APLIKASI KONSELING DENGAN PENDEKATAN RATIONAL EMOTIVE UNTUK MENGATASI MASALAH ASUSILA REMAJA
Tri Naimah Fakultas Psikologi – Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAKSI. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengkaji aplikasi konseling dengan pendekatan Rational Emotive untuk mengatasi masalah asusila remaja. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku asusila remaja disebabkan kekurang pahaman remaja tentang seksualitas dan kesalahan persepsi tentang resiko perilaku asusila. Konseling dengan pendekatan Rational Emotive ini memiliki keunggulan karena dapat digunakan untuk merubah perilaku asusila yang dimulai dari merubah orientasi kognitif remaja sehingga dapat merubah persepsi negatif remaja tentang seksualitas. Kata Kunci : Konseling, Pendekatan Rational Emotive, Masalah asusila
PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa disertai dengan perubahan baik fisik, psikis maupun perilaku secara radikal (Hurlock, 1998) sehingga remaja mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Saat ini jumlah remaja di Indonesia yaitu mereka yang berusia 10-19 tahun sekitar 30 % dari jumlah penduduk atau kurang lebih 65 juta jiwa. Diantara mereka yang berada pada rentang usia 16 -18 tahun dan duduk dibangku SLTA sejumlah 66.0% di perkotaan dan 34.4% di perdesaan (Creagh, 2004). Besarnya proporsi penduduk
yang
berusia
remaja
menimbulkan
beberapa
masalah
yang
mengkhawatirkan apabila tidak diadakan pembinaan yang tepat dalam perjalanan hidupnya terutama kesehatannya (BKKBN, 2001). Dari sisi perkembangan, remaja mengalami perkembangan fisik, psikis dan sosial yang radikal. Akibat dari perkembangan yang radikal tersebut, membawa
perubahan dalam kehidupan
remaja di lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Disisi lain perkembangan teknologi sangat pesat, antara lain dengan semakin mudahnya remaja mendapatkan segala macam informasi melalui teknologi informasi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan masih banyaknya perilaku asusila yang
dilakukan
remaja.
Penelitian
Wahyuningsih
(2003)
(dalam
http://www.depsos.go.id) menemukan semakin banyaknya prostitusi anak dengan
Seminar Nasional : Parenting and Education About Sex
33
memberikan estimasi jumlah prostitusi anak yang berusia 15 – 20 tahun sebanyak 60% dari 71.281 orang, sedangkan UNICEF Indonesia menyebut angka 30% dari 150.000 orang. Menurut Nugraha ( dalam www.pusatartikel.com) 16 – 20% dari remaja telah melakukan hubungan seks pranikah dan 10 – 12% diantaranya disebabkan pengetahuan seksnya yang sangat kurang. Misalnya ada remaja yang berpendapat, kalau hanya sekali bersetubuh, tidak bakal terjadi kehamilan, atau meloncat-loncat atau mandi sampai bersih segera setelah melakukan hubungan seksual bisa mencegah kehamilan.Pengetahuan seks yang hanya setengahsetengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi. Misalnya saja, berciuman atau berenang di kolam renang yang “tercemar” sperma bisa mengakibatkan kehamilan, mimpi basah dikira mengidap penyakit kotor, kecil hati gara-gara ukuran penis kecil, sering melakukan onani bisa menimbulkan impotensi. Sekitar 15-20 % dari remaja usia sekolah sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan sebanyak 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahun. Perilaku asusila tersebut selain dikarenakan kurangnya pengetahuan remaja tentang pengetahuan kesehatan reproduksi juga sebagai akibat pengaruh media massa dan internet yang menyediakan informasi yang kurang tepat dan salah ( Adnani dan Widowati, 2009). Tingkat pengetahuan yang rendah disebabkan sumber informasi utama tentang pengetahuan dasar kesehatan reproduksi adalah teman yang tidak mempunyai pengetahuan yang baik dan cukup tentang kesehatan reproduksi. Informasi seks yang tidak sehat atau tidak sesuai dengan perkembangan usia remaja ini mengakibatkan remaja terlibat dalam kasus-kasus berupa konflik-konflik dan gangguan mental, ide-ide yang salah dan ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan seks. Dalam hal ini, terciptanya konflik dan gangguan mental serta ide-ide yang salah dapat memungkinkan remaja untuk melakukan perilaku asusila. Temuan Naimah dan Rahardjo (2007) menunjukkan bahwa remaja tidak bisa memahami pertumbuhan tubuhnya, tidak siap dengan pertumbuhan tubuhnya termasuk keberfungsian hormon seksualnya. Akibatnya muncul perilaku yang mengundang resiko pada masa remaja
seperti penggunaan alkohol, perilaku
berbahaya, aktivitas sosial yang kurang bertanggungjawab misalnya berganti – ganti pasangan sampai perilaku melanggar aturan sosial atau sering disebut perilaku asusila. Perilaku susila adalah perilaku yang berkaitan dengan adab dan sopan santun, kelakuan yang baik atau tata krama yang luhur. Oleh karena itu
Seminar Nasional : Parenting and Education About Sex
34
tolok ukur perilaku asusila adalah pelanggaran norma, aturan, ataupun adat istiadat dalam masyarakat termasuk didalamnya pelanggaran seksual. Hasil penelitian Harfina (tt) menemukan bahwa 87% remaja di Bengkulu dan 90% remaja di Surabaya melakukan pacaran sejak usia 14 tahun dan mereka menganggap bahwa perilaku asusila saat pacaran
itu perilaku yang modern.
Kekurangan informasi yang benar tentang masalah seks yang didapatkan dari media massa dan teman sebaya akan memperkuatkan kemungkinan remaja salah paham tentang pertumbuhan seksualnya. Akibatnya, banyak remaja masuk ke
kelompok beresiko melakukan perilaku berbahaya untuk kesehatannya.
Seperti hasil penelitian Egbochuku & Ekanem (2008) menemukan bahwa perilaku seksual di kalangan remaja 61,2% ditentukan oleh tekanan teman sebaya, 43% ditentukan karena ketidakpedulian orangtua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja tidak mempunyai pemahaman yang benar tentang perkembangan seksualnya. Kesalahan persepsi remaja tentang perilaku asusila ini tidak bisa dibiarkan, karena akan mengancam kehidupan sosial dan kesehatan reproduksi remaja, yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas generasi muda. Sebenarnya upaya pencegahan terhadap meluasnya perilaku asusila ini sudah dilakukan lewat jalur pendidikan formal, yaitu melalui pendidikan seksualitas di sekolah. Hasil penelitian
Creagh ( 2004) menemukan bahwa
pendidikan seksualitas di sekolah di lakukan beragam, antara lain dengan penyuluhan kesehatan reproduksi satu tahun sekali, mengadakan program peer educator, mengintegrasikan pendidikan seksualitas dalam mata pelajaran agama dan biologi. Namun Creagh tidak menemukan panduan yang jelas dalam melakukan pendidikan seksualitas di sekolah. Akibatnya, hasil pendidikan seksualitas itu belum maksimal, yang ditunjukkan masih banyaknya perilaku asusila yang dilakukan remaja. Untuk itu perlu dikembangkan model layanan perkembangan seksualitas lain yang memungkinkan remaja di sekolah memiliki persepsi yang benar tentang perilaku asusila dan dapat mencegah perilaku asusila. Program pengubahan perilaku dapat dilakukan di sekolah, yaitu upaya merubah perilaku individu sehingga perilaku individu sesuai dengan norma dan etika dimana seseorang berada. Perubahan perilaku yang dimaksud bersifat relatif permanen dan diperoleh dengan kesadaran (Sunanto, 2005). Program pengubahan perilaku di sekolah dapat dilaksanakan melalui pemberian layanan konseling yaitu suatu program pemberian bantuan yang
Seminar Nasional : Parenting and Education About Sex
35
dilakukan melalui face to face relationship untuk membantu perkembangan remaja. Konseling memiliki kelebihan dibandingkan dengan layanan yang lain, karena hubungan yang dibangun antara konselor dengan remaja adalah hubungan yang bersifat afektif, tanpa paksaan dan dilakukan dengan pendekatan psikologis. KONSELING DENGAN PENDEKATAN RATIONAL EMOTIVE Terapi ini dikembangkan oleh Albert Ellis yang berpendapat bahwa kelainan-kelainan psikologis berasal dari pola berpikir yang irasional. Berpikir irasional adalah pikiran yang salah atau tidak dapat diverifikasi secara empiris. Pikiran-pikiran irasional ini tidak ada gunanya bagi individu dan hanya mengarahkan individu pada konsekuensi-konsekuensi yang merusak diri sendiri (self defeating). Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten, kebalikannya ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari perilaku dan kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional. Konseling dengan pendekatan Rational Emotive menggunakan konsep ABC-D, di mana A adalah fakta, peristiwa, B adalah keyakinan seseorang, C adalah konsekuensi yang dialami seseorang. A bukan menyebab C tapi hanya mengaktivasi, yang menjadi penyebab C adalah B. D adalah penerapan metode ilmiah untuk membantu para klien menantang dan menghancurkan keyakinankeyakinan yang irasional (Corey 1988). Oleh karena itu tujuan konseling adalah : 1) memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat
mengembangkan
diri,
meningkatkan
self-actualizationnya
seoptimal
mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif, 2) menghilangkan
Seminar Nasional : Parenting and Education About Sex
36
gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah. Konseling Rational Emotive ditujukan untuk membantu remaja merubah perilaku asusila melalui pengubahan pemikiran irrasional tentang perilaku seksual yang kurang bertanggungjawab.
Penekanan konseling adalah proses belajar
untuk melatih keterampilan untuk merubah
pola pikir yang irasional dan
mengembangkan pola pikir rasional. Teknik konseling yang digunakan adalah teknik behavior dan kognitif, yakni menunjukkan kepada remaja pemikiran irrasional tentang perilaku seksual yang merusak diri yang secara terus menerus. Remaja kemudian diajarkan bagaimana menantang pemikiran yang irrasional serta didorong untuk sampai pada pikiran yang rasional. Konseling dengan pendekatan Rational Emotive ini beranggapan bahwa setiap individu memiliki pikiran, perasaan dan perilaku yang ketiganya berlangsung secara simultan. Pikiran mempengaruhi perasaan dan perilaku, perasaan mempengaruhi pikiran dan perilaku, dan perilaku mempengaruhi pikiran dan perasaan. Jika ada hambatan psikologis atau emosional pada individu, hal ini merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional. Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari proses pendidikan yang kurang tepat
dan
budaya tempat individu dibesarkan. Persepsi remaja yang keliru tentang perilaku asusila dapat diubah melalui konseling
dengan
pendekatan
rational
emotive,
karena
pendekatan
ini
memungkinkan konselor untuk meluruskan jalan pemikiran remaja yang irasional akibat dari proses belajar yang keliru. Walaupun ada beberapa bentuk pendidikan seksual sebagai upaya mereduksi perilaku asusila remaja, tetapi hasil pendidikan itu belum maksimal. Selama ini pihak sekolah lebih banyak menggunakan pendekatan informatif saja dalam
menangani
masalah
perilaku
asusila
remaja,
misalnya
dengan
mengadakan penyuluhan atau pengajaran dalam mata pelajaran tertentu antara lain pelajaran pendidikan agama dan pelajaran biologi. Hubungan antara guru dengan siswa yang terbentuk melalui proses pengajaran itu keakraban siswa-guru, sehingga siswa
menghalangi
merasa malu mendekati guru dan
bertanya tentang masalah atau pertanyaan tentang hal seksual, dan takut dikira sebagai anak ‘nakal’ (Creagh,
2004). Hasil penelitian Egbochuku & Ekanem
Seminar Nasional : Parenting and Education About Sex
37
(2008) juga menemukan bahwa pendidik memandang konservatif dalam pendidikan seksual remaja, misalnya dengan menjawab sekenanya dari pertanyaan anak mengenai pertumbuhan seksualnya atau bahkan memberi informasi yang kurang benar tentang seksualitas. Kondisi
ini menyebabkan
remaja mempersepsikan masalah seksual dengan salah dan pada akhirnya banyak remaja yang melakukan perilaku asusila tanpa memikirkan akibatnya. Bahkan hasil penelitian Chigona &
Chetty (2008) menunjukkan
remaja yang
sudah terlanjur melakukan pelanggaran kesusilaan, misalnya hamil di luar nikah justru tidak mendapat dukungan dari sekolah, tidak mendapatkan konseling di sekolah
dan
mendapatkan
tekanan
sosial
dari
lingkungannya.
Hal
ini
menunjukkan bahwa pelayanan preventif dan kuratif yang dengan pendekatan afektif sangat diperlukan remaja untuk mengubah perilaku asusila. Salah satu bentuk layanan dapat dilakukan dengan pemberian layanan konseling di sekolah yaitu proses pemberian bantuan yang bersifat afektif kepada remaja untuk membantu penyelesaian masalah. Namun,
Chigona &
Chetty (2008) menemukan belum ada upaya
konseling untuk remaja pelaku tindak asusila karena masih terdapat pertentangan diantara konselornya tentang prosedur konselingnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Septiningsih dan Naimah (2009) di Banyumas yang menjelaskan
bahwa pendidik tidak bisa menemukan bentuk yang jelas dalam memberikan bimbingan seksualitas remaja. Konseling dengan pendekatan rational emotive adalah konseling yang bertujuan untuk memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan seseorang yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar orang tersebut dapat mengembangkan diri, meningkatkan self-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif serta menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, atau merasa was-was ( McLeod, 2008). Hasil penelitian Weliangan dan Taganing (2009) menemukan efektifitas konseling Rational Emotive dengan menunjukkan hasil yaitu subjek dapat menyadari bahwa pikiran yang tidak rasional akan mempengaruhi emosi dan perilakunya. Selanjutnya,
Terjesen & Kurasaki (2009) menemukan efektifitas
konseling Rational Emotive dengan teknik kolaborasi konselor dengan orangtua dan membuktikan bahwa konseling ini dapat meningkatkan fungsi emosional, dan
Seminar Nasional : Parenting and Education About Sex
38
meningkatkan kemampuan anak untuk mengelola masalah, sehingga mereka dapat membuat keputusan tentang perilakunya dengan efektif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konseling dengan pendekatan Rational Emotive dapat digunakan untuk merubah perilaku yang tidak rasional ke perilaku rational. Berkaitan dengan perkembangan seksual remaja, jika ditinjau dari aspek psikologi terdapat dua aspek
penting yang harus dipersiapkan dalam
mengantisipasi seksualitas remaja, yaitu: (1) orientasi seksual dan (2) peran seks (Hurlock, 1993). Pada masa remaja biasanya mereka sudah menemukan orientasi seksualitasnya yaitu dengan menemukan ke arah mana ketertarikan seksualnya, apakah ke arah heteroseksual yaitu tertarik dengan lawan jenis atau ke arah homoseksual yaitu tertarik dengan sesama jenis. Masa remaja ditandai dengan berkembangnya organ seksual. Dikatakan bahwa gonads (kelenjar seks) yang tetap bekerja (seks primer) bukan saja berpengaruh pada penyempurnaan tubuh (khususnya yang berhubungan dengan ciri-ciri seks sekunder), melainkan juga berpengaruh jauh pada kehidupan psikis, moral, dan sosial. Disamping itu Elkind (dalam Papalia & Olds, 2001) menjelaskan bahwa remaja mengalami perkembangan kognitif yang khas, yaitu
cara berpikir
egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel. Personal fabel berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Remaja merasa tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri (self-destructive) oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil karena perilaku seksual yang dilakukannya. Remaja biasanya menganggap bahwa halhal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya. Kesalahan berfikir inilah yang melatarbelakangi perilaku asusila remaja yaitu perilaku pelanggaran moral masyarakat terutama perilaku seksual yang tidak bertanggungjawab. Faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan perilaku asusila karena ia didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Hal tersebut merupakan ciri-ciri remaja pada umumnya, mereka ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalaman mereka sendiri, atau "Learning by doing". Pengalaman itu biasanya didapatkan remaja dari teman sebayanya, sebagaimana dikatakan Papalia & Olds (2001) bahwa kelompok
Seminar Nasional : Parenting and Education About Sex
39
teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku asusila yang dilakukan remaja berkaitan dengan kematangan organ seksual dan berpengaruh pada kehidupan psiko sosialnya. Munculnya perilaku asusila remaja banyak disebabkan pemikiran yang keliru atau persepsi yang keliru tentang pertumbuhan seksualnya. Pemikiran yang keliru itu tidak diimbangi dengan pemerolehan informasi yang tepat, tetapi remaja lebih banyak mendapatkan informasi dari teman sebayanya. KESIMPULAN Kesalahan berfikir dapat melatarbelakangi perilaku asusila remaja yaitu perilaku pelanggaran moral masyarakat terutama perilaku seksual yang tidak bertanggungjawab. Konseling dengan pendekatan rational emotive adalah konseling yang bertujuan untuk memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan remaja yang irasional dan tidak logis tentang seksualitas menjadi pandangan yang rasional dan logis agar remaja dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self-actualizationnya.
DAFTAR PUSTAKA Adnani, H & Widowati, C., 2009, “ Motivasi Belajar dan Sumber-sumber Informasi tentang Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Seksual Remaja di SMUN 2 Banguntapan Bantul”, dalam Jurnal Kesehatan Surya Medika, 2009. BKKBN, 2001. Modul Kesehatan Reproduksi Remaja. Yogyakarta Chigona, A., & Chetty, R., 2008, “Teen mothers and schooling: lacunae and challenges”.,dalam South African Journal of Education vol.28 no.2, May 2008. Creagh, S., 2004, “Pendidikan Seks di SMA D.I. Yogyakarta”, laporan hasil penelitian, kerjasama antara Australian Consortium For In Country Indonesian Studies dengan FISIP Univ. Muhammadiyah Malang. Corey, G., 1988, Theori and Practice of Counceling and Psychoterapy (terjemah : E. Kuswara), Jakarta : Eresco Egbochuku.,E.O., & Ekanem, I.B., 2008.,”Attitude of Nigerian Secondary Schooll Adolescents Toward Sexual Practices : Implications f or Counseling Practices” dalam European Journal of Scientific Research, Vol. 22 No. 2, 2008, pp 177-183.
Seminar Nasional : Parenting and Education About Sex
40
Harfina, D., tt, “ Perilaku Seksualitas Remaja dan Tingkat Pendidikan (kasus di Kota Bengkulu dan Surabaya)”, Laporan hasil Penelitian, Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan LIPI. Hurlock, E.B ,1998. Perkembangan Anak. Alih bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga.
Septiningsih,D.,& Naimah,T., 2009, “Studi tentang Bentuk Pendidikan Seksualitas Remaja (Penelitian pada Kader Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga/PKK)”. Laporan Penelitian Fundamental, LPPM UMP. Sunanto, J., Takeuchi, K & Nakata, H., 2005, Pengantar Penelitian Dengan Subyek Tunggal, CRICED University of Tsukuba. McLeod, J., 2008, An Introduction to Counseling (terjemah : A.K Anwar), Jakarta : Kencana Naimah, T & Rahardjo P., 2008, “Pengaruh Komparasi Sosial pada Public Figure di Media Massa terhadap Pembentukan Body Image Remaja di Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas”, Laporan Hasil Penelitian, LPPM UMP. Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill Terjesen & Kurasaki, R., 2009, “Rational emotive behavior therapy: applications for working with parents and teachers”, dalam Estudos de Psicologia Campinas, Vol 26(1), 3-14, Janeiro – Março, 2009. Weliangan, H & Taganing N.M., 2009, “Efektifitas Terapi Rasional Emotif (TRE) dalam Mengurangi Pikiran tidak Rasional dan Stres pada Perempuan yang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)”, dalam Proceeding PESAT (Psikologi, ekonomi, Sastra, Arsitektur, &Sipil) Vol 3 Oktober 2009 Universitas Gunadarma-Depok 20-21 Oktober 2009. www.pusatartikel.com, diakses 9 Mei 2010. www.depsos.go.id.diakses 9 Mei 2012
Seminar Nasional : Parenting and Education About Sex
41