TINJAUAN BUKU Anthropology, Development and the Post -Modern Challenge Oleh: Katy Gardner dan David Lewis London - Chicago, Illinois: Pluto Press 1996, 192 hlm + Glossary, Acronyms dan Indeks. Ditinjau oleh:
Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia)
Like a towering lighthouse guiding sailors towards the coast, ‘development’ stood as THE idea which oriented emerging nations in their journey through post-war history … Today, the lighthouse shows cracks and is starting to crumble. The idea of development stands like a ruin on the intellectual landscape. Delusion and disappointment and they tell a common story: it did not work. (Sachs, 1992:1).
Kutipan dari Sachs (1992) di atas mengawali bab pertama dari buku Gardner dan Lewis yang mengantarkan pembaca pada krisis yang terjadi dalam wacana ‘pembangunan’ dewasa ini. Demikianlah Gardner dan Lewis membuka tulisannya dengan mengajak pembaca melakukan suatu refleksi terhadap ‘pembangunan’ sebagai konsep dan gagasan, maupun sebagai perangkat tindakan, pranata dan jaringan-jaringan sosial. Sesuai dengan judul buku, tidak hanya refleksi terhadap pembangunan itu sendiri yang menjadi fokus kajian, tetapi juga apa yang telah dilakukan oleh para ilmuwan antropologi dalam hubungannya dengan domain pembangunan tersebut. Inilah buku pertama sejak karya Lucy Mair (1984), Anthropology and Development, yang secara khusus dan komprehensif menyajikan dan mengulas sejarah perkembangan dari pelbagai pendapat, debat, tindakan dan permasalahan selama terjalinnya hubungan antara pelaku-pelaku pembangunan dan ilmuwan-ilmuwan antropologi sejak awal mula
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
1
hingga masa kini. Termasuk di dalamnya kurun waktu selama dasa warsa terakhir, yakni suatu periode berlangsungnya refleksi diri yang intensif di kalangan ilmuwan antropologi dan ilmu-ilmu sosial yang lain. Inilah saat-saat berlangsungnya debat sekitar masalah pasca-modernisme (post-modernism) yang muncul pertama kali pada akhir tahun 1980an dan awal 1990an. Menyimak sistematika dan isi buku, kedua penulis patut diberikan penghargaan atas kecermatan dan ketekunannya dalam menghimpun pelbagai bahan pustaka serta kasus-kasus program-program pembangunan dengan beragam pengalaman para ilmuwan antropologi dalam program-program tersebut. Secara runut pula kedua penulis menuangkan hasil penelitian, pengalaman dan gagasannya yang diawali dengan perkembangan wacana dan domain pembangunan itu sejak awal mula pertumbuhannya hingga masa kini; sejarah keterlibatan para ilmuwan antropologi dan peranan yang dimainkannya; serta ulasan tentang apa yang dapat dan mampu dilakukan antropolog secara lebih efektif dalam era krisis pasca-modernisme ini. Tidak hanya wawasan historis yang dapat diperoleh pembaca, tetapi juga pemahaman tentang permasalahan yang timbul, serta masukan tentang bagaimana para antropolog sebaiknya bersikap dan bertindak terhadap kelemahan-kelemahan yang ada sesuai dengan posisinya di dalam maupun di luar lingkup program-program pembangunan. Gagasan penulis disampaikan pula dalam kalimat-kalimat yang lugas, sederhana dan mudah dipahami. Karena itu, saya menyarankan agar buku ini dijadikan bahan bacaan wajib dalam perkuliahan di semua jenjang strata untuk mata-mata kuliah antropologi terapan, antropologi pembangunan dan mata-mata kuliah lain yang terkait. Ilmuwan-ilmuwan sosial yang lain serta para praktisi pembangunan tentunya akan memetik manfaat yang berharga pula dari buku ini. Dengan judul bab pertama Anthropology, development and the crisis of modernity , penulis mengajak antropolog untuk tidak berpangku tangan menghadapi gerak pembangunan dan modernisasi yang cenderung dilandasi oleh ideologi dominasi kekuasaan dari negara-negara di belahan Utara terhadap negara-negara di belahan Selatan. Antropolog dapat menyajikan suatu kritik yang dinamis yang dapat membantu terciptanya pemikiran-pemikiran dan praktek-praktek pembangunan yang lebih kreatif, menjauh dari model-model yang terlalu sistematik dan dualistik. Sebaliknya, melalui kritik yang dilancarkan, antropolog dapat menarik manfaat dalam memahami bekerjanya wacana, pengetahuan dan kekuasaan dalam upaya transformasi sosial. Ini merupakan suatu domain yang kaya bagi antropolog yang berminat untuk
2
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
‘mempelajari ke atas, ke pihak yang berkuasa’ (studying up), tidak melulu memfokus pada mereka yang ‘kurang beruntung dan kurang berkuasa’. Secara kronologis, penulis menguraikan pula dalam bab ini sejarah perkembangan pembangunan dan makna-makna yang melandasinya sejak masa kapitalisme dan kolonialisme (1700-1949), pasca-kolonial (1949 hingga sekarang) dan berkembangnya ‘aid industry’ sejak akhir Perang Dunia II. Sebelum membahas tentang munculnya periode pasca-modernisme, penulis mengemukakan adanya dua teori pokok pembangunan yang mendahului periode ini yaitu: teori modernisasi dan ketergantungan (dependency theory). Jaman pasca-modernisme dilukiskan sebagai suatu jaman penolakan budaya dan intelektual pada modernitas serta munculnya kemajemukan pendapat/gagasan yang kemudian terwujud dalam berkembangnya beragam tujuan dan praktek pembangunan. Namun, krisis juga melanda antropologi dengan munculnya kritik-kritik pada paradigma antropologi yang dinilai quasi-ilmiah dan konvensi-konvensi penyajian karya etnografi yang membentuk antropolog sebagai ahli mengatasnamakan penduduk setempat yang ditelitinya (lihat misalnya Marcus dan Fischer 1986, Clifford 1988). Akhirnya, bertolak dari kritik Escobar (1995) dan berpedoman pada pendapatnya tentang sumbangsih yang diberikan antropolog, penulis menantang para antropolog untuk lebih memperhatikan hubungan-hubungan sosial dan politik yang melahirkan kemiskinan, suatu kondisi tidak dimungkinkannya segolongan penduduk memperoleh akses pada kebutuhan-kebutuhan materi, sosial dan emosional. Bab dua dan tiga menyajikan garis besar perkembangan antropologi terapan dan antropologi pembangunan. ‘Antropologi terapan’ telah berkembang sejak awal mula munculnya antropologi di Inggris , Perancis dan Amerika saat beberapa antropolog tertarik untuk menggunakan pengetahuannya untuk maksud-maksud praktis. Perjalanan sejarah dari munculnya antropologi terapan, debat yang berkembang sehubungan dengan keterlibatan para antropolog dalam administrasi kolonial dan Perang Dunia II, kebangkitan kembali sub-disiplin ini, pelbagai peran yang dimainkannya dalam era pembangunan sejak masa pasca Perang Dunia II dan pelbagai pendekatan yang dikembangkannya, merupakan pokok bahasan dalam bab dua. Secara khusus penulis menyoroti peranan antropolog dalam proyek-proyek pembangunan dan kegiatan advokasi, terutama dalam upaya memfasilitasi komunikasi yang lebih baik antara komunitas yang menjadi subyek pembangunan dan pihak luar serta pelaku-pelaku pembangunan. Penulis mengakhiri bab dua ini dengan melontarkan isu-isu yang perlu ditelaah lebih lanjut, yakni apakah antropolog akan tetap berkompromi dengan paradigma
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
3
pembangunan yang berlaku, ataukah antropolog mampu menyajikan suatu tantangan yang efektif pada paradigma tersebut. Penulis menyarankan cara-cara alternatif, yakni berada di luar atau di dalam wacana pembangunan dalam upaya menantang dan mempertanyakan asumsi-asumsi yang melandasinya. Bab tiga mengetengahkan perkembangan kegiatan antropolog yang mempelajari pembangunan sebagai suatu bidang kajian dengan tujuan untuk menyumbang pada debat teoretis yang lebih luas dalam studi-studi antropologi dan pembangunan. Sub-disiplin ini dianggap dapat menantang asumsi-asumsi kunci menuju ke arah perubahan yang konstruktif. Untuk memudahkan pemahaman tentang apa yang telah menjadi kajian antropologi pembangunan, penulis memilah tema-tema kajian dalam tiga hal, yakni: 1) efek-efek sosial budaya perubahan ekonomi, 2) efek-efek sosial-budaya proyek pembangunan, dan 3) kinerja internal dan wacana tentang aid industry. Masing-masing tema dirinci lebih lanjut dalam pokok-pokok kajian yang memfokus tidak hanya pada perkembangan kegiatan penelitian dan hasil temuannya, tetapi juga pada pendekatan dan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lebih lanjut. Dalam studistudi yang berkenaan dengan tema pertama, berkembang pendekatan yang dikenal dengan actor-oriented. Pendekatan ini menaruh perhatian pada subyeksubyek pembangunan sebagai aktor yang secara aktif terlibat dalam pembentukan dunianya sendiri, termasuk respons -responsnya pada pelbagai perubahan yang terjadi sebagai akibat pelaksanaan pembangunan. Berkenaan dengan tema kedua, salah satu kritik utama yang dihasilkan antropolog ialah berlangsungnya perencanaan proyek pembangunan secara top-down, tanpa melibatkan penduduk setempat. Berkaitan erat dengan kritik ini, ialah kritik para antropolog bahwa para perencana gagal untuk mengakui secara tepat pentingnya dan berpotensinya pengetahuan lokal. Sebaliknya, proyek-proyek pembangunan sering melibatkan asumsi bahwa pengetahuan dari barat atau daerah perkotaan itu lebih superior dari pada pengetahuan penduduk setempat yang akan ‘dibangun’. Dalam pembahasan penulis tentang tema ketiga, dipertajam peran antropolog yang lebih mutakhir dalam upaya mendekonstruksi dan mempermasalahkan gagasan pembangunan dengan menganalisisnya sebagai suatu bentuk wacana (diskursus). Hal ini memungkinkan dilaksanakannya suatu peninjauan ulang yang radikal atas cara-cara mengonseptualisasi dan menanggula ngi masalah kemiskinan dan ketidaksetaraan. Memandang pembangunan sebagai suatu ‘wacana’ juga memungkinkan antropolog untuk mempertanyakan sifat dari pengetahuan pembangunan dan interaksinya dengan
4
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
domain pengetahuan yang lain, yakni pengetahuan lokal. Antropolog dapat menjalankan peran penting di sini, yakni dengan menunjukkan bahwa ada banyak cara yang lain untuk memperoleh pengetahuan dan dengan demikian meruntuhkan status hegemoni dari pembangunan. Antropolog juga dapat menunjukkan apa yang terjadi saat kedua domain pengetahuan yang berbeda itu bertemu, yakni pada cara-cara penduduk setempat dan wacana yang diproduksinya berinteraksi dengan pelaku pembangunan menurut kontekskonteks ekonomi dan historis yang berbeda (lihat Hobart 1993). Mengakhiri bab ini penulis menyatakan dengan tegas bahwa antropolog dapat menolong untuk meruntuhkan wacana pembangunan yang kini berlaku, merorientasinya dan mentransformasinya ke wacana pasca-pembangunan. Hal ini dapat dilakukan dengan melalui kajian etnografis dan analisis, serta mengubah wacana pembangunan itu dari dalam dengan berlandaskan pada asumsi bahwa wacana pembangunan itu merupakan hal yang lentur dan dapat diubah. Menyambung pembahasan pada bab tiga, pada bab empat yang diberinya judul: Subverting the discourse: knowledge and practice, penulis mengajak pembaca untuk menaruh perhatian pada cara-cara yang dapat ditempuh antropolog untuk melaksanakan perubahan wacana pembangunan dari dalam. Untuk mempertajam apa yang dapat disumbangkan oleh para antropolog, penulis mengklasifikasi pokok-pokok kajian dalam tiga hal yang masing-masing berkaitan dengan: 1) akses penduduk setempat pada sumber daya dan pengambilan keputusan; 2) efek sosial-budaya dari pembangunan yang terkait erat dengan butir pe rtama; dan 3) kontrol penduduk setempat atas sumber dayanya sendiri dan agenda pembangunan. Dalam setiap pokok kajian, penulis membeberkan apa permasalahan yang timbul dan apa yang dapat dilakukan antropolog. Studi-studi kasus yang dikemukakan dalam setiap bidang kajian beserta serangkaian pertanyaan sebagai pedoman bagi antropolog untuk melakukan penelitian dan kajian tentang masalah sejenis, menolong pembaca untuk memahami secara lebih jelas tentang permasalahan dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam studinya. Sependapat dengan penulis, saya beranggapan bahwa hal penting yang perlu dilakukan seorang antropolog adalah kemampuannya untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian/kajian yang tepat sesuai dengan pokok permasalahan, ditunjang dengan metode penelitian yang bervariasi. Dalam bab lima yang diberinya judul New directions: practice and change, penulis menekankan bahwa wacana utama dari pembangunan itu semakin heterogen dan secara terus menerus ditantang oleh pelbagai pihak yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
5
bekerja di dalam dan di luar pranata-pranata pembangunan. Dirincinya perkembangan dari pelbagai pokok perhatian yang tumbuh sebagai reaksi dan kritik atas masalah-masalah yang muncul dari model-model ekonomi pembangunan. Diangkatnya perhatian pada masalah kebutuhan dasar, bantuan pada penanggulangan kemiskinan dan upaya untuk meningkatkan penghasilan; reorientasi pada target group; tumbuh kembangnya organisasi-organisasi nonpemerintah; munculnya jargon partisipasi dan upaya untuk mengintegrasikan jargon ini dalam konteks pembangunan serta masalahnya; pemanfaatan metode penelitian partisipatoris yang dikenal dengan participatory rural appraisal; upaya pemberdayaan yang kini dikenal dengan empowerment; penelitian di bidang pertanian yang berkembang luas sebagai farming systems research (FSR); pembangunan masyarakat (community development) dan masalah wanita serta gender dalam konteks pembangunan. Tidak hanya isu tentang gender yang harus diperhatikan lebih serius, tetapi juga perlunya pengutamaan pada keterlibatan penduduk setempat dan pengetahuan lokal mereka. Namun, diingatkan pula oleh penulis bahwa pelaku-pelaku pembangunan bukanlah merupakan satu tubuh dari individu yang punya wacana tunggal dan kepentingan serta kekuasaan yang sama. Meski bermunculan berbagai upaya untuk menantang wacana pembangunan, penulis mengakui bahwa tidak dapat dipungkiri adanya upaya untuk melanggengkan paradigma top-down dan hubungan-hubungan kekuasaan yang berlaku dalam konteks pembangunan dewasa ini. Sekali pun demikian, wacana dari pembangunan itu secara terus menerus dipertentangkan dan karenanya tetap terbuka dan mengalami perubahan sepanjang waktu. Dalam bab selanjutnya dengan judul Anthropologists within development penulis mempertegas pendapatnya bahwa antropologi memiliki posisi yang kuat untuk menyumbang pada dan mempengaruhi proses perubahan itu. Bagaimanakah hal itu dilakukan atau dapat dilakukan oleh antropolog, itulah yang menjadi pokok kajian dari bab enam. Pertama diungkapkan tentang peranan yang telah dilakukan antropolog dalam pos isinya sebagai konsultan dalam pranata pembangunan. Namun, dikemukakan pula kendala -kendala yang dijumpai para antropolog dalam posisi ini, antara lain dalam masalah keterbatasan waktu yang dapat menyebabkan munculnya hasil-hasil penelitian yang kurang kuat dalam hal teori atau metodologi. Begitu pula tantangan yang dihadapi mereka yang bekerja sebagai pegawai pemerintah atau agen-agen non-pemerintah yang sehari-hari bergelut dengan masalah administratif. Dalam posisi ini, antropolog dapat tetap memanfaatkan kesempatan yang ada dengan mengevaluasi dan memberikan
6
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
saran dalam perencanaan proyek-proyek dan kebijakan yang tengah dilaksanakan. Penulis mengangkat pula beberapa isu yang berkembang, yakni kompromi antara kajian ‘murni’ dan ‘terapan’, bagaimana antropolog dapat secara efektif mempengaruhi perubahan melalui fokus penelitian dan hasil temuan yang lebih bermanfaat, dan pertanyaan-pertanyaan seputar etika. Misalnya, masalah untuk siapa karya antropologi itu disajikan, dan masalah kualitas penelitian. Penulis kemudian menyajikan tiga kasus yang berbeda tentang pelaksanaan peran antropolog, masalah-masalah, potensi-potensi dan serangkaian pertanyaan serta pernyataan yang perlu memperoleh perhatian lebih lanjut. Pada bagian akhir bab ini, penulis menekankan potensi dari antropologi dalam karya pembangunan yang didasarkan pada beberapa hal, yakni: pada kemampuan disiplin ini untuk ‘melihat jauh melampaui’ apa yang semula diasumsikan; untuk menelusuri kompleksitas situasi-situasi sosial-ekonomi; untuk menunjukkan hubungan-hubungan yang kompleks dan acapkali tersembunyi; pada perspektif antropologi yang holistik sifatnya dan yang mempertahankan dimensi lokal yang signifikan. Namun, sekali pun kontribusi metodologi dari antropologi itu penting bagi pembangunan, dinyatakan oleh penulis bahwa antropologi tetap merupakan suatu ‘cara pandang, bukan seperangkat keterampilan-keterampilan yang spesifik atau seperangkat peralatan’. Pandangan dan ide-ide ini dapat disebarluaskan pada mereka yang bekerja di bidang-bidang yang lain. Beyond development merupakan judul dari bab terakhir. Mengawali bab ini penulis menyatakan bahwa dua macam pendekatan dalam antropologi, yakni keterlibatan antropolog dalam karya pembangunan di satu pihak dan kritik-kritik yang secara radikal dilancarkan antropologi terhadap gagasan pembangunan di pihak lain, tidak seharusnya menjadi semakin menjauh seperti yang terjadi dalam era pasca-modernisme ini. Penggunaan antropologi terapan di dalam atau di luar industri pembangunan dapat tetap berlangsung, tetapi penulis menyarankan agar peran itu dilaksanakan dalam cara-cara yang berbeda dan dengan menggunakan paradigma -paradigma konseptual yang berbeda dari sebelumnya. Namun, penulis mengakui bahwa jalan yang harus ditempuh antropolog untuk berkarya dalam kedua posisi itu, tidaklah mudah dan tanpa bahaya. Tetapi, tidak berarti bahwa antropolog harus menjauh dari keterlibatannya yang praktis dalam domain pembangunan. Bertolak dari pendirian ini, penulis menekankan bahwa salah satu tugas penting dari antropologi pembangunan yang kontemporer ialah mengetengahkan bagaimanakah hubungan antara pengetahuan, wacana dan reproduksi kekuasaan
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
7
dalam konteks pembangunan itu terlaksana. Begitu pula perannya dalam mendekonstruksi pengetahuan dari pelaku pembangunan sebagaimana halnya dengan pengetahuan dari mereka yang ‘dibangun’. Pada intinya penulis menekankan kembali bahwa secara profesional atau personal antropolog harus aktif terlibat dalam mengupayakan perubahan kondisi-kondisi yang memproduksi kemiskinan, ketidaksetaraan dan penindasan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengalihkan fokusnya dari pembangunan menuju ke pemahaman tentang hubungan-hubungan dari kemiskinan dan ketidaksetaraan. Kedua hal ini hendaknya menjadi isu yang paling utama. Secara lebih rinci penulis kemudian mengajukan bermacam-macam hal yang harus dipertimbangkan antropolog sebelum memutuskan untuk mengambil bagian dalam suatu proyek pembangunan. Begitu pula dengan etika tentang keterlibatan antropolog dalam karya pembangunan. Juga tentang apa yang harus disadari antropolog bila masuk dalam batasan-batasan institusional dan wacana pembangunan yang sebenarnya harus secara obyektif dikritik. Seluruh uraian dalam buku ini didasari oleh argumentasi penulis bahwa wacana pembangunan merupakan hal yang sentral tentang bagaimana dunia itu direpresentasikan dan dikontrol oleh mereka yang berkuasa, dan antropolog harus banyak berbicara tentang hal ini. Penulis memang berhasil mengangkat tema ini secara konsisten dalam tulisannya. Himbauan penulis terasa semakin signifikan dan relevan dengan kondisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia dewasa ini, suatu tantangan bagi kita semua untuk berperan lebih aktif. Untuk itu, akan lebih bermanfaat kiranya bila penulis mengangkat kasus kasus berupa karya nyata para antropolog dan/atau ilmuwan lain yang telah berjuang untuk mereformulasi asumsi-asumsi dan wacana pembangunan, sambil berupaya untuk secara konstruktif membantu penyusunan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan agar lebih positif memberikan keleluasaan dan keuntungan pada mereka yang ‘dibangun’. Pengetahuan komparatif tentang bagaimana hal itu dilakukan, dalam konteks apa, dan apa implikasinya, tentu akan bermanfaat sebagai acuan untuk bertindak dalam kasus-kasus sejenis. Penulis, misalnya, terluput mengulas pengalaman dari kelompokkelompok yang bergiat dalam bidang pertanian seperti: Low external input and sustainable agriculture (LEISA) yang digalakkan oleh ILEIA (Information Centre for Low External Input and Sustainable Agric ulture) di Belanda, Sustainable agriculture program yang dikelola oleh IIED (International Institute for Environment and Development) di Inggris, atau Integrated pest management (Pengendalian Hama Terpadu, PHT) yang digerakkan oleh FAO dan sudah
8
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
bertumbuh-kembang di beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Perencana -perencana puncak dari program PHT ini telah berhasil dalam upayanya untuk mengubah paradigma pembangunan. Dari sasaran utama meningkatkan produksi melalui ‘introduksi teknologi’, seperti yang melandasi program Revolusi Hijau, dirancangnya program dengan sasaran pencapaian ‘ketangguhan’ (sustainabilitas) produksi pertanian dan ‘pemberdayaan petani’ melalui ‘pengalihan pengetahuan dan/atau upaya memperkuat kemampuan penduduk setempat untuk mengembangkan pengetahuannya’. Implikasi lebih lanjut dari program ini adalah keberanian petani untuk bersuara menantang kebijakan dan praktek-praktek dalam bidang pertanian dan pengendalian hama yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip menjaga kelestarian alam lingkungannya. Meski masih banyak kendala yang dihadapi, program itu berhasil meningkatkan kreativitas petani dalam menemukan sendiri solusi atau alternatif penanggulangan masalah yang dihadapinya sehari-hari. Perubahan dalam kebijakan regional tentang strategi pengendalian hama pun telah nyata terwujud sebagaimana terjadi di salah satu wilayah Pantai Utara Jawa Barat (lihat misalnya van de Fliert 1993; Pretty 1995; Winarto 1995, 1997; Dilts dan Hate 1996; Kenmore 1997). Penulis juga tidak secara rinci mengupas lebih dalam alternatif-alternatif pendekatan yang lebih akurat dan tepat untuk membantu antropolog dalam mengkaji fenomena sosial-budaya yang kompleks, heterogen dan dinamis ini. Sayangnya, kepustakaan penulis tidak mencakup karya-karya ilmiah seperti buku yang disunting oleh Borofsky (1994), Assessing Cultural Anthropology, dalam memperkuat argumennya tentang pentingnya kajian-kajian antropologi yang dilandasi oleh metodologi, perspektif, pendekatan, konsep dan teori yang tepat dan signif ikan dengan realitas di atas. Mudah-mudahan muncul buku lanjutan yang menyajikan bagaimana para antropolog, di dalam dan di luar pranata pembangunan, melaksanakan apa yang telah disarankan kedua penulis, apa kendala yang dihadapi dan bagaimana hasilnya bagi perubahan wacana pembangunan. Ini suatu tantangan bagi kita semua untuk menyempurnakan dan melengkapi karya tulis yang menggugah ini. Pustaka acuan Borofsky, R. (ed.) 1994 Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill.
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
9
Clifford, J. 1988 The Predicament of Culture: Twentieth Century Ethnography, Literature and Art. Cambridge, MA: Harvard University Press. Dilts, D. dan S. Hate 1995 ‘IPM Farmer Field Schools: Changing Paradigms and Scaling-up,’ Agricultural Research & Extension Network 59b:1-4. Escobar, A. 1996 Encountering Development: the Making and Unmaking of the Third World. Princeton, NJ: Princeton University Press. Fliert, E. van de 1993 Integrated Pest Management: Farmer Field Schools Generate Sustainable Practices: A Case Study In Central Java Evaluating IPM Training. Wageningen: Agricultural University Wageningen. Hobart, M. (ed.) 1993 An Anthropological Critique of Development: the Growth of Ignorance . London: Routledge, pp.1-30. Kenmore, P. 1977 ‘A Perspective on IPM,’ LEISA 13(4):8-9. Mair, L. 1984 Anthropology and Development. London: Macmillan. Marcus, G. dan Fischer, M. 1985 Anthropology As Cultural Critique: An Experimental Moment In the Human Sciences. Chicago: University of Chicago Press. Pretty, J.N. 1994 Regenerating Agriculture: Policies and Practice For Sustainability and Self-Reliance. London: Earthscan Publications. Sachs, W. (ed.) 1992 The Development Dictionary: A Guide To Knowledge As Power. London: Zed.
10
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
Winarto, Y.T. 1995 ‘State Intervention and Farmer Creativity: Integrated Pest Management Among Rice Farmers In Subang, West Java,’ Agriculture and Human Values 12(4):47-57. 1996 ‘Knowledge In the Making: Learning To Sustain Yields In the Green Revolution Era.’ Makalah disajikan pada the ‘International Conference on Creativity and Innovation at the Grassroots for Sustainable Natural Resource Management’, Centre for Management in Agriculture, Indian Institute of Management, Ahmedabad, India. January 11-14.
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
11
Folklor Jepang Dilihat dari Kacamata Indonesia Oleh: James Danandjaja Jakarta: P.T. Utama Pustaka Grafiti 1997, 436 hlm.+ indeks Diulas oleh:
Endang Partrijunianti (Universitas Indonesia) Folklor Jepang yang dimaksud oleh penulis buku ini adalah sebagian dari kebudayaan Jepang yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi berbedas baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat. Di Jepang penelitian tentang folklor ini pertama kali dilakukan pada tahun 1910, dan yang 20 tahun kemudian menjadi suatu disiplin sendiri dengan mendapatkan pengakuan formal oleh masyarakat dan hingga kini berkembang secara mantap. Tokoh folklor Jepang yang menonjol adalah Yanagita Kunio yang berasal dari disiplin ilmu humanistik. Meskipun demikian Yanagita Kunio sangat tertarik melakukan penelitian lapangan tentang folklor Jepang dengan memotivasi para ahli folklor disana. Motovasi penelitiannya untuk mencari unsur-unsur lisan yang bisa digunakan untuk merumuskan watak nasional khas orang Jepang. Untuk bisa mendapatkan hasil penelitian lapangan yang akurat, Yanagita Kunio tidak menutup diri terhadap pendekatan dari disiplin ilmu lain seperti antropologi. Bahkan beliau juga menciptakan metodologi penelitiannya berdasarkan kegemarannya membaca buku-buku sejarah mempelajari sistem kepercayaan rakyat Jepang dan sebagainya sehingga diharapkan bisa memperoleh watak khas bangsanya. Berbeda dengan di Jepang maka di Indonesia pengumpulan folklor dalam sejarahnya justru dilakukan oleh orang Eropa terutama orang Belanda; dan bukan ahli folklor hanya oleh pangreh praja, ahli filologi, musikologi dan sebagainya
12
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
antara lain H. Kern (filolog Belanda), yang meneliti buku Jawa yang menceritakan tentang sang kancil tahun 1880. Selain itu folklor di Indonesia baru semenjak tahun 1972 berdiri sebagai suatu disiplin ilmu dengan seorang tokohnya Prof. Dr. James Danandjaja, yang tidak lain adalah penulis buku ini. Motivasinya dalam meneliti pun sedikit berbeda dengan di Jepang, sebab di Indonesia harus diperhatikan masalah terciptanya kebudayaan yang mengandung unsur-unsur yang dapat mewakili sebanyak mungkin kebudayaan suku-suku bangsa yang adas sehingga dapat diterima oleh seluruh bangsa Indonesia yang heterogen ini. Sebagai suatu disiplin, folklor di Indonesia sampai sekarang belum mapan antara lain karena belum ada suatu majalah khusus tentang folklor. Untuk memerkuat keberadaan folklor sebagai ilmu di Indonesia, maka Prof. Dr. James Danandjaja telah menulis beberapa buku folklor secara ilmiah (salah satunya mendapat penghargaan pada tahun 1984): termasuk buku Folklor Jepang Dilihat Dari Kacamata Indonesia. Dalam buku folklor Jepang ini, penulis mendeskripsikan secara detail mengenai masyarakat dan kebudayaan Jepang pada umumnyas dan mengenai tradisi lisan maupun bukan lisan dari folklor Jepang pada khususnya. Dari pendeskripsian mengenai masyarakat dan kebudayaannya, kita bisa mengikuti secara kronologis hal-hal yang berhubungan dengan asal-usul orang Jepang, kehidupan mereka sejak masa pra sejarah dengan periodisasi pra tembikar kebudayaan Jomon dan kebudayaan Yayoi dengan masing-masing karakteristiknya. kemudian dilanjutkan dengan kehidupan orang Jepang pada masa sejarah yang diawali dengan periode makam atau periode pergolakan dengan masuknya tulisan sebagai salah satu cirinya. Selain itu dalam buku ini juga dideskripsikan secara teliti pula beberapa unsur kebudayaan lain yang mendukung, seperti sistem religi, sistem organisasi sosial, sistem kesenian, adat istiadat, dan la in sebagainya yang ada dalam kehidupan masyarakat Jepang dengan gaya bahasa yang mudah dipahami setiap pembacanya. Khusus mengenai bentuk-bentuk folklor Jepang secara amat terperinci membahas dengan memberi banyak contoh yang sangat menarik dan tidak lupa membandingkannya dengan contoh-contoh foklor yang ada di negara kita. Dalam hal ini saya merasa ada kekurangan yaitu tidak dicantumkannya contohcontoh dan peta wilayah Okinawa. Namun seperti kata peribahasa, 'tiada gading yang tak retak'.
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
13
Sebagai beberapa bentuk folklor lisan, penulis memulainya dengan ungkapan tradisional yang dikelompokan ke dalam lima katagori yaitu Hashi (sumpit) Hana (bunga), Cha (teh), Kaze (angin) dan Hana (hidung). Bentuk folklor lisan kedua adalah cerita prosa rakyat yang mengandung tipe serta motif cerita yang universal sifatnya. Hal ini disebabkan kebudayaan Jepang merupakan hasil ciptaan bangsa-bangsa di Asia seperti Cina Korea dan sebagainya bahkan juga dari Asia Tenggara di samping ciptaan bangsanya sendiri. Cerita Prosa Rakyat ini juga dapat dikatagorikan ke dalam tiga kelompok yaitu mite (shinwa, kisah mengenai para dewa), yang pada umumnya bersumber pada Kojiki dan Nihon Shoki; (legenda denzetsu) yang jumiahnya lebih banyak dari negara-negara manapun di Eropa karena ditopa ng oleh kepercayaan rakyat yang masih dianut secara kuat; serta dongeng yang mengandung pesan -pesan yang merupakan nilai-nilai dari bangsa pendukungnya, sehingga dapat berfungsi sebagai alat pedagogi. Beberapa bentuk folklor sebagian lisan juga digambarkan yaitu religi yang terdiri-dari konsep rakyat mengenai alam gaib termasuk makluk gaib siluman yang tergolong binatang, seperti kappa, tanuki, Rose dan sebagainya. Kemudian konsep tercemar dan suci yang dipilah ke dalam beberapa batasan yaitu: 1.) mahkluk yang telah disucikan dan upacara penyucian; 2). manusia biasa; dan ketidaksucian wanita; 3). hakikat roh leluhur dan sebagainya. Bentuk folklor sebagian lisan kedua adalah permainan rakyat yang digolongkan ke dalam permainan untuk bermain dan permainan untuk bertanding. Bentuk ketiga adalah teater rakwat (koten gaino ) yang tetap bertahan sampai kini, dan terdiri dari lima genre besar yaitu bugaku (gagaku) no, kyogen, bunraku dan kabuki. Kelimanya merupakan teater total karena menyatukan unsur-unsur tari, musik dan seni bercerita secara lirikal. Kelimanya juga saling terikat satu sama lain oleh hubungan estetika yang kuat yang pengaruhnya berasal dari dalam dan luar negeri, namun masing-masing tetap punya isi dan gaya yang berbeda. Bentuk keempat dari folklor sebagian lisan adalah makanan dan minuman, seperti sushi, sashimi, sukiyaki, tempura, yakiniku, dan shabu-shabu. Selain juga udon, soba, ramen, oden, tonkatsu, dan mochi. Masakan Jepang dapat dikategorikan ke dalam beberapa golongan yaitu: shirumono atau sup; yakimono; nimono; agemono; mushimono; sunomono dan aemono; yosemono dan nerimono; gohanmono; menrui; dan nebemono. Sedangkan yang termasuk dalam minuman khas Jepang adalah teh yang terdiri dari beberapa jenis, yaitu sensha,
14
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
gyokuro, macha , bancha dan hojicha. Kalau bicara tentang teh Jepang, maka harus juga dicantumkan upacara minum teh yang biasanya disebut sengan chado, sado atau chanoyu. Selain teh juga ada minuman keras sake (seishu atau nihonshu). Bentuk kelima adalah seni kriya yang terdiri dari bonsai, ikebana dan origami; kemudian bentuk keenam adalah pesta rakyat yang terdiri dari matsuri dan nenchu gyoji (atau nenju gyoji). Matsuri merupakan folklor Jepang asli yang berhubungan dengan agama Shinto dan pada dasarnya adalah festival suci; sedangkan nenju gyoji adalah festival berskala besar dilakukan setiap tahun berhubungan dengan keempat musim dan banyak diantaranya berasal dari folklor Cina dan Budha. Termasuk dalam bentuk keenam adalah darmawisata musiman yang berkaitan dengan perbedaan musim, yaitu: hanami (pada musim semi) dan momijigari (pada musim gugur). Kemudian bentuk-bentuk folklor sebagian lisan selaniutnya adalah sistem kekerabatan dan kelompok setempat serta adat-istiadat. Terakhir adalah bentuk folklor bukan lisans yang terdiri dari minka (rumah rakyat) yang dibedakan menjadi noka (rumah desa), machiya (rumah di kota) dan gyoka (rumah di daerah nelayan). Kemudian pakaian (ifuku) yang digolongkan ke dalam dua golonngan besar, yaitu wafuku (gaya Jepang) dan yofuku (gaya Barat). Sedangkan kimono yang dapat juga dianggap pakaian tradisional Jepang yang merupakan versi modern pakaian Jepang hasil adaptasi pakaian berbentuk jubah yang diikat dengan sabuk pada pinggang pemakainya. Kimono mempunyai nama versi tradisional yaitu kosodo. Dalam bagian akhir buku ini penulis menyatakan bahwa folklor Jepang dan folklor Indonesia memiliki persamaan karena keduanya sama-sama dikembangkan di daerah kepulauans sama-sama berakar pada kebudayaan megalitik dan ekonomi agraris persawahan padi, serta sama-sama mendapat pengaruh kuat dari kebudayaan luar, seperti India, Cina, dan sebagainya. Meskipun demikian, keduanya juga menunjukkan perbedaan, antara lain sebagai akibat dari pengaruh agama Islam pada folklor di Indonesia. Selanjutnya ditekankan oleh penulis bahwa penelitian-penelitian folklor sangat bermanfaat karena dapat digunakan untuk mencari nilai-nilai tradisional guna mengidentifikasikan jati diri suatu bangsa. Melalui folklor bisa digali kebudayaan sli suatu bangsa sebab folklor mengungkapkan ide-ide atau gagasangagasan, nilai-nilai yang menjadi milik sebagian besar masyarakat dalam berbagai bentuk (lisan, setengah lisan, dan bukan lisan). Masyarakat Jepang pernah mengalami 'goncangan kebudayaan' cukup keras pada masa Restorasi Meiji. Sebelum masa itu, masyarakat Jepang
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
15
menganut sistem agraris dan feodalisme. Namun pada saat reformasi, masyarakat Jepang menjadi sangat terpengaruh oleh kebudayaan Barat terutama dalam perkembangan teknologi dan ekonomi mereka. Kondisi tersebut mendesak kaum cerdik pandai Jepang (salah satunya Yanagita Kunio) yang sangat khawatir terhadap nasib kebudayaan Jepang asli untuk mencari jalan keluar guna mempertahankan identitas bangsanya. Caranya adalah melakukan penelitian terhadap folklor. Cara yang ditempuh Yanagit a Kunio dan kawan-kawan, menurut penulis buku ini merupakan suatu 'kesalahan' sebab mereka tidak mencoba membandingkan dengan kebudayaan luar Jepang, sehingga bisa mendorong timbulnya chauvinisme yang mengagung-agungkan bangsa sendiri dan merendahkan bangs a lain. Sebagai penutup dari ulasan saya terhadap karya salah seorang guru saya Prof. Dr. James Danandjaja ini, saya ingin menyatakan bahwa dengan membaca folklor Jepang tergugah minat saya untuk bisa melakukan penelitian antropologis yang sifatnya mencari persamaan maupun perbedaan yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang ada dan dianut di kedua bangsa ini.
16
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
Corat-Coret Koentjaraningrat Oleh: Frieda Dharmaperwira-Amran Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia 1997, 139 hlm + 65 gambar + Daftar Riwayat Hidup Ditinjau oleh:
Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia)
“Nenek saya memberikan nama Kuntjaraningrat ketika saya lahir. ‘Kuntjara’ artinya terkenal, ‘ning’ artinya di, dan ‘rat’ artinya dunia. Jadi, terkenal di dunia. Sebetulnya, dalam hidup memang saya berusaha sekali untuk mewujudkan impiannya itu”
Demikianlah kutipan dari penjelasan Prof.Dr. Koentjaraningrat sendiri yang disajikan sebagai pembuka rangkaian tulisan tentang diri beliau dalam buku Corat-coret Koentjaraningrat yang ditulis oleh Frieda Dharmaperwira-Amran. Sebagaimana dikemukakan oleh penulisnya, Koentjaraningrat memang menjadi terkenal. Pak Koen, panggilan akrab Koentjaraningrat oleh para mahasiswanya, tidaklah asing lagi bagi para ilmuwan antropologi di Indonesia dan manca negara. Koentjaraningrat tidak hanya dikenal sebagai ‘pendekar antropologi’, tetapi juga sebagai ‘dewa antropologi’ dan bahkan disejajarkan dengan Malinowski dan Radcliffe-Brown di Inggris, Franz Boas di Amerika Serikat atau Levi-Strauss di Perancis (lihat Ahimsa dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia 1997 yang disunting oleh E.K.M. Masinambow). Berkat jerih payah beliau maka antropologi di Indonesia bertumbuhkembang dalam wujud dan peranannya seperti yang kini dapat disaksikan dan dirasakan oleh para mahasiswa, kolega, pelbagai pihak yang berkepentingan dengan masalahmasalah sosial-budaya masyarakat Indonesia yang majemuk ini, serta masyarakat luas. Untuk menyatakan penghargaan yang tulus serta rasa terima kasih yang mendalam atas semua jasanya itulah, Asosiasi Antropologi Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia telah menerbitkan dua buah buku
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
17
di penghujung akhir tahun 1997 yakni: Corat-coret Koentjaraningrat yang ditulis oleh Frieda Dharmaperwira-Amran dan Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia yang disunting oleh E.K.M. Masinambow. Maksud luhur yang melandasi terbitnya buku itu dinyatakan oleh penulis sebagai ungkapan kasih yang disampaikan bukan dalam wujud uang, cenderamata atau pun karangan bunga, melainkan sebagai hasil dari ‘…racikan fieldnotes dan headnotes para kerabat…’ Melalui Corat-coret Koentjaraningrat inilah pembaca diajak mengenal secara dekat dan intim dengan pribadi Koentjaraningrat yang tampil penuh kesederhanaan, namun dengan kewibawaan yang besar disertai dedikasi dan komitmen yang tinggi sebagai ilmuwan antropologi dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Kepribadian Koentjaraningrat terungkap secara gamblang dalam buku ringan ini melalui kesan dan ingatan para kerabat, sahabat, kolega dan mantan mahasiswanya. Kesan-kesan yang disajikan secara naratif ini memberikan nuansa yang khas pada buku ini, karena berhasil memberikan ‘nafas kehidupan’ pada fieldnotes dan headnotes yang diramu dan diracik oleh penulis. Melalui kisah-kisah kehidupannya semenjak masa kanak-kanak hingga masa kini dalam usianya yang menginjak 75 tahun, Koentjaraningrat tampil sebagai sosok manusia biasa yang terlibat secara sosial dan emosional dengan lingkungan hidupnya sehari-hari. Dari penggalan-penggalan kisah kehidupannya yang diuntai dalam bab per bab, penulis berhasil membawa pembaca masuk dalam pelbagai relung kehidupan pribadi Koentjaraningrat: sebagai anak-anak, pelajar, mahasiswa dan guru di Yogyakarta dan Jakarta hingga perkenalannya dengan ‘Stien’ yang kemudian menjadi pendampingnya yang setia, tugas belajarnya di Yale, Amerika Serikat, kegiatannya sebagai penulis yang amat produktif, peranan dan penampilannya di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia sebagai ketua jurusan dan dosen, pelukis yang handal, pelbagai kegiatannya yang lain sebagai ilmuwan, dan sebagai sosok seorang kakek dan pemeluk agama Islam. Sosok Koentjaraningrat dengan kelemahankelemahannya juga dapat disimak dalam buku ini. Dilengkapi dengan 65 gambar Koentjaraningrat dalam berbagai peristiwa dan perjalanan hidupnya serta daftar riwayat hidup yang lengkap, maka buku ini berhasil menyajikan potret diri Koentjaraningrat dalam berbagai dimensi kehidupannya. Sayangnya, figur Koentjaraningrat sebagai kepala keluarga, ayah, mertua dan menantu kurang terungkap. Tidak dapat ditemukan kesan-kesan dari anggota kerabatnya sendiri yang paling dekat, yakni dari Stien, isterinya, ibu mertua, serta putra-putri dan para menantunya.
18
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
Tidak dapat disangkal lagi bahwa Koentjaraningrat memang seorang ilmuwan yang diakui sebagai tokoh, bukan saja karena jasa-jasanya meletakkan dasar bagi perkembangan ilmu antropologi di Indonesia, melainkan juga karena sikap keilmuannya yang tekun. Walaupun sebetulnya buku ini dimaksudkan juga untuk mengungkapkan pengaruh Koentjaraningrat terhadap perkembangan antropologi di Indonesia, namun hal ini tidak terlalu terungkap di dalam buku ini. Salah satu jasanya yang amat dikenang oleh para mantan mahasiswanya adalah kesungguhannya dalam menyiapkan kader-kader penerus. Koentjaraningrat adalah seorang ‘penabur benih’ yang dengan jiwa besar dan sikap terbuka merelakan tumbuh kembangnya pelbagai minat, kajian dan pendekatan di kalangan generasi penerusnya tanpa memaksakan pandangan dan pendiriannya. Dalam ungkapan penulis buku ini, Koentjaraningrat adalah seorang ‘guru sejati yang tidak menggurui’. Penggalan kisah tentang tumbuh kembangnya beraneka ragam ‘benih-benih antropologi’ inilah yang terasa kurang tersajikan dalam buku ini. Namun, bukti nyata pengaruh Koentjaraningrat itu tampak secara jelas dalam buku Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (E.K.M. Masinambow, peny., 1997). Kedua buah buku ini memang saling mengisi dalam memaparkan pribadi dan hasil karya Koentjaraningrat. Karena itulah, Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) meluncurkan dua buah buku ini sekaligus pada waktu yang bersamaan. Menarik pula kiranya untuk disimak bagaimana para kerabat antropologi menyiapkan buku ini dengan pelbagai upaya yang dilakukan dalam menyesuaikan keinginan yang luhur ini dengan situasi yang dihadapi masingmasing dalam tugasnya sehari-hari. Penulis buku ini, Frieda, ingin menyampaikan kisah-kisah perjalanan penyiapan buku ini yang sebenarnya tidak dilaksanakannya seorang diri. Banyak kerabat antropologi yang mengulurkan tangan dan waktu yang dimilikinya demi terwujdnya ‘ungkapan kasih mereka yang tulus’. Frieda menuturkan bahwa: Pada mulanya, ide dasar yang dimiliki para kerabat adalah menerbitkan sebuah buku biografi tentang Koentjaraningrat yang diolah dari hasil wawancara para kerabat, sahabat, kolega dan mantan mahasiswanya. Untuk keperluan itu, pengumpulan data direncanakan akan dilakukan oleh empat kelompok yang masing-masing akan menuliskan satu bab, yakni bab Kerabat, bab Sahabat, bab Kolega, dan bab Mantan Mahasiswa. Nama seorang kerabat dicantumkan sebagai penyunting akhir yang bertugas menggabungkan semua bab itu menjadi cerita dengan gaya bahasa yang menarik. Dalam waktu empat bulan diharapkan semua data sudah dapat diperoleh dan penulisan masingANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
19
masing bab dapat dimulai agar buku biografi dan buku ilmiah dapat dipersembahkan pada Koentjaraningrat pada pelaksanaan Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan serta Kongres Asosiasi Antropologi Indonesia di Jakarta pada bulan Agustus 1997. Waktu pun berlalu. Surat-surat mulai dikirimkan ke seantero Indonesia dan mancanegara untuk meminta sumbangan tulisan dan artikel untuk kedua buku itu. Artikel untuk buku ilmiah mulai masuk ke sekretariat AAI sedikit demi sedikit, sehingga Edi Masinambow pun mu lai dapat bekerja menyunting naskah-naskah yang masuk. Sumbangan tulisan dan hasil wawancara untuk buku bibliografi ternyata agak terhambat. Hanya beberapa surat berisi kenangan terhadap Koentjaraningrat yang diterima oleh sekretariat AAI, sementara wawancara terhadap sahabat, kolega dan mantan mahasiswa pun terhambat dan tersendat-sendat, karena banyaknya penelitian ke daerah yang harus dilakukan oleh para kerabat. Toeti Kakiailatu, yang diminta untuk menyunting buku biografi itu mulai merasa tidak sabar, karena ybs. sudah harus berangkat ke Jepang untuk tugas pekerjaannya. Akhirnya, naskah-naskah untuk dua bab: bab Kerabat dan bab Mantan Mahasiswa serta beberapa catatan lepas hasil wawancara Toeti sendiri, Semiarto Aji Purwanto dan Sunjaya mulai terkumpul. Namun, terasa tak mudah juga menyatukan dan menyunting naskah untuk kedua bab itu menjadi satu cerita yang utuh. Deadline penulisan buku datang dan berlalu. Widyakarya nasional dan kongres AAI juga datang dan berlalu tanpa peluncuran buku. Tanpa direncanakan, ternyata saya–yang memiliki banyak ‘waktu luang’ dibandingkan kerabat-kerabat lain yang harus mengajar, meneliti dan bekerja full-time–secara lambat laun mulai mengolah data dan tulisan yang tersedia sehingga akhirnya siap menjadi sebuah buku. Meutia Swasono yang akhirnya menangani dan menulis bab Mantan Mahasiswa kemudian merelakan tulisannya untuk dibongkar dan disusun kembali agar dapat disesuaikan dengan alur cerita yang telah dibuat berdasarkan data yang tersedia. Buku ‘Prof.Dr. Koentjaraningrat: Tanam Satu Tumbuh Seribu’ yang disunting oleh Meutia F. Swasono dan diterbitkan oleh Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial-Ilmu Politik, Universitas Indonesia tahun 1988, menjadi sumber utama untuk diolah dalam bab khusus tentang Jurusan Antropologi dan Dosen:
20
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
“Tanam Satu Tumbuh Seribu”. Saya mencarikan data tambahan untuk melengkapi bagian-bagian yang terasa ‘ompong’ dan ‘kurus’. Kira-kira setahun setelah rencana semula, naskah pertama buku biografi tentang Koentjaraningrat ini pun rampung. Meutia menyarankan dan sekaligus menuliskan catatan mengenai kehidupan keagamaan Koentjaraningrat. Ia bahkan menyesuaikan gaya bahasa penulisannya, sehingga tulisan itu dapat diolah kembali dengan perubahan minimal. Kartini Sjahrir ikut membaca dan menuliskan catatan untuk mengakhiri buku ini. Ia pun menyesuaikan gaya bahasanya untuk memudahkan pekerjaan yang harus saya emban. Edi Masinambow pun membaca dan menyumbangkan komentar, kritik dan berbagai keterangan yang masih terasa kurang lengkap. Karena sebagian besar tulisan diwarnai oleh gaya bahasa saya dan sayalah yang menyusun kerangka ceritanya, maka beberapa kerabat sepakat apabila saya yang akhirnya dianggap sebagai penulis buku ‘Corat-coret Koentjaraningrat’. Namun, saya sebetulnya hanya menulis sebagian saja, terutama mengenai Koentjaraningrat pribadi. Selebihnya, saya meramu dan meracik bahan-bahan yang disediakan oleh banyak kerabat. Dalam pekerjaannya sebagai ahli antropologi, Koentjaraningrat kerap mendengungkan istilah ‘gotong-royong’ sebagaimana tercetus dalam kuliahkuliahnya dan terungkap dalam beberapa karya ilmiahnya. Ternyata, dalam penulisan biografinya, konsep itulah yang menjadi konsep kunci dalam perwujudan kerja para kerabat antropologi. Bahkan, judul buku yang akhirnya terumuskan sebagai: Corat-coret Koentjaraningrat ini pun merupakan hasil gotong-royong dan brainstorming di antara kerabat yang kerap berkumpul di sekretariat AAI!
Para generasi penerus antropologi yang tidak berkesempatan menjadi murid-murid Koentjaraningrat tentulah dapat memetik manfaat dari kehadiran buku ini dalam upaya mengenali diri sosok pendekar antropologi Indonesia. Dalam situasi langkanya tokoh nasional yang dapat menjadi panutan dewasa ini, Corat-coret Koentjaraningrat terasa meniupkan hembusan angin segar bagi kawula muda bangsa Indonesia yang sedang bertumbuhkembang mencari jati dirinya. Corat-coret Koentjaraningrat kini tersedia di toko-toko buku dengan harga Rp. 20.000,- dan dapat diperoleh di sekretariat AAI: Jl. Probolinggo no. 4, Jakarta dengan potongan harga 30% bagi anggota AAI.
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
21