Artikel Financial literacy, Pendidikan Kewirausahaan berbasis KKNI, dan Employability Entrepreneurship Lulusan Perguruan Tinggi
Oleh Wibowo,SE.,MM.,MSi.,Ak.,CA.,CIMBA. (Ketua Umum MATA Indonesia)
1. Pendahuluan Badan Pusat Statistik(BPS) mencatat jumlah wirausahawan per Februari 2014 mencapai 44,20 juta orang dari 118,17 juta orang penduduk Indonesia yang bekerja. Jumlah tersebut terdiri dari jumlah penduduk berusaha sendiri 20,32 juta orang, berusaha dibantu buruh tidak tetap 19,74 juta orang dan berusaha dibantu buruh tetap 4,14 juta orang. Dibandingkan survei yang dihelat BPS Februari 2013, jumah tersebut mengalami peningkatan. Kala itu, jumlahnya mencapai 44,01 juta orang dengan perincian jumlah penduduk berusaha sendiri 19,66 juta orang, berusaha dibantu buruh tidak tetap 20,18 juta orang dan berusaha dibantu buruh tetap 4,06 juta orang. International Finance Corporation (IFC), anggota dari Grup Bank Dunia, melansir laporan bertajuk doing business 2014. Dalam laporan yang bertujuan memotret kemudahan berbisnis di suatu negara itu, Indonesia menempati urutan 120 atau naik delapan peringkat dibandingkan 2013. Di antara negara-negara ASEAN, posisi Indonesia berada di bawah Singapura (urutan pertama), Malaysia (urutan keenam), Thailand (urutan 18), Brunei Darussalam (urutan 59), Vietnam (urutan 99) dan Filipina (urutan 108). Globalisasi yang terjadi selama ini telah melahirkan perubahan di segala bidang. Lingkungan organisasi setiap saat berubah pula, sehingga organisasi bisnis dituntut untuk selalu melakukan perubahan dan melakukan adaptasi agar selalu dapat memenangkan persaingan. Ultrich (1998) menyatakan bahwa kunci sukses menghadapi sebuah perubahan ada pada sumber daya manusia. Perdagangan bebas yang akan direalisasikan pada tahun 2010 dan 2020 menuntut tersedianya tenaga kerja yang terampil serta memiliki kompetensi yang tinggi untuk bersaing di pasar tenaga kerja, baik regional, nasional dan internasional. Konsekuensinya, lembaga pendidikan formal terutama perguruan tinggi dituntut untuk menghasilkan lulusan yang siap bekerja, memiliki sikap, watak dan perilaku wirausaha serta ketrampilan (life skill) untuk bekerja di segala bidang sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN yang mencapai sekitar 38% dari jumlah total penduduk negara ASEAN yang jumlahnya mencapai 600 juta jiwa. Memiliki jumlah penduduk yang besar pada satu sisi merupakan peluang pada sisi lain merupakan ancaman. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi peluang jika jumlah penduduk yang besar tersebut memiliki kreatifitas, kompetensi, inisiatif, dan inovatif. Namun di sisi lain jumlah penduduk yang besar ini akan menjadi ancaman jika berpendidikan rendah, memiliki kompetensi yang rendah, kurang inisiatif, dan kurang inovatif. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar, merupakan potensi pasar yang luar biasa. Potensi pasar yang sangat besar ini menjadi incaran dari negera lain yang akan menjual produk di Indonesia, baik dari negara wilayah ASEAN ataupun di luar negara ASEAN, terlebih lagi dengan diberkukannya era Masyarakat Ekonomi ASEAN(MEA) pada akhir tahun 2015 dimana terdapat beberapa jasa dan produk bebas
keluar masuk diantara negara anggota, akan semakin menjadikan Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan oleh negara anggota MEA dan di luar anggota MEA. Suatu negara akan maju dan sejahtera jika negara tersebut memiliki pelaku usaha (wira usaha) yang cukup, karena secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak ekonomi baik secara individu dan kelompok. Dibandingkan dengan negara tetangg misalnya Singapura, negara Indoensia jauh tertinggal dari jumlah wirausaha. Dengan jumah penduduk lebih dari 250 juta jumlah wirausaha di Indonesia kurang dari 3% , berbanding terbalik dengan kondisi Singapura yang memliki rasio jumlah wirausaha dibanding jumlah penduduk sebesar lebih dari 20%. Kondisi tesebut berdampak terhadap lebih rendahnya pendapatan perkapita(PKP) penduduk Indonesia lebih rendah dibandingkan penduduk Singapura. Sejak diterbitkannya Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia(KKNI) sesuai dengan Perpres No 8 tahun 2012 dan proses implementasi secara bertahap sangat dimungkinkan bahwa akan terjadi perubahan pola dan model pembelajaran pada semua level. Rencana Implementasi KKNI tersebut tentu saja harus diikuti dengan penyusunan learning outcome(LO) mulai dari Kualifikasi I sampai dengan Kualifikasi IX. Blue print implementasi KKNI pada perguruan tinggi sampai saat ini belum tersosialisai secara merata kepada para stakeholders. Kondisi tersebut yang menyebabkan para pemangku kepentingan pendidikan belum aware dan concern terhadap bagaimana implementasi pendidikan berbasis KKNI. Kondisi ini pula yang menjadikan penulis tertarik untuk menulis tentang financial literacy, pendidikan kewirausahaan berbasis KKNI, dan employability entrepreneurship lulusan perguruan tinggi. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, permasalahan dalam artikel adalah bagaimana tingkat financial literacy dan pembelajaran kewirasusahaan berbasis KKNI terhadap employability entrepreneurship lulusan perguruan tinggi. 2. Kajian Teori 2.1. Tinjauan tentang KKNI dan Kewirausahaan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia. KKNI terdiri dari 9 (sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari Kualifikasi-1 sebagai kualifikasi terendah dan Kualifikasi–9 sebagai kualifikasi tertinggi Jenjang kualifikasi adalah tingkat capaian pembelajaran yang disepakati secara nasional, disusun berdasarkan ukuran hasil pendidikan dan/atau pelatihan yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja. Lulusan perguruan tinggi Diploma IV/Strata 1 merupakan kualifikasi VI sesuai dengan KKNI. Beragamnya perguruan tinggi dengan berbagai kategori akreditasi dari BAN PT yang berbeda-beda sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan kualitas lulusan yang dihasilkan. Kata entrepreuner diperkenalkan oleh ekonom Prancis Richard Cantilan pada awal abad 19. Jhon Stuart Mill memakanai kata entrepenrenur sebagai seorang individu yang menciptakan suatu produktivitas yang lebih tinggi. Dalam perekembangannya kata entreprenur ini dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Misalnya Schumpeter(1934) memaknai kata entrepreneur sebagai seorang inovator yang mengembangkan teknologi. Nafziger dan Terrol(1996) dalam Oseifuah (2010) menyatakan bahwa seorang entrepreneur merupakan koordinator atas sumber daya produksi, inovator, pembuat kepuusan dalam kondisi ketidakpastian serta pengisi terhadap adanya kekurangan pasokan.
Sementara Rajah (2006) mengartikan bahwa entrepreneur adalah aktivitas individu yang secara original menciptakan ide, pemikiran, inovasi dan seorang yang berani mengambil risiko(risk taking) agar tercipta bisnis-bisnis baru atau semakin bertumbuhnya bisnis yang telah ada, oleh sebab itu beberapa definisi yang tepat untuk menjelaskan tentang konsep entrepreneurship. 1. Entrepreneurship adalah proses seseorang yang mempunyai inisiatif perubahan dan inovasi, Drocker(1994) 2. Entrepreneurship merupakan proses dimana seorang individu menjadi sadar terhadap kepemilikan bisnis dengan berbagai alternatif, mengembangkan ide-ide bisnis, belajar menjadi entrepreneur dan mengembangkan suatu bisnis, Stevensen et al,(1989) 3. Entrepreneurship merupakan proses menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang lain yang memberian nilai pada saat dibutuhkan yang diikuti dengan penghargaan baik secara keuangan, psikologi, sosial, serta memberikan kepuasan secara personal, Hisrich dan Peter(1995) Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri, dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif, Suryana(2000). Istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan entrepreneurship dapat diartikan sebagai the backbone of economy adalah syaraf pusat perekonomian atau pengendali perekonomian suatu bangsa. Secara epistimologi, kewirausahaan merupakan suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha atau suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru dan berbeda. Menurut Thomas W Zimmerr, kewirausahaan merupakan penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi sehari- hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas, keinovasian dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru. Pengertian wirausahawan dalam konteks manajemen adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan sumber daya, seperti finansial, bahan mentah dan tenaga kerja untuk menghasilkan suatu produk baru, bisnis baru, proses produksi ataupun pengembangan organisasi. Wirausahawan adalah seseorang yang memiliki kombinasi unsurunsur internal yang meliputi kombinasi motivasi, visi, komunikasi, optimisme, dorongan semangat dan kemampuan untuk memanfaatkan peluang usaha. Wirausahawan adalah pionir dalam bisnis, inovator, penanggung resiko, yang memiliki visi ke depan dan memiliki keunggulan dalam berprestasi di bidang usaha. Kewirausahaan adalah suatu kemampuan berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan siasat, kiat dan proses dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam perkembangannya, sejak awal abad 20, kewirausahaan sudah diperkenalkan di beberapa negara, seperti Belanda dengan istilah “ondenemer”, dan Jerman dengan istilah unternehmer”. Di negara-negara tersebut, kewirausahaan memiliki tugas yang sangat banyak antara lain adalah tugas dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepemimpinan teknis, kepemimpinan organisatoris dan komersial, penyediaan modal, penerimaan dan penanganan tenaga kerja, pembelian, penjualan, pemasangan iklan dan sebagainya. Pada tahun 1950-an, pendidikan kewirausahaan mulai dirintis di beberapa negara seperti di Eropa, Amerika dan Canada. Sejak tahun 1970-an banyak universitas /perguruan tinggi yang mengajarkan entrepeneurship atau small business management atau new venture management. Tahun 1980-an, hampir 500 sekolah di Amerika Serikat memberikan pendidikan kewirausahaan, yang saat itu di Indonesia, kewirausahaan dipelajari baru terbatas pada beberapa sekolah atau perguruan tinggi tertentu saja. Menurut Suryana, sejalan dengan tuntutan perubahan yang cepat pada paradigma pertumbuhan yang wajar dan perubahan ke
arah globalisasi yang menuntut adanya keunggulan, pemerataan, dan persaingan, maka dewasa ini terjadi perubahan paradigma pendidikan. Pendidikan kewirausahaan telah diajarkan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang independen, dikarenakan kewirausahaan berisi body of knowledge yang utuh dan nyata(distinctive), yaitu ada teori, onsep, dan metode ilmiah yang lengkap. 2.2. Tinjauan tentang Financial Literacy Noctor et al(1992) mendefinisikan financial literacy sebagai kemampuan untuk membuat pertimbangan dan keputusan terkait dengan penggunaan dan pengelolaan keuangan. Menurut US Financial Literacy and Education Commission, financial literacy merupakan kemamapuan seseroang untuk membuat berbagai pertimbangan yang terinformasi secara jelas dan menjadikan keutusan menjadi efektif terkait dengan pengelolaan uang saat ini dan di masa yang akan datang(Basu, 2005) Financial literacy termasuk didalamnya pengetahuan keuangan(financial knowledge), ketrampilan, serta perilaku keuangan. Financial literacy akan mempengaruhi individu– individu, rumah tangga, entitas bisnis, isntitusi keuangan, dan ekonomi secara luas. Berdasarkan kajian litertaur, tidak terdapat standar pengukuran untuk menentukan/mengukur financial literacy(Moore, 2003, Cole dan Fernando, 2008). Oleh sebab itu alternatif untuk mengukur financial literacy adalah menggunakan proksi yang didasarkan pada level pengetahuan, pengalaman, dan perilaku positif/negatif di bidang keuangan. Penelitian ini mengukur financial literacy menggunakan model yang dikembangkan oleh Media Research Consultant Pte Ltd(2005) dimana pengukuran financial literacy difokuskan pada pengukuran kemampuan seseorang individu untuk membuat pertimbangan yang baik dan mengambil keputusan keuangan seara efektif. Pada pengukuran tersebut intinya mengandung dua dimensi financial literacy yaitu pengetahuan(knowledge) dan tindakan(action). Pengetahuan menfokuskan pada pengetahunan personal terhadap product dan jasa keuangan secara umum, sedangkan aktion merupakan aplikasi/peneggunaan pengetahuan bidang keuangan pada aktivitas penganggaran, investasi, perencanaan keuangan, pencatatan dan pelaporan keuangan 2.3. Review Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian terkait dengan pendidikan bidang kewirausahaan di perguruan tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena tujuan akhir dari pendidikan kewirausahaan adalah menciptakan motivasi, minat, dan pembetukan entitas bisnis oleh para lulusan yang pada akhirnya menciptakan pemilik-pemilik bisnis/wirausaha yang secara kuantiats dan kualitas dapat dipertanggugjawabkan. Terdapat empat skenario dalam rangka mencari bentuk pendidikan kewirausahaan yang efektif. Empat skenario ini dikembangkan dari hasil penelitian Jones et al(2012) yang merupakan penyempurnaan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Gibbs(1999) yang menjelaskan mengenai tiga bentuk/skenario implementasi national framework. Model Jones ini mendasarkan pada hasil temuan Hayward’s(2000) tentang siklus refleksi hasil praktik yang sebelumnya ditemukan oleh Dewey(1993), Kolb(1984), dan Schon(1983 dan 1987). Empat model ini dinamakan dengan Empat Skenario Impelementasi, seperti diuraikan di bawah ini, Scenario 1, skenario menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan diposisikan sebagai sebuah transformasi pengalaman dalam upaya menciptakan pola pikir (mind set) kewirausahaan. Skenario ini sesuai dengan kondisi/realitas saat ini. Kondisi saat ini adalah sangat terbatasnya lulusan tinggi yang mempunyai jiwa wirausaha. Oleh Hegarty and Jones (2008) skenario ini dianggap sebagai pendekatan transformational. Linan’s(2004), menyatakan bahwa skenario ini dirancang sebagai pendidikan kewirausahaan pada tahap
penyadaran(awareness). Tujuan dari skenario ini adalah peningkatan jumlah orang yang mengetahui kewirausahaan sehingga mereka kemungkinan akan memilih kewirausahaan sebagai salah self employment. Pada skenario ini jangan mengharapkan akan bertambah jumlah wirausaha, tetapi skenario ini tujuannya untuk membantu individu untuk melihat karir(career) path di masa yang akan datang dimana menjadi wira usaha sebagai salah satu pilihan, seperti dijelaskan oleh Garavan dan O' Cinneide (1994). Menurut Linan(2004) skenario merupakan start awal untuk pendidikan kewiraushaan. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa skenario-1 merupakan tahapan penyadaran akan kewirausahaan dalam rangka menciptakan pola pikir(mind set) kewirausahaan, oleh sebab itu skenario ini sangat behubungan intention, attitude, dan motivation. Skenario-1 ini merupakan pendekatan yang mengutamakan pada penciptaan mindset(pola pikir) yang tercantum dalam intentioal to be entreprenur. Tantangan yang dihadapi dalam skenario-1 ini adalah apakah peserta didik yang masih relatif muda dapat menciptakan ide-ide baru dalam bidang kewirasuhaan disebakan karena mereka masih minim pengalaman nyata. Skenario-2, skenario menyatakan bahwa pendidikan kewiraushaan seharusnya memfasilitasi dan mendorong terbentuknya bisnis baru dan ketrampilan spesifik yang dibutuhkan di masa yang akan datang. Tujuan dari skenario-2 ini adalah menyiapkan seorang individu untuk menjadi pemilik bisnis ventura. Pada skenario-2 ini penekanan utama pada peletakan dasar dasar aktivitas bisnis. Dalam hal pengembangan skill khusus, skenario-2 ini menekankan pada untuk mendorong kesuksesan dalam memulai bisnis baru. Skill tersebut dinamakan sebagai entrepreneurial self efficacy(ESE) yaitu merupakan sebuah konsruk yang melibatkan kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk mencapai sukses dan pengendalian diri dalam menghadapi tantangan dalam pencapaian tujuan(Drnovsek et al (2010). Sumber dari ESE adalah teori kognisi sosial(Wilson(2000). Tantangan yang mucul pada skenario ini adalah kemunculan kewirausahaan melibatkan masyarkat dalam segala aspek kehidupan. Skenario-3, skenario menyatakan bahwa pendidikan pendidikan kewirausahaan harus menyiapkan pegetahuan dan ketrampilan dalam rangka mengkomersialkan intellectual capital yang dimilikinya. Pada skenario ini perlu dikembangkan pembelajaran kewirausahaan lintas perguruan tinggi. Tujuan dari skenario ini adalah adanya transformasi dan menciptakan program yang berakar pada komunitas kehidupan. Interaksi perguruan tinggi dengan masyarakat sangatlah penting, oleh karena itu perguruan tinggi dapat bersinergi dan mengembangkan local community atau local wisdom. Tantangan yang diihadapi dalam skenario-3 ini adalah willingness dari para pimpinan perguruan tinggi untuk mengadopsi pendidikan kewirausahaan sebagai strategic goal dari perguruan tinggi tersebut. Fokus utama dari skenario-3 ini adalah proses komersialisasi yang secara simultan bersamaan dengan proses pengembangan peseta didik/mahasiswa. Penting sekali pada skenario ini adalah pengembangan soft skill peserta didik yang meliputi soft skill bidang selling, komunikasi, kreativitas, inovasi, negosiasi, serta handling objection. Skenario-4, skenario ini menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan sama halnya dengan pendidikan yang lain seperti marketing dan finance yang bukan merupakan fokus pengembangan. Oleh karean itu para pendidik tidak secara optimal menjalankan proses pembelajaran kewirausahaan. Sebaliknya para peserta didik mencari informasi dari sumber lain di luar pendidik seperti internet atau media lainnya. Pada skenario-4 ini para pelaku bisnis tidak pernah atau jarang diundang ke sekolah untuk memberikan ilmu, ketrampilan, dan pengalaman sebagai salah satu contoh bagi peserta didik. Seperti diuraikan di atas bahwa terdapat empat skenario pendidikan kewirausahaan. Ke empat skenario tersebut mempunyai konsekuensi pada perguruan tinggi dalam memilih grand desain bagaimanana model pendidikan kewirausahaan yang akan diadopsi di perguruan tinggi. Selanjutnya pada tahap proses pelaksanaan pendidikan bidang kewirausahaan peneliti mengacu pada usulan Jones(2012) yang merupakan pengembangan
dari penelitian Gibb(2002), Pittaway dan Cope(2007), Handsombe et al (2007), dan Pittaway (2009). Keempat model yang dimaksud dinamakan “ABOUT”, “FOR”, “THROUGH” dan “EMBEDDED/IN”. “ABOUT”, model pelaksanaan pendidikan kewirausahaan ini ini lebih banyak menggunakan model pembelajaran tradisional. Fokus dari model ini adalah keinginan untuk menimbulkan kesadaran dan berbagai pengetahuan. “FOR”, model ini cenderung mengistimewakan peserta didik/mahasiswa dalam bantuk pemberian tugas-tugas, aktivtas praktik, proyek-proyek yang memungkinkan mereka memperoleh kompetensi.(Mc. Mullan and Long(1987), Vesper and Mc Mullan(1998), Solomon et al (2002). Model ini banyak membutuhkan bentuk- bentuk proyek pembelajaran seperti melakukan percobaan, mengerjakan proyek - proyek. Pada model pembelajaran ini peserta dieksplorasi dengan berbagai model aktivitas sehingga memperoleh kompetensi yang mumpuni untuk menpersiapkan jiwa kewirausahaan. “THROUGH”, model ini peserta didik diajak praktik dalam dunia nyata(Hills(1988), Truell et al(1998). Contoh nyata dari model pembelajaran ini adalah peserta didik diajak praktik magang langsung dalam kegiatan bisnis riel/bisnis nyata dengan berbagai konsekuensinya “EMBEDDED/IN”, model ini diartikan bahwa subjek/mata kuliahnya akan difokuskan pada topik yang menjadi fokus utama pendidikan kewirasusahaan Berdasarkan empat model pelaksananaan pembelajaran seperti tersebut di atas, maka perlu disusun learning outcome khusus untuk pendidikan kewirausahaan. Kerangka learning outcome harus disusun dan berlaku secara nasional. Penulis merujuk pada penelitian tentang learning otucome yang dikembangkan oleh Pittaway(2012), yang meliputi hal – hal berikut ini. 1. Dua set learning outcome terkait dengan pengetahuan bisnis dan proses pemahaman kewirausahaan(ABOUT) 2. Dua set learning outcome terkait dengan perilaku, sikap, dan pengembangan ketrampilan kewirausahaan serta kompetensi bidang kewirausahaan(FOR) 3. Dua set learning outcome terkait dengan empati dan hubungan dengan stakeholder(THROUGH) 4. Dua set learning outcome terkait dengan motivasi dan internalisasi nilai – nilai kewirausahaan (EMBEDDED) Pittaway(2012), meneliti tentang penilaian pendidikan kewirausahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kewirausahaan paling banyak hanya menekankan pada model “ABOUT” yaitu peletakan dasar terhadap kewirausahaan dan proses start up organisasi. Maritz (2012) meneliti tentang pendidikan kewirausahaan untuk pendidikan tinggi umum atau spesifik pada sekolah tertentu. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendidikan kwirausahaan tidak harus pada sekolah tertentu tetapi dapat dilakukan semua lembaga pendidikan asalkan berfokus pada transformasi pengalaman kewirausahaan. Rodrigues et al (2012), meneliti tentang bagaimana faktor psikologi, demografi, dan perilaku berpengaruh terhadap minat berwirausaha. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor psikologi, demografi, dan perilaku mempunyai pengaruh signifikan terhadap minat lulusan perguruan tinggi untuk berwirausaha. Leino, et al (2010), meneliti tentang persepsi terhadap learning outcome entreprenueship. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh negatif terhadap motivasi internal dan terdapat pengaruh positif motivasi eksternal. Pool et al (2010), meneliti tentang operasional dari konsep employability pada sekolah bisnis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa employability entrepreneurship
merupakan agenda utama dari setiap sekolah bisnis sebagai dasar dalam proses pembentukan karakter lulusan yang mempunyai employability entrepreneurship. Employability dikembangkan sebelumnya dari Career EDGE model(Sewll and Pool(2010), dimana employability merupakan sesuatu yang sangat penting bagi lulusan karena didalamnya mengandung unsur nilai – nilai entreprise skill yang antara lain creativity, adaptability/flexibility, willingness to learn, independent working, working in team, ability to manage others, ability to work in underpressure, good oral communication, attention to detail, time management, responsibility and making decision, planning, coordinating and organizing ability, ability to use technology, and commercial awareness Selanjutnya oleh Rae(2007) menambahkan bahwa unsur entreprise skill juga meliputi antara lain initiatve, problem solving, identifying & working on opportunity, leadership, responding to challange. Berdasarkan sekian banyak komponen dari employability dapat diidentifikasi sebagai Career EDGE model yang meliputi elemenelemen berikut ini. 1. Career development learning 2. Experience (work and life) 3. Degree subjectt knowledge, skill and understanding 4. Generic skill 5. Emotional Intelligence Pembentukan karakter employability entrepreneurship tersebut akan menghasilkan lulusan yang mempunyai karakter yang kuat dalam pengembangan entrepreneurship yang secara ringkas mempunyai tiga karakter utama sebagai atribut employability entrepreneurship yaitu self efficacy, self esteem, dan self confidence Mengacu pada penelitian Maritz (2012), peneliti menganalisis empat skenario strategi dalam pendidikan kewirausahaan yaitu Skenario 1, Skenario 2, Skenario 3, dan Skenario 4. Berdasarkan empat skenario tersebut peneliti menganalisis empat model pelaksanaan pendidikan kewirausahaan yang meliputi “About”, “For”, Through”, dan “Embedded(In)” mengacu pada penelitian Pittaway(2012). Dampak dari skenario dan model pelaksanaan pendidikan bidang kewirasuhaan dan tingkat financial literacy yang dimiliki oleh calon lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti pada akhirya diharapkan penelitian sehingga lulusan yang akan dihasilkan diharapkan mempunyai employability entrepreneurship yang di dalamnya terdapat tiga atribut yaitu self efficacy, self esteem, dan self confident dalam hal ini peneliti mengacu pada penelitian Pool et al (2010).
3. Pembahasan 3.1. Financial literacy dan employability entrepreneurship Financial literacy termasuk didalamnya pengetahuan keuangan(financial knowledge), ketrampilan, serta perilaku keuangan. Financial literacy akan mempengaruhi individu– individu, rumah tangga, entitas bisnis, isntitusi keuangan, dan ekonomi secara luas. Untuk financial literacy proksi yang digunakan yang didasarkan pada level pengetahuan, pengalaman, dan perilaku positif/negatif di bidang keuangan. Pengukuran financial literacy difokuskan pada pengukuran kemampuan seseorang individu untuk membuat pertimbangan yang baik dan mengambil keputusan keuangan seara efektif.Media Research Consultant Pte Ltd(2005). Pada pengukuran tersebut intinya mengandung dua dimensi financial literacy yaitu pengetahuan(knowledge) dan tindakan(action). Pengetahuan menfokuskan pada pengetahunan personal terhadap product dan jasa keuangan secara umum, sedangkan aktion merupakan aplikasi/peneggunaan pengetahuan bidang keuangan pada aktivitas penganggaran, investasi, perencanaan keuangan, pencatatan dan pelaporan keuangan. Tingkat fiancial literacy berpotensi mempeengaruhi seorang individu dalam hal entreprise skill yang antara lain creativity, adaptability/flexibility, willingness to learn, independent working, working in team, ability to manage others, ability to work in underpressure, good oral communication, attention to detail, time management, responsibility and making decision, planning, coordinating and organizing ability, ability to use technology, and commercial awareness. 3.2. Model pendidikan kewirausahaan dan employability entrepreneurship Terdapat empat skenario dalam rangka mencari bentuk pendidikan kewirausahaan yang efektif. Empat skenario ini dikembangkan dari hasil penelitian Jones et al(2012) yang merupakan penyempurnaan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Gibbs(1999) yang menjelaskan mengenai tiga bentuk/skenario implementasi national framework. Scenario 1, skenario menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan diposisikan sebagai sebuah transformasi pengalaman dalam upaya menciptakan pola pikir (mind set) kewirausahaan. Linan’s(2004), menyatakan bahwa skenario ini dirancang sebagai pendidikan kewirausahaan pada tahap penyadaran(awareness). Menurut Linan(2004) skenario merupakan start awal untuk pendidikan kewiraushaan. Skenario-2, skenario menyatakan bahwa pendidikan kewiraushaan seharusnya memfasilitasi dan mendorong terbentuknya bisnis baru dan ketrampilan spesifik yang dibutuhkan di masa yang akan datang. Pada skenario-2 ini penekanan utama pada peletakan dasar dasar aktivitas bisnis. Dalam hal pengembangan skill khusus, skenario-2 ini menekankan pada untuk mendorong kesuksesan dalam memulai bisnis baru. Skill tersebut dinamakan sebagai entrepreneurial self efficacy(ESE), Drnovsek et al (2010). Skenario-3, skenario menyatakan bahwa pendidikan pendidikan kewirausahaan harus menyiapkan pegetahuan dan ketrampilan dalam rangka mengkomersialkan intellectual capital yang dimilikinya. Interaksi perguruan tinggi dengan masyarakat sangatlah penting, oleh karena itu perguruan tinggi dapat bersinergi dan mengembangkan local community atau local wisdom. Fokus utama dari skenario-3 ini adalah proses komersialisasi yang secara simultan bersamaan dengan proses pengembangan peseta didik/mahasiswa. Penting sekali pada skenario ini adalah pengembangan soft skill peserta didik yang meliputi soft skill bidang selling, komunikasi, kreativitas, inovasi, negosiasi, serta handling objection. Skenario-4, skenario ini menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan sama halnya dengan pendidikan yang lain seperti marketing dan finance yang bukan merupakan fokus pengembangan. Oleh karean itu para pendidik tidak secara optimal menjalankan proses pembelajaran kewirausahaan. Pada skenario-4 ini para pelaku bisnis tidak pernah atau jarang
diundang ke sekolah untuk memberikan ilmu, ketrampilan, dan pengalaman sebagai salah satu contoh bagi peserta didik. Pelaksanaan pendidikan bidang kewirausahaan peneliti mengacu pada usulan Jones(2012) yang merupakan pengembangan dari penelitian Gibb(2002), Pittaway dan Cope(2007), Handsombe et al (2007), dan Pittaway (2009). Keempat model yang dimaksud dinamakan ABOUT, FOR, THROUGH, dan EMBEDDED/IN. Melalui review terhadap kurikulum pendidikan kewirausahaan termasuk di dalamnya review terhadap SAP/RPS serta proses pelaksanaan pendidikan kewirausahaan perguruan tinggi dapat diketahui skenario dan model pendidikan kewirausahaan. Selanjutnya skenario dan model pendidikan kewirausahaan tersebut berpotensi mempengaruhi entreprise skill yang antara lain creativity, adaptability/flexibility, willingness to learn, independent working, working in team, ability to manage others, ability to work in underpressure, good oral communication, attention to detail, time management, responsibility and making decision, planning, coordinating and organizing ability, ability to use technology, and commercial awareness. 4.
Simpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat financial literacy dan pembelajaran kewirausahaan berbasis KKNI mempunyai potensi untuk menghasilkan lulusan yang mempunyai employability entrepreneurship yang didalamnya mengandung nilai creativity, adaptability/flexibility, willingness to learn, independent working, working in team, ability to manage others, ability to work in underpressure, good oral communication, attention to detail, time management, responsibility and making decision, planning, coordinating and organizing ability, ability to use technology, and commercial awareness. DAFTAR BACAAN Amy 2006. Cara Meraih Gelar dan Mendirikan Perusahaan pada Saat Bersamaan, Business Week, Edisi Indonesia/ 15 – 22 November 2006 Biggs,(2003), Teaching for Quality Learningat University: Whatthe Student Does,OpenUniversity Press, London. Carla S. Marques João J. Ferreira Daniela N. Gomes Ricardo Gouveia Rodrigues, (2012),"Entrepreneurship education", Education + Training, Vol. 54 Iss 8/9 pp. 657 672 Colin Jones Harry Matlay Alex Maritz, (2012),"Enterprise education: for all, or just some?", Education + Training, Vol. 54 Iss 8/9 pp. 813 - 824 Dacre Pool, L. and Sewell, P. (2007), “The key to employability: developing a practical model of graduate employability”, EducationþTraining,Vol. 49 No. 4, pp. 277-89. Dewey, J. (1933), How We Think .A Restatement of the Relationof Reflective Thinking to the Educative Process ,D. C. Heath, Boston, MA. Emmanuel Kojo Oseifuah, (2010),"Financial literacy and youth entrepreneurship in South Africa", African Journal of Economic and Management Studies, Vol. 1 Iss 2 pp. 164 - 182 D Bygrave, William and Zacharakis, Andrew. The Portable MBA in Entrepreneurship. Third Edition. John Willey & Sons, Inc. Fayolle, A. and Gailly, B. (2008),“Teaching models and learning processes in entrepreneurship education”,JournalofEuropeanIndustrialTraining ,Vol. 32 No. 7, pp. 569-93.
Garavan, T.N. and O’Cinneide, B. (1994), “Entrepreneurship education and training programs: areview and evaluation part 1”, Journal of European Industrial Training,Vol. 18 No. 8, pp. 3-12. Gibb, A. (2002), “In pursuit of a new enterprise and entrepreneurship paradigm for learning: creative destruction, new values, new ways of doing things and new combinations of knowledge”,InternationalJournalofManagementReviews,Vol. 4 No. 3, pp. 213-32. Handscombe, R., Kothari, S., Rodriguez-Falcon, E. and Patterso, E. (2007), “Embedding enterprise in science & engineering departments”, WorkingPaperNo.025/2007,National Council for Graduate Entrepreneurship (NCGE), Birmingham. Hegarty, C. and Jones, C. (2008), Graduate entrepreneurship: more than child’s play, Education &Training,Vol. 50 No. 7, pp. 626-37. Jones, C. (2011),Teaching Entrepreneurship to Undergraduates, Edward Elgar, Cheltenham, and Northampton, MA. Jones,C.and Matlay,H.(2011),Understanding the heterogeneity of entrepreneurship education: going beyond Gartner,EducationþTraining,Vol. 53 Nos 8/9, pp. 692-703. Karlson, Charlie; Friis,Christian; Paulson, Thomas. 2004. Relating Entrepreneurship to Economic Growth, The Royal Institute of Technology. Luke Pittaway Corina Edwards, (2012),"Assessment: examining practice in entrepreneurship education", Education + Training, Vol. 54 Iss 8/9 pp. 778 - 800 Lusardi, A. and Mitchell, O.S. (2006), “Financial literacy and planning: implications for retirement wellbeing”, working paper, Pension Research Council, Wharton School, University of Pennsylvania, Philadelphia, PA. Martell,K.(2007),Assessing student learning: are business schools making the grade, Journal of Education for Business,Vol. 82 No. 4, pp. 189-96. Moore, D. (2003), “Survey of financial literacy in Washington State: knowledge, behaviour, attitudes, and experiences”, Technical Report 03-39, Washington State University,Social and Economic Sciences Research Centre, Pullman, WA. Nabi, G. and Holden, R. (2008), Graduate entrepreneurship: intentions, education and training”, EducationþTraining,Vol. 50 No. 7, pp. 545-51. Penaluna, A. and Penaluna, K. (2009), Assessing creativity: drawing from the experience of the UK’s creative design educators, EducationandTraining,Vol. 51 Nos 8/9, pp.71832. Peter Balan Mike Metcalfe, (2012),"Identifying teaching methods that engage entrepreneurship students", Education + Training, Vol. 54 Iss 5 pp. 368 - 384 Pittaway,L.(2009),The role of inquiry-based learning in entrepreneurship education,Industry and Higher Education,Vol. 23 No. 3, pp. 153-62. Pittaway, L. and Cope, J. (2007a), “Entrepreneurship education – a systematic review of the Pittaway, L., Hannon, P., Gibb, A. and Thompson, J. (2009), “Assessment practice in enterprise Education”,International Journalof Entrepreneurial Behaviour and Research,Vol.15No.1, pp. 71-93. Peter Sewell Lorraine Dacre Pool, (2010),"Moving from conceptual ambiguity to operational clarity", Education + Training, Vol. 52 Iss 1 pp. 89 - 94 Perpres No 08 tahun 2012, tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) Siagian, Salim dan Asfahani. 1995. Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat 17.8.45Kloang Klede Jaya PT. Putra Timur bekerjasama dengan Puslatkop dan PK Depkop dan PPK. Jakarta Solomon, G.T. and Fernald, L.W. Jr (1991), “Trends in small business management and entrepreneurship education in the United States”,Entrepreneurship Theory and Practice, Vol. 15 No. 3, p. 25.
Solomon,G.T.,Duffy,S.andTarabishy,A.(2002),“The state of entrepreneurship education in the United States: a national survey overview”, International Journal of Entrepreneurship Education,Vol. 1 No. 1, pp. 65-86. Topping, K.J., Smith, E.F., Swanson, I. and Elliot, A. (2000), Formative peer assessment of academic writing between postgraduate students, Assessment and Evaluationin Higher Education,Vol. 25 No. 2, pp. 149-66. Truell, A.D., Webster, L. and Davidson, C. (1998), “Fostering entrepreneurial spirit: integrating the business community into the classroom”, Business Education Forum ,Vol. 53 No. 2, pp. 28-9. Ulla Hytti Pekka Stenholm Jarna Heinonen Jaana Seikkula-Leino, (2010),"Perceived learning outcomes in entrepreneurship education", Education + Training, Vol. 52 Iss 8/9 pp. 587 - 606 Vesper, K.H. and McMullen, W. (1988), “Entrepreneurship: today courses, tomorrow degrees?”, Entrepreneurship Theory and Practice ,Vol. 13 No. 1, pp. 7-13.