Wacana Didaktika
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM MASYARAKAT INDRAMAYU
Studi Survei Deskriptif Terhadap Masyarakat Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat Oleh Rustam Effendi
ABSTRAK Komunikasi masyarakat Indramayu di bagian barat berbeda dengan komu nikasi masyarakat Majalengka di bagian utara. Kedua masyarakat ini, berbeda dalam menggunakan bahasa ibu. Masya rakat Indramayu menggunakan bahasa jawa pesisir sedangkan masyarakat Ma jalengka menggunakan bahasa sunda. Komunikasi mereka dalam keseharian tentu terjadi alih kode dan campur kode.
A. Pengantar Apa yang akan terjadi apabila di muka bumi ini tidak ada bahasa yang digunakan oleh manusia? Tentunya, sudah dapat kita bayangkan akibat dari ketidakadaan bahasa itu. Dunia akan terasa sepi, karena tidak ada komunikasi di antara manusia penghuni alam jagat raya ini. Tidak ada hirukpikuk orang-orang di pasar, tidak ada jeritan anak kecil karena tidak dibelikan mainan oleh ibunya, tidak ada tangisan bayi ketika susu di botolnya habis, dan ada masih banyak lagi pengaruh dan akibat dari tidak adanya bahasa.
44
Hal ini, dipengaruhi oleh tempat mereka yang berbatasan sehingga terjadi hubun gan setiap hari antarkeduanya. Pene litian ini bertujuan menganalisis secara deskriptif komunikasi masyarakat dalam hal alih kode dan campur kode yang ter jadi di Kecamatan Kandanghaur Kabu paten Indramayu. Kata kunci: komunikasi, masyarakat, alih kode, campur kode.
Seorang professor ketika menyampaikan materi kuliah atau menyampaikan teori penemuan yang baru, pastilah menggunakan bahasa. Seorang anak kecil meminta uang jajan kepada ibunya juga menggunakan bahasa. Seorang pemuda ketika menyampaikan perasaan isi hatinya kepada perempuan pujaannya, salah satunya dengan menggunakan bahasa. Dari beberapa contoh kejadian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa begitu pentingnya bahasa. Dardjowidjojo (2008:16) mengungkapkan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Vol. III No. 17 - September 2014 oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarsesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. Selanjutnya Dardjowidjojo (2008 : 16) mengungkapkan bahwa,
Sistempada definisi tersebut merujuk pada adanya elemen-elemen beserta hubungan satu sama lainnya yang akhirnya membentuk suatu konstituen yang sifatnya hierarkhis. Dalam bidang fonologi, misalnya, elemenelemen ini adalah bunyi-bunyi yang terdapat pada bahasa yang bersangkutan. Elemen bunyi ini tentunya berbeda dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Bunyi-bunti tersebut membentuk suatu sistem dalam arti bahwa perpaduan antara satu bunyi dengan bunyi yang lain tidak acak tetapi meng ikuti aturan tertentu.
Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh Chaer dan Agustina (2004 : 11),
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Bagi seseorang yang mengerti sistem bahasa Indonesia akan mengakui bahwa susunan ”Ibu meng....seekor... di....” Adalah sebuah kalimt bahasa Indonesia yang benar sistemnya, meskipun ada sejumlah komponennya ditanggalkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa selain bersifat sistematis juga sistemis. Dengan sistematis maksudnya bahasa itu tersusun menurut suatu pola
Universitas Wiralodra Indramayu
tertentu, tidak tersusun secara acak atau sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya, sistem bahasa itu bukan merupakan sebuah sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsitem, yakni subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis, dan subsistem leksikon.
Bloomfield (Syamsuddin, 2007: 21) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Ferdinand (Chaer, 2004: 30) membedakan tiga istilah untuk menyebutkan pengertian bahasa. Ketiga istilah tersebut adalah langage, langue, dan parole. Dalam bahasa Perancis, istilah kesatu, langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langage ini bersifat abstrak. Istilah kedua, langue dimaksudkan seba gai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu. Langue juga bersifat abstrak. Karena baik langage maupun langue adalah sebuah pola, keteraturan, atau kaidah yang ada atau dimiliki manusiatetapi tidak nyata-nyata digunakan. Istilah yang ketiga adalah parole merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang di-
45
Wacana Didaktika lakukan oleh para anggota masyarakat di dalam interaksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole tidak bersifat abstrak, nyata ada, dan dapat diamati secara empiris. Berdasarkan beberapa pengertian ter sebut, dapat disimpulkan bahwa bahasa digunakan oleh anggota masyarakat di dalam suatu masyarakat tertentu. Bahasa tersebut digunakan baik untuk berkomunikasi sesama anggota masyarakat maupun dengan anggota masyarakat lain. Giles, Scheer, dan Taylor (1979: 351) me ngatakan:
Melalui penanda bahasa secara fungsional penggolongan kemasyarakatan penting dibedakan, dan ...ini mempu nyai implikasi penting untuk organi sasi kemasyarakatan. Untuk manu sia, penanda bahasa mempunyai persamaan yang jelas...ini adalah jelas bahwa kategori kemasyarakatan dari umur, jenis kelamin, kesukuan, kelas sosial, dan keadaan dapat dengan jelas ditandai atas dasar bahasa dan demikian penggolongan fundamental kepada organisasi sosial walaupun banyak dari kategori juga dengan mudah dibedakan pada basis lain.
Kata-kata yang masuk ke dalam bahasa Indonesia banyak mendapat serapan dari bahasa daerah.
Dari segi sintaksis dan juga pengaruh bahasa daerah terutama bahasa Jawa dan Sunda tetapi struktur bahasa yang demikian masih dianggap struktur bahasa daerah….. Apakah struktur kalimat yang ada dipengaruhi struktur bahasa daerah itu akan diterima menjadi
46
struktur bahasa Indonesia baku, akan ditentukan kelak oleh pemakai bahasa Indonesia itu sendiri (Badudu, 1983: 13).
Penggunaan bahasa oleh anggota masyarakat di suatu daerah tidaklah sama. Hal ini, bisa terjadi karena berbagai faktor yang mempengaruhi perbedaan penggunaan bahasa. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah faktor pendidikan, pekerjaan, dan status sosial ekonomi anggota masyarakat. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, terlihat betapa pentingnya bahasa seba gai alat komunikasi di antara anggota masyarakat dalam suatu daerah tertentu. Peneliti merasa tertarik untuk meneliti bahasa yang digunakan oleh masyarakat Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat terhadap struktur bahasa Indonesia. Penulisan laporan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya pengaruh alih kode dan campur kode penggunaan bahasa di daerah tersebut dalam kehidupan seharihari yang disesuaikan dengan beberapa faktor yang telah disebutkan di atas. B. Metode Penelitian
Suatu penelitian yang bersifat ilmiah harus menggunakan seperangkat metode yang beragam agar hasil penelitian baik dan memuaskan. Salah satu ukuran keberhasilan penelitian itu ditentukan oleh pemilihan metode yang tepat. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei. Survei digunakan untuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Vol. III No. 17 - September 2014 mengumpulkan data atau informasi tentang populasi yang besar dengan menggunakan sampel yang relatif kecil. Populasi tersebut dapat berkenaan dengan orang, instansi, lembaga, organisasi, unit-unit ke masyarakatan, dll. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Sukmadinata (2008: 82) mengatakan bahwa metode survei deskriptif adalah suatu metode penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan wawancara dan pengamatan se bagai alat pengumpul data. Dalam penelitian ini data dan informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan wawancara dan pengamatan. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada pedoman wawancara. Demikian juga dengan pengamatan yang dilakukan dengan panduan format pengamatan. Setelah data diperoleh kemudian hasilnya akan dipaparkan secara deskriptif dan pada akhirnya penelitian data dianalisis untuk diban dingkan dengan teori yang telah dimiliki.
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk, Luas, dan Kepadatannya di Kecamatan Kandanghaur Tahun 2012
Universitas Wiralodra Indramayu
C. Geografis dan Demografis Kecamatan Kandanghaur Kecamatan Kandanghaur terdiri atas 13 desa, yaitu desa Curug, Pranti, Wiraka nan, Karangmulya, Wirapanjunan, Parean Girang, Bulak, Ilir, Soge, Eretan Wetan, Eretan Kulon, dan Kertawinangunan. Batas-batas yang mengelilingi Kecamatan Kandanghaur adalah sebai berikut. Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Timur : Kecamatan Losarang Sebelah Selatan : Kecamatan Gabus Wetan dan Kecamatan Bongas Sebelah Barat : Kecamatan Patrol
Luas wilayah Kecamatan Kandanghaur 76,59 Km2 dengan jumlah penduduk 84.429 orang dan kepadatan penduduk sebesar 1.102 jiwa/Km2. Kecamatan Kandanghaur merupakan kecamatan pantai karena mempunyai batas pantai, desa-desa pantai yang ada di wilayah Kecamatan Kandanghaur adalah desa Eretan Kulon, Eretan Wetan, Ilir, Bulak, dan Parean Girang, sedangkan desa lainnya adalah desa nonpantai. Karena faktor waktu, biaya, dan tenaga, peneliti tidak bisa meneliti ke semua desa hanya tiga desa yaitu desa Ilir, Bulak, dan Parean Girang.
47
Wacana Didaktika D. Pengaruh Kedwibahasaan Terhadap Dwibahasawan Pengaruh kedwibahasaan dalam dwi bahasawan secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2, yakni: pengaruh positif dan pengaruh negatif. Jesperson (Rusyana, 1989: 25) mengemukakan akibat jelek yang nampak ialah anak yang mempelajari dua bahasa tidak akan dapat menguasai kedua bahasa itu sama baik nya, yaitu tidak akan sebaik mempelajari sebuah bahasa. Hal senada diperkuat oleh Kelley, menurut dia anak-anak dwibahasawan itu di sekolah menunjukkan kurang minat dan kurang inisiatif, karena itu tertinggal oleh anak ekabahasawan. Dipertegas dan diperkuat lagi oleh Saer, bahwa anak-anak dwibahasawan skor IQ-nya le bih rendah dari anak ekabahasawan. Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Peal dan Lambert, menurut me reka dalam penelitiannya mengemukakan bahwa anak-anak 10 tahun yang berasal dari enam sekolah Perancis Kanada di Montreal. Kepada mereka dilakukan tes, hasilnya diperbandingkan antara dwibahasawan dan ekabahasawan. Ternyata skor anak dwibahasawan dalam tes verbal dan nonverbal lebih tinggi skornya dari skor anak ekabahasawan. Hal itu pun menunjukkan bahwa anak dwibahasawan struktur intelegensinya lebih beragam, lebih lentur dalam berfikir, cara berfikir lebih luas, lebih kreatif, dan dalam mengerjakan tugas lebih cepat. 1. Alih Kode Apel (Chaer dan Agustina, 2004:107) mendefinisikan alih kode itu sebagai ”ge-
48
jala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.” Berbeda dengan Apel, Hymes (Chaer dan Agustina, 2004: 107) mengatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Selanjutnya, Hymes mengatakan bahwa pengalihan dari situasi tidak formal ke situasi formal (ketika perkuliahan berlangsung), adalah tercakup dalam peristiwa yang di sebut dengan alih kode. Chaer dan Agustina (2004 : 108) me ngatakan bahwa penyebab alih kode antara lain: (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubah an situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan.Soewito (Chaer dan Agustina, 2004 : 114) mengungkapkan bahwa ada dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antarbahasa sendiri. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing. 2. Campur Kode Alih kode tidak akan terlepas dari campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaaan yang besar, sehingga sering kali sukar untuk dibedakan. Chaer dan Agustina (2004:114) mengungkapkan,
Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakan-
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Vol. III No. 17 - September 2014 nya dua bahasa ataunlebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Perbedaannya, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masingmasing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan di atas. Sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa objek dari linguistik adalah hubungan antara bahasa dengan penggunaannya di dalam masyarakat. Hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut dengan variasi, ragam atau dialek de ngan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat. Sekarang timbul pertanyaan, adakah hubungan antara bahasa dengan tingkatan sosial di dalam masyarakat itu? Jawabannya dapat dilihat dari dua segi yaitu: pertama, dari segi kebangsawanan, kalau ada; dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi hal ini tidak bersifat mutlak. Bisa saja taraf pendidikan lebih baik, namun taraf perekonomiannya kurang baik. SeUniversitas Wiralodra Indramayu
baliknya, yang memiliki taraf pendidikan kurang, tetapi memiliki taraf perekonomian yang baik. Untuk melihat adakah hubungan antara kebangsawanan dengan bahasa, kita mengambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Kunjtaraningrat dalam Chaer (2004: 39) membagi masyarakat Jawa atas empat tingkatan, yaitu: (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara. Sedangkan Clifford dalam Chaer (2004: 39) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga tingkatan, yaitu (1) priyayi, (2) bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, (3) petani dan orang kota yang tidak berpendidikan. Dari kedua penggolongan itu jelas adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Berdasarkan tingkat-tingkat itu, maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa. Bahasa yang di gunakan di kalangan wong ciliki tidak sama dengan wong sudagar, dan lain pula dari bahasa yang digunakan para priyayi. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial. Misalnya, wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara; atau petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat so sialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah undak-
49
Wacana Didaktika usuk. Begitu juga dalam bahasa Suda terhdap beberapa variasi bahasa. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut ini! 3. Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat Sebelum diuraikan tentang hubungan bahasa dengan tingkatan sosial masyarakat, ada baiknya kalau kita memperhatikan pengertian tentang bahasa masyarakat dari Gumperz (1971, p. 114) menawarkan definisi lain dari bahasa masyarakat :
Beberapa manusia ditandai oleh interaksi tetap dan berulang menggunakan media pembagian tubuh dari tanda lisan dan memasang dari agreral serupa oleh perbedaan yang berpengaruh nyata dalam pemakaian bahasa. Ba nyak kelompok dari beberapa kebakuan menjadi kelompok kecil dibatasi oleh kontak secara langsung, bangsa yang modern dibagi dalam kelompok kecil atau bahkan bersifat jabatan atau geng lingkungan, mungkin diperlakukan seperti bahasa masyarakat, membuat mereka memperlihatkan keanehan ilmu bahasa yang membahas perintah surat istimewa.
Tidak harus hanya anggota dari bahasa masyarakat yang berbagi seperangkat peraturan tata bahasa, tapi disitu harus juga ada hubungan tetap di antara bahasa yang digunakan dan struktur sosial : yaitu, di sana harus ada aturan yang mungkin dibedakan oleh bagian kelompok dan kemasyarakatan. Gumperz menambahkan (p. 115) :
Di manapun hubungan antara pilihan bahasa dan ketentuan dari kemasyara-
50
katan yang tepat dapat diformalkan, mereka mengijinkan kita untuk membentuk kelompok ilmu bahasa relevan ke dalam dialek berbeda, corak dan jabatan atau bagian lain. Sosiolinguistik mempelajari kesepakatan bahasa masyarakat dengan persamaan ilmu bahasa dan perbedaan di antara keanekaragaman bahasa ini.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa objek dari linguistik adalah hu bung an antara bahasa dengan penggunaannya di dalam masyarakat. Hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut dengan variasi, ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat. Sekarang timbul pertanyaan, adakah hubungan antara bahasa dengan tingkat an sosial di dalam masyarakat itu? Jawabannya dapat dilihat dari dua segi yaitu : pertama, dari segi kebangsawanan, kalau ada; dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi hal ini tidak bersifat mutlak. Bisa saja taraf pendidikan lebih baik, namun taraf perekonomiannya kurang baik. Sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikan kurang, tetapi memiliki taraf perekonomian yang baik. Untuk melihat adakah hubungan antara kebangsawanan dengan bahasa, kita mengambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Kunjtaraningrat dalam Chaer (2004 : 39) membagi masyarakat Jawa atas Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Vol. III No. 17 - September 2014 empat tingkatan, yaitu : (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara. Sedangkan menurut Clifford dalam Chaer (2004 : 39) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga tingkatan, yaitu (1) priyayi, (2) bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, (3) petani dan orang kota yang tidak berpendidikan. Dari kedua penggolongan itu jelas adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Berdasarkan tingkat-tingkat itu, maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan di kalangan wong ciliki tidak sama dengan wong sudagar, dan lain pula dari bahasa yang digunakan para priyayi. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang
yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial. Misalnya, wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara; atau petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Variasi ba hasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah undakusuk. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini!
Tabel 2 Variasi Bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda Parean Kandanghaur
Universitas Wiralodra Indramayu
51
Wacana Didaktika
E. Data Penelitian Dalam penelitian lapangan ini, data diperoleh secara langsung di daerah Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat pada bulan Desember 2011. Responden yang berhasil diwawancarai dan diamati sebanyak dua puluh dua orang. Teknik pengumpul an data dilakukan melalui observasi atau pengamatan dan wawancara. Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Para pedagang ketiga desa (Ilir, Bulak, dan Parean Girang).
52
2. Para pegawai di Kecamatan Kandanghaur. 3. Para tukang perahu di Kecamatan Kandanghaur. 4. Masyarakat di tiga desa (Ilir, Bulak, dan Parean Girang). Dua puluh dua responden tersebut dapat dirinci sebagai berikut. 1. 2. 3. 4.
Para pedagang = 8 responden Para pegawai = 5 esponden Para tukang perahu = 4 responden Masyarakat = 5 responden Jumlah responden tersebut, apabila dirinci lagi berdasarkan penggunaan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Vol. III No. 17 - September 2014 bahasa ibu (B1) adalah sebagai berikut :
1. Bahasa ibunya bahasa Indramayu = 13 responden
2. 3.
Bahasa ibunya bahasa Sunda = 4 responden Bahasa ibunya bahasa Indonesia = 5 responden
Tabel 3 Data Penggunaan Bahasa di Kecamatan Kandanghaur
Dari hasil wawancara dengan responden, ada beberapa alasan memilih bahasa ibu yang digunakan oleh responden.
Universitas Wiralodra Indramayu
53
Wacana Didaktika Tabel 4 Data Alasan Responden Menggunakan Bahasa
54
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Vol. III No. 17 - September 2014 F. Hasil Analisis Data Penelitian Setelah memaparkan alasan-alasan meng gunakan bahasa, maka berikut ini akan dipaparkan persentase pengguna an bahasa yang berhasil diperoleh di lapangan. 1.
Di Desa Ilir Yang memilih bahasa Indramayu 5 orang dari 22 responden = 22,72% Yang memilih bahasa Sunda 2 orang dari 22 responden = 9,09% Yang memilih bahasa Indonesia 2 orang dari 22 responden = 9,09%
3.
Di Desa Parean Girang Yang memilih bahasa Indramayu 3 orang dari 22 responden = 13,63% Yang memilih bahasa Sunda 2 orang dari 22 responden = 9,09% Yang memilih bahasa Indonesia 2 orang dari 22 responden = 9,09%
2.
Di Desa Bulak Yang memilih bahasa Indramayu 8 orang dari 22 responden = 22,72% Yang memilih bahasa Sunda 1 orang dari 22 responden = 4,54% Yang memilih bahasa Indonesia 1 orang dari 22 responden = 4,54%
Dari deskripsi, pengolahan, serta hasil analisis data dapat dilihat pilihan bahasa yang digunakan oleh responden dalam berkomunikasi baik Desa Ilir, Bulak, dan Parean Girang dengan lawan bicaranya. Di desa Ilir, bahasa yang digunakan responden untuk berkomunikasi belum menunjukkan hal yang menggembirakan. Universitas Wiralodra Indramayu
Dari 22 responden hanya 2 orang atau 9,09% yang menggunakan bahasa Indramayu. Hal ini, menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia kurang maksimal. Banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya adalah masyarakat di desa tersebut bahasa ibunya adalah bukan bahasa Indonesia. Sama halnya dengan bahasa digunakan oleh masyarakat di Desa Ilir, di Desa Bulak juga bahasa yang banyak digunakan adalah bahasa Indramayu. Dari 22 responden hanya 1 orang yang menggunakan bahasa Indonesia. Di Desa Parean Girang, bahasa Indramayu digunakan oleh 3 responden dari 22 responden atau 13,36%, bahasa Sunda 2 responden dari 22 responden atau 9,09%, dan bahasa Indonesia 2 responden dari 22 responden atau 9,09%. Bahasa yang digunakan responden di dominasi oleh bahasa Indramayu. Hal ini, dikarenakan bahwa bahasa Indramayu dipakai untuk berkomunikasi sehari-hari. Responden menggunakan alih kode pada saat diketahui lawan bicaranya tidak dapat menggunakan bahasa pertama responden. Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data, jelaslah bahwa penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat dipenga ngaruhi oleh berbagai faktor. Di anatara faktor-faktor tersebut adalah pendidikan, pekerjaan, dan keadaan sosial ekonomi. Yang biasa menggunakan bahasa Indonesia adalah anggota masyarakat yang pada umumnya memiliki pendidikan, pekerjaan yang mapan, dan keadaan sosial ekonomi yang mapan juga. Anggota masyarakat yang menggunakan bahasa Sunda dan Indramayu adalah anggota masyarakat yang pada umumnya mempunyai pendidikan
55
Wacana Didaktika rendah, mempunyai pekerjaan yang serabutan, dan juga mempunyai keadaan sosial ekonomi yang juga kurang mapan. G. Simpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, masyarakat di 3 desa yaitu Desa Ilir, Bulak, dan Parean Girang yang biasa menjajakan aktivitasnya biasa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indramayu yang merupakan bahasa pertama anggota masyarakat di 3 desa tersebut. Hanya sebagian kecil yang menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Kedua, masyarakat yang ada di 3 desa tersebut juga masih banyak menggunakan bahasa Indramayu, baik itu pedagang, tukang perahu, maupun pegawai. Hal ini, menunjukkan bahwa bahasa Indramayu merupakan bahasa yang digunakan seharihari. Alih kode hanya dilakukan apabila lawan bicaranya tidak bisa menggunakan bahasa Indramayu. Mereka baru menggunakan bahasa Indonesia. Ketiga, bahasa Indramayu masih mendominasi penggunaan bahasa dalam berkomunikasi di berbagai kesempatan.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2011. Kandanghaur dalam Angka 2011. Indramayu. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal : Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikoli nguistik Pengantar Pemahaman Ba hasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fishman, Joshua A. 1972. The Sociology of Language. Massachussetts : Newbury House Publication. Hudson, R. A. 1980. Sociolinguistics. Malbourne Sydney: Cambridge University Press. Rahardi, Kunjana A. 2010. Kajian Sosiolin guistik. Bogor: Ghalia Indonesia. Rusyana, Yus. 1989. Perihal Kedwiba hasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: UPI Rosda Syamsudin, AR. 2007. Modul 1 Linguistik Mikro dan Makro. ***
Learning is a treasure that will follow its owner everywhere. ~Chinese Proverb~ “Belajar itu warisan yang akan mengikuti pemiliknya dimanapun berada.”
56
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan