ANALISA KEKERINGAN MENGGUNAKAN METODE THEORY OF RUN PADA SUB DAS NGROWO
JURNAL
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik
Disusun oleh :
ADYANSAH PRATAMA NIM. 0910640020-64
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK MALANG 2014
ANALISA KEKERINGAN MENGGUNAKAN METODE THEORY OF RUN PADA SUB DAS NGROWO
JURNAL
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik
Disusun oleh:
ADYANSAH PRATAMA NIM. 0910640020-64
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr.Ery Suhartanto, ST. MT. NIP. 19730305 199903 1 002
Dr. Eng. Donny Harisuseno, ST. MT. NIP. 19750227 199903 1 001
ANALISA KEKERINGAN MENGGUNAKAN METODE THEORY OF RUN PADA SUB DAS NGROWO 1
Adyansah Pratama1, Ery Suhartanto2, Donny Harisuseno2 Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya 2 Dosen Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya e-mail:
[email protected] ABSTRAK
Masalah kekeringan merupakan salah satu masalah rutin yang selalu terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, dengan penanganan untuk pencegahan dan penanggulangan yang lamban maka hal tersebut menjadi masalah berkepanjangan yang tidak terselesaikan. Terjadinya pergeseran musim dapat mengakibatkan kemarau panjang sehingga terjadi kekeringan. Tujuan dari studi ini adalah melakukan analisa untuk mengetahui tingkat kekeringan dan durasi kekeringan yang dapat terjadi di suatu daerah, sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh. Salah satu metode untuk analisa kekeringan adalah menggunakan metode theory of run. Metode ini bertujuan untuk melakukan penghitungan kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang dan jumlah kekeringan terbesar pada lokasi stasiun hujan yang tersebar di suatu wilayah. Data hujan yang digunakan adalah data hujan bulanan selama 20 tahun (1993-2012) dari 18 stasiun hujan. Setelah melakukan analisa kekeringan menggunakan metode theory of run dibuat peta kekeringan dengan bantuan metode interpolasi kriging pada software Arc GIS. Hasil studi menunjukkan bahwa durasi kekeringan paling lama sebesar 17 bulan yang terjadi pada tahun 1998, untuk jumlah kekeringan kumulatif terbesar terjadi juga pada tahun 1998 dengan jumlah -2303 mm. Dari hasil analisa juga disimpulkan bahwa kekeringan meteorologi berhubungan dengan kekeringan hidrologi. Selain itu kekeringan meteorologi yang terjadi juga memiliki korelasi terhadap nilai SOI (Southern Oscillation Index) yang merupakan indikator terjadinya El Nino. Kata Kunci: analisa kekeringan, theory of run, peta sebaran kekeringan, kriging
ABSTRACT The drought was one routine problems that always occur in some areas in Indonesia, with the slowly treatment for the prevention and control it becomes prolonged problems were not solved. The change of seasons comes can affected long dry season which can change to be a drought. The purpose of this study was to analyze and determine the drought level and drought duration in an area that can be used as an early warning tool (warning system). One of method drought analysis was the theory of run method. This method has purposed to determine the longest drought duration and biggest drought severety amount in every rainfall station which spread in some location. The data used were the monthly rainfall data for 20 years (1993-2012) of 18 rainfall stations. After drought analysis, the distribution maps can be obtained by kriging interpolation method in the ArcGIS software. The results of the study showed that, the longest drought occurred 17 months in 1998, for biggest drought severety amount -2303 mm occurred in 1998. After drought analisis can be concluded that meteorological drought have relation with hidrological drought. In other side meteoroligcal drought also have relation with SOI (Southern Oscillation Index) value which this value is indicator for El Nino phenomena. Keywords: drought analysis, theory of run, drought distribution map, kriging
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kekeringan menjadi hal rutin yang terjadi di Indonesia, tetapi penanganan untuk pencegahan dan penanggulangan sangat lamban sehingga menjadi masalah berkepanjangan yang tidak
terselesaikan. Bahkan terus berulang dan semakin menyebar ke daerah-daerah yang tadinya tidak berpotensi terjadi kekeringan. Terjadinya pergeseran musim dapat mengakibatkan kemarau panjang sehingga terjadi kekeringan. Pada tahun 2009 Balai Besar Wilayah Sungai Bran-
tas mengeluarkan peta rawan Kekeringan di Wilayah Sungai Brantas, Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung termasuk lokasi yang rawan kekeringan. Selain itu Badan Nasional Penanggulangan Bencana juga menyatakan Wilayah Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungangung memiliki tingkat resiko kekeringan yang tinggi. 1.2 Tujuan Tujuan dari studi ini adalah melakukan analisa untuk mengetahui tingkat kekeringan dan durasi kekeringan yang terjadi pada Sub DAS Ngrowo sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh. 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan diawali dengan berkurangnya jumlah curah hujan dibawah normal pada satu musim, kejadian ini adalah kekeringan meteorologis yang merupakan tanda awal dari terjadinya kekeringan. Tahapan selanjutnya adalah berkurangnya kondisi air tanah yang menyebabkan terjadinya stress pada tanaman (disebut kekeringan pertanian), Tahapan selanjutnya terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah yang ditandai menurunya tinggi muka air sungai ataupun danau (disebut kekeringan hidrologis). Kekeringan dibagi menjadi 3 jenis yaitu: a) Kekeringan Meteorologi (Meteorology Drought) Didefiniskan sebagai kekurangan hujan dari yang normal atau diharapkan selama periode waktu tertentu. Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan. b.) Kekeringan Pertanian (Agricultural Drought) Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis. Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tidak
mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Dicirikan dengan kekurangan lengas tanah, parameter yang menentukan potensi produksi tanaman. c) Kekeringan Hidrologi (Hydrological Drought) Didefinisikan sebagai kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah dalam bentuk air di danau dan waduk, aliran sungai, dan muka air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. 2.2
Metode Analisa Indeks Kekeringan Kekeringan meteorologis merupakan indikasi awal dalam terjadinya kekeringan, sehingga perlu dilakukan analisa untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi. Hasil analisa tersebut dapat digunakan sebagai peringatan awal akan terjadinya kekeringan yang lebih jauh. Adapun macam-macam analisa indeks kekeringan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: a) Percent of Normal b) Desil c) Standardized Precipitation Index (SPI) d) Palmer Drought Severity Index (PDSI) e) Theory of Run (Adidarma, 2010:31)
2.3 Metode Theory of Run Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Yjevich pada Agusutus 1967, pada tahun 2004 Departemen Pekerjaan Umum membuat pedoman perhitungan indeks kekeringan menggunakan teori run. Metode ini bertujuan untuk melakukan penghitungan indeks kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang dan jumlah kekeringan terbesar pada lokasi stasiun hujan yang tersebar di suatu wilayah. Pengertian teori Run adalah perbandingan panjang defisit air dan jumlah defisit air. Prinsip perhitungan teori Run
mengikuti proses peubah tunggal (univariate). 3. METODOLOGI 3.1 Data Hujan Di dalam analisa kekeringan menggunakan metode theory of run untuk suatu lokasi, dibutuhkan data curah hujan bulanan dengan periode waktu yang cukup panjang. Dalam studi ini digunakan data curah hujan bulanan tahun 1993-2012 di 18 stasiun hujan seperti pada Gambar 3.1.
b) Menghitung nilai surplus dan defisit run dengan mengurangkan data asli tiap-tiap bulan setiap tahunnya dengan rata-rata dari seluruh data pada bulan tersebut seperti pada persamaan berikut: Jika Y (m) < X (t,m), maka D(t,m) = X (t,m) β Y (m) c) Melakukan kekeringan, persamaan: πΏπ =
Gambar 3.1 Peta Lokasi Stasiun Hujan di Sub DAS Ngrowo 3.2
Analisa Hidrologi
Data dapat dikatakan valid jika memenuhi beberapa kriteria (Soemarto, 1987), yaitu bahwa data itu berada dalam range, tidak mempunyai trend, homogen dan bersifat acak. Pada studi ini analisa hidrologi yang digunakan adalah:
a) Pengisian data hilang b) Uji homogenitas data hujan c) Uji konsistensi d) Uji inlier-outlier Analisa hidrologi yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data hujan yang layak untuk digunakan. 3.3
Perhitungan durasi kekeringan dan jumlah kekeringan Langkah analisa kekeringan menggunakan teori run yang dilakukan adalah sebagai berikut: a) Analisa Parameter Statistik Curah Hujan, dengan menghitung nilai ratarata, simpangan baku, koefisien kepencengan dari masing-masing bulan selama 20 tahun.
(3-1)
perhitungan durasi dengan menggunakan
π π =1
π΄(π‘, π)
(3-2)
Bila perhitungan yang dihasilkan adalah positif, diberi nilai nol (0) dan negatif akan diberi nilai satu (1). Bila terjadi nilai negatif yang berurutan, maka jumlahkan nilai satu tersebut sampai dipisahkan kembali oleh nilai nol, untuk kemudian menghitung dari awal lagi. Langkah ini dilakukan dari data tahun pertama berurutan terus sampai data tahun terakhir. d) Melakukan perhitungan jumlah kekeringan, dengan menggunakan persamaan: π·π =
π π =1
π· π‘, π π΄(π‘, π)
(3-3)
Proses ini hampir sama dengan cara menghitung nilai durasi kekeringan. Jika durasi kekeringan berurutan dan lebih dari satu maka pada bulan selanjutnya merupakan nilai kumulatifnya, demikian pula halnya dengan jumlah kekeringan. Jumlah defisitnya akan dikumulatifkan dengan acuan apakah nilainya surplus atau defisit. Jika bernilai positif maka diberi nilai nol (0), jika bernilai negatif maka diberi nilai sesuai dengan nilai tersebut. Ketika terjadi nilai negatif yang berurutan maka nilainya dikomulatifkan di bulan selanjutnya dan berhenti ketika bertemu nilai positif atau nol.
e) Klasifikasi tingkat kekeringan bertujuan untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi di setiap stasiun hujan. Klasifikasi dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu: Tabel 3.1 Klasifikasi Tingkat Kekeringan Curah Hujan dari Tingkat Kondisi Normal Kekeringan 70-85% Kering 50-70% Sangat kering Amat sangat <50% kering Sumber: Sonjaya (2007:2) Untuk klasifikasi kekeringan diperlukan juga menghitung jumlah curah hujan normal. Curah hujan normal adalah nilai rata-rata hujan suatu bulan di seluruh tahun pengamatan. Selain curah hujan normal dihitung juga jumlah curah hujan bulan-bulan kering, dilakukan dengan cara menjumlahkan curah hujan bulan-bulan kering yang berurutan. Jumlah curah hujan bulan-bulan kering dibandingkan dengan jumlah curah hujan normal maka didapatkan klasifikasi tingkat kekeringan. f) Setelah perhitungan dilakukan pada seluruh stasiun hujan selama 20 tahun, dilakukan rekapitulasi untuk nilai durasi kekeringan, jumlah kekeringan dan kriteria kekeringan. Jika kita menggunakan kurun waktu T = 5 tahun maka kita dapat mengetahui nilai maksimal setiap 5 tahun pengamatan. 3.4
Analisis Spasial Durasi Kekeringan dan Kriteria Kekeringan Peta sebaran hasil kekeringan dibuat dengan menggunakan software ArcGIS 9.3. Proses interpolasi dilakukan dengan metode Kriging. Interpolasi Kriging adalah suatu metode dalam melakukan estimasi suatu nilai dari sebuah titik pada tiap-tiap grid dengan memperhatikan nilai dari sebuah titik yang memiliki nilai yang sebenarnya. Metode ini ditemukan oleh D.L. Krige untuk memperkirakan nilai dari bahan tambang. (Harto, 1993:
63). Metode ini menggunakan semivariogram yang mere-presentasikan perbedaan spasial dan nilai diantara semua pasangan sampel data. Semivariogram juga menunjukkan bobot (weight) yang digunakan dalam interpolasi. Pada studi ini digunakan tipe Ordinary Kriging. Setelah diperoleh nilai durasi kekeringan dan kriteria kekeringan untuk masingmasing stasiun hujan, maka dilakukan analisa spasial dengan membuat peta sebaran kekeringan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui sebaran kekeringan meteorologis di wilayah kajian. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Durasi Kekeringan dan Kriteria Kekeringan Berdasarkan analisa kekeringan menggunakan metode theory of run durasi kekeringan paling lama sebesar 17 bulan yang terjadi pada tahun 1998 di stasiun hujan Pule. Kekeringan tersebut merupakan lanjutan dari tahun sebelumnya yaitu tahun 1997. Dimulai pada bulan Januari 1997 hingga Mei 1998. Jumlah kekeringan kumulatif terbesar terjadi juga pada stasiun hujan Pule yang terjadi pada tahun 1998 dengan jumlah -2303 mm. Kekeringan tersebut merupakan kumulatif dari tahun sebelumnya yaitu tahun 1997. Dimulai pada bulan Januari 1997 hingga Mei 1998. 4.2 Analisa Peta Sebaran Kekeringan Berdasarkan hasil pembuatan peta sebaran kekeringan, tahun paling kering terjadi pada tahun 1997, sedangkan tahun paling basah terjadi pada tahun 2010. Dapat dilihat pada gambar berikut:
a)
b)
c)
d)
Gambar 4.1 Peta Sebaran Kekeringan pada Sub DAS Widas (a) Tahun Terkering 1997, (b) Durasi Kekeringan Terbesar 1997, (c) Tahun Terbasah 2010 (d) Durasi Kekeringan Terkecil 2010
Gambar 4.2 Grafik Hasil Perbandingan Nilai Surplus Defisit Run dan Data Debit Pos Duga Air Kali Keser Sumber: Hasil Perhitungan 4.3 Hasil Survey di Lapangan Pada studi ini kekeringan dihitung berdasarkan besaran curah hujan yang terjadi, yang berarti merupakan kekeringan meteorologis. Untuk mengetahui keterkaitan kekeringan meteorologis dengan kekeringan pertanian dan hidrologis, maka dilakukan survey/verifikasi di lapangan. Survey lapangan dilakukan ke BPBD dan Dinas Pertanian Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek yang dilaksanakan pada tanggal 27 Maret 2014 dan 14 April 2014. Data tercatat yang didapatkan terbatas hanya 2 tahun. Menurut BPBD Kabupaten Trenggalek dan Tulungagung, daerah yang kerap mengalami kekeringan adalah kecamatan Pagerwojo, Karangrejo, Tanggunggunung, Kauman, Sendang, Pucanglaban, Bandung, Pakel, Panggul, Karangan, Dongko, Suruh, Pule, Kampak, Munjungan, Watulimo, Tugu, Bendungan, Trenggalek, Pogalan, Durenan. Sedangkan data dari dinas pertanian Kabupaten Tulungagung Kecamatan yang sering mengalami kekeringan pertanian adalah Kecamatan Karangrejo, Kauman, Pucanglaban, Bandung, Pakel. Berdasarkan hasil perhitungan, kekeringan yang terjadi selama 20 tahun penga-
matan Kecamatan yang sering mengalami kekeringan adalah Kecamatan Kauman dan Kalidawir. Jika dibandingkan dengan data kejadian kekeringan yang didapat dari BPBD dan Dinas Pertanian hanya 1 Kecamatan saja yang sesuai yaitu Kecamatan Kauman, sedangkan Kecamatan yang lain tidak sesuai. Sedangkan kekeringan hidrologi dapat dilihat dengan melakukan pengamatan pada debit sungai atau muka air sungai, pada studi ini perbandingan dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan dan data AWLR pada Pos Duga Air Kali Keser. Karena keterbatasan data yang didapat analisa hanya dilakukan pada tahun yang terdapat pencatatan data debitnya, yaitu tahun 1997, 1998, 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008. Pos duga air Kali Keser terletak pada Kali Keser, maka analisa kekeringan yang dilakukan pada stasiunstasiun hujan yang terletak pada hulu Kali Keser yaitu K.D.PU.AIR, Boyolangu, Ngantru, dan Gandekan. Grafik hasil perbandingan nilai surplus defisit run dan data debit Pos Duga Air Kali Keser dapat dilihat pada gambar 4.2.
Gambar 4.3 Grafik Hasil Perbandingan Nilai SOI dan Nilai Surplus Defisit Run Sumber: Hasil Perhitungan Dari gambar 4.2 terlihat bahwa ada hubungan antara nilai surplus dan defisit terhadap data debit. Ketika terjadi nilai defisit maka debit air pun juga mengalami penurunan, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai surplus maka debit mengalami peningkatan. Kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997 di mana terjadi nilai defisit di sepanjang tahun diikuti juga dengan debit hampir bernilai 0 m3/detik. Pada tahun 1998 terjadi nilai surplus hampir sepanjang tahun, hal tersebut diikuti juga dengan peningkatan debit air pada pos duga air Kali Keser. Pada tahun 2002 terjadi nilai defisit hanya beberapa bulan, hal tersebut hanya mengakibatkan penurunan debit namun tidak sampai bernilai 0 m3/detik seperti tahun 1997. Debit kembali naik pada awal 2003 diikuti dengan nilai surplus. Untuk membandingkan apakah kekeringan yang terjadi di Sub DAS Ngrowo dipengaruhi juga oleh faktor peristiwa ENSO, maka perbandingan yang dilakukan adalah dengan membandingkan nilai surplus dan defisit run untuk satu DAS terhadap data ENSO berupa nilai indeks osilasi selatan/southern oscillation index (SOI) yang bersumber dari Australian Government Bureau of Meteorology. Hasil perbandingan dapat dilihat pada gambar 4.3.
Dari gambar 4.3 terlihat bahwa ada hubungan antara nilai surplus dan defisit terhadap data SOI. Ketika terjadi nilai defisit maka SOI bernilai negatif, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai surplus maka SOI bernilai positif. Kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997, di mana nilai defisit terjadi sepanjang tahun begitu juga nilai SOI negatif sepanjang tahun. Pada tahun 1998 ketika nilai SOI berubah menjadi positif diikuti juga dengan perubahan nilai run dari defisit menjadi surplus. Sedangkan tahun terbasah adalah tahun 2010 di mana nilai surplus terjadi sepanjang tahun diikuti dengan nilai SOI yang positif juga sepanjang tahun. 4.4 Trend Kejadian Kekeringan Kekeringan dengan kriteria kering dan agak kering dengan durasi > 6 bulan terjadi 3-5 tahun sekali. Yaitu tahun 1994, 1997, 2002, 2006. Namun pada tahun-tahun selanjutnya tidak terjadi kekeringan dengan kriteria kering atau agak kering, trend yang terjadi cenderung menjadi tahun sedang, agak basah dan basah.
5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan a) Berdasarkan analisa kekeringan menggunakan metode theory of run durasi kekeringan paling lama sebesar 17 bulan yang terjadi pada tahun 1998 di stasiun hujan Pule. Kekeringan tersebut merupakan lanjutan dari tahun sebelumnya yaitu tahun 1997. Dimulai pada bulan Januari 1997 hingga Mei 1998. b) Jumlah kekeringan kumulatif terbesar terjadi juga pada stasiun hujan Pule yang terjadi pada tahun 1998 dengan jumlah -2303 mm. Kekeringan tersebut merupakan kumulatif dari tahun sebelumnya yaitu tahun 1997. Dimulai pada bulan Januari 1997 hingga Mei 1998. c) Berdasarkan hasil pembuatan peta sebaran kekeringan dengan menggunakan bantuan metode kriging pada software Arc GIS, tahun paling kering terjadi pada tahun 1997, sedangkan tahun paling basah terjadi pada tahun 2010. d) Pada studi ini belum terlihat hubungan antara kekeringan meteorologi dengan kekeringan pertanian, hal tersebut disebabkan data kekeringan pertanian yang didapatkan tidak mencukupi. Berdasarkan perbandingan antara hasil analisa kekeringan terhadap data debit Kali Keser dapat disimpulkan bahwa kekeringan meteorologi berhubungan dengan kekeringan hidrologi. Terlihat bahwa ada hubungan antara nilai surplus dan defisit terhadap data debit. Ketika terjadi nilai defisit maka debit air pun juga mengalami penurunan, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai surplus maka debit mengalami peningkatan. Selain itu kekeringan meteorologi yang terjadi juga memiliki korelasi terhadap nilai SOI. Ketika terjadi nilai defisit maka SOI bernilai negatif, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai surplus maka SOI bernilai positif. SOI tersebut merupakan in-
dikator terjadinya El Nino, semakin kecil nilai SOI maka akan terjadi El Nino yang kuat hal tersebut menyebabkan terjadinya kekeringan yang panjang. 5.2 Saran a) Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat diperlukan data hujan yang panjang, karena semakin panjang data hujan yang dimiliki maka kita dapat melihat trend kekeringan yang terjadi. Kualitas data hujan juga harus diper-hatikan, apakah data hujan yang didapatkan tidak terdapat banyak data kosong. b) Analisa kekeringan menggunakan metode theory of run perlu dibandingkan dengan analisa kekeringan menggunakan metode yang lain, sebagai pembanding apakah hasil dari analisa masing-masing metode terjadi perbedaan atau tidak. c) Dalam pembuatan peta kekeringan perlu juga dibandingkan dengan metode interpolasi yang lain, dengan tujuan untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan atau tidak pada peta yang dihasilkan. d) Ketersediaan data pendukung lainnya seperti data kekeringan dari dinas pertanian, BPBD, data pencatatan debit juga dibutuhkan untuk verifikasi apakah hasil analisa kekeringan benar-benar terjadi di lapangan.
6. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3. 4. 5.
6.
Adidarma, W., 2010, Diktat Pelatihan Kekeringan, Balai Hita, Puslitbang SDA, Bandung. Departemen Pekerjaaan Umum. 2004. Perhitungan Indeks Kekeringan Menggunakan Teori Run. Bandung: Departemen Pekerjaaan Umum. Harto Br, Sri. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Soemarto, C.D. 1987. Hidrologi Teknik. Surabaya: Usaha Nasional. Sonjaya, Irman. 2007. Analisa Standardized Precipitation Index (SPI) di Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ersyidarfia, N., Fauzi, M. & Sujatmoko, B. 2012. Perhitungan Indeks Kekeringan Menggunakan Teori Run pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri. Riau: Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau.