1
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT (Studi Kasus Talang Sari) Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. Email:
[email protected].
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia beratdan faktorfaktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat khususnya dalam kasus Talangsari.Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa: a. Pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat didasarkan pada hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi, yaitu setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (Ankum). Unsur pokok pertanggungjawaban komando atau atasan militer, yaitu: 1) ada pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berada dibawah komando atau pengendaliannya; 2) adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku; 3) adanya pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran; dan 4) komandan atau atasan dengan kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib.b. Faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat, yaitu 1)faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya komitmen semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersamasama menyelesaikan pelanggaran HAM berat; 2)sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukumproses penyelesaian pelanggaran HAM; 3) masyarakat yang kurang memahami dan kurang peduli dengan penegakan HAM. Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, atasan militer, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia
2
ANALYSIS OF CRIMINAL ACCOUNTABILITY MILITARY SUPERIORS THE COMMISSION OF A CRIME AGAINST HUMAN RIGHTS ABUSES HEAVILY (Case Studies Talang Sari) Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa’i, Tri Andrisman. Email:
[email protected].
ABSTRACT The purpose of this research is to find accountability criminal military superiors the commission of a crime against human rights abuses and the factors heavy an impediment to the completion of the criminal act of human rights abuses particularly acute in the case of Talangsari. The results of research and discussion showed that: a. Criminal accountability military superiors the commission of a crime against human rights abuses heavy based on hierarkhi the post of commander in organizational structure, which is that every military commander were responsible for the works that are done by his subordinates direct. This is in accordance with a principle immediate superior had a role as a boss who is authorized punish. Basic element of the accountability of a command or a superior military namely: 1) there is an offense or misdemeanor committed by those who are under the command; 2) to exist in subordination directly or indirectly between commanders by a doer; 3) commander the knowledge that his boys will, being or of having committed an offense; and 4) the commander or superiors with power that she had failed to put the prevention or stop or take action against and handed offenders to authorities. b. Factors an impediment to the completion of the criminal act of human rights abuses heavy, such as 1) factors law enforcement officials, namely a lack of commitment every element of government ranging from legislative and executive and judicial branches of resolve to work together in human rights violations heavy; 2) a means or a facility that support law enforcement process of resolving the human rights violation; 3) the people do not understand and less concerned with enforcement of human rights. keywords: criminal accountability, military superiors, and human rights abuses.
3
I. PENDAHULUAN Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan demikian membawa konsekuensi bahwa hukum hendaknya dapat dijadikan sebagai kerangka/landasan/dasar pijakan dalam mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan (hukum) dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, tentunya tak satu pun suatu institusi maupun personalnya, apakah itu militer (TNI), kepolisian (Polri), maupun sipil lainnya kebal terhadap ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku bila melakukan suatu tindak pidana kejahatan pada umumnya, termasuk didalamnya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Menurut Bambang Sunggono dan Aries Harianto, sebagai negara hukum, maka harus memiliki tiga ciri pokok sebagai berikut: a. Adanya pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya; b. Peradilan yang bebas, tidak memihak dan dipengaruhi kekuasaan lainnya; dan c. Menjunjung tinggi asas legalitas.1 Berbagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap HAM di 1
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hlm. 130
berbagai belahan dunia tanpa terkecuali Indonesia, bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat mudah untuk dilakukan, akan tetapi memerlukan suatu proses panjang yang di dalamnya setidaknya terkait dengan tiga variabel utama yang harus dipertimbangkan. Ketiga variabel tersebut adalah adanya dinamika internasional; instrumen hukum yang ada; dan bagaimana menentukan pendekatan terhadap warisan masa lalu.2 Upaya perampasan terhadap nyawa termasuk pula tindak kekerasan lainnya yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan bentuk pelanggaran HAM, bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang berlaku.3 Dalam sejarah perkembangan hukum, para pelaku pelanggaran HAM khususnya atasan militer dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando. Yang dimaksudkan dengan pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali efektifnya. 2
Sigit Riyanto, Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, (Yogyakarta: Majalah Mimbar Hukum No.38/VI/2001 FH-UGM, 2001), hlm. 53. 3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 76-77
2
Negara melalui pemerintahan yang sah dan berdaulat, merupakan pelindung utama masyarakat, Namun realitas seringkali menunjukkan adanya tindakan aparat keamanan cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran seperti contoh peristiwa Talang Sari, peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila.4 Pendekatan masalah yang digunakan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Nara sumber dalam penelitian ini adalah Kanit II Subdit Direktorat Reserse anggota Kominasi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah, yaitu klasifikasi, editing, interpretasi dan sistematisasi. Data yang diolah dianalisis secara kualitatif. Penarikan 4
http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%2 0Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul 14.27 WIB.
kesimpulan dengan menggunakan metode induktif.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Nara Sumber Peneliti dalam memperoleh informasi mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat khususnya dalam kasus Talangsarii, peneliti melakukan wawancara dengan nara sumber yang terdiri dari hakim, jaksa dan akademisi bidang hukum pidana, yaitu: 1. Dr. Maroni, S.H., M.H., yaitu akademisi dan Dosen Bagian Hukum Pidana FH Unila; 2. Shafruddin, S.H., M.H, yaitu praktisi dan dan Dosen Bagian Hukum Pidana FH Unila; dan 3. Kabul Supriyadhie, yaitu Anggota Komisioner Komnas HAM. B. Pertanggungjawaban Pidana Atasan Militer Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Pelanggaran hak asasi manusia dalam pandangan para pakar dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan, dan komisi kebenaran, untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia dengan pengadilan dimaksudkan untuk menjunjung rule of law dan keadilan.5 Undang5
Priyambudi Sulistiyanto, Keadilan Transisional di Indoneisa Pasca Soeharto: Kasus Pembantaian Tanjung Priok, Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume IV No I Tahun 2006, hlm. 20
3
Undang No. 26 Tahun 2000 mempunyai mandat untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, dengan kewenangannya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia barat di Indonesia, tetapi pada tatanan das sein tidak ada satupun pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang dijatuhkan sanksi oleh Pengadilan HAM, yang secara hukum berarti tidak pernah terjadi Pelanggaran HAM, sedangkan pada tatanan das sollen diatur apa saja yang merupakan Pelanggaran HAM Berat yang dituangkan dalam UndangUndang No. 26 Tahun 2000, yang meliputi kajahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Dengan unsur-unsur kejahatannya yang diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Tahapan penyelidikan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah kewenangan Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang hasilnya selalu merekomendasikan adanya pelanggaran HAM. Komnas HAM dalam menjalankan perannya melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang dibuktikan dengan rekomendasirekomendasi Komnas HAM dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Kejaksaan selalu menuntut adanya pelanggaran hak asasi manusia berat dalam tuntutannya dan selama ini dikarenakan tidak ada pilihan bagi kejaksaan dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia berat selain dengan tuntutan atas kejahatan terhadap kemanusiaan, dikarenakan hanya hal tersebut yang dapat dipergunakan dalam Undang-
Undang No. 26 Tahun 2000, selain ketentuan mengenai genosida yang tidak dapat diterapkan dalam kasuskasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pelanggaran HAM baik oleh Komandan Militer dan Atasan Sipil, maupun tersangka/terdakwanya dari anggota militer dan sipil, yang diadili berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, ternyata banyak yang dibebaskan atau dinyatakan tidak bersalah. Demikian pula masalah pertanggungjawaban pidana komandan militer berdasarkan Pasal 129 dan Pasal 132 Kitab UndangUndang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang menyatakan: a. Pasal 129 KUHPM: “Anggota tentara yang dengan sengaja, baik dengan melampaui batas kekuasaannya, maupun di dalam suatu keadaan yang asing bagi kepentingan dinas, memerintahkan kepada seorang bawahan untuk berbuat, tidak berbuat atau membiarkan sesuatu, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya dua tahun delapan bulan”. b. Pasal 132: “Seorang atasan militer yang sengaja mengizinkan seorang bawahan melakukan suatu kejahatan, atau yang menjadi saksi dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang bawahan dengan sengaja tidak mengambil sesuatu tindakan kekerasan yang diharuskan sesuai dengan kemampuannya”. Kemudian jika dihubungkan dengan Pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
4
Asasi Manusia (HAM), maka terdapat pasal yang mengatur tanggung jawab komandan militer atau atasan sipil yang ancaman pidananya lebih tinggi: (1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dan tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu: a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut
tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni: a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sanksi pidana yang diformulasikan berdasarkan Pasal 129 KUHPM paling lama hanya dua tahun delapan bulan, sedangkan Pasal 36 s.d. Pasal 40 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, bisa dipidana mati, seumur hidup, penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Tanggung jawab komando bukan tanggung jawab komandan terhadap kejahatan yang dilakukan secara pribadi, tetapi merupakan tanggung jawab komandan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya atau tanggung jawab atas keputusan yang diambil oleh komandan yang menimbulkan akibat terhadap orang lain. Untuk meminta pertanggungjawaban seorang komandan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh prajurit yang berada di bawah komando dan pengendaliannya perlu ada unsur keterlibatan (involvement), hubungan (connection) pengetahuan
5
(knowledge) atau maksud (intent) dari seorang komandan dengan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya tersebut.6 Menurut Muladi dapat diidentifikasi elemen utama dari pertanggungjawaban komando, yaitu: (1) adanya hubungan antara atasan dengan bawahan; (2) atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan; dan (3) atasan gagal untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan dan beralasan untuk mencegah tindak pidana atau menghukum pelaku. Hubungan atasan dengan bawahan bisa de jure de facto.7 Pelanggaran terhadap tugas atau dinas tersebut harus mempunyai hubungan langsung atau menjadi penyebab utama dari timbulnya kejatan. Dalam hal ini, kejahatan tidak akan terjadi kalau tidak terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dinas. Kemudian, komandan harus memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah terjadinya tindak pidana/kejahatan tersebut.8 Pertanggungjawaban atas sebuah pelanggaran HAM berat terdiri dari: 1. Pertanggungjawaban perorangan Pertanggungjawaban pidana perorangan adalah seseorang bertanggung jawab secara pidana dan dapat dikenai hukuman atas suatu pelanggaran HAM berat yang dilakukan sendiri. Termasuk di dalam hal ini adalah setiap orang 6
Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Centre, 2002), hlm. 280 7 Muladi, Op.cit. hlm. 283 8 Natsir Anshari, Op. Cit. hlm. 49
yang melakukan perbuatan Percobaan, permufakatan jahat dan perbantuan untuk melakukan pelanggaran HAM berat dipidana dengan pidana yang sama ketentuan bagi pelaku perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 2. Pertanggung jawaban komandan militer dan atasan sipil Komandan Militer Komandan militer dan atasan sipil dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pasukan atau anak buah yang berada di bawah komandonya. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 42 yaitu: Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan pelanggaran HAM berat tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat, dan ii. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
6
penyelidikan, penuntutan.
penyidikan
dan
Pertanggungjawaban Atasan Sipil Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni: i. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat; dan atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 3. Pertanggungjawaban Komando Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengertian tanggung jawab komando dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan: “Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada
di bawah komando pengendaliannya yang efektif.”
dan
Pasal 42 ayat (1) huruf (a) juga mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu Pasal 28 ayat (1) huruf (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kajahatan.” Selain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk “kealpaan” dan “kelalaian” dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: a. ia seharusnya mengetahui bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi dan dilakukan oleh bawahannya; b. ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan c. ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. Pengaturan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, permasalahan mengenai pertanggung jawaban
7
pidana diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40, yaitu: a. Mengenai kejahatan Genocida dengan cara 1 sampai 5 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan Genocida di atas yaitu dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pertanggungjawabannya dipidana penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. b. Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara 1 sampai 5 dan 10 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan diatas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. c. Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara No. 3 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan di atas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. d. Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara No. 6 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan di atas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. e. Mengenai kejahatan kemanusiaan dengan cara 7
sampai 9 yang diatur pada pembahasan jenis tindak pidana HAM mengenai kejahatan kemanusiaan diatas yaitu pertanggunjawabannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Tanggung jawab komandan militer berdasarkan hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi TNI adalah setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (ANKUM). Sebagai contoh, Komandan Batalyon sebagai atasan langsung dari Komandan Kompi, sedangkan Komandan Kompi merupakan atasan langsung dari Komandan Peleton, dan Komandan Peleton sebagai atasan langsung dari Komandan Regu. Komandan regu bertanggung jawab langsung terhadap prajurit di bawah komandonya. Tetapi keterlibatan Komandan Batalyon, Komandan Kompi, dan Komandan Peleton secara bersama-sama bisa saja terjadi apabila memenuhi unsurunsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 dan Pasal 132 KUHPM, dalam Pasal 36 sampai Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Maroni, untuk dapat seorang pimpinan dihukum atas dasar tanggung jawab pimpinan, ada tiga unsur yang harus dibuktikan secara kumulatif. Ketiga unsur ini adalah:
8
a. adanya pengendalian efektif antara anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat dengan pimpinan yang dipersalahkan; b. pimpinan harus dalam posisi mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa anak buah akan atau sedang melakukan pelanggaran HAM berat; c. pimpinan harus dibuktikan bahwa ia tidak melakukan tindakan apapun terhadap anak buah yang akan atau telah melakukan pelanggaran HAM berat.9 Unsur dapat mempersalahkan individu yang merupakan pimpinan dari anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat, unsur pertama yang harus dibuktikan adalah adanya kendali efektif antara pimpinan dengan anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat. Ada dua hal penting di sini, pertama harus ada indikasi pelanggaram HAM berat yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki atasan. Kedua, istilah efektif adalah unsur penting karena menjadi faktor untuk menentukan siapa pimpinan yang harus bertanggung jawab. Efektif harus diterjemahkan sebagai rentang kendali dimana pimpinan mempunyai hubungan langsung dengan anak buah.10 Apabila ada sejumlah prajurit dalam sebuah kompi yang melakukan pelanggaran HAM berat maka yang bisa ditimpakan tanggung jawab pimpinan adalah komandan kompinya. Tanggung jawab ini tidak dapat ditarik lebih tinggi lagi. Pimpinan dari pimpinan kompi tidak 9
Wawancara tanggal 15 Juli 2014 Ibid.
10
bisa dimintakan pertanggungjawaban pimpinan. Tanggung jawab ini harus berhenti sampai dengan pimpinan yang mempunyai kendali efektif terhadap anak buahnya. Kedua adalah kendali efektif yang tidak didasarkan pada aturan, melainkan didasarkan pada kenyataan. Kendali efektif jenis ini disebut sebagai kendali efektif secara de facto. Dari dua upaya efektif pembuktian ini yang penting adalah kendali efektif secara de fakto. Hal ini karena belum tentu pimpinan yang memiliki kendali efektif secara de yure selalu diikuti oleh anak buah. Namun kendali efektif secara de facto sangat menentukan patuh tidaknya anak buah terhadap pimpinan. Unsur kedua yang harus dibuktikan adalah pimpinan harus mengetahui atau seharusnya mengetahui tindakan anak buah yang akan atau telah melakukan pelanggaran HAM berat. Istilah seharusnya mengetahui berarti meskipun individu yang dipersalahkan mengargumentasikan bahwa ia tidak mengetahui namun melalui ukuran yang obyektif seharusnya individu tersebut diasumsikan sebagai mengetahui. Unsur mengetahui atau seharusnya mengetahui penting, karena bila pimpinan tidak tahu menahu tentang pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh anak buah, maka pimpinan tersebut tidak dapat dipersalahkan atas dasar tanggung jawab pimpinan. Dalam tanggung jawab pimpinan unsur mengetahui atau seharusnya mengetahui mengindikasikan agar pimpinan tersebut bisa melakukan pencegahan (sebelum pelanggaran HAM berat)
9
ataupun penghukuman (bila telah terjadi pelanggaran HAM berat) terhadap anak buahnya. Unsur ketiga yang harus dibuktikan oleh pimpinan adalah pimpinan dianggap melakukan pembiaran, bahkan pembenaran terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh anak buah. Ini terjadi bila pimpinan tidak mengambil suatu tindakan terhadap anak buah. Atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh anak buah, pimpinan yang mempunyai kendali efektif memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan pencegahan (sebelum terjadinya peristiwa) ataupun penghukuman (setelah terjadinya peristiwa) terhadap anak buah. Tidak adanya tindakan oleh pimpinan dianggap sebagai pembiaran dan pembenaran pimpinan terhadap tindakan anak buah yang melakukan pelanggaran HAM berat. Pimpinan seolah mentolerir tindakan anak buah yang salah. Negara melalui pemerintahan yang sah dan berdaulat, merupakan pelindung utama masyarakat, Namun realitas seringkali menunjukkan adanya tindakan aparat keamanan cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran seperti contoh peristiwa Talang Sari, peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut
pemerintah tidak akan mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila.11 Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema’ah yang tinggal di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Situasi menjadi tidak menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif. Berturut-turut pada tanggal 5 Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema’ah yang sedang meronda di Pos Kamling. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa didahului proses dialog. Kapten Soetiman melakukan penembakan membabibuta terhadap jemaah dan setelah kehabisan peluru, jemaah yang tadinya bertahan balik menyerang hingga akhirnya menewaskan Kapten Soetiman.12 Kemudian pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung). Dampak dari penyerangan tersebut banyak jatuh korban diantarnya pembunuhan langsung 45 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, 11
http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%2 0Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul 14.27 WIB. 12 Ibid.
10
penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang 13 TNI). Atas kejadian tersebut para korban dan keluarga korban berupaya untuk meminta keadilan atas peristiwa tersebut upaya mereka ini dmulai pada tanggal 7 Mei 2001, setelah perjuangan yang panjang didampingi dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), terdapat secercah harapan ketika dikeluarkannya hasil penyelidikan pro justisia Komisi Nasional HAM (2006) menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Talangsari, berupa pembunuhan terhadap 130 orang, pengusiran penduduk secara paksa 77 orang, perampasan kemerdekaan 53 orang, penyiksaan 46 orang, dan penganiayaan atau persekusi sekurang-kurangnya berjumlah 229 orang. Namun sampai saat ini setelah hampir lebih dari 25 tahun kenyataan pahitlah yang ditelan oleh para korban dan keluarga korban karena tidak ada penyelesaian yang jelas atas kasus Talang Sari, kasus ini dibuat menggantung dan jalan di tempat, lalu dimanakah posisi negara yang bertugas untuk melindungi rakyatnya. Kabul Supriyadhie mengatakan kasus di Talangsari sudah termasuk pelanggaran HAM berat. Jumlah korban jiwa baik yang meninggal, 13
http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%2 0Talangsari%20Lampung.pdf diakses pada tanggal 20 maret 2014, pukul 14.27 WIB.
hilang dan luka-luka cukup banyak. Dampaknya pun masih dirasakan oleh korban dan keluarganya sampai pada saat ini. Pemerintah dalam hal menentukan siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari sebenarnya tidaklah terlalu sulit, akan tetapi saat ini belum ada upaya serius yang dilakukan.14 Kabul Supriyadhie mengatakan bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk mengadili pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Undang-Undang ini seharusnya menjadi sarana pemerintah untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia. Akan tetapi, setelah lebih kurang 24 tahun undang-undang ini disahkan belum ada hasil yang memuaskan. Keberadaan Pengadilan HAM juga tidak terlihat perannya.15 Berkaitan dengan siapa yang harus bertangggung jawab atas kasus pelanggaran HAM di Talangsari, Kabul Supriyadhie mengatakan pelaku penyerangan tersebut yang diduga kuat berasal dari sekelompok anggota TNI/ABRI. Apabila dugaan tersebut terbukti di pengadilan HAM, tentunya yang harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut adalah komandan militer atau atasan dari sekelompok orang yang diduga kuat anggota TNI/ABRI memiliki tanggung jawab secara komando atas tindakan anak buahnya.16
14
Wawancara tanggal 03 Oktober 2014 Ibid. 16 Ibid. 15
11
Berdasarkan uraian di atas, Peneliti berpendapat bahwa seharusnya atasan langsung pada saat itu seharusnya bertanggung jawab atas perbuatannya dan diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Akan tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kasus pelanggaran HAM berat sampai saat ini tidak ada kejelasan penyelesaiannya dikarenakan banyak faktor. Faktor utama dari yang menghambat proses penyelesaian ini menurut Peneliti adalah kemauan semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersama-sama menyelesaikan pelanggaran HAM ini. C.
Faktor-Faktor Penghambat Penyelesaian Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
Soerjono Soekamto menyatakan dalam proses penegakan hukum terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi berjalannya proses penegakan. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut: a. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundangundangan yang menjamin pelaksanaan suatu aturan hukum; b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum; c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.17 Upaya pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai sarana untuk menuntut pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat menyiratkan adanya pengakuan telah terjadi pelanggaran tersebut dalam batas wilayah kedaulatannya. Berdasarkan kedaulatannya, negara Indonesia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan hukum sekaligus menegakkannya dengan cara mengadili para pelaku. Mengingat negara merupakan suatu entitas yang tidak dapat dipidana, maka pertanggungjawaban negara Indonesia secara internasional atas tindakan atau perbuatan yang melanggar Hukum Internasional, yang dalam hal ini adalah pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain dilakukan dengan cara mengadili para pelaku berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. HAM di Indonesia dinilai kurang begitu ditegakkan karena banyak kaum-kaum ploletar atau orangorang yang memiliki status sosial yang minoritas maupun keadaan sosio-ekonominya kurang, yang tersinggirkan haknya sehingga tidak 17
Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada: 2007), hlm. 5
12
ada ruang gerak sedikitpun untuk bisa memasuki wilayah hukum maupun wilayah dunia kerja yang di mata hukum masih dipandang sebelah mata bahkan tidak dianggap sedikitpun karena keadaannya. Faktor-faktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia khususnya dalam kasus Talang Sari, yaitu: 1. Faktor aparat penegak hukum Buruknya capaian HAM yang ada di Indonesia dalam tataran implementasi selain disebabkan oleh sistem yudisial dan politik, selain itu juga disebabkan oleh masih sempitnya pemahaman penyelenggara negara akan HAM. Pemahaman akan pelanggaran HAM di sini masih terbatas pada bentukbentuk pelanggaran kasus HAM berat. Penegakan hukum HAM progresif tidak bisa dilepaskan dengan institusi-institusi penegakan hukum HAM itu sendiri. Semakin pasti kedudukan hukumnya, independensinya, berdaya dan jelas arah kewenangannya, akan semakin besar potensi institusi-institusi itu melakukan langkah-langkah penegakan hukum. Tetapi sebaliknya, semakin tidak jelas dasar hukum dan kewenangan, serta independensi institusi tersebut, akan sulit mendorong institusi dan manusia pelaksana hukum itu bertindak progresif. Oleh sebab itu, pembenahan institusi dimaksud diharapkan tercipta situasi yang kondusif yang mendukung institusi dan manusia pelaksana hukum menegakkan hukum progresif dalam melindungi hak asasi manusia. Institusi yang harus dilakukan penguatan, yaitu: (1) Penguatan
Komnas HAM, (ii) Penguatan Kejaksaan, (iii) Penguatan Hakim, (iv) Penguatan Mahkamah Konstitusi. Setelah lebih dari satu dekade reformasi, berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu belum juga mendapat penyelesaian yang adil. Sejauh sebelum ada penyelesaian yang adil, tuntutan para korban dan pembela HAM akan terus mengemuka. Saat ini, tuntutan penyelesaian tersebut tidak hanya semakin menguat, namun juga secara bersamaan menunjuk para pihak yang diidentifikasi sebagai penghambatnya.18 Faktor utama dari yang menghambat proses penyelesaian pelanggaran HAM adalah kemauan semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersama-sama menyelesaikan pelanggaran HAM ini. Penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di masa lalu yang lain, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II (1998 dan 1999), Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, serta Peristiwa Wasior dan Wamena, Papua (2001 dan 2003) dinilai berhenti di Kejaksaan Agung.19 Selanjutnya, Kabul Supriyadhie mengatakan bahwa untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dibutuhkan komitmen dan kerja sama antara legislatif, ekseskutif dan yudikatif. Ketiga unsur pemerintah ini harus satu pendapat dan dan 18
Otto Adi Yulianto. Memetakan Hambatan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa. (Jakarta: Elsam, 2009). 19 Ibid.
13
mengambil langkah yang saling terorganisasi satu sama lainnya. Komnas HAM dalam melakukan usaha mengungkap pelanggaran HAM berat khususnya di dalam kasus Talangsari sudah melakukan hal-hal yang diperlukan, akan tetapi akibat kurangnya dukungan dari pemerintah upaya tersebut terkesan tidak mendapatkan hasil yang diinginkan.20 2. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum Sarana atau fasilitas yang dimaksud di sini salah satunya adalah sarana yang digunakan untuk mendapatkan alat bukti yang dapat mengungkapkan aktor atau dalang dari kasus Talang Sari. Kabul Supriyadhie mengatakan penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari Lampung yang terjadi pada tahun 1989 sulit untuk diungkap disebabkan oleh faktor masih kurangnya komitmen dan kemauan dari pemerintah saat ini dalam mengungkap siapa saja yang harus bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran ini. Selain itu, kasus ini sudah lama terjadi sehingga untuk mendapatkan bukti-bukti yang kuat yang dapat mendukung pembuktian di persidangan terasa sulit. Hal ini ditambah lagi dengan adanya kesan menutup-nutupi 21 peristiwa ini. 3. Faktor Masyarakat yang kurang memahami dan kurang peduli dengan penegakan HAM a.
20 21
Kondisi ini diperburuk lagi oleh masih rendahnya juga pemahaman masyarakat akan HAM, sehingga menyebabkan Ibid. Wawancara tanggal 03 Oktober 2014
rendahnya kapasitas masyarakat untuk mengartikulasikan hakhaknya. Padahal pelanggaran HAM bukan hanya pada besar kecilnya kasus tetapi semua kejadian yang melanggar hak hak asasi manusia yang merupakan hak dasar hidup manusia. Faktor lain yang juga turut memperburuk capaian HAM di Indonesia adalah masih terpecah-pecahnya masyarakat madani, sudah terkooptasinya kelompok profesi oleh kepentingan modal dan tidak terorganisasinya masyarakat. Mayoritas masyarakat Indonesia kurang memperdulikan proses penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi khususnya pada kasus Talang Sari. Ini dikarenakan kejadian tersebut sudah terjadi cukup lama. III. SIMPULAN Pertanggungjawaban pidana atasan militer terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat didasarkan pada hierarkhi jabatan komandan dalam struktur organisasi, yaitu setiap komandan militer hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip, Atasan Langsung berperan sebagai Atasan Yang Berwenang Menghukum (Ankum). Unsur pokok pertanggungjawaban komando atau atasan militer, yaitu: 1) ada pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berada di bawah komando atau pengendaliannya; 2) adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku; 3) adanya
14
pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran; dan 4) komandan atau atasan dengan kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib. b. Faktorfaktor penghambat penyelesaian tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat, yaitu 1) faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya komitmen semua unsur pemerintahan mulai dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk bersamasama menyelesaikan pelanggaran HAM berat; 2) sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum proses penyelesaian pelanggaran HAM; 3) masyarakat yang kurang memahami dan kurang peduli dengan penegakan HAM..
IV. DAFTAR PUSTAKA Bambang Sunggono dan Aries Harianto. 1994. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung. Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Muladi, dkk, 2002. Demokratisasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta. Riyanto, Sigit. 2001. Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, Majalah Mimbar Hukum
No.38/VI/2001 Yogyakarta.
FH-UGM,
Soekamto, Soerjono. 2007. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Yulianto, Otto Adi. 2009. Memetakan Hambatan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa. Elsam, Jakarta. http://www.kontras.org