ANALISIS POTENSI KEKERINGAN MENGGUNAKAN THEORY OF RUN (STUDI KASUS SUB DAS BENGAWAN SOLO HULU)
JEMMY ARISMAYA
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Potensi Kekeringan Menggunakan Theory Of Run (Studi Kasus Sub Das Bengawan Solo Hulu) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2016
Jemmy Arismaya NIM F44120009
ABSTRAK JEMMY ARISMAYA. Analisis Potensi Kekeringan Menggunakan Theory Of Run (Studi Kasus Sub Das Bengawan Solo Hulu). Dibimbing oleh ASEP SAPEI. Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo menyimpan potensi bencana jika tidak dijaga. Salah satu potensi bencana tersebut adalah kekeringan pada musim kemarau. Tujuan dari studi ini adalah melakukan analisis untuk mengetahui tingkat kekeringan, durasi kekeringan dan pola kekeringan yang dapat terjadi di Sub DAS Bengawan Solo Hulu, sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan. Analisis potensi kekeringan dilakukan dengan theory of run. Berdasarkan hasil penelitian, durasi kekeringan tahunan dari delapan stasiun ratarata 5.33 bulan, sedangkan jumlah kekeringan rata-rata 352 mm. Kondisi terkering (kekeringan terlama) berdasarkan durasi dan jumlah kekeringan terjadi pada tahun 2003 dan terbasah (kekeringan terpendek) pada tahun 2010. Pola yang dapat dilihat adalah adanya pengulangan durasi kekeringan lebih dari 6 bulan dengan kriteria kering terjadi dalam periode 5 tahunan. Wilayah yang memerlukan perhatian lebih dalam untuk penanggulangan kekeringan adalah Pracimantoro. Kata Kunci: pola kekeringan, potensi kekeringan, Sub DAS Bengawan Solo Hulu, theory of run
ABSTRACT JEMMY ARISMAYA. Drought Potention Analysis Using Theory of Run (Study Case on Upstream Bengawan Solo Sub Watershed). Supervised by ASEP SAPEI. Bengawan Solo River basin have disaster potention if not guarded. One of the potential disaster is the drought in the dry season. The purpose of this study was to conduct an analysis to find out the level of dryness, the duration of drought and drought patterns that can occur in the Upstream Bengawan Solo Sub Watershed, so it can serve as an early warning of drought. Analysis of drought potential was done using theory of run. Based on the research result, the mean yearly drought duration of eight stations was 5.33 month, while the yearly drought amount was 352 mm. Based on the duration and amount of the drought, the longest drought was happened in 2003 and the shortest drought in 2010. Patterns that can be seen was the repetition of the duration of the drought more than 6 months with dry criteria occured in 5 years period. The area that required more attention of the drought problem was Pracimantoro. Keywords: drought patterns, drought potention, theory of run, upstream Bengawan Solo Sub Watershed
ANALISIS POTENSI KEKERINGAN MENGGUNAKAN THEORY OF RUN (STUDI KASUS SUB DAS BENGAWAN SOLO HULU)
JEMMY ARISMAYA
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
iii
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji serta syukur bagi Allah SWT yang telah memberi karunia kesehatan dan kesempatan sehingga karya ilmiah yang berjudul “Analisis Potensi Kekeringan Menggunakan Theory of Run (Studi Kasus Sub DAS Bengawan Solo Hulu)” dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat kelulusan pada Program Studi Strata Satu (S1) Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih diucapkan kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam membantu secara langsung maupun tidak langsung, khususnya kepada. 1. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S sebagai dosen pembimbing tugas akhir yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan saran. 2. Dr. Ir. M. Yanuar Jarwadi Purwanto, M.S., IPM. dan Dr. Yudi Chadirin, S.TP., M. Agr sebagai dosen penguji tugas akhir. 3. Ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya yang begitu besar. 4. Saudari Endeh Badryah yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan motivasi. 5. Sahabat-sahabat terbaik, yaitu Alifia Octasuzan, Tiar Ansori, Halimanto Sapta T., Nurul Hidayati, Tadzalli Tigin Syahidan, Fajar Nur Huda, dan M. Arif Setiawan atas dukungan dan semangatnya. 6. Saudara Hendro Priyono dan Denny Syafrudin yang selalu mendukung saat praktik lapang di BBWS Bengawean Solo. 7. Rekan-rekan di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor Angkatan 49 (SIL 49) atas dukungannya. Disadari bahwa dalam karya tulis ini terdapat banyak kekurangan. Harapannya segenap pihak yang terkait dapat memberikan saran, tanggapan, dan solusi yang membangun dalam penyempurnaan karya ilmiah ini.
Bogor, Oktober 2016 Jemmy Arismaya
iv
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
v v v
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Kekeringan Theory of Run
3 3 5
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian
6 6 6 7
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Daerah Penelitian Pengumpulan Data dan Uji Kepanggahan Durasi dan Jumlah Kekeringan Pola Kekeringan
11 11 11 14 16
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
20 20 20
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
20 22 27
v
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4.
Klasifikasi tingkat kekeringan Kriteria stasiun pembanding Hasil uji korelasi Klasifikasi kekeringan
9 12 13 16
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Durasi dan jumlah defisit curah hujan Pos Bojong Pekalongan Diagram alir penelitian Sub DAS Bengawan Solo Hulu Hubungan curah hujan stasiun Klaten dengan 7 stasiun lain Kurva defisit dan surplus curah hujan Stasiun Klaten Durasi kekeringan Stasiun Klaten Jumlah kekeringan Stasiun Klaten Durasi kekeringan terpanjang Durasi kekeringan terpendek Lokasi wilayah terkering dengan lokasi waduk dan daerah irigasi
6 10 11 13 14 15 15 17 18 19
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4.
Data durasi kekeringan Data jumlah kekeringan Data curah hujan tahunan Peta lokasi stasiun hujan di sub DAS Bengawan Solo Hulu
23 24 25 26
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo merupakan wilayah sungai yang berada di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sesuai dengan namanya, Sungai Bengawan Solo adalah sungai utama yang mengalir di sepanjang DAS Bengawan Solo. Sungai Bengawan Solo memiliki alur sepanjang ± 600 km. Sungai tersebut mengalir dari pegunungan Sewu di Selatan Surakarta hingga Laut Jawa di Utara Surabaya, menjadikannya sebagai sungai terpanjang di Pulau Jawa. Manfaat yang sangat besar dapat dirasakan oleh masyarakat di sekitar daerah aliran sungai tersebut. Sektor pertanian menjadi yang utama dalam pemanfaatannya, sesuai dengan besarnya luas area pertanian di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sektor lain yang juga memanfaatkan sumber daya air dari DAS Bengawan Solo diantaranya adalah sektor industri, rumah tangga, pemenuhan air PDAM dan kebutuhan-kebutuhan lainnya (BBWS 2012). Selain besarnya manfaat yang dapat dirasakan, Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo juga menyimpan potensi bencana jika tidak dijaga. Salah satu potensi bencana tersebut adalah kekeringan pada musim kemarau. Permasalahan ini memerlukan perhatian khusus agar dampak buruk yang mungkin timbul dari kekeringan dapat dicegah sedini mungkin. Mengacu pada hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa keadaan daerah aliran sungai ditinjau dari aspek potensi kekeringannya menjadi penting untuk diteliti. Terdapat banyak metode yang dapat diaplikasikan dalam menganalisis kekeringan, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Metode tersebut diantaranya adalah theory of run (Yjevich 1967) dalam (DPU 2004b), palmer drought severity index (PDSI), (Palmer 1965); rainfall anomaly index (RAI), (van Rooy 1965); deciles, (Gibbs dan Maher 1967); crop moisture index (CMI), (Palmer 1968); Bhalme and Mooley drought index (BMDI) (Bhalme dan Mooley 1980); surface water supply index (SWSI), (Shafer dan Dezman, 1982); standardized precipitation index (SPI), (McKee et al. 1995). Theory of run dipilih karena kelebihannya dalam menghitung durasi kekeringan terpanjang dan jumlah kekeringan terbesar dengan periode tertentu di suatu wilayah. Hal ini dapat menggambarkan wilayah dengan potensi kekeringan terbesar dan terpanjang, sehingga tujuan dari penelitian dapat tercapai. Metode ini telah digunakan untuk menganalisis kekeringan di banyak tempat, yang terbaru diantaranya di DAS Ngrowo oleh Pratama (2014), dan di DAS Ciujung oleh Oktaviani (2015). Metode ini juga telah dijadikan acuan dalam menganalisis kekeringan suatu daerah oleh Departemen Pekerjaan Umum. Salah satu bentuk aplikasinya adalah peluncuran buku acuan pembuatan indeks kekeringan dengan theory of run pada tahun 2004 (DPU 2004b). Metode ini merupakan salah satu metode yang dianjurkan oleh Departemen PU dalam menganalisis kekeringan. Prinsip perhitungan theory of run dilakukan mengikuti proses peubah tanggal (univariate). Rata-rata hujan bulanan jangka panjang sebagai nilai pembanding ditentukan terlebih dahulu, selanjutnyan seri data akan terpotong dibeberapa tempat, sehingga menimbulkan peubah baru. Peubah tersebut sebagai defisit dan surplus hujan sehingga defisit diartikan sebagai kekeringan pada daerah tersebut.
2 Analisis lebih lanjut dapat dilakukan dari data kekeringan yang sudah didapat (DPU 2004b). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kekeringan dan durasi kekeringan sehingga diperoleh pola kekeringan yang terjadi di Sub DAS Bengawan Solo Hulu.
Perumusan Masalah Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis potensi kekeringan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu, Jawa Tengah. Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimana kondisi kelayakan data curah hujan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu untuk dijadikan data awal analisis kekeringan. 2. Bagaimana Durasi kekeringan dan jumlah kekeringan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu sebagai data pembentuk pola kekeringan. 3. Bagaimana upaya penanggulangan kekeringan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kekeringan dan durasi kekeringan sehingga diperoleh pola kekeringan yang terjadi di Sub DAS Bengawan Solo Hulu.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai pertimbangan hidrologi pihak terkait dalam menyelenggarakan kebijakan terkait dengan kekeringan. Selain itu dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan upaya pencengahan kekeringan agar masyarakat di Sub DAS Bengawana Solo Hulu tidak terkena dampak dari bencana yang terjadi.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penelitian hanya membahas mengenai pola kekeringan meteorologis dengan menggunakan theory of run. Kekeringan yang di analisis merupakan kondisi ketika curah hujan bulanan aktual lebih kecil dari curah hujan normal. 2. Penelitian dilaksanakan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu, Jawa Tengah dengan menggunakan data-data sekunder seperti data curah hujan 30 tahun dari tahun 1985 sampai 2014, peta wilayah Sub DAS Bengawan Solo Hulu, dan peta jaringan irigasi Sub DAS Bengawan Solo Hulu. 3. Data hujan yang digunakan hanya data hujan dari stasiun pengamatan yang memenuhi nilai korelasi (>0.41).
3 TINJAUAN PUSTAKA
Kekeringan Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi secara perlahan (slow-onset disaster), berdampak sangat luas dan bersifat lintas sektor (ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain). Menurut Sen (1980), pada umumnya kekeringan terkait dengan keadaan defisit beberapa faktor. Contohnya pada sistem desain dan operasi sumber daya air, pola permintaan dan ketersediaan air berperan penting dalam mendefinisikan kekeringan. Sejalan dengan Sen, Raharjo (2010) dalam hasil penelitiannya menuturkan bahwa kekeringan terjadi dikarenakan pengurangan persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu tertentu. Defisit curah hujan secara langsung berpengaruh terhadap proses hidrologi, pertanian dan sumberdaya air. Oleh sebab itu, akan sangat berguna untuk menganalisis pola perubahan curah hujan, hal ini akan berguna dalam upaya mengontrol banjir dan kekeringan (Huang et al. 2013). Kekeringan merupakan fenomena alam yang tidak dapat dielakkan dan merupakan variasi normal dari cuaca yang perlu dipahami. Variasi alam dapat terjadi dalam hitungan hari, minggu, bulan, tahun, bahkan abad. Dengan melakukan penelusuran data cuaca dalam waktu yang panjang, akan dapat dijumpai variasi cuaca yang beragam, misalnya bulan basah-bulan kering, tahun basah-tahun kering, dan dekade basah-dekade kering. Berkurangnya curah hujan biasanya ditandai dengan berkurangnya air dalam tanah, sehingga pertanian merupakan sektor pertama yang akan terpengaruh. Cukup sulit untuk mengetahui kapan kekeringan akan dimulai dan berakhir, dan kriteria apa yang akan digunakan untuk menentukannya. Apakah kekeringan itu berakhir ditandai dengan faktor-faktor meteorologi dan klimatologi atau ditandai dengan berkurangnya dampak negatif yang dialami oleh manusia dan lingkungannya (BMKG 2014). Salah satu faktor penyebab anomali kekeringan adalah perubahan iklim. Menurut Madadgar dan Moradkhani (2013), perubahan iklim berpengaruh terhadap frekuensi kekeringan, tingkat kekeringan, dan durasi kekeringan. Hal ini berdampak terhadap berubahnya perencanaan sumberdaya air dan produksi pertanian. Faktor geografis juga berperan dalam munculnya bencana kekeringan pada suatu wilayah. Indonesia terletak di wilayah geografis dimana diapit oleh dua benua dan dua samudera. Indonesia juga terletak di sepanjang garis khatulistiwa. Semua fakta geografis ini membuat wilayah Indonesia rentan terhadap gejala kekeringan. Faktor lain yang juga mempengaruhi kekeringan adalah adanya monsoon. Menurut Attri dan Tyagi (2010) dalam Thomas dan Prasannakumar (2016) monsoon merupakan fenomena yang paling berpengaruh dalam mengontrol iklim regional, pada umumnya terbagi ke dalam dua musim hujan. Dua musim hujan tersebut yaitu southwest monsoon (Juni-September) dan northeast monsoon (Oktober-Desember). Adanya monsoon juga diketahui sangat sensitif terhadap perubahan ENSO atau El-Nino Southern Oscilation. ENSO inilah yang menjadi penyebab utama kekeringan yang muncul apabila suhu di 14 permukaan laut Pasifik equator tepatnya bagian tengah sampai bagian timur mengalami peningkatan suhu.
4 Perubahan iklim, monsoon dan anomali ENSO merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kekeringan dalam skala luas. Kekeringan juga dapat diperparah oleh faktor-faktor regional yang terjadi pada wilayah tertentu, antara lain: a) Terjadinya pergeseran DAS (Daerah Aliran Sungai) utamanya di wilayah hulu. Hal ini membuat lahan beralih fungsi, dari vegetasi menjadi nonvegetasi. Efek dari perubahan ini adalah sistem resapan air di tanah yang menjadi kacau dan akhirnya menyebabkan kekeringan. b) Terjadinya kerusakan hidrologis wilayah hulu sehingga waduk dan juga saluran irigasi diisi oleh sedimen. Hal ini kemudian menjadikan kapasitas dan daya tampung menjadi berkurang. Cadangan air yang kurang akan memicu kekeringan parah saat musim kemarau tiba. c) Persoalan agronomis atau dikenal juga dengan nama kekeringan agronomis. Hal ini diakibatkan pola tanam petani di Indonesia yang memaksakan penanaman padi pada musim kemarau dan mengakibatkan cadangan air semakin tidak mencukupi. Terdapat beberapa jenis kekeringan yang dapat dianalisis. Menurut Reed (1995), sedikitnya terdapat 4 jenis kekeringan yang dibedakan berdasarkan sifat dan penyebabnya. Empat jenis kekeringan tersebut adalah sebagai berikut. a) Kekeringan Meteorologis Kekeringan meteorologis berawal dari kurangnya curah hujan dan didasarkan pada tingkat kekeringan relatif terhadap tingkat kekeringan normal atau rata – rata dan lamanya periode kering. Perbandingan ini haruslah bersifat khusus untuk daerah tertentu dan bisa diukur pada musim harian dan bulanan, atau jumlah curah hujan skala waktu tahunan. Kekurangan curah hujan sendiri, tidak selalu menciptakan bahaya kekeringan. Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis adalah sebagai berikut: 1. Kering: apabila curah hujan antara 70%-85% dari kondisi normal (curah hujan dibawah kondisi normal). 2. Sangat kering: apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal (curah hujan jauh dibwah normal). 3. Amat sangat kering: apabila curah hujan <50% dari kondisi normal (curah hujan amat jauh dibawah normal). b) Kekeringan Hidrologis Kekeringan hidrologis mencakup berkurangnya sumber-sumber air seperti sungai, air tanah, danau dan tempat-tempat cadangan air. Kekeringan ini juga mencakup data tentang ketersediaan dan tingkat penggunaan yang dikaitkan dengan kegiatan wajar dari sistem yang dipasok (sistem domestik, industri, pertanian yang menggunakan irigasi). Salah satu dampaknya adalah kompetisi antara pemakai air dalam sistem-sistem penyimpanan air ini. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air sungai, waduk, danau, dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan. c) Kekeringan Pertanian Kekeringan pertanian adalah dampak dari kekeringan meteorologi dan hidrologi terhadap produksi tanaman pangan dan ternak. Kekeringan ini
5 terjadi ketika kelembapan tanah tidak mencukupi untuk mempertahankan hasil dan pertumbuhan rata-rata tanaman. Kebutuhan air bagi tanaman tergantung pada jenis tanaman, tingkat pertumbuhan dan sarana-sarana tanah. Kekeringan pertanian menghubungkan berbagai karakteristik meteorologi atau hidrologi dengan dampak pertanian. Kondisi kurang hujan dikaitkan dengan evapotranspirasi aktual dan potensi, air tanah yang menyusut, karakteristik dari tanaman tertentu seperti tingkat pertumbuhan, dan penyusutan aliran air sungai, waduk dan air tanah. d) Kekeringan Sosioekonomi Kekeringan sosioekonomi berhubungan dengan ketersediaan dan permintaan akan barang-barang dan jasa yang berkaitan dengan kondisi kekeringan. Ketika persediaan barang-barang seperti air atau jasa seperti energi listrik tergantung pada cuaca, kekeringan bisa menyebabkan adanya defisit atau kekurangan. Konsep kekeringan sosioekonomi mengenali hubungan antara kekeringan dan aktivitas-aktivitas manusia. Sebagai contoh, penggunaan lahan yang tidak baik semakin memperburuk dampak-dampak dan kerentanan terhadap kekeringan di masa mendatang. Tujuan analisis frekuensi data hidrologi adalah berkaitan dengan besaran peristiwa-peristiwa ekstrem yang berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan distribusi kemungkinan. Data hidrologi yang dianalisis diasumsikan tidak bergantung (independent) dan terdistribusi secara acak dan bersifat stokastik Dengan anggapan bahwa sifat statistik kejadian hujan yang akan datang masih sama dengan sifat statistik kejadian hujan di masa lalu (DPU 2004a).
Metode Theory of Run Prinsip perhitungan theory of run mengikuti proses peubah tanggal (univariate). Gambar 1 menunjukkan seri data, X (t,m), dari peubah hidrologi dalam hal ini hujan bulan m dan tahun ke t. Dengan menentukan rata-rata hujan bulanan jangka panjang sebagai nilai pemepatan, Y (m), seri data terpotong dibeberapa tempat, sehingga menimbulkan peubah baru. Pengertian baru yang timbul akibat perpotongan tersebut menghasilkan peubah seperti: 1. Bagian yang berada di atas garis normal (run positive), D (t,m), disebut surplus. 2. Bagian yang berada di bawah garis normal (run negative) disebut defisit. a) Jumlah bagian yang mengalami defisit berkesinambungan disebut jumlah kekeringan dengan satuan mm. b) Lama atau durasi terjadi pada bagian defisit yang berkesinambungan disebut durasi kekeringan dengan satuan bulan. Setelah nilai pemepatan ditentukan, dari seri data hujan dapat dibentuk dua seri data baru yaitu durasi kekeringan (Ln) dan jumlah kekeringan (Dn) seperti terlihat pada Gambar 1 (DPU 2004b). Jika Y (m) < X (t,m), maka, D (t,m) = X (t,m) – Y (m) (1) Jumlah kekeringan: Dn = Σi D (t,m) A (t,m) m=1 (2) Durasi kekeringan:
6 Ln = Σi A (t,m) m=1 (3) Keterangan: A (t,m) : indikator bernilai 0, jika Y (m) ≥ X (t,m) A (t,m) : indikator bernilai 1, jika Y (m) < X (t,m) A (t,m) : indikator defisit atau surplus t, m : tahun ke t; bulan ke m Y(m) : pemepatan bulan m X (t,m) : seri data hujan bulanan bulan m tahun t Dn : jumlah kekeringan dari bulan ke m sampai ke m+i (mm) Ln : durasi kekeringan dari bulan ke m sampai ke m+i (bulan) Run sebagai ciri statistik dari suatu seri data menggambarkan indeks kekeringan. Panjang run negatif menunjukkan lamanya kekeringan. Jumlah run negatif menunjukkan kekurangan air selama kekeringan. Durasi kekeringan terpanjang maupun jumlah kekeringan terbesar selama T tahun mencerminkan tingkat keparahan kekeringan. Seri data baru dipilah-pilah menjadi bagian-bagian dengan panjang data masing-masing T tahun, sesuai dengan periodenya seperti 10 atau 20 tahun. Jika data yang tersedia 60 tahun, maka ada 6 buah nilai durasi kekeringan terpanjang 10 tahunan dan 6 nilai jumlah kekeringan terbesar 10 tahunan. Nilai-nilai tersebut dihitung rataannya sehingga diperoleh indeks kekeringan berupa durasi kekeringan terpanjang periode T tahun dan jumlah kekeringan terbesar periode T tahun.
Gambar 1 Durasi dan jumlah defisit curah hujan Pos Bojong Pekalongan Telah banyak dilakukan penelitian mengenai kekeringan menggunakan metode theory of run. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Moye yang bertujuan untuk mencari urutan statistik panjang kekeringan (Moye dan Kapadia 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Retno yang bertujuan untuk memberikan strategi perencanaan penanganan kekeringan dari hasil analisis yang didapat (Retno 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Pratama bertujuan untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi pada Sub DAS Ngrowo sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh (Pratama 2014). Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani yang bertujuan untuk mengetahui durasi kekeringan dan jumlah kekeringan dengan periode ulang 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun dan 20 tahun di DAS Ciujung (Oktaviani 2015).
7 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret 2016 di Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo yang berlokasi di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Analisis data dilaksanakan dari bulan April hingga Juni 2016 di Kampus Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Exel untuk mengolah data dan ArcGis 9.3 untuk melakukan pemetaan. Bahan yang digunakan adalah data sekunder berupa data curah hujan bulanan selama 30 tahun di Sub DAS Bengawan Solo Hulu dari tahun 1985 sampai tahun 2014, peta wilayah Sub DAS Bengawan Solo Hulu, dan data wilayah irigasi di Sub DAS Bengawan Solo Hulu.
Prosedur Penelitian Langkah awal dari penelitian ini adalah mencari dan menentukan gagasan atau ide penelitian yang dilanjutkan dengan identifikasi masalah dan tujuan penelitian, kemudian studi literatur dan studi lapangan. Setelah itu, dilanjutkan dengan pengumpulan data. Langkah berikutnya adalah pengolahan data, kemudian dilakukan analisis data. Langkah-langkah penelitian disajikan dalam Gambar 2. Tahap Persiapan Pada tahap persiapan ini disusun hal-hal penting yang harus segera dilakukan dengan tujuan untuk mengefektifkan waktu dan pekerjaan. Tahap persiapan ini meliputi kegiatan sebagai berikut: 1. Menentukan kebutuhan data. 2. Studi pustaka landasan teori yang berkaitan dengan penanganan permasalahan untuk menentukan garis besar. 3. Survei lokasi untuk mendapatkan gambaran umum kondisi lokasi sehingga dari tahap persiapan ini dapat diketahui langkah-langkah penyelesaian pekerjaan secara berurutan dan teratur agar didapatkan hasil yang optimal. Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan berupa data sekunder. Data sekunder tersebut berupa data curah hujan bulanan selama 30 tahun di Sub DAS Bengawan Solo Hulu dari tahun 1985 sampai tahun 2014, peta wilayah Sub DAS Bengawan Solo Hulu, dan data wilayah irigasi di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Data sekunder didapat dari instansi terkait, studi pustaka, dan data-data hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini.
8 Analisis Hidrologi Suatu data dapat dikatakan valid jika memenuhi beberapa kriteria (Soemarto 1987), yaitu bahwa data itu berada dalam range, tidak mempunyai trend, homogen dan bersifat acak. Selain itu, data hidrologi yang dianalisis diasumsikan tidak bergantung (independent) dan terdistribusi secara acak dan bersifat stokastik Dengan anggapan bahwa sifat statistik kejadian hujan yang akan datang masih sama dengan sifat statistik kejadian hujan di masa lalu (DPU 2004a). Analisis hidrologi dilakukan untuk mendapatkan data hujan yang layak untuk digunakan. Pada studi ini analisis hidrologi yang digunakan adalah: 1. Pengisian data kosong Pengisian data kosong dilakukan untuk mengisi kekosongan data yang dapat terjadi salah satunya karena rusaknya alat di stasiun hujan. Pengisian data kosong ini dilakukan dengan metode reciprocal, dengan persamaan sebagai berikut (DPU 2004a). Pi=
PA P P + B +…+ N2 dxN dxA2 dxB2 1 1 1 + +…+ 2 dxN dxA2 dxB2
(4)
Keterangan: Pi : curah hujan di stasiun i yang akan dicari (mm) PA, B : curah hujan di stasiun pembanding A, B (mm) dxA, B : jarak antara stasiun pembanding A, B ke stasiun i (km) 2. Uji korelasi Uji korelasi dilakukan untuk mengukur kekuatan asosiasi linier antar dua variabel atau lebih. Uji korelasi ini dilakukan dengan metode pearson, dengan persamaan sebagai berikut (DPU 2004a). 1
α0,1,2,…,3 = n
∑ni=1(X0,i -μX0 )(X1,i -μX1 )(X2,i-μX2 )…(Xm,i -μXm ) μX0 .μX1 .μX2 …μXm
(5)
Keterangan: α : nilai koefisien korelasi X : variabel data curah hujan (mm) μ : rataan seri data hujan (mm) n : jumlah data 3. Uji kepanggahan Uji kepanggahan data dilakukan untuk mengetahui kontinuitas dari seri data yang diamati. Uji kepanggahan data ini dilakukan dengan metode kurva massa ganda. Metode ini menggunakan analisis regresi untuk mengukur kekuatan hubungan antar dua variabel atau lebih. Variabel yang diukur adalah seri data curah hujan dari stasiun hujan yang memenuhi uji korelasi (DPU 2004a). Perhitungan Durasi dan Panjang Kekeringan dengan Metode Theory of Run Langkah analisis kekeringan menggunakan theory of run yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Analisis parameter statistik curah hujan, dengan menghitung nilai rata-rata, simpangan baku, koefisien kepencengan dari masing-masing bulan selama 30 tahun.
9 2. Menghitung nilai surplus dan defisit dengan mengurangkan data asli tiap-tiap bulan setiap tahunnya dengan rata-rata dari seluruh data pada bulan tersebut seperti pada Persamaan (1) dan (2). 3. Melakukan perhitungan durasi kekeringan dengan menggunakan Persamaan (3). Bila perhitungan yang dihasilkan adalah positif, diberi nilai nol (0) dan negatif akan diberi nilai satu (1). Bila terjadi nilai negatif yang berurutan, maka nilai satu tersebut dijumlahkan sampai di pisahkan kembali oleh nilai nol, untuk kemudian menghitung dari awal lagi. Langkah ini dilakukan dari data tahun pertama berurutan terus sampai data tahun terakhir. 4. Melakukan perhitungan jumlah kekeringan dengan Persamaan (3). Jumlah defisit curah hujan dikumulatifkan dengan acuan apakah nilainya surplus atau defisit. Jika bernilai positif maka diberi nilai nol (0), jika bernilai negatif maka di beri nilai sesuai dengan nilai tersebut. Ketika terjadi nilai negatif yang berurutan maka nilainya dikumulatifkan di bulan selanjutnya dan berhenti ketika bertemu nilai positif atau nol. 5. Klasifikasi tingkat kekeringan bertujuan untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi di setiap stasiun hujan. Klasifikasi kekeringan menurut Palmer dalam Sonjaya (2007) dibagi menjadi 3 tingkatan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi tingkat kekeringan Curah Hujan dari Kondisi Normal Tingkat Kekeringan P = 70 – 85 % Kering P = 50 – 70 % Sangat Kering P = < 50 % Amat Sangat Kering Klasifikasi kekeringan juga memerlukan perhitungan jumlah curah hujan normal. Curah hujan normal adalah nilai rata-rata hujan dalam tiga dekade selama tahun pengamatan. Selain curah hujan normal dihitung juga jumlah curah hujan bulan-bulan kering, dilakukan dengan cara menjumlahkan curah hujan bulan-bulan kring yang berurutan. Jumlah curah hujan bulan-bulan kering dibandingkan dengan jumlah curah hujan normal, maka didapatkan klasifikasi tingkat kekeringan. 6. Setelah perhitungan dilakukan pada seluruh stasiun hujan selama 30 tahun, dilakukan rekapitulasi untuk nilai durasi kekeringan, jumlah kekeringan dan pola kekeringan. 7. Pemetaan dilakukan pada daerah yang memiliki kekeringan dengan durasi kekeringan terpanjang dan jumlah defisit terbanyak dengan menggunakan aplikasi ArcGis. Pemetaan dilakukan dengan metode IDW (inverse distance weighted). Data hasil interpolasi IDW selanjutnya diklasifikasi ulang dengan kriteria yang sesuai dengan peta durasi kekeringan. Klasifikasi dibedakan ke dalam 12 kriteria sesuai dengan durasi kekeringannya, klasifikasi ulang dilakukan dengan menu reclassify. Langkah terakhir adalah pemotongan peta hasil reclassify oleh shapefile Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Pemotongan peta dilakukan dengan menu extract by mask. Selanjutnya peta yang sudah terpotong dilengkapi dengan data penunjang seperti, lokasi waduk, sungai, dan daerah irigasi.
10
Mulai
Pengumpulan data sekunder: 1. Data curah hujan dan peta DAS 2. Buku, jurnal, dan penelitian yang berkaitan dengan Theory of Run dan kekeringan 3. Peraturan yang berkaitan
Data curah hujan DAS Bengawan Solo 1. Pengisian Kekosongan Data Hujan 2. Perhitungan Korelasi
Uji Kepanggahan
Tidak Panggah
Panggah Perhitungan Dengan Theory of Run: 1. Durasi Kekeringan 2. Panjang kekeringan
Pola kekeringan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu
Pemetaan pola kekeringan dengan software Arc Gis
Selesai Gambar 2 Diagram alir penelitian
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Daerah Penelitian Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo Hulu merupakan satu dari empat Sub DAS di DAS Bengawan Solo. Terletak pada 110°18' BT sampai 111°27' BT dan 7°14' LS sampai 8°12' LS. Sub DAS Bengawan Solo Hulu mencakup beberapa kabupaten dan kota di dalamnya. Kabupaten dan kota tersebut yaitu Kab. Boyolali, Kab. Klaten, Kab. Sukoharjo, Kab. Wonogiri, Kab. Karanganyar, Kab. Sragen, Kab. Blora, Kab. Rembang, Kab. Pacitan, Kab. Ngawi, dan Kota Surakarta. Pengambilan data dilakukan di stasiun hujan yang tersebar di wilayah Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Gambar 3 menunjukkan peta wilayah Sub DAS Bengawan Solo Hulu.
Gambar 3 Sub DAS Bengawan Solo Hulu Luas Sub DAS Bengawan Solo Hulu mencakup 30.7% dari luas wilayah Sungai Bengawan Solo yaitu sebesar 6.178 km². Anak-anak sungai pada Sub DAS Bengawan Solo Hulu ini mengalirkan air dari lereng Gunung Merapi, Merbabu, dan Lawu, mengakibatkan tingginya sedimentasi di Sungai Bengawan Solo Hulu. Kapasitas alur Sungai Bengawan Solol Hulu bervariasi pada rentang 800-1,800 m³/detik (BBWS 2012). Pengumpulan Data dan Uji Kepanggahan Data utama yang diperlukan dalam analisis kekeringan adalah data curah hujan. Data curah hujan terkadang kosong dan kurang lengkap, hal ini dapat
12 disebabkan karena stasiun hujan tidak dapat bekerja dengan baik. Data kosong adalah data yang dalam satu tahun terdapat satu atau lebih data bulanan yang tidak tersedia. Data kosong tersebut dapat diprediksi atau dimunculkan kembali dengan cara pengisian data kosong yang di bantu dengan data yang tersedia di stasiun sekitarnya. Pengisian data kosong dalam penelitian ini dilakukan dengan metode reciprocal. Persyaratan yang diperlukan untuk mengisi data hujan bulanan dengan metode reciprocal diantaranya adalah, panjang pencatatan data yang tersedia antara stasiun hujan yang akan diisi dengan stasiun hujan pengisi harus sama, dan jumlah stasiun pengisi minimal 3 stasiun dengan jarak maksimal 60 km. Salah satu stasiun yang mengalami kekosongan data adalah Stasiun PG Mojo, pengisian data kosong dilakukan salah satunya pada bulan Januari 2011. Tabel 2 menunjukkan kriteria stasiun pembanding yang digunakan untuk melakukan pengisian data kosong Stasiun PG Mojo untuk bulan Januari 2011. Stasiun pembanding yang digunakan yaitu Stasiun Kalijambe, Pabelan, dan Tawangmangu. Stasiun Curah Hujan (mm) Jarak ke Stasiun PG Mojo (km)
Tabel 2 Kriteria stasiun pembanding Kalijambe Pabelan
Tawangmangu
312.0
420.0
450.0
24.5
31.0
34.4
Hasil perhitungan dengan menggunakan Persamaan 1 menghasilkan data curah hujan Stasiun PG Mojo pada bulan Januari 2011 sebesar 376 mm. Terdapat 79 data kosong di Stasiun PG Mojo dari 360 data selama 30 tahun. Data kosong tersebut mencakup 21.94 % dari keseluruhan data, sehingga metode reciprocal dalam pengisian data kosong masih dapat digunakan. Begitu juga dengan stasiun lain yang digunakan sebagai data penelitian, kekeosongan data tidak melebihi 25% dari data keseluruhan. Pengisian data kosong dengan metode reciprocal dipengaruhi oleh jarak antar stasiun, stasiun dengan jarak yang lebih dekat akan lebih berpengaruh terhadap data prediksi yang dimunculkan. Pengisian data kosong dilakukan terhadap kekosongan data di semua stasiun dengan menggunakan minimal 3 stasiun pembanding. Setelah data kosong di seluruh stasiun hujan diisi dengan metode pengisian reciprocal, kemudian dilakukan pengujian kekuatan asosiasi antar stasiun hujan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Kekuatan asosiasi antar stasiun hujan tersebut diukur dengan melakukan uji korelasi. Metode pearson digunakan dalam uji korelasi ini. Hasil uji korelasi antar stasiun hujan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu dengan Persamaan 2 disajikan dalam Tabel 3. Stasiun hujan yang digunakan sebagai bahan analisis adalah stasiun hujan yang memenuhi nilai korelasi minimum. Nilai korelasi minimum yang digunakan adalah nilai korelasi rendah sampai sedang dengan nilai lebih dari 0.41. Berdasarkan hasil uji korelasi pada Tabel 3, terdapat 8 stasiun hujan yang memenuhi kriteria. Kedelapan stasiun tersebut yaitu Klaten, Nepen, Pabelan, Tawangmangu, Baturetno, Jatisrono, Pracimantoro, dan PG Mojo. Kriteria minimun uji korelasi dipilih rendah sampai sedang bertujuan untuk mempertahankan keragaman data namun tetap mampu digunakan sebagai data analisis.
13 Tabel 3 Hasil uji korelasi Stasiun
Nilai Korelasi
Kalijambe Klaten Nawangan Nepen Pabelan Parangjoho Songputri Tawangmangu Baturetno Colo Jatisrono Pracimantoro Pg Mojo Griwoyo
0.3729 0.5235 0.3626 0.4518 0.4374 0.3530 0.3915 0.4539 0.4414 0.0616 0.4675 0.5165 0.4439 0.3372
Kumulatif P Stasiun Klaten
Kedelapan stasiun hujan yang memenuhi nilai korelasi kemudian diuji kepanggahannya dengan metode double mass curve. Metode ini dipilih karena pengujian dilakukan terhadap lebih dari satu stasiun yang saling berkaitan. Gambar 4 menunjukkan kurva hubungan koefisien determinasi (R2) pada Stasiun Klaten dengan stasiun lain. Koefisien determinasi mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. 14000
y = 0.7745x + 346.55 R² = 0.9997
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 0
5000 10000 Kumulatif P rerata 7 stasiun lain
15000
Gambar 4 Hubungan curah hujan stasiun Klaten dengan 7 stasiun lain Hubungan Stasiun Klaten dengan 7 stasiun lainnya memiliki nilai determinasi (R2) = 0.9997. Nilai R2 yang mendekati 1 mengindikasikan 7 stasiun lain sangat mendukung dalam analisis di Stasiun Klaten. Ketujuh stasiun tersebut, yaitu Nepen, Pabelan, Tawangmangu, Baturetno, Jatisrono, Pracimantoro, dan PG Mojo. Seluruh stasiun tersebut memiliki nilai determinasi (R2) lebih dari 0.99.
14 Uji kepanggahan data yang dilakukan dengan perhitungan korelasi dan kurva massa ganda menunjukkan bahwa hanya 8 stasiun hujan yang ada di Sub DAS Bengawan Solo Hulu yang dapat digunakan dalam analisis kekeringan dengan menggunakan theory of run. Kedelapan stasiun tersebut, yaitu Klaten, Nepen, Pabelan, Tawangmangu, Baturetno, Jatisrono, Pracimantoro, dan PG Mojo. Durasi dan Jumlah Kekeringan
Tinggi Hujan Bulanan (mm)
Run sebagai ciri statistik dari suatu seri data, menggambarkan indeks kekeringan. Panjang run negatif menunjukkan lamanya kekeringan, sedangkan jumlah run negatif menunjukkan kekurangan air selama kekeringan. Durasi kekeringan terpanjang maupun jumlah kekeringan terbesar tahunan mencerminkan tingkat keparahan kekeringan. Kondisi kekeringan yang diamati dalam penelitian ini adalah kondisi ketika curah hujan aktual berada di bawah curah hujan normal, sehingga kondisi kering belum tentu mencerminkan bencana kekeringan. Nilai surplus dan defisit diperoleh dengan mengurangkan data asli tiap-tiap bulanan setiap tahunnya dengan rata-rata dari seluruh data pada bulanan tersebut dengan menggunakan Persamaan (1). Perhitungan nilai surplus dan defisit dari Run hujan bulanan stasiun Klaten Januari - Maret tahun 1986 sebagai berikut. Bulan Januari D (1986, Januari) = X (1986, Januari) – Y (Januari) = 258 – 299 = -41 (defisit) Bulan Februari D (1986, Februari) = X (1986, Februari) – Y (Februari) = 300–308 = -8 (defisit) Bulan Maret D (1986, Maret) = X (1986, Maret) – Y (Maret) = 365 – 235 = 130 (surplus) Gambar 5 menunjukkan kurva hubungan antara hujan bulanan dan hujan ratarata bulanan di Stasiun Klaten. Kurva tersebut menunjukkan defisit dan surplus curah hujan yang terjadi di Stasiun Klaten dari tahun 1985 sampai tahun 1987. 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
1985
1986
1987
Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Waktu (bulan) Hujan Bulanan
Hujan Rata-rata Bulanan (Normal)
Gambar 5 Defisit dan surplus curah hujan Stasiu Klaten (1985-1987)
15
Durasi Kekeringan (Bulan)
Durasi kekeringan kemudian dihitung dengan Persamaan (3). Perhitungan ini didasari pada defisit dan surplus curah hujan setiap stasiun hujan. Menurut Sen (1980), pada umumnya kekeringan terkait dengan keadaan defisit beberapa faktor. Contohnya pada sistem desain dan operasi sumber daya air, pola permintaan dan ketersediaan air berperan penting dalam mendefinisikan kekeringan. Sejalan dengan hal tersebut, maka durasi kekeringan merupakan kumulatif dari keadaan defisit curah hujan yang berurutan. Durasi kekeringan terpanjang di Stasiun Klaten terjadi pada kurun waktu tahun 1995 sampai 1999 yaitu selama 12 bulan. Gambar 6 menunjukkan hasil perhitungan durasi kekeringan tahunan Stasiun Klaten. Data hasil perhitungan durasi kekeringan Stasiun Klaten dan tujuh stasiun lain disajikan dalam Lampiran 2. 14 12 10 8 6 4 2 0 1989
1994
1999 2004 Waktu (Tahun)
2009
2014
Gambar 6 Durasi kekeringan tahunan Stasiun Klaten
Jumlah kekeringan (mm)
Durasi kekeringan erat kaitannya dengan jumlah kekeringan. Setelah perhitungan durasi kekeringan, dilakukan pula perhitungan jumlah kekeringan. Kedua faktor inilah yang membentuk pola kekeringan. Untuk selanjutnya dikembangkan sebagai data acuan dalam analisis lebih lanjut mengenai kekeringan. Jumlah kekeringan selanjutnya dicari dengan Persamaan (2). Perhitungan jumlah kekeringan didasari pada perhitungan durasi kekeringan. Jumlah kekeringan merupakan kumulatif curah hujan dalam keadaan defisit yang berurutan. Jumlah kekeringan tertinggi di Stasiun Klaten terjadi pada kurun waktu tahun 1990 sampai 1994 yaitu sebesar 630 mm. Gambar 7 menunjukkan hasil perhitungan Jumlah kekeringan Stasiun Klaten. Data hasil perhitungan jumlah kekeringan Stasiun Klaten dan 7 stasiun lain disajikan dalam Lampiran 3.
700 600 500 400 300 200 100 0 1989
1994
1999 2004 Waktu (tahun)
2009
Gambar 7 Jumlah kekeringan tahunan Stasiun Klaten
2014
16 Nilai durasi kekeringan dan jumlah kekeringan selanjutnya menjadi data acuan dalam pembuatan pola kekeringan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Adanya data pola kekeringan tersebut diharapkan mampu diterapkan dalam perencanaan bangunan air seperti menentukan kapasitas tampungan waduk, pengoperasian bangunan air seperti operasi bangunan irigasi di musim kemarau, penanggulangan dan pengurangan dampak kekeringan melalui penyusunan strategi yang bersifat reaktif dan proaktif. Menurut Huang et al. (2013), defisit curah hujan secara langsung berpengaruh terhadap proses hidrologi, pertanian dan sumberdaya air. Oleh sebab itu, akan sangat berguna untuk menganalisis pola perubahan curah hujan, hal ini akan berguna dalam upaya mengontrol banjir dan kekeringan. Pola Kekeringan Pola kekeringan didapat dari analisis durasi dan jumlah kekeringan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Selain itu, pola kekeringan dalam penelitian ini juga didapat dari klasifikasi kekeringan meteorologi setiap pos hujan. Hubungan antara keduanya kemudian dibandingkan kesesuaiannya. Klasifikasi tingkat kekeringan bertujuan untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi di setiap stasiun hujan. Klasifikasi dibagi menjadi 3 tingkatan disajikan dalam Tabel 1. Klasifikasi kekeringan memerlukan perhitungan jumlah curah hujan normal. Curah hujan normal adalah nilai rata-rata hujan dalam tiga dekade selama tahun pengamatan. Selain curah hujan normal dihitung juga jumlah curah hujan bulan-bulan kering, dilakukan dengan cara menjumlahkan curah hujan bulan-bulan yang berurutan. Jumlah curah hujan bulan-bulan kering dibandingkan dengan jumlah curah hujan normal, maka didapatkan klasifikasi tingkat kekeringan. Klasifikasi kekeringan kedelapan pos hujan selama 30 tahun yang dijadikan bahan pengamatan disajikan dalam Tabel 4.
No. Stasiun Hujan 1 2 3 4 5 6 7 8
Klaten Nepen Pabelan Tawangmangu Baturetno Jatisrono Pracimantoro PG Mojo Sragen
Tabel 4 Klasifikasi kekeringan Klasifikasi (%) Basah Normal 39.00 6.96 39.72 10.00 41.11 8.06 40.00 12.78 40.00 7.78 41.39 7.78 39.17 8.33 42.22 10.83
Kering 54.04 50.28 50.83 47.22 52.22 50.83 52.50 46.94
Klasifikasi kekeringan pada Tabel 4 menunjukkan persentase kondisi kering yang lebih besar dari kondisi basah dan normal di semua stasiun. Hal ini menandakan wilayah Sub DAS Bengawan Solo Hulu lebih banyak berada dalam kondisi kering. Kondisi kering yang terjadi ditinjau dari curah hujan yang kurang dari 85% curah hujan normal di setiap stasiun pengamatan. Pola kekeringan juga dilihat dari durasi kekeringan setiap stasiun hujan selama 30 tahun panjang data. Data durasi kekeringan menunjukkan durasi
17 kekeringan setiap tahun dari delapan stasiun berada pada angka rata-rata 5.33 bulan. Pola yang dapat dilihat adalah adanya pengulangan durasi kekeringan lebih dari 6 bulan dengan kriteria kering terjadi dalam periode 5 tahun. Terdapat dua stasiun hujan dengan durasi kekeringan rata-rata terpanjang dalam periode 5 tahun. Kedua stasiun tersebut adalah Stasiun Pabelan dan Stasiun Tawangmangu dengan durasi kekeringan masing-masing sebesar 9.83 bulan. Durasi kekeringan terpanjang dan terpendek dalam satu tahun dianggap sebagai tahun terkering dan terbasah. Data durasi kekeringan yang telah didapat menunjukkan tahun terkering terjadi pada tahun 2003 sedangkan tahun terbasah terjadi pada tahun 2010. Peta kekeringan ditinjau dari durasi kekeringan terpanjang dan terpendek tersebut kemudian diubah ke dalam bentuk peta. Kondisi terkering dan terbasah dipilih untuk dipetakan agar sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu agar dapat menggambarkan kondisi defisit dan surplus curah hujan terbanyak selama 30 tahun dari data yang ada di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Peta kekeringan terpanjang dan terpendek disajikan dalam Gambar 8 dan Gambar 9.
Gambar 8 Durasi kekeringan terpanjang Kondisi kekeringan pada tahun 2003 yang ditunjukkan dalam Gambar 8 menjadi tahun terkering Sub DAS Bengawan Solo Hulu ditinjau dari curah hujan yang turun. Hal ini terlihat dari luasan Sub DAS Bengawan Solo Hulu yang setengahnya tertutupi warna merah. Kondisi ini terjadi ketika kekeringan berlangsung selama 12 bulan atau lebih. Terdapat 4 stasiun hujan yang mengalami kondisi terkering pada tahun 2003 yaitu Stasiun Klaten, Nepen, Pabelan, dan Pracimantoro. Hal ini dikarenakan curah hujan yang turun di 4 stasiun hujan tersebut kurang dari 50% curah hujan normal. Kondisi 4 stasiun lain berada dalam rentang kekeringan 6 bulan hingga 11 bulan. Kondisi ini selanjutnya dibandingkan dengan klasifikasi kekeringan dan diperoleh kesesuaian bahwa 4 stasiun dengan
18 durasi kekeringan terpanjang juga memiliki klasifikasi kekeringan pada kondisi kering lebih dari 50%. Selain pada durasi kekeringan terpanjang, pemetaan juga dilakukan pada durasi kekeringan terpendek atau tahun terbasah. Gambar 9 menunjukkan kondisi kekeringan terpendek pada tahun 2010 yang menjadi tahun terbasah Sub DAS Bengawan Solo Hulu ditinjau dari curah hujan yang turun. Hal ini terlihat dari luasan Sub DAS Bengawan Solo Hulu yang hampir seluruhnya tertutupi warna hijau dengan rentang kekeringan mulai dari 0 bulan hingga tertinggi 7 bulan. Stasiun hujan yang mengalami kondisi terbasah yaitu Stasiun Tawangmangu dan Sragen, sedangkan kondisi terkering, yaitu Stasiun Pabelan.
Gambar 9 Durasi kekeringan terpendek Pola kekeringan dan pemetaan durasi kekeringan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu menunjukkan bahwa wilayah yang memerlukan perhatian lebih dalam penanggulangan kekeringan berada pada wilayah Pracimantoro. Pracimantoro memiliki durasi kekeringan tertinggi dalam periode 5 tahun dibanding wilayah lain. Selain itu, Pracimantoro juga mengalami kondisi kering lebih dari 50%. Kekeringan yang terjadi di Sub DAS Bengawan Solo Hulu umumnya dipengaruhi oleh perubahan iklim sehingga curah hujan yang ada tidak merata. Hal ini sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian yang menjadi sektor terbesar di Jawa Tengah. Masalah penanggulangan kekeringan juga bergantung terhadap kesiapan struktur dan infrasrtuktur pertanian yang ada di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Sejalan dengan Madadgar dan Moradkhani (2013), bahwa perubahan iklim berpengaruh terhadap frekuensi kekeringan, tingkat kekeringan, dan durasi kekeringan. Hal ini berdampak terhadap berubahnya perencanaan sumberdaya air dan produksi pertanian. Pemetaan struktur dan infrastruktur di Sub DAS Bengawan Solo Hulu, dalam hal ini lokasi daerah irigasi dan waduk dilakukan guna mempermudah rencana
19 penanggulangan kekeringan. Gambar 10 menunjukkan lokasi daerah irigasi yang ada di Sub DAS Bengawan Solo Hulu yang memanjang searah Sungai Bengawan Solo. Daerah irigasi tersebut yaitu Daerah Irigasi Colo yang tersebar dari Klaten sampai Sragen. Selain daerah irigasi, juga terdapat waduk yaitu Waduk Gajah Mungkur di wilayah sekitar Stasiun Baturetno, Waduk Cengklik di wilayah Pabelan dan Rawa Jombor di Klaten. Peta durasi kekeringan terpanjang pada tahun 2003 juga ditampilkan agar dapat menampilkan wilayah terkering, sehingga dapat dilihat wilayah terkering dengan lokasi waduk dan daerah irigasi yang sudah ada.
Gambar 10 Lokasi wilayah terkering dengan lokasi waduk dan daerah irigasi Perbandingan luas wilayah kekeringan dengan luas daerah irigasi masih belum optimal, Hal yang sama juga terlihat dari perbandingan luas waduk yang ada di wilayah barat Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Belum sebandingnya struktur dan infrastruktur yang tersedia dengan kondisi terkering wilayah Sub DAS Bengawan Solo Hulu memerlukan perhatian dan kajian lebih jauh. Hal ini agar upaya penanggulangan kekeringan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu dapat dilakukan semaksimal mungkin. Upaya yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kekeringan agar dampak kekeringan yang mungkin timbul dapat dicegah atau dikurangi diantaranya adalah upaya konservasi dan upaya pendayagunaan sumber daya air. Upaya konservasi di Sub DAS Bengawan Solo Hulu dapat dilakukan diantaranya dengan rehabilitasi dan konservasi daerah tangkapan air lereng pegunungan, operasi dan pemeliharaan konservasi daerah tangkapan air, rehabilitasi dan konservasi terhadap waduk yang sudah ada, dan penerbitan perda tentang kawasan lindung dengan prioritas wilayah sekitar waduk. Adapun upaya pendayagunaan sumber daya air dapat dilakukan diantaranya dengan pembangunan waduk baru, pembangunan jaringan irigasi baru, rehabilitasi
20 dan perbaikan jaringan irigasi yang sudah ada termasuk bangunan pelengkapnya, pembangunan bendungan untuk keperluan irigasi, dan optimalisasi jaringan irigasi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Durasi kekeringan tahunan dari delapan stasiun berada pada angka rata-rata 5.33 bulan, sedangkan jumlah kekeringan pada angka rata-rata 352 mm. Kondisi terkering (kekeringan terpanjang) berdasarkan durasi dan jumlah kekeringan tersebut terjadi pada tahun 2003 dan yang terpendek pada tahun 2010. Pola yang dapat dilihat adalah adanya pengulangan durasi kekeringan lebih dari 6 bulan dengan kriteria kering terjadi dalam periode 5 tahunan. Wilayah yang memerlukan perhatian lebih dalam untuk penanggulangan kekeringan adalah Pracimantoro. Saran Diperlukan adanya analisis kekeringan dengan metode theory of run pada Sub DAS Bengawan Solo lainnya sehingga didapatkan pola kekeringan DAS Bengawan Solo secara keseluruhan. Selain itu diperlukan adanya analisis kekeringan di Sub DAS Bengawan Solu Hulu dengan metode berbeda sebagai pembanding.
DAFTAR PUSTAKA [BBWS BS] Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo. 2012. Profil Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo Bidang Program dan Perencanaan Umum. Solo (ID): BBWS BS. Bhalme HN, Mooley DA. 1980. Large-scale droughts/floods and monsoon circulation. Mon Weather Rev. 108(8):1197–1211. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2014. Stasiun Klimatologi Pondok Betung: Buku Informasi Peta Kekeringan dengan Metode SPI. Jakarta (ID): BMKG. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2004a. Pengisian Kekosongan Data Hujan dengan Metode Korelasi Distandardisasi Nonlinier Bertingkat. Bandung (ID): Departemen PU. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2004b. Perhitungan Indeks Kekeringan Menggunakan Teori Run. Bandung (ID): Departemen PU. Gibbs WJ, Maher JV. 1967. Rainfall deciles as drought indicators. Bureau Met Bull. 48. Huang J, Sun S, Zhang J. 2013. Detection of trends in precipitation during 19602008 in Jiangxi province, southeast China. Theor. Appl. Climatol. 114(1– 2):237–251.
21 Madadgar S, Moradkhani H. 2013. Drought analysis under climate change using copula. J Hydrol Eng. 18(7):746–759. McKee TB, Doesken NJ, Kleist J. 1995. Drought monitoring with multiple time scales. Di dalam: Proceedings of the 9th Conference on Applied Climatology. Boston (US): American Meteorological Society. Moye LA, Kapadia AS. 1995. Predictions of drought length extreme order statistics using run theory. J Hydrol. 169(1-4):95-110. Oktaviani S. 2015. Analisis kekeringan dengan menggunakan metode theori of run studi kasus DAS Ciujung [skripsi]. Banten (ID): Universitas Negeri Tirtayasa. Palmer WC. 1965. Meteorologic drought. 45:58. Washington (US): Weather Bureau. Palmer WC. 1968. Keeping track of crop moisture conditions, nationwide: the new crop moisture index. Weatherwise. 21(4):156–161. Pratama A. 2014. Analisa kekeringan menggunakan metode theory of run pada sub DAS Ngrowo [skripsi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya. Raharjo PD. 2010. Teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk identifikasi potensi kekeringan Kabupaten Kebumen. Jurnal makara teknologi. 14(2):97-105. Retno SB. 2011. Penerapan teori run untuk menentukan indeks kekeringan di Kecamatan Entikong [skripsi]. Pontianak (ID): Universitas Tanjung Pura. Sen Z. 1980. Critical drought analysis of periodic-stochastic processes. J Hydrol. 46:251-263. Shafer BA, Dezman LE. 1982. Development of a surface water supply index (SWSI) to assess the severity of drought conditions in snowpack runoff areas. Di dalam: Proceedings of the Western Snow Conference. Fort Collins: Colorado State University. 50:164–175. Reed, SB. 1995. Introduction about the danger-disaster management training programme. New York (US): UNDP-DHA Soemarto CD. 1987. Hidrologi Teknik. Surabaya (ID): Usaha Nasional. Sonjaya I. 2007. Analisa Standardized Precipitation Index (SPI) di Kalimantan Selatan. Banjarbaru (ID): Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Thomas J, Prasannakumar V. 2016. Temporal analysis of rainfall (1871–2012) and drought characteristics over a tropical monsoon-dominated state (Kerala) of India. J Hydrol. 534:266–280. Van Rooy MP. 1965. A rainfall anomaly index (RAI) independent of time and space. Notos. 14:43–48.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data durasi kekeringan Stasiun No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rataan
Klaten Durasi T5 maks tahun (bulan) (bulan) 2 4 4 4 4 4 7 8 4 9 6 9 10 5 12 12 3 5 3 7 10 11 11 6 4 6 5 6 4 4 2 2 3 4 2 4 5.33 7.67
Nepen Durasi T5 maks tahun (bulan) (bulan) 1 2 4 5 1 5 3 11 3 11 8 7 3 4 10 12 12 5 6 6 10 12 11 12 2 6 4 7 6 7 2 3 6 6 3 3 5.53 8.83
Pabelan Durasi T5 maks tahun (bulan) (bulan) 3 3 6 6 3 4 10 8 10 10 4 6 2 2 5 5 1 4 6 6 14 25 25 3 3 6 6 6 5 6 7 2 6 7 2 4 5.73 9.83
Tawangmangu Durasi T5 maks tahun (bulan) (bulan) 3 2 6 6 5 4 3 6 3 9 4 9 10 5 7 10 2 2 2 2 8 14 10 14 2 6 3 9 9 4 1 5 11 11 4 5 5.23 9.83
Baturetno Durasi T5 maks tahun (bulan) (bulan) 2 2 5 5 4 3 5 7 3 8 4 8 2 8 7 8 3 4 3 4 7 11 6 11 4 6 6 6 5 3 1 7 5 7 3 4 4.73 7.50
Jatisrono Durasi T5 maks tahun (bulan) (bulan) 2 2 5 5 5 4 6 6 3 9 8 9 10 8 13 14 14 5 4 2 8 9 9 3 1 6 3 6 4 4 0 5 4 5 2 4 5.30 8.00
Pracimantoro Durasi T5 maks tahun (bulan) (bulan) 5 4 11 12 12 3 3 8 9 9 6 8 8 4 3 8 5 2 3 5 8 16 16 3 5 6 5 6 6 5 2 5 6 6 4 4 5.80 9.50
PG Mojo Sragen Durasi T5 maks tahun (bulan) (bulan) 2 7 5 7 3 4 7 7 9 9 4 9 3 5 7 9 9 3 4 1 6 9 9 1 2 6 7 7 6 4 1 3 9 9 1 5 4.97 8.33
Durasi maks ratarata 3 3 6 5 4 6 8 6 6 8 6 5 8 6 4 4 4 9 12 7 3 6 5 6 5 2 4 6 3 4 5.33
T5 tahun (bulan)
6
8
8
12
6
6
7.67
23
24 Lampiran 2 Data jumlah kekeringan Stasiun
Klaten
No .
Tahun
Jumlah Maks (mm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
86 135 203 131 328 630 441 75 226 517 572 317 550 179 298 172 270 509 629 357 243 285 276 145 79 236 48 80 84 274
Rataan
279
Nepen
T5 Tahun (mm)
328
630
572
629
285
274
453
Jumlah Maks (mm) 65 101 381 148 486 406 833 142 349 328 65 193 1012 1345 147 183 464 718 772 893 324 347 1129 334 407 144 168 149 90 320 415
Pabelan
T5 Tahun (mm)
486
833
1345
893
1129
320
834
Jumlah Maks (mm) 227 288 309 84 303 658 403 623 177 241 202 273 480 38 206 415 587 1564 2388 142 246 279 251 190 315 331 116 188 88 919 418
T5 Tahun (mm)
309
658
480
2388
315
919
845
Tawangmangu Jumlah Maks (mm) 300 282 291 138 260 356 448 170 349 895 907 462 556 175 67 244 198 544 764 935 170 591 348 850 233 32 232 924 281 415 414
T5 Tahun (mm)
300
895
907
935
850
924
802
Baturetno Jumlah Maks (mm) 212 123 444 227 395 995 268 73 176 325 33 349 372 556 82 211 313 281 128 457 267 296 333 153 259 81 162 227 74 875 292
T5 Tahun (mm)
444
995
556
457
333
875
610
Jatisrono Jumlah Maks (mm) 168 145 268 418 538 414 266 136 334 703 875 476 852 1044 244 228 257 1097 840 142 92 408 206 242 122 0 166 141 90 313 374
T5 Tahun (mm)
538
703
1044
1097
408
313
684
Pracimantoro Jumlah Maks (mm) 158 184 364 296 177 236 359 653 176 518 359 290 535 417 64 356 422 458 1545 119 195 316 701 183 173 101 122 211 93 176 332
T5 Tahun (mm)
364
653
535
1545
701
211
668
PG Mojo Sragen Jumlah Maks (mm) 252 537 365 182 367 322 395 354 329 511 187 317 309 484 128 375 178 310 507 73 73 352 308 307 125 29 72 533 70 501 295
T5 Tahun (mm)
537
511
484
507
352
533
487
Jumlah rata-rata (mm) 184 224 328 203 357 502 427 278 265 505 400 335 583 530 154 273 336 685 947 390 201 359 444 301 214 119 136 307 109 474 352
T5 Tahun (mm)
357
505
583
947
444
474
552
Lampiran 3 Data curah hujan tahunan Stasiun
Klaten
No .
Tahun
CH Tahunan (mm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
2020 2085 1683 1790 1528 1281 1232 2065 1602 1504 1718 1715 1207 2219 1943 1408 1357 1334 1205 1676 1424 1602 1938 1908 1601 2479 1877 1897 2130 1674
Rataan total
1703
Nepen
CH rataan 5 Tahun (mm)
1821
1537
1760
1396
1695
2011
1703
CH Tahunan (mm) 2610 2764 2074 2494 2562 1765 1443 2309 2000 2483 3678 2585 1157 2499 3156 2151 1508 1563 1605 2276 2118 2158 1334 2078 2044 2835 2309 2334 2134 2232 2209
Pabelan
CH rataan 5 Tahun (mm)
2501
2000
2615
1821
1946
2369
2209
CH Tahunan (mm) 2333 2444 1924 2398 2035 1774 1977 2132 2415 2641 2576 2247 1292 2954 1835 1528 1534 1015 1353 2523 2084 2239 2383 2426 2045 3136 2243 2241 2646 2549 2164
Tawangmangu
CH rataan 5 Tahun (mm)
2227
2188
2181
1590
2235
2563
2164
CH Tahunan (mm) 3322 3403 2925 3186 3180 2930 2902 3781 2657 2345 3778 2909 2374 3378 4007 3576 3355 2646 2316 2960 3387 2542 2970 2240 3106 4682 3334 2212 2770 2516 3056
CH rataan 5 Tahun (mm)
3203
2923
3289
2971
2849
3103
3056
Baturetno CH Tahunan (mm) 1457 1993 1398 1612 1425 961 1611 2175 1930 1581 2518 1605 1114 1808 1807 1353 1399 1650 1563 1320 1437 1497 1539 1805 1249 2255 1504 1656 2640 1267 1638
CH rataan 5 Tahun (mm)
1577
1652
1770
1457
1505
1864
1638
Jatisrono CH Tahunan (mm) 2382 2312 1715 2243 2126 1525 1948 2458 2150 1627 2300 2011 1441 2814 2219 2216 1948 921 1305 2616 3043 2357 2669 2140 2669 4091 2230 2387 2750 2056 2222
CH rataan 5 Tahun (mm)
2156
1942
2157
1801
2576
2703
2222
Pracimantoro CH Tahunan (mm) 1783 1866 1342 1732 1653 1451 1249 1949 1964 962 1527 1678 836 1880 1889 1526 1303 1642 849 1924 1446 1686 858 1767 1372 2626 1945 1808 2389 1524 1614
CH rataan 5 Tahun (mm)
1675
1515
1562
1449
1426
2058
1614
PG Mojo Sragen CH Tahunan (mm)
CH rataan 5 Tahun (mm)
2391 2026 2204 2289 1627 1957 1818 2266 1900 1806 2334 1867 1647 2619 2183 2184 2623 2103 1823 2718 2449 2297 2341 2097 2491 3606 2755 1976 2625 1734
2107
1949
2130
2290
2335
2539
2225
2225
25
26 Lampiran 4 Lokasi stasiun hujan Sub DAS Bengawan Solo Hulu
27
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 11 April 1993. Penulis merupakan anak kedua dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak M. Pendi Hidayat dan Ibu Tati Rohayati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 1 Pacet Kab. Cianjur pada tahun 2006 dan pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Cipanas Kab. Cianjur pada tahun 2009. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sukaresmi Kab. Cianjur pada tahun 2012 dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis pernah aktif dalam beberapa kepanitiaan. Pada periode 2013/2014 dan 2014/2015 penulis menjadi pengurus Himatesil di Departemen Pengabdian Masyarakat sebagai anggota dan ketua. Penulis melaksanakan praktik lapang pada bulan Juli dan Agustus 2015 di Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo dengan judul “Analisis dan Pemetaan Kekeringan DAS Bengawan Solo Hilir dengan Metode SPI (Standardized Precipitation Index). Pada September 2016 penulis menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Analisis Potensi Kekeringan Menggunakan Theory of Run (Studi Kasus Sub DAS Bengawan Solo Hulu)” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S.