ANALISIS MUSIKAL DAN TEKSTUAL DAMPENG PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA
SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA: ANNA PURBA NIM: 100707011
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2014
i
ANALISIS MUSIKAL DAN TEKSTUAL DAMPENG PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA
OLEH: NAMA: ANNA PURBA NIM: 100707011
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
NIP 196512211991031001
NIP 196605271994032001
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomuskologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2014
ii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal : Hari
:
Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP
Panitia Ujian:
Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. 3. 4. 5.
iii
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
iv
ABSTRAKSI
Dalam skripsi ini, penulis menganalisis dampeng yang disajikan pada upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga dengan dua fokus, yakni struktur melodi dan teks. Dampeng merupakan nyanyian Suku Pesisir yang berarti nasehat-nasehat yang ditujukan kepada sepasang pengantin dalam suatu upacara adat perkawinan. Dalam suatu upacara adat, nyanyian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap mangarak marapule dan mampelok tampek basanding. Nyanyian ini disajikan tanpa iringan musik (a capella) dan digolongkan ke dalam gaya responsorial (call and reponse). Para penyajinya merupakan sekelompok laki-laki yang terdiri dari 7-12 orang dengan dua bagian kelompok penyanyi yaitu penyanyi solo dan perespon nyanyian. Penelitian ini menggunakan dua teori utama yaitu teori semiotik untuk menganalisis teks dan teori weighted scale untuk menganalisis melodi dampeng. Penelitian ini mengggunakan metode kualitatif. Untuk melaksanakan penelitian, penulis telah melakukan beberapa proses kerja, yaitu: studi kepustakaan, observasi, wawancara, perekaman atau dokumentasi kegiatan, transkripsi, dan analisis laboratorium. Penelitian ini berpusat pada pendapat para informan dalam konteks studi emik. Namun, penulis tetap melakukan penafsiran-penafsiran sesuai dengan kaidah ilmiah dalam konteks studi etik. Melalui metode dan teknik tersebut di atas diperoleh dua hasil penelitian. (1) Teks dampeng merupakan teks yang dinyanyikan oleh penyaji dampeng dalam bahasa Pesisir secara spontan. Teks disajikan dalam bentuk pantun yang terdiri dari isi dan sampiran. Secara umum, isi teks adalah nasehat-nasehat yang diambil dari pengalaman dan proses kehidupan Suku Pesisir. Teks tersebut disampaikan kepada kedua pengantin. (2) Struktur melodi dampeng berbentuk stropik yakni melodi yang sama atau hampir sama menggunakan teks yang baru dan berbeda. Dengan demikian, dampeng dikategorikan sebagai musik stropik logogenik. Tangga nada dampeng digolongkan ke dalam heptatonik. Ritme dampeng menggunakan meter 4.
Kata kunci: dampeng, teks, melodi, perkawinan, logogenik
v
ABSTRACT
In this thesis, dampeng has been analyzed in a traditional Pesisir marriage ceremony at Sibolga with two main points focused on melody and text structure. It is a folk song and defines as advices given to a married couple in traditional Pesisir marriage ceremony. There are two parts of ceremony which dampeng is performed namely mangarak marapule and mampelok tampek basanding. While performing, it is delivered by singing without any musical instrument (a capella) and classifying as responsorial style or call-and-response. The performer is a group of men consists of 7-12 with two part of singer groups. They are solo leader and group chorus. The research of dampeng used two theories: semiotic in order to analyze the text of dampeng, and weighted scale to analyze the melody of dampeng. This research used qualitative method. For accomplishing it, some work processes have been executed. There are literature study, observation, interview, recording or documentation activities, transcription, and laboratory analysis. This research is concentrated to the informants opinions in emic study context. Nevertheless, I also support it by interpreting based on scientific principle in etic study context. According to the methods and techniques mentioned before, 2 research results are able to harvest. (1) Text of dampeng is singing by dampeng singers in Pesisir language spontaneously. It is reserved with pantun form consist of isi (content couplet) and sampiran (first two lines couplet). Generally, text contains advices given to a couple married. (2) Melody structure of dampeng is classified into strophic form that has the same melody or almost with new text or different text. Therefore, it is called as logogenic strophic. Its scale is classified into heptatonic (seven-tone) scale with 2 kinds of intervals. Its rhythm is classified into isometric with 4 equal units.
Keywords: dampeng, text, melody, marriage, logogenic
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji, hormat, dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasihNya yang begitu besar telah melimpahi kehidupan penulis. Setip detik dalam perjalanan hidup penulis disertai dan diberi sukacita penuh. Secara khusus dalam penyusunan skripsi ini, kekuatan dan penghiburan diberikanNya jauh melebihi permohonan penulis. Skripsi ini berjudul “Analisis Musikal dan Tekstual Dampeng pada Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga.” Skripsi ini diajukan dalam melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari banyak kekurangan dan tantangan yang terdapat dalam penyusunan skripsi ini. Hal-hal tersebut berasal dari dalam dan luar diri penulis. Kejenuhan dan kelelahan senantiasa mendekat ke dalam diri penulis. Namun, energi baru selalu hadir melalui orang-orang di sekitar penulis. Pada
kesempatan
ini
penulis
mengucapkan
terima
kasih
dan
mempersembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua yang sangat penulis sayangi, ayahanda Sanggam Purba dan ibunda Erika Betty Nainggolan. Terima kasih untuk segala cinta kasih dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis. Kesabaran, kebijaksanaan, dan kerendahan hati telah diajarkan kepada penulis sejak kecil. Sehingga, saat ini merupakan buah karya dan karsa yang telah dilakukan untuk penulis. Terlebih-lebih dalam penyusunan skripsi ini, suka dan duka terlampaui atas doa-doa yang telah dipanjatkan setiap hari. Motivasi dan
vii
dorongan selalu hadir saat penulis melakukan kelalaian dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada abang terkasih Mangisi Sitorus, kakak terkasih Agustina Purba dan Friska Purba, adik terkasih Maria Purba serta keponakan terkasih Theo Bagus Halomoan Sitorus. Terimakasih untuk doa, bantuan, motivasi, waktu, dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Meskipun jarak memisahkan keberadaan kita, penulis dapat merasakan kehadiran kalian. Sehingga penulis mampu melalui rintangan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis sungguh bersyukur kepada Tuhan karena telah menganugerahkan keluarga yang luar biasa untuk penulis. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran di Dekanat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat Bapak Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. sebagai Ketua Departemen Etnomusikologi dan Dosen Pembimbing I penulis yang telah membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk ilmu pengetahuan, pengalaman, kebaikan dan nasehat-nasehat yang telah Bapak berikan kepada penulis selama berada di perkuliahan. Kiranya Tuhan selalu menyertai dan melimpahkan sukacita kepada Bapak. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhomat Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. sebagai Sekretaris Departemen Etnomusikologi, Dosen Pembimbing Akademik, dan Dosen Pembimbing II penulis yang telah mengarahkan dan memberikan bimbingan kepada penulis sejak memulai perkuliahan dan menyelesaikan skripsi
viii
ini. Terimakasih untuk perhatian, ilmu, dan kebaikan yang ibu berikan. Kiranya Tuhan senantiasi melindungi dan melimpahkan berkat untuk Ibu. Begitu pula untuk Ibu Adry Wiyanni Ridwan, S.S., sebagai pegawai adminitrasi di Departemen Etnomusikologi FIB USU yang telah berkenan untuk membantu kelancaran administrasi kuliah dan mengingatkan semua urusan administratif penulis selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih untuk kebaikan dan pertolongan yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat seluruh staf pengajar Departemen Etnomusikologi USU yang telah banyak memberikan pemikiran dan wawasan baru kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. Kepada seluruh dosen di Etnomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Fadlin, M.A., Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Ibu Arifni Netrosa, SST,M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si., Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si., dan Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian. Seluruh ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian menjadi pelajaran berharga untuk penulis. Kepada semua informan yang telah memberikan dukungan dan bantuan untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; Bapak Syahriman Irawady Hutajulu, Bapak Khairil Siregar, Bapak Radjoki Nainggolan, Bapak Risman Sihombing, Bapak Syahbuni Gorat, Bapak Ahmad Aritonang, Bapak Maskur Hutagalung, Bapak Khairul Aman Hutagalung, Ibu Siti Zubaidah, dan informaninforman lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kesempatan dan
ix
pengalaman yang sungguh berharga telah penulis dapatkan atas kebaikan Bapak/Ibu sekalian. Penulis dapat mengenal Suku Pesisir lebih dekat atas pertolongan Bapak-bapak sekalian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga besar Op. Agustina Purba dan Op. Gold Parotua Nainggolan. Doa dan harapan yang telah disampaikan kepada penulis menjadi penyemangat dan daya yang besar untuk penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada abang terkasih Jusuf M. Siburian, seluruh abang, kakak, dan teman-teman terkasih di PP (pemuda-pemudi) GKPI Padang Bulan Medan: Pebrina Siburian, Meskayani Tamba, Yolanda Simanjuntak, Triskin Simanungkalit, Eunike Agatha Pakpahan, Gabriela Pasaribu, Gohana Siagian, Wenny Sirait, Susan Sinaga, Olyver Hutagalung, Arswendo Sipahutar, Anry Hutagaol, Samuel Simanungkalit, Januardi Siregar, Benny Sihotang, dan Hebron Sitorus. Sukacita, dorongan dan perhatian telah diberikan kepada hari-hari penulis sejak memulai perkuliahan di Universitas Sumatera Utara. Betapa penulis bersyukur dapat berjumpa dan bersekutu bersama kalian. Atas anugerah Tuhan, kita telah menjalin kebersamaan dan kesatuan yang akan menjadi memori yang terindah dalam kehidupan penulis. Kepada ayahanda penulis yang kedua Drs. K. Lumbantoruan, abang Hiras Lumbantoruan, kakak Clara Julieta Lumbantoruan, Adik Samuel Reynald Lumbantoruan, dan Rican Kardinal Lumbantoruan, penulis mengucapkan terima kasih atas perhatian dan kebaikan yang penulis terima selama ini. Semoga Tuhan semakin melimpahkan berkatNya dalam keluarga besar Lumbantoruan. Kepada senior penulis Pardon Simbolon, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan arahan yang telah diberikan. x
Sehingga penulis
mendapatkan kelancaran dalam proses penelitian dalam skripsi ini. Kepada saudara-saudari penulis Etno 2010: Lido Hutagalung, Luhut Simarmata, Friska Simamora, Frita Pakpahan, Miduk Nadeak, Pretty Manurung, Yusuf Siregar, Rican Sianturi, Fernandes Simangunsong, Josua Siagian, Roman Hutagalung, Kezia Purba, Agus Tampubolon, Ruth Marbun, Shelly Pelawi, Ayu Matondang, Riska Prisila, Erni Banjarnahor, Meilinda Tarigan, Maharani Tarigan, Jenny Simangunsong, dan Benny Purba, terimakasih untuk masa-masa yang telah kita ciptakan di Etnomusikologi. Penulis sangat bersyukur dapat memiliki temanteman yang luar biasa seperti kalian. Penulis berdoa semoga kita dapat berhasil dan berjumpa di lingkungan yang baru. Kepada senior dan junior di Etnomusikologi stambuk 2006-2013, penulis mengucapkan terimakasih untuk hari-hari yang penuh tawa dan canda selama berada di Etnomusikologi. Penulis sangat kagum atas keharmonisan pluralisme yang tercipta.
Medan,
Anna Purba
xi
Juli 2014
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ...........................................................................................
i
ABSTRACT ............................................................................................
ii
KATA PENGANTAR .............................................................................
iii
DAFTAR ISI ...........................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xii
DAFTAR BAGAN ...................................................................................
xiii
DAFTAR DIAGRAM .............................................................................
xiv
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................
1
1.2 Pokok Masalah .....................................................................
11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................
11
1.3.1 Tujuan Penelitian .........................................................
11
1.3.2 Manfaat Penelitian .......................................................
11
1.4 Konsep dan Teori ..................................................................
12
1.4.1 Konsep .........................................................................
12
1.4.2 Teori ............................................................................
18
1.5 Metode Penelitian .................................................................
22
1.5.1 Studi Pustaka ................................................................
22
1.5.2 Penelitian Lapangan .....................................................
23
1.5.2.1 Observasi ..........................................................
24
1.5.2.2 Wawancara .......................................................
25
xii
1.5.2.3 Perekaman atau Dokumentasi ...........................
26
1.5.3 Kerja Laboratorium ......................................................
27
1.6 Lokasi Penelitian ..................................................................
27
SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA ..............................
29
2.1 Gambaran Umum Suku Pesisir .............................................
29
2.1.1 Topografi .....................................................................
29
2.1.2 Luas Wilayah ...............................................................
31
2.1.3 Demografi ....................................................................
32
2.2 Unsur Kebudayaan Suku Pesisir ............................................
33
2.2.1 Adat-Istiadat .................................................................
34
2.2.2 Sistem Kekerabatan ......................................................
35
2.2.3 Sistem Religi ................................................................
37
2.2.4 Bahasa .........................................................................
38
2.2.5 Kesenian ......................................................................
39
2.2.5.1 Alat Musik ........................................................
40
2.2.5.2 Lagu .................................................................
41
2.2.5.3 Tari ...................................................................
42
DESKRIPSI DAMPENG PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU PESISIR ....................................
45
3.1 Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ..............................
45
3.2 Tahap-Tahap Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ........
46
3.2.1 Risik-Risik .................................................................
47
3.2.2 Sirih Tanyo ................................................................
48
BAB II
BAB III
xiii
BAB IV
3.2.3 Marisik ......................................................................
49
3.2.4 Maminang .................................................................
50
3.2.5 Manganta Kepeng .....................................................
51
3.2.6 Mato Karajo ..............................................................
53
3.2.7 Balik ari atau Tapanggi .............................................
67
3.3 Jenis-Jenis Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ............
68
3.3.1 Upacara Adat Perkawinan Gala XII ..........................
68
3.3.2 Upacara Adat Perkawinan Gala IX ............................
69
3.4 Komponen Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ............
70
3.4.1 Tempat Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir .........
70
3.4.2 Waktu Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ..........
71
3.4.3 Benda dan Peralatan Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ...............................................................
71
3.4.4 Pemimpin dan Peserta Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir ...............................................................
72
3.5 Dampeng ...........................................................................
73
3.6 Penyajian Dampeng ...........................................................
75
3.6.1 Dampeng Mangarak ..................................................
75
3.6.2 Dampeng Barande .....................................................
76
3.6.3 Dampeng Basanding .................................................
78
3.7 Fungsi dan Penggunaan Dampeng ......................................
79
3.7.1 Fungsi Dampeng .......................................................
79
3.7.2 Penggunaan Dampeng ...............................................
80
3.8 Penyaji Dampeng (Anak Alek) ............................................
81
ANALISIS TEKSTUAL ...................................................
82
4.1 Bentuk Teks Dampeng .......................................................
82
xiv
4.2 Analisis Semiotik Tekstual Dampeng .................................
BAB V
83
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIKAL DAMPENG .......................................................................
95
5.1 Transkripsi .........................................................................
95
5.1.1 Simbol dalam Notasi .................................................
95
5.2 Analisis Melodi ..................................................................
99
5.2.1 Tangga Nada (Scale) .................................................
99
5.2.2 Nada Dasar (Pitch Center) .........................................
100
5.2.3 Wilayah Nada (Range) ..............................................
100
5.2.4 Jumlah Nada (Frequency of Notes) ............................
101
5.2.5 Jumlah Interval (Prevalent Intervals) .........................
102
5.2.6 Pola Kadensa (Cadence Patterns) ...............................
103
5.2.7 Formula Melodik (Melody Formula) .........................
103
5.2.8 Kontur (Contour) .......................................................
106
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................
109
5.1 Kesimpulan ........................................................................
109
5.2 Saran ..................................................................................
111
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
xv
DAFTAR INFORMAN ...........................................................................
xvii
LAMPIRAN I (DAMPENG MANGARAK) ............................................
xxi
LAMPIRAN II (DAMPENG BARANDE) ..............................................
xxii
LAMPIRAN III TEKS PENYAJIAN DAMPENG MANGARAK ..........
xxiii
LAMPIRAN IV TEKS PENYAJIAN DAMPENG MANGARAK ..........
xxv
BAB VI
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Sibolga Berdasarkan Kecamatan ...............
32
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin .......
32
Tabel 4.1 Contoh Kata yang Mempunyai Arti .........................................
85
Tabel 4.2 Contoh Silabel Tambahan ........................................................
85
Tabel 5.1 Jumlah Nada dalam Dampeng ..................................................
101
Tabel 5.2 Jumlah Interval Dampeng ........................................................
102
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Gambar 3.2
Gambar 3.3 Gambar 3.4
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Ayah marapule mendapat giliran pertama melakukan penaburan beras dan pemercikan air kepada marapule ........ Kerabat dekat anak daro mendapat giliran pertama melakukan penaburan beras dan pemercikan air dengan daun pandan kepada anak daro ...........................................
54
Marapule sedang dipakaikan inai oleh induk inang dalam upacara barinai ........................................................ Anak daro sedang dipakaikan inai oleh induk inang di pelaminannya ......................................................................
56
Kerabat dekat memercikkan air dengan daun pandan kepada anak daro dalam upacara tepung tawar ...................
55
56
57
Ayah anak daro memercikkan air dengan daun pandan kepada anak daro .................................................... Ibu marapule memercikkan air dengan daun pandan kepada marapule ................................................................. Kerabat dekat memercikkan air dengan daun pandan kepada marapule .................................................................
58
Proses upacara bakonde dibantu oleh dua induk inang .........
60
Gambar 3.10 Rambut bagian depan anak daro dipotong sedikit oleh ibu kandung anak daro .............................................................. Gambar 3.11 Upacara mandi limo dilakukan oleh bapak kandung anak daro ............................................................................ Gambar 3.12 Persiapan upacara mangarak marapule menuju rumah anak daro ............................................................................ Gambar 3.13 Suasana pengarakan marapule bersama rombongan ............
60
Gambar 3.14 Pertunjukan galombang XII dilakukan antara pihak marapule dan anak daro ...................................................... Gambar 3.15 Tari rande disajikan di hadapan marapule ...........................
63
Gambar 3.16 Suasana upacara akad nikah di rumah anak daro .................
64
Gambar 3.17 Anak daro dan ibu-ibu keluarga anak daro mengaraknya ....
65
Gambar 3.18 Malam basikambang dilaksanakan di rumah anak daro .......
66
Gambar 3.19 Dampeng mangarak dimulai saat marapule dan rombongan
75
Gambar 3.7 Gambar 3.8
Gambar 3.9
xvii
58
59
61 62 62
64
keluarga marapule memulai keberangkatannya ................... Gambar 3.20 Penyajian dampeng barande diiringi dengan tari rande .......
77
Gambar 3.21 Marapule melangkah menuju pelaminan anak daro dengan diiringi dampeng basanding ....................................
78
xviii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Sistem Kekerabatan Patrilineal Suku Pesisir Kota Sibolga ................................................................ Bagan 2.2 Sistem Baso Suku Pesisir Kota Sibolga ................................
xix
35 36
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Suku .........................................
xx
33
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Suku1 Pesisir merupakan salah satu suku yang secara administratif berada
di wilayah Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Di Kota Sibolga, suku ini mendiami sebagian besar daerah pinggiran pantai dan sebagian kecil daerah pegunungan yang terdapat dalam empat bagian wilayah kecamatan. Daerah pinggiran pantai terdiri dari Kecamatan Sibolga Selatan dan Sibolga Kota. Sedangkan daerah pegunungan terdiri dari Kecamatan Sibolga Utara dan Sibolga Sambas. Mereka berasal dari keturunan beberapa suku, seperti Minangkabau, Batak Toba, Mandailing, Angkola dan Melayu yang berinteraksi dan membentuk adat-istiadatnya sebagai identitas baru (Takari 2008:124). Setiap suku di seluruh Nusantara mempunyai adat-istiadat yang berbeda satu dengan lain. Hal ini juga berlaku pada Suku Pesisir. Adat-istiadat tercipta melalui gabungan gagasan dan mengandung norma berupa aturan-aturan yang berfungsi sebagai pengatur tingkah laku dan perbuatan. Penciptaan tersebut berhubungan erat dengan norma-norma dalam agama Islam. Suku Pesisir Sibolga menyebutnya dengan istilah sumando. 1
Suku dalam tulisan ini adalah memiliki makna yang sama atau hampir sama dengan etnik, kelompok etnik, atau suku bangsa. Yang dimaksud suku adalah sekelompok manusia yang dipandang memiliki hubungan genelaogis secara umum sama pada awalnya, kemudian mereka memiliki bahasa dan kebudayaan yang sama, yang dipandang sebagai sebuah kelompok etnik sendiri yang mandiri, baik oleh etnik di luar mereka atau oleh mereka sendiri. Untuk dapat memahami siapakah orang Pesisir, yang menjadi pendukung seni dampeng dalam skripsi ini, maka sebelumnya dijelaskan pengertian kelompok etnik (ethnic group). Naroll memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Naroll 1965:32).
1
Sumando memiliki beberapa pengertian dalam Suku Pesisir. Menurut Pasaribu, sumando adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan Suku Pesisir, meliputi adat-istiadat Pesisir, kesenian Pesisir, bahasa Pesisir, makanan Pesisir, dan lain-lain (dalam Sitompul 2013:3). Sumando juga dapat diartikan sebagai suatu pertambahan dan percampuran antara satu keluarga dengan keluarga lain diikat dengan pernikahan menurut agama Islam dan dikukuhkan dengan adat Pesisir (Radjoki 2012:29). Selain itu, sumando merupakan sebuah lembaga adat yang
memberikan
status
pengakuan
pada
suatu
perkawinan
yang
melaksanakannya sesuai dengan tata aturan yang berlaku.2 Dengan demikian, sumando merupakan gabungan gagasan dan tindakan yang terwujud dalam aktivitas. Aktivitas-aktivitas tersebut dikategorikan sebagai upacara-upacara adat sumando. Pelaksanaan upacara adat sumando merupakan “campuran” dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan Batak (Sitompul 2013:9). Hal ini menunjukkan bahwa setiap upacara adat sumando bersifat sakral dan penting. Upacara adat sumando meliputi siklus kehidupan suatu individu, antara lain upacara adat perkawinan, kehamilan (manuju bulan), turun tanah (turun karai), sunat Rasul (khitanan), membangun atau menempati rumah baru, upa-upa sumangek, penyambutan tamu, dan kematian atau pengebumian. Upacara adat perkawinan Suku Pesisir melibatkan aspek adat dan agama. Upacara ini dapat dilihat di Kota Sibolga setiap minggunya. Umumnya, upacara adat perkawinan dan akad nikah dilaksanakan pada hari sabtu. Sedangkan resepsi perkawinan dilaksanakan pada hari Minggu. Penulis yang lahir di Kota Sibolga, sejak kecil telah melihat resepsi perkawinan Suku Pesisir secara jelas, tetapi 2
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Khairil Hasni. Beliau adalah seorang musisi Sikambang. Wawancara ini dilaksanakan pada tanggal 14 Maret 2014 di Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah.
2
penulis belum mengetahui bagaimana proses upacara adat perkawinan Suku Pesisir dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya intensitas pemakaian suatu perkawinan Suku Pesisir dengan melaksanakan adat sumando. Menurut adat sumando, upacara adat Perkawinan Suku Pesisir dibagi dalam dua jenis gala, yaitu gala IX dan gala XII. Gala merupakan gelar yang ditentukan dalam upacara adat perkawinan pengantin dan berkenaan dengan seluruh syarat perlengkapan upacara adat perkawinan. Gala lazimnya dibicarakan dan disepakati bersama oleh pihak pengantin laki-laki, pengantin perempuan, kepala desa, dan pemuka adat dalam upacara adat mengantar uang (mangata kepeng). Gala IX dipakai apabila kedua pihak pengantin menghias rumah pengantin perempuan dengan 9 warna selendang dan menyembelih kambing. Sedangkan gala XII dipakai apabila kedua pihak pengantin menghias rumah pengantin perempuan dengan 12 warna selendang dan menyembelih lembu. Selendang dan penyembelihan hewan memiliki makna dalam upacara adat perkawinan
Suku
Pesisir.
Selendang
bermakna
untuk
mempersatukan
keberagaman masyarakat Pesisir yang berlatar belakang dari beberapa suku seperti, Batak Toba, Melayu, Mandailing, Angkola, dan Minangkabau yang dilambangkan oleh persatuan warna-warna yang terdapat dalam latar belakang suku-suku tersebut di atas. Sedangkan penyembelihan hewan bermakna menunjukkan status golongan dari masyarakat Suku Pesisir yang melangsungkan upacara adat perkawinan tersebut. Pada tanggal 15 Maret 2014 lalu, penulis mendapat informasi tentang adanya pelaksanaan perkawinan Suku Pesisir dengan adat sumando melalui informan kunci. Penulis tertarik untuk mengenal dan mengetahui pelaksanaan sumando dengan gala IX atau gala XII yang dilaksanakan dalam perkawinan
3
Suku Pesisir. Hal itu disebabkan oleh pelaksanaan upacara adat Perkawinan sumando dengan gala IX atau XII turut melibatkan kesenian Pesisir. Kesenian Pesisir dikenal dengan istilah kesenian sikambang. Kesenian sikambang terdapat dalam tahap puncak pelaksanaan upacara adat perkawinan. Kesenian tersebut meliputi musik instrumental, musik vokal, dan tari. Musik instrumental disebut dengan alat musik yaitu permainan repertoar-repertoar ansambel sikambang. Musik vokal disebut dengan lagu meliputi lagu kapulo pinang, lagu dampeng, lagu kapri, lagu duo, dan lagu sikambang. Sedangkan tari meliputi tari saputangan, tari payung, tari selendang, tari barande, dan tari anak. Kesenian ini dibawakan oleh para seniman-seniman yang berasal dari masyarakat Suku Pesisir. Secara umum, seniman kesenian sikambang berumur 40-50 tahun. Salah satu peranan kesenian sikambang tertuang dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir. Pada suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kelurahan Pasar Belakang Kota Sibolga pada tanggal 15 Maret 2014 yang lalu juga, penulis melihat sekelompok laki-laki yang merupakan seniman kesenian sikambang. Fakta yang penulis dapat yaitu mereka berasal dari 3 domisili daerah dan grup yang berbeda, yaitu grup Nyiur Melambai dari kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, grup Kesenian Sikambang Sepakat Bersama (KSSB) dari Kecamatan Sorkam, Kabupaten Tapanuli Tengah dan grup Rajo Janggi dari Kecamatan Sibolga Selatan, Kota Sibolga. Dari wawancara itu, penulis ingin mengenal dan mengetahui tentang seniman sikambang Pesisir dari 3 domisili daerah. Menurut Ahmad Aritonang, seorang anggota grup Rajo Janggi, biasanya dalam suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga, grup seniman
4
kesenian sikambang Pesisir Kota Sibolga dipanggil secara khusus dalam suatu upacara adat perkawinan. Namun saat upacara adat tersebut, kedua grup lainnya dipanggil dan digabungkan karena jumlah seniman grup Rajo Janggi semakin berkurang dan kurangnya kemampuan dalam menyajikan kesenian sikambang dengan jumlah penyaji yang terbatas. Selain itu, menurut Bapak Syahriman Hutajulu, penyajian kesenian sikambang juga telah sering ditiadakan atau tidak dilaksanakan secara keseluruhan dalam suatu upacara adat perkawinan. Hal itu terjadi atas dasar permintaan dan kesepakatan bersama antara pihak keluarga pengantin laki-laki dan perempuan dengan pemuka adat dan kepala desa. Kesenian sikambang baik nyanyian, musik iringan, tarian, maupun aspek sosial yang terdapat di dalam sumando menarik perhatian penulis. Dari wawancara itu, penulis ingin mengenal dan memahami lebih jauh lagi tentang dampeng. Dampeng merupakan bagian kesenian sikambang dan bagian adat perkawinan Suku Pesisir. Dampeng berperan penting dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir. Namun, pelaksanaan dampeng berintensitas rendah dalam setiap perhelatan upacara adat perkawinan. Dampeng adalah nyanyian tanpa iringan instrumen (a capella). Menurut adat sumando, dampeng dinyanyikan oleh sekelompok laki-laki. Penyaji dampeng terdiri dari 7 sampai 12 orang. Penyaji tersebut merupakan seniman sikambang yang dipanggil secara khusus untuk menyajikan dampeng. Namun kini, penyaji dampeng dalam suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga tidak dibatasi jumlahnya. Hal ini didasarkan pada kemampuan ekonomi dan kesepakatan keluarga kedua pengantin dalam melaksanakan upacara adatnya.
5
Mereka biasanya terbagi dalam dua bagian kelompok yakni pemimpin dampeng (solo leader) yang dilakukan secara bergantian dan yang lainnya menjadi perespon nyanyian (group chorus). Dalam penyajiannya, dampeng dibawakan dengan gaya responsorial (call and response). Selain itu, dampeng merupakan nyanyian dengan bentuk melodi yang sama tetapi dengan teks nyanyian yang baru (strophic). Teks dampeng berisikan nasihat-nasihat atau pengalaman-pengalaman yang diambil dari proses kehidupan Suku Pesisir. Teks tersebut dinyanyikan dalam bentuk pantun yang bersahut-sahutan. Isi teks dampeng disampaikan dan ditujukan kepada kedua pengantin, orang tua kedua pengantin, dan undangan yang hadir dalam upacara. Dalam suatu upacara adat perkawinan, dampeng akan disajikan pada dua tahap, yaitu (1) tahap memberangkatkan pengantin laki-laki (marapule) dan pihak keluarga pengantin laki-laki untuk memulai acara mengarak pengantin laki-laki dari rumahnya menuju rumah pengantin perempuan (anak daro) dalam menjalani akad nikah (mangarak marapule) dan (2) mengantarkan pengantin laki-laki dari pelaminannya menuju pelaminan pengantin perempuan untuk menyandingkan kedua pengantin (mampelok tampek basanding). Dalam tahap mangarak marapule, dampeng disajikan pada siang hari dan dibawakan pada dua bagian acara, yaitu (1) dampeng mangarak dinyanyikan pada saat pengantin laki-laki diberangkatkan menuju rumah pengantin perempuan, (2) dampeng barande dinyanyikan pada saat tari rande ditampilkan di depan pengantin laki-laki dan orangtua pengantin laki-laki sebelum menjalani acara akad nikah. Sedangkan dalam tahap mampelok tampek basanding, (3) dampeng basanding disajikan di dalam rumah pengantin perempuan pada malam hari
6
dalam acara malam
kesenian sikambang.3 Dampeng merupakan bagian dari
upacara adat perkawinan Suku Pesisir yang khusus disajikan apabila kedua pengantin menentukan dan memilih adat gala IX atau gala XII. Berdasarkan penentuan gala, dampeng akan dibawakan sesuai dengan jumlah gala yang dimilikinya, yaitu gala IX atau gala XII. Apabila upacara adat perkawinan tersebut menggunakan gala IX, maka dampeng akan dibawakan sebanyak 9 kali dalam setiap tahap upacara. Demikian pula dengan gala XII, dampeng akan dinyanyikan sebanyak 12 kali dalam setiap tahap upacara, baik upacara mangarak marapule maupun upacara mampelok tampek basanding. Penyajian dampeng dalam tahap mangarak marapule memiliki satu aturan, yakni dampeng mangarak dan dampeng barande harus dibawakan dengan hitungan ganjil. Hal ini terlihat melalui penyajian dampeng mangarak dibawakan sebanyak 5 kali dan dampeng barande dibawakan sebanyak 7 kali. Selanjutnya, penyajian dampeng basanding dalam tahap mampelok tampek basanding dibawakan sebanyak 12 kali. Namun sekarang ini telah dijumpai suatu upacara adat perkawinan gala XII
yang
menyimpang
dari
syarat-syarat
yang
ditentukan.
Misalnya,
penyembelihan lembu digantikan dengan ayam dan pemasangan selendang berkurang jumlahnya dari 12 warna. Selain itu, penyajian dampeng telah dilaksanakan secara tidak menyeluruh dalam suatu upacara adat perkawinan. Berdasarkan pengamatan penulis, dalam beberapa upacara perkawinan dampeng hanya dibawakan dalam tahap mampelok tampek basanding atau tahap mangarak marapule.
3
Hasil wawancara penulis dengan Pak Khairil Hasni pada tanggal 14 Maret 2014 dan pengamatan penulis pada upacara adat perkawinan Suku Pesisir pada tanggal 15 Maret 2014 di Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga.
7
Pemahaman
akan
aspek-aspek
tersebut
akan
memberikan
suatu
pemahaman makna-makna yang terkandung dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir. Makna-makna tersebut terpendam dalam masyarakatnya, adat-istiadatnya, senimannya, dan kebudayaan musikalnya. Melalui pemahaman itu, penulis akan melakukan penelitian yang dapat menjadi wawasan, pengayaan referensi, dan pengenalan tentang kebudayaan Suku Pesisir. Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, dampeng mencakup empat aspek yang menarik perhatian penulis, yakni (1) struktur melodi dampeng sebagai musik vokal Suku Pesisir; (2) makna teks dampeng yang disajikan untuk kedua pengantin pada upacara adat perkawinan Suku Pesisir Kota Sibolga; (3) proses penyajian dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga; dan (4) proses upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Keempat hal ini sangat relevan untuk dikaji secara etnomusikologis sebagai bidang keilmuan yang penulis geluti selama empat tahun terakhir ini. Apa yang dimaksud etnomusikologi itu adalah seperti berikut ini: Ethnomusicology is the study of music in its cultural context. Ethnomusicologists approach music as a social process in order to understand not only what music is but why it is: what music means to its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed. Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working field may have training in music, cultural, anthropology, folkore, performance studies, dance, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in the humanities, and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods: (1) Taking a global approach to music (regardless of area of origin, style, or genre). (2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is shaped by its cultural context). (3) Engaging in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music being studied, frequently gaining facility in another music tradition as a performer or theorist), and historical research. Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to all elements of social life. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural 8
study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, disciplinary approaches, and methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may promote and document music traditions or participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution, medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicologists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and other institutions that promote the appreciation of the world’s musics. http://www.ethnomusicology.org/ ?page= whatisethnomusicology
Dari kutipan dalam situs web etnomusikologi.org tersebut, maka dapat dipahami bahwa etnomusikologi adalah studi musik dalam konteks budayanya. Etnomusikolog biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial untuk memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut. Etnomusikologi sangat interdisipliner. Para ilmuwan yang bekerja di lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik, ilmuwan antropologi budaya, cerita rakyat, kajian pertunjukan, tari, studi budaya, studi gender, studi ras atau etnik, studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmuilmu humaniora dan sosial. Namun, semua etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam
pendekatan dan metodenya, seperti berikut: 1) Mengambil
pendekatan global untuk musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau genre). 2) Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). 3) Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli
teori sekeligus), dan penelitian
sejarah musik. Etnomusikolog aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka belajar musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua
9
elemen kehidupan sosial. Sebagai pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia, musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus (misalnya, tradisi musik sakral, musik dan politik, mengajarkan pendekatan disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan dalam budaya masyarakat.
Bermitra dengan komunitas
musik
yang
mereka pelajari,
etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan
musik tradisi
atau berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya, penyelesaian konflik, pengobatan, pemrograman seni, atau komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya, rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia. Dengan demikian, kerja keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu etnomusikologi seperti tersebut di atas. Melalui empat hal yang telah penulis tentukan dalam seni dampeng ini, maka akan dapat menjelaskan kepada kita tentang struktur melodi dan makna teks dampeng serta rangkaian upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Berdasarkan rumusan masalah dan beberapa alasan yang menarik perhatian penulis di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: menganalisis dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga, sehingga mendapatkan dan memberikan makna yang terkandung dalam dampeng terhadap Suku Pesisir Kota Sibolga. Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penulis memfokuskan penelitian pada dampeng dan menuliskannya dalam karya ilmiah dengan judul: Analisis Musikal dan Tekstual Dampeng pada Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga.
10
1.2
Pokok Masalah Berdasarkan uraian dan penjelasan latar belakang di atas, penulis
menentukan dua pokok masalah untuk membatasi wilayah pembahasan. Adapun pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah struktur melodi dampeng yang disajikan dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kelurahan Pasar Belakang, Kota Sibolga? 2. Apakah makna teks dampeng yang disajikan dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kelurahan Pasar Belakang, Kota Sibolga?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Melalui penyusunan skripsi ini, penulis menentukan tujuan dan
memperoleh manfaat penelitian. Berikut ini, penulis menguraikan tujuan dan manfaat penelitian sesuai dengan latar belakang dan pokok masalah yang telah dipaparkan sebelumnya.
1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui struktur melodi dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. 2. Untuk mengetahui makna teks dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga.
1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
11
1. Sebagai modal awal bagi penulis untuk mengasah dan membekali kemampuan selaku mahasiswi Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara. 2. Sebagai dokumentasi kebudayaan Suku Pesisir Kota Sibolga dan secara khusus dapat memotivasi generasi muda Suku Pesisir Kota Sibolga. 3. Sebagai informasi dan catatan kebudayaan bagi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sibolga. 4. Sebagai sumber bacaan yang dapat memberikan informasi tentang kebudayaan Suku Pesisir di Perpustakaan Umum Kota Sibolga. 5. Sebagai sumber referensi bagi peneliti lain yang memiliki keterkaitan judul penelitian dengan dampeng.
1.4
Konsep dan Teori Melalui konsep dan teori, penulis diarahkan dan difokuskan untuk
memperoleh gambaran tentang objek penelitian dan memecahkan pokok permasalahan yang telah ditentukan. Selain itu, konsep dan teori juga berfungsi sebagai pedoman dan dasar untuk mencari dan melengkapi data-data yang dibutuhkan.
1.4.1 Konsep Konsep menurut R. Merton (dalam buku Koetjaraningrat 1983:21) merupakan definisi dari apa yang perlu diamati; konsep menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan adanya hubungan empiris. Sedangkan Koentjaraningrat (2009:85) mengatakan bahwa, konsep merupakan penggabungan dan perbandingan bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan asas-
12
asas tertentu secara konsisten. Berdasarkan pengertian di atas, penulis menggambarkan hubungan beberapa konsep yang berkaitan dengan tulisan ini melalui definisinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008:58), kajian atau analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Berpedoman dengan definisi di atas, kata analisis dalam tulisan ini berarti hasil penguraian dan penelaahan objek penelitian. Melodi dan teks dampeng yang diperoleh sebagai inti penelitian diuraikan dan ditelaah untuk mendapat pengertian dan pemahaman tentang dampeng secara keseluruhan. Musik
dalam
Oxford
Universal
Dictionary
Third
Edition
(Merriam1964:27) didefinisikan sebagai berikut: That one of the fine arts which is concerned with the combination of sounds with a view to beauty of form and the expression of thought or feeling. Artinya secara harfiah adalah salah satu bagian seni murni yang meliputi kombinasi bunyi-bunyian dengan suatu pandangan dalam memperindah bentuk dan ekspresi hasil pikiran atau perasaan. Selain itu, musik diartikan American College Dictionary Text Edition (Merriam 1964:27) sebagai: An art of sound in time which expresses ideas and emotions in significant forms through the elements of rhythm, melody, harmony, and color. Definisinya secara harfiah yakni suatu seni bunyi dalam waktu yang bersamaan mengungkapkan berbagai ide dan emosi dengan bentuk-bentuk yang berarti melalui elemen-elemen dari ritme, melodi, harmoni, dan warna. Berdasarkan dua pengertian musik di atas, dapat disimpulkan bahwa musikal adalah suatu hal yang berkaitan dengan hasil pikiran dan perasaan di mana
13
mengandung kombinasi bunyi-bunyian (ritme, melodi, harmoni, dan warna) dan berbagai ide serta emosi. Dampeng pada upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga dapat penulis nyatakan sebagai objek kajian Etnomusikologi, karena terbentuk dari bunyi-bunyian, emosi, struktur, dan bentuk dan diklasifikasikan sebagai nyanyian. Selain itu, dampeng juga mengandung elemen melodi, ritme, harmoni, dan tekstur. Berdasarkan seluruh pemaparan di atas, tulisan ini membahas tentang struktur musik dampeng yang difokuskan pada melodi. Melodi menurut Michael Pilhofer and Holly Day (2007:219) dalam buku Music Theory for Dummies, adalah sebagai berikut: The melody is the part of the song we can’t get out of our heads. The melody is the lead line of a song, the part that the harmony is built around, and the part of the song that gives as much glimpse into the emotion of a piece as the rhythm does. Artinya secara harfiah yaitu melodi adalah bagian dari lagu di mana kita tidak dapat melepaskannya dari kepala kita. Melodi adalah garis awal dan akhir dari sebuah lagu, bagian yang membangun harmoni, dan bagian dari lagu yang memberikan banyak pengenalan ke dalam suatu emosi sebagaimana ritme juga. Kebudayaan musik dunia mengandung unsur-unsur musikal secara murni. Unsur-unsur musikal tersebut meliputi nada, ritme, harmoni, tekstur, dan bentuk. Namun, unsur-unsur musikal terbentuk bersama berbagai unsur lainnya. Berbagai unsur lainnya memiliki peranan dan tujuan yang sama. Mereka terlibat dan mendukung unsur-unsur musikal. Bahasa merupakan salah satu unsur pendukung kebudayaan musik dunia. Bahasa
dapat
dikatakan
sebagai
jembatan
yang
mengantarkan
proses
penyampaian suatu kebudayaan musik, baik dalam seni pertunjukan maupun
14
pertunjukan kultural. Dengan demikian, bahasa menjadi sarana komunikasi lisan dalam setiap pertunjukan seni. Bahasa dalam pertunjukan seni sering disebut sebagai teks. Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat 2008:1474). Dari definisi teks di atas, tekstual berarti hal yang berikatan dengan suatu teks. Teks mengacu pada syair-syair dampeng yang disajikan dalam bentuk pantun. Dalam tulisan ini, penulis menganalisis makna teks yaitu berupa naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang dampeng. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008:1595), ada 3 pengertian upacara, yaitu (1) tanda-tanda kebesaran; (2) peralatan (menurut adat-istiadat); tingkah laku atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama; dan (3) perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. Berdasarkan 3 pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa upacara adalah perayaan yang diadakan sehubungan dengan peristiwa penting dan sakral yang terikat pada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama. Menurut
Koentjaraningrat
(2009:93),
adat
merupakan
seluruh
pengetahuan, gagasan, dan konsep yang dianut oleh sebagian besar warga suatu masyarakat. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008:58), ada 2 pengertian adat yakni: (1) aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; (2) kebiasaan; cara yang sudah menjadi kebiasaan. Berpedoman pada 2 pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adat
15
adalah aturan dan kebiasaan yang lazim dilakukan berdasarkan gabungan pengetahuan, gagasan, dan konsep yang dianut oleh suatu masyarakat. Adat dalam Suku Pesisir disebut dengan istilah adat sumando. Adat sumando Pesisir memiliki beberapa konsep pengertian. Sumando dapat diartikan sebagai kebudayaan Pesisir meliputi keseluruhan aspeknya, baik adat istiadat, kesenian, bahasa, dan makanan. Sumando dapat mengacu pada panggilan untuk setiap pemuda yang menikah dengan pemudi Pesisir. Selain itu, sumando juga merupakan pertambahan dan percampuran antara satu keluarga dengan keluarga lain diikat dengan pernikahan menurut Agama Islam dan dikukuhkan dengan adat Pesisir. Dengan demikian, sumando adalah lembaga adat yang memberikan status pengakuan pada suatu upacara yang melaksanakannya sesuai dengan tata aturan yang berlaku. Menurut
Djojodigoeno
(dalam
Koentjaraningrat
2009:119),
suku
merupakan suatu masyarakat yang terdiri dari warga suatu kelompok kekerabatan. Sedangkan suku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008:58) adalah golongan orang-orang (keluarga) yg seturunan; suku sakat; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar; golongan orang sebagian dari kaum yang seketurunan. Berdasarkan pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa, suku merupakan suatu masyarakat hidup berdampingan yang terdiri dari golongan kelompok yang seturunan, bangsa, dan kekerabatan serta mempunyai rasa identitas yang sama. Pesisir adalah suatu masyarakat yang hidup berdampingan dengan melaksanakan sistem, aktivitas adat tertentu sebagai gabungan golongan kelompok yang seturunan, bangsa, dan kekerabatan serta rasa identitas yang sama.
Menurut Takari dkk. (dalam Sitompul 2013:2) menyatakan bahwa
16
kebudayaan masyarakat Pesisir adalah merupakan melting pot (creole) antara keturunan beberapa kelompok etnik, seperti: Minangkabau, Batak Toba, Mandailing, Angkola, dan Melayu. Namun, secara mendalam seseorang dikenal dan diidentitaskan sebagai masyarakat pendukung Suku Pesisir apabila ia melakukan, melaksanakan dan mengikuti sumando Pesisir, yaitu: 1) adat Pesisir; 2) kesenian Pesisir; 3) bahasa Pesisir; dan 4) makanan Pesisir (Radjoki 2012:29). Ada 6 tahap proses upacara adat perkawinan Suku Pesisir, yaitu (1) risikrisik atau sirih tanyo; (2) marisik; (3) maminang; (4) manganta kepeng atau batunangan; (5) mato karajo; dan (6) balik ari atau tapanggi (dalam Sitompul 2013:62). Koentjaraningrat (1989:92) menyatakan bahwa perkawinan merupakan salah satu tahap dalam siklus hidup manusia. Tahap-tahap yang ada di sepanjang hidup manusia seperti masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah menikah, masa tua, dan sebagainya. Perkawinan juga merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat kesukuan perkawinan dianggap sebagai alat agar seorang mendapat status yang lebih diakui ditengah kelompoknya. Berdasarkan pengertian di atas, pelaksanaan upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga merupakan media budaya agar masyarakat Suku Pesisir mendapat status yang lebih diakui ditengah kelompoknya. Hal tersebut tercermin dalam pelaksanaan sumando dalam setiap perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Selain itu, perkawinan juga menandakan bahwa sudah terlewatinya satu bagian dari siklus hidupnya.
17
1.4.2 Teori Teori merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ilmiah. Kerlinger (dalam Sugiono 2009:79), mengemukakan bahwa: Theory is a set of interrelated construct (concepts), definitions, and proposition that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with purpose of explaining and predicting the phenomena. Artinya secara harafiah, teori adalah sebuah rangkaian hubungan konsep, definisi, dan proposisi yang menunjukkan suatu urutan yang sistematis dari fenomena dengan menggambarkan hubungan antara banyak variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan fenomena tersebut. Dengan ini, penulis menggunakan teori untuk membahas dan menjawab pokok permasalahan. Untuk mengetahui sistem upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga, penulis berpedoman pada sistem upacara keagamaan yang menjadi perhatian dari para ahli antropologi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2009:296), yakni secara khusus mengandung empat aspek: (1) tempat upacara dilakukan; (2) saat-saat upacara dijalankan; (3) benda-benda dan alat upacara; dan (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Setiap kebudayaan musik dunia memiliki sistem-sistem musik yang berbeda. Karena kebudayaan musik dunia dikerjakan dengan cara yang tidak sama oleh setiap pendukung kebudayaan (Nettl 1977:3). Sistem-sistem musik tersebut dapat berupa teori, penciptaan, pertunjukan, pendokumentasian, penggunaan, fungsi, pengajaran, estetika, kesejarahan, dan lain-lain. Salah satu sistem yang terlihat jelas dalam suatu kebudayaan musik dunia adalah pengajarannya yang diwariskan dari mulut ke mulut (oral tradition) (Nettl 1973:3). Dengan demikian pewarisan kebudayaan melalui mulut ke mulut dapat
18
menciptakan hasil kebudayaan musik yang berbeda dari setiap generasi. Hal ini tentu dapat dijadikan sebagai hal yang menarik untuk diteliti dan harus diketahui tentang materi-materi lisan dan variasi ragam musik yang menggunakan istilahistilah ideal dari suatu kebudayaan musik itu sendiri. Tradisi lisan dalam pewarisan kebudayaan musik menciptakan berbagai ragam variasi musik dan materi-materi lisan. Dampeng merupakan bagian dari pewarisan musik vokal Suku Pesisir yang tercipta bersamaan dengan perubahan waktu dan lingkungan sebagai konsekuensi dari tradisi lisan. Selain itu, generasi pewaris dampeng juga menambahkan ragam baru melalui bakat musikalitas dan semangat yang menambah keindahan bunyi dampeng. Suatu kebudayaan musik mengandung tiga level analisis, antara lain konseptualisasi tentang musik, perilaku yang berhubungan dengan musik, dan bunyi musik itu sendiri (Merriam 1964: 32). Dalam hal ini, peneliti memilih analisisi level ketiga yaitu bunyi musik itu sendiri. Merriam menyatakan bahwa bunyi mempunyai struktur dan merupakan sebuah sistem. Berdasarkan pernyataan di atas, peneliti melakukan analisis struktur bunyi musik yaitu struktur melodi dampeng dalam kebudayaan musik Suku Pesisir. Dalam menganalisis struktur melodi dampeng penulis berpedoman pada teori weighted scale (bobot tangga nada) yang dikemukakan oleh William P. Malm. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu (1) tangga nada (scale); (2) nada dasar (pitch center); (3) wilayah nada (range); (4) jumlah nada (frequency of notes); (5) jumlah interval (prevalent intervals); (6) pola kadensa (cadence patterns); (7) formula melodik (melodic formulas); dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993:13).
19
Selain itu, untuk mendukung teori weighted scale (bobot tangga nada) digunakan
juga
cara
mendeskripsikan
musik
(description
of
musical
compositions) yang dikemukakan oleh Bruno Nettl. Hal-hal yang patut diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi dampeng, yaitu (1) tonalitas, (2) ritme, (3) bentuk, (4) tempo, dan (5) kontur melodi (1964:1450-1550). Untuk membantu proses analisa struktur melodi dampeng, penulis menggunakan metode transkripsi. Transkripsi merupakan proses menotasikan bunyi yang didengar dan mengalihkan bunyi menjadi simbol visual. Dalam menyelesaikan transkripsi, penulis berpedoman pada notasi musik yang dikemukakan oleh Seeger (1967), yaitu notasi preskriptif dan deskriptif. Notasi preskriptif merupakan notasi yang dimaksudkan sebagai alat pembantu untuk penyaji supaya dapat menyajikan komposisi musik. Sedangkan notasi deskriptif adalah notasi yang dimaksudkan untuk menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menggunakan notasi deskriptif dalam pembahasan transkripsi melodi dampeng. Hal ini didasari oleh tujuan notasi deskriptif yang menyampaikan informasi tentang dampeng secara jelas dan mendetail, sehingga harapan komponis dampeng dapat diungkapkan. Salah satu sumber daya untuk dapat memahami perilaku manusia melalui hubungannya dengan musik adalah teks. Meskipun teks adalah perilaku bahasa, tetapi bunyi musik dan teks merupakan satu bagian integral dalam musik (Merriam 1964:187). Dalam musik vokal dampeng, teks merupakan karakteristik penting lainnya, di mana melodi dampeng yang sama dinyanyikan dengan teks yang berbeda-beda (strophic).
20
Studi teks juga memberikan kesempatan dalam menemukan hubunganhubungan antara aksen bahasa dan aksen musik sebagai reaksi musikal (Nettl 1977:9). Untuk menganalisa struktur teks dampeng, penulis berpedoman pada teori William P. Malm. Dalam buku terjemahan Music Culture of the Pasific, the Near East, and Asia, ia menyatakan bahwa dalam musik vokal, hal sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis. Sebaliknya bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatik. Dalam
mendalami
makna-makna
teks
dalam
dampeng,
penulis
menggunakan teori semiotik. Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang dikomunikasikan. Istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion. Panuti Sudjiman dan van Zoest (dalam Bakar 2006:45-51) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Menurut Ferdinand de Saussure (perintis semiotika dan ahli bahasa), semiotik adalah the study of “the life of signs within society”. Secara harafiah dapat diartikan dengan studi dari tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat. Selain itu, teori pendekatan semiotik sosial (social semiotics) yang diperkenalkan oleh Halliday juga menyatakan bahwa bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut. Berdasarkan pengertian di atas, kedua teori di atas akan mengarahkan penulis untuk menganalisis makna tersurat dan tersirat dampeng di balik penggunaan lambang dalam kehidupan Suku Pesisir di Kota Sibolga.
21
1.5
Metode Penelitian Menurut Koetjaraningrat (2009:35), metode ilmiah dari suatu pengetahuan
merupakan segala cara yang digunakan dalam ilmu tersebut, untuk mencapai suatu kesatuan. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati, dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis 2006:24). Jadi, metode penelitian adalah segala cara yang digunakan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sistematis untuk mewujudkan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. Dalam melaksanakan penelitian, penulis menggunakan metode kualitatif yang bersifat mengumpulkan, mengkhususkan, dan menerangkan data dengan penguraian makna-makna.
1.5.1 Studi Pustaka Koetnjaraningrat (2009:35) menyatakan bahwa studi pustaka bersifat penting karena membantu penulis untuk menemukan gejala-gejala dalam objek penelitian. Melalui studi pustaka, penulis sebagai peneliti awam diperkaya dengan informasi-informasi pendukung awal dalam berbagai sumber buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Dalam ilmu Etnomusikologi, ada dua sistem kerja dalam penelitian, yaitu desk work (kerja laboratorium) dan field work (kerja lapangan). Studi kepustakaan tergolong ke dalam kerja laboratorium. Di mana sebelum melakukan penelitian, peneliti mengumpulkan data-data dan merangkum data-data yang telah didapat. Kerja ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti saat terjun ke lapangan. Selain itu, penulis dipersiapkan dan diarahkan untuk melakukan penelitian lapangan.
22
Studi kepustakaan juga membantu penulis dalam menemukan data-data yang berhubungan dengan kinerja dan pengembangan tulisan ini. Tahap awal yang penulis lakukan dalam studi kepustakaan adalah melakukan studi kepustakaan dengan cara mempelajari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek pembahasan. Selanjutnya, penulis mencari dan mengumpulkan informasi dan referensi dari skripsi yang ada di Departemen Etnomusikologi. Penulis juga mempelajari bahan lain seperti buku dari Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara, Dinas Pariwisata Kota Sibolga, dan artikel-artikel lainnya yang mendukung penyelesaian skripsi ini. Penulis mengumpulkan data dengan menggunakan teknologi internet, sesuai dengan kemajuan teknologi yang ada pada saat ini. Dengan melakukan penelusuran data online di situs www.google.com dan website resmi Kota Sibolga,
penulis
mendapat
banyak
anjuran-anjuran
situs
lain
seperti
www.wikipedia.com, repository Universitas Sumatera Utara, blog-blog, dokumen PDF (portable data file), dan lain-lain. Semua informasi dan data yang didapat baik melalui skripsi, buku, artikel, dan internet membantu penulis untuk mempelajari dan membandingkannya untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.
1.5.2 Penelitian Lapangan Dalam penelitian lapangan, peneliti sekaligus penulis menunggu terjadinya gejala yang menjadi objek dan masuk ke dalamnya yaitu dampeng dalam suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Untuk itu, penelitian lapangan bersifat penting untuk mengumpulkan fakta-fakta dan keterangan melalui pengamatan, wawancara, dan perekaman atau dokumentasi. Observasi dilakukan dengan menceburkan diri dan mengamati dampeng secara berulang-
23
ulang dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga untuk memperoleh data yang maksimal. Wawancara dilakukan dengan berinteraksi pada peserta upacara adat perkawinan Suku Pesisir. Secara khusus dilaksanakan dengan informan pangkal terutama kepada informan pokok atau kunci sebagai narasumber penulis. Perekaman atau dokumentasi dilakukan dengan sebaikbaiknya di mana penulis melakukan rekaman audio secara fokus untuk memperoleh data melodi dampeng dan rekaman audiovisual untuk memperoleh proses penyajian dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga.
1.5.2.1 Observasi Observasi atau pengamatan digunakan dalam rangka mengumpulkan data dalam suatu penelitian merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan, atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan atau fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat (Mardalis 2006:63). Metode observasi menggunakan kerja pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit (Burhan Bungin 2007:115). Observasi yang dilakukan penulis bertujuan untuk melihat dan mengetahui secara jelas tentang dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Selain mengamati dampeng dalam suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir, penulis juga berkomunikasi dengan pelaku upacara adat lainnya secara langsung.
24
Tahap awal kerja lapangan ini dilakukan dengan cara observasi langsung ke lapangan, yaitu mengikuti dan melihat upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga yang melaksanakan adat sumando dan dampeng, melakukan pengamatan serta berbaur dengan peserta upacara, baik pengantin, orang tua pengantin, tamu dan undangan, serta penyaji dampeng. Hal itu dilakukan agar mendapat komunikasi yang baik dengan masyarakat dan peserta upacara adat yang lainnya demi mendapat informasi yang lebih baik.
1.5.2.2 Wawancara Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang melengkapi dan menjelaskan data yang diperoleh melalui observasi. Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada si peneliti (Mardalis 2006:64). Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dalam rangka mengumpulkan keterangan-keterangan tentang dampeng dalam kehidupan Suku Pesisir. Koentjaraningrat
(1983:138-139) menyatakan pada umumnya ada
beberapa macam wawancara yang dikenal oleh para peneliti. Beberapa macam wawancara dibagi ke dalam dua golongan besar: (1) wawancara berencana (standardized interview) dan (2) wawancara tak berencana (standardized interview). Wawancara berencana selalu terdiri dari suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Sebaliknya wawancara tak berencana tak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata dan dengan tata urut tetap yang harus dipatuhi oleh peneliti secara ketat. Demikian macam metode wawancara tak berencana secara lebih khusus dapat dibagi ke dalam (a) metode wawancara berstruktur (structured interview) dan (b) metode wawancara tak berstruktur (unstructured interview). Wawancara tak berstruktur juga dapat dbedakan secara lebih khusus lagi dalam dua golongan, ialah (1) wawancara yang berfokus (focused interview) dan (2) wawancara bebas (free interview).
25
Metode wawacara yang digunakan penulis adalah wawancara berstruktur, tak berstruktur, dan kombinasi keduanya. Pada awal penerapan wawancara, penulis telah mempersiapkan daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada informan pokok. Namun, kenyataannya siklus wawancara itu berubah. Hal itu disebabkan oleh munculnya pertanyaan lain berdasarkan hasil saat wawancara berlangsung. Dalam wawancara yang berikutnya, penulis akan melakukan kolaborasi wawancara di mana akan dipersiapkan baik pertanyaan-pertanyaan terfokus kepada informan pokok dan garis-garis besar topik wawancara diluar daftar pertanyaan yang akan menggali informasi sedetail mungkin. Dalam wawancara kali ini, penulis menetapkan 2 narasumber, yaitu Bapak Khairil Hasni Siregar dan Bapak Syahriman Irawady Hutajulu. Kedua narasumber tersebut adalah budayawan Suku Pesisir, sekaligus yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang kesenian yang ada di Sibolga dan Tapanuli Tengah. Kedua narasumber juga termasuk dalam penyaji dampeng dalam upacara-upacara adat perkawinan yang dilaksanakan di Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Selain itu, penulis juga mewawancarai penyaji dampeng lainnya serta beberapa tokoh masyarakat lainnya yang berkaitan dengan pengembangan tulisan ini.
1.5.2.3 Perekaman atau Dokumentasi Untuk pendokumentasian data yang berkaitan dengan dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga, penulis menggunakan kamera digital dan perekam suara. Spesifikasi dari kamera digital yang dipakai adalah merek Samsung Smart Camera WB30F, sedangkan spesifikasi dari perekam suara adalah merek Sony IC Recorder ICD-312. Data rekaman atau dokumentasi sebagai data penelitian diperoleh melalui rekaman audio dan
26
audiovisual pada upacara adat perkawinan sumando saudara Dewi Astuti Bandar dengan Surya Dharma Kombih pada hari Sabtu tanggal 15 Maret 2014.
1.5.3 Kerja Laboratorium Dalam kerja laboratorium, penulis akan mengumpulkan seluruh data yang terkumpul dari observasi, wawancara, dan perekaman atau dokumentasi. Data wawancara dituliskan kembali untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Selanjutnya, penulis
seluruh
data
observasi,
wawancara,
dan
perekaman diuraikan secara detail dan ditafsirkan dengan pendekatan emik dan etik. Data audio yang menjadi objek penelitian penulis ditranksripsikan dengan cara didengar berulang kali dan dituliskan dalam bentuk notasi. Selanjutnya, seluruh data dibentuk dan dijadikan sebagai data secara detail sesuai dengan objek penelitian dalam penulisan skripsi. Data yang dipergunakan dalam tulisan ini merupakan data-data yang diperlukan sesuai dengan kriteria disiplin ilmu Etnomusikologi.
1.6
Lokasi Penelitian Secara umum, suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga
diadakan di rumah pengantin perempuan. Dengan demikian, lokasi penelitian penulis berada di rumah pengantin perempuan yang beralamat di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 52, Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga. Penulis memilih kota Sibolga sebagai lokasi penelitian karena upacara adat perkawinan Suku Pesisir masih dapat ditemukan di Kota Sibolga. Selain itu,
27
lokasi penelitian ini juga masih menggunakan bahasa Pesisir, kesenian Pesisir, makanan pesisir sebagai bagian dari sumando Pesisir.
28
BAB II SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA
2.1 Gambaran Umum Suku Pesisir Bab ini akan mengenalkan Suku Pesisir melalui lokasi penelitian. Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara. Di wilayah ini, dampeng masih didapati dalam suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir.
2.1.1 Topografi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, topografi merupakan kajian atau atau penguraian yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah (2008:1482). Kota Sibolga merupakan daerah yang terletak di wilayah Pesisir Pantai Barat Sumatera Utara. Menurut Sogiarto dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, pesisir itu adalah wilayah pertemuan antara darat dan laut dimana ekosistem darat dan laut saling berinteraksi; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Kota Sibolga berjarak lebih kurang 340 km dari Kota Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Posisinya berada pada sisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap ke arah Samudera Hindia. Seluruh wilayahnya berbatasan dengan
29
Kabupaten Tapanuli Tengah di sebelah Timur, Selatan, dan Utara. Sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Secara geografis, wilayah Kota Sibolga terletak terletak antara 1º 42'-1º 46' Lintang Utara dan 98º 44' - 98º 48' Bujur Timur. Wilayah Kota Sibolga berdiri di atas daratan pantai, lereng, dan pegunungan di mana sebagian besar penduduknya bermukim di dataran pantai yang rendah. Bentuk Kota Sibolga memanjang dari Utara ke Selatan mengikuti garis pantai. Sebelah Timurnya terdiri dari gunung. Sedangkan sebelah Barat terdiri dari lautan. Lebar kota ini berjarak lebih kurang 500 meter dari garis pantai ke pegunungan sedangkan panjangnya adalah 8.520 km. Keadaan alamnya relatif kurang beraturan. Kemiringan (lereng) lahan bervariasi antara 0-2 % sampai dengan 40%. Sebagian besar (69%) wilayah kota madya ini merupakan perairan dan pulau-pulau yang tersebar di Teluk Tapian Nauli. Sedangkan sisanya merupakan dataran bekas rawa di dataran pantai Sumatera yang ditimbun membujur dari Barat Laut ke Tenggara dengan ukuran 5,6 kali 0,5 km. Dataran ini merupakan tempat pemukiman penduduk. Beberapa pulau yang tersebar di sekitar teluk Tapian Nauli yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kota Sibolga adalah pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik, dan pulau Panjang. Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yang berada pada daratan pantai, lereng, dan pegunungan terletak pada ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 150 meter. Wilayah ini memiliki iklim yang cukup panas sekitar 21,6°C-32°C. Sementara curah hujannya cenderung tidak teratur di sepanjang tahunnya. Curah
30
hujan tertinggi terjadi pada bulan November dengan jumlah sekitar 798 mm. Sedangkan hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember selama 26 hari.4
2.1.2 Luas Wilayah Kota Sibolga merupakan wilayah yang cukup sempit dengan cakupan wilayah daratan seluas 1077 ha. Cakupan wilayah ini terdiri dari 889,16 ha (82,5%) daratan, 187,84 ha (17,44%) daratan kepulauan. Sedangkan wilayah lautannya memiliki luas sekitar 2.171,6 ha. Secara administratif daerah ini terdiri dari empat kecamatan. Berdasarkan data wilayah BPS Kota Sibolga tahun 2012, Kota Sibolga terdiri dari empat kecamatan dengan 17 kelurahan dan 68 lingkungan. 17 kelurahan dalam wilayah kecamatan Kota Sibolga, yakni: 1. Kecamatan Sibolga Utara, meliputi Kelurahan Sibolga Ilir, Kelurahan Angin Nauli, Kelurahan Hutabarangan, Kelurahan Hutatonga-tonga, dan Kelurahan Simaremare; 2. Kecamatan Sibolga Kota, meliputi Kelurahan Pasar Baru, Kelurahan Pasar Belakang, Kelurahan Pancuran Gerobak dan Kelurahan Kota Beringin; 3. Kecamatan Sibolga Sambas, meliputi Kelurahan Pancuran Kerambil, Kelurahan Pancuran Pinang, Kelurahan Pancuran Bambu, dan Kelurahan Pancuran Dewa; 4. Kecamatan Sibolga Selatan, meliputi Kelurahan Aek Muara Pinang, Kelurahan Aek Habil, Kelurahan Aek Parombunan, dan Kelurahan Aek Manis.
4
Dikutip dari situs: www.sibolgakota.go.id
31
Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Sibolga berdasarkan Kecamatan No.
Luas Wilayah (km2)
Kecamatan
1
Sibolga Utara
3,33
2
Sibolga Kota
2,73
3
Sibolga Selatan
3,14
4
Sibolga Sambas
1,57
Total
10,77 Sumber BPS Kota Sibolga Tahun 2010
2.1.3 Demografi Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kota Sibolga adalah sebanyak 85.981 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 43.100 jiwa laki-laki dan 42.881 jiwa perempuan.
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin No.
Kecamatan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki dan Perempuan
1
Sibolga Utara
10.107
10.239
20.346
2
Sibolga Kota
7.194
7.417
14.611
3
Sibolga Selatan
15.419
15.140
30.559
4
Sibolga Sambas
10.380
10.085
20.465
Total
43.100
42.881
85.981
Sumber BPS Kota Sibolga Tahun 2010
Kota Sibolga dikenal dengan semboyan “Negeri berbilang kaum”. Hal ini dapat dibuktikan dengan keanekaragaman suku di dalam daerah ini. Keempat
32
kecamatan ini dihuni oleh berbagai suku, antara lain Suku Melayu 2.382 jiwa, Karo 425 jiwa, Simalungun 295 jiwa, Toba 45.695 jiwa, Mandailing 4.612 jiwa, Pakpak 164 jiwa, Nias 6.293 jiwa, Jawa 5.283 jiwa, Minang 8.793 jiwa, Cina 3.496 jiwa, Aceh 2.613 jiwa, dan suku lainnya 1.690 jiwa. Total keseluruhan berjumlah 81.699 jiwa (Hasil Sensus Dinas Kependudukan Kota Sibolga Tahun 2000). Berikut ini digambarkan secara grafis jumlah penduduk di Kota Sibolga menurut Suku. Diagram 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Suku
Melayu Karo Simalungun Toba Mandailing Pakpak Nias Jawa Minang Cina Suku Lainnya
2.2 Unsur Kebudayaan Suku Pesisir Unsur Kebudayaan Suku Pesisir di Kota Sibolga meliputi, (1) adat-istiadat Pesisir dikenal dengan adat sumando; (2) kesenian Pesisir terdiri dari kesenian sikambang, yaitu tari-tarian, alat musik, lagu dan tata rias pengantin, pelaminan, dan pernak-pernik pelaminan; (3) masakan khas pesisir seperti kue dan gulei (Pasaribu 2008:54, 81, 273). Berikut ini disajikan beberapa unsur kebudayaan Suku Pesisir Kota Sibolga. 33
2.2.1. Adat-istiadat Menurut Soedarsono (dalam Pasaribu 2008:54), adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia, baik pikiran-pikiran dan ideide, maupun tindakan dan karya manusia dalam menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Dengan demikian, adat istiadat merupakan hasil ide dan tindakan manusia yang diarahkan menjadi kebiasaan dari masyarakat penghasil ide tersebut. Adat-istiadat Suku Pesisir dikenal dengan adat sumando. Adat sumando secara umum berdasar kepada ajaran-ajaran Agama Islam. Konsepnya tercermin dalam adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Ini berarti bahwa adat sumando mendasarkan ide, pelaksanaan, dan penghayatannya pada ajaran-ajaran Islam (Sitompul 2013:3). Menurut Panggabean (1995:193), adat sumando berasal dari Pulau Poncan yang diawali dengan perpindahan penduduk dari Poncan ke Sibolga dan kemudian berkembang ke seluruh daerah Tapanuli Tengah. Istilah Sumando berasal dari kata suman dalam bahasa Batak berarti serupa, atau terjemahan bebasnya dipasuman-suman. Selanjutnya, kata suman berubah menjadi sumando artinya hampir serupa tetapi tidak sama dengan adat yang ada pada Suku Minangkabau di Sumatera Barat. Pada mulanya, adat yang tertinggi berada pada Raja atau Kuria. Seterusnya, tingkat pelaksanaan adat berada pada empat lapisan, yaitu fakir miskin (dada), orang miskin (lamukku), orang kaya (ata), dan keturunan raja (bare). Adat sumando adalah ”campuran”dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan adat Batak. Ini berarti bahwa semua hal-hal yang baik diterima dan yang tidak sesuai dengan tata krama dan sikap hidup sehari-hari masyarakat Suku Pesisir diabaikan. Hal tersebut sesuai dengan konsep sumando yakni adat bersandi sarak
34
dan sarak bersandi kitabullah, artinya adat berdampingan dengan kebiasaan atau perilaku dan perilaku berlandaskan kepada kitab Allah (Sitompul 2013:9). Orang sumando merupakan sebutan yang sering dipanggil untuk Suku Pesisir. Mereka mempunyai motto, yaitu bulek ai dek dipambulu, bulek kato dek mufakat, dek saiyo mangko sakato, dek sakato mangko sapakat (Sitompul 2013:9). Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: semua permasalahan pada akhirnya diputuskan lewat musyawarah dan dalam musyawarah itu akan disatukan pendapat dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang terbaik.
2.2.2. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan pada Suku Pesisir Kota Sibolga bersifat patrilineal. Patrilineal artinya garis keturunan diwariskan dari pihak ayah. Garis keturunan tersebut dapat dilihat dari marga yang dibawa oleh keturunannya, misalnya seorang laki-laki bermarga Bandar menikahi seorang perempuan bermarga Sitompul, maka anaknya laki-laki atau perempuan memiliki marga ayahnya yaitu Bandar. Skema di bawah ini menjelaskan tentang sistem patrilineal Suku pesisir.
Bagan 2.1:
Sistem Kekerabatan Patrilineal Suku Pesisir Kota Sibolga
♂ (R. Bandar)
♀ (T. Bandar)
♀ (S. Sitompul)
♂ (U. Bandar) 35
♂ (V. Bandar)
Dalam adat Pesisir, marga yang diterima dari pihak laki-laki atau ayah tidak dipermasalahkan. Namun, marga tetap dipakai oleh seorang anak sebagai pemberian dari orang tua. Sistem patrilineal dalam adat Suku Pesisir merupakan sistem yang berbeda dari patrilineal lainnnya. Hal ini tercermin dari pembagian harta warisan. Menurut adat sumando, semua anak yang dilahirkan baik anak lakilaki maupun anak perempuan dalam keluarga pesisir mendapatkan hak warisan yang sama rata. Dalam adat Pesisir juga terdapat adat untuk memanggil atau menyebut orang-orang yang terdekat dan menjadi bagian keluarga. Sistem tersebut dikenal dan disebut Suku Pesisir dengan baso. Berikut ini, baso Suku Pesisir digambarkan oleh penulis dengan diagram sederhana.
Bagan 2.2 Sistem Baso Suku Pesisir Kota Sibolga ♂ 1. R. Bandar
♂ + ♀ 3. T. Bandar 4. A.Gorat Bandar
♀
+
♀ 2. S. Sitompul
♂ ♀ 5. B.Siregar + 6. U. Bandar
♂
9. K. Bandar 10. L. Hutagalung
♀ ♂ 7. W.Ritonga + 8. V.
♂
♀ 11. M. Bandar
N. Bandar
36
12.
Keterangan:
Kakek dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 1 dengan angku.
Nenek dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 2 dengan uci.
Ayah dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 3 dengan aya.
Ibu dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 4 dengan umak.
Abang dipanggil 11 dan 12 terhadap 9 dengan ogek.
Kakak dipanggil 12 terhadap 11 dengan uning.
Abang ipar dipanggil 5 terhadap 3 dengan ta’ajo.
Kakak Ipar dipanggil 6 terhadap 4 dengan ta’uti.
Tante dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 6 dengan oncu.
Paman dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 5 dengan pa’oncu.
3 dipanggil 9, 10, 11, dan 12 dengan pak tuo.
4 dipanggil 9, 10, 11, dan 12 dengan mak tuo.
2.2.3. Sistem Religi Secara keseluruhan, masyarakat Suku Pesisir menganut Agama Islam. Seluruh aktivitas kehidupan mereka disesuaikan dengan adat yang didasarkan kepada ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam adat sumando yang berdasar pada ajaran-ajaran Agama Islam. Konsep tersebut tercermin dalam adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Hal itu diartikan dengan Suku Pesisir mendasarkan ide, pelaksanaan, dan penghayatan ajaran-ajaran Agama Islam dalam adat sumando. Tingkah laku dan perbuatan Suku Pesisir sehari-hari merupakan suatu kesatuan dalam masyarakat menurut kebiasaan yang telah di atur oleh normanorma Agama Islam. Seluruh tingkah laku dan perbuatan Suku Pesisir tersebut 37
disebut sebagai adat Pesisir. Selain itu, adat Pesisir yang bersendikan Hukum Islam juga berhubungan dengan pembagian harta warisan. Pada dasarnya, pembagian warisan kepada anak laki-laki dan anak perempuan dalam Suku Pesisir mendapat bagian yang sama. Namun, jika anak laki-laki tidak menyetujui pembagian tersebut maka akan dikembalikan kepada Hukum Islam (faraid). Di mana, anak laki-laki mendapat dua bagian dari harta warisan. Sedangkan anak perempuan mendapat sebagian dari harta warisan, tetapi emas dan rumah diserahkan kepada perempuan. Hal ini dimaksudkan bahwa apabila saudara lakilaki mengunjungi kampung halaman, maka mereka akan mendatangi saudara perempuannya.
2.2.4. Bahasa Bahasa adalah alat komunikasi untuk Bahasa yang dipakai oleh Suku Pesisir di Kota Sibolga adalah bahasa Pesisir. Bahasa Pesisir merupakan bahasa yang hidup dalam masyarakat Pesisir Kota Sibolga dan dipakai untuk berkomunikasi. Selain diterapkan dalam percakapan sehari-hari, peranan bahasa Pesisir memiliki cakupan yang luas terhadap budaya Pesisir, di antaranya untuk sambutan (tamu, perkawinan, nasihat), sentilan atau ajaran moral (pribahasa), seni (sikambang, pantun, sair), cerita rakyat (legenda), dan silsilah atau jenjang tutur dalam keluarga (baso).5 Bahasa
Pesisir
digunakan
secara
lisan
maupun
tulisan
untuk
menyampaikan maksud dan tujuan sehingga tercapai rasa saling pengertian saat berkomunikasi. Menurut Radjoki Nainggolan, bahasa Pesisir merupakan perwujudan hubungan persaudaraan yang penuh keakraban dalam penyampaian
5
Lembaga Budaya Pantai Barat Sumatera Utara, 24 Juni 2014
38
pesan dan kesan. Hal ini dapat tercapai melalui ucapan yang indah dan mengandung petatah-petitih sehingga menyentuh perasaan.
2.2.5. Kesenian Kesenian Suku Pesisir lazim disebut dengan kesenian pesisir sikambang. Kesenian sikambang secara umum mewakili seluruh kesenian yang berlaku bagi masyarakat Pesisir Pantai Barat Sumatera, mulai dari Meulaboh di Banda Aceh, sampai ke Tapanuli, Minangkabau, dan Bengkulu. Selain di Pantai Barat, sikambang juga berlaku di Pantai Timur Kepulauan Nias dan Pulau Telo. Kesenian Pesisir memiliki bagian pokok yang terdiri dari tarian dan nyanyian dan mengemban unsur kebudayaan bernafaskan seni budaya. Kesenian ini juga mengemban falsafah-falsafah kontemporer yang sarat makna, bercorak petuah, berirama lagu, dan berwujud tari. Kesenian sikambang biasanya digelar dalam berbagai upacara baik yang bersifat adat maupun hiburan, seperti upacara perkawinan, upacara sunat Rasul (khitanan), penyambutan tamu, penobatan atau pemberian gelar, turun karai (turun tanah), menabalkan dan mengayun anak, memasuki rumah baru, peresmian, dan pertunjukan kesenian atau pagelaran Seni budaya zaman dahulu seperti tari, lagu, pantun, dan talibun hadir bak gayung bersambut dengan menunjukkan kepribadian masyarakat Pesisir yang memiliki perasaan halus dan tenggang rasa yang tinggi sesuai dengan alamnya, seperti malam disinari bulan, alunan ombak dan riak gelombang ombak gulungmenggulung saling ikut satu sama lain (Radjoki 2012:47). Sikambang berasal dari 2 kata, yakni “si” dan “kambang”. Kata “si” merupakan kata sandang yang diletakkan di depan sebuah nama. Sedangkan
39
“kambang” merupakan sebuah nama. Menurut Suku Pesisir, sikambang mempunyai beberapa pengertian, yaitu: 1. Nama salah satu jenis ansambel pada masyarakat Pesisir 2. Nama repertoar yaitu sikambang dan sikambang botan 3. Nama salah satu jenis pertunjukan pada masyarakat Pesisir 4. Sebutan untuk nyanyian atau lagu yang akrab. Penyajian kesenian tersebut dibagi dalam empat, yakni alat musik, lagu, tari, dan pantun. Kesenian ini dikenal dengan sebutan sikambang yang memiliki ciri khas tersendiri baik dalam bentuk alat musik, lagu, tari, maupun pantun.
2.2.5.1 Alat Musik Menurut Radjoki Nainggolan, kesenian Pesisir terasa lengkap apabila diiringi dengan alat musik, antara lain: 1. Gandang sikambang terbuat dari kayu bulat dengan satu bagian sisi dilapisi kulit kambing sedangkan bagian sisi satu lagi dibiarkan kosong. Bagian yang kosong diganjal dengan kayu tipis diikat dengan rotan. Gendang ini berfungsi sebagai pembawa ritme yang konstan dalam ansambel. 2. Singkadu terbuat dari bambu dengan panjang 25 cm. Alat musik ini memiliki tujuh lobang nada pada bagian atas dan berjarak 1 cm pada masing-masing lobang. Sebelah bawah terdapat satu lobang. Lobang ini berfungsi untuk keserasian suara. Singkadu berperan sebagi pembawa melodi lagu. 3. Biola berperan sebagai pembawa melodi dalam satu ansambel.
40
4. Akordion juga berperan sebagai pembawa melodi dalam memainkan sebuah lagu dalam kesenian sikambang. Alat musik biola dan akordion merupakan alat musik yang dibawa oleh Bangsa Eropa pada Abad ke-16 yang berdagang dan mencari rempah-rempah di Pelabuhan Barus. Selanjutnya, alat musik ini dipakai dalam ansambel sikambang (Radjoki 2012:58). Alat musik dipakai untuk mengiringi vokal atau lagu dalam setiap kesenian Pesisir.
2.2.5.2 Lagu Lagu dalam kesenian sikambang memiliki hubungan yang erat dengan berbalas pantun. Dengan kata lain, teks lagu kesenian ini berupa pantun yang diambil dari kehidupan masyarakat Suku Pesisir. Pantun terdiri atas 2 bagian, yaitu (1) sampiran pantun diambil dari ungkapan-ungkapan tentang alam, tempat tinggal, dan perihal kehidupan; (2) isi pantun disesuaikan dengan pesan yang ingin disampaikan, misalnya ekspresi perasaan berupa ungkapan kesedihan dan kasih sayang, nasihat, pujian, dan sindiran. Pantun yang dibawakan dengan bernyanyi bersifat bersahut-sahutan. Teks lagu dalam pantun digarap dan disesuaikan oleh pembawanya dengan melakukan berbagai cara, misalnya pengulangan baris, penambahan beberapa kata, penambahan kalimat yang berfungsi sebagai penjelasan atau keterangan, pengurangan kata, dan penggantian kata. Ada 5 jenis lagu dalam kesenian sikambang yang dinyanyikan dalam upacara-upacara adat Suku Pesisir, yaitu: 1. Lagu kapri merupakan lagu pembukaan dalam setiap upacara adat atau perayaan.
41
2. Lagu kapulo pinang merupakan lagu inti dalam suatu upacara adat atau perayaan. 3. Lagu duo juga merupakan lagu inti dalam suatu upacara adat atau perayaan. 4. Lagu dampeng merupakan lagu inti dalam suatu upacara adat. 5. Lagu sikambang merupakan lagu penutup dalam setiap upacara atau perayaan. Dalam suatu upacara adat, kelima lagu di atas merupakan bagian yang terikat dan tidak terpisahkan satu sama lain. Lagu-lagu tersebut harus dinyanyikan secara lengkap mulai dari lagu kapri sampai lagu sikambang. Menurut Khairil Hasni, lagu dalam kesenian sikambang berisi tentang siklus hidup seorang manusia. Lagu-lagunya menggambarkan proses kehidupan sepasang remaja dalam masa perkenalan yang tercermin dalam lagu kapri. Selanjutnya, hubungan perkenalan tersebut bertambah dalam dengan jalinan kasih dan keseriusan di antara keduanya yang tercermin dalam lagu kapulo pinang dan lagu duo. Di mana saat menyanyikan lagu kapulo pinang, tari payung mengiringinya dengan memakai properti payung dan dibawakan seorang laki-laki untuk melindungi kekasihnya. Sedangkan, saat menyanyikan lagu duo, tari selendang mengiringinya dengan memakai selendang yang digunakan seorang perempuan. Lagu mempunyai satu kesatuan yang utuh dengan tarian untuk saling mendukung.
2.2.5.3 Tari Tari dalam kesenian sikambang berhubungan erat dengan lagu-lagunya. Berdasarkan 5 jenis lagu di atas, ada 5 jenis tari pula dalam kesenian sikambang yang ditarikan dalam upacara-upacara adat Suku Pesisir, yaitu:
42
1. Tari saputangan diiringi oleh lagu kapri. Tari ini merupakan tari pembuka untuk memulai setiap tarian yang dilaksanakan pada setiap upacara adat perkawinan. Tari ini menggunakan saputangan atau menari dengan memakai saputangan. Menurut Siti Zubaidah, tari ini melambangkan curahan hati dan perasaan seorang pemuda terhadap seorang pemudi di saat terang bulan. Karena di saat terang bulan, para pemuda tidak turun ke laut. Dengan demikian, itulah kesempatan bagi mereka untuk bersenda gurau dalam mempererat silahturahmi. 2. Tari payung diiringi oleh lagu kapulo pinang. Jenis tari ini merupakan tari yang dapat ditarikan pada upacara adat perkawinan yang berfungsi sebagai hiburan. Tari ini merupakan tarian sepasang pemuda-pemudi, di mana pemuda menggunakan payung dan pemudi menggunakan selendang. Siti Zubaidah menyatakan bahwa tari ini melambangkan pergaulan pemuda-pemudi yang telah diikat oleh suatu acara pertunangan. Di mana, si pemuda telah mengganggap si pemudi telah menjadi pilihannya. Sebaliknya, si pemudi pun telah beranggapan bahwa si pemuda itulah yang menjadi tambatan hatinya. 3. Tari selendang diiringi oleh lagu duo. Tarian ini merupakan tarian kepahlawanan dengan menggunakan gerakan-gerakan silat yang diperhalus. Tari ini adalah tarian berpasangan dengan menggunakan selendang, baik pemuda maupun pemudi dan menarikan gerakan yang sama. 4. Tari rande diiringi oleh lagu dampeng. Tari ini merupakan tarian yang disajikan oleh sekolompok laki-laki. Pada umumnya, tari ini merupakan tari yang bersifat hiburan. Gerakan yang paling dikenali dalam tari ini adalah gerakan berputar yang dilakukan berkali-kali sampai lagu pengiring selesai.
43
5. Tari anak diiringi oleh lagu sikambang. Tari berpasangan ini juga menggunakan selendang saat menari. Siti Zubaidah menyatakan, bahwa selendang menggambarkan perlindungan untuk seorang anak dari gangguan yang menimbulkan penyakit. Secara khusus, tarian ini melambangkan curahan kasih sayang seorang suami terhadap istrinya dan seorang ayah terhadap anaknya.
44
BAB III DESKRIPSI DAMPENG PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU PESISIR
3.1 Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Berdasarkan pemerincian unsur kebudayaan besar oleh R. Linton, perkawinan merupakan wujud sistem budaya dan sistem sosial suatu unsur kebudayaan universal yang diperinci ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil, berupa adat-istiadat dan aktivitas sosial. Adat-istiadat dan aktivitas sosial diperinci ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil, berupa kompleks budaya dan kompleks sosial. Selanjutnya, kompleks budaya dan kompleks sosial dapat diperinci ke dalam unsur tema budaya dan pola sosial. Unsur-unsur tersebut terdapat dalam semua Suku di dunia. Namun, perkawinan tidak disebut sebagai kebudayaan yang universal. Hal ini disebabkan oleh sub-subunsur golongan yang lebih kecil yaitu gagasan dan tindakan sudah terlampau kecil dan bersifat tidak universal (Koentjaraningrat 2009:166-167,169). Perkawinan Suku Pesisir merupakan wujud sistem budaya dan sistem sosial kebudayaan Suku Pesisir. Unsur tersebut diperinci ke dalam adat-istiadat dan aktivitas sosial yang dikenal dengan upacara adat perkawinan sumando. Upacara adat perkawinan sumando Suku Pesisir harus dilaksanakan dalam beberapa proses tahapan sesuai dengan ketentuannya. Proses upacara perkawinan adat sumando Suku Pesisir Sibolga, meliputi beberapa tahap antara lain: (1) risik-risik merupakan tahap untuk mencari informasi dan menanyakan status tentang keberadaan seorang perempuan yang
45
belum menikah di suatu rumah; (2) sirih tanyo merupakan tahap untuk dan menyatakan keinginan menjadikan perempuan tersebut sebagai menantu kepada orang tuanya; (3) marisik merupakan tahap untuk menanyakan kesediaan perempuan tersebut untuk dipersunting menjadi istri; (4) Maminang merupakan tahap untuk menanyakan dan merundingkan pemberian bantuan atau mahar kepada pihak perempuan; (5) manganta kepeng merupakan tahap untuk mengantar bantuan (hantaran) yang telah disepakati kedua belah pihak dan menentukan hari pernikahan yang disetujui kedua belah pihak; (6) mata karajo merupakan tahap pelaksanaan pernikahan, yaitu a) akad nikah dengan Hukum Islam yang diyakini kedua pengantin dan b) adat Suku Pesisir dengan adat sumando; dan (7) balik ari atau tapanggi merupakan tahap untuk mengunjungi dan memohon doa restu kepada orang tua pengantin laki-laki, karena kedua pengantin akan tinggal selama kurang lebih setahun di rumah orang tua pengantin perempuan atau sampai mempunyai anak. Seluruh rangkaian upacara adat berada dalam lingkup konteks budaya dan agama Islam yang mengandung makna-makna tersirat. Makna-makna tersirat tersimpan dalam setiap tahap upacara adat perkawinan Suku Pesisir.
3.2 Tahap-tahap Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Tahap-tahap upacara adat perkawinan terlaksana dengan berbagai cara. Seluruhnya berjalan dalam konteks budaya, tetapi tetap memegang nilai-nilai dalam konteks agama Islam. Hal tersebut dilihat melalui cara-cara untuk mengawali dan mengakhiri setiap tahap. Tahap awal dimulai dengan menjalin silaturahim, yakni keluarga pihak laki-laki melakukan kunjungan ke rumah pihak perempuan. Berikutnya, tahap tersebut dilanjutkan dengan menciptakan hubungan
46
saling menghormati, bermusyawarah, dan melangsungkan beberapa tradisi yang bertujuan untuk mendoakan kedua pengantin. Tahap akhir dilakukan dengan menjalin silaturahim, yakni keluarga pihak perempuan melakukan kunjungan ke rumah pihak laki-laki. Dalam pelaksanaannya, setiap tahap upacara adat melibatkan unsur-unsur pendukung. Unsur-unsur pendukung utama tersebut meliputi keluarga pihak lakilaki dan perempuan. Unsur-unsur pendukung utama lainnya meliputi kepala desa, tokoh agama, dan tokoh adat. Unsur-unsur lainnya merupakan para tetangga dan kerabat keluarga pihak laki-laki dan perempuan. Ditinjau dari konteks budaya tujuh tahap dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir berupa (1) tahap risik-risik; (2) tahap sirih tanyo; (3) tahap marisik; (4) tahap maminang; (5) tahap manganta kepeng; (6) tahap mato karajo; dan (7) tahap balik ari/tapanggi. Namun, saat ini dua tahap upacara telah berkurang pelaksanaannya, yaitu tahap sirih tanyo dan marisik. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya faktor ekonomi dan faktor keefisienan waktu.
3.2.1 Risik-risik Tahap risik-risik diawali dengan perbincangan antara ibu dan anaknya laki-laki tentang keinginan untuk mencarikan jodoh dan menikahkan anaknya. Kriteria anak laki-laki yang akan menikah sesuai dengan tradisi Suku Pesisir yaitu telah cukup umur dan dewasa menurut Hukum Islam. Apabila anak laki-laki telah menyetujuinya, si ibu memberitahukan hal tersebut kepada suami dan sanak saudaranya. Selanjutnya, keluarga pihak laki-laki berdiskusi dan memutuskan wakil (talangke) sebagai juru bicara pencarian calon istri anak laki-laki tersebut.
47
Wakil-wakil (talangke) merupakan ibu-ibu yang diutus dari keluarga pihak lakilaki. Para talangke mengunjungi pihak perempuan (calon istri) dan menanyakan keberadaan dan statusnya. Perbincangan (risik-risik) ini dilakukan dengan santai. Setelah perbincangan selesai, para talangke menyampaikan hasil perbincangan tersebut kepada orang tua laki-laki untuk melakukan persiapan dalam menanyakan kesediaan orang tua perempuan tersebut. Tahap risik-risik menunjukkan awal permulaan proses upacara adat perkawinan. Keberlangsungan tahap ini menentukan tahap upacara adat berikutnya. Hal ini dikarenakan risik-risik bermakna sebagai penjalinan silahturahim antara keluarga pihak laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, risik-risik menandakan telah diletakkannya hubungan silaturahmi yang baik.
3.2.2 Sirih Tanyo Tahap sirih tanyo merupakan tahap kelanjutan dari hasil perbincangan (risik-risik) yang lalu. Tahap ini dilanjutkan dengan kunjungan kedua para talangke dari pihak laki-laki. Para talangke mengingatkan kembali kedatangannya dan memperjelas kedatangan yang kedua tersebut. Perbincangan dimulai dengan menaruh tepak sirih yang dibawa para talangke kepada pihak perempuan sebagai adat-istiadat pembukaan perbincangan. Setelah itu, para talangke menanyakan kesediaan orang tua pihak perempuan untuk melamar anaknya menjadi menantu. Talangke dari pihak perempuan juga menaruh tepak sirih untuk mengawali perbincangan mereka. Akhirnya, pihak perempuan menjawab dan menyatakan persetujuan lamarannya. Penyuguhan tepak sirih (kampi siri bakatuk) juga dilakukan keluarga pihak
48
perempuan untuk memulai perbincangan dalam adat Suku Pesisir kepada keluarga pihak laki-laki. Tahap sirih tanyo diawali dengan pemberian tepak sirih oleh keluarga pihak laki-laki terhadap keluarga pihak perempuan. Selanjutnya, keluarga pihak laki-laki menyatakan maksud dan tujuannya. Kemudian, diakhiri dengan pemberian tepak sirih oleh keluarga perempuan dalam menjawab maksud dan tujuan tersebut. Pemberian tepak sirih dalam memulai dan menjawab pembicaraan menandakan sikap saling menghormati oleh kedua pihak. Dengan demikian, tahap ini menghasilkan hubungan silahturahmi yang semakin erat.
3.2.3 Marisik Tahap marisik merupakan tahap kelanjutan dari hasil perbincangan (sirih tanyo) yang lalu. Tahap ini dilanjutkan dengan kunjungan ketiga para talangke dan para kerabat dekat pihak laki-laki. Para talangke mengingatkan kembali kedatangannya dan memperjelas kedatangan yang kedua tersebut. Perbincangan dimulai dengan menaruh tepak sirih yang dibawa para talangke kepada pihak perempuan sebagai adat-istiadat pembukaan perbincangan. Setelah itu, para talangke menanyakan kesediaan anak perempuan untuk melamarnya menjadi menantu. Talangke dari pihak perempuan juga menaruh tepak sirih untuk mengawali perbincangan mereka. Akhirnya, anak perempuan tersebut menjawab dan menyatakan persetujuan lamarannya. Tahap marisik dilanjutkan oleh pihak perempuan dengan membicarakan dan menentukan jadwal pelaksanaan adat pertunangan (maminang) bersama pihak laki-laki. Setelah itu, kedua belah pihak keluarga membicarakan pemberian
49
bantuan dan mahar dari pihak laki-laki yang dibawa pada pelaksanaan adat bertunangan. Tahap marisik juga diawali dengan pemberian tepak sirih oleh keluarga laki-laki terhadap. Selanjutnya, keluarga pihak laki-laki menyatakan maksud dan tujuan kedatangannya. Kemudian, diakhiri dengan pemberian tepak sirih oleh keluarga perempuan dalam menjawab maksud dan tujuan tersebut. Pemberian tepak sirih dalam memulai dan menjawab pembicaraan menandakan sikap saling menghormati oleh kedua pihak. Selain itu, tahap ini menunjukkan proses musyawarah antara kedua pihak keluarga. Itu terlihat dalam proses penentuan jadwal pelaksanaan adat bertunangan. Kedua pihak keluarga membicarakannya bersama-sama sehingga akhirnya didapat keputusan bersama yang menguntungkan pihak laki-laki atau perempuan.
3.2.4 Maminang Sebelum
tahap
maminang
dilaksanakan,
seluruh
pihak
laki-laki
memusyawarahkan bantuan dan mahar bersama-sama. Hal ini dilakukan agar segala persiapan adat bertunangan telah terselesaikan dengan baik. Musyawarah tersebut dihadiri oleh ketua adat sebagai pemberi nasihat dan arahan kepada semua utusan pihak laki-laki. Setelah musyawarah selesai, pihak laki-laki mempersiapkan
kampi
sirih
bakatuk
untuk
membuka
dan
mengawali
pembicaraan, nasi tue untuk disajikan kepada seluruh peserta yang hadir. Setelah semua persiapan selesai, kedatangan pihak laki-laki disambut di rumah pihak perempuan. Sebelum pembicaraan dimulai, pihak laki-laki memberikan tepak sirih satu persatu kepada pihak perempuan. Kemudian, kedua
50
pihak keluarga menyepakati pemberian bantuan dan mahar secara detail. Setelah itu selesai, pihak laki-laki menanyakan waktu pengantaran kepada pihak perempuan. Seluruh proses pembicaraan dalam tahap maminang dimulai dan diakhiri dengan pemberian tepak sirih. Kedua pihak keluarga tetap menjaga hubungan silaturahmi
yang
baik
dan
saling
menghargai. Tahap
ini menunjukkan
kesepakatan yang cukup penting dan serius di antara kedua belah pihak keluarga. Di mana penentuan mahar perempuan dimusyawarahkan bersama-sama sesuai dengan konteks situasi. Pembicaraan mahar biasanya berlangsung lebih lama dari tahap-tahap sebelumnya. Setelah dicapai mufakat bersama, anak laki-laki dan perempuan yang merajut hubungan telah bertunangan secara resmi di hadapan seluruh keluarga dan talangke. Namun, kesepakatan ini mempunyai sangsi-sangsi yang jelas apabila salah satu pihak mengingkarinya.
3.2.5 Manganta Kepeng Sebelum tahap mangata kepeng dilaksanakan, pihak laki-laki mengadakan pertemuan dengan ketua adat, alim ulama, dan sanak saudara serta tetangga yang kemudian juga mengantarkan bantuan dan mahar ke rumah pihak perempuan. Pertemuan tersebut merupakan penjelasan proses pelaksanaan mahar dan bantuan kepada seluruh undangan yang hadir. Mahar6 dan bantuan dimasukkan ke dalam kampi (sejenis tas anyaman) dan dilengkapi dengan berbagai syarat-syarat adat 6
Menurut Panggabean, dkk (dalam Sitompul 2013:8) salah satu ketentuan dalam adat sumando yaitu pernikahan dapat terjadi apabila pria meminang wanita terlebih dahulu dengan menyerahkan sejumlah uang atau barang. Uang atau barang disebut mahar, sebagai tanda pengikat, bahwa pada waktu tertentu akan dilangsungkan pernikahan nantinya dilaksanakan ijab qabul di hadapan wali dan saksi. Adat sumando tidak mengenal tuhor atau jujuran seperti dalam pernikahan adat Batak.
51
sumando Suku Pesisir Sibolga. Rombongan yang hadir pada tahap ini telah ditentukan
sebelumnya,
sehingga
keluarga
pihak
perempuan
dapat
mempersiapkan segala sesuatunya. Kampi tersebut dijinjing oleh oncu (adik ayah calon pengantin laki-laki) dan berjalan di depan serta diiringi oleh rombongan lainnya. Setelah tiba, pihak perempuan menyambut kedatangan tersebut dengan menaburkan beras kunyit kepada rombongan yang hadir. Keluarga pihak laki-laki dan perempuan duduk saling berhadapan. Sedangkan kepala desa, tokoh adat, dan tokoh agama duduk di tengah untuk menengahi seluruh proses upacara. Pembicaraan diawali oleh pihak perempuan dengan berpantun untuk menanyakan maksud dan tujuan kehadiran keluarga pihak laki-laki. Setelah seluruh undangan mengetahui maksud dan tujuannya, kepala desa dan tokoh adat memimpin adat bertunangan. Kepala desa dan tokoh adat mempersilahkan pihak rombongan laki-laki untuk menunjukkan segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab mereka. Salah seorang dari pihak laki-laki menyerahkan kampi yang berisi bantuan, mahar, dan seperangkat syarat adat yang diwajibkan. Setelah seluruhnya dilihat oleh kepala desa dan tokoh adat dan dikatakan telah lengkap, selanjutnya kepala desa mengumumkan bahwa pertunangan telah sah menurut hukun adat yang berlaku dan pihak laki-laki dan perempuan resmi bertunangan. Bantuan dan mahar diserahkan kepada ibu calon pengantin perempuan atas perintah kepala desa. Selanjutnya, ibu calon pengantin perempuan menjinjing segala hantaran dan disimpan di dalam kamar. Tahap ini dilanjutkan kedua pihak pengantin dengan membicarakan dan menentukan hari pernikahan dan masalah sangsi yang berlaku pada masa pertunangan. Sangsi-sangsi tersebut terdiri dari: (1) Bantuan dan mahar
52
dikembalikan sebanyak dua kali lipat kepada pihak calon pengantin laki-laki, apabila pihak perempuan mengingkarinya. Sebaliknya, bantuan dan mahar dikatakan hilang, apabila pihak laki-laki mengingkarinya; (2) Bantuan dan mahar dimusyawarahkan kembali untuk mengambil jalan terbaik, apabila hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, misalnya salah satu di antara kedua calon pengantin meninggal. Setelah perjanjian sangsi disepakati, masa bertunangan ditetapkan sesuai dengan kesepakatan kedua pihak calon pengantin. Selanjutnya, acara malam berinai dilakukan kedua calon pengantin di rumah pihak perempuan dengan pemotongan kambing dan pemanggilan kenduri. Kenduri merupakan acara mengundang kaum kerabat terdekat masing-masing pihak, tokoh masyarakat, dan kepala desa.
3.2.6 Mato Karajo Tahap mato karajo berlangsung selama 2 hari dari pagi hingga malam hari. Sebelum tahap mato karajo dilaksanakan, keluarga pihak perempuan mengadakan budaya menghias rumah. Semua dinding rumah dihiasi dengan kain 12 warna. Bagian dalam dan luar rumah dihias oleh kaum muda dan induk inang. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan agar rumah kelihatan seperti rumah raja. Hal ini disebabkan oleh kedua pengantin dianggap seperti raja dan ratu sehari. Tahap mato karajo dilaksanakan dengan diadakannya dua jenis upacara yaitu (1) upacara adat Pesisir; (2) upacara akad nikah. Dalam upacara adat, diadakan beberapa rangkaian acara di rumah anak daro. Upacara adat Pesisir dimulai dengan upacara barinai, tepung tawar, bakonde, dan mandi limo. Upacara barinai dan tepung tawar dilaksanakan untuk anak daro dan marapule. Sedangkan upacara bakonde dan mandi limo dilaksanakan khusus
53
untuk anak daro. Saat ketiga proses upacara berlangsung baik anak daro maupun marapule duduk di pelaminannya masing-masing. Seluruh rangkaian upacara dibantu oleh induk inang yang mengetahui tiga proses upacara tersebut. Upacara barinai dilaksanakan untuk marapule dan anak daro. Upacara ini dilakukan oleh 12 perwakilan dari masing-masing pihak keluarga kedua pengantin. 12 perwakilan tersebut yaitu kedua orang tua dan kerabat dekat kedua pengantin. Kedua orangtua merupakan pihak-pihak yang memulai upacara ini terlebih dahulu. Setelah itu, anggota keluarga lainnya melanjutkan gilirannya dalam upacara tersebut. Namun, di antara 12 perwakilan tersebut kedua ibu anak daro dan marapule mendapat 2 giliran baik di pelaminan marapule maupun pelaminan anak daro. Gambar 3.1 Ayah marapule mendapat giliran pertama melakukan penaburan beras dan pemercikan air kepada marapule.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014) Upacara ini dilakukan dengan penaburan beras kuning dan pemercikan air dengan daun pandan kepada anak daro dan marapule. Saat menaburkan beras dan 54
memercikkan air 12 perwakilan tersebut menyampaikan doa dan harapan mereka kepada kedua pengantin. Setelah itu, anak daro dan marapule disalami oleh 12 perwakilan tersebut. Gambar 3.2 Kerabat dekat anak daro mendapat giliran pertama melakukan penaburan beras dan pemercikan air dengan daun pandan kepada anak daro.
Setelah seluruh perwakilan menyelesaikan bagiannya, upacara ini dilanjutkan dengan memakaikan inai kepada anak daro dan marapule. Inai dipakaikan di seluruh jari kaki dan tangan kedua pengantin. Upacara barinai disaksikan oleh kedua orang tua dan kerabat dekat keluarga kedua pengantin. Upacara barinai berlangsung pada hari pertama mato karajo. Upacara ini dilaksanakan di hadapan kedua orang tua dan kerabat dekat anak daro dan marapule. Anak daro dan marapule mengenakan pakaian adat sumando Pesisir dengan lengkap.
55
Gambar 3.3 Marapule sedang dipakaikan inai oleh induk inang dalam upacara barinai.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Gambar 3.4 Anak daro sedang dipakaikan inai oleh induk inang di pelaminannya.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014) 56
Berikutnya, upacara tepung tawar juga dilaksanakan untuk marapule dan anak daro. Upacara ini dilakukan dengan penaburan beras kuning dan pemercikan air dengan daun pandan. Upacara ini dilakukan oleh 12 perwakilan dari pihak keluarga, yaitu orang tua dan kerabat dekat anak daro dan marapule. Satu per satu dari 12 perwakilan keluarga berdiri di hadapan anak daro dan marapule. Upacara tepung tawar dimulai dengan menaburkan beras kuning sebanyak 3 kali kepada anak daro dan marapule. Selanjutnya, masing-masing perwakilan keluarga memercikkan air dengan beberapa helai daun pandan. Pada akhir upacara ini, anak daro dan marapule disalami dan diberikan ucapan harapan dan doa. Gambar 3.5 Kerabat dekat memercikkan air dengan daun pandan kepada anak daro dalam upacara tepung tawar.
Sumber: dokumentasi penulis (2014)
57
Gambar 3.6 Ayah anak daro memercikkan air dengan daun pandan kepada anak daro.
sumber: dokumentasi penulis (2014) Sumber: dokumentasi penulis (2014)
Gambar 3.7 Ibu marapule memercikkan air dengan daun pandan kepada marapule.
sumber: dokumentasi penulis (2014) 58
Gambar 3.8 Kerabat dekat memercikkan air dengan daun pandan kepada marapule.
Sumber: dokumentasi penulis (2014) Selanjutnya, upacara bakonde dan mandi limo secara khusus dilaksanakan untuk anak daro. Seluruh rangkaian upacara dibantu oleh induk inang yang mengetahui proses upacara tersebut. Empat proses upacara dilaksanakan dengan tujuan untuk menghindari bahaya dan perbuatan jahat manusia terhadap kedua pengantin. Selain itu, upacara tersebut merupakan suatu penghormatan kepada kedua pengantin bahwa mereka diposisikan sebagai raja dan ratu sehari (Sitompul 2013:76). Upacara bakonde dimulai dengan penyisiran dan pendadanan rambut bagian depan anak daro. Pendandanan rambut berjumlah 12 ikat. Setelah selesai, ibu anak daro mengambil giliran pertama untuk menggunting ikat dandanan. Selanjutnya, ibu-ibu kerabat dekat anak daro menggunting ikatan lainnya
59
Gambar 3.9 Proses upacara bakonde dibantu oleh dua induk inang.
sumber: dokumentasi penulis (2014)
Gambar 3.10 Rambut bagian depan dipotong sedikit oleh ibu kandung anak daro.
sumber: dokumentasi penulis (2014) 60
Setelah pengguntingan 12 ikatan rambut anak daro tersebut, upacara mandi limo dipersiapkan oleh induk inang. Upacara ini dimulai dengan penaburan beras dan pemercikkan air dengan daun pandan oleh 12 perwakilan ibu-ibu kerabat dekat anak daro. Kemudian, ayah anak daro menyiramkan limo yang telah disiapkan. Limo tersebut disiram dari bagian kepala hingga seluruh tubuh. Gambar 3.11 Upacara mandi limo dilakukan oleh bapak kandung anak daro.
sumber: dokumentasi penulis (2014) Upacara adat berikutnya yaitu pemberangkatan, penyambutan, dan penerimaan marapule di rumah anak daro (mangarak marapule). Upacara pemberangkatan marapule menuju rumah anak daro dilengkapi dengan sunting pernikahan tempat sirih yang dijunjung oncu marapule, pakaian adat marapule, pasukan galombang XII sebagai pengarak marapule, payung kuning untuk memayungi marapule, dua orang pengawal marapule, panji-panji nan duo bale, bebarapa anak perawan, dan anak alek (pemusik sikambang) serta masyarakat yang turut mengantar. Setelah seluruhnya lengkap, rombongan bergerak perlahan 61
menuju rumah anak daro. Pemberangkatan diiringi oleh lagu dan musik sikambang hingga tiba di rumah anak daro. Gambar 3.12 Persiapan upacara mangarak marapule menuju rumah anak daro.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Gambar 3.13 Suasana pengarakan marapule bersama rombongan.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014) 62
Rombongan pihak pengantin laki-laki disambut oleh pasukan galombang XII pihak pengantin perempuan. Kedua pasukan tersebut bersilat untuk membela raja (marapule) dan ratu (anak daro) mereka dan dipisahkan oleh langgue. Pihak pasukan marapule harus mengalahkan pasukan anak daro untuk dapat memasuki halaman rumah anak daro. Gambar 3.14 Pertunjukan galombang XII dilakukan antara pihak marapule dan anak daro.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Selanjutnya, pertunjukan tari rande dilaksanakan untuk mempersiapkan penyambutan marapule. Dengan demikian, tari ini dipertunjukkan di hadapan kedua orang pengantin dan marapule. Tari ini dibawakan oleh 4 orang laki-laki.
63
Gambar 3.15 Tari rande disajikan di hadapan marapule.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Gambar 3.16 Suasana upacara akad nikah di rumah anak daro.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
64
Akhirnya, marapule diterima oleh ibu anak daro dan dicuci kakinya dengan air dalam galeta. Lalu, marapule disambut dengan taburan beras kunyit dan digiring ke atas kasur kain tingkah. Sebelum melangsungkan akad nikah, marapule mengganti pakaian adatnya dengan pakai jas. Upacara akad nikah dilaksanakan sekitar pukul 14.00 WIB. Upacara ini dipimpin oleh kepala kecamatan dan kepala lingkungan tempat tinggal anak daro. Upacara ini disaksikan kedua orang tua, dua orang saksi dari pihak keluarga dan kerabat atau tetangga. Akad nikah dimulai dengan permohonan izin marapule dan anak daro kepada kedua orang tuanya. Selanjutnya, ayah anak daro memimpin ijab kabul nikah dengan marapule. Seusai ijab Kabul anak daro dan marapule mengganti pakaiannya dengan pakaian adat Pesisir. Kemudian, anak daro diarak di sekitar daerah tempat tinggalnya. Oncu, ibu, dan ibu-ibu rombongan kerabat dekat anak daro turut mengaraknya, di mana ini merupakan suatu pernyataan bahwan anak daro telah resmi menikah. Gambar 3.17 Anak daro dan ibu-ibu keluarga anak daro mengaraknya.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014) 65
Pada malam harinya, dilakukan acara malam basikambang untuk meyakinkan dan menyandingkan pengantin di pelaminan yang sama. Upacara tersebut diisi dengan pertunjukan alat musik, lagu, dan tari dalam kesenian sikambang untuk menghibur kedua pengantin. Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah pengantin perempuan. Dalam upacara ini, pihak pengantin perempuan menyediakan makanan nasi lamak untuk menjamu tamu yang datang. Pada penghujung acara, kedua pengantin melakukan upacara bersanding di pelaminan (mampelok tampek basanding) yang menandakan pengantin laki-laki diterima seutuhnya menjadi bagian dalam keluarga pihak perempuan.
Gambar 3.18 Malam basikambang dilaksanakan di rumah anak daro.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
Penerimaan pengantin laki-laki menjadi bagian keluarga pihak pengantin perempuan menunjukkan suatu makna. Makna penerimaan tersebut yaitu kedua 66
belah pihak telah menjadi satu keluarga. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang dikerjakan dalam keluarga dilaksanakan dengan rasa saling menghormati dan penuh persaudaraan. Setelah bersanding, mereka mengikuti sub-upacara yaitu basuok-suokan dan bacokki. Basuok-suokan merupakan acara saling suap-suapan yang bermakna lambang tugas dan tanggung jawab istri untuk melayani suami. Selain itu juga bermakna sebagai wujud kasih sayang suami kepada istri. Sedangkan bacokki merupakan acara bermain halma dan saling merampas buah cokki dengan malumalu. Hal ini melambangkan makna wujud kasih sayang di antara mereka.
3.2.7 Balik Ari atau Tapanggi Menurut tradisi Suku Pesisir, tahap balik ari atau tapanggi dilaksanakan satu minggu setelah pesta pernikahan. Kedua pengantin diwajibkan untuk mengunjungi ayah dan ibu pengantin laki-laki. Upacara ini bertujuan untuk menyampaikan sembah sujud dan permohonan doa restu karena pengantin lakilaki akan berpisah dengan kedua orang tuanya. Dalam hal ini, pengantin laki-laki tinggal bersama di rumah orang tua istrinya hingga mereka memperoleh seorang anak. Kedua pengantin datang bersama orang tua dan kerabat dari keluarga perempuan. Upacara ini bertujuan untuk menyambut kedatangan menantu di rumah pihak laki-laki. Kedatangan mereka disambut keluarga laki-laki dengan taburan beras kuning. Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar kedatangan pengantin dan rombongan diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam upacara ini, kedua orangtua pengantin memberikan nasihat-nasihat kepada kedua pegantin.
67
Nasihat-nasihat tersebut berupa kedua pengantin menjalani hubungan dengan baik, menghargai kedua orang tua dan keluarga, dan mendapat keturunan. Sebelumnya, makanan Pesisir disiapkan seperti nasi kunik panggang ayam panggang geleng, panggang pacak, goreng geleng, sambam, dan beragam jenis kue seperti nasi tue, kue koci, lappek, bainti, kue abuk, dan putu bendera. Namun, persiapan makanan tersebut diberikan secara khusus kepada kedua orangtua pengantin. Saat melakukan kunjungan tersebut, kedua pengantin mengenakan pakaian tradisi adat Pesisir. Pengantin perempuan mengenakan palekat dan selendang manduara. Sedangkan pengantin laki-laki mengenakan baju gunting cino, sarung sesamping, dan peci.
3.3 Jenis-jenis Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Ada dua jenis perkawinan Suku Pesisir yang dibedakan dan diatur menurut adat sumando, yaitu perkawinan gala IX dan gala XII. Pada awalnya, perkawinan adat sumando dengan gala IX dan XII dilaksanakan untuk para raja-raja zaman dahulu.7 Perkawinan dengan gala IX atau XII membutuhkan persiapan-persiapan yang wajib dan khusus. Perkawinan dengan menyandang gala dapat dilaksanakan jika pemilik pesta mampu untuk memenuhi syarat-syaratnya. Dengan kata lain, perkawinan gala IX dan XII menunjukkan status pihak keluarga perempuan dan laki-laki.
3.3.1 Upacara Adat Perkawinan Gala XII Menurut Radjoki Nainggolan, perkawinan gala XII harus mempersiapkan segala sesuatu sesuai dengan adat Sumando, yaitu:
7
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Khairil Husni pada tanggal 20 Maret 2014.
68
1. Menggantung tabi dan langik-langik 2. Memasang pelaminan dengan perangkatnya yaitu mengikatkan 12 bambu dengan ukuran dua meter 3. Menggantungkan 12 helai selendang yang beraneka warna di atas pelaminan pengantin 4. Memakai banta basusun (tempat duduk pengantin) 5. Memakai cincin Nabi Sulaiman (selendang diikat dengan gelang) 6. Memakai kelambu tujuh lapis yang berwarna-warni 7. Memasang bi di pintu pelaminan (kain berbentuk celana laki-laki) 8. Memasang sauh di tengah kelambu yang bergambar kuda laut (tempat kaitan kain kelambu kiri dan kanan) 9. Memakain bua buntun (tiang berbentuk bulat dibalut dengan kain kuning) 10. Memakai tali ai 11. Memakai nane sarumpun 12. Memakai lapik pandan berwarna hitam, kuning dan kain candei 13. Memakai laba mangirok 14. Memakai jajak lalu marapule (payung kuning) 15. Menyembelih kerbau
3.3.2 Upacara Adat Perkawinan Gala IX Perkawinan gala IX harus mempersiapkan segala sesuatu sesuai dengan adat Sumando, yaitu: 1. Memasang pelaminan dengan perangkatnya yaitu mengikatkan 9 bambu dengan ukuran dua meter
69
2. Menggantungkan 9 helai selendang yang beraneka warna di atas pelaminan pengantin 3. Memakai bua buntun (tiang berbentuk bulat dibalut dengan kain kuning) 4. Memakai tali ai 5. Memakai banta basusun (tempat duduk pengantin) 6. Memakai tingka 7. Menyembelih kambing
3.4 Komponen Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Dalam komponen upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga, penulis berpedoman pada sistem upacara keagamaan yang menjadi perhatian dari para ahli antropologi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2009:296), yakni secara khusus mengandung empat aspek: (1) tempat upacara dilakukan; (2) saatsaat upacara dijalankan; (3) benda-benda dan alat upacara; dan (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
3.4.1 Tempat Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Tempat upacara adat perkawinan Suku Pesisir dilaksanakan pada dua tempat, yaitu di rumah pengantin perempuan jalan Perintis Kemerdekaan No. 52 Sibolga dan rumah pengantin Laki-laki jalan Jamin Ginting No.7 Medan, antara lain: 1. Tahap risik-risik dilaksanakan di rumah pihak pengantin perempuan dan pengantin laki-laki. 2. Tahap sirih tanyo dilaksanakan di rumah pengantin perempuan. 3. Tahap marisik dilaksanakan di rumah pengantin perempuan.
70
4. Tahap maminang dilaksanakan di rumah pengantin laki-laki terlebih dahulu sebagai tahap persiapan. Setelah itu, tahap ini dilanjutkan di rumah pengantin perempuan. 5. Tahap manganta kepeng dilaksanakan di rumah pengantin laki-laki terlebih dahulu sebagai tahap persiapan. Setelah itu, tahap ini dilanjutkan di rumah pengantin perempuan. 6. Tahap mato karajo dan akad nikah dilaksanakan di rumah pengantin perempuan. 7. Tahap balik ari atau tapanggi dilaksanakan di rumah pengantin laki-laki.
3.4.2 Waktu Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Menurut para informan, waktu pelaksanaan dibicarakan dan disepakati oleh pihak pengantin perempuan dan pihak pengantin laki-laki. Setiap tahap upacara adat mulai tahap risik-risik, sirih tanyo, marisik, mangata kepeng, mato karajo sampai tahap balik ari atau tapanggi tidak dibatasi kuantitas waktunya. Dengan demikian, waktu pelaksanaan setiap tahap bersifat relatif dan tergantung pada hasil proses pembicaraan pihak pengantin perempuan dan pengantin lakilaki.
3.4.3 Benda dan Peralatan Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Setiap tahap upacara adat perkawinan Suku Pesisir selalu dilaksanakan dengan dukungan dari berbagai jenis benda dan peralatan. Setiap tahap upacara adat memerlukan benda dan peralatan yang berbeda, antara lain: 1. Tahap risik-risik terlaksana dengan tidak menggunakan benda dan peralatan apapun.
71
2. Tahap sirih tanyo terlaksana dengan menggunakan kampi siri bakatuk yang diisi dengan daun sirih. 3. Tahap marisik terlaksana dengan menggunakan kampi siri bakatuk yang diisi dengan daun sirih. 4. Tahap maminang terlaksana dengan menggunakan kampi siri bakatuk yang berisi beras kunyit, lilin, imbalo, kemiri, benang dua warna, jarum, dan sirih. 5. Tahap manganta kepeng terlaksana dengan menggunakan uang (mahar) dan kampi siri bakatuk. 6. Tahap mato karajo terlaksana dengan menggunakan kampi siri bakatuk, sunting, pisang manis, kelapa muda yang diukir, gunting, payung berwarna kuning, beras kuning, dua buah pedang bacabuk, langik-langik, banta basusun, cincin nabi sulaiman, sauh, bi, bua buntun, tali ai, nane sarumpun, lapik pandan, laba mangirok, tingka, selendang 12 warna, bambu, halma, dan galeta. 7. Tahap balik ari atau tapanggi terlaksana dengan beras kuning..
3.4.4 Pemimpin dan Peserta Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Secara khusus, setiap tahap upacara adat dipimpin oleh dua orang talangke, baik yang diutus oleh pihak pengantin laki-laki maupun yang diutus oleh pihak pengantin perempuan. Berikut ini, penulis menguraikan pemimpin dan peserta upacara adat Perkawinan Suku Pesisir: 1. Tahap risik-risik dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan pihak lakilaki dengan peserta yang terdiri dari ibu-ibu kerabat dekat marapule dan orang tua anak daro.
72
2. Tahap sirih tanyo dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan pihak laki-laki dengan peserta yang terdiri dari ibu-ibu kerabat dekat marapule dan orang tua anak daro. 3. Tahap marisik dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan pihak laki-laki dengan peserta yang terdiri dari ibu-ibu kerabat dekat marapule, anak daro, dan orang tua anak daro. 4. Tahap maminang dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan laki-laki, kepala desa dan tokoh adat dengan peserta yang terdiri dari kedua orang tua, dan kerabat dekat kedua pengantin. 5. Tahap manganta kepeng dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan lakilaki, kepala desa, alim ulama dan tokoh adat serta para tamu undangan. 6. Tahap mato karajo dipimpin oleh talangke pihak perempuan dan laki-laki, kepala desa, tokoh agama, dan tokoh adat. Peserta tahap ini yaitu anak daro, marapule, induk inang, orang tua pihak perempuan dan laki-laki, masyarakat setempat, dan undangan. 7. Tahap balik ari atau tapanggi dipimpin oleh tokoh adat dan diikuti oleh anak daro, marapule, dan keluarga pihak laki-laki dan perempuan.
3.5 Dampeng Dampeng adalah salah satu musik vokal (lagu) kesenian sikambang Suku Pesisir Sibolga yang harus disajikan dalam setiap upacara adat perkawinan sumando. Musik vokal ini digunakan Suku Pesisir sebagai nyanyian nasihat yang ditujukan kepada kedua pengantin dan orang tuanya. Selain itu juga dapat ditujukan kepada undangan yang hadir dalam suatu upacara adat.
73
Dampeng merupakan nyanyian yang disajikan tanpa iringan alat musik. Setiap penyaji memulai nyanyian ini dengan menarik nada berdasarkan yang sudah dipelajarinya secara lisan sejak awal. Dalam penyajiannya, setiap penyaji bernyanyi dengan melodi yang sama, tetapi teks yang dinyanyikan berubah-ubah. Menurut Syahriman Hutajulu, teks dampeng dibentuk dari seluruh proses kehidupan masyarakat Suku Pesisir Kota Sibolga. Dengan demikian, teks dampeng bersifat penting dalam penyajian dampeng. Dampeng terdapat dalam dua bagian suatu upacara adat yakni tahap mangarak marapule yang dilakukan pada siang hari dan mampelok tampek basanding yang dilakukan pada malam hari. Nyanyian ini bersifat penting dan hanya dapat dibawakan oleh orang-orang yang mampu menyajikannya. Dampeng dibawakan dengan cara berpantun. Setiap penyaji menyanyikan dua bagian dalam pantun, yaitu sampiran dan isi pantun. Sampiran dan isi pantun dinyanyikan secara call and responsorial, artinya terdapat dua kelompok penyaji. Penyaji solo (pemimpin dampeng) menyanyikan sampiran dan isi pantun. Sedangkan penyaji kelompok (perespon dampeng) menyanyikan bagian chorus yang selalu diulangi saat sampiran dan isi pantun disajikan. Dalam tahap mangarak marapule terdapat dua sub-upacara, yaitu pemberangkatan dan penyambutan marapule. Saat pemberangkatan marapule, dampeng dinyanyikan untuk mengawali keberangkatan. Sedangkan saat penyambutan marapule, dampeng dinyanyikan sambil mengiringi tari rande.
74
3.6 Penyajian Dampeng Dalam suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir, dampeng akan disajikan dalam dua tahap, yaitu (1) memberangkatkan pengantin laki-laki (marapule) menuju rumah pengantin perempuan (anak daro) dalam menjalani akad nikah (mangarak marapule) dan (2) mengantarkan pengantin laki-laki dari pelaminannya menuju pelaminan pengantin perempuan untuk menyandingkan kedua pengantin (mampelok tampek basanding). Dalam tahap upacara ini, dampeng disajikan sebanyak 3 kali, yaitu: (1) dampeng mangarak; (2) dampeng barande; dan (3) dampeng basanding.
3.6.1 Dampeng Mangarak Dampeng mangarak merupakan nyanyian nasihat yang dilaksanakan untuk memberangkatkan marapule dari rumahnya. Nyanyian ini dapat dimulai apabila seluruh rombongan berkumpul di halaman rumah marapule dan bersiap untuk menuju rumah anak daro. Berdasarkan gala XII dalam upacara adat, dampeng ini dibagi 2 secara ganjil. Bagian pertama dinyanyikan sebanyak 5 kali. Dengan demikian, terdapat 5 pantun dengan masing-masing 5 sampiran dan 5 isi pantun. Bagian kedua dinyanyikan dalam dampeng barande. Dampeng mangarak dinyanyikan pada siang hari sekitar pukul 13.00 WIB. Setelah dampeng mangarak dibawakan dengan 5 pantun, rombongan dapat bergerak menuju rumah anak daro. Selama dalam perjalanan, rombongan diiringi alat musik dan lagu kesenian sikambang.
75
Gambar 3.19 Dampeng mangarak dimulai saat marapule dan rombongan keluarga marapule memulai keberangkatannya.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
3.6.2 Dampeng Barande Dampeng barande merupakan nyanyian nasihat yang dilaksanakan untuk menyambut marapule di halaman rumah anak daro. Nyanyian ini dimulai dengan pertunjukan dua pasukan galombang XII. Selanjutnya, pasukan galombang marapule harus
memenangkan pertunjukan tersebut.
Dengan demikian,
rombongan marapule baru dapat memasuki halaman rumah anak daro. Setelah memenangkannya, seluruh rombongan berdiri di halaman rumah anak daro. Kedatangan mereka disambut oleh kedua orang tua marapule dan anak daro. Lalu marapule, orang tua marapule, dan orang tua anak daro duduk
76
bersama dan menikmati tari rande yang berfungsi untuk menghibur mereka. Tari rande dimulai oleh dampeng mangarak. Nyanyian ini merupakan nasihat-nasihat yang ditujukan kepada marapule, orang tua marapule, dan orang tua anak daro dan seluruh undangan untuk bersiap-siap dalam melaksanakan upacara akad nikah. Setelah selesai, marapule, orang tua marapule, dan orang tua anak daro memasuki rumah anak daro. Berdasarkan gala XII, dampeng barande disajikan dengan 7 pantun dengan masing-masing 7 sampiran dan 7 isi pantun. Penyaji solo (pemimpin dampeng) dilakukan secara bergantian dan bergiliran.
Gambar 3.20 Penyajian dampeng barande diiringi dengan tari rande.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
77
3.6.3 Dampeng Basanding Dampeng basanding merupakan nyanyian nasihat yang dilaksanakan untuk menerima marapule secara utuh di rumah anak daro. Seluruh rangkaian dampeng basanding dilakukan pada malam hari sekitar pukul 23.00 WIB. Upacara ini juga dikenal dengan malam basikambang. Di mana, seluruh kesenian sikambang Pesisir Sibolga dapat disaksikan. Seluruh kesenian sikambang Pesisir Sibolga ini dipertunjukkan di depan marapule. Dalam hal ini, marapule dianggap sebagai raja dan harus dihibur. Upacara dimulai dengan pertunjukan tari saputangan yang diiringi oleh lagu kapri. Selanjutnya, tari payung diiringi lagu kapulo pinang. Berikutnya, tari selendang diiringi lagu duo. Pertunjukan diakhiri oleh tari anak yang diiringi oleh lagu sikambang. Sesuai dengan upacara adat perkawinan gala XII, dampeng basanding dibawakan secara penuh, yaitu 12 pantun dengan 12 sampiran dan 12 isi pantun. Secara khusus, nyanyian yang berisi nasihat-nasihat ini ditujukan kepada marapule dan anak daro. Penyaji solo (pemimpin dampeng) dilakukan secara bergantian dan bergiliran. Saat dampeng basanding dinyanyikan sampai dengan pantun ke-5, marapule berdiri di tempat dan bersiap menuju pelaminan anak daro. Selanjutnya, saat dampeng basanding dinyanyikan sampai dengan pantun ke-8, marapule menggerakkan satu langkah kakinya menuju pelaminan anak daro. Berikutnya, saat dampeng basanding dinyanyikan sampai dengan pantun ke-10, marapule menggerakkan satu langkah kakinya menuju pelaminan anak daro. Akhirnya, saat dampeng basanding dinyanyikan sampai dengan pantun ke12, marapule menggerakkan satu langkah kakinya dan bertatapan muka dengan anak daro di pelaminan anak daro.
78
Gambar 3.21 Marapule melangkah menuju pelaminan anak daro dengan diiringi dampeng basanding.
Sumber: Dokumentasi penulis (2014)
3.7 Fungsi dan Penggunaan Dampeng Pada bagian ini, penulis mengemukakan fungsi dan penggunaan dampeng dalam konteks upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Dalam menemukan fungsi dan penggunaan dampeng, penulis berpedoman pada teori Alan P. Merriam.
3.7.1 Fungsi Dampeng Dampeng mempunyai fungsi dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir. Menurut Merriam (1964 : 219-227), ada 10 fungsi musik dalam kebudayaan yaitu: (1) sebagai hiburan; (2) sebagai perlambangan (simbolisme); (3) sebagai alat komunikasi; (4) sebagai penghayatan estetis; (5) sebagai reaksi jasmani; (6) sebagai pengungkapan emosional; (7) sebagai pengintegrasian masyarakat; (8) 79
sebagai kesinambungan kebudayaan; (9) sebagai pengesahan lembaga sosial dan upacara agama/kepercayaan; serta (10) sebagai penekanan norma-norma sosial. Dengan memperhatikan teori tersebut, penulis menyimpulkan bahwa terdapat 5 fungsi dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir, yaitu: 1. Sebagai hiburan, yaitu Suku Pesisir melaksanakan kesenian sikambang, secara khusus dampeng dalam upacara adat perkawinan untuk menghibur anak daro dan marapule, keluarga besar, dan masyarakat yang datang dalam pesta tersebut. 2. Sebagai pengungkapan emosional, yaitu dampeng dilakukan berdasarkan pengungkapan perasaan dan ekspresi sukacita yang dituangkan ke dalam melodi dan teks dampeng. 3. Sebagai alat komunikasi, yaitu teks dampeng mengandung nasihat-nasihat yang berguna untuk kehidupan baru pengantin dan kedua orang tua pengantin. 4. Sebagai kesinambungan kebudayaan, yaitu dampeng diselenggarakan untuk mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang ada pada kebudayaan Suku Pesisir. 5. Sebagai pengesahan lembaga sosial dan upacara agama/kepercayaan, yaitu dampeng terlaksana menjadi simbol bahwa upacara perkawinan tersebut telah sah berjalan.
3.7.2 Penggunaan Dampeng Dampeng merupakan bagian iringan dari berbagai kegiatan dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Dengan kata lain, dampeng tidak dapat dijadikan sebagai kegiatan yang berdiri sendiri. Dampeng dipakai dalam
80
setiap upacara adat sumando perkawinan Suku Pesisir. Namun, penggunaannya dapat dilaksanakan apabila adat perkawinan merupakan adat perkawinan gala IX dan gala XII.
3.8 Penyaji Dampeng (Anak alek) Penyaji dampeng (anak alek) selalu melakukan pertunjukan secara berkelompok. Anak alek tidak dapat melakukan suatu pertunjukan secara perseorangan. Secara umum, mereka berjumlah 20-30 orang. Pada awalnya, anak alek diundang dengan mendatangi pemimpin kelompok atau anggota-anggota anak alek untuk melakukan serangkaian upacara yang berkaitan dengan sikambang. Kedatangan itu ditandai dengan syarat membawa langue perak (sejenis tepak terbuat dari perak) yang berisikan sirih. Pemimpin atau anggota anak alek tidak dapat menolak jemputan tersebut apabila tidak didapati tugas yang sama pada waktu yang bersamaan (Radjoki 2012:66-67). Secara umum, proses pemberian langue perak tidak membicarakan hal-hal yang berkenaaan dengan pembayaran. Namun, pembayaran diberikan secara sukarela dan disesuaikan dengan kemampuan pihak yang mengadakan mato karajo. Kedudukan pimpinan dan anggota anak alek sangat dihormati dan dipercaya di kalangan Suku Pesisir. Hal itu dapat dilihat melalui cara pengundangannya yang mempersembahkan langue perak. Selain itu, kepercayaan masyarakat Suku Pesisir terhadap anak alek dapat dilihat melalui proses pengaturan dan penyelenggaraan upacara yang diserahkan sepenuhnya.
81
BAB IV ANALISIS TEKSTUAL
4.1 Bentuk Teks Dampeng Dampeng sebagai salah satu pertunjukan kultural Suku Pesisir mengandung unsur-unsur musikal. Di samping itu, dampeng juga mengandung teks yang menjadikannya fungsional dalam kebudayaan Suku Pesisir, khususnya dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir. Teks dampeng memiliki peranan yang sangat penting dalam konteks upacara adat perkawinan Suku Pesisir. Penyampaian teks dampeng membentuk komunikasi lisan di antara penyaji dampeng, kedua pengantin (marapule dan anak daro), kedua orang tua pengantin, dan para undangan yang hadir. Berbagai komunikasi lisan dalam pertunjukan dampeng berdasarkan pada pola-pola budaya Pesisir. Dengan demikian, komunikasi dua arah tersebut menciptakan interpretasi para pendengarnya. Teks dampeng berbentuk pantun secara keseluruhan dengan dua bagian utama, yaitu sampiran dan isi. Sampiran dalam teks dampeng disampaikan dengan menggunakan kata-kata berupa kata kiasan dan perumpamaan. Sedangkan isi teks dampeng disampaikan dengan menggunakan kata-kata berupa kata-kata ungkapan yang memiliki makna. Bagian utama dalam dampeng dibawakan secara solo dan berganti-gantian. Selain berbentuk pantun, teks dampeng juga memiliki bentuk lain yaitu chorus. Chorus adalah pengulangan satu bagian lagu secara teratur. Bagian chorus
82
selalu dinyanyikan untuk mengawali dan mengakhiri bagian utama teks dampeng. Bagian ini disajikan oleh seluruh penyaji dampeng secara bersama-sama. Teks dampeng digolongkan sebagai teks yang bersifat logogenik.8 Logogenik berarti teks dalam dampeng tercipta secara spontan. Teks dampeng diciptakan oleh penyaji dampeng dan bertemakan tentang proses kehidupan suatu insan. Teks dampeng juga digolongkan sebagai teks yang bersifat melismatik. Melismatik berarti satu suku kata dapat dinyanyikan dengan beberapa nada. Dalam teks dampeng ditemukan berbagai suku kata yang diciptakan penyaji dan dinyanyikan dengan beberapa nada. Dalam Bab IV ini, penulis mengkaji teks dampeng yang disajikan dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Kajian ini menggunakan teori semiotik yang meletakkan lambang sebagai bagian dari komunikasi. Komunikasi dapat terjadi dengan dua arah dan mengandung makna-makna tertentu. Makna digunakan untuk menyampaikan suatu pesan.
4.2 Analisis Semiotik Tekstual Dampeng Teks dampeng merupakan sastra tradisional (sastra lisan) Pesisir yang bermuatan nilai-nilai budaya Suku Pesisir. Isi teks dampeng secara khusus 8
Logogenik adalah satu kebudayaan musik etnik atau musik dunia dengan ciri khas utamanya adalah menggunakan dan menumpukan teks yang dikomunikasikan secara verbal. Biasanya menggunakan salah satu atau perpaduan unsur-unsur ritme, melodi, atau harmoni. Dalam kebudayaan musik logogenik ini, unsur sastra dan folklor mendapat peranan penting. Namun, berbeda dengan bahasa sehari-hari, teks dipertunjukan melalui lagu bukan bahasa sehari-hari. Dengan demikian nyanyian jenis ini selalu menggunakan bahasa yang digayakan dan mengandung unsur-unsur perlambangan. Ada kalanya bersifat rahasia seperti pada mantra. Seterusnya, jika sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan menekankan kepada teks, maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini, lebih menumpukan pertunjukan pada aspek komunikasi bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melalui ritme, melodi, atau bunyi-bunyian lainnya, diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menelitinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang bisa dijejaki melalui pemikiran mereka (lihat Malm, 1977).
83
merupakan nasihat-nasihat yang disajikan dalam bentuk pantun. Dengan demikian teks dampeng bernilai sama dengan karya sastra yang berkaitan erat dengan sistem bahasa masyarakat pendukungnya. Menganalisis teks dampeng berarti mencari tahu dan menemukan maknamakna yang muncul dari teks dampeng tersebut. Sehubungan dengan penemuan makna-makna tersebut, Alan P. Merriam mengemukakan bahwa musik juga mempengaruhi bahasa di mana keperluan musikal meminta perubahan dalam bentuk-bentuk percakapan yang normal. Ciri-ciri bahasa dalam lagu adalah jenis terjemahan yang istimewa yang mana kadang kala memerlukan pengetahuan bahasa yang istimewa pula (1964:188). Ini berarti teks dalam dampeng tidak mengikuti struktur yang biasa dalam bahasa Pesisir. Selanjutnya Merriam menyatakan bahwa salah satu kesulitan yang serius melakukan terjemahan beberapa lagu ditemukan dari bentuk-bentuk kata untuk kepentingan eufonis. Eufonis merupakan penambahan, pengubahan, atau penghilangan silabel pada sebuah kata untuk mencapai efek musikal. Dengan demikian, penemuan makna-makna dalam teks dampeng berdasarkan kepada tafsiran-tafsiran penyaji dampeng. Teks dampeng terdiri dari silabel-silabel yang tersusun berdasarkan aturan-aturan tertentu. Artinya susunan silabel-silabel dalam teks dampeng diatur sesuai dengan kebutuhan melodi dan keindahan pengembangan melodi dampeng. Sebagian dari silabel tersebut berbentuk kata yang mempunyai arti. Sebagian lain, berbentuk kata yang tidak mempunyai arti atau silabel tambahan. Yang dimaksud dengan kata yang mempunyai arti adalah kata yang dapat diartikan ke dalam bahasa daerah setempat atau bahasa Pesisir dan bahasa Indonesia. Berikut ini merupakan contoh kata-kata yang mempunyai arti.
84
Tabel 4.1 Contoh Kata yang Mempunyai Arti No.
Kata
Bahasa Pesisir
Arti dalam Bahasa Indonesia
1.
kawanei
Kawan
Teman
2.
dusanakei
Dusanak
saudara
3.
Kininei
Kini
sekarang
Sedangkan silabel tambahan tidak dapat diartikan ke dalam bahasa daerah setempat atau bahasa Pesisir dan Bahasa Indonesia. Jumlah silabel tambahan dalam penyajian dampeng tidak sama karena hal itu tergantung pada penggarapan teks seorang penyaji. Berikut ini merupakan contoh silabel tambahan dalam teks dampeng. Tabel 4.2 Contoh Silabel Tambahan No.
Kata
1.
oi
2.
da
3.
are
4.
to
Dalam analisis ini, penulis memilih teks dampeng yang dilaksanakan pada malam hari, yaitu dampeng basanding. Teks dampeng tersebut terdiri dari 12 pantun. Selanjutnya untuk memudahkan proses penganalisisan teks dampeng¸ penulis membaginya menjadi dua bagian, yaitu 12 sampiran dan 12 isi pantun. Selain itu penulis memisahkan silabel-silabel tambahan dari teks dampeng. Berikut ini teks dampeng basanding dan artinya dalam Bahasa Indonesia. Arti teks dampeng basanding ini langsung diterjemahkan oleh salah seorang penyaji
85
dampeng yang merupakan informan kunci penulis yaitu Bapak Syahriman Hutajulu.
Dampeng Basanding
1. Sampiran
Karambi dusun mangatari, Tumbu di belok kampung cino Kelapa dari kampung Tumbuh di kampung Cina
Isi
Tolan badusun managari, tolong manompang dagang hino Manusia bermasyarakat dalam satu kampung Tolong menumpang perantau ini
2. Sampiran
Indak baruba nibung di tabang, Asalkan condong katapian Tidak berubah nibung ditebang Asalkan condong ke tepian
Isi
Indak baruba dagang di tompang, Asalkan samo paratian Tidak berubah pilihan hati Asalkan sama-sama perhatian
86
3. Sampiran
Sakkik bana kane jilatang Indahlah buli di baok mandi Sakit sekali kena jilatang Tidaklah dapat dibawa mandi
Isi
Sakkik bana dagang manompang Indaklah buli ba sukko ati Sakit sekali bila menumpang Tidaklah dapat sesuka hati
4. Sampiran
Kok pande bakain panjang Ala saraso bakain sarung Jikalau pandai memakai kain panjang Sudah serasa memakai kain sarung
Isi
Kok pande bainduk samang Ala sarupo ba umak kandung Jikalau pandai berinduk semang Sudah sama seperti ibu kandung
5. Sampiran
Kok pande tolan malenggang Malengganglah di tapi pasi Jikalau saudara pandai berjalan Berjalanlah di tepi pasir
87
Isi
Kok pande tolan ba tenggang, Diganggam indak tiri Jikalau saudara pandai memegang Digenggam tidak lepas
6. Sampiran Ujung pasi bakelok-kelok, Bakelok lalu ka ujung karang Ujung pantai berkelok-kelok Berkelok ke ujung karang
Isi
Bakasi-kasi mak buli elok Jangan di danga fitanah urang Saling menyayangi supaya mesra Jangan didengar gunjingan orang
7. Sampiran Tali kai turunla bantaian, Pangai anak kerong bali Tali pancing disiapkan Untuk memancing kerong bali
Isi
Ala di maksud jadila pakaian, Jangan diduo tigo lai Telah dipilih jadilah dipakai Janganlah dijadikan dua atau tiga
88
8. Sampiran Atak-atak bantalan basusun Ambikla piso turila indayan Diatur bantal bersusun Ambillah pisau untuk membelah
Isi
Tatap-tatap hunikan dusun Janganla tolan kumari layan Tetaplah hidup di kampung Janganlah saudara hidup tidak menentu
9. Sampiran Siboga jolongla basusuk, Banda di kali urang rante Sibolga pada awalnya Parit digali oleh tawanan perang
Isi
Jangan manyasa tolan isuk Tatompang dagang urang sangse Jangan saudara menyesal kemudian Hidup dengan orang yang melarat
10. Sampiran Siboga di lingkung gunung, Panjang jambatan di kalangan Sibolga dikelilingi gunung Panjang jembatan di Kalangan
89
Isi
Jiko tolan mandapek untung, Kampung halaman lupokan jangan Jika saudara mendapat untung Kampung halaman jangan lupakan
11. Sampiran Ala datang si kapa puti, Tagak bandera saputangan Telah datang si kapal putih Berdiri bendera saputangan
Isi
Ala datang si kandak ati, Mancari labuan agak tanang Telah datang si jantung hati Mencari labuhan hati yang tenang
12. Sampiran Limo puruk di ganggam ampek, Siso balimo kalamari Jeruk purut digenggam empat Sisa dua hari yang lalu
Isi
Pasang surut ombaknyo rapek Jawek aluan biduk kami Pasang yang sudah surut ombaknya kecil Sambut haluan perahu kami
90
Teks dampeng di atas merupakan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh para penyaji dampeng secara khusus kepada kedua pengantin. Namun, teks dampeng tersebut juga ditujukan kepada kedua orang tua pengantin dan undangan yang hadir. Secara umum, dampeng yang dinyanyikan kepada kedua pengantin berisikan pedoman-pedoman dalam memulai dan mengarungi kehidupan rumah tangga yang baru. Setiap teks dampeng dimulai dengan kata-kata: “o dampeng si dampeng” atau “o beleng si dampeng”. Teks “O dampeng si dampeng” dibawakan dalam dampeng mangarak dan dampeng basanding. Menurut informan, kata “dampeng” tidak mempunyai arti dalam bahasa Indonesia. Sedangkan teks “o beleng si dampeng” dibawakan dalam dampeng barande. Kata “beleng”dalam bahasa Pesisir berarti berputar. Kata-kata tersebut di atas selalu dinyanyikan untuk memulai isi dan sampiran teks dampeng. Dalam mengakhiri isi dan sampiran teks dampeng, kata-kata: “Oi da kawanei tolongla iyokan, iyola, iyo, a ,are, to” selalu dinyanyikan. Arti kalimat ini dalam bahasa Indonesia adalah ya teman, tolonglah iyakan. Namun, kata “kawanei” dapat juga digantikan dengan kata-kata lain seperti sanakei, sayangei. Secara struktural, seluruh teks dampeng terdiri dari 24 pantun. Teks ini disajikan dengan menggunakan melodi yang terdiri dari delapan unsur seperti tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval, nada, dan kontur. Seluruh teks dampeng tersebut disajikan dengan penuh penghayatan. Berikut ini, penulis menguraikan makna teks dampeng basanding dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir Kota Sibolga. Pantun pertama yaitu karambi dusun mangatari, tumbu di belok kampung cino, tolan badusun managari, tolong manompang dagang hino. Artinya dalam bahasa Indonesia yaitu
91
kelapa dari kampung tumbuh di kampung Cina, manusia bermasyarakat dalam satu kampung tolong menumpang perantau ini. Pantun ini berisi tentang tata krama dalam menempati wilayah tempat tinggal yang baru. Dengan kata lain, seorang perantau sebaiknya memohon izin kepada masyarakat setempat untuk tinggal dalam suatu wilayah yang baru. Selanjutnya, pantun kedua berbunyi sebagai berikut: indak baruba nibung di tabang asalkan condong katapian, indak baruba dagang di tompang asalkan samo paratian. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut: tidak berubah nibung ditebang, asalkan condong ke tepian, tidak berubah pilihan hati asalkan sama-sama perhatian. Pantun ini mengingatkan kedua pengantin bahwa suami/istri tidak akan berubah asal keduanya saling memperhatikan. Berikutnya, pantun ketiga yakni sakkik bana kane jilatang indahlah buli di baok mandi, sakkik bana dagang manompang indaklah buli ba sukko ati. Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia yakni sakit sekali kena jilatang tidaklah dapat dibawa mandi, sakit sekali bila menumpang tidaklah dapat sesuka hati. Pantun ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat berlaku seenaknya apabila sedang berada di tempat yang asing atau baru. Pantun keempat berbunyi sebagai berikut: kok pande bakain panjang ala saraso bakain sarung, kok pande bainduk samang ala sarupo ba umak kandung. Berikut ini arti pantun keempat dalam bahasa Indonesia: jikalau pandai memakai kain panjang sudah serasa memakai kain sarung, jikalau pandai berinduk semang sudah sama seperti ibu kandung. Pantun ini mengingatkan kedua pengantin bahwa jikalau seseorang beradaptasi dengan bijaksana bersama orang lain, maka akan terasa seperti keluarga sendiri.
92
Selanjutnya, pantun kelima berisikan sebagai berikut: kok pande tolan malenggang malengganglah di tapi pasi, kok pande tolan ba tenggang diganggam indak tiri. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut: jikalau saudara pandai berjalan berjalanlah di tepi pasir, jikalau saudara pandai memegang yang digenggam tidak lepas. Pantun ini berpesan kepada kedua pengantin bahwa setiap masalah yang hadir dalam rumah tangga, sebaiknya disimpan rapat-rapat dan tidak diketahui oleh orang lain. Berikutnya, pantun keenam yaitu ujung pasi bakelok-kelok bakelok lalu ka ujung karang, bakasi-kasi mak buli elok jangan didanga fitanah urang. Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: ujung pantai berkelok-kelok berkelok ke ujung karang, saling menyayangi supaya mesra, jangan didengar gunjingan orang. Dalam pantun ini, kedua pengantin diingatkan untuk saling menyayangi dan mempercayai sebagai sepasang suami istri. Pantun ketujuh berbunyi sebagai berikut: tali kai turunla bantaian pangai anak kerong bali, ala di maksud jadila pakaian jangan diduo tigo lai. Dalam bahasa Indonesia berarti tali pancing disiapkan untuk memancing kerong bali, telah dipilih jadilah dipakai janganlah dijadikan dua atau tiga. Pantun ini tetap mengingatkan kedua pengantin untuk saling setia dan tidak berselingkuh. Berikutnya pantun kedelapan yaitu atak-atak bantalan basusun ambikla piso turila indayan, tatap-tatap hunikan dusun janganla tolan kumari layan. Arti pantun ini dalam bahasa Indonesia adalah diatur bantal bersusun ambillah pisau untuk membelah, tetaplah hidup di kampung janganlah saudara hidup tidak menentu. Pantun ini berpesan untuk tetap menyatu dalam keluarga atau membina hubungan yang baik dengan keluarga.
93
Selanjutnya, pantun ke Sembilan yakni Siboga jolongla basusuk banda di kali urang rante, jangan manyasa tolan isuk tatompang dagang urang sangse. Dalam bahasa Indonesia diartikan berikut ini: Sibolga pada awalnya parit digali oleh tawanan perang, jangan saudara menyesal kemudian hidup dengan orang yang melarat. Pantun ini mengingatkan kedua pengantin untuk saling menerima pasangan sebagaimana adanya dan tidak menyesal di hari yang akan datang. Pantun kesepuluh berbunyi sebagai berikut: Siboga di lingkung gunung panjang jambatan di Kalangan, jiko tolan mandapek untung kampung halaman lupokan jangan. Pantun diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: Sibolga dikelilingi gunung panjang jembatan di Kalangan, jika saudara mendapat untung kampung halaman jangan lupakan. Pantun ini menyatakan bahwa jika seseorang telah berhasil dan sukses tetaplah mengingat kampung halaman. Berikutnya, pantun kesebelas yaitu ala datang si kapa puti tagak bandera saputangan, ala datang si kandak ati mancari labuan agak tanang. Di dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut telah datang si kapal putih berdiri bendera saputangan, telah datang si jantung hati mencari labuhan hati yang tenang. Pantun kesebelas ini menyatakan kepada pengantin perempuan bahwa pengantin laki-laki telah datang untuk hidup bersama dengannya. Pantun terakhir berbunyi sebagai berikut: limo puruk diganggam ampek siso balimo kalamari, pasang surut ombaknyo rapek jawek aluan biduk kami. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut: jeruk purut digenggam empat sisa dua hari yang lalu, pasang yang sudah surut ombaknya kecil sambut haluan perahu kami. Pantun menyatakan isi hati pengantin laki-laki agar kedatangannya diterima oleh pengantin perempuan.
94
BAB V TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIKAL DAMPENG
5.1 Transkripsi Dalam ilmu Etnomusikologi, transkripsi merupakan proses penulisan bunyi-bunyian sebagai hasil dari pengamatan dan pendengaran suatu musik ke dalam bentuk simbol-simbol yang disebut dengan notasi. Untuk melakukan transkripsi melodi dampeng, penulis memilih notasi deskriptif yang dikemukakan oleh Charles Seeger. Notasi deskriptif adalah notasi yang ditujukan untuk menyampaikan kepada pembaca tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca. Dalam bab ini, penulis memilih untuk mentranskripsi dan menganalisis melodi dampeng basanding. Hasil transkripsi dan analisis dikerjakan dengan menggunakan
notasi Barat.
Penulis
memilih
notasi Barat
agar
dapat
menggambarkan pergerakan melodi dampeng secara grafis. Hasil transkripsi yang dibuat oleh penulis merupakan hasil penelitian pada upacara adat perkawinan Surya Dharma Kombih dengan Dewi Astuti Bandar di Kota Sibolga pada tanggal 14 Maret 2014.
5.1.1 Simbol Dalam Notasi Simbol-simbol yang digunakan dalam notasi transkripsi melodi dampeng merupakan simbol-simbol dalam notasi Barat. Berikut ini, beberapa simbol yang digunakan dalam hasil transkripsi melodi dampeng.
95
1. :
merupakan
garis
paranada
yang
memiliki
lima
buah
garis paranada dan empat buah spasi dengan tanda kunci C. 2. :
merupakan birama 4/4 dalam kunci C.
3.
: merupakan dua buah not 1/16 dan satu buah not 1/8 yang digabung menjadi 1 not yang bernilai 1 ketuk.
4.
: merupakan
8
not
1/32
yang
digabung
menjadi 1 not bernilai 1 ketuk. 5. :
merupakan satu buah not 1/4 yang bernilai 1 ketuk.
6. : merupakan satu buah not penuh yang bernilai 4 ketuk. 7.
: merupakan satu buah not 1/8 yang bernilai 1/2 ketuk.
8.
:
merupakan satu buah not 1/2 dengan satu buah titik di depannya yang bernilai 3 ketuk.
9. :
merupakan
satu
buah
not
1/32
dengan
tanda
pugar
di
depannya yang berarti nada dikembalikan dengan menaikkan
atau
menurunkan
1/2
laras
dari
nada sebelumnya. 10. :
merupakan
satu
buah
not
1/32
dengan
tanda
kress
di
depannya yang berarti nada dinaikkan 1/2 laras dari nada sebelumnya. 11. :
merupakan
satu
buah
not
1/32
dengan
tanda
mol
di
depannya yang berarti nada diturunkan 1/2 laras dari nada sebelumnya. 12. : merupakan tanda diam yang bernilai 4 ketuk. 13. : merupakan tanda diam yang bernilai 1 ketuk.
96
Simbol-simbol di atas merupakan simbol-simbol yang terdapat dalam lampiran partitur yang perlu diketahui agar pembaca memahami artinya. Ini penting untuk menjelaskan tentang hal-hal yang dimaksud dalam notasi. Dari cara bekerja transkripsi seperti diurai di atas, maka hasilnya adalah seperti di bawah ini.
97
98
5.2 Analisis Melodi Dampeng Dalam menganalisis melodi dampeng, penulis berpedoman kepada teori yang dikemukakan oleh William P. Malm yang dikenal dengan teori weighted scale. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu (1) tangga nada (scale); (2) nada dasar (pitch center); (3) wilayah nada (range); (4) jumlah nada (frequency of notes); (5) jumlah interval (prevalent intervals); (6) pola kadensa (cadence patterns); (7) formula melodik (melody formula); dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993: 13).
5.2.1 Tangga Nada (Scale) Dalam mendeskripsikan tangga nada (scale), penulis mengurutkan nadanada yang terdapat dalam dampeng tersebut dimulai dari nada terendah sampai nada yang tertinggi. Penulis memperoleh bahwa terdapat 11 nada dengan nada terendah adalah Dis dan nada tertinggi adalah E pada oktaf yang berikutnya.
Berdasarkan struktur tangga nada yang digunakan di atas, maka tangga nada dampeng dapat dikategorikan ke dalam jenis tangga nada heptatonik, yaitu tangga nada yang terdiri dari tujuh nada dengan dua jenis interval yaitu 1 laras dan 1/2 laras. Dalam hal ini interval tersebut adalah satu laras atau 200 sent dan setengah laras atau 100 sent. Selengkapnya deretan nada yang digunakan dalam melodi dampeng ini adalah sebagai berikut bersama dengan komposisi laras yang digunakannya.
99
dis
e 1/2
fis 1
100 200
g
gis
1/2
1/2
100
100
a 1/2
b 1
cis 1
d 1/2
100 200 200
dis
e
1/2
1/2
laras
100 100
100
sen
5.2.2 Nada Dasar (Pitch Center) Dalam menentukan nada dasar dampeng ini, penulis beracuan pada hasil rekaman video maupun audio yang penulis peroleh saat pelaksanaan upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga. Selanjutnya, hasil rekaman telah ditranskripsikan ke dalam notasi Barat. Hasil yang didapatkan dalam transkripsi dampeng adalah E.
5.2.3 Wilayah Nada (Range) Wilayah nada adalah jarak antara nada tertinggi dan nada terendah dalam tangga nada. Wilayah nada dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga adalah sebagai berikut:
dis
e 6 ½ Laras
1300 sent
100
5.2.4 Jumlah Nada (Frequency of Notes) Jumlah nada adalah banyaknya nada-nada yang dipakai secara keseluruhan dalam suatu musik baik musik instrumental atau vokal. Dalam melodi dampeng, penulis memperoleh 4 nada Dis, 73 nada E, 29 nada Fis, 7 nada G, 51 nada Gis, 43 nada A, 31 nada B, 31 nada Cis, 4 nada D, 5 nada Dis’, dan 1 Nada E’ dalam 1 sampiran dampeng. Selengkapnya lihat gambar di bawah ini.
Nada yang paling sering muncul dalam dampeng adalah nada E, disusul nada Gis dan A. Nada-nada lain muncul berkisar antara 4 sampai 31. Sementara nada yang paling sedikit muncul adalah nada E’. Dengan demikian, intensitas kemunculan yang paling banyak yaitu nada E sehingga mengindikasikan nada tersebut sebagai pusat tonalitasnya. Berdasarkan jumlah nada-nada yang diperoleh dalam 1 bait sampiran dampeng, maka jumlah nada-nada secara keseluruhan dalam 24 bait dampeng yaitu: Tabel 5.1 Jumlah Nada dalam Dampeng No. Nada
Jumlah Nada dalam 1 Bait
Total ( x 24 bait)
1.
Dis,
4
96
2.
E
73
1752
3.
Fis
29
696
4.
G
7
168
5.
Gis
51
1224
6.
A
43
1032
7.
B
31
744
101
8.
Cis
31
744
9.
D
4
96
10
Dis’
5
120
11.
E’
1
24
5.2.5 Jumlah Interval (Prevalent Intervals) Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri dari interval naik maupun turun. Di bawah ini merupakan tabel jumlah interval dalam dampeng. Tabel 5.2 Jumlah Interval Dampeng Interval Posisi Jumlah 49 1P ↑ 4 1Aug ↓ 5 ↑ 45 2M ↓ 56 ↑ 37 2m ↓ 45 ↑ 5 3M ↓ 6 ↑ 6 3m ↓ 4 ↑ 6 4P ↓ 3
Total 49
Total (x 24 ) 1176
9
216
101
2424
82
1968
11
264
10
240
9
216
Melalui tabel di atas dapat diketahui bahwa interval yang paling banyak digunakan dalam penyajian dampeng adalah interval 1P dengan jumlah 1176 kali, interval 2M dengan jumlah 2424 kali, dan interval 2m dengan jumlah 1968 kali. Selanjutnya interval yang paling sedikit digunakan dalam penyajian dampeng adalah interval 1Aug, 3M, 3m dan 4P. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interval 1P, 2M, dan 2m memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk dampeng. 102
5.2.6 Pola Kadensa Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi yang menjadi penutup pada bagian akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup sempurna melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut dalam satu frasa. Dalam dampeng hanya terdapat 1 jenis pola kadensa baik pada akhir melodi maupun pertengahan melodi.
Pola pada akhir melodi
Pola pada pertengahan melodi
5.2.7 Formula Melodik Formula melodik yang akan dibahas tulisan ini meliputi bentuk dan frasa. Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi. Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi. William P. Malm mengemukakan bahwa ada beberapa istilah dalam menganalisis bentuk, yaitu: 1. Repetitive adalah bentuk nyanyian dengan melodi pendek yang diulangulang. 2. Iterative adalah bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil
dengan
kecenderungan
pengulangan-pengulangan
keseluruhan nyanyian.
103
di
dalam
3. Strophic adalah bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang baru atau berbeda. 4. Reverting adalah bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi. 5. Progressive adalah bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru. Berpedoman pada apa yang dikemukakan Malm mengenai bentuk nyanyian, maka penulis menarik kesimpulan bahwa bentuk yang terdapat dalam dampeng pada upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Kota Sibolga adalah bentuk nyanyian dengan kategori strophic. Dampeng dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir di Sibolga terdiri dari 2 bentuk, yaitu bentuk A dan B. Namun dalam penyajiannya, bentuk A akan diulangi pada bagian akhir. Dengan demikian, dampeng memiliki bentuk A-B-A. Bentuk A merupakan bagian dampeng yang dinyanyikan pada bagian response. Sedangkan bentuk B merupakan bagian dampeng yang dinyanyikan pada bagian call. Dampeng merupakan nyanyian yang terdiri dari 8 frasa. 8 frasa tersebut adalah sebagai berikut:
Frasa 1
104
Frasa 2
Frasa 3
Frasa 4
Frasa 5
105
Frasa 6
Frasa 7
Frasa 8
5.2.8 Kontur Kontur adalah garis melodi dalam sebuah nyanyian. Malm membedakan kontur ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut: 1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
106
2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah. 3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya. 4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun. 5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 6. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor. 7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batas-batasan. Garis kontur yang terdapat pada melodi dampeng pada umumnya adalah ascending, descending, conjuct, dan juga static. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini:
Kontur Ascending dan Descending
107
Kontur Static
Kontur Conjuct
108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Suku Pesisir merupakan salah satu suku yang secara administratif berada di wilayah Kota Sibolga. Suku ini mendiami sebagian besar daerah pinggiran pantai dan sebagian kecil daerah pegunungan yang terdapat dalam empat bagian wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sibolga Selatan, Sibolga Kota, Sibolga Utara dan Sibolga Sambas. Mereka berasal dari keturunan beberapa suku, seperti Minangkabau, Batak Toba, Mandailing, Angkola, dan Melayu yang berinteraksi dan membentuk adat-istiadatnya sebagai identitas baru. Suku Pesisir mempunyai adat-istiadat yang berbeda dengan suku lain. Adat-istiadat tersebut berhubungan erat dengan norma-norma dalam Agama Islam. Suku Pesisir Sibolga menyebutnya dengan istilah sumando. Sumando memiliki beberapa pengertian dalam Suku Pesisir. Sumando adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan Suku Pesisir, meliputi meliputi adat-istiadat Pesisir, kesenian Pesisir, bahasa Pesisir, dan makanan Pesisir. Kesenian Pesisir dikenal dengan istilah kesenian sikambang. Kesenian sikambang terdapat dalam tahap puncak pelaksanaan upacara adat perkawinan. Kesenian tersebut meliputi musik instrumental, musik vokal, dan tari. Dampeng merupakan bagian musik vokal sikambang dan bagian adat perkawinan Suku Pesisir. Dampeng berperan penting dalam upacara adat perkawinan Suku Pesisir. Dampeng dalam suatu pelaksanaan upacara adat perkawinan Suku Pesisir terdiri dari 3, yaitu dampeng mangarak, dampeng barande, dan dampeng basanding.
109
Dampeng adalah nyanyian tanpa iringan instrumen (a capella). Menurut adat sumando, dampeng dinyanyikan oleh sekelompok laki-laki. Penyaji dampeng biasanya terdiri dari 7-12 orang. Penyaji tersebut merupakan seniman sikambang yang dipanggil secara khusus untuk menyajikan dampeng. Mereka biasanya terbagi dalam dua bagian kelompok yakni seorang penyaji berperan sebagai pemimpin dampeng (solo leader) yang dilakukan secara bergantian. Sedangkan penyaji lainnya menjadi perespon nyanyian (group chorus). Dalam penyajiannya, dampeng dibawakan dengan gaya responsorial (call and response). Teks dampeng berisikan nasihat-nasihat atau pengalaman-pengalaman yang diambil dari proses kehidupan Suku Pesisir. Teks tersebut dinyanyikan dalam bentuk pantun yang bersahut-sahutan. Dalam penyajiannya, dampeng terdiri dari 12 pantun dengan 12 sampiran dan 12 isi. Isi teks dampeng disampaikan dan ditujukan kepada kedua pengantin, orang tua kedua pengantin, dan undangan yang hadir dalam upacara adat perkawinan. Dampeng yang dibahas dalam tulisan ini terdiri dari 12 Pantun. Bentuk atau pola nyanyiannya adalah stropic atau gaya nyanyian yang diulang dengan teks yang baru atau berbeda. Dengan kata lain, dampeng adalah nyanyian yang lebih mementingkan teks daripada melodi atau disebut dengan logogenic. Gaya musik vokal yang dipakai dalam pujian ini adalah melismatis. Melismatis adalah apabila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada.
110
6.2 Saran Penulis menyadari banyak kekurangan dalam proses penyusunan tulisan ini. Salah satunya adalah kurangnya sumber-sumber referensi mengenai Suku Pesisir yang dapat mendukung tulisan ini. Penulis berharap peneliti-peneliti berikutnya dapat menyempurnakan tulisan ini. Bagi para peneliti berikutnya, penulis menyarankan beberapa hal untuk dipersiapkan dalam penyusunan tulisan ini. Pertama, kita harus mempunyai pengetahuan umum tentang kebudayaan Suku Pesisir. Sehingga pada saat menerapkan teknik-teknik penelitian lapangan kita dapat mengetahui dan menyusun konsep pengerjaan selanjutnya secara bertahap dan sistematis, antara lain wawancara, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya, kita juga harus mempunyai kemampuan menjadi sebagai seorang insider. Dengan kata lain, pengetahuan tentang bahasa Pesisir dapat mendukung proses penelitian nantinya. Terakhir, penulis menyarankan agar peneliti berikutnya dapat mengkaji kebudayaan musikal Suku Pesisir lainnya. Karena dalam ilmu Etnomusikologi tulisan-tulisan yang membahas tentang Suku Pesisir masih terhitung sedikit jumlahnya. Bagi pemilik kebudayaan Suku Pesisir, penulis berharap agar bersedia memberikan pengetahuan tentang seluruh kebudayaan musikal yang terdapat dalam Suku Pesisir. Dengan demikian, seluruh kebudayaan tersebut akan terdokumentasi nantinya. Penulis juga berharap, Suku Pesisir sebagai pendukung dan pemilik kebudayaan Pesisir dapat menggenerasikan kebudayaannya dengan tetap menjalankannya sesuai dengan adat-istiadat yang terdapat dalam Suku Pesisir.
111
Demikiaan tulisan ini diselesaikan, semoga tulisan ini memberikan manfaat kepada budaya dan pendidikan secara umum dan ilmu Etnomusikologi secara khusus.
112
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Abdul Latiff Abu.2006.Aplikasi Teori Semiotika dalam Seni Pertunjukan. Etnomusikologi (Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Seni),(53), 45-51. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Hast, Dorothea E., James R. Cowdery, dan Stan Scott. 1999. Exploring the World of Music. United States of America:Kendall/Hunt Publishing Company. Cowie, A.P. 1987. Kamus Oxford Learner’s Pocket.Oxford:Oxford University Press. Kamal, Zahara. 1992. Analisis Musik Vokal Dampeang Luambeak di Nagari Kepala Hilalang Kecamatan 2x11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Paraiman Sumatera Barat. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Koentjaraningrat. 1983. Gramedia.
Metode-Metode
Penelitian
Masyarakat.
Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
113
Jakarta:
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Malm, William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East, and Asia (terjemahan). Medan. Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (terjemahan Takari). Mardalis. 2006. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: Bumi Aksara. Merriam, Alan P. 1964. The Antropology of Music. Indiana: Northwestern University Press. Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nainggolan, Radjoki. 2012. Buku Kesenian Pesisir Sikambang. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara. Narrol, R. 1965. "Ethnic Unit Classification." Current Anthropology, volume 5 No. 4." Nettl, Bruno.1964.Theory and Method of Ethnomusicology. New York: The Free Press. Pilhofer, Michael dan Holly Day. 2007. Music Theory for Dummies. Canada: Wiley Publishing, Inc. Silaban, Nehemia Herwinka. 2012. Kirtan Pada Ibadah Mingguan Masyarakat Sikh Di Gurdwara Tegh Bahadur Polonia Medan: Kajian Struktur Tekstual Dan Melodi. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Simbolon, Pardon. 2012. Organologi Gendang Sikambang di Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Sitompul, Risman Arbi. 2013. Tradisi Kelisanan Baralek Gadang Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial. Skripsi Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta
xxi
www.sibolgakota.bps.go.id www.sibolgakota.go.id www.ethnomusicology.org repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29774/4/Chapter%20II.pdf repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41364/4/CHapter%20II.pdf
xxii
DAFTAR INFORMAN 1. Nama
: Khairil Hasni Siregar
Umur
: 54 tahun
Alamat
: Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah
Pekerjaan : Nelayan
2. Nama
: Radjoki Nainggolan
Umur
: 66 tahun
Alamat
: Jl. Sei Ban-Ban, No. 7, Kota Medan
Pekerjaan : Dosen
3. Nama
: Siti Zubaidah
Umur
: 44 tahun
Alamat
: Jl. KH. Ahmad Dahlan, Gg. Puskesmas, No.3, Kota Sibolga
Pekerjaan : Guru
4. Nama
: Syahriman Irawady Hutajulu
Umur
: 44 tahun
Alamat
: Jl. Sisingamangaraja, Gg. Kenanga, Kota Sibolga
Pekerjaan : Penarik Becak
5. Nama
: Ahmad Aritonang
Umur
: 40 tahun
Alamat
: Jl. SM. Raja Gg. Siopo-opoo, Kelurahan Aek Manis, Kota Sibolga
Pekerjaan : Penarik Becak
6. Nama
: Maskur Hutagalung
Umur
: 57 tahun
Alamat
: Pasar Sorkam, Desa Binasi, Kecamatan Sorkam, Kabupaten Tapanuli Tengah
Pekerjaan : Petani xxiii
7. Nama
: Khairul Aman Hutagalung
Umur
: 57 tahun
Alamat
: Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah
Pekerjaan : Nelayan
8. Nama
: Risman Sihombing
Umur
: 40 tahun
Alamat
: Pasar Sorkam, Desa Binasi, Kecamatan Sorkam, Kabupaten Tapanuli Tengah
Pekerjaan : Nelayan
9. Nama
: Syahbuni Gorat
Umur
: 54 tahu
Alamat
: Sorkam Kanan, Kecamatan Sorkam, Kabupaten Tapanuli Tengah
Pekerjaan : Petani
10. Nama
: Dewi Astuti Bandar (Pengantin Perempuan)
Umur
: 24 tahun
Alamat
: Jl. Perintis Kemerdekaan No. 52 Sibolga
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
11. Nama
: Surya Dharma Kombih (Pengantin Laki-laki)
Umur
: 27 tahun
Alamat
: Jl. Jamin Ginting No. 7 Medan
Pekerjaan : Wiraswasta
12. Nama
: Eddy Syahputra Bandar (Ayah Pengantin Perempuan)
Umur
: 50 tahun
Alamat
: Jl. Perintis Kemerdekaan No. 52 Sibolga
Pekerjaan : Wiraswasta
xxiv
13. Nama
: Hj. Dernawati (Ibu Pengantin Perempuan)
Umur
: 54 tahun
Alamat
: Jl. Perintis Kemerdekaan No. 52 Sibolga
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
14. Nama
: Robulut Kombih (Ayah Pengantin Laki-laki)
Umur
: 54 tahun
Alamat
: Jl. Jamin Ginting No. 7 Medan
Pekerjaan : Perwira
15. Nama
: Yosnita Sitompul (Ibu Pengantin Laki-laki)
Umur
: 48 tahun
Alamat
: Jl. Jamin Ginting No. 7 Medan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
xxv
LAMPIRAN I Dampeng Mangarak No. 1.
2.
3.
4.
5.
Pantun Lape nan dari pondok budu
Terjemahan Bahasa Indonesia Lepat dari kampung
Pasabalakkang anyo lai
Pasar Belakang lagi
Lape nan dari tangan ibu
Lepat yang dari tangan ibu
Pai badagang anyo lai
Pergi didagangkan lagi
Paku sarumpun jongon banto
Pakis serumpun sayur lain
Padi nan jangan ditugakan
Padi jangan dituangkan
Santano jau tolan di ranto
Kalaulah kita pergi merantau
Bundo kandung jangan lupokan
Ibu kandung jangan dilupakan
Usa baladang ujung pau
Tidak usah berladang di ujung kampung
Rakkik siapo mangelokan
Rakit siapa mengemudinya
Usa badagang jau-jau,
Tidak usah merantau jauh-jauh
Sakkik siapo mahebokan
Sakit siapa yang memperhatikan
Kayu gadang di lereng gunung
Kayu besar di lereng gunung
Ditabang lalu bala duo
Dibelah jadi dua
Sanangla hati bundo kandung
Senanglah hati ibu kandung
Anak sorang jadilah ba duo
Anak seorang sudah jadi dua
Tinggi gunungnyo Panakkalan,
Tinggi gunungnya Panakkalan
Nampak nan dari si bura-bura
Tampak dari si bura-bura
Salamat-salamat tolan bajalan,
Selamat-selamat saudara berjalan
Umu panjang rajakki mura
Umur panjang rejeki murah
xxvi
LAMPIRAN II Dampeng Barande
No. 1.
2.
3.
4.
5.
Pantun
Terjemahan Bahasa Indonesia
Di pilin-pilin basahan mandi
Diperas-peras kain basahan
Di baok lalu katapian
Dibawa ke tepian
Di pili-pili tampek hati,
Dipilih-pilih tempat hati
Jangan manyasa kamudian
Jangan menyesal kemudian
Badarak buni kilangan
Berbunyi suara kilang
Tadanga lalu katapian
Terdengar sampai ke tepian
Tagarak raso kahilangan
Tergerak rasa kehilangan
Raso di dalam kamatian
Serasa di dalam kematian
Marapati batali ijo
Merpati bertali hijau
Taserak padi di halaman
Terserak padi di halaman
Biala tabang kalangik ijo
Biarlah terbang ke langit yang jauh
Asalkan tali di tapak tangan
Asalkan tali di telapak tangan
Cubadak duo namonyo
Cempedak dua namanya
Di tanam urang di tapi jalan
Ditanam orang ditepi jalan
Kok taragak sabuk namonyo
Kalau teringat sebut namanya
Ai mato di buang jangan
Air mata jangan dibuang
Kian tasingki kian dalam
Semakin dalam air laut
Dalam bacampu ai rimbo
Tercampur dengan limbah
Kian tapikki kian dalam
Semakin terpikir semakin dalam
Dalam bacampu ati hibo
Dalam bercampur hati yang sedih
xxvii
6.
7.
Ancimun bungkuk dalam padi,
Mentimun bungkuk dalam padi
Luko di dalam paramasan
Luka di dalam peremasan
Bia baramuk dalam hati
Biarlah berkecamuk dalam hati
Di muko jangan kalihatan
Di muka jangan kelihatan
Indak baruba nibung di tabang,
Tidak berubah nibung ditebang
Asalkan condong katapian
Asalkan condong ke tepian
Indak baruba dagang di tompang
Tidak berubah orang yang merantau
Asalkan samo paratian
Asalkan sama perhatian
xxviii
LAMPIRAN III Teks Penyajian Dampeng Mangarak
1. O dampeng si dampeng . . . Lape nan dari da sanak ei Oi pondok budu, pasabalakkang kininei anyo lai Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . O dampeng si dampeng . . . Lape nan dari da sanak ei Oi tangan ibu, pai badagang kininei anyolai Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . 2. O dampeng si dampeng . . . Paku sarumpun da sanak ei Oi Jongon banto, padi nan jangan kininei ditugakan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . O dampeng si dampeng . . . Santano jau da sanak ei Oi tolan di ranto, bundo kandung kininei jangan lupokan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . 3. O dampeng si dampeng . . . Usa baladang da kawanei Oi ujung pau, rakkik siapo kininei mangelokan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
xxix
O dampeng si dampeng . . . Usa badagang da sanak ei Oi jau-jau, sakkik siapo kininei mahebokan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . 4. O dampeng si dampeng . . . Kayu gadang da sanak ei Oi di lereng gunung, ditabang lalu kininei oi bala duo Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . O dampeng si dampeng . . . Sanangla hati da sanak ei Oi bundo kandung, anak sorang kininei jadilah ba duo Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . 5. O dampeng si dampeng . . . Tinggi gunungnyo da sanak ei Oi panakkalan, nampak nan dari kininei si bura-bura Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . O dampeng si dampeng . . . Salamat-salamat da sanak ei Oi tolan bajalan, umu panjang kininei rajakki mura Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
xxx
LAMPIRAN IV Teks Penyajian Dampeng Barande 1. O beleng si dampeng . . . Di pilin-pilin da sanak ei Oi basahan mandi, di baok lalu kininei katapian Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . O beleng si dampeng . . . Di pili-pili da sanak ei Oi tampek hati, jangan manyasa kininei kamudian Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan . . . Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . 2. O beleng si dampeng Badarak da sanak ei Oi buni kilangan, tadanga lalu kininei katapian Oi da sanak ei tolongla iyo kan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . O beleng si dampeng Tagarak da sanak ei Oi raso kahilangan, raso di dalam kamatian Oi anta-anta Oi da sanak ei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . 3. O beleng si dampeng Marapati da sanak ei Oi batali ijo, taserak padi kininei di halaman Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
xxxi
O beleng si dampeng Biala tabang da sanak ei Oi kalangik ijo, asalkan tali kininei di tapak tangan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . 4. O beleng si dampeng Cubadak da sanak ei Oi duo namonyo di tanam urang kininei di tapi jalan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . O beleng si dampeng Kok taragak da sanak ei Oi sabuk namonyo, ai mato kininei di buang jangan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . 5. O beleng si dampeng Kian tasingki da sanak ei Oi kian dalam, dalam bacampu kininei ai rimbo Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . O beleng si dampeng Kian tapikki da sanak ei Oi kian dalam, dalam bacampu kininei ati hibo Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . 6. O beleng si dampeng Ancimun bungkuk da sanak ei Oi dalam padi, luko di dalam kininei paramasan Oi anta-anta Oi da kawanei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
xxxii
O beleng da sanak ei Oi dalam hati di muko jangan kalihatan Oi anta-anta Oi da sanak ei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
7. O beleng si dampeng Indak baruba da sanak ei Oi nibung di tabang, asalkan condong kininei katapian Oi anta-anta Oi da sanak ei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . . O dampeng si dampeng Indak baruba da sanak ei Oi dagang di tompang, asalkan samo kininei paratian Oi anta-anta Oi da sanak ei tolongla iyokan Iyola . . . iyo . . . a . . . Are . . . to . . .
xxxiii