TUGAS AKHIR – MN141581
ANALISA KECEPATAN LAJU KOROSI PADA PELAT KAPAL ASTM A36 PASCA TERBAKAR DENGAN PENDEKATAN EKSPERIMEN
PONDRA WIDHI KUSUMAH NRP. 4108 100 100 Dosen Pembimbing : Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T., M.T. Imam Baihaqi, S.T., M.T.
Departemen Teknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
TUGAS AKHIR – MN141581
ANALISA KECEPATAN LAJU KOROSI PADA PELAT KAPAL ASTM A36 PASCA TERBAKAR DENGAN PENDEKATAN EKSPERIMEN
PONDRA WIDHI KUSUMAH NRP. 4108 100 100
Dosen Pembimbing : Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T., M.T. Imam Baihaqi, S.T., M.T.
Departemen Teknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
FINAL PROJECT – MN141581
CORROSION RATE ANALYSIS OF POST-BURNED ASTM A36 SHIP PLATE WITH EXPERIMENTAL APPROACH
PONDRA WIDHI KUSUMAH NRP. 4108 100 100
Supervisors : Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T., M.T. Imam Baihaqi, S.T., M.T.
Department of Naval Architecture and Shipbuilding Engineering Faculty of Marine Technology Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya 2017
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISA KECEPATAN LAJU KOROSI PADA PELAT KAPAL ASTM A36 PASCA TERBAKAR DENGAN PENDEKATAN EKSPERIMEN
TUGAS AKHIR Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik pada Bidang Keahlian Industri Perkapalan Program S1 DepartemenTeknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh: PONDRA WIDHI KUSUMAH NRP. 4108 100 100
Disetujui oleh Dosen Pembimbing Tugas Akhir: Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T., M.T. NIP, 19750814 200312 2 001
Imam Baihaqi, S.T., M.T. NIP. 19890128 201504 1 003
SURABAYA, 25 JANUARI 2017 iv
LEMBAR REVISI
ANALISA KECEPATAN LAJU KOROSI PADA PELAT KAPAL ASTM A36 PASCA TERBAKAR DENGAN PENDEKATAN EKSPERIMEN TUGAS AKHIR Telah direvisi sesuai dengan hasil Ujian Tugas Akhir Tanggal 10 Januari 2017 Bidang Keahlian Industri Perkapalan Program S1 Departemen Teknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh: PONDRA WIDHI KUSUMAH NRP. 4108 100 100
Disetujui oleh Tim Penguji Ujian Tugas Akhir: 1.
Dr. Ir. Heri Supomo, M.Sc.
……..………………..…………………..
2.
Ir. Triwilaswandio W.P., M.Sc.
…………………………………………..
3.
Dedi Budi Purwanto, S.T., M.T.
……..………………..…………………..
4.
M. Sholikhan Arif, S.T., M.T.
……..………………..…………………..
Disetujui oleh Dosen Pembimbing Tugas Akhir: 1.
Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T., M.T.
……..………………..…………………..
2.
Imam Baihaqi, S.T., M.T.
……..………………..………………….
SURABAYA, 25 JANUARI 2017
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang diberikan dalam pengerjaan laporan Tugas Akhir dengan judul “ANALISA KECEPATAN LAJU KOROSI PADA PELAT KAPAL ASTM A36 PASCA TERBAKAR DENGAN PENDEKATAN EKSPERIMEN” Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik (S.T.) pada Departemen Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan - Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Laporan tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik atas dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, ucapan terima kasih layak dipersembahkan kepada: 1. Ibu Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T., M.T. selaku Dosen Pembimbing I yang dengan tulus memberikan dukungan, waktu, pikiran, tenaga, dan motivasi selama pengerjaan dan penyusunan Tugas Akhir ini; 2. Bapak Imam Baihaqi, S.T., M.T. selaku Dosen Pembimbing II yang dengan tulus memberikan dukungan, waktu, pikiran, tenaga, dan motivasi selama pengerjaan dan penyusunan Tugas Akhir ini; 3. Bapak Dr. Ir. Heri Supomo M.Sc., selaku dosen yang dengan tulus memberikan dukungan yang luar biasa, waktu, pikiran, tenaga, dan motivasi selama pengerjaan dan penyusunan Tugas Akhir ini, baik secara langsung maupun tidak langsung; 4. Bapak Sulistiono, selaku QC Harkan PT. PAL Indonesia (Persero.) atas bantuannya dalam pengadaan Material dan data untuk penelitian Tugas Akhir ini; 5. Bapak Yanto, Bapak Pardi, dan Mas Deni selaku Tenaga Pendidik Laboratorium Produksi Teknik Perkapalan ITS yang telah membantu dalam pengerjaan Tugas Akhir ini. Kritik dan saran sangat diharapkan. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Surabaya, 9 Januari 2017
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk seluruh pihak yang terlibat dari awal perkuliahan hingga akhir. Antara lain: 1. Bapak Totok Yulianto, S.T., M.T. dan Bapak Hasanudin, S.T., M.T. selaku Dosen Wali, Terima Kasih atas perhatiannya selama perkuliahan; 2. Bapak Ir. Wasis Dwi Ariawan, M.Sc., Ph.D., dan Bapak Dony Setyawan, S.T., M.Sc. selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Teknik Perkapalan FTK ITS; 3. Bapak Ir. Soejitno, selaku dosen pembimbing Tugas Produksi Kapal yang telah membantu selama pengerjaan Tugas Produksi Kapal sampai akhirnya dinyatakan lulus. 4. Segenap dosen pengajar di Teknik Perkapalan ITS. Khususnya dosen pengajar bidang studi Industri Perkapalan, Bapak Ir. Triwilaswandio W.P., M.Sc., Bapak M. Sholikhan Arif, S.T., M.T., Bapak Sufian Imam Wahidi, S.T., M.Sc., dan juga dosen pengajar lainnya, Terima kasih atas bimbingan, sumbangan saran dan ide kepada penulis; 5. Bapak, Ibu, dan kedua Adik serta keluarga besar yang selalu memberikan dukungan secara moral dan materi selama perkuliahan. 6. Segenap Tenaga Pendidik di Laboratorium Produksi dan Laboratorium Konstruksi Departemen Teknik Perkapalan ITS, yang telah membantu dalam praktikum selam perkuliahan. 7. Bapak dan Ibu karyawan Sekretariat Departemen Teknik Perkapalan ITS, yang telah membantu dalam hal administrasi selama perkuliahan. 8. Keluarga besar HIMATEKPAL, BRANDALZ P48, untuk persaudaraan, pertemanan, dan dukungannya selama ini. 9. Dan semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung selama perkuliahan, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
vii
ANALISA KECEPATAN LAJU KOROSI PADA PELAT KAPAL ASTM A36 PASCA TERBAKAR DENGAN PENDEKATAN EKSPERIMEN Nama Mahasiswa NRP Departemen/Fakultas Dosen Pembimbing
: : : :
Pondra Widhi Kusumah 4108 100 100 Teknik Perkapalan/Teknologi Kelautan 1. Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T., M.T., 2. Imam Baihaqi, S.T., M.T.
ABSTRAK
Kejadian kebakaran pada kapal merusak bagian penting kapal seperti badan kapal, peralatan & perlengkapan kapal, dan sistem permesinan, walaupun ada kebakaran yang hanya terjadi pada sebagian badan kapal saja. Kebakaran pada sebagian kapal akan mengakibatkan bagian yang rusak parah dan bagian yang masih bisa digunakan kembali. Pelat kapal masih bisa digunakan kembali jika tidak terjadi deformasi yang berlebihan, namun harus dipastikan lagi dari sisi perubahan laju korosinya, karena laju korosi akan mempengaruhi akselerasi pengurangan ketebalan pada pelat. Tugas akhir ini bertujuan untuk mengetahui nilai laju korosi pada pelat kapal pasca terbakar. Oleh karena itu dilakukan simulasi kebakaran di laboratorium dengan alat bantu tungku pembakar dengan variabel temperatur adalah 400°C, 600°C, 800°C, dan 1000°C. Temperatur tersebut diketahui dengan menggunakan alat thermometer infrared. Sesaat setelah tercapai temperatur yang diinginkan, pelat kemudian langsung disiram dengan air laut (quenching) untuk mewakili simulasi pemadaman kebakaran. Kemudian pelat diuji dengan metode sel tiga elektroda sesuai dengan standar ASTM G5-94. Pada eksperimen ini ditambah satu pelat lagi yang diuji dengan variabel tanpa perlakuan panas sebagai benchmark laju korosi pelat dalam kondisi normal. Hasil uji korosi didapatkan berturut-turut dari 400°C, 600°C, 800°C, dan 1000°C adalah 0,168 mmpy, 0,317 mmpy, 0,201 mmpy, dan 0,143 mmpy. Sedangkan nilai laju korosi pelat tanpa perlakuan panas adalah 0,159 mmpy. Laju korosi tertinggi terjadi pada temperatur 600°C, sedangkan pada temperatur 800°C dan 1000°C terjadi penurunan nilai laju korosi. Hal ini diakibatkan kedua variabel tersebut berada di atas temperatur kritis bawah (A1) yaitu sebesar 727°C sehingga struktur mikro pada baja karbon telah mengalami perubahan. Hal ini mempengaruhi proses pengujian dengan sel tiga elektroda yang memanfaatkan arus listrik untuk menentukan laju korosi. Kata Kunci : Kapal Pasca Terbakar, ASTM A36, Laju Korosi, Sel Tiga Elektroda, Polarisasi Linear.
viii
CORROSION RATE ANALYSIS OF POST-BURNED ASTM A36 SHIP PLATE WITH EXPERIMENTAL APPROACH Author ID No. Dept./Faculty Supervisors
: : : :
Pondra Widhi Kusumah 4108 100 100 Naval Architecture & Shipbuilding Engineering/Marine Technology 1. Sri Rejeki Wahyu Pribadi, S.T., M.T., 2. Imam Baihaqi, S.T., M.T.
ABSTRACT
Fires on the ship will damage important parts such as ship hulls, equipments, and machinery, even though there is a fire that just happened to the hull partially. Fire-partially on ships will result in severely damaged in some parts and the other parts that can still be reused. Ship plate can still be used again if there is no excessive deformation, but must be confirmed again in terms of corrosion rate changes, because the corrosion rate will affect the acceleration of the reduction in thickness of the plates. This final project aims to determine the value of the rate of corrosion on post-burned ship plate. Therefore simulated fire in the laboratory with the torch burner with variable temperature is 400°C, 600°C, 800°C and 1000°C. The temperature is known by using infrared thermometer. Shortly after the desired temperature is reached, the plate then immediately sprayed with sea water (quenching) to represent the fire fighting simulation. Then the plate was tested by the method of threeelectrode cell in accordance with ASTM standard G5-94. In this experiment plus one plate again tested with variable with no-heat treatment as a the corrosion rate benchmark of plates in normal conditions. The results of the corrosion test obtained in a row 400°C, 600°C, 800°C and 1000°C are 0.168 mmpy, 0.317 mmpy, mmpy 0.201 and 0.143 mmpy. While the value of the corrosion rate of the plate without heat treatment is 0.159 mmpy. The highest rate of the corrosion occured at a temperature of 600°C, while at temperatures of 800°C and 1000°C have decreased the corrosion rate. This is due both variables were above the lower critical temperature (A1) that is equal to 727°C so that the microstructure in carbon steel has changed. This affects to the process of three-electrode cell testing that used electrical current to determine the corrosion rate. Keywords : Post-Burned Vessel, ASTM A36, Corrosion Rate, Three-Electrode Cell, Linear Polarization
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................... iv LEMBAR REVISI ................................................................................................................. v KATA PENGANTAR .......................................................................................................... vi UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................................ vii ABSTRAK
................................................................................................................ viii
ABSTRACT
.................................................................................................................. ix
DAFTAR ISI
................................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL............................................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 I.1.
Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1
I.2.
Perumusan Masalah.................................................................................................. 2
I.3.
Batasan Masalah....................................................................................................... 2
I.4.
Tujuan ...................................................................................................................... 2
I.5.
Manfaat .................................................................................................................... 3
I.6.
Hipotesis .................................................................................................................. 3
I.7.
Sistematika Penulisan ............................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 5 II.1. Kebakaran ................................................................................................................ 5 II.1.1. Prinsip Terjadinya Kebakaran ............................................................................ 5 II.1.2. Klasifikasi Kebakaran........................................................................................ 6 II.1.3. Kecelakaan Kapal karena Kebakaran ................................................................. 7 II.2. Reparasi Kapal ....................................................................................................... 10 II.2.1. Cara Mengetahui Kerusakan Bagian Kapal ...................................................... 11 II.2.2. Persiapan Sebelum Reparasi Badan Kapal ....................................................... 12 II.2.3. Batas Ketebalan Minimum Badan Kapal.......................................................... 12 II.2.4. Penggantian Satu Lajur Pelat Kulit .................................................................. 13 II.2.5. Reparasi Balok-Balok Konsruksi ..................................................................... 14 II.2.6. Reparasi Pelat Kulit pada Daerah Kamar Mesin dan Buritan Kapal ................. 14 II.3. Karakteristik Baja Karbon ...................................................................................... 14 II.3.1. Jenis Baja Karbon............................................................................................ 14
x
II.3.2. Diagram Fase Fe-Fe3C ..................................................................................... 16 II.3.3. Pengaruh Temperatur Terhadap Baja Karbon Rendah ...................................... 17 II.3.4. Sifat Mampu Las (Weldability) ........................................................................ 20 II.4. Korosi .................................................................................................................... 22 II.4.1. Faktor Penyebab Korosi .................................................................................. 25 II.4.2. Jenis Korosi..................................................................................................... 27 II.4.3. Perhitungan Laju Korosi .................................................................................. 30 II.5. Teori Sel Tiga Elektroda......................................................................................... 32 II.5.1. Komponen Sel Tiga Elektroda ......................................................................... 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................................. 37 III.1. Jenis Metodologi Penelitian .................................................................................... 37 III.2. Pembuatan Spesimen .............................................................................................. 38 III.2.1. Persiapan Peralatan dan Bahan ........................................................................ 38 III.2.2. Langkah Pembuatan Spesimen ........................................................................ 39 III.3. Perlakuan Spesimen Uji.......................................................................................... 41 III.4. Pengujian Spesimen ............................................................................................... 44 III.4.1. Pengujian Korosi ............................................................................................. 44 III.5. Alur Pengerjaan...................................................................................................... 46 BAB IV HASIL EKSPERIMEN .......................................................................................... 49 IV.1. Hasil Pengujian Korosi ........................................................................................... 49 IV.1.1. Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Tanpa Perlakuan Panas... 50 IV.1.2. Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Temperatur 400°C.......... 51 IV.1.3. Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Temperatur 600°C.......... 53 IV.1.4. Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Temperatur 800°C.......... 54 IV.1.5. Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Temperatur 1000°C ........ 56 BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 59 V.1. Data Hasil Pengujian .............................................................................................. 59 V.1.1. Hasil Pengujian Laju Korosi Variasi A (Tanpa Perlakuan Panas) ..................... 59 V.1.2. Hasil Pengujian Laju Korosi Variasi B (400°C) ............................................... 59 V.1.3. Hasil Pengujian Laju Korosi Variasi C (600°C) ............................................... 60 V.1.4. Hasil Pengujian Laju Korosi Variasi D (800°C) ............................................... 60 V.1.5. Hasil Pengujian Laju Korosi Variasi E (1000°C) ............................................. 61 V.2. Analisis Laju Korosi Akibat Pengaruh Temperatur ................................................. 62 V.3. Analisis Reparasi Kapal Terhadap Laju Korosi Pelat Kapal Pasca Terbakar ........... 64 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 67
xi
VI.1. Kesimpulan ............................................................................................................ 67 VI.2. Saran ...................................................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 69 DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN A: SERTIFIKAT PABRIK MATERIAL PELAT KAPAL ASTM A36 LAMPIRAN B: STANDAR ASTM UNTUK METODE PENGUJIAN KOROSI DENGAN MENGGUNAKAN SEL TIGA ELEKTRODA LAMPIRAN C: DATA HASIL UJI KOROSI SEL TIGA ELEKTRODA LAMPIRAN D: DOKUMENTASI KEGIATAN (PERSIAPAN DAN EKSPERIMEN) BIODATA PENULIS
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Segitiga Api ....................................................................................................... 5 Gambar II.2 Diagram Fe-Fe3C untuk Karbon 0,16 wt% C .................................................... 16 Gambar II.3 Kurva pendinginan dalam berbagai media quenching ....................................... 19 Gambar II.4 Diagram CCT (Continuous Cooling Transformation) ....................................... 20 Gambar II.5 Mekanisme Korosi saat Logam kontak dengan Butiran Air .............................. 24 Gambar II.6 Pengeplotan Diagram Tafel yang Diidealkan .................................................... 33 Gambar III.1 Pelat ASTM A36 yang Belum Dipotong ......................................................... 38 Gambar III.2 Satu Set Lem Epoxy........................................................................................ 39 Gambar III.3 Pemotongan Pelat ASTM A36 ........................................................................ 40 Gambar III.4 Pemotongan Spesimen Untuk Uji Korosi ........................................................ 40 Gambar III.5 Identifikasi Spesimen ...................................................................................... 41 Gambar III.6 Pembakaran Spesimen Uji .............................................................................. 41 Gambar III.7 Pemeriksaan Temperatur menggunakan infrared thermometer ........................ 42 Gambar III.8 Infrared Thermometer Menunjukkan Temperatur 600°C ................................. 42 Gambar III.9 Penyiraman Setelah Mencapai Temperatur yang Diinginkan ........................... 42 Gambar III.10 Perlakuan Panas pada Temperatur 800°C ...................................................... 43 Gambar III.11 Perlakuan Panas pada Temperatur 1000°C .................................................... 43 Gambar III.12 Penyiraman Setelah Perlakuan Panas ............................................................ 44 Gambar III.13 Elektroda yang Digunakan Dalam Pengujian Sel Tiga Elektroda ................... 45 Gambar III.14 Larutan Uji Berupa Nacl 3,5% ...................................................................... 45 Gambar III.15 Potensiostat Autolab ..................................................................................... 46 Gambar III.16 Bagan Alir Metodologi Penelitian ................................................................. 48 Gambar IV.1 Grafik Tafel pengujian Spesimen A1 .............................................................. 50 Gambar IV.2 Grafik Tafel pengujian Spesimen B1 .............................................................. 51 Gambar IV.3 Grafik Tafel pengujian Spesimen C1 .............................................................. 53 Gambar IV.4 Grafik Tafel pengujian Spesimen D1 .............................................................. 54 Gambar IV.5 Grafik Tafel pengujian Spesimen E1 ............................................................... 56 Gambar V.1 Laju Korosi Rata-Rata Berdasarkan Temperatur .............................................. 62 Gambar V.2 Diagram CCT untuk spesimen E (1000°C) ....................................................... 64
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Daftar Kecelakaan Kapal Akibat Kebakaran di Dunia ............................................ 8 Tabel II.2 Tabulasi Investigasi KNKT tahun 2007–2013 ........................................................ 8 Tabel II.3 Tabel kapal terbakar hasil investigasi dari KNKT .................................................. 9 Tabel II.4 Ketebalan Minimum yang diijinkan untuk bagian badan kapal ............................. 12 Tabel II.5 Weldability Baja Karbon ...................................................................................... 22 Tabel II.6 Standar Laju Korosi yang Diijinkan ..................................................................... 31 Tabel IV.1 Hasil Pengujian Korosi pada Variabel Tanpa Perlakuan Panas............................ 50 Tabel IV.2 Hasil Pengujian Korosi pada temperatur 400°C .................................................. 52 Tabel IV.3 Hasil Pengujian Korosi pada temperatur 600°C .................................................. 53 Tabel IV.4 Hasil Pengujian Korosi pada temperatur 800°C .................................................. 55 Tabel IV.5 Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Temperatur 1000°C........... 56 Tabel V.1 Hasil pengujian Uji Korosi Rata-rata Variasi A.................................................... 59 Tabel V.2 Hasil pengujian Uji Korosi Rata-rata Variasi B (400°C). ..................................... 60 Tabel V.3 Hasil Pengujian Laju Korosi Rata-rata Variasi C (600°C) .................................... 60 Tabel V.4 Hasil Pengujian Laju Korosi Rata-rata Variasi D (800°C) .................................... 61 Tabel V.5 Hasil Pengujian Laju Korosi Rata-rata Variasi E (1000°C) .................................. 61
xiv
BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Masalah Kebakaran menjadi penyumbang terbesar kedua dari semua jenis kecelakaan kapal
yang terjadi di Indonesia. Menurut catatan investigasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT, 2014), dalam rentang waktu dari tahun 2010 hingga Agustus 2014 telah terjadi 24 kasus kecelakaan kapal akibat kebakaran menyumbang angka 33 persen sebagai penyebab kecelakaan yang paling sering terjadi. Penyebab kebakaran yang paling besar diakibatkan oleh kesalahan manusia dan sisanya karena hal yang bersifat teknis (KNKT, 2013). Kebakaran kapal berdampak juga pada material pembentuk dari unsur baja karbon. Material yang mengalami kebakaran berpengaruh terhadap sifat dan karakteristiknya, karena semakin tinggi temperaturnya akan berbanding lurus kepada laju korosifitas pada material tersebut. Temperatur tinggi memiliki pengertian bahwa air dalam fase gas, atmosfer tidak mengandung air. Temperatur terjadinya oksidasi logam/baja dengan cepat, yaitu di atas 570°C.Temperatur tinggi memberikan pengaruh ganda terhadap degradasi logam yang ditimbulkanya. Pertama, kenaikan temperatur akan mempengaruhi aspek termodinamika dan kinetika reaksi, artinya degradasi akan semakin cepat pada temperatur yang lebih tinggi. Yang kedua, kenaikan temperatur akan mempengaruhi dan merubah struktur dan karakteristik logam. Jika struktur berubah, maka secara umum kekuatan dan karakteristik logam juga berubah. Untuk menekan biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan material, pihak pemilik kapal memutuskan untuk memakai kembali material yang telah mengalami kebakaran namun belum mengalami perubahan bentuk. Yang menjadi permasalahan adalah pemilik kapal tidak memperhitungkan sampai kapan masa pakai material tersebut, sehingga muncul masalah baru lagi seperti penggantian pelat yang dilakukan sebelum jadwal yang sudah direncanakan sebelumnya, dan berakibat pada kerugian pemilik kapal. Untuk mengatasi masalah tersebut, harus diketahui laju korosi dari material pasca terbakar tersebut, sehingga biaya yang dikeluarkan bisa ditekan karena proses perawatan yang terorganisasi dengan baik, sesuai dengan jadwal perbaikan. 1
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian “Analisa Kecepatan Laju Korosi pada Pelat Kapal ASTM A36 Pasca Terbakar dengan Pendekatan Eksperimen”. Dalam penelitian ini material ASTM A36 dilakukan perlakuan panas dengan temperatur uji yang berbeda. Kemudian material tersebut dibuat spesimen untuk selanjutnya dilakukan pengujian laju korosi. Dari nilai laju korosi tersebut bisa dijadikan acuan untuk merencanakan pengelolaan material untuk penggantian selanjutnya. I.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dikaji dalam Tugas Akhir ini
adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengaruh suhu pembakaran terhadap laju korosi baja kapal?
2.
Pada suhu berapakah akan terjadi laju korosi yang paling besar?
3.
Bagaimana nilai laju korosi kapal terbakar dengan variasi temperatur terhadap standar laju korosi?
I.3.
Batasan Masalah Penyusunan Tugas Akhir ini memerlukan batasan-batasan masalah untuk menjadikan
perhitungan dan proses penulisan menjadi lebih efektif. Batasan-batasan adalah sebagai berikut: 1.
Pelat yang digunakan untuk penelitian ini adalah ASTM A36, ABS Grade A,
2.
Variabel suhu 400°C, 600°C, 800°C, 1000°C, ditambah variabel tanpa perlakuan panas sebagai benchmark,
3. I.4.
Larutan uji yang digunakan NaCl 3,5%.
Tujuan Tujuan utama dari tugas akhir ini adalah: 1.
Melakukan analisis terhadap pengaruh temperatur pembakaran terhadap laju korosi baja kapal.
2.
Melakukan pengujian pada temperatur berapakah akan terjadi laju korosi yang paling besar.
3.
Melakukan analisis nilai laju korosi kapal terbakar dengan variasi temperatur terhadap standar laju korosi.
2
I.5.
Manfaat Pada penelitian ini, terdapat dua jenis manfaat penelitian yang dijabarkan, yaitu
manfaat secara akademis dan secara praktis, Secara akademis: 1. Memberikan uraian tentang pengaruh temperatur terhadap nilai laju korosi. 2. Memberikan perhitungan laju korosi pada material ASTM A36 terhadap variasi temperatur 3. Menunjang penelitian-penelitian sebelumnya. Secara praktis: 1. Memberikan pedoman untuk melakukan percobaan menghitung laju korosi 2. Memberikan masukan terhadap pemilik kapal untuk perencanaan material pasca terbakar. I.6.
Hipotesis Hipotesis dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut: 1. Semakin tinggi temperatur menyebabkan laju korosi semakin besar 2. Nilai laju korosi yang terbesar akan terjadi pada suhu percobaan 1000° C 3. Material dengan suhu percobaan 800° C masih sesuai standar laju korosi
I.7.
Sistematika Penulisan Proses pengerjaan tugas akhir ini dilakukan secara sistematis berdasarkan urutan kerja
yang dilakukan oleh penulis : BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang uraian secara umum dan singkat meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, hipotesis, dan sistematika penulisan dari tugas akhir yang disusun. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi penjelasan dari berbagai referensi dan teori yang terkait dengan judul penelitian yang meliputi kecelakaan kapal karena terbakar, reparasi kapal, karakteristik baja karbon rendah, jenis-jenis korosi, sel tiga elektroda.
3
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menjelaskan metode pengerjaan Tugas Akhir yang berisikan tahap-tahap pengerjaan secara sistematis diawali dengan persiapan alat dan bahan, pembuatan spesimen, proses pengujian pembakaran dan pengujian korosi sel tiga elektroda, dan diagram alur pengerjaan tugas akhir ini. BAB IV HASIL EKSPERIMEN Bab ini berisi tentang kegiatan pengumpulan data yang didapatkan dari hasil pengujian sel tiga elektroda dengan metode analisis polarisasi linier berupa grafik tafel, nilai beda potensial, nilai rapat arus, dan nilai laju korosi untuk masing-masing spesimen yang berjumlah tiga buah untuk setiap variasi temperatur. BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN HASIL EKSPERIMEN Bab ini berisi analisis data hasil eksperimen sel tiga elektroda berupa tabel dan analisis laju korosi untuk setiap variasi temperatur dalam bentuk grafik. Serta sifat mekanis spesimen untuk mewakili material tersebut berdasarkan hasil pengujian laju korosi. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian yang telah dilakukan, serta saran untuk penelitian selanjutnya.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Kebakaran
II.1.1. Prinsip Terjadinya Kebakaran Peristiwa kebakaran dibentuk dari api yang merupakan suatu reaksi berantai yang berjalan sangat cepat, seimbang, dan kontinu diantara tiga bahan pembentuk api, yaitu bahan bakar, energi panas, dan oksigen. Api dan tiga elemen pembentuknya itu sering digambarkan berupa Segitiga Api (Fire Triangle). Fire Triangle adalah suatu Segitiga Sama Sisi, dimana sisi-sisinya diberi nama masing-masing elemen pembentuk api: Bahan Bakar (Fuel), Energi Panas (Heat), dan Oksigen (Oxygen). Seperti Gambar II.1.
Gambar II.1 Segitiga Api
(Sumber: http://highterget.blogspot.co.id, 2014) Namun terpenuhinya tiga elemen diatas tidak cukup untuk membuat api menyala, Sebab proses pembakaran diperlukan komponen keempat, yaitu reaksi berantai secara kimiawi (chemical chain reaction). Reaksi diantara ketiga elemen tersebut di atas ditambah oleh reaksi berantai secara kimiawi, hanya akan menghasilkan nyala api apabila kadar dari elemen-elemen pembentuknya benar-benar seimbang. Bila salah satu elemen berkurang kadarnya, maka nyala api akan padam dengan sendirinya. Api merupakan energi berintensitas
5
yang bervariasi dan memiliki bentuk cahaya (dengan panjang gelombang juga di luar spektrum visual sehingga dapat tidak terlihat oleh mata manusia) dan panas juga dapat menimbulkan asap. Api utamanya terdiri dari karbon dioksida, uap air, oksigen dan nitrogen. Jika cukup panas, gas dapat menjadi terionisasi untuk menghasilkan plasma. Tergantung pada zat turunan, dan kotoran luar, warna api dan intensitas api ini akan berbeda. Warna api sangat dipengaruhi oleh elektron-elektron dalam api yang selalu berpindah-pindah. Setiap unsur mempunyai spektrum emisi tertentu dan bila tersorot api, maka akan memancarkan radiasi elektromagnetik yang akan menghasilkan pancaran api dengan warna-warna tertentu. Secara teori, api terjadi dari reaksi pembakaran senyawa yang mengandung oksigen (O2). Jika suatu reaksi pembakaran kekurangan oksigen, maka efisiensi pembakaran berkurang dan menghasilkan suatu senyawa karbon seperti asap (jelaga). Contohnya, lilin akan mati karena jika ditutup dengan gelas. Sebab ia kekurangan oksigen. Faktor yang mempengaruhi warna nyala api adalah faktor fisika (temperatur) dan faktor kimia (zat yang megalami reaksi). Pada pembakaran sodium akan menghasilkan api berwarna jingga, pembakaran stronsium klorida mengahasilkan warna merah, pembakaran kalium nitrat menghasilkan warna ungu, pembakaran boron menghasilkan warna hijau, pembakaran tembaga menghasilkan warna biru, dan sebagainya. Api yang berwarna merah umumnya bersuhu di bawah 1000 derajat celsius. Api berwarga biru, bersuhu lebih tinggi dari api merah, tapi masih di bawah 2000 derajat celcius. Kemudian api yang lebih panas, api putih yang bersuhu di atas 2000 derajat celcius. Api ini juga yang terdapat di dalam inti matahari. Api putih juga digunakan pada industri yang memproduksi material besi dan sejenisnya. II.1.2. Klasifikasi Kebakaran Klasifikasi Kebakaran adalah pengelompokan kebakaran berdasarkan jenis-jenis apinya atau berdasarkan jenis bahan yang terbakar. Klasifikasi kebakaran ini diperlukan untuk memilih metode dan alat yang tepat untuk pemadamannya. Seperti pada jenis-jenis api, klasifikasi kebakaran ada 4 macam (NFPA, 2016), yaitu: 1. Klas A adalah kebakaran dari bahan-bahan yang mudah terbakar seperti kayu, kertas, plastik, tekstil, dan sebagainya.
6
2. Klas B adalah kebakaran dari bahan cair atau gas, seperti Bensin, Solar, Bensol, Butane, dan sebagainya. 3. Klas C adalah kebakaran yang disebabkan oleh arus listrik pada peralatan permesinan, generator, panel-panel listrik, dan sebagainya. 4. Klas D adalah kebakaran dari bahan-bahan logam seperti Titanium, Sodium, Aluminium, dan sebagainya. Dengan mengetahui klas kebakaran, maka dapat dipilih alat dan bahan pemadamnya yang tepat : 1. Untuk kebakaran Klas A Bahan pemadam yang tepat ialah air, namun bisa digunakan bahan lain seperti pasir, tanah, dan alat pemadam CO2. 2. Untuk kebakaran Klas B Bahan pemadam yang tepat ialah Busa (Foam) atau CO2. Penggunaan air tergantung lokasi atau tempat sumber apinya, dalam hal ini jangan sampai penyemprotan air justru menyebabkan minyak dan apinya menyebar ke area yang lebih luas. Penggunaan air untuk pemadaman kebakaran klas B dapat dilakukan bila air yang digunakan, dicampur terlebih dahulu dengan bahan kimia yang bernama Tipol. 3. Untuk kebakaran Klas C Bahan pemadam yang paling baik untuk klas ini ialah CO2. Selain itu bisa digunakan bahan pemadam lain seperti Dry Chemical. 4. Untuk kebakaran Klas D Bahan pemadam yang baik untuk pemadaman kebakaran klas ini adalah Dry Chemical. II.1.3. Kecelakaan Kapal karena Kebakaran 1. Kecelakaan kapal karena Kebakaran di Dunia Kecelakaan kapal terbesar karena kebakaran yang pernah terjadi sejak tahun 2002 hingga tahun 2014 di dunia berdasarkan beberapa sumber, seperti pada Tabel II.1:
7
Tabel II.1 Daftar Kecelakaan Kapal Akibat Kebakaran di Dunia No.
Nama Kapal
Waktu Kejadian
Lokasi Kejadian
1.
Maria Carmela
11 April 2002
Pulau Pagbilao di Quezon,filipina
2.
Princess of Scandinavia
17 Mei 2002
Perairan Laut Utara, Denmark
3.
Sierksdorf
2 Desember 2002
Pelabuhan Aalborg Portland, Denmark
4.
KM. Levina I
22 Februari 2007
Perairan Jakarta-Bangka, Indonesia
5.
Charlotte Maersk
7 July 2010
Perairan Malaysia
6.
Maersk Champion
9 Januari 2012
Perairan pantai Brazil
7.
Britannia Seaways
14 November 2013 Perairan Utara, Nowegia
8.
Norman Atlantic
28 Desember 2014
Laut Adriatik, Italia
(Sumber: Wikipedia, 2002–2014) 2. Kecelakaan kapal karena Kebakaran di Indonesia Kecelakaan kapal di Indonesia terbilang tinggi, menurut data yang dihimpun oleh pihak pemerintah terkait, dimana dalam hal ini diwakili oleh KNKT (Komite Nasional Kecelakaan Transportasi). Berikut data kecelakaan pelayaran yang diinvestigasi oleh KNKT dari tahun 2007-2013 dalam Tabel II.2. Tabel II.2 Tabulasi Investigasi KNKT tahun 2007–2013
No.
Tahun
Jenis Kecelakaan
Jumlah Investigasi
Tenggelam
Terbakar/Meledak
Tubrukan
1
2007
7
4
3
0
2
2008
5
2
3
0
3
2009
4
2
1
1
4
2010
5
1
1
3
5
2011
6
1
3
2
6
2012
4
0
2
2
7
2013
5
1
2
2
36
11
15
10
Jumlah
(Sumber: Database KNKT 27 Desember 2013)
8
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah kecelakaan kapal karena terbakar dari tahun 2007 sampai 2013 berjumlah 15 kejadian. Jumlah tersebut merupakan jenis kecelakaan kapal tertinggi berdasarkan investigasi KNKT. Berikut adalah Tabel II.3 yang berisi tentang nama-nama kapal yang mengalami kecelakaan karena terbakar, Tabel II.3 Tabel kapal terbakar hasil investigasi dari KNKT Tanggal
Nama Kapal
Lokasi
13 Jan 2007
KMP. Nusa Bhakti
Pantai Bug-Bug Karangasem, Bali
22 Feb 2007
KMP. Levina I
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
25 April 2007
MT. Maulana
Tikungan Telepung, Sungai Siak, Riau
27 Jan 2008
MT. Pendopo
Balongan, Indramayu, Jawa Barat
5 Maret 2008
MT. Cendrawasih
Perairan Laut Selatan, Yogyakarta
18 Mei 2008
KMP. Dharma Kencana I
Sungai Mentaya Hilir Selatan Kota Waringin Timur, Kalimantan Selatan
30 Mei 2009
KM. Mandiri Nusantara
Perairan Keramian, Bawean, Jawa Timur
12 April 2010
KM. Gemilang
28 Jan 2011 8 Feb2011 4 Juli 2011 26 Sep 2011 3 Agu 2012 27 Agu 2012 22 Agu 2013 12 Sep 2013
Kade 103 Pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan Perairan Sekitar Pulau Tempurung,Selat Sunda KMP. Laut Teduh 2 Banten Perairan Sebelah Timur, Sekitar Pulau KM. Salvia Damar,Kepulauan Seribu– DKI Jakarta Perairan 45 NM Selatan Pulau Masalembo Besar, KM. Musthika Kencana II Laut Jawa– Jawa Timur KM. Marina Nusantara Alur Pelayaran Sungai Barito,Banjarmasin Dengan TK. Pulau Tiga Kalimantan Selatan 330-22 Kamar Mesin, Jetty Terminal Bahan Bakar Minyak TKG Gemilang Perkasa Pertamina,Samarinda– Kalimantan Timur Kamar Mesin,20 NM Sebelah Barat Pelabuhan MT. Soechi Lesmana Belang-Belang, Mamuju–Sulawesi Barat Perairan Selat Nasik14 Nmil Laut Barat Laut KM. Express Bahari 8C Tanjung Pandan Bangka Belitung Perairan Pelabuhan Khusus Indonesia PowerUnit KM. Pramudita Bisnis Pembangkitan Suralaya, Pulo Merak, Cilegon, Banten
(Sumber: KNKT, 2007–2013)
9
II.2.
Reparasi Kapal Kapal merupakan moda transportasi antar pulau yang biasa digunakan di Indonesia
yang wilayahnya sebagian besar kepulauan. Dalam pengoperasian kapal, mengakibatkan konstruksi dan beberapa bagian dari kapal mengalami pengurangan mutu atau kehilangan seluruh mutu awalnya. Sehingga akan mengganggu operasi selanjutnya, untuk itu perlu memperbaiki dan merawatnya secara berkesinambungan (Soejitno, 2002). Kehilangan sebagian atau seluruh mutu awal tersebut tergantung dari kerusakan yang disebabkan beberapa faktor. Faktor tersebut diantaranya:
Geseran
Pengkaratan
Erosi
Kelelahan material
Pemanasan sampai temperatur yang tinggi
Perubahan struktur material
Pembangunan atau perbaikan yang tidak memenuhi kriteria
Pengoperasian yang terlalu berat
Kecelakaan dan lain-lain
Proses pergeseran menyebabkan perubahan ukuran dan bentuk baik konstruksi dan lainnya. Pengkaratan dan erosi juga menimbulkan pengurangan ukuran, keretakan atau bahkan patah. Pemanasan sampai suhu tinggi pada bagian permesinan atau konstruksinya yang berhubungan langsung dengan gas yang terbakar atau api akan mengakibatkan deformasi, perubahan struktur material, sifat mekanis dan keretakan. Pembangunan atau reparasi yang tidak sesuai ketentuan juga berpengaruh pada pengoperasian dan perbaikan selanjutnya. Pengoperasian yang terlalu berat menimbulkan kerusakan karena tidak sesuai standar operasional. Proses keausan, erosi dan pengkaratan merupakan kejadian yang sulit dihindari pada bagian konstruksi badan kapal dan untuk memperpanjang jangka waktu pemakaian dilakukan dengan melaksanakan petunjuk teknis pemakaian operasional.
10
II.2.1. Cara Mengetahui Kerusakan Bagian Kapal Untuk menentukan keadaan bagian-bagian dari konstruksi, badan kapal dan volume reparasi, perlu diadakan pemeriksaan penyebab kerusakan. Berikut hal yang perlu diperiksa antara lain: 1. Pemeriksaan secara fisik 2. Pemeriksaan secara teknik Pemeriksaan fisik antara lain sinar gamma, sinar-X, Ultrasonic Test, magnetic test, Penetrant test. Pemeriksaan menggunakan sinar gamma, sinar-X, Ultrasonic Test dan Magnetic test biasa digunakan untuk mengetahui cacat permukaan dan dalam material. Penetrant test biasanya digunakan untuk mengetahui cacat permukaan material saja. Nilai positif dari pemeriksaan fisik adalah sederhana, tingkat kepekaan tinggi (lebih teliti), dapat mendeteksi berbagai keadaan dan tanpa membongkar bagian bagiannya.Pemeriksaan teknik terdiri dari pemeriksaan visual, pemeriksaan dimensi, metode minyak kapur, dan kekedapan. Sedangkan untuk menentukan ketebalan konstruksi dapat dilakukan berbagai cara antara lain Hammer Test, Hole test, Linear Dial Gauge, Ultrasonic Test. Dalam menemukan cacat dan ketidaksesuaian ukurannya perlu diperlukan pendahuluan pekerjaan diantaranya: 1. Pembersihan badan kapal terhadap binatang dan benda laut yang menempel, cat dan lapisan mill scale. 2. Pembersihan ruang palkah 3. Mengeringkan dan membersihkan serta mengeluarkan gas yang mudah terbakar pada tangki-tangki minyak dan bahan bakar 4. Membuka akses lintas pekerja. 5. Membongkar bagian dari mesin 6. Membersihkan dari kotoran, minyak, lapisan dan endapan serta korosi. Deformasi pada pelat kulit juga perlu diperhatikan. Deformasi sendiri dapat berupa lekuk dan gelombang. Lekuk ada melenturnya pelat bersama dengan konstruksinya yang ditandai berupa luasan lekukan dan besarnya lekukan berdasarkan lekukan yang terdalam. Gelombang merupakan melenturnya pelat antara 2 konstruksi. Untuk mengukur besarnya lenturan dapat dilakukan dengan penggaris baja yang melentur dan alat ukur panjang. Untuk kriteria kelenturan pelat berdasarkan ketentuan klasifikasi. Jadi nantinya akan dilakukan
11
pengondisian pelat tersebut diperbaiki, diganti atau diperbolehkan juga dapat digunakan sebagai referensi untuk perbaikan ke depan. Deformasi yang masih diijinkan jika besar lenturannya tidak lebih dari 20% dari jarak gading dan perbandingan besarnya lenturan dengan panjangnya lenturan tidak lebih dari 1:20. Gelombang pelat di ijinkan apabila lenturannya tidak lebih dari 5x ketebalan plat dan perbandingan antara besarnya lenturan dengan jarak gading tidak lebih dari 1:20 (Soejitno, 2002). II.2.2. Persiapan Sebelum Reparasi Badan Kapal Ada beberapa hal yang diperlukan sebelum reparasi konstruksi kapal yang sudah disetujui dalam repair list, diantaranya: 1. Pembersihan badan kapal dibawah garis air, untuk mengetahui kondisi pelat kulit kapal. 2. Mengetahui gambar kapal yang meliputi bukaan kulit, general arrangement, konstruksi profil, tank plan dll. 3. Mengetahui sisa cairan yang ada dalam tangki. 4. Report repair yang dilakukan sebelumnya. II.2.3. Batas Ketebalan Minimum Badan Kapal. Ketebalan minimum pelat ditentukan oleh presentase keausan dibanding dengan ketebalan pelat yang didesain dan disetujui Klasifikasi. Berikut Tabel II.4 mengenai keausan maksimal plat yang diijinkan klasifikasi: Tabel II.4 Ketebalan Minimum yang diijinkan untuk bagian badan kapal
No Macam bagian badan kapal 1
yang diijinkan
Pelat kulit lambung: 1. Keel plate, bottom plate, bilge plate
20%
2. Side plate
30%
3. Sheer strake
20%
2
Tank top dan Margin plate
3
Main deck: 1. Stringer plate dan lajur pelat antara geladak
12
Pengurangan ketebalan
20%
20%
antara lambung dengan ambang palkah 2. Pelat geladak antara lubang palkah
30%
4
Geladak bangunan atas dan rumah geladak
30%
5
Dinding sekat memanjang dan melintang
30%
(Sumber: BKI Volume II, 2006)
Berikut beberapa lokasi yang biasanya terjadi kerusakan, antara lain: 1. Pelat lambung antara garis air kapal kosong dan kapal penuh, haluan dan plat dibawah pipa buang 2. Pelat alas dalam pada pertemuan sekat melintang dengan pelat alas dalam 3. Got konstruksi pelat tepi yang miring, sumuran pelat tepi yang horisontal. 4. Sekat pemisah ruang sanitari 5. Pelat geladak utama pada daerah got atau saluran air 6. Dinding sekat bangunan atas dan rumah geladak II.2.4. Penggantian Satu Lajur Pelat Kulit 1.
Persiapan sebelum pemotongan pelat kulit Sebelum pemotongan pelat, dilakukan pekerjaan pendahuluan meliputi: 1. Balok-balok melintang atau memanjang pelat kulit luar ditandai dengan pertolongan Test Hammer serta kapur atau cat 2. Bagian dalam diperiksa, seperti: a. Tangki bahan bakar, air tawar/air laut atau bahan cair lainnya. Sebelumnya harus dilakukan gas free test untuk tangki bahan bakar.. b. Tangki air dikosongkan dengan membuka prop lunas. c. Isolasi atau lapisan dinding yang mudah terbakar dilepas dahulu. d. Pipa yang mengganggu pemotongan pelat kulit dibongkar dahulu 3. Mempersiapkan tenaga dan peralatan pemadam kebakaran pada lokasi yang rawan.
2.
Pemotongan Pelat
pemotongan dari sisi luar
pemotongan dari sisi dalam
13
3.
Pembuatan pelat baru di bengkel
4.
Pemasangan pelat Baru di Kapal
II.2.5. Reparasi Balok-Balok Konsruksi Balok-balok konstruksi juga mengalami kerusakan antara lain: pengkaratan, lekukan, retak, dan kerusakan lain dimana kerusakan ini harus diperbaiki atau diganti baru. Reparasi balok konstruksi yang meliputi: -
Gading pada konstruksi lambung
-
Gading alas pada konstruksi dasar
-
Gading balik pada konstruksi alas dalam
-
Pembujur pada sistem konstrksi memanjang
II.2.6. Reparasi Pelat Kulit pada Daerah Kamar Mesin dan Buritan Kapal Penggantian pelat lambung dan dasar pada kamar mesin dan linggi buritan akan berpengaruh pada kelurusan garis poros yaitu poros baling-baling, poros antara dan motor induk maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1.
Baut-baut pas motor induk dengan pondasi dilepas agar deformasi las tidak akan berpengaruh terhadap motor induknya sendiri,
2.
Motor induk dan peralatan lainnya dianjurkan diangkat dari pondasinya supaya tegangan awal tidak terlalu besar dan memudahkan pengelasan
3.
Menambah tumpuan tambahan misalnya balok-balok samping agar mengurangi tegangan awal.
II.3.
Karakteristik Baja Karbon
II.3.1. Jenis Baja Karbon Logam baja yang dihasilkan dari pengolahan lanjut besi kasar pada dapur konventer atau dapur listrik, dimana hasil pengolahan dari dapur-dapur tersebut menghasilkan baja karbon. Baja pada dasarnya adalah paduan besi dan karbon yang mempunyai kandungan karbon maksimum 1,7%. Selain terdiri dari besi dan karbon, baja juga mengandung unsur lain. Sebagian berasal dari pengotoran bijih besi (misalnya belerang dan phosphor) yang biasanya kadarnya ditekan serendah mungkin. Sebagian lagi unsur yang digunakan pada proses pembuatan besi/baja (misalnya silikon dan mangan). Selain itu, sering kali juga sejumlah unsur paduan sengaja ditambahkan ke dalam untuk memperoleh sifat tertentu sehingga jenis baja akan beragam (Zakharov, 1962).
14
Baja adalah paduan yang paling banyak digunakan manusia, jenis dan juga bentuknya sangat banyak. Karena penggunaannya yang sangat luas, maka berbagai pihak sering membuat klasifikasi menurut kebutuhan masing-masing. Ada beberapa cara mengklasifikasikan baja, diantaranya: •
Menurut penggunaannya: baja konstruksi, baja mesin, baja pegas, baja ketel, baja perkakas dan lainnya.
•
Menurut kekuatannya: baja lunak, baja kekuatan tinggi.
•
Menurut
struktur
mikronya:
baja
eutectoid,
baja
hypoeutectoid,
baja
hypereutectoid, baja feritik dan lainnya. •
Menurut komposisinya: baja karbon rendah, baja karbon menengah, baja karbon tinggi, baja paduan, baja tahan karat.
Adapun pembagian jenis-jenis baja berdasarkan komposisinya: •
Baja karbon rendah (Low Carbon Steel / Mild Steel) mengandung karbon antara 0,1% sampai dengan 0,3%. Di pasaran biasanya baja karbon rendah dijual dalam bentuk batang (profil), pelat-pelat baja dan baja strip. Baja karbon rendah sangat luas penggunaannya, yaitu sebagai baja konstruksi umum untuk baja profil rangka bangunan, baja tulangan beton, rangka kendaraan, mur-baut, pipa, pelat dan lain-lain. Strukturnya terdiri dari ferit dan sedikit perlit sehingga kekuatan baja ini relatif rendah, lunak tetapi keuletannya tinggi, mudah di-bending dan di-machining. Baja ini tidak dapat dikeraskan (kecuali dengan pengerasan permukaan). Ada juga sangat rendah, yaitu kurang dari 0,15% sebagai dead mild steel yang biasanya digunakan untuk besi lembaran, besi ton, besi strip dan lainnya. (Zakharov, 1962).
•
Baja karbon menengah (Medium Carbon Steel) yang mempunyai kandungan karbon sebesar 0,30% sampai dengan 0,70% masih terdiri dari ferrit dan perlit juga, tetapi dengan perlit yang cukup banyak. Dengan kandungan perlit yang cukup banyak, baja karbon ini lebih kuat dan keras serta dapat dikeraskan akan tetapi akan membuatnya lebih getas. Baja karbon jenis ini banyak digunakan untuk konstruksi mesin, seperti poros, poros engkol, batang torak, roda gigi, pegas dan lain-lain, yang lebih memerlukan kekuatan dan ketangguhan yang tinggi (Zakharov, 1962).
•
Baja karbon tinggi (High Carbon Steel) mempunyai kadar karbon antara 0,70% sampai dengan 1,3% yang bersifat lebih kuat dan lebih keras, tetapi keuletan dan ketangguhannya rendah. Baja jenis ini digunakan untuk konstruksi mesin yang 15
membutuhkan kekuatan dan ketangguhan yang tinggi dan untuk perkakas yang memerlukan sifat tahan aus, misalnya untuk gunting, mata bor, reamer dan perkakas yang lain (Zakharov, 1962). •
Baja campuran atau baja khusus (alloy steel) adalah baja yang sudah mengalami proses penambahan unsur-unsur paduan yang bertujuan untuk memperbaiki sifat kekerasan dan keuletan.
•
Baja tahan karat yang biasanya disebut stainless steel, bersifat memberikan perlawanan terhadap karat. Dan untuk menghasilkan baja tahan karat, baja karbon ditambahi unsur paduan kromium sebesar 2%.
II.3.2. Diagram Fase Fe-Fe3C
A3 A1
0,16 Gambar II.2 Diagram Fe-Fe3C untuk Karbon 0,16 wt% C (Sumber: Callister & Rethwisch, 2011)
Diagram fase Fe-Fe3C menampilkan hubungan antara temperatur dan kandungan karbon (% C) selama pemanasan lambat. Dari diagram fase tersebut dapat diperoleh informasi-informasi penting yaitu antara lain:
16
1. Fase yang terjadi pada komposisi dan temperatur yang berbeda dengan kondisi pendinginan lambat. 2. Temperatur pembekuan dan daerah-daerah pembekuan paduan Fe-C bila dilakukan pendinginan lambat. 3. Temperatur cair dari masing-masing paduan. 4. Batas-batas kelarutan atau batas kesetimbangan dari unsur karbon pada fase tertentu. 5. Reaksi-reaksi metalurgis yang terjadi, yaitu reaksi eutektik, peritektik dan eutektoid. Baja mengalami perubahan fase dalam keadaan padat setelah mengalami pemanasan dengan temperatur tertentu. Diantara fase tersebut antara lain: 1. Ferit merupakan larutan padat karbon dalam besi, kelarutan karbon maksimum 0,025% (pada 727°C) dan 0,008% pada temperatur kamar. Ferit mempunyai keuletan tinggi namun tingkat kekuatan dan kekerasannya rendah. 2. Austenit merupakan larutan padat karbon di dalam besi yang mempunyai nilai ketangguhan yang tinggi,namun tidak stabil dalam temperatur kamar. 3. Sementit mempunyai nilai kekerasan tinggi, namun mempunyai kekuatan yang rendah dan getas. 4. Perlit merupakan eutektoid campuran fase dari ferit dan sementit yang mengandung 0,8% C, yang terbentuk pada temperatur 727°C sehingga mempunyai sifat mekanis yang kuat. 5. Ledeburit merupakan eutektoid campuran fase dari austenit dan sementit. Ledeburit mengandung 4,3% C yang terbentuk pada temperatur 1130°C. 6. Temperatur kritis bawah (A1) adalah temperatur eutektoid pada diagram Fe-Fe3C di atas 727°C, dimana terjadi reaksi eutektoid. 7. Temperatur kritis atas (A3) adalah temperatur awal terjadinya perubahan alotropik dari ferit ke austenit (pada proses pendinginan) atau akhir perubahan alotropik dari ferit ke austenit. 8. Garis Solvus Acm adalah batas kelarutan karbon yang ada di dalam austenit. II.3.3. Pengaruh Temperatur Terhadap Baja Karbon Rendah Temperatur sangat berpengaruh terhadap setiap material apapun. Termasuk pada material baja, atau dalam tugas akhir ini pada baja karbon rendah. Temperatur berpengaruh
17
terhadap sifat material itu sendiri, seperti yang terlihat pada diagram fase Fe-Fe3C yang memperlihatkan hubungan antara temperatur dengan material baja karbon (persentase komposisi karbon dalam material tersebut atau w.t.% C). dalam peristiwa kebakaran pada kapal, temperatur dapat mencapai tingkat yang ekstrim dan menyebabkan perubahan bentuk atau deformasi pada pelat kapal. Maka dari itu perlu dibuat analogi antara peristiwa kebakaran kapal dengan proses perlakuan panas. Proses perlakuan panas yang dapat dianalogikan dengan peristiwa kebakaran kapal adalah quenching. Quenching adalah proses perlakuan panas dimana prosesnya dilakukan dengan pendinginan yang relatif cepat dari temperatur austenisasi (umumnya pada jarak temperatur 815oC–870oC) pada baja. Keberhasilan proses quenching ditentukan oleh media quenching (quenchant medium) yang digunakan. Untuk menentukan media quenching, sangat bergantung pada mampu keras (hardenability) dari logam, ketebalan dan bentuk dari benda uji yang akan quenching. Serta struktur mikro yang diinginkan dari hasil proses quenching (ASM International,1991). Adapun media quenching yang sering digunakan adalah media cair (liquid) dan gas: 1. Media quenching cair adalah oli, air, larutan polimer (aquos polymer solution), Larutan garam (Brine). 2. Media quenching gas adalah helium, argon, dan nitrogen. Tujuan dari proses quenching secara umum pada baja (baja karbon, low alloy steel, dan tool steel) adalah untuk proses hardening, yaitu menghasilkan struktur mikro martensit pada baja tersebut. Proses hardening yang baik adalah bila mendapatkan harga kekerasan, kekuatan, dan toughness yang besar tetapi dengan residual stress, distorsi, dan cracking yang minimal. Pada stainless steel dan high alloy steels tujuan proses quenching adalah untuk meminimalisasi keberadaan batas butir karbida atau untuk meningkatkan distribusi ferit (ASM International,1991). Perlakuan panas quenching ini menghasilkan suatu produk yang memiliki kekerasan sangat tinggi, dan karenanya sering disebut sebagai proses pengerasan, atau hardening. Nilai kekerasan yang dimiliki oleh produk quenching ini dipengaruhi oleh temperatur pemanasannya. Pada temperatur ini terjadi perubahan fase, dari fase ferit dan perlit menjadi fase austenit. Proses quenching diperoleh dengan melakukan pendinginan dari temperatur austenit ke temperatur kamar dengan laju pendinginan yang sangat cepat. Umumnya
18
pendinginan dilakukan dengan media air atau oli. Pada Gambar II.3 ditunjukkan kurva pendinginan berdasarkan media yang digunakan dalam proses quenching.
Gambar II.3 Kurva pendinginan dalam berbagai media quenching (Sumber: Thelning,1984)
Pada saat Pendinginan, terjadi transfomasi fase atau perubahan fase yaitu konversi austenit menjadi struktur martensit. Martensit memiliki nilai kekerasan yang tinggi. Nilai kekerasan ini tergantung pada banyak variabel, baik variabel bahan bajanya yaitu komposisi kimia, atau proses laku panasnya seperti temparatur pemanasan, laju pendinginan, waktu penahanan, atau holding time. Variabel-variabel tersebut akan berpengaruh terhadap struktur mikro akhir dari produknya. Pada temperatur austenisasi yang lebih tinggi butir-butir austenit akan tumbuh membesar. Pada butiran austenit yang lebih besar, luas batas butir atau jumlah titik sebagai tempat pengintian untuk terjadinya dekomposisi fase austenit menjadi perlit semakin rendah (Thelning, 1984).. Dekomposisi dan pertumbuhan perlit akan menjadi terhambat, hal ini akan memudahkan transformasi austenit menjadi martensit, sehingga dengan membesarnya butiran austenit, maka baja akan mempunyai kemampukerasan yang lebih tinggi. Artinya austenit akan lebih mudah terdekomposisi menjadi martensit pada austenit yang berukuran besar. Struktur Martensit yang terbentuk dari temperatur pemanasan yang lebih tinggi akan memilki
19
kerapatan dislokasi yang tinggi. Sehingga baja yang mengalami pendinginan yang cepat dengan temperatur pemanasan yang lebih tinggi akan memilikii fase martensit dengan kekerasan yang tinggi pula (Thelning, 1984). Perubahan fase material baja karbon saat proses pendinginan/quenching, terlihat pada diagram CCT (Continuous Cooling Transformation).
Gambar II.4 Diagram CCT (Continuous Cooling Transformation) (Sumber: Thelning, 1984)
II.3.4. Sifat Mampu Las (Weldability) Weldability merupakan kemampuan untuk dilakukannya pengelasan pada suatu material dan menjadi salah satu pertimbangan pada pemilihan material yang akan digunakan dalam pembangunan kapal. Karbon adalah unsur yang paling signifikan dalam mempengaruhi weldability, pengaruh dari unsur-unsur lain dapat diperkirakan dengan menyamakan mereka untuk jumlah yang setara dengan karbon. dengan demikian, efek dari kandungan paduan dapat dinyatakan dalam hal kesetaraan karbon. salah satu rumus empiris yang dapat digunakan untuk menilai risiko underbead cracking pada baja karbon (AWS, 1982) adalah:
=%
20
%
%
................................(II.1)
Semakin besar nilai carbon equivalent, maka semakin rendah weldability suatu material baja karbon. Secara umum dengan karbon 0,2 dan mangan 1,6 akan memilik nilai CE sebesar 0,6. Yang mana nilai CE tersebut relatif mempunyai sensitivitas terhadap underbead cracking sekitar 56%. Secara umum, kerentanan terjadinya underbead cracking karena peningkatan hidrogen terjadi saat nilai CE melampaui 40. Faktor yang Mempengaruhi Sifat Mampu Las (Weldability) Pada Material: 1.
Ketegangan saat pendinginan.Secara teori pengelasan (welding) material las (logam las/weld metal) akan berkontraksi selama pendinginan. Karena kerapuhan dari besi tuang inilah kontraksi cast iron mempunyai kemampuan yang lebih rendah dibandingkan Baja.
2.
Bentuk yang tidak beraturan.Umumnya Besi Tuang ini dibuat dalam bentuk yang tidak berarturan atau boleh saya bilang artistik. Dengan adanya bentuk yang rumit besi tuang tersebut sedikit banyak mempunyai ketebalan yang tidak seragam hal ini akan mempengaruhi kontraksi tegangan yang terjadi pada material tersebut dan mudah terjadi retak dan perlu diingat juga yang melatar belakangi ini adalah sifatnya yang mempunyai daya lentur yang sangat rendah.
3.
HAZ yang keras.HAZ pada Besi Tuang yang berdekatan dengan Weld Metal akan mempunyai sifat yang keras. Pengerasan ini diakibatkan oleh adanya bagian HAZ yang tidak ikut mencair.
4.
Pengikatan Karbon dari Base Metal.Akibat Pengelasan Besi tuang yang tercampur dengan Base Metal akan menyebabkan terjadinya pengikatan karbon pada weld metal sehingga menyebabkan peningkatan kandungan sulfur dan fosfor dalam weld metal tersebut.
5.
Penyerapan Minyak pada Besi Tuang.Karena bentuk kareketeristik material ini ratarata berpori maka kemungkinan terjadinya peresapan minyak dalam graphite yang menyebabkan porositas pada logam las. Biasanya sering dialami oleh praktisi welding, repair pada saat maintenance. Pada baja karbon, weldability merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan dalam
pemilihan material untuk dilakukannya pengelasan dalam pembuatan struktur bangunan, atau dalam hal ini adalah pembangunan kapal. Jika weldability rendah, maka harus ditinjau ulang untuk pemilihan material. Berikut adalah tingkat weldability pada jenis-jenis baja karbon yang disajikan pada Tabel II.5: 21
Tabel II.5 Weldability Baja Karbon
Kandunga n Karbon (%)
Aplikasi
Weldability
Ingot iron
0,03 max
Sebagai plat untuk pengerjaan deep drawing
Sangat baik
Baja karbon rendah kurang dari 0,15%
0,15 max
Elektroda las, sheet, strip
Sangat baik
Baja lunak
0,15-0,30
Baja struktur, plat, bar
Sangat baik
Material
Baja karbon sedang
0,30-0,50
Komponen mesin
Cukup (rata-rata memerlukan pre-heat dan post-heat)
Baja karbon tinggi
0,50-1,00
Pegas, die, rel kereta
Buruk (perlu dilakukan preheat dan post-heat)
(Sumber: AWS, 1982)
II.4.
Korosi Korosi adalah peristiwa rusaknya logam karena reaksi dengan lingkungannya Definisi
lainnya adalah proses perusakkan logam, dimana logam akan mengalami penurunan mutu karena bereaksi dengan lingkungan baik itu secara kimia maupun elektrokimia pada saat pemakaiannya Korosi berasal dari bahasa latin “Corrode” yang artinya karat. Sedangkan untuk lebih memahami pengertian korosi, di bawah ini disajikan beberapa definisi korosi: 1. Korosi adalah serangan yang bersifat merusak pada suatu logam oleh reaksi kimia atau elektrokimia dengan lingkungannya. Istilah karat digunakan untuk korosi besi atau campuran besi (ferrous alloy) dengan pembentukan produksi korosi berupa oksida besi (Roberge, 1999). 2. Korosi adalah penurunan mutu logam akibat reaksi elekrokimia dengan lingkungan. Istilah karat (rust) adalah sebutan yang hanya digunakan khusus pada korosi besi. (Fontana, 1987)
22
3. Korosi adalah penurunan mutu atau kerusakan bahan karena berinteraksi dengan lingkungannya. Istilah karat hanya digunakan untuk korosi logam (Trethewey; Chamberlain, 1991) Dari ketiga definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa korosi adalah reaksi kimia atau elektrokimia antara logam dengan lingkungannya, yang dapat mengakibatkan penurunan sifat atau mutu logam Korosi pada logam terjadi akibat interaksi antara logam dan lingkungan yang bersifat korosif, yaitu lingkungan yang lembap (mengandung uap air) dan diinduksi oleh adanya gas O2, CO2, atau H2S. Korosi dapat juga terjadi akibat suhu tinggi. Korosi pada logam dapat juga dipandang sebagai proses pengembalian logam ke keadaan asalnya, yaitu bijih logam. Misalnya, korosi pada besi menjadi besi oksida atau besi karbonat. 4Fe(s) + 3O2(g) + 2nH2O(l) → 2Fe2O3.nH2O(s)…………………………………(II.2) Fe(s) + CO2(g) + H2O(l) → Fe2CO3(s) + H2(g)…………………………………..(II.3) Oleh karena korosi dapat mengubah struktur dan sifat-sifat logam maka korosi cenderung merugikan. Diperkirakan sekitar 20% logam rusak akibat terkorosi pada setiap tahunnya. Logam yang terkorosi disebabkan karena logam tersebut mudah teroksidasi. Menurut tabel potensial reduksi standar, selain logam emas umumnya logam-logam memiliki potensial reduksi standar lebih rendah dari oksigen. Jika setengah reaksi reduksi logam dibalikkan (reaksi oksidasi logam) digabungkan dengan setengah reaksi reduksi gas O2 maka akan dihasilkan nilai potensial sel, Esel positif. Jadi, hampir semua logam dapat bereaksi dengan gas O2 secara spontan. Oleh karena besi merupakan bahan utama untuk berbagai konstruksi maka pengendalian korosi menjadi sangat penting. Untuk dapat mengendalikan korosi tentu harus memahami bagaimana mekanisme korosi pada besi. Korosi tergolong proses elektrokimia, seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.5.
23
Gambar II.5 Mekanisme Korosi saat Logam kontak dengan Butiran Air
Sumber: (Brown et. al, 1977)
Korosi adalah reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari, korosi disebut perkaratan. Contoh korosi yang paling lazim adalah perkaratan besi. Pada peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (udara) atau elektrolit mengalami reduksi. Karat logam umumnya adalah berupa oksida dan karbonat. Rumus kimia karat besi adalah Fe2O3. x H2O, suatu zat padat yang berwarna coklat-merah. Mekanisme korosi tidak terlepas dari reaksi elektrokimia. Proses elektrokimia melibatkan perpindahan elektron-elektron. Perpindahan elektron merupakan hasil reaksi redoks (reduksi-oksidasi). Mekanisme korosi melalui reaksi elektrokimia melibatkan reaksi anodik dan reaksi katodik. a. Reaksi Anodik (Oksidasi) Reaksi Anodik terjadi di daerah anode. Reaksi anodik (oksidasi) diindikasikan melalui peningkatan valensi atau produk elektron-elektron. Reaksi anodik yang terjadi pada proses korosi logam, yaitu : M → Mn+ + ne
……………………………..(II.4)
Proses korosi dari logam M adalah proses oksidasi logam menjadi satu ion (n+) dalam pelepasan n elektron. Harga dari n bergantung dari sifat logam sebagai contoh besi : Fe → Fe2+ + 2e
24
……………………………..(II.5)
b. Reaksi Katodik (Reduksi) Reaksi katodik terjadi di daerah katode. Reaksi katodik diindikasikan melalui penurunan nilai valensi atau konsumsi elektron-elektron yang dihasilkan dari reaksi anodik. Beberapa reaksi katodik yang terjadi selama proses korosi logam, yaitu : Pelepasan gas hidrogen 2H+ + 2e → H2
……………………………..(II.6)
Reduksi oksigen O2 + 4H+ + 4e → 2H2O
……………………………..(II.7)
O2 + 2H2O + 4e → 4OH-
……………………………..(II.8)
Reduksi ion logam Fe3+ + e → Fe2+
……………………………..(II.9)
Pengendapan logam 3Na+ + 3e → 3Na
……………………………(II.10)
Reduksi ion hidrogen O2 + 4H+ + 4e → 2H2O
……………………………(II.11)
Reaksinya korosi yang lain dapat digambarkan pada reaksi besi yang dicelup ke dalam asam klorida (HCl) dengan reaksi: Fe + 2HCl → FeCl2 + H2 ( g )
……………………………(II.12)
II.4.1. Faktor Penyebab Korosi Hal yang mempengaruhi proses korosi adalah logam dan lingkungannya. Korosi merupakan reaksi elektrokimia sehingga senyawa yang terkandung baik pada logam maupun lingkungan sangat berpengaruh. Dalam hal ini, maka komposisi yang terkandung pada logam akan mempengaruhi laju korosi. Elektroda pengelasan yang digunakan juga berpengaruh karena memiliki unsur kimia yang berbeda sehingga laju korosi akan berbeda tiap elektroda. 25
Faktor lain yang berpengaruh adalah kondisi lingkungan. Beberapa hal pada lingkungan yang mempengaruhi atau menjadi penyebab korosi diantaranya (Widharto, 1987): a. Adanya oksigen terlarut atau bahan oksidator yang lain pada lingkungan yang dapat mempengaruhi laju korosi yang terjadi. b. Kecepatan Media Pengaruh kecepatan media terhadap laju korosi tergantung pada karakteristik logam dan lingkungan dimana benda tersebut berada. c. Garam Terlarut Garam merupakan senyawa kimia yang bersifat pengoksida ataupun bersifat pereduksi, sehingga tingkatan kadar garamnya bisa sebanyak mungkin atau sekecil mungkin. Kadar garam yang terlarut dalam lingkungan sangat berpengaruh terhadap laju korosi. d. Konsentrasi Gas Hal ini karena fase gas merupakan zat yang mudah bereaksi dengan senyawanya. Dengan menganalisa kandungan gas yang ada maka gas-gas yang sangat berpengaruh harus dikurangi sekecil mungkin. Jenis gas yang sangat berpengaruh terhadap proses korosi adalah CO2 dan O2 selain itu ada jenis gas lain yang ikut berpengaruh, diantaranya adalah NH3, H2S, Cl2 dan H2. Gas-gas tersebut bersifat katalisator terhadap proses korosi. e. Aksi dari Bakteri Anaerobik Secara teoritis apabila tidak terdapat zat asam, maka laju pengkaratan pada baja relatif lambat, namun pada kondisi-kondisi tertentu ternyata laju pengkaratannya tinggi sekali, setelah diselidiki ternyata di daerah tersebut hidup sejenis bakteri yaitu bakteri anaerobik yang hanya bertahan dalam kondisi tanpa zat asam. Bakteri ini mengubah (reducing) garam sulfat menjadi asam yang reaktif dan menyebabkan karat (rust). Bakteri ini juga lazim disebut Sulfate Reducing Bacteria, dan jenisnya adalah Sporovibrio Desulfuricans. f. Temperatur Temperatur mempengaruhi kecepatan reaksi redoks pada peristiwa korosi. Secara umum, semakin tinggi temperatur maka semakin cepat terjadinya korosi. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya temperatur maka meningkat pula energi kinetik partikel sehingga kemungkinan terjadinya tumbukan efektif pada reaksi redoks semakin besar. Dengan demikian laju korosi pada logam semakin meningkat. Efek korosi yang disebabkan oleh pengaruh temperatur dapat dilihat pada perkakas26
perkakas atau mesin-mesin yang dalam pemakaiannya menimbulkan panas akibat gesekan (seperti cutting tools) atau dikenai panas secara langsung (seperti mesin kendaraan bermotor). g. Kadar keasaman (pH) Kecepatan korosi relatif konstan pada pH antara 4-10. Pada pH kurang dari 4, bersifat asam, menyebabkan terjadinya pelepasan hidrogen pada beberapa kondisi asam khususnya yang mengandung sulfida, hydrogen yang terjadi akan terdistribusi ke dalam baja dan menyebabkan blistering pada baja yang berkekuatan rendah (low strength steel) dan cracking pada baja kuat (high strength steel). Pada pH di atas 10 kecepatan korosi menurun, garam terlarut secara umum menambah kecepatan korosi karena garam ini dapat meningkatkan konduktivitas larutan. h. Kecepatan aliran Kecepatan aliran bisa meningkatkan laju korosi khususnya bila ada aliran tolakan. Pergolakan air laut menyebabkan hancurnya lapisan pelindung apalagi kalau aliran larutan tersebut mengandung partikel-partikel padat. Selain itu benturan-benturan mempercepat penetrasi, sedangkan peronggaan memperbanyak bagian permukaan baja yang tersingkap korosi berlanjut. Namun pada sisi lain, yaitu secara elektrokimia pada kecepatan tertentu kecepatan aliran bisa mengganggu konsistensi dari reaksi korosi dan hal ini bisa menurunkan laju korosi. Pada kecepatan aliran yang relatif tinggi dimana logam tercelup, bisa meningkatkan laju korosi. Jika hal tersebut berlanjut bisa mengakibatkan korosi erosi yang diawali dengan rusaknya lapisan film logam yang selanjutnya permukaan logam akan mengalami kerusakan. i. Pengotoran biologis Menempelnya hewan-hewan berkulit keras cenderung meredakan serangan korosi karena menghambat masuknya oksigen. Dalam keadaan lain dimana yang menempel sedikit dan terisolasi justru bisa menyebabkan korosi lubang akibat aerasi diferensial di bawah hewan yang menempel tersebut. II.4.2. Jenis Korosi Pengklasifikasian korosi dapat ditinjau dari cara korosi tersebut terbentuk dan tiap-tiap bentuk dikenali secara pengamatan visual. Dalam banyak kasus, pengamatan visual sudah cukup tetapi pada beberapa kasus tertentu diperlukan pengamatan dengan alat bantuan.
27
Bentuk-bentuk korosi berdasarkan karakteristik, mekanisme dan pencegahannya sebagai berikut: 1. Uniform Attack Uniform attack atau biasa disebut dengan korosi menyeluruh adalah jenis korosi yang paling banyak merusak logam. Jenis korosi ini, bagaimanapun tidak terlalu berbahaya jika ditinjau dari segi teknik. Hal ini karena lifetime dari sebuah konstruksi yang mengalami korosi dapat diperkirakan dengan menggunakan percobaan secara sederhana. Uniform attack dapat dicegah dengan cara melakukan perlindungan material seperti pengecatan, inhibitors atau dengan perlindungan katodik (Fontana, 1987) 2. Galvanic Corrosion Perbedaan potensial biasanya terjadi antara dua buah logam yang berbeda ketika keduanya berada dalam satu elektrolit. Ketika dua logam tak sejenis berada dalam satu elektrolit maka terjadi perbedaan potensial yang menghasilkan aliran elektron diantara kedua logam. Logam dengan daya korosi lebih tinggi akan terlindungi dari korosi dan logam dengan daya korosi rendah akan mengalami korosi. Pada logam dengan daya korosi rendah akan menjadi anoda dan logam dengan daya korosi tinggi menjadi katoda. Karena adanya aliran arus listrik dan perbedaan jenis logam maka jenis korosi ini dinamakan galvanic (Fontana, 1987) 3. Crevice Corrosion Crevice Corrosion adalah jenis korosi yang terjadi di dalam celah dan pada daerah permukaan logam yang terlindungi. Jenis ini sering terjadi pada volume kecil yang tetap pada daerah-daerah permukaan logam, biasanya disebabkan oleh lubang, celah di bawah paku keeling, dan baut (Fontana, 1987). Crevice corrosion terjadi dengan mekanisme sebagai berikut (Trethewey and Chamberlain, 1991): a. Mula-mula elektrolit diandaikan memiliki komposisi seragam, korosi terjadi secara perlahan di seluruh permukaan logam terbuka. b. Pengambilan oksigen yang terlarut menyebabkan lebih banyak lagi difusi oksigen dari permukaan-permukaan elektrolit yang kontak langsung dengan atmosfer. Oksigen di permukaan logam lebih mudah dikonsumsi daripada yang ada di dalam celah sehingga pembangkitan ion negatif dalam celah berkurang.
28
c. Untuk mempertahankan keadaan maka ion negatif di luar celah terdifusi ke dalam celah. Korosi terjadi karena mendapat ion-ion kompleks antar klorida akibat ionion logam mengalami reaksi dengan air. d. Keadaan akan semakin memburuk jika terjadi peningkatan konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi anion di dalam celah. 4. Pitting Corrosion Pitting corrosion adalah korosi lokal yang menyerang permukaan logam, hasil dari korosi jenis ini adalah lubang di permukaan logam. Logam yang terjadi memiliki diameter yang berbeda mulai dari kecil sampai besar. Tetapi pada kebanyakan kasus diameter yang terjadi relatif kecil (Fontana, 1987). 5. Intergranular Corrosion Intergranular corrosion adalah korosi yang terjadi pada batas butir. Batas butir sering menjadi tempat mengumpulnya impurity, juga merupakan daerah yang lebih tegang. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan untuk terjadi korosi. Korosi jenis ini merupakan salah satu jenis korosi yang sangat berbahaya, karena akan sangat menurunkan kekuatan dan ketangguhan suatu konstruksi. Intergranular corrosion juga sangat sulit untuk dideteksi sehingga kerusakan pada suatu alat maupun konstruksi dapat terjadi tanpa diketahui tanda-tanda terjadinya. 6. Selective Leaching Korosi jenis ini menyerang seluruh permukaan terbuka, sehingga bentuk keseluruhan tidak ada perubahan. Hilangnya sebuah unsur paduan dalam jumlah besar menjadikan logam berpori-pori dan hampir tanpa kekuatan mekanik lagi. Efek ini bersifat sangat lokal sehingga yang terbentuk bukan pori melainkan lubang. 7. Erosion Corrosion Erosion corrosion adalah percepatan atau penambahan korosi dari logam akibat gerak relatif antara cairan korosif dengan permukaan logam. Biasanya gerakan relatif yang terjadi termasuk gerakan cepat sehingga efek yang terjadi adalah abrasi. Permukaan logam akan hilang, sehingga hasil yang diperoleh berupa suatu bentuk aliran pada permukaan logam. (Fontana, 1987) 8. Stress Corrosion Stress corrosion adalah korosi yang terjadi akibat bekerjanya tegangan dan media yang korosif. Akibat dari korosi ini adalah keretakan pada logam akibat adanya tegangan tarik. Tegangan tarik tersebut dapat berupa tegangan sisa.
29
II.4.3. Perhitungan Laju Korosi Laju korosi adalah peristiwa merambatnya proses korosi yang terjadi pada suatu material. Pada beberapa pengujian korosi sebagian besar yang dilakukan adalah laju korosi. Hal ini disebabkan laju korosi berkaitan erat dengan nilai ekonomis dan teknis material. Laju korosi merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur ketahanan terhadap korosi pada material sehingga nantinya dapat diperkirakan kapan material tersebut dinyatakan layak dan kapan tidak layak. Satuan yang digunakan adalah mpy (mils per year). Umumnya, perhitungan laju korosi bisa dilakukan menggunakan 2 metode yaitu kehilangan berat dan elektrokimia. Penjelasan kedua metode tersebut sebagai berikut: Metode Kehilangan Berat Metode kehilangan berat adalah perhitungan laju korosi dengan mengukur kekurangan berat akibat korosi yang terjadi. Metode ini menggunakan jangka waktu penelitian hingga mendapatkan jumlah kehilangan akibat korosi yang terjadi. Berikut adalah perhitungan laju korosinya berdasarkan ASTM G1-90:
(
)=
×
CR
= Corrosion Rate (mils per year)
W
= Weight Loss (gram)
K
= Constanta Factor
D
= Spesimen Density (gr/cm3)
As
= Surface Area (cm2)
T
= Exposure Time (hours)
........................................................................(II.13)
Cara kerja dari metode ini adalah dengan mengukur kembali berat dari benda uji setelah dilakukan pengujian. Pengurangan berat yang terjadi itulah yang digunakan sebagai acuan laju korosi. Metode Elektrokimia Metode elektrokimia adalah metode mengukur laju korosi dengan mengukur beda potensial objek hingga didapat laju korosi yang terjadi. Kelemahan metode ini adalah tidak dapat menggambarkan secara pasti laju korosi yang terjadi secara akurat karena hanya dapat
30
mengukur laju korosi hanya pada waktu tertentu saja. Kelebihan metode ini dapat langsung mengetahui laju korosi pada saat di ukur, hingga waktu pengukuran tidak memakan waktu yang lama Rumus untuk menghitung laju korosi berdasarkan Hukum Faraday (ASTM G1-90):
=
……………………(II.14)
Dimana, CR
= Laju Korosi (mpy atau mmpy)
K
= Faktor Konstanta, mpy = 0,129; mm/year = 0,00327
a
= Berat atom logam yang terkorosi (gram/mol)
i
= Kerapatan arus (μA / cm2)
n
= Jumlah elektron yang dilepas pada logam terkorosi
D
= massa jenis logam terkorosi (gram / cm3) Ketahanan terhadap korosi umumnya nilai laju korosi antara 1-200 mpy. Dapat dilihat
pada Tabel II.6 yang menggolongkan tingkat ketahanan material berdasarkan laju korosinya (Fontana, 1987). Tabel II.6 Standar Laju Korosi yang Diijinkan
Relative Corrosion Resistance
Approximate Metric Equivalent mpy
mm/year
μm/yr
nm/yr
pm/sec
Outstanding
<1
< 0.02
< 25
<2
<1
Excellent
1–5
0.02–0.1
25–100
2–10
1–5
Good
5–20
0.1–0.5
100–500
10–50
5–20
Fair
20–50
0.5–1
500–1000
50–100
20–50
Poor
50–200
1–5
1000–5000
150–500
50–200
Unacceptable
200+
5+
5000+
500+
200+
(Sumber: Fontana,1987)
31
II.5.
Teori Sel Tiga Elektroda Sel tiga elektroda didasarkan dari teori Voltametri, Voltametri termasuk dalam
kategori metode elektroanalisis yang digunakan dalam bidang kimia yang bersifat analitis dan berbagai proses pada kegiatan perindustrian. Dalam Voltametri, informasi tentang suatu komponen analisis diperoleh dengan cara mengukur arus sebagai potensial yang beragam (Zoski,2007). Percobaan Voltametri meneliti reaktivitas sel setengah dari suatu komponen analisis. Voltametri adalah studi tentang arus sebagai fungsi potensial yang diterapkan. Kurva I = f (E) disebut voltamogram. Potensial bervariasi secara independen baik secara langkah demi langkah atau secara kontinu, dan nilai kuat arus aktual diukur sebagai variabel dependen. Sebaliknya, yaitu, Amperometry, juga mungkin saja terjadi, tapi tidak umum. Bentuk kurva tergantung pada kecepatan variasi potensial (sifat asli gaya pendorong) dan apakah larutan diaduk atau tidak (perpindahan massa). Sebagian besar percobaan mengendalikan potensial (Volt) dari elektroda yang bersentuhan dengan komponen analisis saat pengukuran arus (Ampere) yang dihasilkan (Bard et al.,1980). Sel tiga elektroda adalah perangkat laboratorium baku untuk penelitian kuantitatif terhadap sifat-sifat korosi bahan. Sel tiga elektroda adalah versi penyempurnaan dari sel korosi basah. Sel ini dapat digunakan dalam berbagai macam percobaaan korosi. Pengujian laju korosi dengan menggunakan sel tiga elektroda merupakan pengujian laju korosi yang dipercepat dengan polarisasi dan potensial korosi bebasnya. Dari percobaan ini akan diperoleh data besarnya arus untuk setiap tegangan. Data tersebut untuk pengeplotan diagram tafel seperti Gambar II.6, yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan harga io yang besarnya sama dengan ikor.
32
Gambar II.6 Pengeplotan Diagram Tafel yang Diidealkan (Sumber: Popov, 2015)
II.5.1. Komponen Sel Tiga Elektroda Dalam perangkat percobaan seperti sel tiga elektroda tentunya terdiri dari beberapa komponen yang setiap komponen memiliki fungsi tersendiri, berikut ini komponen yang terdapat dalam sel tiga elektroda : 1.
Elektroda Kerja (Working Electrode) Elektroda kerja adalah elektroda yang akan diteliti. Istilah elektroda digunakan sebagai
ganti dari anoda. Elektroda kerja dapat disiapkan dengan berbagai cara, salah satunya adalah cukup dengan memasang sebuah spesimen kecil dalam resin pendingin. Spesimen harus mempunyai hubungan listrik dan hal ini dapat disiapkan sebelum pemasangan. Permukaan spesimen harus digerinda dan diampelas sehingga rata dan halus. 2.
Elektroda Pembantu (Auxiliary/Counter Electrode) Elektroda pembantu adalah sebutan yang diberikan untuk elektroda kedua yang
memiliki fungsi untuk mengangkut arus dalam rangkaian penelitian. Elektroda ini tidak diperlukan untuk pengukuran potensial. Bahan yang sering digunakan adalah sebatang karbon, tetapi dapat menggunakan bahan lain asalkan tidak menimbulkan kontaminasi ion –
33
ion ke dalam elektrolit. Bahan lain yang dapat digunakan diantaranya adalah platina dan emas, terutama bila semua komponen harus berukuran kecil. 3.
Elektroda Acuan (Reference Electrode) Elektroda acuan adalah elektroda yang digunakan sebagai titik dasar yang baik untuk
acuan pengukuran potensial dari elektroda kerja. Arus yang mengalir melalui elektroda ini harus sekecil kecilnya sehingga dapat diabaikan. Bila tidak demikian, elektroda ini akan ikut dalam reaksi sel dan potensialnya tidak lagi konstan. Oleh karena itu elektroda pembantu dibutuhkan. Sejauh ini elektroda acuan yang paling praktis adalah elektroda kolomel jenuh (dummy). 4.
Sumber Potensial Sumber potensial memiliki fungsi sebagai penggerak kerja sehingga reaksi sel yang
dikehendaki berlangsung. Instrumen yang digunakan adalah Autolab Potentiostat dengan tipe PGSTAT30. Merupakan potensiostat atau galvanostat yang dapat
mengukur dan
menghasilkan arus listrik maksimal 250 mA dengan potensial listrik 100 Volt. Instrumen tersebut sering digunakan untuk meneliti korosi. Potensiotat memberikan potensial yang telah ditentukan dahulu kepada elektroda kerja sehingga pengukuran arus sel dapat dilakukan. Proses ini dilakukan dengan cara mengubah arus yang melalui elektroda pembantu ke suatu harga yang sedemikian sehingga beda potensial antara elektroda kerja dan elektroda acuan tidak berubah. Pada seperangkat Autolab Potensiostat sudah dilengkapi dengan alat pengukur arus dan pengukur potensial yang terletak menjadi satu dengan sumber tegangan ini. Terdapat layar yang menunjukkan besar potensial dan arus selama melakukan pengujian. 5.
Software NOVA NOVA merupakan software yang didesain dalam satu paket untuk mengontrol semua
instrumen Autolab dengan disambungkan ke computer menggunakan USB (Universal Serial Bus). Dengan NOVA, penguji tidak hanya menggunakan metode elektrokimia tetapi bisa juga mendesain sendiri metode elektrokimia tersebut pada saat pembentukan diagram Tafel. Dengan software NOVA tidak hanya dapat diketahui icorr tetapi juga secara otomatis mengeluarkan nilai laju korosi. Hanya dengan memasukkan luas permukaan yang diuji, nilainilai penting dalam pengujian ini akan dapat diketahui.
34
6.
Larutan Elektrolit Larutan elektrolit yang digunakan sebanyak 1 (satu) liter. Larutan elektrolit harus
dipilih dengan cermat karena larutan elektrolit berfungsi sebagai pengangkut arus ionik sehingga memainkan peranan penting sekali dalam reaksi-reaksi korosi
35
Halaman ini sengaja dikosongkan .
36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Jenis Metodologi Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, dimana suatu penelitian yang dengan sengaja peneliti melakukan manipulasi terhadap satu atau lebih variabel dengan suatu cara tertentu sehingga berpengaruh pada satu atau lebih variabel lain yang diukur. Metode penelitian eksperimen merupakan bagian dari metode penelitian kuantitatif. Sebelum pelaksanaan kegiatan laboratorium, terlebih dahulu dilaksanakan tahapantahapan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Membuat urutan kerja berdasarkan waktu, yang disusun dalam bentuk jadwal pekerjaan. 2. melaksanakan kajian pustaka terhadap beberapa literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, untuk kemudian digunakan sebagai referensi dalam penyusunan laporan Tugas Akhir. 3. Membuat surat perijinan sebagai persyaratan administratif, terkait dengan penggunaan laboratorium dan/atau terkait dengan permohonan data ke pihak perusahaan untuk pengerjaan Tugas Akhir, melalui bagian sekretariat Departemen Teknik Perkapalan. 4. Melakukan kegiatan survei lokasi penjualan material pelat kapal ASTM A36 yang digunakan untuk pengadaan spesimen Tugas Akhir ini. Tahapan di atas harus dilaksanakan secara cermat untuk mencapai pekerjaan yang efektif dan efisien, sehingga kegiatan secara keseluruhan menjadi optimal. Setelah melaksanakan rangkaian kegiatan di atas, dilakukan persiapan untuk membuat spesimen
yang
sesuai dengan
kebutuhan
pengujian.
Tahapan
berikutnya
adalah
mempersiapkan eksperimen perlakuan panas dengan menggunakan variabel sebanyak 4 temperatur pembakaran ditambah satu variabel tanpa perlakuan panas, sesuai dengan referensi yang sudah dikaji sebelumnya. Pengadaan peralatan untuk perlakuan panas ini harus sudah dipersiapkan sebelumnya.
37
Tahapan berikutnya adalah melakukan pembuatan spesimen untuk pengujian sel tiga elektroda untuk mengetahui laju korosi dari material pelat kapal ASTM A36. Tahapan terakhir adalah dilakukan penjabaran tentang data-data hasil penelitian terkait dengan laju korosi seperti nilai beda potensial, nilai kuat arus, dan nilai laju korosi. Grafik hasil pengujian juga harus dijelaskan. Kemudian dilakukan perhitungan analisis data hasil pengujian laju korosi, dan dibuat dalam bentuk grafik perbandinan laju korosi dengan variabel temperatur juga dibahas mengenai sifat mekanis dari bahan material ASTM A36 tersebut, sehingga pada akhirnya diketahui variabel mana yang mempengaruhi laju korosi dan kelayakan dari standar pemakaian material. III.2. Pembuatan Spesimen Sebelum membuat spesimen, perlu dibuat alur proses dari tahapan awal yaitu pengadaan pelat kapal ASTM A36 hingga menjadi pelat dengan dimensi yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan eksperimen untuk kemudahan dalam pengerjaan Tugas Akhir secara keseluruhan. Spesimen yang digunakan untuk pengujian laju korosi dengan metode polarisasi linear berjumlah 3 spesimen untuk masing-masing pengujian dengan 4 variabel temperatur pengujian, antara lain: 400°C, 600°C, 800°C, 1000°C, ditambah dengan satu variabel yaitu pelat kapal ASTM A36 tanpa perlakuan panas atau keadaan seperti saat diterima, sebagai benchmark. III.2.1. Persiapan Peralatan dan Bahan Sebelum dilakukan proses pembuatan spesimen uji, terlebih dahulu depersiapkan peralatan dan bahan yang akan digunakan dalam proses pembuatan spesimen. Alat dan bahan yang harus dpersiapkan adalah: Bahan: 1.
Pelat kapal ASTM A36 dengan dimensi 300 mmx 150 mm x 10 mm sebanyak 1 lembar, seperti Gambar III.1:
Gambar III.1 Pelat ASTM A36 yang Belum Dipotong
38
2. Lem epoxy dengan merk dagang Araldite sebanyak 2 set, bisa dilihat seperti Gambar III.2.
Gambar III.2 Satu Set Lem Epoxy
3. Air laut untuk simulasi pemadaman sebanyak 10 liter, 4. NaCl 3,5% untuk larutan pengujian sel tiga elektroda. Peralatan: 1. Alat ukur (penggaris siku, jangka sorong) 2. Penggores atau Scratcher untuk penanda dan membuat garis potong, 3. Infrared Thermometer, untuk menghitung temperatur spesimen saat perlakuan panas, 4. Kapur untuk membantu garis goresan dapat lebih terlihat, 5. Gerinda untuk menghaluskan dan memotong pelat, 6. Cutting wheels untuk memotong spesimen, 7. Amplas grit 80 untuk menghaluskan permukaan spesimen. III.2.2. Langkah Pembuatan Spesimen Spesimen dibuat 3 potongan untuk setiap variasi temperatur yang sudah ditetapkan sebanyak 4 antara lain, 400,600,800,1000 (°C) ditambah satu variabel tanpa perlakuan panas. Adapun langkah pembuatan spesimen adalah sebagai berikut: 1. Pemotongan pelat ASTM A36 yang berdimensi 300 mm x 150 mm x 10 mm menggunakan mesin pemotong pelat menjadi 5 bagian yang masing-masing
39
mempunyai ukuran 60 mm x 150 mm x 10 mm. seperti terlihat di Gambar III.3 di bawah.
Gambar III.3 Pemotongan Pelat ASTM A36
2. Setelah dipotong menjadi 5 bagian sesuai dengan jumlah variasi temperatur yang sudah ditetapkan sebanyak 5 temperatur uji. Setelah dilakukan perlakuan panas terhadap 5 potong pelat yang disebutkan di atas, masing-masing bagian tadi dipotong menjadi 3 spesimen yang berukuran 70 mm x 10 mm x 10 mm, seperti yang terlihat pada Gambar III.4:
Gambar III.4 Pemotongan Spesimen Untuk Uji Korosi
3. Untuk memudahkan pengamatan, spesimen diidentifikasi dengan cara diberi huruf alfabet untuk mewakili setiap variabel yaitu: huruf A untuk tanpa perlakuan panas, huruf B untuk 400°C, huruf C untuk 600°C, huruf D untuk 800°C, dan huruf E untuk 1000°C seperti yang ditunjukan pada Gambar III.5.
40
Gambar III.5 Identifikasi Spesimen
III.3. Perlakuan Spesimen Uji Perlakuan panas dilakukan setelah pemotongan pelat menjadi 5 bagian yang diidentifikasi dengan huruf alfabet A, B, C, D, E. Sebelum dilaksanakan perlakuan panas pada spesimen uji, pertama mempersiapkan peralatan yang digunakan untuk pembakaran material yaitu torch burner, dan air laut untuk pemadaman. Adapun tahapan pembakaran material adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan perlakuan panas pada temperatur 400°C, dilakukan dengan cara api dari burner diarahkan secara merata di permukaan spesimen uji seperti pada Gambar III.6 hingga mencapai temperatur 400°C dengan bantuan infrared thermometer. Seperti pada Gambar III.7.
Gambar III.6 Pembakaran Spesimen Uji
41
Gambar III.7 Pemeriksaan Temperatur menggunakan infrared thermometer
2. Pelaksanaan perlakuan panas 600°C seperti yang ditunjukkan di infrared thermometer Gambar III.8, kemudian disiram dengan air laut merata ke satu sisi permukaan spesimen yang dibakar seperti yang terlihat pada Gambar III.9.
Gambar III.8 Infrared Thermometer Menunjukkan Temperatur 600°C
Gambar III.9 Penyiraman Setelah Mencapai Temperatur yang Diinginkan
42
3. Pelaksanaan perlakuan panas 800°C seperti yang ditunjukkan di infrared thermometer seperti Gambar III.10 berikut ini:
Gambar III.10 Perlakuan Panas pada Temperatur 800°C
4. Pelaksanaan perlakuan panas 1000°C seperti yang ditunjukkan di thermometer infrared, bisa dilihat pada Gambar III.11, kemudian disiram dengan air laut merata ke satu sisi permukaan spesimen yang dibakar, seperti yang terlihat pada Gambar III.12.
Gambar III.11 Perlakuan Panas pada Temperatur 1000°C
43
Gambar III.12 Penyiraman Setelah Perlakuan Panas
III.4. Pengujian Spesimen Pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap spesimen yang sebelumnya sudah diberi perlakuan panas. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui laju korosi masing-masing spesimen dengan variabel temperatur 400, 600, 800, 1000 (°C) ditambah variabel benchmark. untuk satu variabel terdiri dari 3 spesimen. Dari hasil pengujian ini nantinya dapat ditentukan apakah material tersebut layak untuk dapat digunakan kembali. Pengujian ini dilaksanakan di Laboratorium Instrumentasi dan Sains Analitik Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Pengujian sel tiga elektroda ini dilakukan berdasarkan standar ASTM G5-94 III.4.1. Pengujian Korosi Pada penelitian ini, pengujian korosi menggunakan metode sel tiga elektroda seperti yang dijelaskan sebelumnya. Beberapa persiapan yang harus dilakukan, diantaranya: 1. Mempersiapkan spesimen dengan ketentuan ukuran dan area permukaan uji. Untuk ukuran spesimen, ditentukan panjangnya adalah 60 mm dan area permukaan uji luasnya adalah 10 x 10 dalam satuan mm (millimeter). Maka area permukaan lainnya yang tercelup larutan harus ditutup dengan lem epoxy. Persiapkan penjepit yang bisa mencengkram spesimen dengan kuat jika diperlukan. 2. Mempersiapkan peralatan tabung reaksi, elektroda acuan (reference electrode) yang berupa unsur Ag dalam larutan AgCl jenuh, elektroda pembantu (auxiliary
44
electrode) yang berupa platina (Pt) dan elektroda kerja (working electrode) yang merupakan spesimen uji, seperti yang ada pada Gambar III.13 di bawah.
Gambar III.13 Elektroda yang Digunakan Dalam Pengujian Sel Tiga Elektroda
3. Larutan uji adalah NaCl 3,5% sesuai dengan angka salinitas rata-rata di perairan dunia seperti Gambar III.14 di bawah
Gambar III.14 Larutan Uji Berupa Nacl 3,5%
45
4. Mempersiapkan peralatan sumber potensial yang berupa seperangkat Potensiostat Autolab (PGSTAT302N) seperti Gambar III.15 di bawah, yang telah dilengkapi dengan software NOVA.
Gambar III.15 Potensiostat Autolab
5. Membersihkan spesimen uji dengan amplas. III.5. Alur Pengerjaan Urutan pelaksanaan pemodelan yang akan dilakukan adalah mengikuti diagram alir Gambar III.16 sebagai berikut:
46
47
Gambar III.16 Bagan Alir Metodologi Penelitian
48
BAB IV HASIL EKSPERIMEN
IV.1. Hasil Pengujian Korosi Setelah dilakukan pengujian korosi, didapatkan data-data hasil analisis polarisasi linier dari seperangkat peralatan Potensiostat Autolab (PGSTAT30) dan software NOVA, Data-data tersebut meliputi nilai kerapatan arus, potensial arus, hambatan dan laju korosi, Nilai kerapatan arus ada dua macam, yaitu nilai rapat arus dan nilai rapat arus per luasan spesimen uji, Nilai laju korosi dari masing–masing spesimen ini didapatkan secara otomatis, Selain mendapatkan nilai-nilai penting dari software NOVA, juga dilakukan perbandingan nilai dengan menggunakan persamaan hukum Faraday, Perbandingan ini dilakukan dengan melakukan perhitungan, yaitu memasukkan nilai-nilai kerapatan arus yang telah didapat ke dalam persamaan hukum Faraday, Kedua hasil tersebut akan dibandingkan dan dianalisa hasilnya, Data-data yang diperoleh dari output peralatan dan software NOVA ini juga disertai dengan grafik Tafel, Grafik tersebut menunjukkan potensial dan kerapatan arus yang digunakan oleh peralatan uji korosi, Potensiostat Autolab (PGSTAT30), Potensial dengan satuan Volt pada sumbu x menunjukkan data yang tidak bisa berubah (dependent variable), Hal ini dikarenakan potensial yang digunakan oleh peralatan ini telah diset ketika akan memulai pengujian, yaitu pada interval nilai -0,100 Volt hingga 0,100 Volt, Pada sumbu y menunjukkan nilai kerapatan arus yang digunakan oleh peralatan ini, Hal ini menunjukkan bahwa rapat arus pada peralatan ini dapat berubah-ubah selama pengujian tergantung dari pengaturan potensial yang digunakan selama pengujian, Oleh karena itu, rapat arus terletak pada sumbu y yang menandakan sebagai data yang dapat berubah (independent variable), Setelah pengujian berhenti, grafik Tafel akan membentuk dua garis lurus yang saling memotong, Dari potongan garis ini didapatkan nilai rapat arus korosi yang didesain sendiri dengan mencari nilai paling presisi, yaitu nilai yang paling dekat atau tepat dengan pada potongan garis tersebut, Berikut adalah gambar-gambar grafik Tafel dan hasil nilai- nilai setelah pengujian korosi dengan seperangkat peralatan Potensiostat Autolab (PGSTAT30) dan software NOVA :
49
IV.1.1. Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Tanpa Perlakuan Panas
Gambar IV.1 Grafik Tafel pengujian Spesimen A1 Grafik Tafel pada Gambar IV.1 didapatkan untuk mengetahui pengujian spesimen adalah gambaran dari hasil pengujian untuk spesimen tanpa perlakuan panas, Untuk pengujian spesimen yang lainnya dengan temperatur yang sama dapat dilihat pada lampiran B, Setelah software NOVA berhenti memproses data dari seperangkat Potensiostat Autolab (PGSTAT30), akan muncul tampilan seperti pada gambar di atas, Dari garis lengkung putusputus diplot sepresisi mungkin untuk mendapatkan titik tengah yang merupakan titik temu dari kedua grafik ini sehingga memunculkan garis hitam yang juga saling memotong, Dari potongan kedua garis dapat dicari nilai rapat arus korosi (icorr) dengan mencari titik tengah yang paling tepat dari interval potensial tegangan -0,56 hingga -0,55 Volt dan rapat arus kurang lebih 1 x 10-6 hingga 1 x 10-5 Ampere, Sehingga, menghasilkan nilai-nilai sebagai berikut: Tabel IV.1 Hasil Pengujian Korosi pada Variabel Tanpa Perlakuan Panas No. Spesimen Uji Potensial (mV)
Kerapatan Arus (μA/cm²)
Laju Korosi (mmpy)
A1
-553,62
13,238
0,155
A2
-535,39
12,629
0,147
A3
-556,59
14,904
0,175
Dari data pada Tabel IV.1 Hasil Pengujian Korosi pada di atas, dapat diketahui bahwa potensial, kerapatan arus dan laju korosi dapat berubah- ubah pada setiap spesimen, Nilainilai tersebut tidak berubah secara signifikan, jadi urutan pengujian tidak mempengaruhi
50
hasilnya, Misalnya pengujian pada spesimen A1, menghasilkan potensial -553,62 mV, rapat arus 13,2380 μA/cm² dan laju korosi 0,155 mmpy, Pengujian pada spesimen A2, menghasilkan potensial -535,39 mV, rapat arus 12,629 μA/cm² dan laju korosi 0,147 mmpy, Pengujian pada spesimen A2 mengalami penurunan nilai dibandingkan dengan nilai- nilai yang didapat dari pengujian pada spesimen A1, Pada pengujian spesimen A3 dengan elektroda yang sama menghasilkan nilai potensial -556,59 mV, rapat arus 14,904 μA/cm² dan laju korosi 0,175 mmpy, Nilai-nilai yang didapat dari pengujian spesimen A3 menunjukkan peningkatan dari pengujian spesimen A2, Kedua nilai dalam tabel tersebut saling berbanding lurus, yaitu semakin kecil nilai potensial juga akan semakin kecil nilai rapat arus dan laju korosinya, Dapat diambil contoh dari tabel tersebut adalah nilai pada pengujian spesimen A1 yang memiliki nilai potensial 553,62 mV, rapat arus 13,238 μA/cm² dan laju korosi 0,155 mmpy, Pada pengujian spesimen A2 mengalami penurunan nilai potensial yaitu -535,39 mV, begitu juga dengan nilai rapat arus dan laju korosinya juga berkurang, yaitu 12,629 μA/cm² dan 0,14675 mmpy, IV.1.2. Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Temperatur 400°C
Gambar IV.2 Grafik Tafel pengujian Spesimen B1
Setiap pengujian spesimen akan menghasilkan grafik Tafel seperti pada Gambar IV.2, untuk grafik hasil pengujian spesimen yang lainnya dengan elektroda yang sama dapat dilihat pada lampiran B, Setelah seperangkat Potensiostat Autolab (PGSTAT30) berhenti melakukan proses pengujian korosi, software NOVA akan menunjukkan dua buah garis lengkung putusputus yang saling menyatu, Dengan bantuan dua buah garis hitam lurus yang saling memotong, akan dicari titik tengah yang paling presisi, Titik tengah pada potongan garis ini
51
dapat dimodel sendiri, diubah-ubah hingga mendapatkan titik temu dari garis lengkung putusputus, Pada pengujian spesimen B1, pelat yang dibakar dengan temperatur 400°C, titik tengahnya memiliki absis -0,478 dan ordinat 0,00034216, Ketika titik tengah dengan nilai tersebut, pengujian spesimen ke B1 ini akan memiliki nilai potensial, kerapatan arus dan laju korosi pada Tabel di bawah, Begitu juga dengan pengujian spesimen-spesimen yang lainnya dengan elektroda yang sama akan memiliki nilai absis dan ordinat tertentu serta menghasilkan nilai potensial, rapat arus dan laju korosi yang tertera pada Tabel IV-2. Tabel IV.2 Hasil Pengujian Korosi pada temperatur 400°C No. Spesimen Uji Potensial (mV)
Kerapatan Arus (μA/cm²)
Laju Korosi (mmpy)
B1
-477,700
12,515
0,147
B2
-498,720
15, 341
0,180
B3
-507,250
15,101
0,177
Tabel IV.2 Hasil Pengujian Korosi pada temperatur 400°C di atas menunjukkan nilainilai potensial, rapat arus dan laju korosi pada pengujian spesimen-spesimen yang dibakar dengan temperatur 400°C, Dari nilai-nilai tersebut di atas dapat diketahui bahwa nilai potensial tidak mempengaruhi besar kecilnya rapat arus dan laju korosi, namun nilai rapat arus dan laju korosi saling berhubungan dan berbanding lurus, Hal ini dikarenakan nilai potensial yang tersebut pada hasil pengujian diaplikasikan pada peralatan uji korosi, yaitu nilai potensial ketika peralatan ini menemukan nilai laju korosi spesimen uji tersebut, Sedangkan rapat arus dan laju korosi adalah nilai yang dihasilkan oleh peralatan uji pada spesimen tersebut, Misalnya, pengujian pada spesimen B1 dengan nilai potensial -477,70 mV, rapat arus 12,515 μA/cm² dan laju korosi 0,147 mmpy, Pada pengujian spesimen B2 memiliki nilai potensial yang lebih tinggi yaitu -498,720 mV, nilai rapat arus dan laju korosinya juga lebih tinggi, yaitu 15,341 μA/cm² dan 0,180 mmpy, Begitu pula dengan nilai-nilai pada pengujian spesimen selanjutnya pada tabel tersebut akan berlaku hal yang sama, Dengan nilai potensial yang berubah- ubah tersebut akan mendapatkan nilai rapat arus dan laju korosi yang berbanding lurus, Hal ini sama dengan pengujian spesimen tanpa perlakuan panas yang memiliki nilai potensial, kerapatan arus dan laju korosi yang selalu berbanding lurus, Namun, hubungan ini tidak mempengaruhi hasil dari laju korosi karena nilai penting yang didapat dari pengujian korosi ini adalah nilai rapat arus korosi (icorr) dan laju korosinya, Sehingga, nilai potensial bukanlah variabel penentu dalam laju korosi, hanya nilai pendukung untuk mendapatkan nilai- nilai penting keduanya, yaitu rapat arus dan laju korosi,
52
IV.1.3. Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Temperatur 600°C
Gambar IV.3 Grafik Tafel pengujian Spesimen C1
Pengujian pada spesimen-spesimen yang lain akan menghasilkan grafik Tafel seperti dengan Gambar IV.3 di atas, Untuk grafik pengujian spesimen-spesimen lainnya dengan perlakuan panas untuk temperatur 600°C dapat dilihat pada lampiran B, Pengujian spesimen C1 dengan temperatur pembakaran 600°C dilakukan pada potensial dengan interval -0,6 hingga -0,45 Volt dan arus kurang lebih pada interval 1 x 10-6 hingga 1 x 10-5 Ampere, Dari rentang nilai potensial dan arus yang diset pada peralatan uji korosi ini, didapatkan garis lengkung putus-putus yang saling bertemu pada satu titik, Untuk menemukan titik temu dari garis lengkung ini memerlukan garis bantu berupa dua buah garis lurus yang saling memotong, Kedua garis lurus ini dapat dimodel sendiri hingga menemukan titik temu yang paling presisi, Pada pengujian spesimen C1 dengan perlakuan panas untuk temperatur 600°C didapatkan titik temu pada absis -0,52569 dan ordinat 2,6956 x 10-6, Pada posisi tersebut, pengujian spesimen C1 ini akan memiliki nilai potensial, rapat arus dan laju korosi seperti yang terdapat pada tabel berikut, Begitu juga dengan pengujian spesimen-spesimen selanjutnya akan mendapatkan grafik Tafel dan nila-nilai potensial, rapat arus serta laju korosi yang tercantum pada Tabel IV.3 berikut:
Tabel IV.3 Hasil Pengujian Korosi pada temperatur 600°C No. Spesimen Uji Potensial (mV)
Kerapatan Arus (μA/cm²)
Laju Korosi (mmpy)
C1
-529,690
25,975
0,304
C2
-545,020
29,182
0,342
C3
-518,540
25,992
0,304
53
Hasil pengujian spesimen pada temperatur 600°C menghasilkan hubungan nilai potensial, rapat arus dan laju korosi yang sama dengan pengujian spesimen-spesimen dengan temperatur 600°C, yaitu besar kecilnya nilai potensial tidak mempengaruhi nilai kerapatan arus dan laju korosi. Nilai rapat arus dan laju korosi saling berbanding lurus, yaitu jika nilai rapat arus besar maka laju korosi juga akan bernilai besar, begitu pula sebaliknya. Misalnya, pengujian spesimen C1 pada potensial -529,690 mV, didapatkan nilai rapat arus 25,975 μA/cm² dan laju korosi 0,304 mmpy. Ketika pengujian spesimen C2, dilakukan pada potensial yang lebih tinggi yaitu -545,020 mV, menghasilkan nilai rapat arus dan laju korosi yang lebih tinggi daripada pengujian spesimen sebelumnya, yaitu 29,182 μA/cm² dan laju korosi 0,342 mmpy. Hal ini menunjukkan bahwa potensial yang diatur pada peralatan uji korosi tidak mempengaruhi hasil pengujiannya, yaitu nilai rapat arus dan laju korosinya. Yang menjadi output utama adalah nilai rapat arus dan laju korosi yang nilainya saling berbanding lurus. IV.1.4. Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Temperatur 800°C
Gambar IV.4 Grafik Tafel pengujian Spesimen D1
Pengujian pada spesimen-spesimen yang lain akan menghasilkan grafik Tafel seperti pada Gambar IV.4, Untuk grafik pengujian spesimen-spesimen lainnya dengan perlakuan panas untuk temperatur 800°C dapat dilihat pada lampiran B, Pengujian spesimen D1 dengan temperatur pembakaran 800°C dilakukan pada potensial dengan interval -0,6 hingga -0,45 Volt dan arus kurang lebih pada interval 1 x 10-6 hingga 1 x 10-5 Ampere, dari rentang nilai potensial dan arus yang diset pada peralatan uji korosi ini, didapatkan garis lengkung putusputus yang saling bertemu pada satu titik, Untuk menemukan titik temu dari garis lengkung ini memerlukan garis bantu berupa dua buah garis lurus yang saling memotong, Kedua garis
54
lurus ini dapat dimodel sendiri hingga menemukan titik temu yang paling presisi, Pada pengujian spesimen D1 dengan perlakuan panas untuk temperatur 800°C didapatkan titik temu pada absis -0,48425 dan ordinat 2,3405 x 10-6, Pada posisi tersebut, pengujian spesimen D1 ini akan memiliki nilai potensial, rapat arus dan laju korosi seperti yang terdapat pada tabel berikut, Begitu juga dengan pengujian spesimen-spesimen selanjutnya akan mendapatkan grafik Tafel dan nila-nilai potensial, rapat arus serta laju korosi yang tercantum pada Tabel IV.4. Tabel IV.4 Hasil Pengujian Korosi pada temperatur 800°C No. Spesimen Uji Potensial (mV)
Kerapatan Arus (μA/cm²)
Laju Korosi (mmpy)
D1
-484,250
17,125
0,201
D2
-498,740
16,541
0,194
D3
-494,230
17,869
0,209
Hasil pengujian spesimen pada temperatur 800°C menghasilkan hubungan nilai potensial, rapat arus dan laju korosi yang sama dengan pengujian spesimen-spesimen dengan temperatur 800°C, yaitu besar kecilnya nilai potensial tidak mempengaruhi nilai kerapatan arus dan laju korosi. Nilai rapat arus dan laju korosi saling berbanding lurus, yaitu jika nilai rapat arus besar maka laju korosi juga akan bernilai besar, begitu pula sebaliknya. Misalnya, pengujian spesimen D1 pada potensial -484,250 mV, didapatkan nilai rapat arus 17,125 μA/cm² dan laju korosi 0,201 mmpy. Ketika pengujian spesimen D2, dilakukan pada potensial yang lebih tinggi yaitu -498,740 mV, menghasilkan nilai rapat arus dan laju korosi yang rendah daripada pengujian spesimen sebelumnya, yaitu 16,541 μA/cm² dan laju korosi 0,194 mmpy. Hal ini menunjukkan bahwa potensial yang diatur pada peralatan uji korosi tidak mempengaruhi hasil pengujiannya, yaitu nilai rapat arus dan laju korosinya. Yang menjadi output utama adalah nilai rapat arus dan laju korosi yang nilainya saling berbanding lurus.
55
IV.1.5. Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Temperatur 1000°C
Gambar IV.5 Grafik Tafel pengujian Spesimen E1
Pengujian pada spesimen-spesimen yang lain akan menghasilkan grafik Tafel seperti Gambar IV.5, Untuk grafik pengujian spesimen-spesimen lainnya dengan perlakuan panas untuk temperatur 1000°C dapat dilihat pada lampiran B, Pengujian spesimen E1 dengan temperatur pembakaran 1000°C dilakukan pada potensial dengan interval -0,55 hingga -0,4 Volt dan arus kurang lebih pada interval 1 x 10-6 hingga 1 x 10-5 Ampere, dari rentang nilai potensial dan arus yang diset pada peralatan uji korosi ini, didapatkan garis lengkung putusputus yang saling bertemu pada satu titik, Untuk menemukan titik temu dari garis lengkung ini memerlukan garis bantu berupa dua buah garis lurus yang saling memotong, Kedua garis lurus ini dapat dimodel sendiri hingga menemukan titik temu yang paling presisi, Pada pengujian spesimen E1 dengan perlakuan panas untuk temperatur 1000°C didapatkan titik temu pada absis -0,48243 dan ordinat 1,3132 x 10-6, Pada posisi tersebut, pengujian spesimen E1 ini akan memiliki nilai potensial, rapat arus dan laju korosi seperti yang terdapat pada tabel berikut, Begitu juga dengan pengujian spesimen-spesimen selanjutnya akan mendapatkan grafik Tafel dan nila-nilai potensial, rapat arus serta laju korosi yang tercantum pada Tabel IV.5 berikut: Tabel IV.5 Hasil Pengujian pada Pelat Kapal ASTM A36 untuk Temperatur 1000°C No. Spesimen Uji Potensial (mV)
56
Kerapatan Arus (μA/cm²)
Laju Korosi (mmpy)
E1
-484,430
12,597
0,148
E2
-469,875
11,597
0,136
E3
-471,650
12,391
0,145
Hasil pengujian spesimen pada temperatur 1000°C menghasilkan hubungan nilai potensial, rapat arus dan laju korosi yang sama dengan pengujian spesimen-spesimen dengan temperatur 1000°C, yaitu besar kecilnya nilai potensial tidak mempengaruhi nilai kerapatan arus dan laju korosi. Nilai rapat arus dan laju korosi saling berbanding lurus, yaitu jika nilai rapat arus besar maka laju korosi juga akan bernilai besar, begitu pula sebaliknya. Misalnya, pengujian spesimen E1 pada potensial -484,430 mV, didapatkan nilai rapat arus 12,597 μA/cm² dan laju korosi 0,148 mmpy. Ketika pengujian spesimen E2, dilakukan pada potensial yang lebih rendah yaitu -469,875 mV, menghasilkan nilai rapat arus dan laju korosi yang lebih rendah daripada pengujian spesimen sebelumnya, yaitu 11,597 μA/cm² dan laju korosi 0,13579 mmpy. Hal ini menunjukkan bahwa potensial yang diatur pada peralatan uji korosi tidak mempengaruhi hasil pengujiannya, yaitu nilai rapat arus dan laju korosinya. Yang menjadi output utama adalah nilai rapat arus dan laju korosi yang nilainya saling berbanding lurus.
57
Halaman ini sengaja dikosongkan
58
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
V.1.
Data Hasil Pengujian Pada penelitian tugas akhir ini dilakukan pengujian sel tiga elektroda untuk
mendapatkan nilai laju korosi material. Terdapat lima variasi untuk pengujian laju korosi, yaitu temperatur 400, 600, 800, 1000 (°C) dan tanpa perlakuan panas yang masing-masing terdiri atas 3 spesimen pelat kapal ASTM A36. Prosedur untuk pengujian sel tiga elektroda menggunakan standar ASTM G5-94. V.1.1. Hasil Pengujian Laju Korosi Variasi A (Tanpa Perlakuan Panas) Prosedur pengujian laju korosi dilakukan dengan mengikuti peraturan yang terdapat pada ASTM G5-94. Variasi yang pertama dinotasikan dengan huruf A Pengujian ini yang dilakukan pada variasi A terdiri atas 3 spesimen pelat ASTM A36. Hasil uji korosi ini didapatkan dari perhitungan software NOVA. Pengujian ini menghasilkan dua data yang penting yaitu nilai arus korosi dan nilai laju korosi seperti terlihat pada Tabel V.1. Tabel V.1 Hasil pengujian Uji Korosi Rata-rata Variasi A Parameter
Rata-rata
ba (mV/dec)
291,627
Bc (mV/dec)
75,247
Ekor (mV)
-548,533
jkor (μA/cm2 )
13,590
ikor (μA)
13,590
Laju korosi (mmpy) 0,159
V.1.2. Hasil Pengujian Laju Korosi Variasi B (400°C) Prosedur pengujian laju korosi dilakukan dengan mengikuti peraturan yang terdapat pada ASTM G5-94. Variasi yang pertama dinotasikan dengan huruf B (400°C). Pengujian ini yang dilakukan pada variasi B terdiri atas 3 spesimen pelat ASTM A36. Hasil uji korosi ini
59
didapatkan dari perhitungan software NOVA. Pengujian ini menghasilkan dua data yang penting yaitu nilai arus korosi dan nilai laju korosi seperti terlihat pada Tabel V.2. Tabel V.2 Hasil pengujian Uji Korosi Rata-rata Variasi B (400°C). Parameter
Rata-rata
ba (mV/dec)
360,923
Bc (mV/dec)
80,3997
Ekor (mV)
-494,557
jkor (μA/cm2 )
14,319
ikor (μA)
14,319
Laju korosi (mmpy) 0,168
V.1.3. Hasil Pengujian Laju Korosi Variasi C (600°C) Prosedur pengujian laju korosi dilakukan dengan mengikuti peraturan yang terdapat pada ASTM G5-94. Variasi yang pertama dinotasikan dengan huruf C (600°C). Pengujian ini yang dilakukan pada variasi C terdiri atas 3 spesimen pelat ASTM A36. Hasil uji korosi ini didapatkan dari perhitungan software NOVA. Pengujian ini menghasilkan dua data yang penting yaitu nilai arus korosi dan nilai laju korosi seperti terlihat pada Tabel V.3. Tabel V.3 Hasil Pengujian Laju Korosi Rata-rata Variasi C (600°C) Parameter
Rata-rata
ba (mV/dec)
1165,533
Bc (mV/dec)
112,96
Ekor (mV)
-531,083
jkor (μA/cm2 )
27,0497
ikor (μA)
27,0497
Laju korosi (mmpy) 0,317
V.1.4. Hasil Pengujian Laju Korosi Variasi D (800°C) Prosedur pengujian laju korosi dilakukan dengan mengikuti peraturan yang terdapat pada ASTM G5-94. Variasi yang pertama dinotasikan dengan huruf D (800°C). Pengujian ini
60
yang dilakukan pada variasi D terdiri atas 3 spesimen pelat ASTM A36. Hasil uji korosi ini didapatkan dari perhitungan software NOVA. Pengujian ini menghasilkan dua data yang penting yaitu nilai arus korosi dan nilai laju korosi seperti terlihat pada Tabel V.4. Tabel V.4 Hasil Pengujian Laju Korosi Rata-rata Variasi D (800°C) Parameter
Rata-rata
ba (mV/dec)
351,44
Bc (mV/dec)
90,104
Ekor (mV)
-492,407
jkor (μA/cm2 )
17,1783
ikor (μA)
17,1783
Laju korosi (mmpy) 0,201
V.1.5. Hasil Pengujian Laju Korosi Variasi E (1000°C) Prosedur pengujian laju korosi dilakukan dengan mengikuti peraturan yang terdapat pada ASTM G5-94. Variasi yang pertama dinotasikan dengan huruf E (1000°C). Pengujian ini yang dilakukan pada variasi E terdiri atas 3 spesimen pelat ASTM A36. Hasil uji korosi ini didapatkan dari perhitungan software NOVA. Pengujian ini menghasilkan dua data yang penting yaitu nilai arus korosi dan nilai laju korosi seperti terlihat pada Tabel V.5. Tabel V.5 Hasil Pengujian Laju Korosi Rata-rata Variasi E (1000°C) Parameter
Rata-rata
ba (mV/dec)
338,097
Bc (mV/dec)
89,3473
Ekor (mV)
-475,318
jkor (μA/cm2 )
12,195
ikor (μA)
12,195
Laju korosi (mmpy) 0,143
61
V.2.
Analisis Laju Korosi Akibat Pengaruh Temperatur Berdasarkan hasil perhitungan laju korosi rata-rata pada masing-masing variasi
temperatur disajikan ke dalam Gambar V.1.
Laju Korosi 0,35
0,317
0,3
Temperatur A1 (727°C)
0,25
mmpy
0,201 0,2
0,168
0,159
0,143
0,15 0,1 0,05 0 0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
Temperatur (°C) Gambar V.1 Laju Korosi Rata-Rata Berdasarkan Temperatur
Berdasarkan grafik yang dihasilkan, terlihat bahwa terjadi perbedaan pada temperatur 600°C dan 1000°C. jika berdasarkan hipotesis, diketahui bahwa semakin besar temperatur maka semakin besar pula laju korosinya.temperatur mempengaruhi kecepatan reaksi redoks pada peristiwa korosi. Secara umum, semakin tinggi temperatur maka semakin cepat terjadinya korosi. Peristiwa
korosi
sendiri
merupakan
proses
elektrokimia,
yaitu
proses
(perubahan/reaksi kimia) yang melibatkan adanya aliran listrik. Logam besi tidaklah murni, melainkan mengandung campuran karbon yang menyebar secara tidak merata dalam logam tersebut. Akibatnya menimbulkan perbedaan potensial listrik antara atom logam dengan atom karbon (C). Atom logam besi (Fe) bertindak sebagai anode dan atom C sebagai katoda Oksigen dari udara yang larut dalam air akan tereduksi, sedangkan air sendiri berfungsi sebagai media tempat berlangsungnya reaksi redoks pada peristiwa korosi. Elektron mengalir dari anoda ke katoda, sehingga terjadilah peristiwa korosi. Proses terjadinya korosi ini dipengaruhi oleh temperatur yang diakibatkan kebakaran. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya temperatur maka meningkat pula energi kinetik
62
partikel sehingga kemungkinan terjadinya tumbukan efektif pada reaksi redoks semakin besar. Dengan demikian laju korosi pada logam semakin meningkat. Efek korosi yang disebabkan oleh pengaruh temperatur dapat dilihat pada perkakas-perkakas atau mesin-mesin yang dalam pemakaiannya menimbulkan panas akibat gesekan (seperti cutting tools) atau dikenai panas secara langsung (seperti mesin kendaraan bermotor). Jika dikonversikan dalam kondisi sebenarnya, temperatur pada saat terjadi kebakaran meningkat secara ekstrim dan signifikan, hal tersebut bisa menyebabkan korosi yang lebih besar pada kapal berbahan dasar baja ASTM A36. Analisis mengenai perbedaan antara nilai laju korosi rata-rata untuk variabel temperatur 1000°C dengan variabel tanpa perlakuan panas adalah disebabkan karena perubahan struktur kristal di atas temperatur kritikal bawah (A1) dan perlakuan quenching dengan menggunakan air laut (rapid cooling) setelah mencapai temperatur yang diinginkan, mengakibatkan perubahan inti struktur kristal yang cepat dan rapat pada batas butir. Hal ini yang menyebabkan laju korosi pada variabel temperatur 1000°C sedikit lebih rendah dibandingkan dengan variabel tanpa perlakuan panas karena arus yang dikeluarkan oleh elektroda tidak dapat dialirkan dengan baik. Jika dilihat dalam diagram Fe-Fe3C pada material yang digunakan dalam tugas akhir ini, yaitu baja karbon rendah dengan kandungan karbon sebesar 0,16%, berubah menjadi struktur kristal austenit yang berbentuk FCC (face-centered cubic) pada temperatur di atas 910°C. Oleh karena itu struktur kristal pada variabel temperatur 1000°C adalah austenit. Pada penelitian ini juga dilakukan quenching pada saat variabel temperatur telah dicapai, oleh karena itu perlu ditinjau struktur mikro dari material uji dengan cara melihat diagram CCT (Continuous Cooling Temperature) seperti pada Gambar V.2. Dari diagram CCT dapat diketahui struktur mikro dari material ini adalah martensit. Dimana struktur ini memiliki struktur kristal BCT (body-centered tetragonal) dan memiliki tingkat kekerasan hingga 700 brinell Jika ditinjau dari media quenching (pendinginan), menurut penelitian sebelumnya oleh Sofyan Sahri tahun 2014, ada dua macam media yang digunakan, yaitu dengan air dan udara. Perubahan struktur mikro dari kedua media tersebut terlihat perbedaan pada ukuran butir. Untuk media quenching air, ukuran dari butiran ferit dan perlit lebih besar daripada media pendinginan udara.
63
1000°C
Gambar V.2 Diagram CCT untuk spesimen E (1000°C)
(Sumber:Thelning,1984) Dari penelitian tersebut juga didapatkan hasil menunjukkan bahwa perlakuan panas dengan media pendinginan air memiliki nilai tegangan maksimum dan nilai kekerasan yang lebih besar daripada spesimen yang menggunakan udara. Akan tetapi memiliki ductility yang lebih rendah daripada spesimen dengan media udara. Sehingga dari penelitian tersebut bisa didapatkan hasil perubahaan struktur mikro yang bisa dijadikan sebagai indikator ketahanan terhadap fenomena korosi dalam penelitian tugas akhir ini. Penelitian ini menggunakan air laut sebagai media quenching, untuk variabel di atas temperatur A1 (lower critical temperature) secara teoritis tidak layak untuk dipakai kembali, karena butiran ferit dan perlit yang besar mengakibatkan korosi pada batas butiran (intergranular corrosion) serta adanya tegangan sisa. Hal tersebut juga bisa mempengaruhi terhadap kegagalan sel tiga elektroda dalam menghitung laju korosi secara benar. Karena hubungan potensial dan nilai rapat arus tidak akurat disebabkan butiran struktur mikro yang berubah membesar V.3.
Analisis Reparasi Kapal Terhadap Laju Korosi Pelat Kapal Pasca Terbakar Setelah diketahui nilai laju korosi dari material baja kapal, perlu ditinjau apakah nilai
laju korosi yang didapatkan sesuai dengan standar laju korosi yang ada pada buku Corrosion
64
Engineering. Jika nilai laju korosi masuk pada kategori poor (1-5 mmpy), maka material tersebut disarankan untuk tidak digunakan lagi. Weldability atau sifat mampu las pada baja kapal pasca terbakar juga harus diperhatikan, karena material telah mengalami perubahan struktur mikro. Untuk menentukan weldability suatu material maka dihitung Carbon Equivalent. Berdasarkan komposisi kimia material, didapatkan nilai Carbon Equivalent. Semakin besar kandungan karbon, sifat mampu lasnya menjadi semakin rendah. Oleh karena itu, pelat kapal yang bisa digunakan kembali adalah yang mengalami pemanasan di bawah temperatur kritis bawah, dalam hal ini variabel temperatur 400°C dan 600°C karena laju korosinya masih dalam standar kategori baik dan struktur mikronya tidak berubah membesar. Dengan diketahuinya nilai laju korosi, pemilik kapal bisa membuat penjadwalan untuk reparasi atau penggantian pelat kapal agar tertata dan terkelola dengan baik. Untuk pelat pasca terbakar mempunyai akselerasi pengurangan ketebalan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pelat yang belum pernah terkena kebakaran. Oleh karena itu harus dipertimbangkan juga pengendalian korosinya, seperti penambahan jumlah sacrificial anode pada lambung kapal yang dipasang pelat pasca terbakar dan ketebalan lapisan coating ditambah sesuai dengan masukan dari paint advisor atau paint maker.
65
Halaman ini sengaja dikosongkan
66
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dan perhitungan hasil pengujian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Temperatur sangat mempengaruhi laju korosi pada baja kapal. Pada variabel temperatur 400C dan 600C terjadi kenaikan laju korosi menjadi 0,168 mmpy dan 0,317 mmpy jika dibandingkan dengan laju korosi pada variabel tanpa perlakuan panas yaitu sebesar 0,159 mmpy, sedangkan pada temperatur 800C dan 1000C terjadi penurunan nilai laju korosi masing-masing sebesar 0,201 mmpy dan 0,143 mmpy. Hal ini disebabkan dua temperatur tersebut sudah di atas temperatur kritis bawah yaitu sebesar 727C, sehingga terjadi perubahan struktur mikro yang mempengaruhi keakuratan alat sel tiga elektroda unutk mendapatkan laju korosi yang sesuai. 2. Nilai laju korosi yang paling besar terjadi pada temperatur 600°C dengan nilai laju korosi rata-rata mencapai 0,317 mmpy. 3. Berdasarkan hasil eksperimen sel tiga elektroda nilai laju laju korosi untuk temperatur 400C dan 600C masih memenuhi standar kategori baik (0,1-0,5 mmpy) dalam buku Corrosion Engineering, sedangkan untuk temperatur 800C dan 1000C, dari nilai laju korosi dengan metode sel tiga elektroda termasuk dalam katergori baik, namun jika dilihat dari sisi struktur mikro sudah terjadi perubahan, sehingga secara standar tidak direkomendasikan untuk dipakai kembali. VI.2. Saran 1.
Untuk
pengembangan
penelitian
selanjutnya
dipertimbangkan
untuk
memperhitungkan juga variabel waktu perlakuan panas. 2.
Melakukan kegiatan foto mikro sebelum dan setelah pembakaran untuk melihat struktur mikro yang terbentuk.
67
3.
Melakukan pengujian secara mekanis atau destructive test untuk mengetahui sifat fisik dan mekanis dari material tersebut.
68
DAFTAR PUSTAKA
ASTM (American Society for Testing and Materials). 2003. Standard Reference Test Method for Making Potentiostatic and Potentiodynamic Anodic Polarization Measurements, G5-94. 2003. Pennsylvania: ASTM International Bard, A.J., Faulkner, L.R., Leddy, J. and Zoski, C.G., 1980. Electrochemical methods: fundamentals and applications (Vol. 2). New York: Wiley. Brown, T. L. (et al.). 2012. Chemistry: The Central Science. 12th edition. New Jersey: Prentice Hall Callister, W. D. dan
Rethwisch, D. G. 2011. Fundamentals Of Materials Science And
Engineering : An Integrated Approach 4th Edition. New Jersey: John-Wiley Sons Fontana, M. G. 1987. Corrosion Engineering. New York: McGraw-Hill Book Company. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). 2016. Statistics and Accident Reports. Diakses tanggal 5 April 2015, dari situs web KNKT: http://knkt.dephub.go.id/knkt/ntsc_maritime/maritime.htm Marks, L. S. dan Baumeister, T. 1978. Marks' Standard Handbook for Mechanical Engineers, 8th ed. New York: McGraw Hill National Fire Protection Association (NFPA). 2016. All About Fire. Diakses tanggal 7 Januari 2017 dari situs web NFPA: http://www.nfpa.org/news-and-research/news-andmedia/press-room/reporters-guide-to-fire-and-nfpa/all-about-fire Permata, T. 2012. “Tugas Akhir. Analisa Pengaruh Variasi Elektroda pada Pengelasan FCAW Material BKI Grade A Terhadap Laju Korosi”. Surabaya: Departemen Teknik Perkapalan, FTK, ITS Popov, B. N. 2015. Corrosion Engineering: Principles and Solved Problems. Amsterdam: Elsevier Sahri, S. 2014. “Analisa Pengaruh Line Heating Terhadap Sifat Mekanik Dan Struktur Mikro Baja Astm A36 Dengan Variasi Pendinginan”. Surabaya: Departemen Teknik Perkapalan, FTK, ITS
69
Soejitno, 2002. Bahan Ajar Kuliah “Teknik Reparasi Kapal”. Surabaya: Departemen Teknik Perkapalan, FTK, ITS Susilo, W. A. 2009. Tugas Akhir “Analisa Laju Korosi Dengan Metode Elektrolisis Sel Tiga Elektroda Pada Duplex Stainless Steel 2205 Akibat Proses Line Heating”. Surabaya: Departemen Teknik Perkapalan, FTK, ITS Thelning, K. E. 1984. Steel and Its Heat Treatment Second Edition. Delhi: Butterworth Heinemann. Trethewey, K.R. dan Chamberlain, J. 1991. Korosi Untuk Mahasiswa dan Rekayasawan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Widharto, S. 1987. Petunjuk Kerja Las. Jakarta: Pradnya Paramita Wikipedia. (12 Agustus 2015). Voltammetry. Diakses tanggal 23 Agustus 2015, dari situs web Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Voltammetry Wikipedia. (15 September 2016). List of maritime disasters in 21st century. Diakses tanggal 5 April 2015, dari situs web Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/list_of_maritime_disasters_in_21st_century Zakharov, B. 1962. Heat Treatment of Metal. Moscow: Peace Publisher. Zoski, C. G. 2007. Handbook of Electrochemistry First Edition. Amsterdam: Elsevier
70
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A:
SERTIFIKAT PABRIK MATERIAL PELAT KAPAL ASTM A36
LAMPIRAN B:
STANDAR ASTM UNTUK METODE PENGUJIAN KOROSI DENGAN MENGGUNAKAN SEL TIGA ELEKTRODA
LAMPIRAN C:
DATA HASIL UJI KOROSI SEL TIGA ELEKTRODA
LAMPIRAN D:
DOKUMENTASI KEGIATAN (PERSIAPAN DAN EKSPERIMEN)
LAMPIRAN A:
SERTIFIKAT PABRIK MATERIAL PELAT KAPAL ASTM A36
LAMPIRAN B: STANDAR ASTM UNTUK METODE PENGUJIAN KOROSI DENGAN MENGGUNAKAN SEL TIGA ELEKTRODA
LAMPIRAN C: DATA HASIL UJI KOROSI SEL TIGA ELEKTRODA
Parameter pengujian polarisasi: 1. Potensial yang diberikan = -0.1 sampai +0.1 V 2. Step potensial = 0.001 V 3. Scan rate = 0.001 V/s 4. RE = Ag/AgCl (KCl 3 M), AE = Pt, WE = Spesimen A1-E3 5. Media korosi = NaCl 3.5% Tabel 1. Parameter korosi Temperatur No-Treatment
400°C
600°C
800°C
1000°C
ba (mV/dec) 336,150 191,120 347,610 305,220 461,270 316,280 609,220 945,780 1941,600 358,650 371,270 324,400 439,290 343,710 231,290
bc (mV/dec) 77,2820 71,1570 77,3010 71,4160 83,2550 86,5280 110,900 113,720 114,260 80,9110 104,660 84,7410 129,120 64,8750 74,0470
Ekor (mV) -553,620 -535,390 -556,590 -477,700 -498,720 -507,250 -529,690 -545,020 -518,540 -484,250 -498,740 -494,230 -484,430 -469,875 -471,650
jkor (μA/cm2) 13,2380 12,6290 14,9040 12,5150 15, 3410 15,1010 25,9750 29,1820 25,9920 17,1250 16,5410 17,8690 12,5970 11,5970 12,3910
ikor (μA) 13,2380 12,6290 14,9040 12,5150 15,3410 15,1010 25,9750 29,1820 25,9920 17,1250 16,5410 17,8690 12,5970 11,5970 12,3910
Laju korosi (mmpy) 0,155 0,147 0,175 0,147 0,180 0,177 0,304 0,342 0,304 0,200 0,194 0,209 0,148 0,136 0,145
Hasil pengujian polarisasi: -
Spesimen Tanpa Perlakuan Panas
Ekstrapolasi Tafel untuk Spesimen Tanpa Perlakuan Panas (A1)
Ekstrapolasi tafel untuk Spesimen Tanpa Perlakuan Panas (A2)
Ekstrapolasi tafel untuk Spesimen Tanpa Perlakuan Panas (A3)
-
Spesimen untuk Temperatur 400°C
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 400°C (B1)
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 400°C (B2)
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 400°C (B3)
-
Spesimen untuk Temperatur 600°C
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 600°C (C1)
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 600°C (C2)
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 600°C (C3)
-
Spesimen untuk Temperatur 800°C
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 800°C (D1)
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 800°C (D2)
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 800°C (D3)
-
Spesimen untuk Temperatur 1000°C
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 1000°C (E1)
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 1000°C (E2)
Ekstrapolasi tafel Spesimen untuk Temperatur 1000°C (E3)
LAMPIRAN D:
DOKUMENTASI KEGIATAN (PERSIAPAN DAN EKSPERIMEN)
Tahapan Persiapan: 1. Pengukuran Dimensi Pelat Awal Pengukuran panjang
Pengukuran lebar
2. Pemotongan pelat untuk Pembuatan Spesimen Eksperimen Perlakuan Panas
Pemotongan pelat menggunakan alat di Laboratorium Konstruksi
Tahapan Perlakuan Panas: 9. Persiapan Air Laut
10. Temperatur 400°C
11. Temperatur 600°C
12. Temperatur 800°C
13. Temperatur 1000°C
Tahapan Pemotongan Spesimen Untuk Uji Korosi: 1.
Penandaan Garis dengan Menggunakan Scratcher dan Penggaris Siku
2.
Pemotongan Spesimen untuk Uji Korosi
3.
Pemberian Lem pada Permukaan yang Tidak Diuji
Tahapan Uji Korosi Sel Tiga Elektroda: 1.
Pemasangan Spesimen sebagai Elektroda Kerja
2.
Persiapan Alat Autolab dan Laptop untuk Menjalankan Software NOVA
3. Pemilihan Metode Polarisasi Linear pada Software NOVA
4. Mengatur Parameter Uji Korosi
5. Proses Running Garis Diagram Potensial Terhadap Kerapatan Arus
6. Proses Pengeplotan Diagram Tafel
7. Proses Ekstrapolasi Diagram Tafel
8. Data Nilai Laju Korosi yang Didapatkan dari Ekstrapolasi Tafel
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Cimahi pada tanggal 23 Agustus 1988 dengan nama lengkap Pondra Widhi Kusumah, namun dibesarkan di Kabupaten Sidoarjo. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bambang Widhiarto dan Titiek Adi Tri Kurniati. Penulis menempuh pendidikan formalnya di SD Negeri Sidokare IV Sidoarjo (1994-2000), SMP Negeri V Sidoarjo (2000-2003) dan SMA Negeri IV Sidoarjo (20032006). Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Perkapalan ITS dengan NRP 4108100100. Pada masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Teknik Perkapalan dan menjabat sebagai staf Departemen Kesejahteraan Mahasiswa (2008/2009) dan pada tahun ketiga menjabat sebagai staf Departemen Kewirausahaan (2009/2010). Pada masa perkuliahan, penulis telah melakukan kerja praktek di PT. Ben Santosa dan PT. Pantheon Energy. Kritik dan saran kepada penulis terkait Tugas Akhir dapat disampaikan melalui alamat email:
[email protected].