoh sopan santun (Koentjaraningrat, 1974 : 5-8; 1985 : 186-189). Sistem religi dan upacara keagamaan merupakan salah satu unsur kebudayaan universal tiga wujud kebudayaan, dan suatu aktifitas manifestasi dari simbol-simbol bentuk kepercayaan yang diyakini akan adanya Tuhan, Dewa, Roh penguasa alam semesta, surga, neraka, kekuatan baik maupun jahat dan sebagainya. Religi diwujudkan dalam simbol-simbol memiliki kemampuan memberi arah, pedoman umum, dan orientasi pada tingkah laku manusia karena terkandung norma, peraturan dan nilai-nilai lama terbentuk melalui proses dalam masyarakat. 6
Kegiatan religi membutuhkan alat serta perlengkapan untuk menunjang kebutuhan pada pelaksanaan ritual kepercayaan masing-masing masyarakat. Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia seperti misalnya cara menghayati kematian dan membuat upacara-upacara menyangkut peristiwa tersebut, demikian juga mengenai kelahiran, seksualitas, perburuan, cara membuat alat-alat, pakaian dan sebagainya (Bambang et al., 1981 : 2). Pembentukan serta perkembangan kebudayaan disebabkan interaksi dari faktor genetik, geografis, ekonomis, dan psikologis, sehingga kebudayaan adalah komunitas berangkap empat, yaitu komunitas kerja, pikiran, tempat, dan darah (ras). Manusia berperan sebagai faktor aktif-kreatif dalam interaksi tersebut karena memiliki akal budi dan kebebasan. Lingkungan alam atau elemen-elemen material menjadi kondisi bagi untuk menciptakan kebudayaan, karena ia adalah hasil interaksi manusia dan lingkungan alam yang bersifat material, sehingga bukan proses fisik semata maupun konstruksi ideal belaka. Fungsi kebudayaan nasional sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia. Hal tersebut mendasari perlunya pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah, kemudian diadakan penyeleksian bermacam nilai positif yang terdapat di dalamnya taraf nasional. Kebudayaan Jawa merupakan salah satu bagian penting untuk kelangsungan kebudayaan nasional. Kebudayaan masyarakat Jawa memiliki identitas dan memberi warna pada kebudayaan nasional Indonesia. Pengaruh yang paling besar tampak pada bahasa Indonesia. Bahasa ini mengambil sejumlah istilah Jawa termasuk Jawa Kuno. Masyarakat Jawa yang tinggal di pelosok Nusantara bahkan mancanegara tetap berbudaya satu. Mereka berpikir dan berperasaan seperti di tempat asal leluhur. Penghayatan hidup tersebut yang membawa pengaruh besar terhadap kebudayaan Indonesia (Sardjono, 1995 : 14). Kebudayaan dan masyarakat adalah dua elemen penting untuk memahami ”Jawa” secara keseluruhan. Dua hal tersebut merupakan satu bagian, karena kebudayaan muncul berdasarkan cipta, rasa, dan karsa masyarakat. Kebudayaan Jawa ada sebelum kebudayaan nasional, ketika Nusantara belum bersatu. Proses panjang serta periodeisasi perkembangan dialami kebudayaan Jawa sejak zaman batu atau pasca es di kutub utara dan selatan mencair. Peninggalannya 7
yang berperan besar mengalami pengembangan, serta dipelajari hingga saat ini karena masih ditemui artefaknya; terdapat pada zaman kerajaan Hindu-Budha dan Islam masuk ke Nusantara. Artefak termasuk dalam budaya material yang terdiri dari kategori bangunan, peralatan, dan persenjataan (Kuntowijoyo, 1987 : xi). Halhal tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari seluruh konfigurasi budaya. Sistem nilai merupakan pandangan hidup atau world view bagi manusia yang menganutnya. Pandangan hidup memiliki pengertian sebagai sistem pedoman yang dianut oleh golongan secara umum atau individu-individu khusus di masyarakat. Fleksibel adalah sifat pandangan hidup, menyesuaikan situasi dan kondisi, bahkan dapat terjadi tanpa kesadaran sebagai akibat kepengapan kondisi. Hal tersebut dinamakan reideologisasi dengan pola ideologi alternatif, yakni menyusun kembali serangkaian nilai masyarakat. Sistem nilai masyarakata Jawa dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang dianut secara selektif oleh para indidvidu dan golongan. Hal tersebut meliputi citacita, kebajikan, dan sikap yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial. Sumber pandangan hidup bermacam-macam berdasarkan sumbernya dan digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu dari agama, ideologi yang merupakan abstraksi dari nilai-nilai budaya suatu negara atau bangsa, serta hasil perenungan seseorang, sehingga terwujud menjadi ajaran atau etika untuk hidup. Prinsip kerukunan bertujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis yang disebut rukun, yakni keadaan ideal yang diharapkan semua pihak berada dalam keadan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima dalam suasana tenang dan sepakat dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa dan di setiap kelompok. Prinsip hormat mengandung arti bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Suseno, 1985). Masyarakat tradisional hampir tidak ada paham seni untuk seni. Sebaliknya, keindahan mengikuti kegunaan karena membantu pelaksanaan fungsinya. Seniman tradisional Indonesia telah mewariskan benda-benda fungsional yaitu dibuat untuk tujuan lain daripada sekedar menyenangkan secara estetis dengan nilai keindahan. Benda-benda tradisional Indonesia yang dibuat 8
semata-mata sebagai ”karya seni” untuk memperoleh tanggapan keindahan sulit dijumpai. Seni tradisi masyarakat Jawa seringkali mewujudkan keindahan melalui manfaat dan pengubahan bahannya, dan kini dikenal sebagai karya seni dengan nilai pasar dan ekonomi tinggi. Seluruh Jawa ditemukan adanya penekanan yang kuat akan hal-hal teratur secara ketuhanan atau aspek moral estetika dan kecenderungan bahwa pelanggaran norma-norma ini akan meniadakan fungsi sosial benda (Soemantri, 2002 : 22). Kesenian Jawa mengalami perkembangan pesat setelah mendapat pengaruh Hindu. Wawasan masyarakat Jawa tehadap kebudayaan pada umumnya dan kesenian pada khususnya menjadi luas, setelah mengenal tulisan dan mengenal dewa-dewa menurut agama Hindu. Masyarakat Jawa mengenal cilpasastra, yaitu buku petunjuk tentang seni bangunan. Masyarakat Jawa sejak saat itu mendirikan seni bangun candi dan stupa sebagai bangunan suci tempat ibadah pemeluk Hindu dan Budha. Seni merupakan salah satu tindakan simbolis. Hal tersebut disebabkan tidak semua tindakan dan pergaulan manusia sehari-hari dapat diungkapkan secara logis, melainkan hanya diungkapkan melalui bentuk-bentuk perlambang Semuanya itu harus diolah dan dirakit dengan sarana pentas yang lain sedemikian rupa, sehingga menjadi satu kesatuan yang bulat. Wujud kesatuan inilah yang menunjukkan nilai seni. 3.2. Seni Kerajinan Tradisional Ekspresi Hasil Budaya Apabila dilihat secara sekilas bahwa motif-motif tritik dan jumputan di Surakarta sampai saat ini menunjukkan kemiripan, karena unsur-unsur motifnya sama. Tetapi jika diamati lebih teliti, sebenarnya kombinasi dari susunan bentuk motifnya menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini disebabkan karena setiap perajin mempunyai kepribadian sendiri sesuai nalurinya, serta disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Dari sinilah maka motif tritik dan jumputan di Surakarta mempunyai banyak variasi bentuk motifnya, walaupun secara keseluruhan tetap satu nafas atau seirama. Dalam kebudayaan Jawa tidak dapat terlepas dari nilai - nilai falsafah, baik kejiwaan maupun pola pikirnya. Landasan inilah dalam berbagai pembahasan kebudayaan kejiwaan Jawa disebut “Kejawen” (Suseno, 2001: 11 – 15. Sedang 9
dalam unsur-unsur kebudayaan Jawa dapat meliputi kesusasteraan, sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan, pola-pola menetap dan arsitekturnya, tata upacara, juga keseniannya.Titik berat yang melatar belakangi kejawen adalah disebut “ngilmu”, sehingga ilmu kejawen dapat menembus dan lingkungannya yang sempit menuju sifat- sifat umum dan universal (Holt dalam Soedarsono, 2000: 155). Walaupun berlokasi yang sempit dan khusus yaitu Jawa, tetapi kebudayaan kemanusiaan.
tersebut jauh menerawang dalam hidup dan kehidupan alam Dengan tujuan kebenaran dan kesempurnaan yang terkandung
dalam kebudayaan Jawa yang bersifat falsafah itu terletak pada nilai-nilai simbolisme yang muncul akibat adanya kontak antara manusia dengan mikro kosmos dan makro kosmos,antara kehidupan lahir dan kehidupan batinnya. Masyarakat sering mengistilahkan rancu istilah simbol dan simbolisme. Hal ini
disebabkan keduanya diterjemahkan dengan istilah yang sama yaitu
“lambamg”. Simbol merupakan wujud visual sebagai hasil pembabaran langsung dari ide senimannya atas dasar kehidupan rasa-nya yang paling dalam. Dengan demikian apa yang terkandung di dalam simbol merupakan nilai-nilai yang mencerminkan kehidupan feeling seniman. Karena simbol merupakan pembabaran langsung dari idea, tentu di dalamnya terdapat perpaduan bersifat heterogen antara yang spontan dan diungkapkan oleh jiwa. Perpaduan itu tentu saja tidak hanya dibina oleh rasio belaka tetapi oleh seluruh kehidupan feeling yang paling dalam dan manifestasinya secara spontan atau dengan perkataan lain ekspresif. Sebagai wujud visual yang dibabarkan langsung dari idea dan mengandung nilainilai kehidupan feeling seniman, maka simbol merupakan suatu kesatuan. Dalam bidang seni, simbol itu terbabar dalam karya seni (Langer, 1962). Simbolisme merupakan simbol-simbol yang digunakan baik dalam bidang seni maupun yang lainnya, terutama untuk memberi tanda khusus pada benda atau dengan mensugestikan melalui imaji-imaji inderawi benda tersebut yang tidak dapat dilihat oleh inderawi. Sebagai contoh penggunaan kain batik klasik oleh seseorang yang disucikan atau dimuliakan, untuk menunjukkan kualita, kekuatan atau
derajatnya. Menurut pendapat Read, dinyatakan
simbolisme dapat saja
berbentuk karya seni yang unsur-unsur pendukungnya menggambarkan analogi nilai - nilai dari karakter tertentu yang mewakili idea abstrak. Nilai-nilai ide 10
abstrak itu akan membentuk kesatuan atau gestalte hubungan kualita, kekuatan dan derajat (Read, 1970: 121 - 130). Karya seni klasik, memuat dan memenuhi unsur-unsur diatas, karena se ni batik klasik diciptakan dalam kesatuan kualita, kekuatan dan derajat pada waktu itu yaitu sebagai benda seni untuk melegitimasi kedudukan dan keberadaan kerajaan sebagai penguasa (Soedarmono, 1990: 10). Motif tritik dan jumputan sangat bervariasi, maka dalam pemakaiannya harus disesuaikan dengan tata cara dan adat istiadat yang berlaku pada zaman itu. Karena pada ha kekatnya tiap-tiap pemberian nama motif tritik dan jumputan mempunyai makna simbolisme tertentu. Mengingat di dalam penciptaan motif Jumputan dan Tritik pada zaman dahulu tidak hanya indah semata, melainkan juga memberi makna yang erat hubungannya dengan falsafah hidup dan kehidupan pada masyarakatnya. Upacara adat merupakan suatu suatu hal yang sangat universal, karena upacara tersebut terdapat di seluruh dunia dengan berbagai cara atau adat yang berbeda-beda. Orang yang telah melakukan upacaea adat perkawinan misalnya, memiliki makna bahwa mereka telah melakukan hidup baru, yaitu membina hidup berumah tangga. maka perkawinan seringkali dimulai dengan berbagai upacara untuk menyongsong dalam kehidupan baru nanti dapat selamat, bahagia, sejahtera, tanpa ada suatu hal yang merintangi baik dimulai dari pelaksanaan perkawinan sampai menjalani kehidupan baru. Di berbagai daerah memiliki tata cara atau adat sendiri dalam melaksanakan upacara perkawinan. Juga rententan acara perkawinan memiliki ciri khas sendiri dengan berbagai perlengkapan upacaranya. Dari berbagai rentetan upacara
perkawinan
akad
nikah
inilah
yang
paling
penting
dalam
penyelenggaraannya, karena dalam upacara tersebut peristiwa yang sangat penting terjadi. Kedua pengantin saling berjanji untuk hidup bersama, sedang upacara lain sebagai persyaratan adat untuk menunjang terlaksananya perhelatan tersebut (M. Harjowirogo, 1979: 42). Upacara perkawinan sebagai salah satu contohnya, menurut hukum adat Jawa ada tata cara tersendiri, yaitu dimulai dengan berbagai upacara sebagai simbolisme dari berbagai rentetan upacaranya. Menurut Tiknopranoto bahwa 11
upacara adat perkawinan Jawa di Surakarta biasanya calon mantu (temanten pria) pada waktu melamar harus memiliki kriteria bobot, bibit dan bebet (tanpa th.: 41). Lebih lanjut ia menerangkan bahwa yang dimaksud bobot adalah keadaan calon menantu tentang ilmu pengetahuan, kedudukan serta kekayaan atau penghasilan yang sangat diperlukan untuk menunjang kebutuhan dan kelstarian hidup berkeluarga. Bibit dimaksudkan adalah asal usul atau keturunan calon menantu dari mana berasal, sedang bebet memiliki makna tentang naluri atau kelakuan yang baik, sehingga dapat memberi keturunan anak yang berbudi luhur. Pelaksanaan upacara perkawinan adat Jawa di Surakarta dilakukan di tempat penganten perempuan dengan urutan acara meliputi ; pasang tarub, siraman, akad nikah, panggih dan sampai acara sepasaran. Berbagai rentetan upacara perkawinan adat Jawa selalu diiringi dengan upacara serta benda-benda simbolis yang menyertainya.Termasuk salah satu di dalamnya adalah penggunaan Jumputan dan Tritik dalam upacara adat perkawinan, serta upacara lain misalnya upacara mendirikan rumah, selamatan dan lainnya. Tritik dan jumputan memiliki pola-pola yang diciptakan dengan latar belakang falsafat hidup orang Jawa, ternyata ada pola diciptakan khusus untuk dipakai oleh orang tua untuk menuntun anaknya dalam prosesi perkawinan tersebut. Pola tersebut di antaranya: bermotif Sindur. Hal ini disebabkan karena selain corak polanya yang sangat indah, juga didalamnya terkandung makna simbolis
yang
merupakan
ungkapan
serta
harapan
akan
kebahagiaan,
kesejahteraan, kemuliaan dalam menjalankan hidup, serta terhindar dari hal-hal yang kurang baik dalam melaksanakan upacara adat. Harapan serta doa tersebut terpancang di dalam ornamen-ornamen motif pada motif tritik dan jumputan. 3.3. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Perkembangan Globalisasi Dalam era global, sekarang ini terjadi berbagai macam perubahan di semua bidang kehidupan karena berbagai faktor, baik karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi utamanya teknologi informasi, maupun perubahan politik internasional yang terjadi di semua sektor dan strata masyarakat. Perubahan tersebut pasti juga menghasilkan perubahan dalam tatanan kehidupan pada umumnya, termasuk kehidupan ekonomi. Dengan demikian, berpikir, berencana, bertindak, dan
12
mengambil keputusan di bidang ekonomi saat ini sangat dipengaruhi oleh konsep berpikir, berencana, dan bertindak secara global (Sri Redjeki Hartono, 2007:70). Globalisasi merupakan gerakan perluasan pasar, dan di semua pasar yang berdasarkan persaingan selalu ada yang menang dan yang kalah. Perdagangan bebas dapat juga menambah kesenjangan antara negara-negara maju dan negaranegara pinggiran, yang akan membawa akibat pada komposisi masyarakat dan kondisi kehidupan (Erman Rajagukguk, 1999:115). Dalam situasi demikian itu, penguatan negosiasi dan pendekatan-pendekatan Indonesia dalam posisi di antara negara-negara internasional merupakan hal yang strategis. Ditambah lagi, perlunya perjuangan agar negara-negara dunia, khususnya negara yang kaya memegang komitmen untuk menjaga kesejahteraan dan kemajuan negara-negara yang miskin. Indonesia ikut dalam proses GATT, karena memberikan peluang pasar internasional yang lebih luas bagi komoditas ekspor Indonesia. Di samping itu, GATT memberikan kerangka perlindungan multilateral bagi Indonesia untuk menghadapi mitra dagangnya. Keikutsertaan Indonesia dalam tatanan GATT menimbulkan konsekuensi kebijakan yang perlu diterapkan di dalam negeri menyangkut: (1) penyempurnaan peraturan perundang-undangan seiring dengan tatanan GATT, dan (2) penyiapan penumbuhan peningkatan kualitas sumber daya manusia, di sektor swasta sebagai pelaku langsung dalam kegiatan ekonomi, dan di sektor pemerintah selaku aparatur fasilitator dan dinamisator kegiatan ekonomi melalui pengelolaan sarana dan prasarana serta pelayanan umum (Normin S. Pakpahan, 1998: 40). Hal ini menjadikan tuntutan global sulit untuk ditawar, karena di dalam arena ekonomi global ditentukan dan dipengaruhi oleh tatanan global. Di dalam kerangka itulah negara-negara berkembang/miskin harus meletakkan kepentingan dan kebutuhannya. Sehubungan dengan era globalisasi, keikutsertaan Indonesia pada GATT merupakan implikasi sistem kebijakan ekonomi internasional. GATT tidak lain sebagai ekspansi perdagangan dunia, dan juga dilakukannya rasionalisasi tarif. GATT sebenarnya
merupakan kontrak antarpartner dagang untuk tidak
memperlakukan secara diskriminatif, proteksionis dalam perdagangan dunia. Kesepakatan-kesepakatan dilaksanakan pada kegiatan putaran-putaran, sejak 1947
13
hingga putaran Uruguay (1986), yang menarik karena berhasilnya dibentuk WTO yang mulai berlaku 1 Januari 1995. Di antara perundingan GATT putaran Uruguay adalah TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods) atau Persetujuan Perdagangan yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) mencakup perdagangan barang-barang palsu. Perundingan ini bertujuan : a.
Meningkatkan perlindungan terhadap HKI dari produk-produk yang diperdagangkan.
b.
Menjamin prosedur pelaksanaan HKI yang tidak menghambat kegiatan perdagangan.
c.
Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap HKI.
d.
Mengembangkan prinsip aturan dan mekanisme kerjasama internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan HKI. Masalah HKI nampak lebih nyata sebagai manifestasi sistem kebijakan
ekonomi internasional dan penting bagi peran bisnis. Indonesia mempunyai keharusan untuk menyesuaikan sistem hukumnya mengenai HKI, karena di dalam TRIPs ditentukan asas kesesuaian penuh (full compliance), yang berarti negaranegara anggota harus membuat hukum nasionalnya mengenai HKI sesuai dengan ketentuan persetujuan TRIPs tersebut. Namun sebenarnya masalah HKI ini merupakan dukungan gagasan bagi perusahaan transnasional (MNc). Dampaknya meyakinkan negara yang lebih kecil dan miskin bahwa bagaimanapun kekuatannya, WTO dapat digunakan untuk meningkatkan keuntungan curang negara Barat (John Ralston Saul, 2008. hlm. 238). Problema negara miskin, seperti Indonesia menyangkut penguasaan teknologi dan keterampilan SDM sehingga daya kompetisinya lemah. Dalam hal, HKI berhubungan dengan inovasi & kreativitas masyarakat yang kurang, dan juga
konsep budaya kepemilikan
terhadap kekayaan intelektual yang lebih bersifat komunal. Globalisasi hukum dapat dilihat perwujudannya mengacu hukum ekonomi internasional yang semakin penting. Hal ini ditandai dengan terjadinya kecenderungan-kecenderungan
semakin 14
berperannya
organisasi-organisasi
internasional, yang melahirkan berbagai perjanjian internasional yang mengatur kegiatan ekonomi. Seiring dengan semakin rumpilnya hubungan atau transaksi ekonomi internasional telah mengakibatkan semakin kompleksnya aturan-aturan hukum ekonomi internasional
Di samping itu, juga melahirkan kemungkinan
konflik internasional sehingga diperlukan perangkat hukum mengenai penyelesaian sengketa. Pada akhirnya, tata hukum nasional dipersoalkan berkaitan dengan munculnya fenomena bahwa negara-negara dewasa ini
mau tidak mau telah
memaksakan dirinya untuk menyesuaikan hukum nasionalnya dengan aturanaturan hukum ekonomi internasional (Huala Adolf,
: 24-26).
Perjanjian Putaran Uruguay tentang pembentukan WTO beserta lampiranlampirannya berpengaruh luas pada pembentukan hukum ekonomi nasional. Secara makro seluruh isi Perjanjian tersebut telah masuk dalam sistem hukum positif nasional melalui ratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1994. Dengan demikian, setiap warga negara dan badan hukum Indonesia yang berkecimpung di dunia bisnis wajib menaati ketentuan
perjanjian tersebut. Namun secara mikro, subtansi
perjanjian Putaran Uruguay berdampak langsung pada produk-produk
hukum
ekonomi yang perlu diperbaharui dan disempurnakan agar tidak menimbulkan konflik hukum yang merugikan (Normin S. Pakpahan, 1998: 4). Konflik berpotensi tidak terhindarkan di antara hubungan antar negara. Sementara itu, Indonesia lemah menyangkut berbagai sumberdaya (terutama manusia) berhadapan dengan negara-negara besar di dunia. Inilah di antara wujud fenomena globalisasi. Diperlukan aspek dimensi global sebagai langkah strategik, yang di dalamnya mengadung tantangan agar hukum Indonesia berhadapan dengan masyarakat dunia. Ini berarti menjadikan Indonesia
mampu berkomunikasi
melalui hukum dengan bangsa–bangsa lain. Dalam hal ini, hukum Indonesia perlu ditata sedemikian rupa sehingga mampu masuk dalam interaksi hukum dunia, seperti melakukan restrukturisasi bidang-bidang yang terlibat interaksi tersebut, terutama dalam dunia bisnis (Satjipto Rahardjo, 1999: 4). Perangkat hukum yang dibutuhkan adalah perangkat hukum yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dalam era global. selain itu, juga mampu menopang cita-cita hukum nasional dalam rangka mencapai tujuan nasional berupa kesejahteraan bersama sekaligus bersaing dengan negara-negara lain. 15
3.4. Perlindungan “Traditional Knowledge” dalam kerangka Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Negara Republik Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional secara resmi telah mengesahkan keikutsertaan dan menerima Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization) beserta seluruh lampirannya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Dengan demikian Indonesia terikat untuk melaksanakan persetujuan tersebut. Salah satu persetujuan di bawah pengelolaan WTO ialah Agreement Trade Related Aspects of Intelectual Property Righs, Including Trade In Counterfiet Goods ( Persetujuan mengenai Aspek-Aspek Dagang yang terkait dengan HKI, termasuk Perdagangan Barang Palsu), disingkat persetujuan TRPs. Persetujuan
TRIPs
menggunakan
prinsip
kesesuaian
penuh
atau
“Full
Compliance“ sebagai syarat minimal bagi pesertanya, ini berarti Negara-negara peserta wajib menyeseuaikan peraturan per Undang-Undangan nasional mengenai HKI secara penuh terhadap perjanjian-perjanjian internasional tentang HKI. Untuk
melaksankan
persetujuan
TRIPs
tersebut
dan
sekaligus
membangun system hokum nasional dibidang HKI, Indonesia telah membuat berbagai kebijakan HKI, antara lain, di bidang peraturan perundangan-undangan HKI dan upaya peningkatan kesadaran masyarakt tehadap HKI. Dalam bidang perundang-undangan, saat ini telah berlaku Undang-Undang No. 19 tahun 2002 (Hak Cipta), Undang-Undang nomor 29 tahun 2000 (Varietas Tanaman), UndangUndang nomor 30 Tahun 2000 (Rahasia Dagang) Undang-Undang nomor 31 tahun 2000 (Desain Industri), Undang-Undang nomor 32 tahun 2000 (Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu), Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 (Paten) dan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 (Merek). Di samping itu, telah diratifikasi berbagai Konvensi /perjanjian internasional di bidang HKI sejak tahun 1997 yaitu Konvensi Paris (Perlindungan Paten,Merk, Desain Produksi, dan Rahasia Dagang) dengan Keppre Nomor 15 Tahun 19997, Traktat Kerjasama Paten dengan Keppres Nomor 16 Tahun 1997, Traktat Merek dengan Keppre No. 18 Tahun 1997, dan Traktat WIPO tentang Hak Cipta dengan Keppres No. 19 Tahun 1997.
16
Hak Kekayaan Intelektual sebagai terjemahan dari Intelecctual Property Rights (IPR), menurut WIPO (The World Intellectual Property Organization) secara garis besar meliputi dua cabang yaitu : a. Hak Cipta (Copyright), dan b. Hak Atas Kekayaan Industri (Industrial Property Right ) yang terdiri dari : (1) Paten (Patent) (2) Merek (Mark) (3) Desain Produksi Industri (Industrial Design) (4) Penanggulangan Praktek Persaingan curang (Repression of Unfair Competition Practices) Selanjutnya, berdasarkan Bab II Trade Realted Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Good (TRIPs), HKI meliputi (Akira Okawa, 1997 : 1, dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, 2005): a. Hak Cipta (Copyright) dan Hak-hak yang terkait lainnya. b. Merek (Mark) c. Indikasi Geografis (Geographical Indication) d. Desain Produksi Industri (Industry Design) e. Paten (Patent) f. Rangkaian Elektronika Terpadu (Lay Out Design of Integrated Circuit); g. Perlindungan Rahasia Dagang ( Undisclosed Information/Trade Secret). h. Pengendalian terhadap Praktek Persaingan Curang/tidak sehat (Repression of Unfair Competition Practices). i.
Perlindungan Hak Kekayaan Tradisional Kekayaan intelektual tetapi bukan hasil karya dan kreasi saat ini
melainkan sudah terjadi pada kurun waktu yang lama secara turun-temurun dalam wilayah dan masyarakat tertentu, sebagai hasil kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Hal ini yang sering disebut sebgai “traditional knowledge”. Istilah traditional knowledge sebenarnya dapat diterjemahkan sebagai pengetahun tradisional. Traditional knowledge merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional. Traditional knowledge telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrument hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal 17
terhadap traditional knowledge yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di sampng itu,
di tingkat internasional traditional
knowledge ini belum menjadi suatu kesepakatan internasional untuk memberikan perlindungan hukum. Istilah traditional knowledge adalah istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi, know how yang secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi unit social. Traditional knowledge mulai berkembang dari tahun ke tahun seiring dengan pembaruan hukum dan kebijakan, seperti kebijakan pengembangan pertanian, keanekaragaman hayati (biological diversity), dan kekayaan intelektual (intellectual property) (Budi Agus Riswandi & M. Syamsudin, 2004:27). World
Intellectual
Property
Organizatin
(WIPO)
mendefinisikan
pengetahuan tradisional, yaitu: “Pengetahuan tradisional” mengacu pada sastra yang berupa budaya; karya seni atau ilmiah; pementasan; invens; penemuan ilmiah; desain; merek; nama dan simbol-simbol; rahasia dagang dan inovasiinovasi yang berupa budaya dan ciptaan-ciptaan yang merupakan hasil kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Yang berupa budaya mengacu kepada sistem pengetahuan; ciptaan-ciptaan; inovasi-inovasi; dan ekspresi budaya yang secara umum telah disampaikan dari generasi ke generasi dan secara umum dianggap berhubungan dengan orang-orang tertentu atau wilayahnya dan terus berkembang sebagai akibat dari perubahan lingkungan. Kelompok pengetahuan tradisional mencakup: pengetahuan pertanian; ilmu pengetahuan; pengetahuan ekologi (lingkungan); pengetahuan pengobatan, termasuk obat-obatan yang berkaitan dan pengobatan; ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati, ekspresi budaya tradisional (ekspresi folklore) dalam bentuk musik, tarian, nyanyian/lagu, kerajinan tangan, desain, cerita dan karya seni; elemen-elemen bahasa seperti nama, indikasi geografis dan simbol; dan barang-barang yang bernilai budaya. Yang tidak termasuk dalam deskripsi pengetahuan tradisional adalah hal-hal yang bukan merupakan hasil dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmu pengetahuan, bidang sastra dan seni seperti jasad renik, bahasa secara umum, dan elemen-elemen warisan yang serupa dalam arti luas”.
18
Saat ini masalah traditional knowledge dapat dibagi ke dalam dua permasalahan utama, yaitu (Budi Agus Riswandi, 2004:29): a. Perlindungan yang mempertahankan traditional knowledge atau ketentuan yang menjamin itu tidak akan sukses diperoleh oleh hak kekayaan intelektual melalui ketentuan traditional knowledge yang konvensional b. Perlindungan yang mempertahankan traditional knowledge akan sukses dengan menggunakan mekanisme hukum tradisional (exsiting legal mechanism) seperti kontrak, pembatasan akses (acces restriction) dan hak kekayaan intelektual.
4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian yang dilaksanakan bertujuan memperoleh temuan-temuan pengkajian sebagai berikut : a. Menyusun data base karya-karya sebagai seni kerajinan tritik dan jumputan yang berada di wilayah Surakarta, b. Menentukan karakteristik yang didasarkan pada kekhasan, keunikan dan historis pada seni kerajian tritik dan jumputan tersebut
yang merupakan
kekayaan “traditional knowledge”, c. Merekayasa konsep teoritik perlindungan HKI terhadap potensi pengembangan seni kerajinana tritik dan jumputan sesuai dengan tuntutan global namun tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat. d. Membangun teori di bidang kebijakan dan hukum dalam pemerintahan untuk melindungi perwujudan “traditional knowledge”, khususnya seni kerajinan tritik dan jumputan sebagai asset budaya dan ekonomi daerah, yang mengandung kekayaan kearifan lokal sekaligus dapat dijadikan kapital sosial untuk membangun dunia kerajinan masyarakat yang lebih terbuka serta bertanggung jawab sesuai akar budaya masayarakat. Penelitian menghasilkan kemanfaatan pengembangan konsep teoritik terkait
makna budaya dalam seni, khususnya seni kerajinan tritik dan
jumputan, termasuk mensistematisasikan
teori konfigurasi seni kerajinan.
Pengembangan metodologi dan pendekatan dengan keterpaduan antara penelitian hukum dan budaya. Pengakajian hukum tidak cukup hanya mengkaji norma-norma dalam peraturan, maka dibangun 19
penelitian HKI dengan
pendekatan
budaya,
guna
mengkonsepkan
“traditional
knowledge”
berhubungan seni kerajinan tritik dan jumputan. Tritik dan jumputan sebagai seni kerajinan merupakan ”traditional knowledge” perlu memperoleh kajian perlindungan HKI apa yang potensial dimanfaatkan, serta bersamaan dengan itu upaya-upaya oleh pemerintah sehubungan dengan aset dan budaya daerah. Dalam hal ini, dapat diketahui jenis-jenis motif tritik dan jumputan sebagai seni kerajinan di wilayah Surakarta. Proses pembuatan seni kerajinan tritik dan jumputan tentu berbeda dengan pembuatan seni batik yang lebih dulu berkembang. Ini berkaitan dengan pandangan hidup rang Jawa mengenai makna simbolis yang
terkandung pada motif
seni tritik dan jumputan
dalam upacara tersebut. HKI yang dimungkinkan dalam perlindungan seni kerajinan tritik dan jumputan
sebagai ”traditional knowledge”, sehingga
memerlukan langkah-langkah konkret dari kebijakan pemerintah daerah guna memberikan perlindungan. Sistem
HKI
yang
baik,
sehubungan
dengan
perlindungan
penegtahuan tradisional meningkatkan posisi perdagangan dan investasi, mengembangkan teknologi, internasional,
mendorong perusahaan untuk bersaing secara
dapat membantu komersialisasi dari suatu invensi (temuan),
dapat mengembangkan sosial budaya, dan
dapat menjaga reputasi
internasional untuk kepentingan ekspor. Dalam hal ini dapat diterapakan pada seni tritik dan jumputan yang menjadi komoditas dan produk industry kreatif. Oleh karena itu, pengembangan sistem HKI nasional sebaiknya tidak hanya melalui pendekatan hukum (legal approach) tetapi juga teknologi dan bisnis (business and technological approach). Namun demikian, Konsepsi HKI memang kelihatan kental dengan pendekatan hukum. hal ini menjadi sesuatu yang logis, karena apabila mengkaji HKI pada akhirnya semua akan bermuara pada konsep hukum, terutama yang menyangkut upaya memberikan perlindungan hukum terhadap hasil-hasil karya intelektual. perlindungan HKI sendiri
lebih
dominan
pada
perlindungan
individual,
tetapi
untuk
menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem HKI mendasarkan pada prinisp sebagai berikut Prinisp keadilan (the
20
principle of natural justice), Prinisp ekonomi (the economic argument), Prinsip kebudayaan (the cultural argument).
B. METODA PENELITIAN Metodologi yang digunakan mengenai lokasi di wilayah Surakarta, bentuk penelitiannya
studi kasus tunggal, dan bersifat deskriptif-kualitatif.
Sehubungan dengan penelitian hukum, hukum dilihat dalam realitasnya merupakan penelitian hukum sosiologis. Sumber data berupa: karya seni, informan ( para seniman, para ahli, budayawan), upacara adat Jawa, dan arsip dan dokumen. Teknik pengumpulaan data dengan wawancara, observasi, dan studi dokumen/pustaka. Teknik cuplikan lebih bersifat “purposive sampling”/ “criteriation based selection”. Keabsahan data dengan cara “triangulasi data”. Teknik analisis dengan melakukan reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan atau verifi kasi, secara mengalir (Flow Model of Analisis).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Motif kain dodot adalah kain yang dililitkan mulai dada hingga ke kaki, yang memiliki lebar dan panjang tidak layaknya kain panjang terbuat dari bahan katun yang memiliki sifat mudah menyerap air dan tahan lama (awet). Warnanya biru tua dengan motif kaligrafi Allah Hu Hu yang di tuliskan diatas kain dengan teknik prada, dan ornamen hias berupa lekukan-lekukan garis. Motif ini tidak terlepas prinsip desain yang terdiri dari kesatuan, keseimbangan, dan keselarasan. Di tengah-tengah kain terdapat motif Blumbangan yang dibuat dengan teknik Tritik. Unsur dominannya tulisan kaligrafi Allah Hu Hu yang merupakan pusat perhatian, dan dianggap memiliki suatu kekuatan.
Dalam kostum tari Bedhaya Anglir
Mendhung ini yang termasuk warna bangun tuka, slawir dari dodot, bunga rajut melati, buntal dan anak panah. Kesemuanya tertata secara indah, di sinilah letak nilai seninya dan penggunaannya mengandung arti. Pada penataan dodot bagian belakang dibentuk draperi atau lipatan-lipatan, karena letaknya dipantat disebut bokongan sebagai lambang manusia dalam kehidupannya harus memiliki dasar sehingga tidak goyah. Terdapat pula Songkokan yaitu lekukan yang menonjol
21
bertempat di bagian belakang
kanan atas bokong, yang bermakna dalam
kehidupan supaya manusia menyisihkan penghasilannya sebagai bekal persediaan. Motif blumbangan adalah bentuk belah ketupat yang terdapat di tengah dodot yang dipakai di Puro Mangkunegaran berwarna putih yang artinya air, yang mengandung makna memberikan kesuburan dan kehidupan, agar hidup tentram, makmur, dan subur. Selain itu dalam blumbangan juga terdapat lekukan naik turun yang disebut ombak, yang menggambarkan dalam kehidupan manusia terkadang berada di atas dan kadang di bawah sehingga diharapkan manusia siap menghadapinya. Kain dodot nampak dipakai dalam upacara perkawinan. Sifatnya pesta sehingga kain yang dipakai tetap harus bernilai seni yang menunjukkan keceriaan dalam kesenangan. Namun tidak boleh melupakan kehidupan selanjutnya dalam menjalani perkawinan, tidak boros dan selalu mempersiapkan masa depan. Dalam kehidupan perkawinan selalu ada cobaan dan ujian, namun harus tetap tidak goyah. Motif Kain Sindur yang dibuat sebagai bahan untuk selendang (pakaian adat Jawa) biasanya dipakai dalam upacara adat perkawinan. Bahannya katun, dan
memiliki sifat mudah menyerap air dan tahan lama.
Warnanya merah dan putih yang dibuat di atas kain dengan teknik jumputan dan tritik, sehingga tidak merata dikarenakan efek teknik tersebut. Memahami simbolisme dalam visualisasi tatawarna motif kain tritik dan jumputan terkandung nilai-nilai falsafah orang Jawa yang dibentuk menurut kerangka kultur yang religius-magis. Dalam kaitannya dengan seni klasik, pemakaian tatawarna kuning, putih, merah (soga), biru, hitam menjadi karakteristik masyarakat Jawa yang dianggap memiliki lambang-lambang pemujaan terhadap“causa prima” yang berada dalam kedudukan tertinggi. Pada mulanya simbolisme tersebut dinyatakan lewat simbol. Warna dasar dalam motif klasik tersebut diilhami oleh lambang-lambang warna dalam kosmologi Jawa yang mengajarkan pada tiap penjuru mata angin memiliki makna warna simbolik, misalnya: selatan = merah, utara = putih. Warna lain yang merupakan perpaduan dari dua warna di atas. Kelima warna itu juga memiliki nilai ajaran Tasawuf Jawa, yaitu: api lambang warna merah yang mencerminkan watak keberanian, keberanian bagi orang tua untuk menikahkan anaknya serta keberanian anak untuk menempuh hidup baru yang banyak tantangan yang akan dihadapi, air lambang 22
warna putih yang memiliki watak mutmainah dalam hitungan pasaran warna ini sebagai simbol ketulusan bagi orang tua untuk menikahkan anaknya serta kesucian cinta kedua pengantin untuk menempuh hidup baru yang akan banyak menghadapi ujian hidup. Motif Kain Pare Anom dengan komposisi warna dasar hijau dan kuning. Arti istilah pare anom, berasal dari arti kata pare adalah buah yang rasanya pahit dan sering dijadikan bahan untuk masakan khas Jawa, sedang anom artinya muda, sehingga memiliki makna kepahitan atau keprihatinan. Dalam berjuang mengarungi hidup ini, kalau dulu berjuang mengusir penjajah, diharuskan untuk prihatin. Sehingga pengertian ini memiliki makna simbolisme keprihatinan untuk tetap berjuang, dan mendapatkan keselamatan dalam segala kegiatan atau upacara adat.
Motif Kain Kemben Bangun Tulak digunakan untuk kembenan yakni
kainnya dililitkan pada perut memutar sampai habis, fungsinya mengikat dan memperkuat pemakaian kain atau sarungan agar tidak melorot. Warna kain dodot menggambarkan situasi peperangan dan sesuai dengan warna bendera pangeran Samber Nyawa (Mangkunegara I). Warna bangun tulak adalah warna
warna-
warna gelap yang menggambarkan keprihatinan. Kain kemben bangun tulak ini dipakai calon pengantin putri dalam upacara adat jawa untuk tatacara ”siraman”, dengan nyamping kemben ”bangun tulak’, komposisi warna dasarnya biru kehitam-hitaman dengan motif blumbangan warna putih. Ini memiliki makna simbolisme untuk menjauhkan dari sing alus (makluk halus) sing kasar (jahat), serta mendekatkan para leluhurnya untuk senantiasa melindungi hidupnya, sehingga pengantin terhindar dari mara bahaya, dan kelak hidupnya akan bahagia. Kain selendang ini dipakai dengan menyampirkan pada pundak, yang tergerai sampai bawah, umumnya untuk melengkapi pakaian kebaya perempuan sebagai busana adat. Kain dengan motif kebaya adalah kain yang dibuat sebagai bahan untuk pembuatan pakaian kebaya (pakaian adat Jawa). Kain yang memiliki lebar 105 cm dan panjang 250 cm terbuat dari bahan katun, dan memiliki sifat mudah menyerap air dan tahan lama (awet). Kain ini berwarna biru tua dengan motif bulatan yang dikomposisikan ke tiga arah (segi tiga) yang dibuat di atas kain
23
dengan teknik jumputan. Komposisi warna motif ini terdiri dari warna putih, kuning, merah, biru kehitam-hitaman dengan ornamen hias berupa lingkaran yang tidak merata dikarenakan efek teknik jumputan. Pengembangan Jumputan dan Tritik di wilayah Surakarta tidak hanya sebagai pelengkap interior, tetapi juga dibuat sebagai busana. Kalau interior dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga, bersama dengan penggunaan untuk melengkapi peralatan rumah tangga. Selanjutnya yang lebih menarik bila kain Jumputan, Tritik juga dapat dipakai dalam bentuk baju, pakaian dengan berbagai model. Apabila hal ini betul-betul dapat memasyarakat, kain Jumputan dan Tritik ini sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Oleh karena itu khususnya bahan kain Jumputan dan Tritik di wilayah Surakarta
ini dikembangkan dari sisi fungsinya, yaitu selain untuk
pakaian, baju, busana harus mengikuti perkembangan mode yang selalu tren, serta untuk pelengkap interior. Proses Pembuatan Kerajinan Tritik dan Jumputan menggunakan Teknik Ikat Celup, yakni produk tekstil kerajinan, yang cara pengerjaannya dengan teknik warna rintang, digunakan tali pengikat. Cara perintangan warna dengan menggunakan bahan perintang seperti tali, benang, atau sejenisnya menurut corakcorak tertentu. Perintang ini untuk menghalangi masuknya zat warna pada kain yang dirintangi.
Motif-motif yang terbentuk dengan teknik ikat celup ini
tergantung pada teknik pengikatan, dan juga
teknik pewarnaannya. Ada tiga
golongan dalam perintangan warna yaitu teknik ikatan, tritik (jelujur), dan bundelan. Variasi bentuk juga dapat dilakukan dengan cara memadukan dua atau lebih teknik perintangan dalam satu kain yang sama. Paduan teknik yang tepat dan pengkomposisian bidang yang seimbang akan memunculkan variasi motif kain ikat celup yang menarik. Jumputan merupakan teknik perintangan yang dilakukan dengan mencomot (menarik), atau menjumput (bahasa Jawa), untuk kemudian diikat dengan tali. Bagian-bagian yang diikat dengan tali akan berwarna putih sebagai akibat zat warna yang tidak bisa masuk kedalam serat kain oleh adanya pengikatan. Teknik Remasan merupakan teknik ikatan dengan meremas kain secara tidak beraturan, kemudian mengikat gumpalan remasan kain sebelum dicelupkan kedalam cairan zat warna. Teknik Lipatan merupakan cara pengikatan dengan melipat kain sebelum diikat. Setelah itu kain dicelupkan kedalam larutan 24
zat warna. Kain yang telah dicelup dan dibuka ikatannya, hasilnya pada kain yang dilipat dan diikat akan berwama putih. Teknik Tritik didapatkan dengan cara menjelujur kain menurut corak yang diinginkan. Setelah dijelujur, benang ditarik sehingga jelujuran tadi rapat dan menjadi satu gumpalan kain, kemudian kain dicelupkan kedalam cairan zat warna. Kain yang telah dilepas jelujurannya, akan didapatkan ragam hias berwama putih menurut pola jelujuran yang telah dilakukan. Teknik Bundelan untuk memunculkan motif yang menyerupai efek marmer tetapi lebih teratur. Cara membuat bundelan dapat divariasikan untuk mendapatkan efek yang berbeda-beda. Makna simbolis yang terkandung pada seni tritik dan jumputan dalam upacara adat Jawa berhubungan dengan pandangan orang Jawa melihat setiap manusia sebagai bagian kecil dari dunia sosial-alamiah yang lebih luas. Karena itu ketentuan mengenai kehidupan sosial dengan sendirinya mengikuti keniscayaan metafisik. Tatanan kehidupan sosial merupakan suatu tatanan yang telah baku karena merupakan bagian dari tertib alam seluruhnya, yang bersifat misterius sebagaimana tampak dalam beberapa aspeknya yang bersifat teratur dan tidak beruba-ubah Dalam hal ini, kegiatan-kegiatan hidup orang Jawa selalu diliputi aspek keteraturan yang memasuki kehidupan individual maupun komunal, sehingga karya-karya tradisi juga bersifat teratur. Karakter semacam ini dapat dikesankan bagi orang luar sebagai apa adanya, lugu, dan cenderung sebagai hal yang dinilai statis, tidak berubah-ubah, bahkan hingga secara turun temurun. Akan tetapi memang inilah yang menjadi ciri dari pengetahuan tradisional. Dalam kerangka pandangan orang jawa memandang setiap manusia bagian dari dunia yang lebih luas tak terlepas dari sifat metafisik, karya seni tradisional jumputan dan tritik wujud cerminan tersebut, dalam hal pemaknaan arti simbol-simbol budaya yang terkandung dalam seni tritik dan jumputan. Seni kerajinan tritik dan jumputan dimanfaatkan dalam upacara-upacara adat, seperti: perkawinan, perayaan-perayaan, menempati rumah baru, yang berfungsi untuk menolak bala (menghindari kejahatan/mencegah terjadinya musibah). Seni ini diwujudkan dalam pakaian adat yang mengandung makna simbolis, yang menjadi keyakinan sebagian orang Jawa. Sifat atau keadaan ini secara turun-temurun tidak berubah, namun yang berubah berkaitan dengan motif-motif seni kerajinannya. 25
Perubahan yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat, motif yang selaras dengan mode pakaian dan dunia fashion, interior, serta peralatan perabotan rumah tangga. Pandangan orang Jawa mengenal
upacara utama dalam sistem
kepercayaan orang Jawa adalah pesta bersama, yaitu slametan. Dalam slametan ini, misalnya digunakan kain tritik dan jumputan, yangbermotif “bangun tulak” bermaknakan untuk menolak kejahatan ataupun musibah yang kemungkinan terjadi. Demikian pula, upacara-upacara tradisional lainnya, seperti perkawianan pada hakikatnya juga ada upacara slametannya, sehingga dapat ditemui pakaianpakaian/kain yang merupakan seni tritik dan jumputan dipakai para mempelai maupun para keluarganya, bahkan para tamu yang diundang. Kehidupan masyarakat terkandung konsep keselarasan yang merupakan konsep tradisi yang penting dan mendasar. Khususnya, orang Jawa melihat dirinya berada dalam pandangan dunia (jagat), yang terdiri dari jagat gede (makrokosmos) dan jagat cilik (mikrokosmos), jagat cilik merupakan bagian dari jagat gede yang harus dijaga keselrasannya dengan unsur-unsur jagat cilik. Oleh karena itu, seni memang selalu, apalagi seni tradisional mengandung unsur ritual. Kesenian pada umumnya memiliki tiga fungsi yang selama ini dikenal dalam masyarakat, yaitu untuk kepentingan ritual, untuk kepentingan festival, dan sebagai tontonan yang bersifat entertaintment kepuasan batin. Apabila kesenian itu berbentuk rupa seni terpakai, seperti busana, peralatan, hiasan, dan sebagainya dalam fungsinya sebagai kepentingan ritual tentu saja memiliki simbol-simbol yang bernilai ritual, ataupun sebagai sarana yang mendukung pelaksanaan ritual tersebut Konsep keselarasan dalam kultur Jawa di dalamnya terdapat nilai jatmika dan edi-peni untuk memahami budaya orang Jawa.
Jatmika dapat diartikan
sebagai simpatik, menarik, ramah. Orang Jawa dididik untuk menghindari konflik (karena
konflik akan merusak hubungan yang laras) akan sealalu berusaha
menjaga agar dalam berhubungan dengan sesama manusia untuk sealalu bersikap jatmika. Sikap ini akan terlebih dulu diutamakan, baru kemudian bersikap hormat bila berhadapan dengan orang yang dituakan, yang lebih senior, yang berkedudukan lebih tinggi, atau orang asing. Sikap jatmika semacam teknik yang memungkinkan keselarasan selalu dapat terjaga. Kemudian, sikap edi-peni yang 26
berarti indah dak apik seringkali disejajarkan dengan nilai adiluhung yang berarti indah dan mulia. Nilai edi-peni dan adiluhung dikembangkan sebagai nilai yang penting, yang meliputi hampir semua segi
kehidupan, sehingga tidak hanya
menyangkut kesenian melainkan pada semua penampilan sikap. Nilai edi-peni ini dalam karya seni sebagai estetika atau aspek keindahan. Keindahan tetap imanent dalam seni, apa pun arti seni dan keindahan itu. Keindahan menjadi pemahaman prinsip kebentukan atau froma seni, karena seni sering didefinisikan sebagai suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang indah. Selain aspek estetika (keindahan) dalam seni, terdapat aspek etika. Seni Tritik dan Jumputan bila dimasukkan sebagai Pengetahuan tradisional, maka kedudukannya merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional. Traditional knowledge telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrument hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap traditional knowledge yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di samping itu, di tingkat internasional traditional knowledge ini belum menjadi suatu kesepakatan internasional untuk diberikan perlindungan hukum. World
Intelectual
Property
Organizatin
(WIPO)
mendefinisikan
pengetahuan tradisional, yaitu: “Pengetahuan tradisional mengacu pada sastra yang berupa budaya; karya seni atau ilmiah; pementasan; invensi; penemuan ilmiah; desain; merek; nama dan simbol-simbol; rahasia dagang dan inovasi-inovasi yang berupa budaya dan ciptaan-ciptaan yang merupakan hasil kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Yang berupa budaya mengacu kepada sistem pengetahuan; ciptaan-ciptaan; inovasi-inovasi; dan ekspresi budaya yang secara umum telah disampaikan dari generasi ke generasi dan secara umum dianggap berhubungan dengan orang-orang tertentu atau wilayahnya dan terus berkembang sebagai akibat dari perubahan lingkungan. Kerajinan tritik dan jumputan sebetulnya kurang tepat atau terdapat masalah bila dilindungi peraturan-perundangan HKI. Namun demikian dapat diupayakan aspek perlindungan HKI-nya. Kalau dilihat kerajinan triktik dan jumputan dari para pengrajinnya yang membuka usaha di bidang usaha penjualan, seperti toko busana/fashion, butik, sanggar, dapat dilindungi dengan memanfaatkan 27
merek pada usaha jasanya ataupun produknya. Apabila kerajinan tritik ditinjau aspek seni, yang merupakan karya seni yang dapat dilihat dan diraba dengan pancaindera dan dinikmati karena keindahannya, kerajinan tritik dan jumputan dilindungi HKI dengan rejim hak cipta. Sehubungan dengan ini, yang menjadi masalah adalah siapa penciptanya. Dalam hak cipta diperlukan ada pencipta yang akan memiliki hak moral maupun hak ekonomi. Kerajinan tritik dan jumputan sebagai tradisi sudah turun temurun di kalangan masyarakat, sehingga tidak diketahuai individu sebagai penciptanya. Kalau tidak ada penciptanya ini dimiliki oleh negara, kemudian juga menjadi pertanyaan bagaimana bila dimiliki pemerintah daerah. Sedang
proses
pembuatannya,
ataupun
bahan
pewarnaannya
dimungkinkan perlindungan melalui paten. Dalam hal ini aspek teknologi peralatannya, mekanisme proses pembuatannya, juga unsur-unsur yang terkandung dalam zat pewarnanya, bila memenuhi persyaratan yakni kebaruan, inventif step, dan dapat diterapkan dalam industri. Di sini yang menjadi
masalah adalah
kebaruannya, karena sebagai karya tradisi menjadi milik komunal, sudah diketahui khalayak umum. Selain itu, kerajinan tritik dan jumputan sebagai karya tradisi yang berciri khas dan unik terkait dengan daerah, iklim, geografis, etnik tertentu bisa dilindungi dengan indikasi geografis, yang masuk dalam UU Merek. Rejim HKI tidak dapat melindungi pengetahuan tradisional. HKI memberikan perlindungan pada pemilik modal, negara berkembang merupakan konsumen negara maju, tidak mempunyai pilihan karena ketergantungannya. HKI identik dengan komersialisasi karya intelektual. Pada tatanan global HKI termasuk dalam perjanjian TRIPs, yang diketahui sebagai perjanjian yang menunjukkan perlindungannya terhadap
kepentingan negara kapitalis. Paten tidak relevan
dengan perlindungan pengetahuan tradisional, dalam paten menuntut tindakan aktif inventor. Masyarakat lokal bukan masyarakat ber-tradisi tulisan. Alternatif upaya untuk
perlindungan
pengetahuan
tradisional,
yakni
tetap
memanfaatkan
perundang-undangan HKI yang ada (diharapkan ada perubahan-perubahan yang sesuai
dengan
perlindungan
pengetahuan
tradisional
bagi
negara
berkembang/masyarakat lokal). Perlindungan bisa juga dilakukan dengan memanfaatkan hukum kontrak. Perkembangan sekarang juga diusulkan adanya 28
hukum khusus tentang perlindungan pengetahuan tradisional. Direktorat Jenderal HKI, Departemen Hukum dan HAM telah mempersiapkan Rencana Undangundang tentang PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN KEKAYAAN INTELEKTUAL PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Sistem pemerintahan daerah sudah melaksanakan otonomi daerah untuk membagi kekuasaan negara ini jangan sampai terjadi sentralisasi di pemerintah pusat. Sejak ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 hingga digantikannya dengan UU No. 32 Tahun 2004
berbagai permasalahan sosial, politik dan hukum
bermunculan dan menuntut penyelesaian yang akomodatif dalam berbagai kebijakan
dan
perundang-undangan.
Di
antaranya,
masalah
pembagian
kewenangan atau urusan pemerintahan yang selama ini belum memiliki kriteria yang tegas. Melalui revisi UU Pemerintahan Daerah diharapkan dapat diciptakan sinerji antara demokrasi dan kesejahteraan. Khusus mengenai upaya mewujudkan kesejahteraan, normanya diatur antara lain dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Irnplementasinya, dilakukan antara lain melalui instrumen PAD yang penggalian sumber-sumbernya masih sering memunculkan persoalan dan tidak optimal. Dalam kerangka optimalisasi PAD, beberapa daerah telah melakukan inventarisasi dan mengklaim beberapa bentuk karya tradisi sebagai kekayaan daerah yang berpotensi untuk di eksploitasi. Mengenai kepemilikan pengetahuan tradisional menjadi milik daerah atau nasional terjadi dikotomi menyangkut statusnya. Melindungi perajin pada kenyataannya juga berdimensi pemberian perlindungan terhadap asset daerah. Namun demikian, pemikiran rnengenai perlindungan terhadap asset daerah harus dibedakan maknanya dari sudut pandang perlindungan HKI. Sejauh asset daerah itu merupakan karya-karya perorangan bermuatan HKI, siapa pun pemiliknya, tidak satu orang pun diperbolehkan memanfaatkan tanpa seijin pemiliknya. Premis ini dibangun dan logika normatif. Betapa pun, perangkat hukum HKI akan sepenuhnya menjaga dan melindunginya dari praktek pemakaian secara tanpa ijin. Berbeda halnya Apabila yang dilakukan oleh perajin sekedar melakukan kegiatan dengan keahlian yang diperolehnya secara turun temurun. Perajin seperti itu tidak 29
rnencipta dan tidak menghasilkan karya baru yang layak dikualifikasi sebagai ciptaan yang berhak mendapatkan perlindungan Hak Cipta. Sebaliknya, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, apabila komoditas yang dihasilkan para perajin memiliki ciri khas dan kualitas yang terkait dengan faktor geografis, faktor alam dan faktor manusia yang ada di daerah tersebut, kemungkinan besar akan berlaku perlindungan menurut rejim Indikasi Geografis. Namun demikian, perlindungan menurut rejim itu hanya berlaku melalui tanda yang hanya akan didaftar Apabila ada pihak yang mengajukan permintaan pendaftarannya. Dalam Peraturan daerah Kota Surakarta No.10 Tahun 2001 tentang Visi dan Misi Kota Surakarta, dinyatakan sebagai visi adalah terwujudnya kota Sala sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi perdagangan,
jasa,
pendidikan, pariwisata, dan olah raga. Dari visi ini tergambar niatan yang sebetulnya pengembangan, pelestarian, dan perlindungan pengetahuan tradisional sebagai peninggalan atau ekspresi budaya, khususnya mengenai seni tradisional. Dalam hal ini, perlindungan HKI dengan segala rejim/jenisnya diterapkan pada karya intelektual yang bersifat tradisional. Pemerintah Surakarta tidak memiliki Perturan Daerah yang khusus mengenai HKI. Khususnya pengetahuan tradisional, seperti batik, seni tari, dan kesenian lainnya menjadi tanggungjawab lembaga mana kurang ada penegasan, atau melibatkan berbagai bagian/dinas, sehingga tidak nampak pertanggungan jawab ada pada satu tangan, akibatnya bisa saling lempar tanggungjawab. Sebetulnya bila berkeinginan bersinergi untuk menggarap pengelolaan pengetahuan tradisional umumnya, termasuk seni tritik dan jumputan terkait dengan lembaga-lembaga seperti BAPPEDA, Dinas Perdagangan, Dinas yang mengurusi usaha kecil & menengah, Dinas yang mengurusi kebudayaan, dan juga dinas yang mengurusi pariwisata. Kebijakan mengenai HKI, khususnya yang berhubungan pengetahuan tradisional masih bersifat parsial dan pelengkap.
D.
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah mengkaji dalam bab-bab , simpulan yang diperoleh terurai berikut ini. 1. Jenis-jenis motif Surakarta
tritik dan jumputan sebagai seni kerajinan di wilayah
motif kain dodot
penataannya dibentuk
yang dililitkan mulai dada hingga ke kaki,
bokongan, dan Songkokan. 30
Terdapat motif dodot
blumbangan,. Motif sindur merupakan kain yang dibuat sebagai bahan untuk selendang (pakaian adat Jawa), Motif pare anom untuk umbul-umbul, yang komposisi warnanya dasar hijau dan kuning. Motif kain kemben bangun tulak Motif kain selendang umumnya pada pakaian kebaya oleh kaum perempuan. Motif kain selendang untuk melengkapi dalam busana adat, dengan warna motifnya sangat bervariasi dan sangat menarik. Motif kain kebaya merupakan pakaian adat Jawa, 2. Proses pembuatan seni kerajinan tritik dan jumputan tersebut dengan Teknik Ikat Celup, Teknik Perintang. Pada dasarnya prinsip dari ikat celup adalah menggunakan bahan-bahan perintang untuk menghalangi masuknya zat warna pada kain yang dirintangi. Ada tiga golongan dalam perintangan warna yaitu teknik ikatan, tritik (jelujur), dan bundelan. Variasi bentuk juga dapat dilakukan dengan cara memadukan dua atau lebih teknik perintangan dalam satu kain yang sama. Termasuk didalamnya; jumputan, remasan (efek marmer), dan lipatan. 3. Latar belakang penggunaan seni tritik dan jumputan pada piranti upacara adat Jawa di wilayah Surakarta, umumnya dipakai
dalam upacara perkawinan
khususnya motif kain dodot. Dalam kostum tari Bedhaya Anglir Mendhung digunakan kain dari seni tritik dan jumputan, yaitu warna bangun tuka, slawir dari dodot, bunga rajut melati, buntal dan anak . 4. Makna simbolis yang
terkandung pada motif
seni tritik dan jumputan
dalam upacara adat Jawa di wilayah Surakarta, terkandung nilai-nilai falsafah orang Jawa yang dibentuk menurut kerangka kultur yang religius - magis. Kelima warna itu juga memiliki nilai perwataan sendiri yang dijabarkan dalam ajaran Tasawuf Jawa, dikenal sebagai “sederek sekawan gangsal pancer”, 5. Hak kekayaan intelektual dimungkinkan dalam perlindungan
seni kerajinan
tritik dan jumputan sebagai ”traditional knowledge” di wilayah Surakarta, namun mengandung kekurangan, di antaranya menyangkut jangka waktu perlindungan, sebagai hak cipta siapa pencipta pertama,
paten mngenai
kebaruannnya. Alternatif upaya untuk perlindungan pengetahuan tradisional, yakni tetap memanfaatkan perundang-undangan HKI yang ada (diharapkan ada perubahan-perubahan
yang
sesuai 31
dengan
perlindungan
pengetahuan
tradisional bagi negara berkembang/masyarakat lokal). Perlindungan bisa juga dilakukan dengan
memanfaatkan hukum kontrak. Perkembangan sekarang
juga diusulkan adanya hukum khusus tentang perlindungan pengetahuan tradisional. 6. Kebijakan pemerintah daerah guna memberikan perlindungan seni kerajinan tritik dan jumputan sebagai ”traditional knowledge”
di wilayah Surakarta
didasarkan Visi Kota Surakarta, yakni terwujudnya kota Sala sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan olah raga (Peraturan daerah Kota Surakarta No.10 Tahun 2001 tentang Visi dan Misi Kota Surakarta). Dalam hal ini, perlindungan HKI dengan segala rejim/jenisnya diterapkan pada karya intelektual yang bersifat tradisional. Namun belum diwujudkan adanya peraturan daerah mengenai HKI, khususnya mengenai perlindungan pengetahuan tradisional.
Pengetahuan tradisional,
seperti batik, seni tari, dan kesenian lainnya menjadi tanggungjawab lembaga mana kurang ada penegasan, atau melibatkan berbagai bagian/dinas, sehingga tidak nampak pertanggungan jawab ada pada satu tangan, akibatnya bisa saling lempar tanggungjawab.
Sebetulnya bila berkeinginan bersinergi untuk
menggarap pengelolaan pengetahuan tradisional umumnya, termasuk seni tritik dan jumputan terkait dengan lembaga-lembaga seperti BAPPEDA, Dinas Perdagangan, Dinas yang mengurusi usaha kecil & menengah, Dinas yang mengurusi kebudayaan, dan juga dinas yang mengurusi pariwisata. Penelitian ini menghasilkan saran-saran yang diajukan sebgai berikut : 1. Pengetahuan tradisional (traditonal knowledge) dengan berbagai bentuknya perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat/komunitas. 2. Perlindungan hukum hanya merupakan salah satu saja sebagai instrumen perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, sehingga diperlukan usahausaha, program-program lainnya, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya. 3. Peningkatan kegiatan-ekgiatan sosialisasi HKI umumnya, khususnya terkait dengan perlindungan pengetahuan tradisional kepada para pencipta, seniman, para pelajar dan mahasiswa, dan birokrasi pemerintah.
32
4.
Amandemen perundang-undangan
bidang
HKI
disesuaikan dengan
kepentingan negara-negara berkembang. 5. Perlunya pemanfaatan kontrak penelitian bagi lembaga-lembaga penelitian apabila melakukan kerjasama dengan pihak-pihak asing. 6. Pada tingkat pemerintahan daerah, seperti Pemerintah Kota Surakarta penting sekali adanya peraturan daerah yang menjadi landasan kebijakan umum pengaturan mengenai HKI, khususnya berkaitan dengan pengetahuan tradisional. 7. Pentingnya kegiatan inventarisasi, identifikasi, dan dokumentasi berbagai jenis karya intelektual sebagai perwujudan pengetahuan tradisional.
33
DAFTAR PUSTAKA
Ade Maman Suherman. 2005. Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Bogor: Ghalia Indonesia. Agus Sardjono.2005. Potensi Ekonomi dari GRTKF; Peluang dan Hambatan dalam Pemanfaatannya: Sudut Pandang Hak Kekayaan Intelektual, Media HKI Vol. I/No.2/Februari 2005. --------------------.2006. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung: Alumni. Agung Damarsasongko.2005. Problematika Penggunaan Merek Dengan Indikasi Geografis. Media HKI Vol. I/No.2/Februari 2005. Akira Okawa. 1997. Major Provisions under WTO-TRIPs Agreement. Paper. Industrial Property Rights Training Course for Management. Tokyo. Japan : JIII & AOTS. Anderson, 1996, B. R.O”G., Mythology and The Tolerance of The Javanese, Cornell Modern Indonesia. Arry Ardanta Sigit 2002. Upaya Perlindungan Pengetahuan Tradisional Melalui HKI. Makalah. Penataran dan Lokakarya H K I, 17-20 September, DIKTI dan Lembaga Penelitian UNS. A. Zen Umar Purba,. 2001. Traditional Knowledge Subject Matter For Which Intellectual Protection is Sought. Paper. WIPO Asia-Pacific Regional Symposium on Intellectual Property Rights, Traditional Knowledge and Related Issues, October 17 to 19. Yogyakarta: WIPO & DGIPR. Bambang Kesowo. 1997. Implementasi Persetujuan TRIP’s dalam Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Nasional. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Perlindungan Konsumen dalam Era Pasar Bebas tanggal 15 Maret 1997 di Fakultas Hukum UNS. Surakarta: Fakultas Hukum UNS. Bani Sudardi. 2003. Ilmu, Teknologi, dan Seni dalam Naskah-naskah Kuno. Seminar Nasioanal Pengetahuan Tradisional Indikasi Geografis diselenggarakan Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana bekerjasama dengan Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 14-15 Oktober. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Buchari, S., 1995, Kebudayaan Jawa, Surakarta: UNS Press. Budi Agus Riswandi dan M. Syamsuddin. 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum,. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Budiono Herusatoto. 2000. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Hanindita Graha Widia. Cassires, E., 1944, An Essay on Man: An Intoduction to A Philosophy of Human Culture, Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Chadwick, C., 1972. Symbolism, London: Muthuen & Co. Ltd. Clare Short. 1998. The Meaning of Globalization for Development Policy, SOCIAL POLICY & ADMINISTRATION Vol. 32 No. 5, Desember, USA: Blackwell Publisher.
34
Doellah Santosa. 2002. Batik: The Impact of Time and Environment. Surakarta: Danar Hadi. Eddy Damian. 1999. Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional. Bandung: Alumni. Edi Sediawati, 2005. “Warisan Tradisi, Penciptaan, dan Perlindungan”. Media HKI, Vol. II/No.5/Oktober 2005. Endang Purwaningsih. 2005. Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights (Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten). Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. Erman Rajagukguk. 1999. Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi. JURNAL HUKUM No. 11 Vol. 6, Yogyakarta: UII. Franz Magnis Suseno. 1985. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : PT. Gramedia. Hauser, A., 1974, The Sociology of Art, Chicago, London: The University of Chicago. Henry Soelistyo Budi. 2000. Status Indigenous Knowledge dan Traditional Knowledge dalam Sistem HaKI. Makalah. Kajian Sehari “ HaKI di Indonesia: Mewujudkan Masyarakat Etik dan professional”. Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Pengkajian Strategis dan IIPS, 3 Juni. Semarang : PPMPS. Hilda Soemantri. 2002. Seni Rupa. Jakarta : Buku Antar Bangsa. Hira Jhamtani & Lutfiyah Hanim. 2002. Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan. Jakarta: INFID,KONPHALINDO, Institut Keadilan Global. Hitchcock, M., 1991, Indonesian Textiles, Berkeley, Singapore: Periplus Education. Holt, C., 1967, Art in Indonesia: Continuities and Change, Ithaca, New York: Cornell University Press Hoop, V.D., 1949, Indonesische Siermotieven, Bandoeng:Gedrukt DoorNV& Co. Huala Adolf.1998. Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo. John Ralston Saul. 2008. The Collapse of Globalism and The Reinvention of the World (terjemahan oleh Dariyatno, Runtuhnya Globalisme dan Penemuan Kembali Dunia), Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kalinggo Honggodipuro, KRT.2002. Batik Sebagai Busana Dalam Tatanan dan Tuntunan. Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat. Kartosoedjono. 1950. Kitab Wali Sepuluh. Kediri: Bukhandel Tan Khoen Swie. Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. _____________. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru. Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya. Langer, S.K., 1963, Expressiveness and Simbolism, London: University of California Press.
35
Lincoln, Y.S., Guba, E.G., 1985, Naturalistic Inquiry, Baverly Hill: Sage Publications. LPK HI FH UI bekerjasama dengan Ditjen HKI . 2005. Kepentingan Negara Berkembang terhadap Hak atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional. Bogor: LPKHI FH UI. M. Harjowirogo, 1979, Adat Istiadat Jawa, Bandung: Patma. Mulder, N., 1996, Pribadi dan Masyarakat Jawa, Jakarta: Sinar Harapan. Nasikun. 2000. Globalisasi dan Problematika Pembangunan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Problema Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, dan Agama, Surakarta: Muhammadiyah University Press. Normin S Pakpahan. 1998. Pengaruh Perjanjian WTO pada Pembentukan Hukum Ekonomi Nasional. JURNAL HUKUM BISNIS Vol.3, Jakarta: LPHB. Purwadi. 2003. Sosiologi Mistik R.NG. Ronggowarsito. Yogyakarta: Persada. Satjipto Rahardjo. 1983. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni. Satjipto Rahardjo. 1999. Masalah Kebhinekaan Sosial Budaya dalam Reformasi Hukum Nasional Menuju Masyarakat Kewargaan, Seminar Hukum Nasional VII: REFORMASI HUKUM MENUJU MASYARAKAT MADANI, 12-15 Oktober, Jakarta: BPHN-Dep. Kehakiman RI. Sewan Susanto, S. K. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Jakarta : Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Industri RI. Sudarmono. 1990. Dinamika Kultural Batik Klasik Jawa : Kajian Seni Batik Klasik. dalam Sarasehan Kebudayaan di Taman Budaya Jawa Tengah. Surakarta : Forum Pemerhati Kebudayaan. Sutan Takdir Alisjahbana. 1986. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Jurusan Nilai-nilai. Jakarta : PT. Dian Rakyat Sri Redjeki hartono. 2007. Hukum Ekonomi Indonesia, Malang: Bayu Media. Tantono Subagyo . 2005. Meraih Masa Depan Bermodalkan Kekayaan Masa Lalu (Perlindungan Dan Pengembangan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Folklore Di Negara-Negara ASEAN,. Media HKI, Vol. II/No.5/Oktober 2005. Tim Penyusun. 1988/1989. Pedoman Teknologi Tekstil Kerajinan Tritik, Jumputan, dan Sasaringan. Yogyakarta : BBKB. Departemen Perindustrian Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Tiknopranoto, (t.th.). Pawiwahan Agesang. Surakarta. Y. Sumandiyohadi Hadi. 2005. Kesenian Rakyat dalam Polarisasi Estetik dan Etik. EKSPRESI Volume V, Tahun 5. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.
36
ARTIKEL ILMIAH
INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI SENI KERAJINAN TRITIK DAN JUMPUTAN SEBAGAI TRADISI DI WILAYAH SURAKARTA, JAWA TENGAH ( Kajian Pengembangan Konsep Hak Kekayaan Intelektual dalam Perlindungan ”Traditional Knowledge”) oleh: Dr. Supanto, SH., M.Hum. Drs. Sarwono, M.Sn.
DIBIAYAI DIPA UNIVERISTAS SEBLAS MARET No. 0162.0/023-04.2/XIII/2009 tanggal 31 Desember 2009 Surat Persetujuan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 231/D3/PL/2009 Tanggal 24 Maret 2009
PUSAT PENELITIAN DAN PELAYANAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
November, 2009
37
38