ANALISA SISTEM DILATASI DENGAN BALOK KANTILEVER DISERTAI PERHITUNGAN STRUKTUR ATAS DAN STRUKTUR BAWAH 1
Mia Karlina Mierza, 2Besman Surbakti
1
Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl. Perpustakaan No. 1 Kampus USU Medan Email :
[email protected] 2 Staff Pengajar Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl. Perpustakaan No. 1 Kampus USU Medan ABSTRAK Dalam bidang perencanaan bangunan, system dilatai sangat baik diterapkan pada bangunan yang memiliki bentuk tidak beraturan, bangunan dengan bentang yang panjang, menahan beban gempa, dan tentu saja dalam hal mengekspansi bangunan. Dalam ekspansi bangunan, dilatasi yang dilakukan adalah dilatasi dengan balok kantilever. Sehingga, jarak dari balok ini sangat penting untuk direncanakan. Dilatasi ini memerlukan celah yang dapat ditentukan dengan menghitung simpangan tiap bangunan. Atau dapat ditentukan dengan peraturan yang ada. Balok kantilever yang direncanakan memiliki bentang sebesar 1,5 m, yang dianggap telah memiliki jarak aman dalam perencanaan dilatasi ini serta lendutan yang tidak melebihi lendutan ijin. Dalam memilih panjang bentang balok kantilever, bukan hanya jarak balok induk yang menentukan, tetapi juga bagaimana jenis pondasi, dimensi pondasi, alat pekerjaan pondasi, dan lain-lain. Dengan meninjau tiga jenis pondasi yaitu pondasi tiang pancang, pondasi sumuran, dan pondasi bored pile akan dipilih jenis pondasi yang paling cocok dengan keadaan bangunan ini. Pemilihan pondasi ini sangat penting agar jarak balok kantilever yang hanya 1,5 meter tidak mengganggu bangunan yang telah ada. Didapatkan hasil dimana pondasi yang paling cocok untuk bangunan dilatasi dengan balok kantilever ini adalah pondasi bored pile. Yang mana memenuhi kriteria dalam segi dimensi pondasi yang cukup, alat yang memungkinkan untuk melaksanakan pekerjaan pondasi ini, dan tidak menganggu bangunan eksisting. Kata Kunci : Pondasi Bored Pile, Balok Kantilever, Dilatasi, Gempa, Pondasi, Ekspansi. ABSTRACT In planning and building, the dilatation system is very good applied to buildings that have irregular shapes, buildings with long spans, resist earthquake loads, and of course in terms of expanding the building. In a building expansion, dilatation is performed with a cantilever beam. Thus, the distance of the beam is very important to plan. This requires dilatation gap can be determined by calculating the deviation of each building. Or can be determined by existing regulations. Planned cantilever beam spans of 1.5 meters, which is considered to have had a safe distance in the planning of this dilatation and deflection does not exceed deflection permission. In choosing a cantilever beam span length, beam spacing not only decisive, but also how the type of foundation, foundation dimensions, foundation work tools, and others. By reviewing the three types of foundation are the pile foundation, pier foundation, and bored pile foundation will be selected the type of foundation is best suited to the circumstances of this building. The selection of this foundation is very important that the cantilever beam distance of only 1.5 meters does not interfere with existing buildings. Obtained results which foundation is best suited for building dilatation with cantilever beams are bored pile foundation. Which meet the criteria in terms of dimensions sufficient foundation, a tool that allows to carry out the work of this foundation, and does not disturb the existing building. Key words : Bored Pile Foundation, Cantilever Beams, Dilatation, Earthquake, Foundations, Expansion.
1
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Bangunan–bangunan tinggi sangat berkembang di Indonesia, hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan ruang yang meningkat pesat sedangkan lahan yang tersedia semakin mengalami kelangkaan. Selain itu Indonesia adalah negara yang sering mengalami gempa bumi dikarenakan letak geografisnya. Dalam segi struktur, beban gempa menjadi aspek yang penting dalam perhitungan desain bangunan. Dalam mengantisipasi kemungkinan terjadi keruntuhan antar bangunan tinggi yang berdekatan, maka dapat dilakukan sistem dilatasi. Dilatasi berfungsi untuk mengantisipasi terjadinya tabrakan antara bangunan yang berdekatan serta mencegah kerusakan bangunan akibat terjadinya penurunan bangunan yang tidak bersamaan karena perbedaan kondisi tanah disepanjang bangunan. Dilatasi pun dapat membagi-bagi pusat masa dan pusat kekakuan pada suatu struktur yang tidak simetris. Dilatasi dengan balok kantilever digunakan pada bangunan yang merupakan penambahan bangunan yang telah ada. Sehingga dilatasi dengan balok kantilever merupakan usaha perluasan dari bangunan itu sendiri. Sehingga dalam perencanaan awal, dilatasi dengan balok kantilever ini tidak dilakukan. Ketika suatu struktur telah ada, kemudian dilakukan penambahan luas bangunan, maka direncanakan untuk dilakukan dilatasi guna melengkapi dan menyokong struktur yang telah ada. Tujuan Penulisan Tujuan yang ingin dicapai adalah bagaimana sistem ini berpengaruh terhadap suatu bangunan bila terjadi gempa. Dari segi mekanika teknik, pemasangan balok kantilever adalah 1/3 dari bentang balok induk. Sedangkan dalam segi praktek dan pelaksanaanya, akan ditinjau dalam segi Pondasi Bored Pile, Tiang Pancang, Pondasi Sumuran.
2. TINJAUAN PUSTAKA Balok atau Beam Balok merupakan bagian struktur yang digunakan sebagai dudukan lantai dan pengikat kolom lantai atas. Fungsinya adalah sebagai rangka penguat horizontal bangunan akan beban-beban. Kriteria Desain Balok ◙ Cukup kuat untuk menahan semua beban ◙ Tidak terdeformasi berlebihan sehingga menyebabkan keruntuhan ◙ Sesuai dengan kebutuhan bangunan terkait dengan dimensi, material, penyelesaian akhir, dan lain-lain Jenis Beban Pada Balok ◙ Beban terpusat: dari komponen atau elemen balok lain atau beban terpusat dari benda lainnya ◙ Beban merata: dari komponen atau elemen yang menerus (dinding, lantai) SNI beton 2002 menyajikan tinggi minimum balok sebagai berikut : ◙ Balok diatas dua tumpuan: hmin = L/16 ◙ Balok dengan satu ujung menerus: hmin = L/18,5 ◙ Balok dengan kedua ujung menerus: hmin = L/21 ◙ Balok kantilever: hmin = L/8 Dimana L = panjang panjang bentang dari tumpuan ke tumpuan. Jika nilai tinggi minimum ini dipenuhi, pengecekan lendutan tidak perlu dilakukan. Pendimensian Balok didesain berdasarkan panjang bentang antar kolom atau tumpuan yaitu :
2
Dimana : l = jarak antar kolom atau tumpuan h = tinggi balok b = lebar balok Pondasi Dalam Kriteria pondasi dalam diterapkan dengan angka/rasio perbandingan antara lebar pondasi dengan kedalaman pondasi. Dimana untuk pondasi dalam ditetapkan bila kedalaman pondasi dibagi lebarnya lebih besar dari empat. Atau D/B ≥ 4
D/B ≥ 4
Gambar 1. Pondasi Dalam a. Pondasi Sumuran Pondasi sumuran adalah suatu bentuk peralihan antara pondasi dangkal dan pondasi tiang. Pondasi sumuran sangat tepat digunakan pada tanah kurang baik dan lapisan tanah kerasnya berada pada kedalaman 2 sampai 8 meter. Diameter sumuran biasanya antara 0.80 – 1.00 m dan ada kemungkinan dalam satu bangunan diameternya berbeda-beda, ini dikarenakan masing-masing kolom berbeda bebannya. b. Pondasi Bored Pile Pondasi Bored Pile adalah bentuk Pondasi Dalam yang dibangun di dalam permukaan tanah dengan kedalaman tertentu. Pondasi di tempatkan sampai ke dalaman yang dibutuhkan dengan cara membuat lobang yang dibor dengan alat khusus. Setelah mencapai kedalaman yang disyaratkan, kemudian dilakukan pemasangan casing/bekisting yang terbuat dari plat besi, kemudian dimasukkan rangka besi pondasi yang telah dirakit sebelumnya, lalu dilakukan pengecoran terhadap lobang yang tersebut. Pekerjaan pondasi ini tentunya dibantu dengan alat khusus, untuk mengangkat casing dan rangka besi. Setelah dilakukan pengecoran casing tersebut dikeluarkan kembali. c. Pondasi Tiang Pancang Penggunaan pondasi tiang pancang sebagai pondasi bangunan apabila tanah yang berada dibawah dasar bangunan tidak mempunyai daya dukung (bearing capacity) yang cukup untuk memikul berat bangunan dan beban yang bekerja padanya Atau apabila tanah yang mempunyai daya dukung yang cukup untuk memikul berat bangunan dan seluruh beban yang bekerja berada pada lapisan yang sangat dalam dari permukaan tanah kedalaman lebih dari 8 meter.
3. METODOLOGI PENELITIAN Bahan Penelitian Dalam penelitian ini dibutuhkan beberapa jenis data pendukung diantaranya merupakan data yang diperoleh dari studi literatur bacaan buku, refrensi, jurnal, skripsi, dan bahan bacaan lain yang mendukung.
3
Metode Penelitian Dalam Penelitian ini akan dilakukan perhitungan struktur bangunan dengan dilatasi balok kantilever mulai dari dimensi, tulangan, serta pondasi yang sesuai. Adapun denah bangunan adalah
Gambar 2. Tampak Atas Bangunan
Gambar 3. Tampak Depan Bangunan Diasumsikan portal terbuka dengan perletakan jepit penuh pada kaki portal. Dengan perletakan jepit, maka struktur dianggap rigid atau kaku. Perhitungan dan pemodelan dilakukan dengan SAP V.15 dan dimodelkan secara 3 dimensi (space frame).
Gambar 4. Pemodelan dengan Program SAP 2000 V.15 Dengan menggunakan Program SAP 2000, dan dengan dimensi yang telah diperhitungan maka seluruh elemen strukur dapat dihitung. Dan diperhitungkan juga beban gempa. Untuk menghitung beban gempa, digunakan SNI 03-1726-2002. Gempa (SNI – 1726 –03–2002) Analisis statik ekivalen merupakan salah satu metode menganalisis struktur gedungterhadap pembebanan gempa dengan menggunakan beban gempa nominal statik ekivalen.Menurut Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung (SNI – 1726 – 2002), analisis statik ekivalen cukup dapat dilakukan pada gedung yang memilikistruktur beraturan. Ketentuan-ketentuan mengenai struktur gedung beraturan disebutkandalam pasal 4.2.1 dari SNI 03 – 1726 – 2002. Karena analisis statik ekivalen dipandang merupakan langkah awal dalam perencanaangedung tahan gempa, maka penggunaan software SAP2000 diharapkan dapat membantu melakukan analisis statik
4
ekivalen, terutama dalam mendapatkan nilai angka massa danwaktu getar alami dari model struktur gedung yang ditinjau. ◙ Waktu Getar Alami Bangunan (T) Tx = Ty = 0,06 . H3/4 (untuk portal beton) ◙ Beban Geser Dasar Nominal Statik Ekivalen (V)
V = Beban Geser Dasar Nominal Statik Ekivalen C = Koefisien Gempa Dasar I = Faktor Keutamaan R = Faktor Reduksi Gempa Struktur Beban Gempa yanga bekerja pada lantai i
∑ Gempa Vertikal Unsur-unsur struktur gedung yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap beban gravitasi seperti balkon, kanopi dan balok kantilever berbentang panjang, balok transfer pada struktur gedung tinggi yang memikul beban gravitasi dari dua atau lebih tingkat diatasnya serta balok beton pratekan berbentang panjang, harus diperhitungkan terhadap komponen vertikal gerakan tanah akibat pengaruh Gempa Rencana, berupa beban gempa vertikal nominal statik ekuivalen yang harus ditinjau bekerja ke atas atau ke bawah yang besarnya harus dihitung sebagai perkalian Faktor Respons Gempa vertikal Cv dan beban gravitasi, termasuk beban hidup yang sesuai. Gaya gempa vertikal dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Faktor Respons Gempa vertikal Cv yang disebut dalam Pasal 4.8.1 harus dihitung menurut persamaan : Cv = Ψ.Ao.I Dimana koefisien Ψ bergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur gedung berada dan Ao adalah percepatan puncak muka tanah, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan gedung. Setelah semua elemen struktur dihitung, dilakukanlah analisa untuk memilih pondasi yang sesuati dengan sistem dilatasi ini. Pondasi akan diinjau dari segi peralatan dilapangan, dimensi, dan jarak antar pondasi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Dimensi elemen struktur a. Pelat Untuk bangunan I dan II, tebal pelat lantai alah 160 mm, dan utnuk tebal pelat lantai adalah 155 mm. b. Kolom Kolom pada bangunan I memiliki dimensi (50x50) cm, dan untuk Bangunan II adalah (45x45) cm.
5
c. Balok Adapun dimensi balok yang direncanakan adalah Bangunan I dan Bangunan II Dimensi Balok Arah Memanjang Dimensi Balok Arah Melintang Atap 30/50 25/40 Lantai 3 30/50 25/45 Lantai 2 30/50 25/45 Balok 20/30 Anak Beban Lateral Gempa Dengan menggunakan rumus diatas, didapatkan hasil sebagai berikut : Beban Gempa Bangunan I
Tingkat Hi (m) Atap 12 Lantai 3 8 Lantai 2 4 Σ
Wi (kN) 1645,295 1689,005 1689,005 5023,304
WiHi 19743,54 (kg.m) 13512,04 6756,02 40011,6
Fi Fx Fy 338,008 84,502 84,502 231,325 57,831 57,831 115,663 28,916 28,916
WiHi 14593,12 9999,248 (kN.m)
Fi 249,883
Fx Fy 62,471 83,294
171,2206 85,61032
42,805 21,403
Beban Gempa Bangunan II
Tingkat Lantai 3
Hi (m) 12,00
Wi (kg) 1216,093
Lantai 2 Lantai 1 Σ
8,000 4,000
1249,906 1249,906 3715,904
0
4999,624 29591,99
57,074 28,537
Analisa Balok Kantilever
F v
1,5 m
Gambar 5. Analisa Balok Kantilever
Lendutan Ijin =
Peralatan Konstruksi Pondasi di Lapanagan a. Tiang Pancang Jarak antar tiang minimal 2,5 atau 3 diameter atau diisyaratkan pula jarak antar 2 tiang pancang minimal 0,6 meter dan maksimal 2 m (dalam kelompok tiang). Dan bila menggunakan tiang pancang persegi, jarak minimal antar tiang adalah 1,75 x diagonal penampang tiang pancang tersebut. Alat yang digunakan berupa Hydraulic Static Pile Driver (HSDP), terdapat dial pembebanan yang menunjukkan tekanan hidrolik terdiri dari empat silinder untuk menekan tiang pancang kedalam tanah sampai ditemui kedalaman tanah keras. Jenis pondasi tiang pancang dalam pengerjaannya dapat menimbulkan gangguan lingkungan. Diantaranya menimbulkan kebisingan serta getaran besar yang dapat merusak struktur lain yang ada disekitar lokasi proyek. Pemilihan jenis alat pemancangan dengan jenis Hydrolic Static Pile
6
Driver (HSDP) dan drop hammer, alat tersebut tidak menimbulkan kebiingan dan getaran besar karena prosesnya adalah dengan menekan tiang pancang dengan tenaga hidraulik. Alat ini, tidak menimbulkan getaran, akurasi pemancangan lebih tepat (kemungkinan miring kecil), sehingga design jarak antar tiang bisa minimal, yang menyebabkan banyaknya besi pilecap dan volume beton pilecap bisa diminimalkan. Akan tetapi, alat ini tidak dapat digunakan untuk lahan yang sempit. Jarak bebas alat pancang ketembok harus 2,5m-5m (tergantung alat).
Gambar 6. Hydraulic Static Pile Driver Pondasi sumuran Pondasi sumuran digunakan pada tempat dimana pengentak pondasi tiang tidak diperbolehkan karena pertimbangan getaran yang ditimbulkan atau yang tidak memungkinkan instalasinya. Jarak anatara pondasi sumuran 4-7 m. Penggalian pondasi sumuran biasanya cukup dengan menggunakan tenaga manusia seperti biasanya membuat sumur. Setelah digali sedalam 80 cm, gorong-gorong beton diameter 80 cm dimasukkan dan satu orang di dalam gorong-gorong tersebut melanjutkan penggaliannya yang akan mengakibatkan gorong-gorong turun dan ditambah gorong-gorong di atasnya lagi, demikian seterusnya.Penggalian dengan cangkul ini biasanya kayu pegangannya diperpendek sehingga mempermudah pengerjaan di dalam gorong-gorong tersebut. Perlu diperhatikan dalam penggalian sumuran ini, di dalam tanah kadang-kadang timbul gas-gas beracun yang akan membahayakan bagi pecangkul, untuk itu harus dipasang blower agar sirkulasi udara dapat berfungsi secara baik atau dengan menggunakan alat yang dapat selalu mendeteksi keberadaan gas beracun di dalam sumur.Rongga antara beton gorong-gorong dengan tanah dapat diisi dengan pasir yang disiram air sehingga dapat masuk ke sela-selanya secara sempurna.Setelah mencapai kedalaman tanah keras, maka dalam gorong-gorong diisi dengan beton siklop (cyclopean concrete) yaitu beton dengan batu-batu yang besar. Pondasi sumuran ini cocok untuk pondasi bangunan dimana letak tanah keras sudah terlalu dalam untuk dibuat pondasi batu kali telapak menerus dengan bentuk trapesium, karena volume menjadi sangat besar. Tanah keras yang dimaksud dengan kedalaman mencapai 2 – 3 meter.Sekarang cara ini sudah jarang dipakai karena dengan pondasi bor-pile lebih mudah. ◙
◙
Gambar 7. Pondasi Sumuran Bored Pile Bored pile salah satu bangunan struktur bawah suatu bangunan Untuk konstruksi bored pile
7
diperlukan beberapa metode konstruksi, bisa menggunakan Alat berat atau hanya menggunakan peralatan konvensional. untuk peralatan konvensional, perangkat yang digunakan sama sekali tidak menggunakan alat berat. Motor utama hanya menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar, berfungsi untuk menggerakkan tiang bor bergerak Vertikal, dan menggerakkan mesin penggerak arah horizontal yang memutar tiang bor pada atas tiang bor, dan memiliki 2 gagang kontrol yang berfungsi sebagai menekan dan memutar tiang bor. Tiang Bor menggunakan Baja atau Besi penampang Hollow dan diutamakan baja dan besi tersebut mampu menahan gaya puntir, tekan dan tarik yang dihasilkan ketika melakukan pemboran, panjang tiang sesuai dengan kebutuhan kedalaman pemboran. biasanya panjang tiang 3m yang bisa disambung. Mata bor memiliki dua jenis yaitu mata bor Spiral, biasanya 2 tingkat. Metode Dry Drilling biasanya menggunakan mata bor. Mata bor ini bekerja dengan cara, mata bor akan menggali tanah pada kedalam tertentu dan kemudian mata bor diangkat dari kedalaman tertentu ke permukan tanah sekaligus mengangkut tanah galian. Bor ini di gunakan untku metode wash boring, bedanya dengan bor spiral mata bor ini membor tanah sekaligus menyedot air yang bercampur tanah akibat pemboran, kemudian air yang disedot dialirkan melalui selang air yang dipasang diatas tiang bor yang terhubung pada mata bor. Dengan alat ini, luas pengoperasian alat sangat minimal, karena tidak menggunakan alat berat.
Gambar. 8. Dry Drilling
Gambar. 9. Wash boring
Maka dari segi peralatan, bisa dipastikan yang paling cocok untuk bangunan dilatasi dengan balok kantilever adalah pondasi bored pile. Jarak antar tiang dapat diminimalkan sesuai syarat yaitu 0,6 m dan dengan peralatan bor yang digunakan memungkinkan untuk dilakukan dengan bangunan ekisting yang hanya berjarak 1,5 meter. Tiang pancang dengan system hydraulic juga dapat dilakukan pemancangan dengan jarak antar tiang 0,6 m, hanya saja dalam pelaksanaan dibutuhkan luas pengoperasian 2-3 meter, yang tidak cocok dengan bangunan eksisting yang ada. Sumuran yang digunakan, dari segi peralatan bisa saja tidak mengganggu bangunan eksisting, hanya saja, jarak antar pondasi sumuran, dibatasi antara 4-7 meter. Dan biasanya memiliki dimensi yang cukup besar untuk
8
dapat memikul beban bangunan. Spesifikasi teknik pondasi Bored Pile yang direncanakan adalah : Jenis tiang pancang : Bored Pile Ukuran : D 300 mm Panjang tiang : 5 m Mutu bahan : f’c = 30 MPa Simpangan Simpangan (drift) lateral maksimum atau dapat juga disebut dengan Δs maksimum yang timbul pada struktur yang menggunakan dilatasi dan tanpa dilatasi dibatasi berdasarkan Δ m. Pembatasan simpangan ini dilakukan untuk membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan struktur gedung yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah benturan berbahaya antar-gedung atau antar bagian struktur gedung yang dipisah dengan sela pemisah (sela dilatasi). Tabel Δs dan Δm Bangunan I Arah x Tingkat
Δs
Lantai 3 Lantai 2 Lantai 1
0,371 0,304 0,082
Tingkat
Δs
Lantai 3 Lantai 2 Lantai 1
12,602 8,88 3,731
drift Δs antar tingkat 0,067 0,222 0,082 drift Δs antar tingkat 3,722 5,149 3,731
Syarat 21,81818 21,81818 21,81818
Keterangan OK OK OK Arah y
Δm 1,428 1,1704 0,3157
syarat
Keterangan
Δm
21,81818 21,81818 21,81818
OK OK OK
48,5177 34,188 14,364
drift Δm antar tingkat 0,258 0,855 0,3157 drift Δm antar tingkat 14,329 19,824 14,364
Syarat
Keterangan
80 80 80
OK OK OK
syarat
Keterangan
80 80 80
OK OK OK
Tabel Δs dan Δm Bangunan II Arah x Tingkat
Δs
Lantai 3 Lantai 2 Lantai 1
1,579 0,906 0,287
Tingkat
Δs
Lantai 3 Lantai 2 Lantai 1
15,106 10,909 4,788
drift Δs antar tingkat 0,673 0,619 0,287 drift Δs antar tingkat 4,197 6,121 4,788
Syarat
Keterangan
Δm
21,81818 21,81818 21,81818
OK OK OK Arah y
6,079 3,488 1,105
syarat
Keterangan
Δm
21,81818 21,81818 21,81818
OK OK OK
58,158 41,999 18,434
drift Δm antar tingkat 2,591 2,383 1,105 drift Δm antar tingkat 16,159 23,565 18,434
Syarat
Keterangan
80 80 80
OK OK OK
syarat
Keterangan
80 80 80
OK OK OK
Dari tabel diatas dapat diperhitungkan jarak dilatasi yang dibutuhkan dengan menjumlahkan Δs Bangunan I dan Bangunan II didapatkan hasil sebesar 1,95 mm. Syarat dilatasi antar bangunan d ≥ 4(δ1 maks + δ2 maks) = 7,8 mm d ≥ 0,004 h = 16 mm d ≥ 7,5 cm = 75 mm Maka, jarak sela dilatasi yang dibutuhkan sebesar 75 mm
9
Efisiensi Jarak antar pondasi tiang yang berdekatan Dalam perancangan tiang/kelompok tiang, jarak antar tiang yang terlalu dekat dapat menimbulkan keruntuhan. Coduto (1994) memberi petunjuk bahwa keruntuhan blok hanya terjadi jika jarak tiang sangat dekat, yaitu kurang dari 2, sehingga kondisi keruntuhan ini jarang terjadi.
S
30 35
100 3 5
30 35
50
30
35
100
30
L=150 cm Gambar 10. Jarak antar tiang
L = 150 cm, maka s = 109,659. Dengan diameter 30 cm, maka = 3,655. Sehingga jarak antar tiang dapat dikatakan aman. Pada gambar 11. ditunjukkan dua tiang dukungan ujung dengan gelembung tekanan. Intensitas tekanan pondasi tiang pada bagian dalam lebih besar oleh akibat tumpang tindih tekanan dari masingmasing tiang. Jika jarak tiang diantara 3d-3,5d dalam kasus ini, biasanya tumpang tindihnya tegangan yang dapat menyebabkan penurunan local ini dapat dihindari. Dan dalam kasus ini dengan diameter 30 cm, maka 3d-3,5d = 90-105 cm dan dengan jarak 109,659 cm, maka syarat ini jelas terpenuhi.
Q
Q
Tanah Lunak
Tanah Keras
Gambar 11. Tumpang Tindih Tekanan
10
5. KESIMPULAN a.
Panjang balok kantilever dalam system dilatai ini dipengaruhi oleh jarak antar pondasi, peralatan pekerjaan pondasi, dimensi pondasi, dan jenis pondasi. b. Bentang kantilever yang dianggap aman adalah 2/3 bentang balok induk, maka dipilih bentang sepanjang 1,5 meter. Yang mana dengan bentang ini, pondasi yang paling memenuhi adalah pondasi Bored Pile. c. Pondasi Tiang Pancang memiliki kekurangan dalam hal besar luasan pengoperasian alat dan Pondasi Sumuran memiliki jarak minimum antar pondasi yang mana keduanya tidak dapat diterapkan dalam sistem seperti ini dengan jarak antar pondasi yang hanya 1,5 meter. d. Jika jarak kolom dengan kolom terlalu dekat, akan menimbulkan luasan plat fondasi yang dibutuhkan akan saling menutup (overlapping), sehingga jarak minimal antar pondasi harus diperhitungkan dengan seksama. e. Balok kantilever yang didesain memiliki lendutan sebesar 0,6989 mm < lendutan ijin sebesar 10 mm. f. Setelah dianalisa berdasarkan simpangan, maka bangunan ini didesain dengan gap (sela) dilatasi sebesar 75 mm. Saran a. Untuk gedung yang berhimpit karena dilatasi, desain gap bangunan dirancang sedemikian sehingga apabila terjadi gempa, bangunan tersebut tidak saling bertubrukan. Dan perancangan pondasi pun dilakukan secara terpisah. b. Bentang dari balok kantilever harus diperhatikan agar tidak terjadi lendutan yang berlebihan. c. Pemilihan pondasi haruslah sesuai dengan keadaan disekitarnya. Apakah bangunan tersebut berdekatan atau tidak. Dan jika berdekatan, apakah akan mengganggu bangunan disekitarnya. d. Untuk selanjutnya, analisa ini dapat diteliti dengan gedung tidak beraturan.
Daftar Pustaka Asiyanto. 2009. Metode Konstruksi untuk Pekerjaan Pondasi. Penerbit Universitas Indonesia. Badan Standarisasi Nasional, Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung SNI – 03 – 1726 – 2002 Badan Standarisasi Nasional, Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung SNI – 03 – 1726 – 2010 Dipohusodo,Istimawan.1996. Struktur Beton Bertulang. Gramedia Frick, Ir. Heinz & Puja L. Setiawan. 2001. Seri Konstruksi Arsitektur 4: Ilmu Konstruksi Struktur Bangun. Kanisius. Wijaya, Geraldie Lukman. 2011. Studi Perbandingan Gaya Gempa pada Bangunan Tingkat Rendah di Jakarta Berdasarkan SNI 03-1726-1989, SNI 03-1726-2002, dan SNI 03-1726-2011. Depok. HS, Ir. Sardjono. 1991. Pondasi Tiang Pancang I. CV Sinar Wijaya. Surabaya. Hardiyatmo, Hary Christady. 2011. Analisis dan Perancangan Fondasi II. Gadjah Mada University Press. Juwana, Ir. Jimmy S. 2005. Sistem Bangunan Tinggi. Kementrian Pekerjaan Umum. 2010. Peta Hazard Gempa Indonesia 2010. Jakarta.
11
Khozin, Nur dan Saryono Andi Darmawan. Perencanaan Struktur Gedung Apartemen Permata Berlian Jakarta. Kurniawan, Rendy dan Rudy Raharja. 2009. Perencanaan Struktur Gedung Bank NISP Jalan Sisingamangaraja Nomor 78-80 Semarang. Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang. McCormac, Jack C. 1986. Desain Beton Bertulang. Erlangga. Schodek, Daniel L. 1998. Struktur. PT Refika Aditama. Setiyarto, Y. Djoko. Komputer Aplikasi Sipil 7 (SAP2000). Fakultas Teknik & Komputer UNIKOM. T, Ir. Gunawan & Ir. Margareth S. Teori Soal dan Penyelesaian Mekanika Teknik I. Tarigan, Johannes. 2007. Kajian Struktur Bangunan Di Kota Medan Terhadap Gaya Gempa Di Masa Yang Akan Datang. Universitas Sumatera Utara. Medan. Wibowo, Amdhani Prihatmoko. 2012. Perencanaan Struktur Gedung Beton Bertulang Dengan Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SPRMK) Dan Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah (SPRMM). Universitas Negeri Yogyakarta.
12