ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN BPR MILIK PEMERINTAH DAERAH DAN BPR MILIK SWASTA
INDAH SUCI RAMADHANI
PROGRAM SARJANA ALIH JENIS DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1 Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Komparatif Risiko Keuangan BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Indah Suci Ramadhani NIM H24114056
1
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
ABSTRAK INDAH SUCI RAMADHANI. Analisis Komparatif Risiko Keuangan BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta. Dibimbing oleh ALI MUTASOWIFIN. Semakin tingginya kebutuhan hidup masyarakat saat ini, diperlukan tempat untuk mengelola keuangan masyarakat. Setiap orang memerlukan dananya tetap aman, berkembang, dapat cepat digunakan untuk hal yang mendesak serta dapat dinikmati hingga hari tua. Melihat tingginya kebutuhan tersebut bagi setiap orang, bank dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan semaksimal mungkin sesuai dengan standar pelayanan jasa. Dengan kondisi seperti ini lembaga perbankan sangat berperan penting, terutama BPR untuk menyalurkan kredit yang digunakan untuk produktif maupun konsumtif. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu BPR Milik Pemerintah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya digunakan untuk konsumtif dan BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya digunakan untuk produktif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan tingkat risiko keuangan yang dialami selama tahun 2010, 2011 dan 2012. Pengelolaan data yang dilakukan menggunakan perhitungan rasio keuangan bank dan z-score. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah mempunyai tingkat risiko yang lebih kecil karena pihak BPR dapat bekerjasama dengan perusahaan atau instansi pemerintah daerah lain untuk memotong upah atau gaji karyawan. Sedangkan BPR milik Swasta mempunyai risiko yang lebih besar karena ada kemungkinan usaha mengalami kebangkrutan sehingga tidak dapat membayar kredit yang diterimanya. Kata kunci: Risiko Keuangan, Rasio Keuangan, Z-Score
ABSTRACT INDAH SUCI RAMADHANI. Comparative Analysis of Financial Risk in Government Rural Bank and Private Rural Bank. Supervised by ALI MUTASOWIFIN. As the society needs in life is increasing, a place to manage their financial aspect is needed. Everyone needs to make sure that their capital is safe, developing, and easy to use for urgent things and also could be enjoyed in their retired life. Based on that expectation, bank is challenged to give the best and excellent service according to the standard. One of banking institutions which has important role is Rural Bank to distribute the consumptive and productive credit. Samples that are uses in this research is one of Rural Bank that belongs to the government which most of its capital used for consumtive credit. And another sample is Privat Rural Bank which most of its capital is used of productive credit. The objective of this research is to identify the comparative level of identify the comparative level of financial risk in 2010, 2011, 2012. Data processing wash conducted using bank financial ratio measurement and Z-Score. It Can be seen from the result that Government Rural Bank has samller level risk because it cooperated with another government company to cut off the employee’s salary.
Meanwhile the Privat Rural Bank has higher risk because of the possibility to go into liquidation in case they couldn’t pay the credit that they have received. Keywords: Financial Risk, Financial Ratio, Z-Score
ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN BPR MILIK PEMERINTAH DAERAH DAN BPR MILIK SWASTA
INDAH SUCI RAMADHANI
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Sarjana Alih Jenis Manajemen Departemen Manajemen
PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Komparatif Risiko Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah dan BPR Milik Swasta Nama : Indah Suci Ramadhani NIM : H24114056
Disetujui oleh
Ali Mutasowifin, S.E., M.Ak. Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Mukhamad Najib, STP, MM Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Analisis KomparatifRisiko Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah dan BPR Milik Swasta : Indah Suci Ramadhani Nama : H24114056 NIM
Disetujui oleh
Ali Mutasowifm, S.E., M.Ak.
Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
1 3 MAR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dipilih dalam penelitian yang diselesaikan sejak bulan April 2013 sampai Januari 2014 ini ialah Analisis Komparatif Risiko KeuanganBPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta . Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ali Mutasowifin, S.E, M.Ak. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada ibu Maryamah, kakak Maswamah Safitri, Rifki Harianssa, Ahmad Reza Rahmadi serta seluruh keluarga dan teman, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi rekan pembaca.
Bogor, Maret 2014 Indah Suci Ramadhani
DAFTAR ISI PERNYATAAN
iii
ABSTRAK
v
PRAKATA
xi
DAFTAR ISI
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
PENDAHULUAN
Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Fungsi Kegiatan Usaha BPR Kriteria Penilaian BPR Pengertian Risiko Risiko Bisnis Risiko Keuangan Laporan Keuangan Laporan Rugi/Laba Laporan Neraca Arus kas Rasio Keuangan Aspek Keuangan Rasio Keuangan Bank Rasio Likuiditas Rasio Solvabilitas Rasio Rentabilitas Analisis Diskriminan (Z-Score) Penelitian Terdahulu METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Metode Pengumpulan Data Analisis Data Rasio Keuangan HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Perusahaan BPR Milik Pemerintah Daerah Sejarah Perusahaan BPR Milik Swasta Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah
1
1 3 4 4 4 4
4 6 7 7 7 8 8 8 9 10 11 11 12 12 13 13 14 18 19
19 20 20 21 21 22
22 23 24
Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Swasta Analisis Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah Analisis Z-Score BPR Milik Swasta Pembahasan Rasio Likuiditas Rasio Solvabilitas Rasio Rentabilitas Z-Score Implikasi Manajerial SIMPULAN DAN SARAN
26 28 29 29 30 30 30 30 31 31
Simpulan Saran
31 31
DAFTAR PUSTAKA
32
RIWAYAT HIDUP
39
DAFTAR TABEL 1. Perbandingan Jumlah BPR, Total Aset & Sumber Dana Maret 2012 dan Maret 2013 2 2. Perbedaan BPR Milik Pemerintah Daerah & BPR Milik Swasta 6 3. Kriteria Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 7 4. Kriteria Penilaian Z-score untuk perusahaan manufaktur yang telah go public (public manufacturing) 15 5. Kriteria Penilaian Z-score untuk perusahaan yang belum go public 15 6. Kriteria Penilaian Z-score untuk perusahaan non-manufaktur 16 7. Rasio Keuangan Bank 21 24 8. Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah 27 9. Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Swasta 10. Perhitungan Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah 28 11. Perhitungan Z-Score BPR Milik Swasta 29
DAFTAR GAMBAR 1. Laporan Rugi/Laba 2. Neraca 3. Arus Kas 4. Kerangka pemikiran penelitian
9 10 11 20
DAFTAR LAMPIRAN 1. Laporan Rugi/Laba BPR Milik Pemerintah Daerah 2. Neraca BPR Milik Pemerintah Daerah 3. Laporan Rugi/Laba BPR Milik Swasta 4. Neraca BPR Milik Swasta
34 35 36 37
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perbankan berperan sangat penting untuk perekonomian nasional, sebagai lembaga intermediasi atau institusi perantara antara debitur dan kreditur. Bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan deposito, selain itu juga sebagai tempat untuk meminjamkan uang bagi masyarakat dan perusahaan yang membutuhkan. Bank dikenal juga sebagai tempat untuk menukar uang, memindahkan uang atau menerima segala macam bentuk pembayaran seperti pembayaran listrik, air, telepon, kuliah, pajak, gas alam dan pembayaran lainnya. Fungsi sebagai lembaga perantara yang dilaksanakan oleh industri perbankan adalah bagian yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan dana pada saat pembangunan semakin meningkat. Industri perbankan merupakan salah satu sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Semakin tingginya kebutuhan hidup masyarakat saat ini, diperlukan tempat untuk mengelola keuangan masyarakat. Setiap orang menginginkan dananya tetap aman, berkembang, dapat cepat digunakan untuk hal yang mendesak serta dapat dinikmati hingga hari tua. Melihat tingginya kebutuhan tersebut bagi setiap orang, bank dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Pelayanan terbaik yang dimaksud adalah bagaimana bank melayani para nasabahnya dengan standarstandar pelayanan jasa keuangan agar dapat meraih nasabah dengan profit semaksimal mungkin. Tentunya setiap bank berkeinginan agar pengumpulan dana dari masyarakat terus bertambah sehingga jumlah kredit yang disalurkan kembali ke masyarakat bisa meningkat dan penghasilan bank bisa meningkat pula seiring dengan peningkatan jumlah kredit yang disalurkan. Namun dalam menyalurkan pemberian kredit, bank juga harus memperhatikan tingkat resiko kredit macet yang akan terjadi. Dengan kondisi seperti ini lembaga perbankan sangat berperan penting, terutama Bank Perkreditan Rakyat (BPR), karena fungsi BPR tidak hanya menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi juga menerima simpanan dari masyarakat. Hal ini beda dengan bank umum yang mempunyai fungsi utamanya yaitu penciptaan uang, mendukung kelancaran mekanisme pembayaran, menghimpun simpanan dana masyarakat, mendukung kelancaran transaksi internasional, penyimpanan barang-barang berharga dan pemberian jasa lainnya. Perbedaan antara BPR dengan Bank Umum adalah dalam kegiatannya, yaitu bank umum memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sedangkan BPR tidak. Jasa lalu lintas pembayaran adalah jasa yang diberikan perbankan untuk nasabah misalnya kliring, dan jual beli valuta asing. Maka BPR tidak terlibat dalam kliring dan kegiatan usaha valuta asing. Ditinjau dari kegiatan usaha bank umum dan BPR, perbedaannya terletak pada bentuk simpanan dana yang dihimpun dari masyarakat. BPR tidak menghimpun dana dalam bentuk giro dan deposito, hanya menerima dalam bentuk tabungan dan deposito. Maka BPR tidak dapat melakukan transaksi giral. Sedangkan bank umum dapat melakukan
2
transaksi giral. Dilihat dari sasaran BPR pun berbeda dengan Bank Umum yaitu melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat dijangkau oleh bank umum dan untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan. Dapat dilihat pada Tabel 1 adanya perubahan jumlah BPR, total asset BPR dan sumber dana BPR yang tercatat di Bank Indonesia per Maret 2012 dan Maret 2013 Tabel 1 Perbandingan Jumlah BPR, Total Aset & Sumber Dana Maret 2012 dan Maret 2013
Keterangan Jumlah BPR Total Aset Sumber Dana
2012 1.665 Rp 57.211 Miliar Rp 46.763 Miliar
2013 1.653 Rp 68.645 Miliar Rp 56.443 Miliar
Penurunan jumlah BPR yang ada di Indonesia diakibatkan karena ditutup atau bangkrut. Tingkat bunga simpanan yang berlaku periode 15 Januari 2013 sampai dengan 14 Mei 2013, BPR menawarkan sebesar 8% sedangkan bunga di Bank Umum sebesar 5,5%. Bunga rata-rata tersebut jauh lebih besar daripada bunga yang ditawarkan bank umum. Artinya BPR harus bersaing dengan bank umum untuk memperebutkan dana masyarakat. Salah satu akibat bunga kredit BPR lebih tinggi yaitu 31,98% untuk kredit modal, 28,33% untuk kredit investasi dan 27,12% untuk kredit konsumsi. Jika BPR harus bersaing dengan bank umum jelas tidak bisa. Walaupun BPR khusus untuk melayani masyarakat pedesaan dan pelaku Usaha Mikro dan Kecil, namun masyarakat pedesaan dan pelaku Usaha Mikro dan Kecil tidak ada larangan untuk meminjam ke bank umum. Saat ini beberapa BPR telah memberikan kredit untuk keperluan konsumtif kepada masyarakat, namun tindakan ini tidak sesuai dengan tujuan utama BPR. Maka Bank Indonesia meminta kepada BPR untuk menurunkan porsi kredit konsumsi karena dapat membahayakan kualitas pembiayaan. Kredit konsumsi memang tidak bisa dihilangkan dari bisnis bank termasuk BPR karena beberapa kebutuhan pinjaman mendesak menggunakan pembiayaan ini. Beberapa kebutuhan yang banyak menggunakan pinjaman ini antara lain untuk anak sekolah dan biaya berobat rumah sakit. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), kredit konsumtif yang disalurkan oleh BPR mencapai Rp 19,53 triliun pada akhir Januari 2012, atau sekitar 47,15% dari seluruh portofolio pembiayaan yang mencapai Rp 41,42 triliun. Kredit konsumsi memiliki porsi terbesar dari keseluruhan pembiayaan dan sedikit di atas modal kerja yang sebesar Rp 19,5 triliun. Adapun kredit investasi hanya memiliki porsi Rp 2,39 triliun. Hingga akhir Januari 2012, kredit yang disalurkan oleh industri BPR mencapai Rp 41,42 triliun, tumbuh 21,25% dibandingkan dengan Januari 2011 yang tercatat Rp 34,16 triliun. Sementara itu, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) menjadi Rp 28,79 triliun, menurun dibandingkan dengan tahun lalu sebesar Rp 32,03 triliun. BPR perlu mengetahui seberapa besar resiko yang akan ditanggung apabila memberikan kredit yang digunakan untuk konsumtif dan kredit yang digunakan untuk produktif. Karena BPR harus memperhitungkan seberapa besar pengembalian yang diterima dalam waktu dekat agar tetap dapat mejalankan kegiatannya.
3
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah BPR seluruh Indonesia. Sampel dipilih secara purposive yaitu salah satu BPR milik Pemerintah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk konsumtif dan BPR milik Swasta yang memberikan sebagian besar portofolio kreditnya untuk produktif. BPR milik Pemerintah Daerah memberikan kredit kepada pegawai yang membutuhkan dana yang digunakan untuk konsumtif. Dilihat dari risiko yang akan terjadi, kredit untuk konsumtif akan lebih rendah karena dapat langsung dipotong dari gaji mereka. Sedangkan BPR milik Swasta yang lebih besar memberikan kredit untuk produktif lebih besar risikonya, karena nasabah akan mengembalikan pinjaman kepada BPR apabila usaha mereka telah mendapatkan keuntungan. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mengambil judul “ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) MILIK PEMERINTAH DAERAH DAN BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) MILIKI SWASTA”. Rumusan Masalah Statistik Perbankan Indonesia (SPI) edisi 11 Januari 2013 mencatat kredit tahunan tumbuh subur 21,51% dari Rp 40,68 triliun per November 2011 menjadi Rp 49,43 triliun per November 2012. Dana pihak ketiga (DPK) yang hanya meliputi deposito dan tabungan tumbuh kalah subur, yakni 17,57% dari Rp 37,28 triliun menjadi Rp 43,83 triliun. Dengan aneka keterbatasan, BPR masih kalah dibandingkan bank umum dalam pertumbuhan kredit 21,94% dan DPK 18,14 persen. Menurut laporan BI, nilai outstanding kredit BPR yang hingga akhir kuartal 2012 mencapai Rp 4,15 triliun, tercatat mengalami peningkatan per kuartal sebesar 5,88%, atau 16,82% secara tahunan. Pertumbuhan pangsa kredit tertinggi secara kuartal diduduki kredit konsumsi yang mencatat pertumbuhan sebesar 7,64%. Sedangkan secara tahunan, pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh kredit investasi, yakni sebesar 46,50%. Berdasarkan sektor ekonomi, penyaluran kredit BPR untuk sektor perdagangan masih memiliki pangsa yang terbesar. Nominal kredit sektor perdagangan mencapai Rp 0,34 triliun dengan pangsa sebesar 8,19% dari total kredit BPR di kuartal laporan. Sejalan dengan peningkatan kualitas kredit di bank umum, kualitas kredit BPR juga mengalami peningkatan. Hal itu tercermin dari rasio NPL (Non Performing Loan) BPR yang turun dari 1,68% menjadi 1,47%. Saat ini beberapa BPR lebih besar memberikan kredit untuk konsumtif dari pada untuk produktif. Karena dilihat dari tingkat risiko pengembaliannya bahwa kredit untuk konsumtif lebih rendah dari pada kredit untuk produktif. Dilihat dari pembayarannya, kredit konsumtif lebih rendah resiko gagal bayarnya karena dapat langsung dipotong dari penghasilan perbulannya. Sementara, kredit yang disalurkan untuk produktif, akan menjadi kredit macet atau hutang tersebut tidak dapat dibayar apabila usahanya mengalami kebangkrutan. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perbandingan tingkat risiko keuangan antara BPR milik pemerintah daerah dan BPR milik swasta? 2. Bagaimana kinerja keuangan BPR milik pemerintah daerah dan BPR milik swasta?
4
Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini agar sesuai dengan sasaran adalah : 1. Mengetahui perbandingan tingkat risiko keuangan antara BPR milik pemerintah daerah dan BPR milik swasta. 2. Menganalisis kinerja keuangan BPR milik pemerintah daerah dan BPR milik swasta. Manfaat penelitian Dari pelaksanaan penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain yaitu : 1. Manfaat bagi penulis untuk menambah wawasan tentang risiko keuangan dan mengetahui perbandingan tingkat risiko keuangan BPR milik pemerintah daerah dan BPR milik swasta. 2. Manfaat bagi pihak perusahaan untuk menjadi masukan dalam menyusun kebijakan perusahaan dan meminimalkan risiko keuangan. Ruang Lingkup Penelitian Dari rumusan permasalahan yang telah dibuat maka ada beberapa hal yang harus dibatasi dalam membahas permasalahan tersebut, antara lain : 1. BPR milik Pemeritah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk konsumtif. 2. BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk produktif. 3. Laporan Keuangan tahun 2010 sampai 2012.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Landasan hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah UU No. 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10/1998. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Menurut Bank Indonesia, Bank Perkreditan Rakyat yang biasa disingkat dengan BPR adalah salah satu jenis bank yang dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah dengan lokasi yang pada umumnya dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan. Kegiatan usaha BPR terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Bentuk hukum BPR dapat berupa perseroan terbatas, perusahaan daerah, atau koperasi. Pengertian lain tentang BPR adalah salah satu jenis bank yang dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan
5
menengah dengan lokasi yang pada umumnya dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan. Dilihat dari kepemilikannya BPR yaitu: a. BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama di antara warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, dan pemerintah daerah. b. BPR yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku. c. BPR yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. d. Perubahan kepemilikan BPR wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. e. Merger dan konsolidasi antara BPR, serta akuisisi BPR wajib mendapat ijin Merited Keuangan sebelumnya setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia. Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan clengan Peraturan Pemerintah. Apabila ditinjau dari segi kepemilikannya, jenis bank terdiri atas bank milik pemerintah, bank milik swasta nasional, dan bank milik swasta asing. a. Bank Milik Pemerintah Bank pemerintah adalah bank di mana baik akta pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah, sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki oleh pemerintah pula.Contohnya Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri. Selain itu ada juga bank milik pemerintah daerah yang terdapat di daerah tingkat I dan tingkat II masing-masing provinsi. Contoh Bank DKI, Bank Jateng, dan sebagainya. b. Bank Milik Swasta Nasional Bank swasta nasional adalah bank yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh swasta nasional serta akta pendiriannya pun didirikan oleh swasta, begitu pula pembagian keuntungannya juga dipertunjukkan untuk swasta pula. Contohnya Bank Muamalat, Bank Danamon, Bank Central Asia, Bank Lippo, Bank Niaga, dan lain-lain. c. Bank Milik Asing Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau pemerintah asing.Kepemilikannya dimiliki oleh pihak luar negeri.Contohnya ABN AMRO bank, City Bank, dan lain-lain. Bentuk hukum BPR dapat berupa Perusahaan Daerah (Badan Usaha Milik Daerah), Koperasi Perseroan Terbatas (berupa saham atas nama), dan bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) membagi jenis BUMD menjadi dua bentuk yaitu Pemerintah Daerah (PD) dan Perseroan Terbatas (PT). Perbedaan BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik swasta dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2 Perbedaan BPR Milik Pemerintah Daerah & BPR Milik Swasta
Keterangan Kepemilikan
Pengambilan Keputusan
Penambahan Modal
BPR Milik Pemerintah BPR Milik Swasta Daerah Modalnya dimiliki 100% Modalnya seluruhnya oleh Pemerintah Daerah. dimiliki oleh swasta dan tidak ada campur tangan pemerintah, baik orang perorang maupun bersama-sama oleh banyak orang dalam bentuk pemilikan saham atau simpanan pokok Koperasi. Pemerintah Daerah Tidak ada peran berperan besar dalam Pemerintah Daerah dalam penentuan kebijakan BPR. pengambilan keputusan. Seluruhnya dilakukan oleh pemegang saham. Anggaran Pendapatan dan Investor Belanja Daerah (APBD) Fungsi Kegiatan Usaha BPR
Menurut Latumaerissa (2011), fungsi BPR tidak hanya sekedar menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil, dan menengah, tetapi juga menerima simpanan dari masyarakat. Dalam penyaluran kredit kepada masyarakat, BPR menggunakan prinsip 3T, yaitu Tepat Waktu, Tepat Jumlah, dan Tepat Sasaran, karena proses kreditnya yang relatif cepat, persyaratan lebih sederhana dan sangat mengerti kebutuhan nasabah. Selain itu peran BPR juga untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lain yang serupa; dan memberikan kredit dalam bentuk Kredit Modal Kerja, Kredit Investasi, maupun Kredit Konsumsi. Adapun kegiatan usaha yang dapat dilakukan BPR secara detail adalah: a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang serupa b. Memberikan kredit c. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. Kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan oleh BPR antara lain: a. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali sebagai pedagang valuta asing (dengan izin Bank Indonesia) c. Melakukan penyertaan modal d. Melakukan usaha perasuransian e. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada kegiatan usaha yang dapat dilakukan BPR
7
Kriteria Penilaian BPR Bank Indonesia, mempunyai beberapa kriteria untuk penilaian kinerja BPR yang bisnisnya meningkat secara signifikan. Kriteria yang digunakan dalam penilaian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kriteria Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Kinerja 5 Tahun Terakhir Predikat Tingkat Kesehatan Faktor Manajemen Minimal NPL (gross) CAR LDR BOPO Pertumbuhan Kredit Pertumbuhan DPK
Kriteria S CS < 5% > 12% 81% < LDR < 94,74% < 88,5% > 10% > 5%
Sumber : Bank Indonesia (2011)
Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa BPR yang memiliki predikat tingkat kesehatannya dengan kriteria sehat, faktor manajemen cukup sehat, NPL kurang dari 5%, CAR lebih dari 12%, LDR lebih dari 81% dan kurang dari 94,74%, BOPO kurang dari 88,55, pertumbuhan kredit lebih dari 10% dan pertumbuhan DPK lebih dari 5% merupakan BPR yang bisnisnya meningkat signifikan menurut Bank Indonesia. Dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka BPR dapat menilai sendiri bisnis yang telah dijalaninya. Pengertian Risiko Menurut Mardiyanto (2009), resiko adalah ketidakpastian perolehan atas imbal hasil dari suatu aktiva finansial tertentu. Makin tinggi tingkat resiko yang harus ditanggung makin besar imbalan hasil yang mungkin diperoleh, begitu juga sebaliknya. Sedangkan manajemen resiko adalah suatu cara yang proaktif, terkoordinasi, bernilai efektif dan memahami pemrioritasan dalam menanggulangi ancaman terhadap perusahaan. Risiko Bisnis Menurut Mardiyanto (2009), risiko bisnis didefinisikan sebagai ketidak pastian atas proyeksi tingkat pengembalian aktiva, atau atas ekuitas (ROE) jika perusahaan tidak menggunakan utang. Risiko bisnis berbeda-beda di antara industri dan juga di antara perusahaan yang satu dengan yang lain dalam industri yang sama. Bagitu pula risiko bisnis dapat berubah dari waktu ke waktu. Perusahaan kecil dan perusahaan yang hanya memproduksi satu jenis produk saja juga mempunyai risiko yang relatif tinggi.
8
Risiko Keuangan Menurut Mardiyanto (2009), risiko keuangan adalah tambahan risiko bagi pemegang saham biasa akibat penggunaan leverage keuangan. Leverage keuangan merujuk pada penggunaan sekuritas yang memberikan penghasilan tetap yaitu utang dan saham preferen. Secara konseptual, perusahaan mempunyai sejumlah risiko yang melekat pada operasinya. Menurut Hempel, et.al (1994:88) resiko perbankan dipengaruhi oleh lingkungan, sumberdaya manusia, layanan keuangan, dan neraca. Berdasarkan karakteristik perbankan tersebut, maka resiko dapat diklasifikasikan atas environmental risks (resiko lingkungan), management risks (resiko manajemen), delivery risks (resiko operasi), dan financial risks (resiko keuangan). Resiko keuangan dapat ditelusuri melalui analisis diskriminan keuangan (Zscore). Menurut Hempel (1994: 89), cara mengukur dan mengelola resiko keuangan (financial risks) perbankan, sebagai berikut: Resiko kredit dapat diatasi dengan cara: Melakukan analisis kredit secara baik dan benar, dokumentasi kredit, pengendalian dan pengawasan kredit, penilaian terhadap resiko khusus. Resiko Likuiditas dapat diatasi dengan cara: Membuat perencanaan likuiditas, membuat rencana kontingensi, analisis biaya dan penentuan bunga kredit, pengembangan sumber pendanaan. Resiko Suku bunga dapat diatasi dengan cara: Membuat analisis kepekaan bunga terhadap aktiva, Membuat analisis durasi, penilaian bunga antar waktu Resiko leverage dapat diatasi dengan cara: Membuat perencanaan modal, analisis pertumbuhan usaha berkelanjutan, memantapkan kebijakan dividen, melakukan penyesuaian resiko terhadap kecukupan modal. Laporan Keuangan Menurut Mardiyanto (2009), laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut. Pencatatan transaksi akuntansi dapat didasarkan pada salah satu dari dua macam metode: dasar kas (cash basis) dan dasar akrual (accrual basis). Dalam dasar kas, transaksi diakui jika kas pendapatan (revenue) telah diterima dan kas beban (expenses) sudah dibayarkan. Prinsip dasar akrual adalah penyamaan (matching) perbedaan waktu antara manfaat yang diterima dan beban yang harus dibayarkan. Dua laporan keuangan yang umumnya memakai dasar akrual adalah laporan rugi/laba dan neraca. Sementara itu laporan arus kas (cash flow statement) adalah laporan yang juga didasarkan atas dasar akrual, tetapi telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga mencerminkan arus kas yang sebenarnya. Laporan Rugi/Laba Laporan rugi/laba adalah laporan yang menunjukkan kegiatan operasi perusahaan pada periode tertentu terbagi dalam dua bagian utama. Pada bagian pertama, pendapatan, yang meliputi pendapatan operasi (berasal dari aktivitas penjualan) dan pendapatan nonoperasi (misalnya, hasil penjualan aktiva tetap). Pendapatan operasi (penjualan) biasanya dinyatakan dalam istilah penjualan
9
bersih, yakni penjualan mula-mula dikurangi oleh potongan penjualan dan retur penjualan. Yang kedua, beban operasi (beban penjualan dan beban administrasi), beban bunga dan pajak. Bentuk laporan rugi/laba dapat dilihat pada Gambar 1. Laporan Rugi/Laba Penjualan Bersih Harga Pokok Penjualan Laba Kotor Beban Operasi: Beban Penjualan Beban Umum Administrasi Jumlah Beban Operasi Laba Operasi (Laba Sebelum Bunga dan Pajak) Beban Nonoperasi: Beban Bunga Laba Sebelum Pajak Pajak Laba Bersih Setelah Pajak Dividen Saham Preferen Dividen Pemegang Saham Biasa
x (x) x x x (x) x (x) x (x) xx (xx) xxx
Gambar 1. Laporan Rugi/Laba (Mardiyanto, 2009)
Laporan Neraca Laporan neraca adalah laporan yang mengungkapkan posisi keuangan (kekayaan) dari suatu perusahaan pada tanggal tertentu mencakup aktiva (asset), utang (liability), dan ekuitas (equity). Hubungan ketiganya disebut sebagai persamaan akuntansi, yakni aktiva sama dengan utang ditambah ekuitas. Aktiva dicatat di sebelah kiri atau bagian atas neraca, yang terdiri dari atas aktiva lancar (misalnya kas, surat berharga jangka pendek, piutang usaha, persediaan, biaya dibayar di muka, perlengkapan); investasi pada sekuritas jangka panjang (misalnya pembelian saham dan obligasi); aktiva tetap berwujud (misalnya tanah, bangunan, mesin, kendaraan, dan peralatan); dan aktiva tetap tak berwujud (misalnya hak paten). Utang dan ekuitas dicatat di sebelah kanan atau bagian bawah neraca. Utang meliputi utang lancar (misalnya utang usaha, utang gaji, dan utang pajak) serta utang jangka panjang (misalnya hipotik dan obligasi). Sementara itu, ekuitas untuk perusahaan berbentuk perseroan terbatas mencakup saham preferen, saham biasa, tambahan modal disetor dan laba ditahan. Bentuk neraca dapat dilihat pada Gambar 2.
10
Aktiva Aktiva Aktiva Lancar Investasi Sekuritas Jangka Panjang Aktiva Tetap Berwujud (netto) x Aktiva Tak Berwujud
Jumlah Aktiva
x x
xxx
Passiva Utang Utang Lancar Utang Jangka Panjang Jumlah Utang Ekuitas: Saham preferen Saham Biasa Tambahan Modal Disetor Laba Ditahan Jumlah Ekuitas Jumlah Utang dan Ekuitas
x x xx x x x x xx xxx
Gambar 2. Neraca (Mardiyanto, 2009)
Arus kas Laporan yang menunjukkan arus kas perusahaan pada periode tertentu bersumber dari kegiatan operasi, kegiatan investasi dan kegiatan pendanaan. Kegiatan operasi adalah kegiatan mencari laba. Arus kas masuk penting dari kegiatan itu, bersumber dari penjualan dan tagihan piutang usaha. Sebagian besar arus kas keluarnya digunakan untuk membayar beban, utang usaha, bunga dan pajak. Kegiatan investasi merupakan kegiatan yang membutuhkan pengeluaran arus kas, terutama untuk pembelian aktiva tetap dan investasi sekuritas jangka panjang. Kegiatan pendanaan adalah kegiatan mencari sumber arus kas masuk, khususnya yang berasal dari utang jangka panjang dan penerbitan saham baru. Penting diketahui bahwa tambahan arus kas masuk dari utang jangka pendek yang berasal dari penerbitan wesel bayar dimasukkan ke dalam kegiatan pendanaan (bukan kegiatan operasi). Masuk pula dalam kegiatan ini adalah pembayaran deviden kepada pemegang saham. Arus kas keluar untuk pembayaran pokok utang dimasukkan ke dalam kegiatan pendanaan, tetapi pembayaran bunganya dimasukkan ke dalam kegiatan operasi. Laporan arus kas kadang-kadang disebut laporan sumber dan penggunaan kas. Angka-angka yang dimasukkan ke dalam laporan arus kas berasal dari perubahan pada neraca dua tahun terakhir. Penambahan aktiva merupakan penggunaan kas. Sebaliknya, penurunan aktiva adalah sumber kas. Sementara itu, penambahan utang dan ekuitas merupakan sumber kas. Sebaliknya, penurunan utang dan ekuitas adalah penggunaan kas. Jumlah bersih kas dari kegiatan operasi, kegiatan investasi dan kegiatan pendanaan akan sama dengan jumlah bersih dari kas dan surat-surat berharga jangka pendek. Bentuk laporan arus kas dapat dilihat pada Gambar 3.
11
Kegiatan Operasi: Laba Bersih Setelah Pajak Penyusutan Perubahan Pada Aktiva Lancar (kecuali kas dan setara kas) Perubahan Pada Utang Lancar (kecuali wesel bayar) Jumlah Perubahan Kas Dari Kegiatan Operasi Kegiatan Investasi: Perubahan Pada Aktiva Tetap (gross) Jumlah Perubahan Kas Dari Kegiatan Investasi Kegiatan Pendanaan: Perubahan Pada Wesel Bayar Perubahan Pada Utang Jangka Panjang Perubahan Pada Ekuitas (kecuali laba ditahan) Pembayaran deviden Jumlah Perubahan Kas Dari Kegiatan Pendanaan Perubahan Bersih Kas dan Surat Berharga Jangka Pendek
x x x x xx x xx x x x x xx xxx
Gambar 3. Arus Kas (Mardiyanto, 2009)
Rasio Keuangan Menurut James C Van Horne dalam Kasmir (2010) rasio keuangan merupakan indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh dengan membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Rasio keuangan hanya merupakan cara untuk merangkum sejumlah besar data keuangan dan membandingkan kinerja perusahaan. Analisis rasio keuangan merupakan peralatan (tools) untuk memahami laporan keuangan (khususnya neraca dan labarugi). Ada tiga jenis analisis dalam analisis rasio, yakni: a. Analisis Silang (cross-sectional) yang membandingkan rasio dalam waktu (tahun) yang sama. b. Analisis Runtun waktu (time-series) yang membandingkan rasio dalam waktu (tahun) yang berbeda. c. Analisis gabungan (combined) yang menyatukan kedua analisis sebelumnya. Aspek Keuangan Menurut Mardiyanto (2009), ada lima aspek keuangan yang penting untuk dianalisis, yakni: a. Likuiditas (liquidity) Likuiditas mengukur kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban (utang) jangka pendek tepat pada waktunya, termasuk melunasi bagian utang jangka panjang yang jatuh tempo pada tahun bersangkutan. b. Aktivitas atau aktiva (activity or asset) Aktivitas atau aktiva mengukur kemampuan aktiva perusahaan dalam menghasilkan pendapatan (penjualan). c. Utang (debt) atau solvabilitas (solvability) atau leverage Utang, solvabilitas atau leverage mengukur dua hal yakni proporsi utang perusahaan yang digunakan untuk membiayai investasi dan kemampuan perusahaan dalam membayar utangnya (khususnya dalam jangka panjang). d. Profitabilitas (profitability)
12
Profitabilitas mengukur kesanggupan perusahaan untuk menghasilkan laba e. Nilai pasar (market value) Nilai pasar mengukur kinerja saham perusahaan di pasar modal. Rasio Keuangan Bank Menurut Kasmir (2010), rasio keuangan yang digunakan oleh bank dengan perusahaan nonbank sebenarnya relatif tidak jauh berbeda. Perbedaannya terutama terletak pada jenis rasio yang digunakan untuk menilai rasio yang jumlahnya lebih banyak. Hal ini wajar saja karena komponen neraca dan laporan laba rugi yang dimiliki bank berbeda dengan laporan neraca dan laba rugi perusahaan nonbank. Bank merupakan perusahaan keuangan yang bergerak dalam memberikan layanan keuangan yang mengandalkan kepercayaan dari masyarakat dalam mengelola dananya. Risiko yang dihadapi bank jauh lebih besar ketimbang perusahaan nonbank sehingga beberapa rasio dikhususkan untuk memerhatikan rasio ini. Rasio Likuiditas Rasio likuiditas mengukur seberapa mudah perusahaan dapat memegang kas. Rasio likuiditas juga memiliki beberapa karakteristik yang kurang diinginkan. Karena aset dan kewajiban jangka pendek mudah diubah, ukuran likuiditas dapat dengan cepat berubah menjadi ketinggalan zaman. a. Loan to Assets Ratio Loan to Assets Ratio untuk mengukur rasio jumlah kredit yang disalurkan dengan harta yang dimiliki bank. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah tingkat likuiditas bank karena jumlah asset yang diperlukan untuk membiayai kreditnya makin besar. b. Rasio Kas (Cash Ratio/CsR) Rasio Kas untuk mengukur kemampuan bank melunasi kewajiban yang harus segera dibayar dengan harta likuid bank. Rasio kas yang rendah mungkin tidak menjadi masalah jika perusahaan dapat meminjam dalam waktu singkat. Jadi, rasio kas mengukur likuiditas dari aktiva lancar yang pasti dapat dicairkan menjadi kas. Bilamana persediaan diperkirakan lama terjual dan piutang lama tertagih, kita sebaiknya menggunakan rasio kas sebagai pengukuran likuiditas, bukan rasio lancar atau rasio cepat. c. Loan to Deposit Ratio (LDR) Loan to Deposit Ratio untuk mengukur komposisi kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri. LDR adalah rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber. LDR disebut juga rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga yang digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit. Semakin tinggi rasio LDR memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin besar.
13
d. Non Performing Loan (NPL) NPL adalah salah satu indikator untuk menilai kinerja fungsi bank. NPL digunakan adalah NPL bersih yang telah disesuaikan. Aset penilaian kualitas merupakan penilaian terhadap kondisi aktiva bank dan kecukupan manajemen risiko kredit. Rasio Solvabilitas Rasio permodalan sering disebut juga rasio-rasio solvabilitas atau capital adequacy ratio. Semakin besar nilai rasio solvabilitasnya maka, semakin besar hutang yang dimiliki perusahaan. Artinya semakin besar kewajiban perusahaan yang harus dipenuhi kepada pihak lain. Analisis solvabilitas digunakan untuk: a. Ukuran kemampuan bank tersebut untuk menyerap kerugian-kerugian yang tidak dapat dihindarkan. b. Sumber dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan usahanya sampai batas tertentu, karena sumber-sumber dana dapat juga berasal dari hutang, penjualan aset yang tidak dipakai dan lain-lain. c. Alat pengukuran besar kecilnya kekayaan bank tersebut yang dimiliki oleh para pemegang sahamnya. d. Dengan modal yang mencukupi, memungkinkan manajemen bank yang bersangkutan untuk bekerja dengan efisiensi yang tinggi, seperti yang dikehendaki oleh para pemilik modal pada bank tersebut. Sedangkan rasio solvabilitas terdiri dari: a. Capital Ratio Rasio ini digunakan untuk mengukur permodalan dan cadangan penghapusan dalam menanggung risiko perkreditan, terutama risiko yang terjadi karena bunga gagal ditagih. b. Capital Adequacy Ratio (CAR) Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kecukupan modal yang berfungsi menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi oleh bank. Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi maka bank tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan permodalan yang ada untuk menutup kemungkinan kerugian di dalam kegiatan perkreditan dan perdagangan surat-surat berharga. Rasio Rentabilitas Rasio rentabilitas selain bertujuan untuk mengetahui kemampuan bank dalam menghasilkan laba selama periode tertentu, juga bertujuan mengukur tingkat efektivitas manajemen dalam menjalankan operasional perusahaannya. Pada rasio rentabilitas (keuntungan), rasio yang dapat diukur antara lain: return on assets, biaya operasi/pendapatan operasi, gross profit margin, dan net profit margin. a. Net Interest Margin (NIM) Net Interest Margin (NIM) adalah ukuran perbedaan antara bunga pendapatan yang dihasilkan oleh bank atau lembaga keuangan lain dan nilai bunga yang
14
dibayarkan kepada pemilik simpanan. Semakin besar nilai NIM, maka semakin bagus bank tersebut, karena itu berarti pendapatannya terbilang besar dibanding asetnya. b. Net Profit Margin (NPM) Rasio ini untuk mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan laba bersih sebelum pajak (net income) ditinjau dari sudut pendapatan operasinya. Semakin besar angka yang dihasilkan, menunjukan kinerja yang semakin baik. c. Return on Equity (ROE) Rasio ini untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola ekuitas yang ada untuk mendapatkan laba bersih. Semakin besar rasio ini maka semakin besar kenaikan laba bersih bank yang bersangkutan, selanjutnya akan menaikan harga saham bank dan semakin besar pula dividen yang diterima investor. d. Return on Assets (ROA) Rasio ini mengukur kemampuan bank didalam memperoleh laba dan efisiensi secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar tingkat keuntungan bank dan semakin baik pula posisi bank dari segi penggunaan assets. Analisis Diskriminan (Z-Score) Menurut Altman (1968) yang dikutip dalam Universitas Gunadarma (2010) Z-Score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah keuangan yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Formula Z-Score untuk memprediksi kebangkrutan dari Altman merupakan sebuah formula multivariat yang digunakan untuk mengukur kesehatan finansial dari sebuah perusahaan. Altman menemukan lima jenis rasio keuangan yang dapat dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dan yang tidak bangkrut, maka terbentuklah fungsi diskriminan yang juga disebut Zscore. 1. Versi Z-Score yang pertama ini untuk perusahaan manufaktur yang telah go public (publicly manufacturing). Z = 1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0 X5 ……………………………….(1) Keterangan: Z : Overall Indeks (Indeks keseluruhan) X1 : Working Capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva) X2 : Retained Earning to Total Assets (Laba Ditahan / Total Aktiva) X3 : Earning Before Interest and Taxes to Total Assets ( EBIT / Total Aktiva) X4 : Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Nilai Pasar Modal Sendiri / Nilai Buku Total Kewajiban) X5 : Sales to Total Assets (Penjualan / Total Aktiva) Hasil perhitungan Z-Score untuk perusahaan manufaktur yang telah go public dapat dijelaskan pada Tabel 4.
15
Tabel 4 Kriteria Penilaian Z-Score untuk perusahaan manufaktur yang telah go public (public manufacturing)
Score Z > 2,99
1,81 < Z < 2,99
Z < 1,81
Kategori Perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi keuangan (non-bankrupt company). Perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan. Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah, karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang lebih tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki skor lebih rendah masih dapat bertahan (gray area). Perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius sehingga dapat berpotensi untuk bangkrut (bankrupt company). Hal ini perlu ditindaklanjuti oleh manajemen perusahaan agar tidak terjadi kebangkrutan.
2. Pada tahun 1984, Altman melakukan penelitian ulang di berbagai negara. Penelitian ini memasukkan dimensi internasional. Mengingat bahwa tidak semua perusahaan go public dan tidak memiliki nilai pasar, maka formula untuk perusahaan yang belum go public (privately manufacturing) adalah sebagai berikut: Z’ = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,998X5 ……………….…..(2) Keterangan: Z : Overall Indeks (Indeks keseluruhan) X1 : Working Capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva) X2 : Retained Earning to Total Assets (Laba Ditahan / Total Aktiva) X3 : Earning Before Interest and Taxes to Total Assets ( EBIT / Total Aktiva) X4 : Book Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Nilai Buku Saham/ Nilai Buku Total Kewajiban) X5 : Sales to Total Assets (Penjualan / Total Aktiva) Semua koefisien dari variable X1-X5 diubah, maka nilai cut off yang digunakan pun berubah. Hasil perhitungan Z-Score dapat dijelaskan pada Tabel 5. Tabel 5 Kriteria Penilaian Z-Score untuk perusahaan yang belum go public
Score Z > 2,90
1,20 < Z < 2,90
Z < 1,20
Kategori Perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi keuangan (non-bankrupt company). Perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah, karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang lebih tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki skor lebih rendah masih dapat bertahan (gray area). Perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius sehingga dapat berpotensi untuk bangkrut (bankrupt company). Hal ini perlu ditindaklanjuti oleh manajemen perusahaan agar tidak terjadi kebangkrutan.
16
3. Kemudian, Altman membuat apa yang disebutnya sebagai versi empat variabel. Versi terakhir ini diperuntukkan bagi perusahaan non-manufaktur: Z” = 6,56 X1 + 3,26 X2 + 6,72 X3+ 1,05 X4………………………………….(3) Keterangan: Z : Overall Indeks (Indeks keseluruhan) X1 : Working Capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva) X2 : Retained Earning to Total Assets (Laba Ditahan / Total Aktiva) X3 : Earning Before Interest and Taxes to Total Assets ( EBIT / Total Aktiva) X4 : Book Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Nilai Buku Modal Sendiri / Nilai Buku Total Kewajiban). Semua koefisien dari variable X1-X4 diubah, maka nilai cut off yang digunakan pun berubah. Hasil perhitungan Z-Score dapat dijelaskan pada Tabel 6. Tabel 6 Kriteria Penilaian Z-Score untuk perusahaan non-manufaktur
Score Z > 2,60
1,10 < Z < 2,60
Z < 1,10
Kategori Perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi keuangan (non-bankrupt company). Perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan. Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah, karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang lebih tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki skor lebih rendah masih dapat bertahan (gray area). Perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius sehingga dapat berpotensi untuk bangkrut (bankrupt company). Hal ini perlu ditindaklanjuti oleh manajemen perusahaan agar tidak terjadi kebangkrutan. Tujuan dari perhitungan Z-score adalah untuk mengingatkan akan masalah keuangan yang mungkin membutuhkan perhatian serius dan menyediakan petunjuk untuk bertindak.
Z-score hasil kreasi Altman ini telah teruji keandalannya sehingga bertahan sampai sekarang. Selain metode ini dapat memprediksi kebangkrutan perusahaan, Z-score juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan keuangan suatu perusahaan melalui informasi yang diperoleh dari laporan keuangan. Sesuatu hal yang menarik tentang Z-score adalah keandalanya sebagai alat analisis tanpa memperhatikan bagaimana ukuran perusahaan. Hasil dari analisis tersebut dapat digunakan oleh pihak manajemen perusahaan dan pemegang saham. Bila perusahaan memiliki kinerja keuangan yang sehat berarti perusahaan dapat berkembang baik maka nilai perusahaan akan meningkat akibatnya harga saham juga akan meningkat dan bila perusahaan dalam keadaan tidak sehat maka perlu diwaspadai karena berisiko tinggi menuju kebangkrutan dan kemungkinan harga sahamnya pun akan menurun. Semakin awal tanda-tanda kebangkrutan diketahui semakin baik bagi seluruh pihak yang terkait. Tindakan korektif dapat diambil dengan lebih cepat untuk memperbaiki keadaan sehingga tidak mencapai tahap yang lebih buruk. Oleh karena itu, analisis Z-score perlu dilakukan setiap tahunnya untuk memberi
17
panduan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tentang kinerja keuangan perusahaan apakah akan mengalami kesulitan keuangan atau tidak di masa mendatang. Rasio inilah yang akan digunakan untuk menganalisis laporan keuangan sebuah perusahaan untuk kemudian mendeteksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan tersebut. Dalam manajemen keuangan, rasio-rasio yang digunakan dalam metode Altman ini dapat dikategorikan dalam tiga kelompok besar yaitu: a. Rasio Likuiditas yag terdiri dari X1 b. Rasio Profitabilitas yang terdiri dari X2 dan X3 c. Rasio Aktivitas yang terdiri dari X4 dan X5 Uraian masing-masing variable tersebut adalah sebagai berikut: a. Modal kerja terhadap total aktiva (working capital to total assets) digunakan untuk mengukur likuiditas aktiva perusahaan relatif terhadap total kapitalisasinya atau untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. b. Laba ditahan terhadap total aktiva (retained earning to total assets) digunakan untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Rasio ini mengukur akumulasi laba selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. c. Pendapatan sebelum pajak dan bunga terhadap total aktiva (earnings before interest and taxes to total assets) digunakan untuk mengukur produktivitas yang sebenarnyan dari aktiva perusahaan. Rasio tersebut mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. d. Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku dari utang (market value equity to book value of total debt) digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva perusahaan dapat turun nilainya sebelum jumlah utang lebih besar daripada aktivanya dan perusahaan menjadi pailit. e. Penjualan terhadap total aktiva (sales to total assets) digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan. Rasio tersebut mengukur kemampuan manajemen dalam menggunakan aktiva untuk menghasilkan penjualan. Analisis diskriminan dilakukan untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan dengan menganalisis laporan keuangan perusahaan dua sampai lima tahun sebelum perusahaan tersebut diprediksi bangkrut. Kebangkrutan adalah suatu kondisi di saat perusahaan mengalami ketidakcukupan dana untuk menjalankan usahanya. Kebangkrutan biasanya dihubungkan dengan kesulitan keuangan. Analisis diskriminan bermanfaat bagi perusahaan untuk memperoleh peringatan awal kebangkrutan dan kelanjutan usahanya. Semakin awal suatu perusahaan memperoleh peringatan kebangkrutan, semakin baik bagi pihak manajemen karena pihak manajemen bisa melakukan perbaikan-perbaikan dan dapat memberikan gambaran dan harapan yang mantap terhadap nilai masa depan perusahaan tersebut.
18
Penelitian Terdahulu Hamdan dan Wijaya (2005), melakukan penelitian yang berjudul analisis komparatif risiko keuangan BPR Kovensional dan BPR Syariah. Data yang digunakan adalah laporan keuangan yang hanya terdiri dari Laporan Rugi/Laba dan Neraca selama 3 tahun berturut-turut yaitu tahun 2001, 2002 dan 2003. Laporan keuangan tersebut digunakan untuk menghitung rasio keuangan dari tahun 2001, 2002 dan 2003. Rasio keuangan yang digunakan, yaitu rasio likuiditas, rasio solvabilitas dan rasio rentabilitas. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara mempelajari data sekunder. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis rasio keuangan dan analisis diskriminan keuangan menggunakan perhitungan Z-Score. Perbedaan penelitian terdahulu terletak pada jenis BPR yaitu BPR Konvensional dan BPR Syariah. Populasi yang digunakan berjumlah 12 BPR, yang terdiri dari 11 BPR Konvensional dan 1 BPR Syariah. Sedangkan sampel yang digunakana adalah 1 BPR Konvensional dan 1 BPR Syariah. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu (1) Secara umum rasio-rasio likuiditas BPR Syariah “F” relatif lebih baik dibanding BPR Konvensional “S”. (2) Rasio-rasio solvabilitas kedua BPR menunjukkan kondisi sehat. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) kedua BPR di atas ketentuan minimum BI (8%). CAR pada BPR Konvensional “S” tahun 2003 sebesar 23,95% dan BPR Syariah “F” sebesar 37,92%. Dari angka tersebut ternyata rasio solvabilitas BPR Syariah relatif lebih baik dibandingkan dengan rasio solvabilitas BPR Konvensional “S. (3) Semua rasio rentabilitas kedua BPR adalah positip. Laba bersih terhadap pendapat operasi (NPM) cukup baik, di mana pada BPR Konvensional “S” sebesar 39,73 persen, dan pada BPR Syariah “F” sebesar 35,37% pada tahun 2003. Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua BPR mampu memperoleh laba yang wajar, walaupun NPM BPR Syariah “F” relatif lebih rendah dibanding dengan BPR Konvensional “S”. (4) Perbandingan tingkat resiko keuangan berdasarkan hasil analisis diskriminan (Z-score) menunjukkan kedua BPR berada pada posisi “gray”. Namun nilai Z BPR Syariah “F” relatif lebih tinggi dibanding BPR Konvensional “S”, yang berarti resiko BPR “F” relatif lebih rendah dibanding BPR Konvensional “S”. Kamal (2012), melakukan penelitian yang berjudul analisis prediksi kebangkrutan pada perusahaan perbankan go public di Bursa Efek Indonesia. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan perbankan go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sampel dalam penelitian ini adalah 20 perusahaan perbankan dengan kriteria sebagai berikut (1) Merupakan perusahaan perbankan go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. (2) Berada pada urutan 20 teratas dalam perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2008-2010. (3) Memlliki laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit pada tahun 2008-2010. Data yang digunakan adalah data historis perusahaan perbankan, studi literatur, laporan penelitian, dan laporan keuangan yang diterbitkan bank maupun internet yang telah diaudit selama tiga tahun 20082010. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis diskriminan keuangan menggunakan perhitungan Z-Score. Perbedaan penelitian terdahulu terletak pada jenis perusahaan perbankan go public di Bursa Efek Indonesia. Sampel yang digunakan berjumlah 20 perusahaan perbankan go public di Bursa Efek Indonesia. Dalam penelitian ini tidak menggunakan perhitungan rasio keuangan untuk
19
mengetahui seberapa sehat kinerja keuangan perusahaan. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu (1) Model Altman’s Z-score dapat memprediksi keadaan perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 2008 ada satu perusahaan perbankan yang berada pada grey area atau sekitar 5% dan 95% diprediksi akan mengalami kebangkrutan. Ini ditandai dengan hasil nilai Z-score yang di bawah 2,99. Hanya Bank Rakyat Indonesia Tbk. yang hasilnya 2,611 mendekati nilai 2,99 berada di grey area. Dilihat bahwa perbankan ada beberapa yang mulai memperbaiki kondisi keuangan dengan melihat bahwa pada tahun 2009 sebanyak 40% berada dalam keadaan sehat, 45% diprediksi akan mengalami kebangkrutan yang berkurang dibanding dengan tahun sebelumnya, dan 15% berada pada grey area. (2) Tahun 2010 prediksi kebangkrutan pada perbankan memiliki hasil 55% perbankan sehat, 5% berada pada grey area dan 40% masih dalam prediksi keadaan bangkrut. Peluang kebangkrutan ini tentunya akan semakin besar jika pihak manajemen perusahaan tidak segera melakukan tindakan evaluasi terhadap kondisi keuangan perusahaan. Selain itu, perbaikan kinerja diperlukan setiap bank agar semakin kecil kemungkinan mengalami kebangkrutan.
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dilihat dari kepemilikan BPR dapat dibagi menjadi dua yaitu BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta. Saat ini BPR memberikan kredit tidak hanya untuk produktif (UMKM) tetapi untuk konsumtif pun BPR dapat melayaninya. Karena persaingan dalam dunia perbankan semakin ketat, maka BPR memberikan kredit di luar tujuan utama BPR yang memberikan pinjaman kepada UMKM yang membutuhkan modal. Banyaknya BPR yang memberikan kredit konsumtif maka BPR harus mampu menganalisis tingkat pengembalian dan tingkat risiko yang akan dihadapinya. Untuk mengetahui tingkat risiko maka BPR dapat melihat laporan keuangan yang meliputi laporan rugi/laba dan neraca. Dari laporan rugi/laba dan neraca maka BPR dapat menghitung rasio keuangan yang terdiri dari rasio likuiditas, rasio solvabilitas dan rasio rentabilitas. Dari penilaian kinerja tersebut dapat dibandingkan BPR milik Pemerintah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk konsumtif atau BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk produktif yang mempunyai risiko lebih kecil dalam pemberian kredit. Bahwa BPR milik Pemerintah Daerah mempunyai risiko lebih kecil karena sebagian besar portofolio kreditnya untuk konsumtif, sehingga pihak BPR dapat bekerjasama dengan pihak perusahaan atau instansi lain dalam pembayaran kredit dengan cara memotong upah atau gaji karyawannya setiap bulan. Agar BPR tetap berjalan dengan baik juga dapat berkembang BPR melakukan analisis prediksi kebangkrutan untuk menilai bagaimana BPR pada masa sekarang dan bagaimana BPR nantinya. Untuk itu maka digunakanlah analisis rasio keuangan dengan pendekatan metode ZScore. Dari hasil yang diperoleh sngat berguna untuk pihak manajemen BPR. Kerangka penelitian dapat dijelaskan pada Gambar 4.
20
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pemerintah Daerah
Swasta
Laporan Keuangan Laba/Rugi
Neraca Analisis Rasio Keuangan Rasio Likuiditas - Asset to loan Ratio - Cash Ratio - Loan to Deposit Ratio - Non Performing Loan
Rasio Solvabilitas
- Capital to Debt Ratio - Capital Adequacy Ratio
-
Rasio Rentabilitas Gross Profit Margin Net Profit Margin Return on Equity Return on Asset
Risiko Keuangan Z-Score Rekomendasi Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di salah satu BPR yang memberikan kredit untuk konsumsi tinggi dan BPR yang memberikan kredit untuk produktif tinggi. Pemilihan BPR yang telah terdaftar pada Bank Indonesia dan memberikan laporan keuangan secara rutin. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Desember 2013. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari laporan keuangan tahunan BPR yang telah dilaporkan ke Bank Indonesia dan dipublikasikan di website resmi Bank Indonesia. Selain itu data sekunder juga didapat dari literatur yang relevan dan internet. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah BPR seluruh Indonesia. Sampel dipilih secara purposive yaitu salah satu BPR milik Pemerintah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk konsumtif dan BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk produktif.
21
Analisis Data Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis Z-score. Analisis ini digunakan untuk mengetahui kebangkrutan suatu usaha yang dijalankan. Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel independen/bebas dan variabel dependen/terikat. Dengan penelitian yang akan dilakukan pada BPR milik Pemerintah Daerah dan Swasta yaitu variabel dependen/terikat dalam penelitian ini adalah Z” seperti pada rumus 3. Sedangkan varibel independen/bebas dalam penelitian ini adalah variabel X yang terdiri dari empat variable dapat dilihat pada Tabel 6. Rasio Keuangan Dalam penelitian ini juga menggunakan perhitungan rasio keuangan bank untuk mengetahui risiko keuangan di dalam BPR tersebut. Menurut Hempel (1994) rasio bank dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu rasio likuiditas, rasio solvabilitas dan rasio rentabilitas dengan rumus seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Rasio Keuangan Bank
Rasio 1. Loan to Assets Ratio 2
Cash Ratio
Loan to Deposit Ratio (LDR) Non Performing Loan 4. (NPL) 3.
1. Capital Ratio 2.
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Rumus Rasio Likuiditas Total Pinjaman = Total Aset Kas = Kewajiban Lancar Total Kredit = Total Dana Pihak Ketiga = Penyisihan Kredit Total Kredit Rasio Solvabilitas Modal + Cadangan Kerugian Pinjaman = Total Pinjaman Total Modal (Ekuitas) = ATMR Rasio Rentabilitas
1.
Net Interest Margin (NIM)
=
2. Net Profit Margin (NPM)
=
3. Return on Equity (ROE)
=
4. Return on Assets (ROA)
=
Pendapatan Bunga Bersih Rata-rata Aktiva Laba Bersih Pendapatan Operasi Laba Bersih Ekuitas Laba Operasi Total Aktiva
22
HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perusahaan BPR Milik Pemerintah Daerah PD BPR BANK PASAR KOTA BANDAR LAMPUNG merupakan salah satu alat kelengkapan Otonomi Daerah di bidang Keuangan Perbankan dan menjalankan usahanya sebagai BPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Berdirinya PD BPR Bank Pasar Kota Bandar Lampung bertujuan memberi pelayanan yang wajar kepada para pedagang nasional yang bermodal kecil serta turut menciptakan stabilisasi perekonomian di Kota Bandar Lampung khususnya serta Daerah Lampung pada umumnya. Berdasarkan Keputusan DPRD-GR Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung tanggal 24 Juni 1969 Nomor : 13/DPRD-GR/1969 tentang persetujuan pendirian “Kantor Administrasi Simpan Pinjam Kotamadya Tanjung KarangTeluk Betung” merupakan cikal bakal terbentuknya PD BPR Bank Pasar Kota Bandar Lampung. Pada waktu Walikota Bandar Lampung dijabat oleh Drs. Hi Thabrani Daud, dikeluarkanlah Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tanjung Karang-Teluk Betung tanggal 30 Juli 1970 Nomor : 44/1970 tentang Pendirian Bank Pasar Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung. Adapun pelaksanaan Surat Keputusan tersebut di atas pada tanggal 01 Agustus 1970 merupakan awal kegiatan/Operasioanal Bank Pasar dipimpin oleh Drs. Hamdan Amid dengan modal awal sebesar Rp. 300.000,- (Tiga ratus ribu rupiah) dan sampai dengan akhir bulan Desember 1970 berjumlah sebesar Rp. 1.400.000,-(satu juta empat ratus ribu rupiah). Tanggal 30 Juli 1970 ditetapkan sebagai hari berdirinya PD BPR Bank Pasar Kota Bandar Lampung. Berdasarkan Surat Bank Indonesia Cabang Teluk Betung tanggal 3 Agustus 1971 No. 4/7/UPPB/PPTR atas ketetapan Bank Indonesia Pusat bahwa Struktur organisasi Bank Pasar harus dipisahkan dari Pemerintah Daerah Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung, agar Bank dapat bertindak sesuai dengan kebijaksanaannya yang telah digariskan oleh Peraturan Bank dan petunjuk-petunjuk dari Bank Sentral. Dasar Hukum Operasional PD BPR Bank Pasar Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut : a. Keputusan DPRD-GR Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung tanggal 24 Juni 1969 Nomor : 13/DPRD-GR/1969 tentang Persetujuan pendirian “Kantor Administrasi Simpan Pinjam Kotamadya Tanjung karang-Teluk Betung”, kemudian dirubah dengan b. Keputusan Walikota/Kepala Daerah Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung tanggal 30 Juli 1970 Nomor : 44/1970 tentang Pendirian Bank Pasar Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung, kemudian dirubah dengan c. Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tanjung Karang-Teluk Betung Tanggal 23 September 1971 Nomor : 68/1971, tentang Pemisahan PD. Bank Pasar dari Struktur Sekretariat Pemda Kodya Tanjung Karang-Teluk Betung, sesuai dengan Surat Bank Indonesia Cabang Teluk Betung tanggal 3 Agustus 1971 Nomor 4/7/UPPB/PPTR, kemudian dirubah dengan
23
d.
e.
f. g.
h.
i.
j. k. l.
Tahun 1973 terbit Surat dari Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 24 Mei 1973 Nomor : Keu.183/DJM/II.3/5 Tahun 1973 tentang Melanjutkan usaha sebagai Bank Pasar Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung, kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 1983 tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Bank Pasar Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1994 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan Tahun 1995 terbit Surat dari Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 08 Juni 1995 Nomor : S.808/MK.17/1995 perihal Persetujuan Perubahan nama PD. Bank Pasar Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung menjadi Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1998 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung Nomor 6 Tahun 1994 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 7 Tahun 2001 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kota Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kota Bandar Lampung, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Data yang diperoleh dari Bank Indonesia (BI) bahwa BPR milik Pemerintah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk konsumtif sebesar 99,2% dan 0,80% disalurkan untuk produktif. Sejarah Perusahaan BPR Milik Swasta PT Bank Perkreditan Rakyat Rama Ganda adalah salah satu lembaga keuangan yang mempunyai visi “Terwujudnya BPR yang maju, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerataan usaha, dengan semangat ekonomi kerakyatan yang berlandaskan kehati-hatian dalam usaha”. Berkedudukan di Jl. Raya Gunung Batu No. 53 Bogor Barat 16118 dan sudah berdiri sejak tanggal 04 juli 1994. BPR Rama Ganda melayani berbagai macam produk, diantaranya : a. Tabungan dengan suku bunga menarik dan hadiah tanpa diundi. b. Deposito berjangka dengan bunga maksimal LPS (lembaga penjamin Simpanan). c. Kredit baik untuk modal kerja, jasa dan konsumtif.
24
Visi Terwujudnya BPR yang maju, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerataan usaha, dengan semangat ekonomi kerakyatan yang berlandaskan kehati-hatian dalam usaha. Misi a. Menciptakan pelayanan yang cepat, tepat dan aman. b. Meningkatkan kepercayaan, menjamin keselamatan dan kerahasiaan nasabah. c. Meningkatkan kualitas usaha kecil dan menengah. d. Mewujudkan jalinan kemitraan diantara usaha kecil dan usaha menengah/\ besar berlandaskan kesetaraan. e. Mendorong peningkatan pemupukan modal usaha kecil dan menengah. f. Mewujudkan peningkatan produksi dan akses pas Data yang diperoleh dari Bank Indonesia (BI) bahwa BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk produktif sebesar 67,61% dan 32,39% disalurkan untuk konsumtif. Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah Dari laporan keuangan BPR milik Pemerintah Daerah mengenai laporan rugi/laba BPR milik Pemerintah Daerah dapat dilihat pada lampiran 1 dan neraca BPR milik Pemerintah Daerah dapat dilihat pada lampiran 2 maka hasil dari perhitungan rasio keuangan seperti pada Tabel 8. Tabel 8 Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah
Rasio Rasio Likuiditas 1. Loan to Assets Ratio 2. Cash Ratio 3. Loan to Deposit Ratio (LDR) 4. Non Performing Loan (NPL) Rasio Solvabilitas 1. Capital Ratio 2. Capital Adequacy Ratio (CAR) Rasio Rentabilitas 1. Net Interest Margin (NIM) 2. Net Profit Margin (NPM) 3. Return on Equity (ROE) 4. Return on Assets (ROA)
2010 % 80,99 163,41 124,70 0,29
2011 % 86,00 289,66 144,89 0,13
2012 % 86,02 91,78 165,34 0,27
14,11 12,62
10,70 11,12
9,42 9,42
17,00 23,75 15,35 5,49
17,29 23,24 16,34 5,11
16,10 20,24 15,22 4,03
Berdasarkan perhitungan rasio keuangan BPR milik Pemerintah Daerah, secara umum rasio likuiditas cenderung berfluktuatif dari tahun 2010, 2011 hingga 2012. Rasio pinjaman terhadap aktiva mengalami peningkatan dari tahun 2010 sebesar 80,99% dan 2011 sebesar 86%, sedangkan tahun 2012 tidak ada perubahan dari tahun 2011 sebesar 86,02%. Angka tersebut menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah dapat membiayai kreditnya dengan aset yang
25
dimiliki, karena aktiva dari tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami peningkatan sebesar Rp 199.818.248, Rp 243.593.991 dan Rp 290.316.688. Rasio kas terhadap kewajiban lancar digunakan untuk mengukur kemampuan bank melunasi kewajiban yang harus segera dibayar. Pada tahun 2010 rasio kas sebesar 163,41% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 163,41 sedangkan pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 289,66% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 289,66 dan pada tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun 2011 menjadi 91,78% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 91,78. Meskipun rasio kas terjadi peningkatan dan penurunan maka BPR milik Pemerintah Daerah tetap dapat membayar semua kewajiban yang harus segera dibayar dengan harta likuid yang dimiliki. Karena rasio kas yang rendah tidak menjadi masalah jika BPR milik Pemerintah Daerah dapat meminjam dalam waktu singkat. Rasio pinjaman terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) pada BPR milik Pemerintah Daerah mengalami peningkatan dari tahun 2010, 2011 dan 2012 dari 124,7%, 144,9% menjadi 165,3%. Semakin tinggi rasio LDR dapat memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit semakin besar pada tahun 2010 sebesar Rp 161.841.050, tahun 2011 sebesar Rp 209.484.294, dan pada tahun 2012 Rp 249.736.909. Karena rasio LDR digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit. Untuk rasio antar kredit yang disalurkan dengan dana yang dihimpun (loan to deposit ratio) kurang baik, karena pada tahun 2010 mencapai 124,70% tahun 2011 mencapai 144,89% dan pada tahun 2012 mencapai 165,34%. Menurut Bank Indonesia rasio ideal adalah antara 85% sampai dengan 105%, berarti rasio LDR BPR milik Pemerintah Daerah masih terlalu tinggi. Kondisi ini menunjukkan kemampuan BPR milik Pemerintah Daerah menyalurkan kredit sangat tinggi, sehingga dana yang menganggur pun menjadi sangat sedikit. Maka BPR harus dapat mengurangi pembiayaan kredit. Rasio NPL dari tahun 2010 dan 2011 mengalami penurunan dari 0,29% menjadi 0,13%, sedangkan pada tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun 2011 menjadi 0,27%. Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) adalah sebesar 5%. Rasio NPL ini merupakan kredit bermasalah yang merupakan salah satu kunci untuk menilai kualitas kinerja bank. Ini artinya NPL merupakan indikasi adanya masalah dalam bank tersebut yang mana jika tidak segera mendapatkan solusi akan berdampak bahaya pada bank. Semakin tinggi NPL maka semakin menurun kinerja atau profitabilitas perbankan. NPL di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) milik Pemerintah Daerah masih dalam batas wajar karena di bawah 5%. Sehingga BPR milik Pemerintah Daerah memiliki kredit macet yang sangat rendah dibandingkan dengan aktiva produktivnya. Rasio-rasio solvabilitas menunjukkan kondisi yang cukup sehat. Rasio CAR berdasarkan Surat Edaran Direksi BI No. 26/2.UD tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Modal Minimum adalah sebesar 8%. Pada tabel 8 CAR BPR milik Pemerintah di atas 8%, yaitu masing-masing pada tahun 2010 sebesar 12,62%, pada tahun 2011 sebesar 11,12% dan pada tahun 2012 menjadi sebesar 9,42%. Secara teori menurut Winton (1993) adanya ketentuan CAR tersebut mempunyai kaitan dengan keterbatasan tanggung jawab dan struktur kepemilikan
26
dalam suatu perusahaan. Dalam struktur kepemilikan sebagian harta perusahaan diperoleh dari dana pinjaman dari kreditur, sehingga perlu diimbangi dengan kemampuan pemilik modal menyediakan dana sendiri. BPR milik Pemerintah Daerah mempunyai total modal yang selalu meningkat dari tahun 2010, 2011 dan 2012 sebesar Rp 54,781.551, Rp 58.222.788, Rp 58.651.304. Rasio rentabilitas pada BPR milik Pemerintah Daerah mengalami penurunan dan peningkatan setiap rasio. Pada rasio Net Interest Margin (NIM) mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke 2011 dari 17% menjadi 17,29% dan mengalami penurunan di tahun 2012 dari 16,10% yang artinya pada tahun 2011 BPR milik Pemerintah Daerah mengalami peningkatan pendapatan dari bunga bersih dibandingkan dengan asetnya dari tahun 2010, sedangkan pada tahun 2012 BPR milik Pemerintah Daerah mengalami penurunan pendapatan dari bunga bersih dikarenakan adanya penambahan pada aktiva. Namun BPR milik Pemerintah Daerah menunjukkan kondisi yang bagus karena memilik pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan aktiva yang dimilikinya. Rasio Net Profit Margin (NPM) mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga 2012 dari 23,75%, 23,24% menjadi 20,24%. Hasil dari NPM yang semakin menurun dari tahun 2010 hingga tahun 2012 menunjukkan kinerja yang kurang baik karena dari tahun 2010 hingga 2012 terjadi peningkatan beban operasional dan non operasional. Rasio Return On Equity (ROE) dari tahun 2010 dan 2011 mengalami peningkatan dari 15,35% menjadi 16,34%, sedangkan pada tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun 2011 menjadi 15,22%. Pada tahun 2011 mengalami peningkatan sehingga laba bersih semakin meningkat. Sedangkan pada tahun 2012 mengalami penurunan laba bersih dari tahun 2011 dari Rp 9.514.410 menjadi Rp 8.928.515 pada tahun 2012. Rasio Return on Assets (ROA) pada tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami penurunan dari 5,49%, 5,11% menjadi 4,03%, yang artinya dari tahun 2010, 2011 dan 2012 BPR milik Pemerintah Daerah mengalami penurunan keuntungan meskipun laba operasi tiap tahunnya meningkat dari tahun 2010 sebesar Rp 10.966.357, tahun 2011 sebesar Rp 12.445.753 dan tahun 2012 sebesar Rp 11.694.703. Data ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi dan efektifitas BPR milik Pemerintah Daerah dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya lebih rendah. Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Swasta Dari laporan keuangan BPR milik Swasta mengenai laporan rugi/laba BPR milik Swasta dapat dilihat pada lampiran 3 dan neraca BPR milik Swasta dapat dilihat pada lampiran 4 maka hasil dari perhitungan rasio keuangan seperti pada Tabel 9.
27
Tabel 9 Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Swasta
Rasio Rasio Likuiditas 1. Loan to Assets Ratio 2. Cash Rati 3. Loan to Deposit Ratio (LDR) 4. Non Performing Loan (NPL) Rasio Solvabilitas 1. Capital Ratio 2. Capital Adequacy Ratio (CAR) Rasio Rentabilitas 1. Net Interest Margin (NIM) 2. Net Profit Margin (NPM) 3. Return on Equity (ROE) 4. Return on Assets (ROA)
2010 % 78,04 343,65 168,93 0,00
2011 % 76,92 806,24 152,32 0,78
2012 % 81,46 1755,22 156,33 1,18
36,29 20,47
32,11 16,35
28,78 15,94
32,76 28,85 21,12 12,36
32,16 27,75 23,59 11,66
31,07 26,21 23,59 10,45
Berdasarkan perhitungan rasio keuangan BPR milik Swasta, secara umum rasio likuiditas mengalami penurunan dari tahun 2010 ke 2011 dan mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke 2012. Rasio pinjaman terhadap aktiva mengalamai penurunan di tahun 2010 ke 2011 dari 78,04% menjadi 76,92%, sedangkan mengalami kenaikan di tahun 2012 menjadi 81,46%. Hal ini menunjukkan bahwa aktiva yang dimiliki BPR milik Swasta dapat membiayai kredit yang dimilikinya. Pada rasio kas mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga 2012 dari 343,65% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 343,65, 806,24% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 806,24 menjadi 1755,22% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 1755,22. BPR milik Swasta memiliki rasio kas tinggi di tahun 2011 dan 2012 lebih dari 50%, ini menunjukkan bahwa BPR milik Swasta dapat membayarkan utang-utangnya dengan dana kas yang tersedia tidak perlu menjual atau menagih utang lancar lainnya. Rasio LDR BPR milik Swasta mengalami penurunan dari tahun 2010 ke 2011 dari 168,93% menjadi 152,32% sedangkan pada tahun 2012 mengalami peningkatan lagi menjadi 156,33%. Rasio LDR digunakan untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat. Besarnya loan to deposit ratio menurut Bank Indonesia maksimum adalah 105%, sedangkan BPR milik Swasta memiliki rasio LDR lebih dari 105% dar tahun 2010 hingga 2012. Hal ini menunjukkan bahwa total kredit yang diberikan terlalu besar dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri. Maka BPR milik swasta harus mengurangi dalam pembiayaan kreditnya agar dana yang menganggur dan disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit seimbang. Rasio NPL dari tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami kenaikan dari 0%, 0,78% menjadi 1,18%. Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) adalah sebesar 5%. Rasio NPL ini merupakan kredit bermasalah yang merupakan salah satu kunci untuk menilai kualitas kinerja bank. NPL merupakan indikasi adanya masalah dalam
28
bank tersebut yang jika tidak segera mendapatkan solusi maka akan berdampak bahaya pada bank. Semakin tinggi NPL maka semakin menurun kinerja atau profitabilitas perbankan. Di BPR milik Swasta masih dalam batas wajar karena di bawah 5%. Sehingga BPR milik Swasta memiliki kredit macet yang sangat rendah dibandingkan dengan aktiva produktifnya. Sedangkan pada rasio solvabilitas kurang sehat karena dari tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami penurunan. Sedangkan pada Capital Ratio mengalami penurunan dari tahun 2010, 2011 dan 2012 dari 36,29%, 32,11% menjadi 28,78% yang artinya BPR Milik Swasta modal yang dimilikinya lebih dari 8% sesuai dengan Surat Edaran Direksi BI No. 26/2.UD tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Modal Minimum adalah sebesar 8%. Karena Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dimiliki BPR milik Swasta setiap tahun semakin meningkat. Pada Capital Adequacy Ratio (CAR) dari tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami penurunan dari 20,47%, 16,35% menjadi 15,94% yang artinya BPR milik Swasta memiliki modal yang setiap tahunnya menurun tetapi aktiva yang dimiliki setiap tahun semakin meningkat dari tahun 2010, 2011 dan 2012 dari Rp 18.611.724.000, Rp 21.469.040.000 menjadi Rp 22.887.868.000. Maka BPR milik Swasta mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi dalam profitabilitas. Namun apabila beberapa tahun kedepan CAR semakin turun maka BPR dapat menjual aktiva yang dimilikinya untuk membiayai operasionalnya. Rasio-rasio rentabilitas yang dinyatakan dengan rasio-rasio net profit margin, ROE dan ROA cenderung berfluktuasi dari tahun 2010-2012. Untuk Net Interest Margin (NIM) dari 32,76%, 32,16%, menjadi 31,07%, untuk Net Profit Margin (NPM) dari 28,85%, 27,75%, menjadi 26,21% dan untuk Return on Assets (ROA) dari 12,36%, 11,66%, menjadi 10,45%. Sedangkan untuk Return on Equity (ROE) mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke 2011 dari 21,12% menjadi 23,59% dan 2012 tidak ada perubahan dari tahun 2011 yaitu 23,59%. Semua rasio rentabilitas adalah positif, laba bersih terhadap pendapatan operasi (NPM) cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa BPR milik Swasta cukup sehat sebagai lembaga keuangan, karena pendapatan bunga bersih yang selalu meningkat dari tahun 2010, 2011 dan 2012 sebesar Rp 6.097.396, Rp 6.445.256 dan Rp 6.891.273 yang artinya setiap tahun DPK yang diterima semakin meningkat. Analisis Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah Hasil perhitungan Z-Score untuk BPR milik Pemerintah dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Perhitungan Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah
X X1 X2 X3 X4
Keterangan Working Capital to Total Assets Retained Earning to Total Assets Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities Z - Score
2010 0,100 0,042 0,055 0,311
2011 0,082 0,039 0,051 0,270
2012 0,069 0,031 0,040 0,227
29
6,56 X1 3,26 X2
0,657 0,137
0.539 0,127
0,452 0,100
6,72 X3 1,05 X4 Total
0,369 0,327 1.489
0,343 0,284 1,293
0,271 0,238 1.061
Hasil perhitungan Z-Score menunjukkan bahwa selama tiga tahun nilai Z sekitar angka 1,281 yang berarti kondisi BPR milik Pemerintah Daerah berada dalam keadaan perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan. Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah, karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang lebih tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki skor lebih rendah masih dapat bertahan (gray area). Analisis Z-Score BPR Milik Swasta Hasil perhitungan Z-Score untuk BPR milik Pemerintah dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Perhitungan Z-Score BPR Milik Swasta
X Keterangan X1 Working Capital to Total Assets
2010 0,269
2011 2012 0,233 0,218
X2 Retained Earning to Total Assets
0,104
0,097 0,086
X3 Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets
0,124
0,117
X4 Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities
0,721
0,598 0,546
6,56 X1 3,26 X2
1,762 0,338
1,528 1,433 0,315 0,280
6,72 X3 1,05 X4 Total
0,831 0,757 3,688
0,784 0,702 0,628 0,573 3,255 2,988
0105
Z - Score
Hasil perhitungan Z-Score dalam kurun waktu dari tahun 2010-2012 nilai Z di sekitar angka 3,310 yang artinya BPR milik Swasta merupakan Perusahaan yang tidak memiliki masalah dengan kondisi keuangan (non – bankrupt company). Pembahasan Dari hasil perhitungan analisis rasio keuangan maka rasio likuiditas, rasio solvabilitas dan rasio rentabilitas BPR milik Pemerintah Daerah dapat dibandingkan dengan BPR milik Swasta, untuk mengetahui seberapa besar risiko yang akan dialami oleh BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta.
30
Perhitungan Z-Score juga dapat dibandingkan dengan BPR milik Swasta untuk mengetahui skor yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan. Rasio Likuiditas Dapat disimpulkan secara umum rasio-rasio likuiditas BPR milik Pemerintah Daerah relatif jauh lebih baik dibandingkan dengan BPR milik Swasta. Demikian pula dengan rasio antar kredit yang disalurkan dengan dana yang dihimpun dari pihak ke tiga melebihi dari standar rasio ideal yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu antara 85% sampai dengan 105%. Non performing loan pada BPR milik Pemerintah Daerah masih lebih rendah dibandingkan BPR milik Swasta. Pada BPR milik Pemerintah Daerah sebesar 0,14% sedangkan BPR milik Swasta sebesar 0,40%. Dengan ini menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk konsumtif lebih kecil risikonya dibandingkan dengan BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk produktif. Rasio Solvabilitas Rasio-rasio solvabilitas kedua BPR menunjukkan kondisi sehat. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) kedua BPR di atas ketentuan minimum Bank Indonesia sebesar 8%. Jika rata-rata CAR pada BPR milik Pemerintah Daerah selama kurun waktu tahun 2010-2012 sebesar 14,39% sementara untuk BPR milik Swasta sebesar 25,84%. Dari angka tersebut dapat dilihat bahwa solvabilitas BPR milik Swasta relatif lebih baik jika dibandingkan dengan solvabilitas BPR milik Pemerintah Daerah. Rasio Rentabilitas Untuk semua rasio rentabilitas dari kedua BPR adalah positif. Laba bersih terhadap pendapatan operasi (Net Profit Margin/NPM) cukup baik, di mana pada BPR milik Pemerintah Daerah sebesar 20,24% dan pada BPR milik Swasta sebesar 26,21% pada tahun 2012. Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua BPR mampu memperoleh laba yang wajar, walaupun NPM BPR milik Pemerintah Daerah relatif lebih rendah jika dibanding dengan BPR milik Swasta. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa BPR milik Swasta relatif lebih efisien dalam pengelolaan dananya. Z-Score Perbandingan tingkat rasio keuangan/bisnis menggunakan hasil analisis diskriminan (Z-Score), menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah memiliki nilai Z-Score sebesar 1,281 yaitu berada dalam posisi “gray area” yaitu perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan dan jika tidak melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan maka akan menyebabkan kepailitan dalam jangka panjang, sementara untuk BPR milik Swasta memiliki nilai Z-Score sebesar 3,310 lebih besar dari 2,60 yang artinya perusahaan berada dalam kondisi tidak mengalami masalah dengan keuangan (non-bankrupt company).
31
Implikasi Manajerial Implikasi manajerial yang dapat dimunculkan dalam penelitian adalah bagaimana menciptakan risiko keuangan yang kecil sehingga dapat meminimalkan kebangkrutan. Untuk itu diperlukan cara agar risiko keuangan perusahaan kecil meliputi: 1. Harus memperhatikan rasio-rasio keuangan dan dikelola dengan baik karena dapat berpengaruh pada laba dan kinerja BPR. 2. Dalam pemberian kredit kepada nasabah harus seimbang dengan dana pihak ketiga yang diterima agar dana yang menganggur tidak terlalu banyak atau sedikit, mengakibatkan LDR yang terlalu tinggi sehingga kemampuan likuiditas BPR semakin rendah. 3. BPR dalam memberi kebijakan kredit kepada nasabah harus berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
4.
Analisis rasio keuangan menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah mempunyai risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan BPR milik Swasta, karena dapat dilihat pada perhitungan NPL BPR milik Pemerintah Daerah lebih rendah sebesar 0,14% dibandingkan dengan BPR milik Swasta sebesar 0,040%. Karena BPR milik Pemerintah Daerah dapat memotong langsung upah atau gaji karyawan dengan cara bekerjasama dengan perusahaan atau instansi. Analisis Z-Score menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah yang berada dalam posisi “gray area” yaitu perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan, jika tidak melakukan perbaikan dalam manajemen maupun struktur keuangan maka akan mengalami kepailitan dalam jangka panjang. Analisis Z-Score menunjukkan bahwa BPR milik Swasta berada dalam kondisi aman yaitu kondisi yang tidak mengalami masalah dalam keuangan (non-bankrupt company). Dilihat dari permodalannya BPR milik Pemerintah Daerah lebih besar dibandingkan dengan BPR milik Swasta karena BPR milik Pemerintah Daerah mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Saran Berdasarkan simpulan dari penelitian ini ada beberapa hal yang disarankan bagi BPR maupun calon kreditor, beberapa hal tersebut yaitu: 1. BPR harus menjalankan aktivitas sesuai dengan fungsi utama yang telah ditetapkan dengan Bank Indonesia yaitu sebagai salah satu jenis bank yang
32
2.
3. 4.
5.
dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah, agar dapat membantu untuk memajukan UMKM yang telah ada. BPR harus dapat lebih mengoptimalkan dalam pemberian kredit. Di satu sisi pemberian kredit yang tinggi memang diharapkan mampu mendatangkan return yang tinggi pula. Namun di sisi lain, pemberian kredit yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penurunan likuiditas serta menimbulkan risiko kredit. Oleh karena itu, kredit ini harus dikelola dengan lebih baik. BPR harus dapat lebih selektif dalam pemberian kredit agar risiko timbulnya kredit bermasalah menjadi berkurang. BPR sebaiknya dapat mengelola dengan baik modal dan aktivanya yang berisiko. Modal yang dimiliki BPR harus dapat mengcover aktiva yang berisiko, namun tidak terlalu besar karena akan menyebabkan adanya dana yang menganggur dan tidak dioptimalkan dengan baik. Melakukan analisis terhadap beban dan penentuan bunga kredit atau beban bagi hasil yang akan ditetapkan atas kredit konsumtif dan produktif.
DAFTAR PUSTAKA Ali M. 2006. Manajemen Risiko – Strategi Perbankan dan Dunia Usaha Menghadapi Tantangan Globalisasi Bisnis. Sudradjat P, editor. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada [BI] Bank Indonesia. 2011. Model Bisnis Bank Perkreditan Rakyat (Referensi Mengelola BPR). Jakarta (ID): BI [BI] Bank Indonesia. Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Jakarta (ID): BI [BI] Bank Indonesia. 2013. Statistik Perbankan Indonesia [Internet]. [diunduh 2013 Apr 20]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/1ECCD 38D -E250-4750-B7B7-1202CBB1D67B/29147/SPIMaret2015.pdf Hamdan U, Wijaya A. 2006. Analisis Komparatif Resiko Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Konvensional dan Syariah. JMB. 4(7) Hariyanto. 2011. Laporan Keuangan Bank dan Rasio Keuangan Bank [Internet]. [diunduh 2013 Agust 24]. Tersedia pada: http://antohilya.blogspot.com/ 2011/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html Hempel G.H, Simonson D.G, and Coleman A.B, 1994. Bank Management Text and Cases. New York (US): John Wiley & Sons, Inc Kamal ST.Ibrah Mustafa. 2012. Analisis Prediksi Kebangkrutan Pada Perusahaan Perbankan Go Public Di Bursa Efek Indonesia. Skripsi pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Univeritas Hasanuddin, Makassar Kasmir. 2010. Analisis Laporan Keuangan. Jakarta (ID): Rajagrafindo Persada Kusumaningrum AE. 2013. Bank Perkreditan Rakyat Yang Tidak Merakyat? [Internet]. [diunduh 2013 Sept 14]. Tersedia pada: http://asteriaelanda. wordpress.com/2013/01/27/250/
33
Latumaerissa JR. 2011. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta (ID): Salemba Empat Mardiyanto H. 2009. Inti Sari Manajemen Keuangan. Jakarta (ID): Grasindo. [Mendagri] Menteri Dalam Negeri. 1998. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Jakarta (ID): Menteri Dalam Negeri Munawir S. 2010. Analisa Laporan Keuangan. Yogyakarta (ID): Liberty Putra RP. 2010. Analisis Kinerja Keuangan PT Bank Negara Indonesia, Tbk [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Purnomo DS. 2011. Jumlah Bank Perkreditan Rakyat Makin Menyusut [Internet]. [diunduh 2013 Mar 25]. Tersedia pada: http://www.lppi.or.id/index.php/ module/Blog/sub/2/id/jumlah-bank-perkreditan-rakyat-makin-menyusut [UG] Universitas Gunadarma. 2012. Rasio Keuangan Bank [Internet]. [diunduh 2013 Agust 24]. Tersedia pada: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012 /05/rasio-keuangan-bank/ [UG] Universitas Gunadarma. 2010. Tahukah Anda Tentang Metode Altman Zscore? [Internet]. [diunduh 2013 Agust 24]. Tersedia pada: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/tahukah-anda-tentang-metodealtman-z-score/ Weston JF, Brigham EF. 1990. Dasar-dasar Manajemen Keuangan. Jakarta (ID): Erlangga Winton A. 1993. Limitation of Liability and the Ownership Structure of the Firm. JF. 48(2)
34
Lampiran 1 Laporan Rugi/Laba BPR Milik Pemerintah Daerah No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Pos-Pos Pendapatan Operasional - Bunga - Provisi dan Komisi - Lainnya Jumlah Pendapatan Operasional Pendapatan Non Operasional Jumlah Pendapatan Beban Operasional - Beban Bunga - Beban Administrasi dan Umum - Beban Personalia - Penyisihan Aktiva Produktif - Beban Operasional Lainnya Jumlah Beban Operasional Beban Non Operasional Jumlah Beban Laba/Rugi Sebelum Pajak Penghasilan (PPh) Taksiran Pajak Penghasilan Laba/Rugi Tahun Berjalan
2012
(Ribuan Rp) 2011 2010
42.971.814 35.611 1.109.526 44.116.951 437.749 44.554.700
38.338.887 41.586 2.566.144 40.946.617 517.192 41.463.809
33.975.661 14.044 1.419.013 35.408.718 397.417 35.806.135
22.234.120 659.187 6.961.874 685.046 2.012.733 32.552.960 307.037 32.859.997 11.694.703 2.766.188 8.928.515
18.988.982 1.864.570 6.746.794 279.374 780.822 28.660.542 357.514 29.018.056 12.445.753 2.931.343 9.514.410
16.274.874 1.874.861 5.313.845 475.000 886.563 24.825.143 14.635 24.839.778 10.966.357 2.557.827 8.408.530
35
Lampiran 2 Neraca BPR Milik Pemerintah Daerah No. 1 2 3
4
5 6 7
8
1
2
3
4 5 6 7 8 9
Pos-Pos AKTIVA Kas Sertifikat Bank Indonesia Antarbank Aktiva a Pada Bank Umum b Pada BPR Kredit yang diberikan a Pihak terkait b Pihak tidak terkait Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Aktiva dalam valuta asing Aktiva tetap dan inventaris a Tanah dan gedung b Akumulasi penyusutan gedung c Inventaris d Akumulasi penyusutan inventaris Aktiva Lain-lain Jumlah Aktiva PASSIVA Kewajiban-kewajiban yang segera dapat dibayar Tabungan a Pihak terkait b Pihak tidak terkait Deposito berjangka a Pihak terkait b Pihak tidak terkait Kewajiban kepada Bank Indonesia Antarbank pasiva Pinjaman yang diterima Pinjaman subordinasi Rupa-rupa Pasiva Ekuitas: a Modal dasar b Modal yang belum disetor c Agio d Disagio e Modal sumbangan f Modal pinjaman g Dana setoran modal h Cadangan revaluasi aktiva tetap i Cadangan umum j Cadangan tujuan k Laba yang ditahan l Saldo Laba (Rugi) tahun berjalan Jumlah Pasiva
2012
(Ribuan Rp) 2011 2010
891.022 0
1.115.782 0
848.848 0
32.658.928 5.100.000
28.071.304 3.100.000
32.922.081 4.100.000
634.582 249.102.327 2.836.843 0
593.207 889.277 208.891.087 160.951.773 2.424.329 3.522.184 0 0
1.190.309 129.834 1.473.831 873.299 3.105.665 290.316.688
1.190.309 1.190.309 118.839 107.845 1.636.115 1.349.758 867.195 863.446 2.406.550 2.059.677 243.593.991 199.818.248
970.795
385.207
519.450
299.508 20.676.071
310.253 23.461.690
232.647 18.938.697
97.500 129.974.116 0 101.463.153 0 0 5.243.413
503.500 817.600 120.301.391 109.797.976 0 0 63.463.855 38.992.307 0 0 0 0 7.004.479 6.797.192
20.000.000 13.529.586 0 0 0 0 0 0 8.835.086 6.708.168 649.949 8.928.515 290.316.688
20.000.000 20.000.000 15.029.586 15.529.586 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7.335.086 6.135.086 5.208.168 4.008.168 1.135.538 700.181 9.514.410 8.408.530 243.593.991 199.818.248
36
Lampiran 3 Laporan Rugi/Laba BPR Milik Swasta (Ribuan Rp) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Pos-Pos Pendapatan Operasional - Bunga - Provisi dan Komisi - Lainnya Jumlah Pendapatan Operasional Pendapatan Non Operasional Jumlah Pendapatan Beban Operasional - Beban Bunga - Beban Administrasi dan Umum - Beban Personalia - Penyisihan Aktiva Produktif - Beban Operasional Lainnya Jumlah Beban Operasional Beban Non Operasional Jumlah Beban Laba/Rugi Sebelum Pajak Penghasilan (PPh) Taksiran Pajak Penghasilan Laba/Rugi Tahun Berjalan
2012
2011
2010
6.891.273 722.806 297.294 7.911.373 24.876 7.936.249
6.445.256 774.198 252.480 7.471.934 12.940 7.484.874
6.097.396 337.082 250.572 6.685.050 6.100 6.691.150
1.477.823 1.038.891 2.765.256 220.472 16.425 5.518.867 25.549 5.544.416 2.391.833 429.299 1.962.534
1.431.739 932.012 2.427.847 128.500 29.038 4.949.136 30.379 4.979.515 2.505.359 432.132 2.073.227
1.355.043 946.273 2.037.876 211 28.931 4.368.334 21.409 4.389.743 2.301.407 372.462 1.928.945
37
Lampiran 4 Neraca BPR Milik Swasta No. 1 2 3
4
5 6 7
8
1 2
3
4 5 6 7 8 9
Pos-Pos AKTIVA Kas Sertifikat Bank Indonesia Antarbank Aktiva a Pada Bank Umum b Pada BPR Kredit yang diberikan a Pihak terkait b Pihak tidak terkait Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Aktiva dalam valuta asing Aktiva tetap dan inventaris a Tanah dan gedung b Akumulasi penyusutan gedung c Inventaris d Akumulasi penyusutan inventaris Aktiva Lain-lain Jumlah Aktiva PASSIVA Kewajiban-kewajiban yang segera dapat dibayar Tabungan a Pihak terkait b Pihak tidak terkait Deposito berjangka a Pihak terkait b Pihak tidak terkait Kewajiban kepada Bank Indonesia Antarbank pasiva Pinjaman yang diterima Pinjaman subordinasi Rupa-rupa Pasiva Ekuitas: a Modal dasar b Modal yang belum disetor c Agio d Disagio e Modal sumbangan f Modal pinjaman g Dana setoran modal h Cadangan revaluasi aktiva tetap i Cadangan umum j Cadangan tujuan k Laba yang ditahan l Saldo Laba (Rugi) tahun berjalan Jumlah Pasiva
(Ribuan Rp) 2010
2012
2011
915.277 0
388.721 0
633.153 0
2.354.351 33.713
3.466.751 31.202
2.555.968 154.297
33.833 18.610.298 365.392 0
0 16.513.579 302.203 0
0 14.524.733 271.275 0
0 0 1.339.899 965.893 931.782 22.887.868
0 0 1.158.265 807.575 1.020.300 21.469.040
0 0 1.058.780 661.965 618.024 18.611.724
52.146
48.214
184.244
1.374.668 4.981.977
1.131.804 4.460.731
985.777 3.785.515
905.000 4.664.500 0 3.267.222 0 0 854.457
765.000 4.483.900 0 3.006.281 0 0 788.546
1.025.500 2.801.500 0 3.534.230 0 0 360.768
5.000.000 1.000.000 25.000 0 0 0 0 0 800.364 0 0 1.962.534 22.887.868
5.000.000 1.000.000 25.000 0 0 0 0 0 689.337 0 0 2.073.227 21.469.040
5.000.000 1.600.000 25.000 0 0 0 0 0 580.245 0 0 1.928.945 18.611.724
38
Daftar Istilah dan Definisi No. 1.
Istilah ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko)
Definisi Terdiri dari : 1.aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko kredit yang melekat. 2.beberapa pos dalam off-balance sheet yang diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko kredit yang melekat.
2.
Bank
Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkakan taraf hidup.
3.
Bank Indonesia
Berfungsi sebagai Bank Sentral dan mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sstem devisa serta mengatur dan mengawasi bank.
4.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Merupakan bank yang khusus melayani masyarakat kecil di kecamatan dan pedesaan baik yang berdasarkan prinsip secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
5.
Bank Milik Pemerintah
Merupakan bank yang akte pendirian maupun modal bank ini sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, sehingga seluruh keuntungan bank ini dimiliki oleh pemerintah pula.
6.
Bank Milik Swasta
Merupakan bak yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh swasta nasional.
7.
Bunga Bank
Sebagai harga atau balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.
8.
Dana Pihak Ketiga (DPK)
Simpanan pihak ketiga bukan bank yang terdiri dari Giro,Tabungan dan Simpanan Berjangka.
9.
Kredit
10.
Kredit Konsumtif
11.
Kredit Produktif
Penyediaan uang atau tagihanyang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk : 1.Pembelian Surat Berharganasabah yang dilengkapi dengan Note PurchaseAgreement (NPA). 2.Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang. Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan pribadi, misalnya keperluan konsumsi, baik pangan, sandang, maupun papan. Merupakan kredit yang dapat berupa investasi, modal kerja atau perdagangan. Dalam arti kredit ini diberikan untuk diusahakan kembali sehingga pengembalian kredit diharapkan dari hasil usaha yang dibiayai.
39
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada 28 April 1989. Merupakan puteri bungsu dari tiga bersaudara dari bapak Zainal Abidin (alm) dan ibu Maryamah. Awal jenjang pendidikan dimulai pada tahun 1993 sampai 1995 bersekolah di Taman kanak-kanak Xaverius 2, Bandar Lampung. Pada tahun yang sama melanjutkan ke Sekolah Dasar Fransiskus 1 Bandar Lampung dan lulus tahun 2001. Jenjang pendidikan selanjutnya di tahun 2001 penulis melanjutkan sekolah di SMPN 9 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah ke SMA Al-Masthuriyah Sukabumi, Jawa Barat dan lulus pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa Diploma III (D3) Program Keahlian Akuntansi Program Diploma Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menempuh pendidikan perkuliahan, penulis telah melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang dilaksanakan tahun 2010 di PT PAM Lyonnaise Jaya dan lulus tahun 2010. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Sarjana Alih Jenis Manajemen (Ekstensi), Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.