Analisis Sejarah
Volume 03 Tahun 2013
Rahmah el Yunusiyyah (1900-1969): Wanita Pejuang dan Pendidik dari Ranah Minang Sebagaiah S
Ari Febrianto
Abstrak Walaupun memiliki keterbatasan dan dianggap gagal dalam situasi kekinian, Rahmah mampu memperjuangkan nasib kaum perempuan ditengah tekanan adat. Ia adalah seorang perempuan pejuang yang telah mengabdikan hidup dan kehidupannya serta kekayaannya demi kaum, bangsa, agama, dan tanah airnya. Bermacam-macam gelar diberikan masyarakat kepadanya, seperti “Kartini dari Perguruan Islam”, “Pendidik Wanita Islam”, Pejuang Wanita Islam Indonesia”, “Kartini Gerakan Islam”, dan sebagainya. Di satu sisi, Rahmah lebih beruntung dari Kartini, karena ia dapat merasakan betapa pahitnya penderitaan perempuan di zaman Belanda, Jepang, dan kemerdekaan. Ia dapat melihat ada perempuan yang menjadi menteri, pemimpin masyarakat, pemimpin agama, dan aspek-aspek lainnya. Ia sendiri bahkan merasakan duduk sebagai anggota DPR hasil Pemilu 1955 sebagai utusan dari Sumatera Tengah mewakili Partai Masyumi. Berdirinya Diniyah Putri adalah hasil kerja keras dan perjuangannya menentang adat dan tradisi yang belum sepenuhnya mendukung emansipasi di Minangkabau.
* Ari Febrianto, penulis, peneliti di Lab Sejarah, FIB Unand, saat ini merupakan mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang.
86 |
Analisis Sejarah Pengantar Sejak era reformasi, gerakan emansipasi perempuan di berbagai bidang terus menguat. Gerakan kaum hawa ini tak hanya menuntut persamaan hak-haknya dengan lakilaki di sektor domestik (rumah tangga), tapi juga peningkatan peranan di berbagai sektor publik, khususnya sosial, budaya, ekonomi dan politik. Secara historis, gerakan emansipasi ini memiliki akar sejarah cukup panjang di Indonesia. Sejarah nasional mencatat R.A. Kartini sebagai salah satu pelopor kemajuan kaum perempuan di awal abad 20, dengan ide-ide progresifnya. Banyak perempuan pada zamannya maupun sesudahnya kemudian terinspirasi dengan sepak terjang Kartini. Namun, sebenarnya masih ada beberapa tokoh perempuan lain yang tidak kalah hebatnya, tetapi gaungnya kurang terdengar, termasuk di kalangan kaum perempuan sendiri. Salah satunya adalah Rahmah El Yunusiyyah (1900-1969), tokoh pendidik sekaligus pejuang kemerdekaan dari Padangpanjang, Sumatera Barat. Jika dikaji, kepeloporannya bisa juga menginspirasi kaumnya dan bahkan bangsa ini. Rahmah dikenal tidak hanya karena ia mencoba menentang tradisi patriarki, tapi juga mampu mewujudkan impiannya itu lewat pendirian lembaga pendidikan yang mengakomodasi pemberdayaan perempuan. Dengan mendirikan Diniyah Putri 1 November 1923, ia hendak menunjukkan kepada dunia, bahwa perempuan juga bisa berkarya seperti laki-laki.1 Bisa dikatakan, Diniyah Putri merupakan salah satu 1
Isnaniah Saleh et al., Peringatan 55 Tahun Diniyah Putri PadangPanjang. hlm 42-44.
Volume 03 Tahun 2013
milestone (tonggak penting) gerakan kaum perempuan Indonesia. Indonesia memiliki sejumlah tokoh perempuan yang berperan di berbagai bidang, seperti ekonomi, budaya, sosial, politik, dan pendidikan. Namun tulisan ini hanya merefleksi salah satu tokoh perempuan, yakni Rahmah El Yunusiyyah, pendiri Diniyah Putri Padangpanjang. Penulis membahas antara lain tentang bagaimana latarbelakang munculnya gerakan kaum perempuan di Minangkabau awal abad ke-20, di mana Rahmah menjadi salah satu tokoh utamanya; usaha-usaha apa saja yang dilakukan Rahmah saat merintis dan memajukan Diniyah Putri; dan bagaimana kondisi Diniyah Putri sepeninggal Rahmah hingga dewasa ini. Masa Kecil Rahmah el Yunusiyyah Sebagai aktor sejarah, Rahmah tentu tidak hidup di ruang hampa. Kiprah, pemikiran dan tindakannya pastilah dipengaruhi lingkungan sosial dan budaya di mana ia hidup. Rahmah dilahirkan di Padangpanjang 29 Desember 1900. Ia merupakan putri bungsu dari pasangan Rafi’ah dan Syekh Muhammad Yunus.2 Empat kakak Rahmah adalah Zainuddin Labay El Yunusy (18901924),3 Maria (1893-1972), Muhammad Rasyad (1895-1956), dan Rihanah (1898-1968).
2
Syekh Muhammad Yunus, seorang ulama Naqsabandiyah dari Pandai Sikek, Tanah Datar. Lihat Aminuddin Rasyad dalam Taufik Abdullah eds, Manusia Dalam Kemelut Sejarah. (Jakarta: LP3ES, 1983). 3 Zainuddin Labay, seorang ulama pembaru pendidikan. Dengan mendirikan Diniyah School pada tanggal 10 Oktober 1915 di Padangpanjang. Lihat Peringatan 55 tahun... hlm. 42.
87 |
Analisis Sejarah Di masa kecil Rahmah dikenal sebagai anak keras dan bandel, tapi berkemauan tinggi. Rahmah juga rajin dan tekun dalam bekerja, tercermin dari pekerjaan yang ia sukai, yaitu memasak, menjahit baju dan berbagai macam kerajinan tangan lainnya. Pada saat Rahmah berumur 6 tahun ayahnya meninggal. Ia kemudian diasuh ibu dan kakakkakaknya dalam lingkungan keluarga yang taat. Inilah kondisi yang membentuk Rahmah sosok yang tegar dan memiliki karakter yang kuat. Rahmah ternyata tumbuh menjadi gadis remaja yang pendiam. Ia tidak sempat sekolah formal, tapi belajar membaca-menulis dari kedua kakak laki-lakinya. Sejak usia 10 tahun ia mulai pula ikut pengajian-pengajian di surau-surau.4 Ketika kakaknya Zainuddin mendirikan Diniyah School, Rahmah pun belajar di sana. Selain belajar ilmu agama, Rahmah juga menekuni ilmu kebidanan dan ilmu kesehatan. Ia mendapatkan ilmu ini dari para dokter di rumah sakit di Kayu Tanam, Bukittinggi dan Padangpanjang. Ia juga mempelajari ilmu hayat, ilmu alam, ilmu bumi dan bahkan sempat belajar gimnastik dengan orang Belanda yang bernama Nona Oliver. Rahmah, Islam dan Tradisi Manusia memang tidak sempurna. Kemampuan seseorang ada juga batas dan kendalanya, termasuk Rahmah. Dalam perspektif kekinian, Rahmah bisa saja dinilai “gagal”. Betapa tidak, Rahmah menikah di usia 16 tahun, suatu usia yang tergolong remaja. Ia dinikahkan dengan seorang ulama muda yang bernama Haji
Volume 03 Tahun 2013
Bahaudin Latif, anak seorang ulama Thariqat Naqsabandiyah dari Nagari Sumpur. Namun usia pernikahan itu hanya 6 tahun saja dan harus berakhir dengan perceraian. Sekalipun demikian, Rahmah tetap dikenang sebagai perempuan pionir. Ia justru bisa melakukan terobosan bagi kaum perempuan di tengah lingkungan adat dan tradisi yang belum sepenuhnya mendukung emansipasi, walaupun secara tekstual adat Minang dan Islam menempatkan perempuan secara terhormat. Menurut adat Minangkabau yang bersistem matrilineal, menarik keturunan berdasarkan garis keturunan ibu, perempuan menjadi perantara karena menjadi pembentuk karakter manusia untuk melanjutkan keturunannya. Di daerah ini, seorang perempuan dilambangkan dalam berbagai ungkapan yaitu: Bundo kanduang, limpapeh rumah gadang, sumarak di dalam kampuang, hiasan dalam nagari (Bunda kandung, bunga rumah besar, semarak di dalam kampung, hiasan dalam negeri). Seorang perempuan selain sebagai istri dan ibu, juga pemegang harta pusaka.5 Tapi di sisi lain kita melihat kedudukan perempuan dari sudut pandang Islam yang agak berbeda. Dalam Islam, seorang perempuan hanya menerima separoh dari harta warisan yang diterima laki-laki. Dalam pelbagai praktiknya, Rahmah nampaknya beradaptasi baik dengan ketentuan tradisi maupun agamanya sendiri. Mendirikan Diniyah Putri Jiwa progresif Rahmah sudah terlihat sejak muda. Dalam memori 5
4
177.
Lihat dalam Peringatan 55 tahun... hlm.
Abbas Husein: Dt. Majo Indo (Penghulu Pucuak Suku Adat Kutiaanyia). Pegangan dan Petunjuk Bagi Penghulu Padang: Noriez Offset. hlm. 12-13 dan 28.
88 |
Analisis Sejarah hidupnya di masa remaja, saat bersekolah di Diniyah School, terlihat keinginan Rahmah memajukan perempuan lewat medium pendidikan. Dalam catatan hariannya Rahmah berdoa: “Ya Allah ya Rabbi, bila dalam ilmu-Mu apa yang menjadi citacitaku ini untuk mencerdaskan anak bangsaku terutama anakanak perempuan yang masih jauh tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya dan Engkau ridhai, maka mudahkanlah ya Allah jalan menuju cita-citaku itu. Ya Allah, kalau dalam ilmu-Mu kehidupan rumah tanggaku dan kehidupanku sebagai istri masih ada baiknya untukku sekarang dan masa depanku, maka kehendak-Mu jualah yang akan berlaku, tapi bila tidak ada baiknya lagi untuk dilanjutkan, maka kuasa-Mu jualah yang akan memberikan keputusan bagi kelanjutan hubungan kami, ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini” Amin6 Berawal dari ketidakpuasan Rahmah menerima pendidikan dari Diniyah School ternyata berdampak pada langkah Rahmah selanjutnya. Ia pun mencari tempat belajar di luar Diniyah, yaitu di Surau Jembatan Besi dengan seorang ulama besar Minang saat itu, Syekh Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka. Namun, lagilagi, ia tak sepenuhnya menemukan apa yang ia inginkan. Ia merasakan banyak ketidakadilan atas perempuan. Kesempatan belajar bagi perempuan tidak disamakan dengan laki-laki. Kenyataan inilah yang membuat 6
Peringatan 55 Tahun … hlm. 40.
Volume 03 Tahun 2013
Rahmah berfikir untuk mendirikan sekolah khusus untuk kaumnya. Rahmah beruntung, karena idenya mendapatkan dukungan dari kakaknya Zainuddin Labay dan teman-teman putrinya di organisasi Persatuan Murid-murid Diniyah School 7 (PMDS). Pada 1 November 1923, di Padangpanjang, berdirilah sebuah sekolah agama khusus untuk perempuan yang pertama di Sumatera, bahkan di Indonesia, yang diberi nama Meisjes Diniyah School, yang kemudian kita kenal dengan nama Diniyah School Putri, dengan Rahmah El Yunusiyyah sebagai pimpinannya.8 Pada permulaan berdiri Diniyah Putri, murid-murid yang terdaftar 71 orang. Sebagian besar wanita berumahtangga. Tempat belajarnya salah satu ruangan di Masjid Pasar Usang, Padangpanjang. Proses pendidikan dimulai dengan fasilitas dan metode sederhana sekali, yaitu murid-murid duduk di lantai sambil mengelilingi guru. Ini yang disebut sistem halaqah. Kurikulum dan materi pelajaran adalah pengetahuan umum dan bahasa Arab ditambah dengan keterampilan praktis, seperti menjahit. Nampak di sini Diniyah Putri tidak hanya berorientasi pengetahuan umum dan keterampilan, tapi juga religiusitasnya. Murid Diniyah Putri harus bisa menjaga kepribadiannya sebagai Muslimah dalam prilaku sehari-hari termasuk berpakaian. Ia mengatakan: “Tidak mengajak kolot berpingit dan tidak pula mengajak “modern” bertelanjang9…..! 7 Lihat Witrianto, Dari Surau ke Sekolah: Sejarah Pendidikan Padang Panjang 1904-1942, Tesis (Yogyakarta: PPS UGM, 2000), hal 176186. 8 Buku 55 tahun Diniyah Putri… hlm. 44, 180. 9 Dikutip dalam 55 tahun… hlm. 194.
89 |
Analisis Sejarah Dinamika Perkembangan Diniyah Putri Hanya 2 tahun di masjid, selanjutnya Diniyah Putri pindah ke tempat barunya di sebuah rumah bertingkat di kawasan Pasar Usang. Rahmah pun menambah perlengkapan sekolah dengan bangku, meja, dan papan tulis, namun semuanya baru bisa disewa.10 Perguruan ini kemudian kian menarik perhatian. Banyak berdatangan murid-murid dari luar Padangpanjang menimba ilmu di sana. Perguruan ini juga menerima ibu rumahtangga yang masih buta huruf. Mereka disediakan kelas khusus dengan materi utama baca tulis huruf Latin dan mengaji Alquran. Pendidikan khusus untuk ibu-ibu ini terkenal dengan nama “Sekolah Menyesal”, karena sekolah ini disediakan untuk perempuan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar dan tidak bisa baca tulis. Pada tahun-tahun permulaan jumlah guru hanya empat orang, yaitu Rahmah El Yunusiyyah sendiri yang merangkap sebagai pimpinan perguruan, Darwisah, Nanisah, dan Jawana Basyir. Waktu belajar untuk anak-anak perempuan adalah sore hari (pagi hari mereka belajar di Diniyah School) dan untuk kaum ibu rumahtangga pada malam hari. Kemajuan pesat yang dialami oleh perguruan ini, menimbulkan gagasan baru untuk mendirikan suatu gedung sekolah berikut asramanya lengkap dengan peralatan sebagai lembaga perguruan modern dan asrama dari suatu perguruan yang
Volume 03 Tahun 2013
mempunyai murid-murid perempuan.11 Namun demikian, perjalanan yang ditempuh Rahmah dalam mengembangkan Diniyah Putri tidak selalu mudah. Tantangan pertama yang harus dihadapi Rahmah adalah wafatnya orang yang selama ini menjadi tulang punggung dan penyemangat baginya, yakni Zainuddin Labay.12 Kakaknya itu wafat 10 Juli 1924. Gempa bumi besar yang melanda Padangpanjang tahun 1926, juga menjadi tantangan tersulit. Nanisah, guru Diniyah Putri, ikut menjadi korbannya. Pada tahun 1927 digerakkanlah usaha mengumpulkan dana. Untuk maksud ini berangkatlah Rahmah ke luar Sumatera Barat. Ia tidak sampai hati memberatkan masyarakat Padangpanjang yang juga mengalami nasib yang sama dilanda gempa besar. Ia mengadakan perjalanan pada Agustus 1927 menuju Sumatera Utara. Di daerah ini, uang yang diperolehnya dalam perjalanannya selama tiga bulan adalah 1.569 gulden13. Inilah modal pembangunan gedung baru Diniyah Putri. Gedung ini baru diresmikan pada pertengahan bulan Agustus 1929. Pemerintah kolonial Belanda juga “tertarik” melihat kemajuan perguruan ini, karena pengaruhnya terhadap masyarakat di dalam dan di luar daerah. Belanda menawarkan subsidi dan “perlindungan” untuk Diniyah Putri tapi Rahmah menolaknya.14 Ia khawatir jika tawaran itu diterima, Belanda bisa 11
Buku 55 tahun Diniyah Putri…, hlm.
12
Buku 55 tahun Diniyah Putri…, hlm.
44. 181.
10
Hasniah Saleh, Dra. Hjh. Isnaniah Saleh Pengemban, Pelanjut Cita-cita, dan Perjuangan Rahmah El Yunusiyah (Padang: PD Grafika, 1996)
13
Boekoe Peringatan 15 Tahun: Dinijjah School Poeteri Padang Pandjang (Padangpanjang: Dinijjah School Poeteri, 1938), hlm. 13. 14 Peringatan 55 …, hlm. 45.
90 |
Analisis Sejarah membelokkan tujuan Diniyah Putri. Padahal prinsipnya adalah kemandirian. Nampaknya Rahmah ingin membuka mata masyarakat, bahwa perempuan pun punya prinsip. Akibatnya, perguruan ini pun sering dimata-matai Pemerintah Kolonial untuk mencari kesalahan yang dapat dijadikan alasan untuk mengambil sesuatu tindakan politis. Kekhawatiran Belanda ini sebenarnya cukup beralasan. Intel Belanda, PID (Politieke Intelligent Dienst), melaporkan bahwa pada tahun 1930, Rasuna Said, seorang tokoh perempuan anti-kolonial dari Maninjau, mengajarkan politik di sekolah wanita itu.15 Pada tahun 1933 perguruan ini bahkan kemudian digeledah oleh PID untuk mencari buku yang berjudul Ur Watul Wutsqa (Membangkitkan Semangat), teks lagu Indonesia Raya, dan buku-buku politik lainnya.16 Dalam penggeledahan ini, tiga guru wanita perguruan yaitu Kanin RAS, Chasjiah AR, dan Siti Adam Addarkawi dilarang mengajar.17 Selanjutnya, setelah berjalan 13 tahun, maka dirasakan perlunya untuk mengembangkan Diniyah Putri lebih lanjut untuk mencukupi kebutuhan kaum wanita Islam pada masa itu. Untuk itu pada 1 Februari 193718 sekolah Diniyah Putri dibagi menjadi empat bagian, yaitu:19 1) Vaksschool, sekolah untuk belajar menjahit bagi kaum wanita.
15
Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942…, hlm. 64. 16 Peringatan 55 Tahun…, hlm. 47. 17 Hasniah Saleh. Dra. Hjh. Isnaniah Saleh... hlm. 368. 18 Boekoe Peringatan 15 Tahun... hlm. 21. 19 “Sekolah Diniyah di Padang Pandjang”. Artikel Majalah Isteri Indonesia No. 5 Th. 1941, Hlm. 6-7.
Volume 03 Tahun 2013
2) Madrasah Mu’allimaat, sekolah untuk mendidik guru-guru agama putri. 3) Sekolah umum, untuk mempelajari ilmu umum. 4) Sekolah yang semata-mata mempelajari agama. Klasifikasi di Diniyah Putri ini dalam rangka mengantisipasi besarnya minat masyarakat terhadap sekolah khusus perempuan pertama ini. Namun, setelah berhasil mendirikan dan memajukan perguruan khusus kaumnya Rahmah ternyata masih menginginkan sesuatu yang lebih untuk bekal bagi seorang perempuan, ada beberapa harapan yang sampai hayatnya tidak sempat terlaksana, yaitu:20 1) Membangun perguruannya yang bisa menampung 2000 orang siswi. 2) Mendirikan Universitas Islam perempuan dengan Fakultas yang lengkap. 3) Mendirikan Rumah Sakit khusus perempuan. Rahmah dan Politik Rahmah ternyata tidak hanya menjadi pelopor dalam pendidikan bagi kaumnya, tapi juga menjadi bagian dari dunia politik, terbukti dengan keterlibatannya dalam kancah perpolitikan di masa kolonial dan merdeka. Jika politik diartikan secara luas, maka saat pendirian dan pengembangan Diniyah Putri saja Rahmah sudah harus berpolitik, seperti terlihat saat ia menolak tawaran pemerintah Belanda membantu Diniyah Putri. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Rahmah bersama beberapa perempuan lainnya di Sumatera Tengah mendirikan Anggota 20
Buku 55 tahun.…, hlm. 191-192.
91 |
Analisis Sejarah Daerah Ibu (ADI)21 yang bertujuan menentang pemerintah Jepang mempergunakan perempuanperempuan lokal untuk dijadikan wanita penghibur (jugun ianfu) tentara Jepang. Selain itu, Rahmah juga menjadi ketua Ha ha Nokai dari Gyugun Ko En Kai di Sumatera Tengah atau “Organisasi Kaum Ibu” di Padangpanjang.22 Didirikan untuk membantu para pemuda Indonesia yang berada dalam pasukan Gyugun agar dapat dijadikan alat perjuangan bangsa. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta, Rahmah pun segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman perguruannya. Dialah orang pertama di Padangpanjang yang mengibarkan bendera Merah Putih saat itu yang kemudian menjalar ke seluruh pelosok kota dan sekitarnya. Pada 2 Oktober 1945, Rahmah mempelopori berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padangpanjang dengan mengumpulkan laskar Gyugun. Pembentukan TKR dengan biayanya sendiri. Sementara semua kebutuhan TKR disediakan oleh para ibu yang pernah tergabung dalam Ha Ha Nokai, sehingga gelar yang diberikan masyarakat adalah “Bundo Kanduang” dari barisan perjuangan. Awal 1949 terjadi Agresi Belanda II, Rahmah dan tentara RI melakukan gerilya dengan mendirikan dapur umum. Tetapi, pada 7 Januari 1949, ia dapat ditangkap Belanda dan dibawa ke Padang. Di kota ini ia ditahan dalam rumah seorang pejabat kepolisian Belanda dengan mendapat 21 22
Buku 55 Tahun…, hlm. 186. Aminuddin Rasyad... hlm. 60
Volume 03 Tahun 2013
penjagaan ketat. Rahmah tidak pernah diproses verbal atau diinterogasi. Ia baru meninggalkan Padang setelah diizinkan Belanda untuk menghadiri Konggres Pendidikan Antar Indonesia di Yogyakarta bulan Oktober 1949 dan dari sana langsung pulang ke Padangpanjang. Pada 1955 Rahmah terpilih sebagai salah seorang anggota DPR utusan Sumatera Tengah dari Partai Masyumi.23 Juni 1957 Rahmah berangkat menunaikan haji dan memenuhi undangan beberapa negara di Timur Tengah, yaitu Suriah, Libanon, Yordania, Irak, dan Mesir. Di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, Rahmah dianugrahi gelar kehormatan “Syaikhah” yang selama ini belum pernah diberikan kepada seorang perempuan pun di dunia.24 Rahmah bukanlah sosok sempurna. Dalam politik ia pernah terlibat PRRI (1958-1961) yang barangkali menjadi pertimbangan pemerintah pusat untuk belum mengangkat Rahmah sebagai pahlawan nasional. Aneh rasanya, ternyata Sjahrir dan Natsir diberikan gelar pahlawan nasional yang juga terlibat PRRI. Di usia senjanya, kecintaan Rahmah pada Diniyah Putri dibuktikan dengan usahanya agar perguruan itu tidak mati setelah ia meninggal nantinya. Saat bertemu Gubernur Harun Zein, Februari 1969. Ia mengatakan: “Pak Gubernur, nafas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai dileher. Tolonglah Pak Gubernur dilihat-lihat dan
23
Mestika Zed (et al.), Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm. 133. 24 Lihat dalam 55 Tahun ...hlm. 195.
92 |
Analisis Sejarah diperhatikan Sekolah Diniyah Puteri itu.”25 Akhirnya menjelang Maghrib, Rabu, 26 Februari 1969, Rahmah berpulang ke Rahmatullah dalam usia 71 tahun. Kepergian Rahmah menjadi kehilangan besar, khususnya bagi rakyat Sumbar. Atas perintah Gubernur Harun Zein, masyarakat Sumbar pun menaikkan bendera setengah tiang selama tiga hari di masjid dan surau-surau seluruh daerah itu sebagai tanda ikut berduka cita atas wafatnya “syaikkah” kebanggaan mereka. Merawat Warisan Rahmah: Diniyah Putri Dewasa ini Bagaimanapun, Rahmah telah meninggalkan warisan (legacy) yang berguna tidak hanya bagi Sumbar tapi juga bangsa Indonesia, khususnya kaum perempuan. Ialah pendiri sekaligus pimpinan Diniyah Putri sejak berdiri tahun 1923 sampai 1969. Setelah Rahmah wafat, perguruan itu selanjutnya dipimpin oleh Isnaniah Saleh (1969-1990), Husainah Nurdin (1990-1996), Zikra, (1998-September 2006). Diniyah Putri sekarang dipimpin oleh Fauziah Fauzan. Fauziah merupakan cicit dari Rahmah. Pasca-Rahmah hingga kini, Diniyah Putri terus berbenah. Lembaga ini kemudian melakukan pengembangan teknologi, training pendidikan dan skill guru, publikasi dan menggalakkan hapalan Quran bagi semua siswi.26 Pengembangan teknologi informasi, misalnya, dilakukan dalam rangka penyesuaian eksistensi Diniyah Putri sebagai
Volume 03 Tahun 2013
perguruan modern bagi kaum perempuan, agar tidak tertinggal dari sekolah-sekolah lain. Kesimpulan Rahmah El Yunusiyyah (19001969) adalah seorang perempuan pejuang yang telah mengabdikan hidup dan kehidupannya serta hartanya demi kaum, bangsa, agama, dan tanah airnya. Bermacam-macam gelar diberikan masyarakat kepadanya, seperti Kartini dari Perguruan Islam, Pendidik Wanita Islam, Pejuang Wanita Islam Indonesia, Kartini Gerakan Islam, dan sebagainya. Di satu sisi, Rahmah mungkin “lebih beruntung” dari Kartini dan Cut Nyak Dien, karena ia dapat merasakan betapa pahitnya penderitaan perempuan di zaman Belanda, Jepang, dan awal kemerdekaan, tapi ia dapat melihat ada perempuan Indonesia yang kemudian menjadi menteri, pemimpin masyarakat, pemimpin agama, dan aspek-aspek lainnya. Ia sendiri bahkan pernah duduk sebagai anggota DPR hasil Pemilu 1955 sebagai utusan dari Sumatera Tengah mewakili Partai Masyumi. Rahmah telah memberi inspirasi, bagi perempuan, melintasi zaman. Semoga di masa mendatang akan muncul perempuan-perempuan Indonesia yang mengikuti Rahmah El Yunusiyyah dalam memperjuangkan kaum perempuan, bangsa, dan tanah airnya dengan semangat yang membara tanpa mengharapkan balas jasa. []
25
Lihat 55 Tahun…, hlm.192. Wawancara dengan Fauziah Fauzan, Pimpinan Perguruan Diniyah Putri. Sabtu, 4 Juni 2011 di Padangpanjang. 26
93 |
Analisis Sejarah
Volume 03 Tahun 2013
DAFTAR PUSTAKA A. Buku dan Makalah Abdullah, Taufik. 1983. ”Sebuah Pengantar”, dalam Taufik Abdullah, Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3S. Ajisman, dkk. 2002. Rahmah El Yunusiyah: Tokoh Pembaharu Pendidikan dan Aktivis Perempuan di Sumatera Barat. Padang: Badan pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Anatona. 2009. Rahmah El Yunusiyah: Tokoh Pendidik Minang. Padang: makalah disampaikan dalam Seminar Peran Ketokohan Buya Hamka, Mr. Asaat dan Rahmah El Yunusiyah. Boekoe Peringatan 15 Tahoen: Dinijjah School Poeteri Padang Pandjang. Padangpanjang: Dinijjah School Poeteri, 1938. Buku Biografi. 1991. Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy (Dua bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia): Riwayat Hidup, Cita-cita, dan Perjuangannya. Padangpanjang: Pengurus Perguruan Diniyah Puteri Perwakilan Jakarta. Cantor, Dorothy W. & Toni Bernay. 1998.Women in Power: Kiprah Wanita dalam Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Erdinal. 1993. Persatuan Murid-murid Diniyah School Di Padangpanjang 1922-1934, Skripsi, Padang: Universitas Andalas. Goenadi, Anggi V dan Thantien Hidayati. 2009. Revitalisasi Pencitraan Kepemimpinan dalam Lembaga Pendidikan Islam (Kiprah Perjuangan Pendiri Madrasah Diniyah Putri Pertama Di Indonesia: Syaikhah Rahmah El Yunusiyah. Kumpulan makalah dalam Konferensi Nasional Lapis-PGMI Kepemimpinan Perempuan dalam Pendidikan Islam 26-28 Mei 2009. Surabaya: LAPIS-PGMI. Hasniah, Saleh. 1996. Dra. Hjh. Isnaniah Saleh Pengemban, Pelanjut, Cita-cita dan Perjuangan Rahmah El Yunusiah. Padang: PD. Grafika. Isnaniah, Saleh et al., 1978. Peringatan 55 Tahun Diniyah Putri Padangpanjang. Jakarta: Ghalia Indonesia. Mansur, M.D. 1972. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara Noer, Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES. ___________, 1991. Ummi Rafi’ah Ibunda Almarhum Zainuddin Labay dan Rahmah El Yunusiyah dalam Hj Rahmah El Yunusiyah dan Zainuddin Labay El Yunusy, Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyah Puteri Padangpanjang Perwakilan Jakarta. Rasyad, Aminuddin (et al.). 1991. H. Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy. Jakarta: Perwakilan Diniyyah Putri Padang panjang. Witrianto. 2000. Dari Surau ke Sekolah: Sejarah Pendidikan di Padangpanjang 19041942. Tesis, Yogyakarta: PPS UGM. Zed, Mestika (et al.). 1998. Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-199. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Zubir, Zusneli. 2011. Dari Pingitan hingga Karier: Perjalanan Tokoh Perempuan Minangkabau Menentang Tradisi. Yogyakarta: Eja Publisher.
94 |
Analisis Sejarah
Volume 03 Tahun 2013
B. Wawancara Fauziah Fauzan El M, S.E., Akt, M. Si. Pimpinan Perguruan Diniyah Putri dari tahun 2006 sampai sekarang. Sabtu, 4 Juni 2011, pada pukul 16.25 WIB. Ahmad Rifa’i. Kepala Humas dan Manajer Eksternal Perguruan Diniyah Putri (sekarang). Sabtu, 16 April 2011, pada Pukul 10.25 WIB. C. Internet Subhan, Muhammad. 26 September 2007. Diniyah Putri Padang Panjang: Menapaki Langkah Optimalkan Konsep Pendidikan Mutakhir, diunduh pada tanggal 12 April 2011, dari http://pewarta-kabarindonesia.blogspot.com. Padangpanjang, Perguruan Diniyah Putri Padangpanjang: lahirkan Muslimah Pilih Tanding, diunduh pada tanggal 12 April 2011 dari www.korandigital.com. Yayasan Darul Funun el-Abbasiyah, 2008. Zainuddin Labay el-Yunusi. Padang Japang, VII Koto Talago, 50 Kota, Sumatera Barat, diunduh pada tanggal 12 April 2011 dari www.darulfunun.tanjabok.com.
95 |