perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
COLLABORATIVE GOVERNANCE KOMISI PENANGGULANGAN AIDS DAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT LOKAL DALAM KASUS HIV/AIDS DI KOTA SURAKARTA
Disusun Oleh : Asri Swastini D0106036
SKRIPSI
Disusun Guna Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Ilmu Administrasi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pembimbing
Drs. Sudarmo, M.A. Ph.D NIP 196311011990031002
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN
Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari
: Senin
Tanggal
: 20 Desember 2010
Panitia Ujian Skripsi
1. Drs. Sonhaji, M.Si
(Ketua)
NIP. 195912061988031004 2. Drs. Muchtar Hadi, M.Si
(Sekretaris)
NIP. 195303201985031002 3. Drs. Sudarmo, M.A, Ph.D
(Penguji)
NIP. 196311011990031002
Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Drs. H Supriyadi SN, SU NIP 195301281981031001
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. IA membaringkan aku di padang yang berumput hijau, IA membimbing aku ke air yang tenang; IA menyegarkan jiwaku. IA menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-NYA Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab ENGKAU besertaku; gadaMU dan tongkatMU, itulah yang menghibur aku. ENGKAU menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; ENGKAU mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.” ( Mazmur 23 :1-6 )
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Special Thanks for :
Sahabatku yang begitu setia, tak pernah meninggalkanku, Memberi aku kekuatan yang memampukanku untuk tetap berjuang, Terima kasih Tuhan Yesus buat semua penyertaanMu yang sangat luar biasa di hidupku…
Karya sederhana ini kupersembahkan kepada : -
Ibuku terkasih, atas segala cintanya yang begitu tulus dan terima kasih sudah menjadi ibu sekaligus bapak yang hebat bagiku
-
Semua mas dan mbakku yang kukasihi
-
Ketujuh keponakan kecilku (Lintang, Jovan, Carissa, Deo, Kyla, Melody, dan Grace) yang selalu berhasil membuatku bersemangat kembali
-
Keluarga keduaku di PMK FISIP UNS, aku sangat mengasihi kalian
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati senantiasa penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan kasih dan karunia-Nya, sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan
skripsi
ini,
dengan
judul
“COLLABORATIVE GOVERNANCE KOMISI PENANGGULANGAN AIDS DAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT LOKAL DALAM KASUS HIV/AIDS DI KOTA SURAKARTA”. Berbagai hambatan dan pengalaman menjadi pengalaman yang berharga bagi penulis sebagai bagian dari proses penyelesaian studi di kampus. Berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihaklah akhirnya skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, atas segala bantuan, bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Bapak Drs. Sudarmo, M.A, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan yang sangat bermanfaat.
2.
Bapak Drs. Harsojo Soepodo, SH, MM selaku sekretaris penuh waktu KPA Surakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di KPA Surakarta.
3.
Bapak Drs. Prawoto Mujiyono selaku pengelola program KPA Surakarta atas segala kebaikan hati, keramahan, informasi, kesediaan waktu dan keterbukaan selama penelitian di KPA.
4.
Ibu Hariyanti, A.Md selaku pengelola administrasi KPA yang telah sangat membantu dalam kelancaran penelitian.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
5.
digilib.uns.ac.id
Semua manajer program dan staf LSM-LSM Peduli Aids Kota Surakarta : LSM Kakak, LSM SpekHam, LSM Gessang, LSM Mitra Alam, dan LSM Graha Mitra atas segala kerja sama dan keterbukaan informasi yang diberikan.
6.
Keluarga besar AN’06 atas pertemanan yang mengesankan.
7.
Semua sahabat OSPAMA yang selalu memberi dukungan.
8.
Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini, yang tidak bisa disebut satu persatu Penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan dari skripsi
ini karena adanya keterbatasan teknik dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dan semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua yang membacanya.
Surakarta, Desember 2010 Penulis
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii MOTTO .........................................................................................................iv PERSEMBAHAN............................................................................................v KATA PENGANTAR ....................................................................................vi DAFTAR ISI ............................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................x DAFTAR TABEL ..........................................................................................xi ABSTRAKSI................................................................................................ xii ABSTRACT ................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….. 1 B. Rumusan Masalah……………………………………………………..
7
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………… 8 D. Manfaat Penelitian…………………………………………………….. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kolaborasi…………………………………………………………
9
1. Pendahuluan……………………………………………………
9
2. Pengertian Collaborative Governance……………………………
12
3. Alasan Kolaborasi……………………………………………
18
4. Ukuran Keberhasilan Kolaborasi…………………………………..
28
5. Hambatan Kolaborasi………………………………………………
38
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kolaborasi Pemerintah dalam Upaya Penurunan Angka HIV/AIDS…
43
C. Kerangka Berpikir…………………………………………………..
43
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian……………………………………………………… 46 B. Jenis Penelitian………………………………………………………
48
C. Sumber Data…………………………………………………………
49
D. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………..
50
E. Metode Penarikan Sampel……………………………………………
52
F. Teknik Analisis Data…………………………………………………
53
G. Validitas Data………………………………………………………..
55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian……………………………………………………….
58
B. Pembahasan………………………………………………………….
75
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………… B. Saran……………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user ix
97 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 2.1…………………………………………………………………
45
Gambar 3.1…………………………………………………………………
55
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Hal Tabel 1.1………………………………………………………………………
3
Tabel 4.2………………………………………………………………………
59
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAKSI ASRI SWASTINI. D0106036. Collaborative Governance Komisi Penanggulangan Aids dan Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal dalam Kasus HIV/AIDS di Kota Surakarta, Skripsi. Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010. Komisi Penanggulangan Aids Surakarta (KPA) berkolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat lokal (LSM) peduli Aids melakukan secara aktif tugas mereka untuk menurunkan angka penderita Aids. Dalam proses kolaborasi diantara mereka KPA tidak bekerja secara efektif tetapi bergantung pada LSM lokal peduli Aids dalam pencarian data dan penjangkauan kelompok sasaran. KPA tidak mendukung dalam pendanaan terhadap LSM lokal tetapi pihak LSM dalam operasionalnya dapat bertahan melalui bantuan dana dari lembaga donor internasional. Pihak LSM lokal merasa KPA tidak bekerja signifikan dalam penurunan angka penderita Aids. Penelitian ini menggunakan metode etnografi trianggulasi yang terdiri dari beberapa metode kualitatif meliputi observasi, wawancara mendalam dan telaah dokumen. Teknik pengambilan sampel menggabungkan purposive and snowball sampling. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kolaborasi antara KPA dengan LSM lokal peduli Aids tidak berjalan efektif.
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT ASRI SWASTINI. D0106036. Collaborative Governance of The Aids Prevention Commission and The Local Non-Government Organizations in Cases HIV/AIDS in Surakarta, Bachelor Thesis. The Department of Public Administration. Faculty of Social and Political Science, Sebelas Maret University, Surakarta. 2010 The Aids Prevention Commission called Komisi Penanggulangan Aids (KPA) in collaboration with any other local Non-Government Organizations (NGO’s) caring on Aids in Surakarta have activily conducted their tasks to alleviate the number of people suffering from Aids. In the process of collaboration among them, the KPA could not work effectivily but it is highly dependent on the local NGO’s in particaly in collecting data and reaching the targeted group. The KPA itself did not provide any financial support to the local NGO’s that in fact their survival is highly dependent on the overseas funding agencies. The local NGO’s themselves felt that the KPA did not significat work in alleviateing the number of people with Aids. This research used triangulation ethnography methods, consisting of some qualitative methods including observation, in-depth interview, and documentation. It used combined purposive and snow-ball samplings in the data collection. The research concludes that collaboration between the KPA and the local NGO’s caring on Aids worked ineffectively.
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
Penyakit HIV/AIDS bukanlah jenis penyakit baru dalam dunia kesehatan. Penyakit ini telah dikenal cukup lama dimana saat ini keberadaannya semakin meluas dan dapat menyerang siapapun. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia. Sekitar 170.000 sampai 210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS. Perkiraan prevalensi keseluruhan adalah 0,1% di seluruh negeri, dengan pengecualian Provinsi Papua, di mana angka epidemik diperkirakan mencapai 2,4%, dan cara penularan utamanya adalah melalui hubungan seksual tanpa menggunakan pelindung. (www.rri.co.id/2009/06/05) Jumlah kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 5.500 jiwa. Epidemi tersebut terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat terlarang melalui jarum suntik dan pasangan intimnya, orang yang berkecimpung dalam kegiatan prostitusi dan pelanggan mereka, dan pria yang melakukan hubungan seksual dengan sesama pria. Sejak 30 Juni 2007, 42% dari kasus AIDS yang dilaporkan ditularkan melalui hubungan heteroseksual dan 53% melalui penggunaan obat terlarang. (www.rri.co.id/2009/06/05) Berdasarkan
hal
ini,
maka
permasalahan
HIV/AIDS
merupakan
permasalahan serius yang harus diatasi. Selanjutnya permasalahan ini ditangani
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional dan memiliki Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk wilayah Indonesia. Ada 79 daerah prioritas di mana epidemi AIDS sedang meluas. Daerah tersebut menjangkau delapan provinsi: Papua, Papua Barat, Sumatra Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Program-program penanggulangan AIDS menekankan pada pencegahan melalui perubahan perilaku dan melengkapi upaya pencegahan
tersebut
dengan
layanan
pengobatan
dan
perawatan.
(www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/05/06) Diantara 8 provinsi yang diprioritaskan tersebut salah satunya adalah provinsi Jawa Tengah. Dalam konteks provinsi Jawa Tengah perkembangan penyebaran HIV dan AIDS semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun sehingga dapat mengancam kesehatan masyarakat dan kelangsungan hidup manusia. Human Immunodeficiency Virus (HIV) penyebab Acquired Immuno deficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah virus perusak sistem kekebalan tubuh manusia yang proses penularannya sulit dipantau, meningkat secara signifikan dan tidak mengenal batas wilayah, pekerjaan,
usia,
status
sosial,
dan
jenis
kelamin.
(http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/05/06). Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Surakarta sangat terlihat bahwa HIV/AIDS dapat terjadi pada siapapun. Kota Surakarta sendiri sebagai salah satu kota yang ada di provinsi Jawa Tengah menempati posisi nomor dua setelah kabupaten Banyumas untuk urusan jumlah penderita HIV/AIDS terbanyak di Jawa Tengah sejak bulan Maret 2010. Menurut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Manajer Program The Global Fund-AIDS Tuberculosis Malaria District Implementing Surakarta Titiek Kadarsih, hal itu harus dipandang dari sisi positif bahwa gunung es penderita HIV/AIDS di Kota Surakarta semakin terungkap. "Kami menargetkan pada 2015 bisa terungkap semua gunung es, mencapai 860 penderita HIV/AIDS. Jika jumlahnya lebih banyak dari itu, berarti program yang kami kerjakan saat ini tidak tepat. Kami justru ingin menemukan sebanyakbanyaknya penderita agar bisa diobati untuk mencegah penularan lebih besar," kata Titiek. Sejak Oktober 2005-Maret 2010, di Surakarta ditemukan 365 kasus HIV/AIDS dengan 106 di antaranya meninggal. Dari jumlah penderita HIV/AIDS, persentase terbesar ditempati wanita pekerja seksual (WPS) sebanyak 149 orang dan ibu rumah tangga sebanyak 74 orang. (http://www.cetak.kompas.com) Tabel 1.1 Hasil Pemetaan Data Populasi Kunci KPA Maret 2010 Kel Risiko
Estimasi
Data Lap
Dijangkau
Gap
ODHA
Penasun (Idus)
270
1.309
753
556
69
WPS langsung
1.310
4.307
2.863
1.444
39
Pelanggan WPS
24.350
40.474
38.675
1.799
149
Waria
80
103
103
11
6
MSM/LSL
2.510
1.168
900
268
27
Ibu RT/Anak PLHIV/ODHA
74 860
331
156
104
364
Sumber : Data Cakupan Maret 2010, KPA Kota Surakarta Dari tabel tersebut dapat dilihat perkembangan kasus HIV/AIDS di Kota Surakarta. Sampai bulan Maret 2010 ini masih terus ditemukan kasus-kasus HIV/AIDS baru yang berasal dari beberapa kelompok resiko, yaitu mulai dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
pengguna narkoba suntik, WPS atau wanita pekerja seks, pelanggan WPS, waria, LSL atau laki-laki seks dengan laki-laki, sampai ibu-ibu rumah tangga dan atau anaknya. Dari hasil pemetaan data populasi kunci yang dilakukan oleh KPA kota Surakarta, masih terjadi gap antara estimasi, data lapangan, dan yang telah berhasil dijangkau oleh KPA maupun LSM-LSM peduli Aids yang ada di kota Surakarta. Gap atau selisih jumlah inilah yang menguatkan asumsi bahwa masih banyak kasus-kasus HIV/AIDS yang belum tersentuh oleh pemerintah ataupun institusi sosial lainnya. Selain itu, klien HIV/AIDS kota Surakarta juga terus meningkat bahkan dengan cukup cepat dan berkali lipat. Masih berdasarkan data cakupan Maret 2010 KPA kota Surakarta, pada bulan Oktober 2005 jumlah penderita HIV yang tercatat hanya 2 orang saja dan terus meningkat dari waktu ke waktu sekitar 15 kali lipat hingga berjumlah 30 orang pada tahun 2009, dan sudah ada 8 penderita HIV baru yang tercatat sampai bulan Maret 2010 ini. Sedangkan untuk penderita AIDS peningkatannya jauh lebih cepat. Pada Oktober 2005, hanya tercatat 2 orang penderita dan terus meningkat sampai pada tahun 2009 ditemukan ada 73 penderita AIDS. Itu berarti terjadi pelipatgandaan sampai lebih dari 36 kali, dan telah ditemukan 11 kasus penderita AIDS baru di bulan Maret 2010. (Sumber : Data Cakupan Maret 2010, KPA Kota Surakarta) Semakin tingginya angka HIV/AIDS di Kota Surakarta disinyalir karena masih rendahnya kesadaran masing-masing stakeholders untuk giat melakukan sosialisasi pada wilayah kerja mereka, dan rendahnya kesadaran dari masyarakat Surakarta sendiri terkait bahaya HIV/AIDS yang dapat menyerang siapapun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
Selama ini, HIV/AIDS memang masih kalah populer dibanding kasus demam berdarah meskipun sama-sama fatal akibatnya. Untuk tahun 2010 ini anggaran yang diberikan dari APBD Surakarta untuk program penanggulangan HIV/AIDS hanya sebesar 75 juta saja. Hal ini sangat kecil dibanding dengan dana LSM yang berasal dari lembaga donor luar negeri, bisa mencapai 1 miliar satu tahun untuk 5 kabupaten/kota. Di tingkatan pusat, pemerintah memiliki Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang yang berfokus pada upaya penanganan HIV/AIDS di seluruh Indonesia, selanjutnya KPA Nasional ini memiliki cabang-cabang baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. KPA Surakarta merupakan instansi independen yang bertugas sebagai koordinator penanganan HIV/AIDS di kota Surakarta. Semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Surakarta menjadi anggota KPA, meliputi semua dinas yang ada di Kota Surakarta, organisasi profesi seperti IDI, Persatuan Perawat, Organda, Apindo, dan lain-lain, dan LSM peduli AIDS yang ada di Kota Surakarta yaitu Mitra Alam (Injeksi Drug User), SpekHam (WPS dan pelanggan), Graha Mitra (Waria), Gessang (Gay), dan Yayasan Kakak (Anak yang Dilacurkan) sehingga diharapkan semua komponen ini bisa mengkomunikasikan
dan
menginformasikan
tentang
bahaya
HIV/AIDS.
Berdasarkan hal ini, maka KPA merupakan koordinator utama upaya penanganan HIV/AIDS di kota Surakarta dimana selanjutnya KPA Surakarta bekerjasama dengan stakeholders lain dengan tujuan penanggulangan HIV/AIDS dapat jauh lebih efektif. Tugas KPA hanya sebagai koordinator. Hal ini diperkuat melalui pernyataan Drs. Prawoto Mujiyono, selaku pengelola program KPA Surakarta :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
“KPA itu tugasnya adalah untuk mengkoordinir kegiatan-kegiatan yang ada di daerah ini yang berkaitan dengan pencegahan, penanggulangan sehingga akan terwujud penurunan angka HIV. Koordinator supaya upaya kegiatan itu berjalan lancar. KPA kan bukan lembaga implementer tapi koordinator.”
Program yang dimiliki KPA selama ini antara lain sosialisasi kepada masyarakat maupun kelompok-kelompok beresiko melalui berbagai media, penjangkauan pada kelompok-kelompok beresiko untuk mau memeriksakan kesehatannya baik ke klinik IMS (inveksi menular seksual) yang ada di puskesmas Manahan dan Sangkrah maupun ke klinik VCT (voluntary counseling and testing) yang ada di RS. Dr. Moewardi dan RS. Dr. Oen, training PE (peer educator) atau kelompok dampingan sebaya yang akan mensosialisasikan bahaya HIV/AIDS di kelompok mereka masing-masing dan training PO (peer outreach) atau petugas penjangkau yang bertugas mengarahkan teman sebaya untuk mau periksa ke IMS dan VCT. Perkembangan kondisi terbaru kasus-kasus HIV/AIDS di Surakarta dapat selalu dipantau oleh KPA karena KPA sebagai koordinator, mengkoordinasi klinik-klinik dan LSM-LSM peduli Aids yang ada di Surakarta untuk memberikan laporan bulanan kepada KPA yang selanjutnya akan dilaporkan kepada walikota. Kerjasama yang terjalin antara KPA dengan stakeholders lain selama ini masih hanya sebatas kesepakatan bersama, sehingga terkadang stakeholders yang lain merasa tidak terlalu menganggap penting untuk ikut berperan aktif menurunkan angka HIV/AIDS di Kota Surakarta atau setidaknya aktif dan sungguh-sungguh dalam upaya sosialisasi bahaya HIV/AIDS di wilayah kerja mereka masing-masing. Yang terjadi selama ini, pihak LSMlah yang paling
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
berperan menjangkau kelompok-kelompok beresiko tinggi terkena HIV/AIDS dan sosialisasi kepada masyarakat. Berdasar hal inilah, maka penelitian ini menekankan pada kolaborasi antar institusi dalam upaya penurunan HIV/AIDS dan tidak memfokuskan pada penurunan HIV/AIDS melainkan hanya menekankan pada kolaborasi antar insitusi itu saja. Institusi yang dimaksud disini adalah KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yang selama ini dianggap paling berperan dalam proses penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta. Dengan demikian, hasil penelitian nantinya akan berfokus pada masalah kolaborasi antar institusi yang selama ini berjalan, yaitu antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids mengenai sejauh mana efektivitas kolaborasi tersebut dan tidak menitikberatkan pada hasil penurunan angka HIV/AIDS di Kota Surakarta.
A.
Rumusan Masalah Penelitian ini akan memfokuskan kajian pada perumusan masalah, yaitu : 1. Bagaimana KPA menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya dalam upaya penanganan kasus HIV/AIDS di Kota Surakarta ? 2. Bagaimana kolaborasi yang dibangun KPA dengan LSM-LSM Peduli Aids yang ada di Kota Surakarta untuk penanganan kasus HIV/AIDS dan seberapa efektif kolaborasi tersebut ?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
B.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu : 1. Mengetahui program-program yang selama ini dilakukan oleh pihak KPA dan LSM-LSM peduli Aids dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS di Kota Surakarta. 2. Mengetahui efektivitas kolaborasi antara KPA dan LSM-LSM peduli Aids dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS di Kota Surakarta. 3. Memberikan rekomendasi tentang kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta.
C.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan masukan dalam upaya perbaikan kinerja kebijakan dan peningkatan kolaborasi antar instansi melalui rekomendasi kebijakan. 2. Memperluas pengetahuan dan wacana baru bagi pembaca mengenai keadaan dan kondisi terkini HIV/AIDS di Kota Surakarta dan kolaborasi yang terjalin selama ini. 3. Meningkatkan kompetensi penulis sebagai mahasiswa ilmu administrasi dalam mengkaji permasalahan sosial dalam masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Kolaborasi 1. Pendahuluan Teori-teori yang dipakai dalam penelitian ini banyak mengambil dari karya-karya penelitian Sudarmo, hal ini dikarenakan teori-teori yang ada sangat relevan dan tepat untuk diterapkan dalam penelitian skripsi ini. Sebuah masalah yang dirasakan orang atau kelompok orang, mungkin tidak dirasakan oleh kelompok lainnya. Namun sangat mungkin persoalan yang terjadi di kelompok tertentu, akan berdampak bagi kelompok lainnya, demikian seterusnya sehingga kelompok yang pertama merasakan bahwa kemungkinan mereka akan semakin merasakan banyak beban ketika masalah dari pihak lainnya menimpa padanya. Dalam menangani, mengelola dan menata suatu masalah publik, sering tidak cukup hanya dilakukan oleh unit-unit institusi-institusi pemerintah setempat baik secara terpadu atau terkait, melainkan tidak jarang memerlukan keterlibatan institusi non-pemerintah lainnya, termasuk lembaga swadaya lokal (LSML) sesuai dengan pusat perhatian yang mereka masing-masing. Ketika cara mengelola, menata dan memenej suatu urusan adalah dengan melibatkan berbagai stakeholder dalam suatu jaringan atau kelompok, maka disinilah konsep collaborative governance antar institusi, termasuk institusi pemerintah maupun non pemerintah, penting digunakan untuk menganalisis sistem pengelolaan secara bersama.
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
Ketika sebuah isu menegaskan adanya kolaborasi antara institusi maka dalam perspektif administrasi publik, seharusnya didalamnya telah tercakup konsep collaborative governance karena paradigma administrasi publik yang menekankan nilai-nilai citizenship dan atau demokrasi secara tidak langsung (dengan sendirinya) mempraktekan governance, meskipun dimungkinkan juga stakeholder tertentu tidak dilibatkan secara fisik tetapi kepentingan mereka seoptimal mungkin diupayakan untuk diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks ini stakeholder bisa didefinisikan sebagai pihak (atau orang atau kelompok) yang terpengaruh atau terkena dampak dari sebuah tindakan, program atau kebijakan atau pihak yang memang seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan suatu pemecahan suatu persoalan bersama. Kolaborasi antar institusi menjadi isu penting dalam administrasi publik mengingat banyak persoalan publik yang memiliki implikasi luas yang tidak bisa ditangani secara optimal dan dipecahkan secara tuntas jika hanya mengandalkan pada satu institusi pemerintah saja. Melalui kolaborasi ini diharapkan persoalan atau masalah publik yang dihadapi bisa atasi atau paling tidak bisa diminimalisir secara signifikan. Collaborative governance muncul dan dikembangkan secara adaptif untuk merespon adanya kompleksitas dan konflik-konflik bernuansa politik atau persolan-persoalan yang menuntut diadopsinya nilai-nilai demokrasi, namun konsep tersebut tidak atau belum diinspirasikan oleh filosofi politis atau teori tertentu. Dengan kata lain ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
kecenderungan bahwa dilakukannya collaborative governance didorong oleh adanya upaya pragmatisme dalam menyelesaikan masalah yang selama
ini
tidak
kunjung teratasi
melalui penerapan
teori-teori
konvensional yang selama ini dipercaya mampu mengatasi masalah (Sudarmo, 2010).
2. Pengertian Collaborative Governance Pengertian kolaborasi secara umum bisa dibedakan ke dalam dua pengertian: (1) kolaborasi dalam arti proses, dan (2) kolaborasi dalam arti normative (Sudarmo, 2010). Pengertian kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan serangkaian proses atau cara mengatur/mengelola atau memerintah secara institusional. Dalam pengertian ini, sejumlah institusi, pemerintah maupun non pemerintah (termasuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat setempat/atau [LSM] lokal dan lembaga-lembaga swasta lokal maupun asing) ikut dilibatkan sesuai dengan porsi kepentingannya dan tujuannya. Bisa saja, kolaborasi ini hanya terdiri dari institusi-institusi pemerintah saja, LSM lokal saja, lembaga swasta saja; atau bisa juga mencakup institusi yang berafilisasi ke pemerintah berkolaborasi dengan LSM-LSM setempat yang didanai oleh pihak swasta/LSM/penyandang dana dari luar negeri. Namun dalam kolaborasi ini institusi-institusi yang terlibat secara interaktif melakukan governance bersama.Adapun porsi keterlibatanya tidak selalu sama bobotnya, mungkin saja mereka hanya terlibat dalam hal penyediaan data-data tentang angka riil penderita
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
HIV/AIDS oleh LSM ke institusi pemerintah, sedangkan operasi lapangan dalam memberikan penyuluhan dilakukan langsung oleh LSM-LSM tersebut yang secara intensiif didanai oleh pihak asing, atau didukung oleh pihak pemerintah dalam hal penyediaan kondom dan alat kontrasepsi lainnya. Sedangkan kolaborasi dalam pengertian normative merupakan aspirasi, atau tujuan-tujuan fisolofi bagi pemerintah untuk mencapai interaksi-interaksinya dengan para partner atau mitranya. Memang collaborative governance bisa merupakan bukan institusi formal tetapi juga bisa merupakan a way of behaving (cara berperilaku/bersikap) institusi non-pemerintah yang lebih besar dalam melibatkan ke dalam manajemen publik pada suatu periode (Sudarmo, 2010). Dalam hal ini kolaborasi antara KPA Surakarta dan para LSM lokal Surakarta yang berkepentingan
dalam
penurunan
angka
HIV/AIDS
bisa
juga
dikategorikan ke dalam kolaborasi dalam konteks normatif sepanjang sama-sama memiliki aspirasi atau tujuan-tujuan yang serupa untuk menurunkan penyebaran HIV/AIDS, walaupun masing-masing LSM tersebut bekerja secara-sendiri-sendiri sesuai dengan ketentuan yang mereka sepakati bersama penyandang dana masing-masing bagi LSM tersebut. Namun demikian, jika peneliti lebih berkepentingan untuk menganalisis atau meneliti pada kolaborasi antar institusi dalam penurunan angka HIV/AIDS maka sifat kolaborasi ini lebih menekankan pada proses; dan sebaliknya jika peneliti atau analis lebih concern pada motif atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
tujuan untuk menurunkan angka HIV/AIDS maka kolaborasi antara KPA dan LSM peduli HIV/AIDS bisa dikategorikan sebagai kolaborasi dalam arti normatif. Dengan mengacu pada dua pengertian ini maka seorang peneliti atau analis bisa memilih apakah dia akan memfokuskan kolaborasi dalam arti proses atau dalam arti normatif. Dalam konteks hubungan kerjasama KPA dan para LSM lokal di Surakarta yang peduli atau berkecimpung terhadap isu tentang penderita HIV/AIDS, bisa dikategorikan sebagai collaborative governance dalam arti proses, terutama ketika peneliti atau analis tidak ada ketertarikan untuk melihat lebh jauh hasil akhir dari kolaborasi tersebut dalam penurunan angka HIV/AIDS. Bisa disebut demikian karena KPA secara berkolaborasi bersama LSM-LSM peduli AIDS ikut mengelola bagaimana berupaya menurunkan angka HIV/AIDS di Surakarta walaupun hasil akhirnya kurang diperhitungkan, apakah dari kolaborasi tersebut angka tersebut akan menurun atau bahkan akan meningkat mengingat banyak faktor dari para individu rentan penyakit menular itu sendiri yang justru ikut berkontribusi bagi peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS. Pada umunya, collaboration dipandang sebagai respon organisasi terhadap perubahan-perubahan atau pergeseran-pergeseran lingkungan kebijakan. Pergeseran-pergeseran bisa dalam bentuk jumlah aktor kebijakan meningkat, isu-isu semakin meluas keluar batas-batas normal yang biasa dirasakan atau sulit terdeteksi karena ketertutupannya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
kapasitas pemerintah daerah, kota dan atau pemerintah pusat terbatas sedangkan institusi-institusi di luar pemerintah meningkat, dan inisiatif spontan masyarakat semakin meluas dan kritis. Ketika pergeseranpergeseran tersebut terjadi, maka hal ini bisa dirasakan bahwa pemerintah memiliki pilihan terbatas atau kecil dan bahkan seakan dipaksa untuk mengikuti untuk segera menyelesaikan atau mengatasi apa yang tengah menjadi
isu
tersebut;
namun
demikian
pemerintah
tetap
harus
menyesuaikan dan membuat dirinya tetap relevan dengan lingkungan yang tengah bergejolak atau berubah. Kolaborasi dalam konteks ini merupakan cara merespon terhadap perubahan sehingga pemerintah tetap aktif dan harus tetap efektif dalam suatu lingkungan manajemen publik yang kompleks dengan tetap melibatkan para institusi-institusi lain yang relevan dengan tujuan yang diinginkan. Lebih dari itu, collaboration dipandang sebagai gambaran tentang cara menangani sesuatu isu atau persoalan tertentu yang sifatnya kabur dan tidak jelas yang memiliki implikasi bahwa ukuran-ukuran (standarstandar) dan relevansi dari wilayah isu yang satu ke wilayah isu lainnya secara berbeda-beda. Dengan demikian, siapa/stakeholder mana saja yang dilibatkan atau harus dilibatkan dalam kolaborasi, dan bentuk dan proses kolaborasi dimungkinkan akan berbeda-beda dari sebuah wilayah isu tertentu ke isu lain dan dari satu sektor ke sektor lain. Ini untuk menggaris bawahi bahwa kolaborasi antara institusi dalam penurunan angka penularan HIV atau pedagang kaki lima misalnya, tentu berbeda dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
stakeholder mana saja yang terlibat atau dilibatkan, bentuk dan proses kolaborasi nya dalam isu-isu kesejahteraan petani padi, perdagangan anak, pelacuran, dan isu tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri. Satu hal yang perlu diyakini dan diterima adalah bahwa sebenarnya kolaborasi bukanlah hal baru. Sejak lama kolaborasi telah banyak dilakukan namun fenomena ini semakin mendapat perhatian akhir-akhir ini terutama ketika disadari bahwa single otoritas sering
tidak mampu
mengatasi masalah yang dihadapi atau tidak mampu memenuhi dengan kapasitas yang dimilikinya di era pelayanan publik seiring dengan pergeseran paradigma pelayanan dalam administrasi publik. Namun tentu saja setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang konsepsi kolaborasi ini, sesuai dengan perspektif displin ilmu yang mereka gunakan. Terkait
dengan
konsepsi
kolaborasi,
sejumlah
pemerhati
mengemukakan pandangannya bahwa pemerintah sejak lama sudah melakukan kolaborasi, yakni dalam bentuk mencari diluar batas-batas wilayah pemerintah untuk medapatkan saran-saran atau nasehat, ahli, dan mitra kerja yang potensial. Sebagian lainnya mengatakan bahwa kolaborasi yang sifatnya non-hirarkhis dan non birokratis pada dasarnya berkebalikan dari apa yang secara tradisional (hirarkis dan birokratis) telah diperlihatkan pemerintah, dan cenderung bersifat top-down terhadap mitranya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
Apakah pemerintah melakukan atau tidak melakukan kolaborasi di masa lampau, hampir bisa disepakati secara konsensus bahwa dalam hal dimana lingkungan kebijakan berubah berarti bahwa pemerintah dituntut harus mengadopsi kesepakatan governance yang cepat agar efektif namun bisa diterima semua pihak. Padahal, agar setiap keputusan bisa diterima oleh semua pihak, menuntut adanya collaborative governance dalam setiap
pembuatan
keputusan
yang
melibatkan
partisipasi
semua
stakeholder dan mengakomodasi kepentingan semua kelompok. Ini untuk menggarisbawahi bahwa jika pemerintah daerah atau lembaga tertentu yang berafiliasi ke pemerintah mengambil keputusan yang bisa berpengaruh bagi kehidupan kelompok marginal, seperti pedagang kaki lima, mereka yang terjangkit HIV atau penyakit AIDS (kaum ODHA), kaum homoseksual, misalnya, maka melakukan kolaborasi dengaan kelompok tersebut adalah hal yang sangat penting agar tidak terjadi penolakan hasil keputusan tersebut oleh mereka. Atau, pemerintah dan atau lembaga-lembaga yang berafiliasi ke pemerintah, perlu berkolaborasi dengan lembaga-lembaga swadaya yang memfokuskan pada persoalanpersoalan
kaum
marginal
tersebut
agar
mampu
memahami,
mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut secara efektif.(Sudarmo, 2010)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
3. Alasan Melakukan Kolaborasi Secara umum collaborative governance muncul secara adaptif atau dengan sengaja diciptakan secara sadar karena alasan-alasan sebagai berikut: (1) kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, (2) konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam, dan (3) upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik (Sudarmo, 2010). Fragmentasi hukum dan pemecahan masalah yang sifatnya multi jurisdiksi merupakan dua sumber utama atau symptom adanya kompleksitas institusi dan interdependensi. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam seringkali merugikan berbagai pihak dan memerlukan tenaga dan perhatian yang sangat besar. Sehingga tanpa melakukan collaborative governance dalam pemecahan masalah, konflik antar kelompok sulit untuk diatasi. Juga, ketka berbagai upaya telah dlakukan dan belum membuahkan hasil, maka kolaborasi bisa dilakukan sebagai upaya pemecahan masalah yang memiliki
legitimasi
kuat
karena
melibatkan
berbagai
kelompok
kepentingan untuk secara aktif berpartisipasi dn mengambil keputusan secara bersama-sama untuk bisa disetujui secara bersama-sama. (Sudarmo, 2010). Terdapat banyak argumen tentang berkembangnya pentingnya melakukan collaborative governance, antara lain adalah karena: (1) kegagalan
implementasi
kebijakan
di
tataran
lapangan,
(2)
ketidakmampuan kelompok-kelompok, terutama karena pemisahan regim-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
regim kekuasaan untuk menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk menghambat keputusan, (3) mobilisasi kelompok kepentingan, dan (4) tingginya biaya dan politisasi regulasi (Sudarmo, 2010). Disamping empat alasan tersebut diatas, terdapat dua alasan lain atas kemunculan dan dikembangkannya collaborative governance, yakni: (1) pemikiran-pemikiran yang semakin luas tentang pluralisme kelompok kepentingan, dan (2) adanya kegagalan akuntabilitas manajerialisme (terutama manajemen ilmiah yang semakin dipolitisasi) dan kegagalan implementasinya (Sudarmo, 2010). Demikian
pula,
kecenderungan
dilakukannya
collaborative
governace adalah dilatarbelakangi oleh perkembangan organisasi dan tumbuhnya pengetahuan dan kapasitas institusi atau organisasi seiring dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari lingkungan selama organisasi tersebut bekerja dalam rentang waktu tertentu (Sudarmo, 2010). Ketika pengetahuan semakin terspesialisasi dan terdistribusi dan ketika infrastruktur institusi bagi pemecahan masalah dan deliberasi menjadi semakin berkembang, kompleks dan padat, maka tuntutan dan permintaan kolaborasi antar bagian atau institusi meningkat pula mengingat sebuah masalah sering merdampak bagi semua bagian atau sejumlah institusi atau masalah sejenis menjadi fokus perhatian dari berbagai institusi yang memiliki kepentingan sejenis sedangkan mereka memiliki keahlian berbeda-beda yang mungkin bersifat komplementer; dengan demikian pemecahan masalah secara kolaborasi antara institusi menjadi hal yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
lebih direkomendasikan atau justru merupakan sebuah kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang. Justru karena collaborative governance kemunculannya dan perkembangannya sifatnya adaptif (sengaja diciptakan) terhadap suatu persoalan yang menuntut pemecahan dari berbagai pihak terkait maka dimungkinkan bahwa bentuk-bentuk collaborative governance akan bervariasi dan mencakup banyak bentuk, yang antara lain dalam hal manajemen, kebijakan komunitas, keterlibatan wakil rakyat, negosiasi regulasi, dan perencanaan kolaborasi serta bentuk-bentuk lain yang mencakup berbagai stakeholder yang harus terlibat secara normatif. Juga dalam analisis collaborative governance perlu ditegaskan batas-batas definisinya yang tentu saja bervariasi dalam hal (1) tingkat formalitasnya, (2) tingkat durasinya, (3) tingkat fokusnya, (4) tingkat institutional diversity nya, (4) tingkat “valence” nya, (5) tingkat stability atau volatility nya, (6) tingkat inisiatifnya, dan (7) tingkat pencetusan masalah, apakah sifatnya probel-driven atau opportunity-driven (Sudarmo, 2010). Ke tujuh elemen inilah yang kemudian ikut berkontribusi dalam mendefinisikan collaborative governance. Terkait
dengan
sifat
kolaborasi,
hubungan
collabotarive
governance bisa berjalan secara terlembaga melalui kontrak-kontrak formal atau juga collaborative relationships bisa berjalan melalui kesepakatan informal. Memang sekarang telah banyak hubungan kolaboratif melalui kontrak atau kesepakatan formal sehingga mudah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
menjelaskan, mendeskripsikan para partisipannya, mudah menggambarkan atau menjelaskan prosedurnya, dan mudah menjelaskan tujuanya. Namun demikian, sebaliknya jika hubungan kolaboratif dilakukan melalui kespakatan informal maka cenderung lebih sulit untuk menganalisis meskipun tetap bisa dilakukan. Hubungan kelompok marginal dan Pemerintah kadang bisa formal kadang bisa informal. Namun demikian, jika telah menyangkut persoalan keuangan atau tanggung jawab keuangan yang harus disetorkan pedagang kaki lima (PKL) misalnya, ke pihak-pihak tertentu termasuk pihak swasta atau perusahaan tertentu, maka hubungan kolaborasi lebih menekankan pada kesepakatan atau kontrak formal agar jelas garis tanggung jawabnya. Juga hubungan formal bisa terjadi terutama antara pihak LSM kepada pihak penyandang dana; dan hubungan semi formal bisa terjadi antara LSM dan lembaga pemerintah yang sama-sama memfokuskan pada isu penurunan angka HIV di Surakarta. Durasi kolaborasi bisa bersifat permanen atau sementara. Kolaborasi yang bersifat permanen antara kelompok marginal dan pemerintah bisa berupa hubungan hak dan kewajiban antara kedua stakeholder. Contohnya, KPA yang pada prakteknya memerlukan kolaborasi dengan LSM-LSM lokal yang memiliki kepentingan serupa dalam hal penurunan angka HIV, berkewajiban melaporkan hasil kerjanya kepada Walikota Surakarta. Namun demikian, apakah kolaborasi itu akan berjalan secara permanen atau sementara belum bisa diprediksikan mengingat kesinambungan kehidupan LSM peduli AIDS di Surakarta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
sangat tergantung pada penyandang dana dari luar negeri. Sebaliknya KPA yang seharusnya ikut mendukung secara finansial kepada LSM-LSM lokal peduli AIDS, institusi pemerintah tersebut belum memberikan kontribusi finansial secara signifikan. (Sudarmo, 2010) Fokus collaborative governnace juga bervariasi, ada yang cukup luas ada yang spesifik. Ada kecenderungan semakin spesifik fokus kolaborasi maka semakin memudahkan dalam analisis karena unsur-unsur yang akan dianalisis sifatnya khusus dan spesifik dan terfokus. Sebaliknya jika fokus kolaborasi terlalu luas maka akan mempersulit analisis karena terlalu banyak bagian yang harus dianalisis sehingga menuntut kejelian yang amat tinggi untuk mendapatkan hasil analisis yang tajam, dalam dan komperehensif. Collaborative governace terhadap kaum marginal pada dasarnya cukup spsesifik, namun analisis bisa meluas tergantung pada seberapa kompleks hubungan mereka dan stakeholder lainnya dalam governance. Untuk kepentingan penelitian, peneliti atau analis bisa memfokuskan pada kolaborasi antara institusi pemerintah dengan LSM lokal setempat peduli AIDS; atau kolaborasi antara institusi pemerintah dengan kaum marginal lainnya. Collaborative
governance
memerlukan
sejumlah
institusi
(kelompok beserta para pemukanya) yang berpartisipasi dalam governance (penataan, penertiban, pembinaan, pemberdayaan
atau pengelolaaan
kelompok marginal) yang semuanya ikut dianalisis terkait dengan peranannya dan kontribusinya masing-masing dalam menangani persoalan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
terkait dengan masalah yang dihadapi stakeholder lainnya terutama pihak pemerintah setempat (Sudarmo, 2009a). Demikian pula ketika akan menganalisis isu penurunan angka HIV maka perlu dilihat pula stakeholder yang terlibat termasuk KPA dan LSM-LSM peduli AIDS seSurakarta, serta institusi-institusi atau individu-individu tertentu yang terlibat. Collaborative governance juga memerlukan kejelasan “valence” yaitu para pelaku atau pemain yang secara jelas berhubungan bersamasama dalam kolaborasi dan jumlah hubungan diantara mereka. Dalam konteks collaborative governance kaum marginal maka ada beberapa pelaku yang berhubungan dengan mereka termasuk pihak pemerintah dan sejumlah pihak swasta, dan bahkan mungkin saja partai politik tertentu Walaupun analisis perlu membatasi,
tetapi tidak mudah karena tidak
menutup kemungkinan stakeholder yang kurang diperhitungkan justru merupakan unsur penting bagi collaborative governance, misalnya, dalam hal penurunan angka HIV, analis/peneliti perlu membatasi institusiinstitusi mana saja yang benar-benar terlibat secara kolaboratif, namun peneliti/analis perlu waspada pihak-pihak mana saja yang perlu dijadikan informan mengingat tidak jarang sejumlah informan jauh dari perhatian dan jangkauan peneliti/analis yang mengakibatkan data kurang akurat. (Sudarmo, 2010) Collaborative governance juga mungkin sifatnya stabil sampai dengat batas tertentu berkaitan dengan “rasa berbagi diantara para
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
anggota” seperti pada kolaborasi antara KPA dan LSM-LSM se Surakarta yang peduli AIDS mungkin bersifat lama atau permanen atau bisa saja tak tentu tergantung seberapa mampu lembaga-lembaga ini mampu beroperasi dengan topangan dana tertentu mengingat dana amat penting peranannya bagi kesinambungan operasi mereka. Sebuah LSM bisa saja berhenti beroperasi ketika penyandang dana tidak lagi secara berkesinambungan mendanai aktivitasnya. Banyak LSM di Surakarta hidupnya masih tergantung pada penyandang dana dari luar negeri. Ini berarti bahwa kondisi keuangan yang minimal bisa mengancam kesinambungan kolaborasi dengan KPA terutama ketika LSM tersebut berhenti beroperasi. Semakin kurang stabil sebuah kolaborasi maka semakin besar energi yang harus mereka curahkan melalui rasa berbagi bersama guna memelihara dan mempertahankan kolaborasi itu sendiri. (Sudarmo, 2010) Collaborative governance juga mencakup pengertian keterlibatan institusi-institusi mana saja yang tengah memulai usaha kerjasama, dan apa
insiatif
dari
masing-masing
menentukan/mendefinisikan
tujuan,
institusi
(stakeholder)
menilai
hasil,
dalam
menyebabkan
perubahan, dan sebagainya. Dengan kata lain siapa yang mempengaruhi (atau mengajak) kepada yang lain. Maka dalam hal ini, siapa yang memulai melakukan inistaitif bisa dilihat dari tiga aspek. Pertama, inisiatif pasti bermula dari pemain/pelaku yang memiliki tuntutan jelas untuk mencerminkan kepentingan publik yang lebih besar. Dalam masyarakat yang sudah sangat demokratis dan berjalan secara optimal tingkat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
demokrasinya, semua pencapaian tujuan yang diperoleh dalam proses kolaborasi tentunya bisa dinilai. Namun demikian, dalam keadaan demokrasi sangat lemah atau pemerintahnya itu sendiri tidak demokratis (misalnya tidak bersih, korup) atau bahkan tidak ada pemerintah, maka menilai hasil kolaborasi sangat tidak masuk akal dan bahkan dalam secara umum bisa kontroversial karena persyaratan yang diperlukan (yaitu pemerintah yang demokratis) tidak dipenuhi. Kedua,
masing-masing
stakeholder
atau
institusi
yang
berkolaborasi harus memiliki peran dalam menentukan tujuan-tujuan kolaborasi. Jika ternyata instutusi lain hanya sekedar berperan sebagai agen yang terlibat dalam mengimplementasikan agenda dari pelaku dominan (atau pelaku utama, katakanlah menjalankan agenda pemerintah atau agenda dari swasta besar) maka hubungan yang tercipta pasti bukan hubungan collaborative governance (Sudarmo, 2010), tetapi bentuk hubungan yang lain yang bisa berupa kooptasi, dominasi dan mungkin saja divide and rule yang bertentangan dengan democratic collaborative governance (Sudarmo, 2008) Ketiga, Hubungan diantara institusi-institusi yang terlibat harus bersifat strategic, artinya bahwa setiap institusi dalam melakukan tindakan selalu bisa dilihat secara transparan oleh institusi lainnya yang merupakan bagian dalam kolaborasi itu dan antisipasi bahwa institusi lain akan memberikan respon terhadap perilaku atas tindakan dari institusi tersebut, sehingga saling memperlihatkan transparansi dalam bertindak dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
antisipasi terhadap respon atas tindakan yang dilakukan dalam collaborative gobernance merupakan sebuah kelaziman yang harus terjadi (Sudarmo, 2010). Dalam collaborative governance, apakah kolaborasi itu ditujukan untuk mempertahankan staus quo dari pihak-pihak tertentu yang ingin tetap mempertahankan keadaan yang selama ini memberikan keuntungan dan atau mempertahankan kekuasaannya atau dominasinya
sehingga
bersifat “defensive”, ataukah kolaborasi itu bertujuan untuk memperbaiki situasi staus quo (sesuatu yang ingin dirubah dari situasi sekarang yang selama ini dipandang tidak membawa kebaikan bagi banyak/semua pihak). Jika kolaborasi ini dilakukan untuk memperbaiki situasi yang masih bersifat status quo, maka gaya collaborave tersebut merupakan kolaborasi yang sifatnya “offensive”. Collaborative governance bisa mengambil dua bentuk ini, bisa berupa salah satu atau campuran keduanya. Demikian pula kolaborasi antara KPA dan LSM peduli AIDS bisa mengambil bentukbentuk seperti itu. Namun untuk kedepan kolaborasi yang bersifat defensive kurang mendukung bagi terselenggaranya pelayanan penderita AIDS atau bahkan penurunan angka AIDS sekalipun jika KPA dijadikan sebagai institusi dominan yang menangani AIDS karena dalam tataran praktis keberadaan lembaga ini juga masih menggantungkan kapasitas masing-masing LSM peduli AIDS di Surakarta. Dengan demikian, kedepan, KPA perlu menjalankan gaya kolaborasi yang offensif , yakni melakukan perubahan-perubahan atau perbaikan dalam mendukung kinerja
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
masing-masing LSM peduli AIDS terutama dalam hal dukungan pendanaan, bukan sekedar sebagai alat kepanjangan tangan KPA saja dan meminta belas kasihan dari mereka agar kolaborasi ini menjadi lebih optimal. (Sudarmo, 2010) 4. Ukuran Keberhasilan Kolaborasi Provan dan Milward (dalam Sudarmo, 2010) mengajukan penilaian efektivitas kolaborasi secara komprehensif mencakup kolaborasi pada tatatan komunitas, tataran network dan tataran hubungan antar institusi atau partisipasi institusi dengan dimensi untuk masing-masing ukuran yang sangat luas dan komples. Namun penilaian ini terlalu luas sehingga memerlukan waktu dan biaya yang tentu tidak sedikit. Ukuran lain yang dipandang lebih relevan dengan situasi karena lingkupnya jelas dan terukur dan sejalan dengan
kepentingan penelitian ini adalah ukuran
efektivitas kolaborasi yang dikemukakan oleh DeSeve. DeSeve (dalam Sudarmo, 2010) menyebutkan bahwa terdapat delapan item penting yang bisa dijadikan untuk mengukur keberhasilan sebuah kolaborasi dalam governance, yang meliputi: (1) networked strucuture, (2) commitment to a common purpose, (3) trust among the participants, (4) governance (termasuk:
a) adanya saling percaya diantara para pelaku, b) ada batas-
batas siapa yang boleh terlibat dan siapa yang tidak boleh terlibat, c) aturan main yang jelas
yang disepakati bersama, dan d) kebebasan
menentukan bagaimana kolaborasi dijalankan); (5) access to authority, (6)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
distributive accountability/responsibility, (7) information sharing, dan (8) access to resources. Networked structure (struktur jaringan) menjelaskan tentang deskripsi konseptual suatu keterkaitan antara elemen yang satu dengan elemen yang lain yang menyatu secara bersama-sama yang mencerminkan unsur-unsur fisik dari jaringan yang ditangani. Ada banyak bentuk networked structure, seperti hub dan spokes, bintang, dan cluster (kumpulan terangkai dan terhubung) yang bisa digunakan (Sudarmo, 2010). Milward dan Provan (dalam Sudarmo, 2010) mengkategorikan bentuk struktur jaringan ke dalam tiga bentuk: self governance, lead organization dan Network administrative organization (NAO). Dari kedua macam pengkategorian, model hub dan spoke bisa disamakan dengan lead organisasi; bentuk lintang bisa disamakan dengan self governance; sedangkan model cluster lebih dekat ke model network administrative organization karena yang sebenarnya model ini merupakan campuran antara self governance dan lead organization. Model self governence ditandai dengan struktur dimana tidak terdapat entitas administratif namun demikian masing-masing stakeholder berpartisipasi dalam network, dan manajemen dilakukan oleh semua anggota (stakeholder yang terlibat). Kelebihan dari model self-governance adalah bahwa semua stakeholder yang terlibat dalam network ikut berpartisipasi aktif, dan mereka memiliki komitmen dan mereka mudah membentuk jaringan tersebut. Namun, kelemahan dari model ini adalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
tidak efisien mengingat biasanya terlalu seringnya mengadakan pertemuan sedangkan pembuatan keputusan sangat terdesentralisir sehingga sulit mencapai konsesnsus Juga disyaratkan agar bisa efektif, para stakeholder yang terlibat sebaiknya sedikit saja sehingga memudahkan saling komunikasi dan saling memantau masing-masing secara intensif (Sudarmo, 2010). Model
lead
organization
ditandai
dengan
adanya
entitas
administratif (dan juga manajer yang melakukan jaringan) sebagai anggota network/atau penyedia pelayanan. Model ini sifatnya lebih tersentralisir dibandingkan dengan model self govenance. Kelebihanya, model ini bisa efisien dan arah jaringannya jelas. Namun masalah yang dihadapi dalam model ini adalah adanya dominasi oleh lead organization, dan kurang adanya komitmen dari para anggota (stakeholder) yang tergabung dalam network. Disarankan juga agar network lebih optimal, para anggota dalam network sebaiknya cukup banyak (Sudarmo, 2010). Hal ini bisa dipahami mengapa anggota yang banyak dipandang efektif karena model ini mengandalkan juga dukungan dari stakeholder atau anggota lainnya dalam menjalankan aktivitasnya, sehingga semakin banyak dukungan semakin efektif sebuah kolaborasi yang mnegadopsi model lead organization. Namun demikian jaringan tidak boleh membentuk hirarki karena justru tidak akan efektif, dan struktur jaringan harus bersifat organis dengan struktur organisasi jaringan yang se- flat mungkin, yakni tidak ada hirarki kekuasaan, dominasi dan monopoli; semuanya setara baik dalam hal hak,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
kewajiban, tanggung jawab, otoritas dan kesempatan untuk aksesibilitas (Sudarmo, 2010). Model network administrative organization ditandai dengan adanya entitas administrative secara tegas, yang dibentuk untuk mengelola network, bukan sebagai “service provider” (penyedia layanan) –dan manajernya di gaji. Model ini merupakan campuran model selfgovernance dan model lead organization Commitment to common purpose mengacu pada alasan mengapa sebuah network atau jaringan harus ada. Alasan mengapa sebuah network harus ada adalah karena perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuantujuan positif. Tujuan-tujuan ini biasanya terartikulasikan di dalam misi umum suatu organisasi pemerintah. Demikian pula, penurunan angka HIV/AIDS juga memerlukan komitmen dari masing-masing institusi yang berkolaborasi untuk mencapai tujuan tersebut. Namun komitmen LSMLSM tidak selalu tertuju untuk institusi pemerintah mengingat mereka lebih merasa bertanggung jawab pada lembaga donor yang membiayai aktivitasnya, seperti lembaga luar negeri yang pada umumnya menjadi tempat bernaung bagi LSM-LSM lokal yang ada di Surakarta maupun tempat lain di Indonesia. Kurangnya komitmen pada tujuan-tujuan yang dicanangkan insitusi pemerintah yang berkomitmen untuk menurunkan angka HIV/AIDS bisa dipandang sebagai perwujudan rendahnya efektivitas kolaborasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
Trust
among
the
participants
(kepercayaan diantara
para
partisipan), didasarkan pada hubungan professional atau sosial; keyakinan bahwa para partisipan mempercayakan pada informasi-informasi atau usaha-usaha dari stakeholder lainnya dalam suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Bagi lembaga-lembaga pemerintah, unsur ini sangat esensial karena harus yakin bahwa mereka memenuhi mandat legislatif atau regulatori dan bahwa mereka bisa “percaya” terhadap partenerpartner (rekan kerja dalam jaringan) lainnya yang ada di dalam sebuah pemerintahan (bagian-bagian, dinas-dinas, kantor-kantor, badan-badan dalam satu pemerintahan daerah, misalnya) dan partner-partner di luar pemerintah untuk menjalankan aktitas-aktivitas yang telah disetujuai bersama. Jika sudah saling curiga dan bahkan saling memfitnah, bukti bahwa kolaborasi telah berada di ambang titik akhir. Demikian juga, dengan mengacu pada kemungkinan adanya kolaborasi antara KPA dan para LSM lokal peduli AIDS, KPA harus bisa percaya bahwa para informasi atau data yang disediakan LSM ini akurat, atau ketika KPA ini kesulitan mencari data akurat tentang jumlah penderita HIV/AIDS karena keterbatasan kapasitasnya maka institusi ini harus yakin bahwa para LSM lokal peduli AIDS ini mampu memberikan data-data dan segala informasi yang diperlukannya untuk kepentingan KPA sendiri sebagai salah satu institusi formal yang bekerja untuk pemerintah kota Surakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
Adanya kepastian Governance atau kejelasan dalam tata kelola, termasuk (a) boundary dan exlusivity, yang menegaskan siapa yang termasuk anggota dan siapa yang bukan termasuk anggota. Ini berarti bahwa jika sebuah kolaborasi dilakukan, harus ada kejelasan siapa saja yang termasuk dalam jaringan dan siapa yang ada diluar jaringan; (b) rules (aturan-aturan) yang menegaskan sejumlah pembatasan-pembatasan perilaku anggota komunitas dengan ancaman bahwa mereka akan dikeluarkan jika perilaku mereka menyimpang (tidak sesuai atau bertentangan dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama); dengan demikian ada aturan main yang jelas tentang apa yang seharusnya dilakukan, apa yang seharusnya tidak dilakukan, ada ketegasan apa yang dinilai menyimpang dan apa yang dipandang masih dalam batas-batas kesepakatan; Ini menegaskan bahwa dalam kolaborasi ada aturan main yang disepakati bersama oleh seluruh stakeholder yang menjadi anggota dari jaringan tersebut; hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan hal-hal apa saja yang seharusnya tidak dilakukan sesuai dengan aturan main yang disepakati; (c) self determination, yakni kebebasan untuk menentukan bagaimana network akan dijalankan dan siapa saja yang diijinkan untuk menjalankannya; Ini berarti bahwa model kolaborasi yang dibentuk akan menentukan bagaimana cara kolaborasi ini berjalan. Dengan kata lain, cara kerja sebuah kolaborasi
ikut ditentukan oleh model kolaborasi yang
diadopsi; dan (d) nework management yakni berkenaan dengan resolusi penolakan/tantangan,
alokasi
sumberdaya,
commit to user
kontrol
kualitas,
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
pemeliharaan organisasi.
Ini untuk menegaskan bahwa ciri sebuah
kolaborasi yang efektif adalah jika kolaborasi itu didukung sepenuhnya oleh semua anggota network tanpa konflik dan pertentangan dalam pencapaian tujuan, ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang memenuhi persyaratan yang diperlukan dan ketersediaan sumber
keuangan/kondisi
finansial
secara
memadai
dan
berkesinambungan, terdapat penilaian kinerja terhadap masing-masing anggota yang berkolaborasi, dan tetap mempertahankan eksistensi masingmasing anggota organisasi untuk tetap adaptif dan berjalan secara berkesinambungan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa mengganggu kolaborasi itu sendiri. Access to authority (akses terhadap otoritas), yakni tersedianya standar-standar (ukuran-ukuran) ketentuan prosedur-prosedur yang jelas yang diterima secara luas. Bagi kebanyakan network, network-network tersebut harus memberi kesan kepada salah satu anggota network untuk memberikan otoritas guna mengimplementasikan keputusan-keputusan atau menjalankan pekerjaannya (Sudarmo, 2010). Ini menegaskan, jika KPA melakukan kolaborasi dengan para LSM lokal peduli AIDS, maka ia perlu memberikan otoritas tertentu dan jelas lingkupnya kepada LSM yang dimaksud untuk menjalankan keputusan-keputusan KPA. Distributive
accountability/responsibility
akuntabilitas/responsibilitas),
yakni
berbagi
governance
(pembagian (penataan,
pengelolaan, manajemen secara bersama-sama dengan stakeholder lainya)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
dan berbagi sejumlah pembuatan keputusan kepada seluruh anggota jaringan; dan dengan demikian berbagi tanggung jawab untuk mencapai hasil yang diinginkan. Jika para anggota tidak terlibat dalam menentukan tujuan network dan tidak berkeinginan membawa sumber daya dan otoritas ke dalam network, maka kemungkinan network itu akan gagal mencapai tujuan. Dalam isu AIDS, KPA perlu mengajak serta LSM-LSM lokal sebagai mitra kerjanya dalam pengambilan keputusan terkait upaya penurunan angka HIV/AIDS di Surakarta sesuai dengan porsi dan fokus kepedulian mereka masing-masing sehingga mereka merasa sama-sama memiliki rasa tangung jawab bersama sesuai dengan porsi dan lingkup fokusnya. Information sharing (berbagi informasi) yakni kemudahan akses bagi para anggota, perlindungan privacy (kerahasiaan identitas pribadi seseorang), dan keterbatasan akses bagi yang bukan anggota sepanjang bisa diterima oleh semua pihak. Kemudahan akses ini bisa mencakup sistem, software dan prosedur yang mudah dan aman untuk mengakses informasi. Dalam konteks kolaborasi KPA bersama LSM-LSM lokal di Surakarta, mereka perlu berbagi informasi maupun data yang berguna bagi mereka, terlebih KPA yang sangat memerlukan bantuan dari LSM-LSM lokal dalam hal penyediaan data/informasi sangat memerlukan kesediaan LSM-LSM tersebut dalam penyediaan data/informasi tersebut; demikian pula KPA perlu pula terbuka terhadap LSM setempat yang menjadi mitra kolaborasinya dalam hal informasi apapun yang memiliki keterkaitan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
dengan upaya pencapaian tujuan
KPA dalam hal penanggulangan
HIV/AIDS. Access to resources (akses sumberdaya), yakni ketersediaan sumber keuangan, teknis, manusia dan sumberdaya lainnya yang diperlukan untuk mencapai tujuan network. Dalam isu kolaborasi antar stakeholder dalam penurunan angka HIV/AIDS, pemerintah perlu mendukung LSM-LSM lokal peduli AIDS dalam hal pendanaan sehingga kesinambungan kegiatan mereka yang sebenarnya keberadaannya amat diperlukan oleh KPA, tidak tergantung pada kekuatan keuangan pihak luar negri. Lemahnya kemampuan finansial dan langkanya akses sumberdaya keuangan di dalam negeri sendiri baik ke pihak swasta maupun ke pihak pemerintah, memperlihatkan lemahnya efektivitas kolaborasi betapapun sumberdaya manusia dan teknis tersedia secara memadai mengingat penanganan AIDS memerlukan dana yang amat besar, yang biasanya tak dipunyai oleh LSM secara mandiri. (Sudarmo, 2010) Collaborative governance memerlukan para pemimpin yang memiliki sejumlah ketrampilan (skills) tertentu: kemampuan untuk memfasilitasi
pertemuan,
mengusulkan
dan
mengontrol
diskusi;
mengorganisasi ide-ide; menengahi dan mengurangi konflik; menciptakan bidang permainan yang netral; mempertahankan agar partisipan tetap terinformasi dan terlibat; menjaga agar diskusi tetap relevan; mendorong kemajuan kolektif (bersama) menuju ke sebuah resolusi (pemecahan masalah). Sering bukan ketrampilan yang diperlukan bagi kepemimpinan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
sebuah organisasi tunggal, dan kadang bisa antipati terhadap para pemimpin organisasi (Sudarmo, 2010). Ini menggarisbawahi bahwa kolaborasi yang efektif dapat dilihat dari kemampuan KPA merealisasikan sejumlah unsur-unsur yang diusulkan tersebut. 5. Hambatan Kolaborasi Terdapat sejumlah faktor yang bisa menyebabkan gagalnya suatu kolaborasi termasuk partsipasi aktif dari berbagai stakeholder. Studi di Canada mengenai terhambatnya jalanya suatu kolaborasi (dan juga partisipasi) adalah karena disebabkan oleh banyak faktor, terutama faktorfaktor budaya, faktor-faktor institusi-institusi, dan faktor-faktor politik (Sudarmo, 2010). Budaya. Untuk terciptanya kolaborasi yang efektif mensyaratkan para pelayan publik (dan dengan demikian para pemimpinnya) untuk memiliki skills (ketrampilan) dan kesediaan untuk masuk ke kemitraan secara pragmatik, yakni berorientasi pada hasil. Memang memungkinkan mengabaikan konvensi dan menjadikan segala sesuatu dilakukan dalam sebuah kolaborasi, namun melakukan hal seperti ini dalam pelayanan publik yang tergantung pada prosedur dan tidak bersedia mengambil resiko tidak mungkin akan menjadikan kolaborasi sebuah kenyataan. Ketergantungan terhadap prosedur secara berlebihan justru akan menghambat
kolaborasi
dan
tidak
peningkatan kualitas kolaborasi.
commit to user
menimbulkan
kemajuan
bagi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
Dengan kata lain, ketergantungan pada prosedur dan tidak berani mengambil resiko merupakaan salah satu hambatan bagi terselenggaranya efektivitas kolaborasi (Sudarmo, 2010). Dalam pelayanan publik, “risk-reward calculus” (perhitungan imbalan beresiko) tidak berlaku sebab pegawai (juga pemimpin) yang berinovasi dan mereka yang beresiko gagal melalui kolaborasi dalam rangka mencapai hasil yang lebih baik, jarang dihargai ketika mencapai keberhasilan, dan sering harus menanggung resiko sendiri ketika inovasinya gagal. Lingkungan seperti ini justru menciptakan penolakan untuk melakukan pengorganisasian/penyusunan cara-cara kerja yang fleksibel dan praktis yang sebenarnya bisa dilakukan melalui kolaborasi, namun dalam kenyataannya justru menimbulkan ketergantungan terhadap pihak lain. Sebaliknya, sebuah budaya yang mencakup kegagalan sebagai bagian dari “pembelajaran organisasi” secara inovatif, justru sangat tepat bagi usaha-usaha kolaborasi (Sudarmo, 2010). Disamping
itu,
mengapa
kolaborasi
gagal
adalah
masih
dipertahankanya pendekatan “top down” oleh pihak pemerintah ketika menjalin kolaborasi dengan pihak lain, masih adanya dominasi dari pihak pemerintah dan tidak menjalankan kesepakatan berdasarkan mentalitas kerjasama dan egalitarian sebagaimana yang dipersyaratkan bagi berjalannya sebuah kolaborasi (Sudarmo, 2010); juga kolaborasi gagal karena partisipasi dari kelompok kepentingan atau stakeholder lainnya selama ini sering kali masih dipandang bukan hal utama dan tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
diperlukan, tidak penting dan didominasi oleh kelompok dominan/pihak pemerintah melalui pendekatan top down (Sudarmo, 2009). Kolaborasi juga bisa gagal karena kooptasi dan strategi pecah belah dengan cara mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok yang pro kebijakan pemerintah dan mengabaikan kelompok yang anti kebijakan pemerintah (Sudarmo, 2008). Institusi-institusi. Institusi-intsitusi yang masih terlalu ketat mengadopsi struktur vertical, yang dengan demikian akuntabilitas institusi dan arah kebijakannya juga bersifat vertical, tidak cocok untuk kolaborasi karena kolaborasi mensyaratkan cara-cara kerja atau pengorganisasian secara horizontal antara pemerintah dan non-pemerintah. Bahkan betapapun sebuah pemerintahan mengadopsi sistem pemerintahaan demokrasi yang biasanya bersifat “representative democracy” belum tentu cocok bagi kolaborasi karena demokrasi mensyaratkan tingkat proses dan derajat formalisme yang begitu besar dibanding dengan kemitraaan horisontal. Dengan kata lain, kolaborasi yang cenderung memiliki sifat spontanitas (yang kadang tidak memerlukan aturan ketat secara formal dan kadang juga tidak perlu mengikuti proses tradisional yang biasa dilakukan dalam keseharian atau sesuai standard operating procedure yang biasa terjadi dalam organisasi public yang mekanistik), tidak bisa menggantikan tujuan-tujuan yang ditentukan secara terpusat dan kebutuhan-kebutuhan negara demokratis pada umumnya (Sudarmo, 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
Akuntabilitas institusi-institusi publik (organisasi-organisasi milik pemerintah) cenderung kaku, yakni hanya mengacu pada akuntabilitas pada organisasi atau atasan saja, atau aturan yang berlaku saja, sehingga akuntabilitas dalam konteks ini lebih menekankan pada responsibilitas. Padahal isu akuntabilitas sangat kompleks. Pada era dimana peran media semakin meningkat dan pengawasan dari publik semakin gencar dan muncul bersama-sama dari berbagai pihak, sulit dibayangkan para pembuat kebijakan hanya akan menghadapi sedikit persyaratan dalam hal pengkatalogan, arah, dan rasionalisasi belanja-belanja publik. Padalah kolaborasi menghendaki persyaratan flesibilitas ketika sampai pada penggunaan/belanja sumberdaya milik bersama/publik. Hambatan lainnya bagi kolaborasi adalah terjadinya dan kakunya “batasan definisi” dan “kondisi” yang ditentukan pihak pemerintah. Sering terjadi bahwa dalam organisasi-organisasi pemerintah (public), rencanarencana dan inisiatif-inisiatif terikat oleh harapan, prosedur, ketersediaan dan
sumbardaya
yang
melimpah
dan
duplikatif,
sehingga
sulit
dibayangkan menyelenggarakan bentuk kolaborasi dengan para aktor di luar organisasi untuk memperoleh pemahaman yang sama (Sudarmo, 2010). Disamping itu, masih ada kemungkinan hambatan lainnya adalah tidak terlihatnya atau belum dikembangkannya strategi-strategi inovatif; dan kalaupun ada inovasi-inovasi yang dilakukan, tidak mencerminkan investasi dana publik secara substansial; bahkan dana-dana tersebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
kemungkinan ada di luar pengamatan, terutama jika dana-dana tersebut membuahkan hasil-hasil positif. Bahkan segera setelah program semakin besar atau menjadi bagian dari filosofi yang lebih luas yang memandu semua jenis rencana, atau jika proyek-proyek kolaborasi memburuk (gagal), pemerintah kemungkinan akan mengintervensi dan mengatur inisitif diluar yang kita ketahui. Proses seperti itu mungkin dikuti dengan ukuran-ukuran akuntabilitas yang sangat ketat dan kaku, dan pada akhirnya meninjau kembali budaya resiko dan kegagalan yang muncul dari kolaborasi. Politik. Kepemimpinan yang inovatif (forward-looking) adalah pemimpin yang bisa memperkenalkan berbagai macam nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang bisa menjadikan sebagai inti pemerintahan yang kolaboratif, dan memberikaan inspirasi terhadap agenda yang ditentukan di atas tetapi bisa mengarahkan pada pencapaian hasil-hasil positif melalui kemitraaan (Sudarmo, 2010). Ini untuk menggarisbahwahi bahwa kolaborasi bisa saja terhambat, jika para pemimpin dari kelompokkelompok yang berkolaborasi kurang atau tidak inovatif. Demikian pula, kolaborasi bisa gagal karena adanya perubahan kesepakatan yang telah disetujui diawal kesepakatan kerjasama dan munculnya kepentingan baru yang berbeda-beda diantara stakeholder termasuk para pemimpin masing-masing kelompok (Sudarmo, 2009a).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
B.
Kolaborasi Pemerintah daerah Surakarta dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS Dari seluruh penjelasan diatas, keberhasilan pemerintah daerah Surakarta dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS adalah hasil kerja tim dari seluruh stakeholders yang terlibat dalam kolaborasi yang bertujuan untuk mencapai hasil yang lebih optimal dan memuaskan terkait dengan penurunan angka penularan HIV/AIDS di kota Surakarta. Tetapi pada realitanya, stakeholders yang selama ini tergabung dalam kolaborasi ini belum memiliki kepekaan dan tanggungjawab yang tinggi untuk terlibat secara maksimal, maka untuk keperluan penelitian ini, penulis memfokuskan penelitiannya pada kolaborasi antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yang ada di kota Surakarta karena merupakan pelaku paling dominant yang concern terhadap penanganan HIV/AIDS di kota Surakarta.
C.
Kerangka Berpikir Kerangka pemikiran digunakan sebagai dasar atau landasan dalam pengembangan berbagai konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian serta hubungannya dengan perumusan masalah. Mengacu pada konsep dan teori yang telah disebutkan diatas, maka kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut Mengacu pada konsep kolaborasi, bahwa kolaborasi adalah suatu upaya untuk menggabungkan semua sektor baik pemerintah maupun nonpemerintah untuk mengelola, menata dan mengatur suatu urusan bersama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
guna mencapai hasil yang lebih efektif dan efisien. Kolaborasi terus berkembang dalam pemerintahan karena adanya kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, dimana penanganan suatu masalah publik sangat sulit untuk dilakukan oleh satu institusi pemerintah, maka sangat diperlukan kolaborasi agar masalah publik tersebut dapat teratasi dengan jauh lebih baik. Kolaborasi juga mencakup pengertian keterlibatan institusiinstitusi mana saja yang tengah memulai usaha kerjasama, dan apa inisiatif dari masing-masing institusi (stakeholders) dalam menentukan atau mendefinisikan tujuan, menilai hasil, menyebabkan perubahan, dan sebagainya. Dalam melakukan kolaborasi, tidak bisa berjalan dengan sendirinya secara alamiah. Setiap aktor yang terlibat dalam kolaborasi tersebut harus menyadari peran masing-masing demi tercapainya tujuan kolaborasi. Inisiatif berkolaborasi pasti muncul dari pihak yang memiliki tuntutan jelas untuk mencerminkan kepentingan publik yang lebih besar. Masing-masing stakeholders atau institusi yang berkolaborasi harus memiliki peran dalam menentukan tujuan-tujuan kolaborasi. Jika ternyata institusi lain hanya sekedar berperan sebagai agen yang terlibat dalam mengimplementasikan agenda dari pelaku dominan (atau pelaku utama, katakanlah menjalankan agenda pemerintah atau agenda dari swasta besar) maka hubungan yang tercipta pasti bukan collaborative governance (Donahue dalam Sudarmo, 2010), tetapi hubungan lain yang bisa berupa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
kooptasi, dominasi, dan mungkin saja divide and rule yang bertentangan dengan democratic collaborative governance. Hubungan diantara institusiinstitusi yang terlibat harus bersifat strategic, artinya bahwa setiap institusi dalam melakukan tindakan selalu bisa dilihat secara transparan oleh institusi lainnya yang merupakan bagian dalam kolaborasi itu dan antisipasi bahwa institusi lain akan memberikan respon terhadap perilaku atas tindakan dari institusi tersebut, sehingga saling memperlihatkan transparansi dalam bertindak dan antisipasi terhadap respon atas tindakan yang dilakukan dalam collaborative governance. Dari penjelasan tersebut, maka dalam penelitian ini akan diuraikan tentang kolaborasi pemerintah kota Surakarta dengan institusi terkait dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS yang diharapkan dapat memperjelas sejauh mana keberhasilan kolaborasi yang telah berjalan selama ini. Gambar 2.1 Kerangka Berpikir LSM Mitra Alam
LSM Kakak
LSM Graha Mitra
KPA LSM Spekham
LSM Gessang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Komisi Penanggulangan Aids Daerah Surakarta, Kompleks Kantor Balai Kota Surakarta di jalan Jend Sudirman, dan di 5 LSM peduli Aids yang ada di Surakarta, 5 LSM tersebut yaitu : 1.
LSM SpekHam LSM SpekHam (Solidaritas perempuan untuk kemanusiaan dan hak asasi manusia) merupakan LSM yang fokus kepada kekerasan
terhadap
perempuan,
pemenuhan
penghapusan
kebutuhan
dasar
perempuan dan bagaimana perempuan yang termarginalkan dan dieksploitasi selama ini dapat diminimalisir. Program utamanya adalah selain melakukan pendampingan untuk upaya prefentif juga melakukan advokasi kepada pemerintah. 2.
LSM Kakak Yayasan Kakak merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan dan perwujudan hak-hak anak terutama hak anak sebagai konsumen dan anak korban eksploitasi serta kekerasan seksual.
3.
LSM Graha Mitra LSM Graha Mitra merupakan LSM yang khusus menaungi para waria, yang berpusat di Semarang. LSM Graha Mitra berdiri sejak tahun
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
2004, merupakan lembaga yang didalamnya ada sekelompok orang yang peduli tentang HIV/AIDS khususnya yang ada di Jawa Tengah tetapi dengan sasaran kaum waria. Lebih lanjut, LSM Graha Mitra merupakan satu-satunya LSM di Jawa Tengah yang menaungi kaum waria. LSM Graha Mitra yang ada di kota Surakarta sendiri selama ini berfokus pada isu-isu yang semuanya berhubungan dengan para waria, mulai dari kesehatan, bantuan hukum sampai dengan menyatukan mereka dalam persatuan waria yang dikenal sebagai HIWASO (Himpunan Waria Solo). LSM Graha Mitra berawal dari kepedulian sesama kaum waria yang selama ini dianggap orang-orang minoritas dan terpinggirkan, sehingga dengan keberadaan LSM ini telah mampu mengangkat harkat dan martabat kaum waria. Dengan adanya LSM ini kaum waria memiliki rasa percaya diri yang semakin kuat karena merasa dihargai hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia oleh kelompok masyarakat lainnya. 4.
LSM Gessang LSM Gessang selama ini fokus pada penanggulangan HIV/AIDS pada komunitas MSM (Man who have sex with Man) atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, entah dari komunitas homo seksual atau biseksual.
5.
LSM Mitra Alam LSM Mitra Alam berfokus pada penanganan kasus HIV/AIDS pada pengguna narkoba suntik, pasangan pengguna narkoba suntik, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
warga binaan Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan LSM Mitra Alam yaitu adanya perubahan perilaku pada pengguna narkoba suntik dan pasangan narkoba suntik terkait dengan resiko penularan baik dari penyuntikan maupun dari seksual.
B.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk memberikan gambaran mengenai berbagai hal yang ada menjadi bahan penelitian dengan cara menggali, mendalami, menemukan fakta-fakta dan permasalahanpermasalahan yang dihadapi untuk kemudian dipaparkan melalui penafsiran dan dianalisa menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan pendekatan kualitatif berorientasi pada orientasi teoritis, teori dibatasi pada pengertian bahwa suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data yang diuji. Teori juga mambantu menghubungkan dasar orientasinya dengan data dan dapat dimanfaatkan dalam pengumpulan dan analisis data. Penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif sebab penulis ingin menggambarkan/ mendeskripsikan bagaimana kolaborasi pemerintah daerah Surakarta dengan institusi terkait dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS di Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
C.
Sumber Data Penelitian Sumber data yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah : 1. Narasumber Dalam penelitian ini, penulis memperoleh data secara langsung dari
para
informan
melalui
wawancara
dengan
pihak
yang
berkompeten. Adapun para informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Ketua atau manajer program Komisi Penanggulangan Aids Daerah Surakarta b) Manajer program atau koordinator lapangan setiap LSM peduli Aids Penulis
memilih
narasumber
sebagaimana
dengan
berbagai
pertimbangan, pertimbangan tersebut adalah: (1) Ketua atau manajer program KPA Surakarta, merupakan orang yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan program-program penanggulangan HIV/AIDS di Surakarta. (2) Manajer program atau koordinator lapangan LSM-LSM peduli Aids, merupakan pihak yang sangat mengerti dan memahami setiap program dari LSM yang berhubungan dengan upaya penurunan angka HIV/AIDS. 2.
Dokumen Didalam penelitian ini, penulis juga menjadikan dokumendokumen sebagai sumber data dalam penelitian. Adapun dokumen yang mempertajam penelitian ini adalah dokumen Peraturan Daerah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Provinsi Jawa Tengah nomor 5 tahun 2009 tentang penanggulangan HIV dan AIDS, dokumen cakupan hasil KPA Surakarta dari bulan Oktober 2005 sampai Maret 2010, Keputusan Walikota Surakarta nomor 443.2.05/28-A/1/2010 tentang pembentukan komisi, kelompok kerja (Pokja) dan sekretariat penanggulangan Aids Kota Surakarta, dan masih banyak data yang lain seperti data yang diperoleh dari artikel yang bersangkutan, buku-buku kepustakaan untuk pencarian informasi dan pemahaman teoritis dalam upaya pemecahan masalah. D.
Teknik Pengumpulan Data 1.
Wawancara Menurut Lexi J Moleong (2009: 186) wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu Tehnik wawancara sangat tepat untuk melengkapi data yang bersumber dari narasumber atau informan. yang dalam penelitian kualitatif khususnya dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada informan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pedoman wawancara sebagai kegiatan bertanya lebih terarah. Penulis memnilih menggunakan tehnik pengumpulan data dengan wawancara sebab peneliti ingin menggali informasi dari para
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
informan dengan tatap muka secara langsung, dari sinilah peluang berbagai pertanyaan yang berhubungan langsung dengan proses penelitian akan terungkap. 2.
Observasi Merupakan teknik pengumpulan data dari sumber data yang berupa tulisan, angka, gambar atau grafik serta rekaman gambar yang dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap obyek penelitian dengan menggunakan alat indera pendengaran dan penglihatan terhadap fenomena social yang terjadi di lokasi penelitian. Observasi sangat tepat guna melengkapi data yang berupa aktifitas ataupun kegiatan yang dilakukan berkesinambungan oleh objek penelitian. Penulis
menggunakan
metode
observasi
dalam
teknik
pengumpulan data sebab selain untuk melengkapi data, penulis juga dapat membandingkan hasil wawancara dengan kenyataan yang ditemui oleh peneliti dilapangan. 3.
Telaah Dokumen Telaah dokumen merupakan teknik pengumpulan data dengan mencari, mengumpulkan, dan mempelajari dokumen yang relevan dengan penelitian berupa arsip, laporan, peraturan, dokumen, dan sumber-sumber lain yang dapat memperkuat data di penelitian ini. Dalam proses penelitian ini, selain teknik wawancara dan observasi, penulis juga menggunakan teknik pengumpulan data dengan
telaah dokumen, hal ini dilakukan sebab peneliti ingin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
memperoleh data lebih banyak lagi, agar penelitian ini tidak diragukan kebenarannya. Adapun dokumen yang telah ditelaah oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah nomor 5 tahun 2009 tentang penanggulangan HIV dan AIDS, (2) Keputusan Walikota Surakarta nomor 443.2.05/28A/1/2010 tentang pembentukan komisi, kelompok kerja (Pokja) dan sekretariat penanggulangan Aids Kota Surakarta (3) Cakupan hasil KPA Surakarta Oktober 2005 sampai Maret 2010, dan masih banyak lagi. E.
Metode Penarikan Sampel Dalam
menentukan
narasumber
penulis
menggunakan
purposive sampling. Dalam purposive sampling, tujuan utamanya adalah untuk menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul (Lexi J Moleong, 2009:224) dalam penelitian. Dalam
purposive
sampling
ini,
penulis
menggunakan
pertimbangan tentang informasi atau narasumber yang akan dipilih berdasarkan penilaian bahwa informasi tersebut memenuhi syarat penelitian. Dalam penelitian ini informasi berasal dari dalam instansi yakni aparat yang di anggap bisa memberikan informasi yang dibutuhkan. Adapun para informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
a) Ketua atau Manajer Program Penanggulangan Aids Daerah Surakarta b) Manajer program atau koordinator lapangan setiap LSM peduli Aids F.
Teknik Analisis Data Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data model interaktif, yang terdiri dari tiga komponen analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. 1.
Reduksi Data Reduksi data diawali dengan identifikasi satuan (unit), hal tersebut merupakan bagian terkecil yang yang ditemkan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan focus masalah penelitian, sesudah itu membuat kode pada setiap satuan (Lexi J Moleong, 2009:228). Dengan kata lain reduksi daat merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data yang ada. Berfungsi untuk mempertegas, memperpendek dan membuang halhal yang tidak perlu. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan riset sampai penelitian berakhir.
2.
Penyajian Data Merupakan susunan penyajian data yang baik dan jelas sistematikanya untuk merakit dan memudahkan melihat informasi dalam bentuk yang kompak. Susunan penyajian data yang baik dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
jelas sistematikanya akan banyak menolong peneliti sendiri. Penyajian data harus mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian sehingga narasi yang tersaji merupakan deskripsi mengenai kondisi yang rinci untuk menceritakan dan menjawab setiap permasalahan yang ada. 3.
Penarikan kesimpulan Pada awal pengumpulan data, peneliti harus sudah mengerti apa arti dan hal-hal yang ia temui dalam melakukan pencatatan peraturan, pokok pernyataan konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan proposi-proposisi. Simpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir. (Sutopo. 2002 : 93) Simpulan perlu diverifikasi agar bisa dipertanggungjawabkan. Verifikasi dapat berupa kegiatan yang dilakukan dengan lebih mengembangkan ketelitian dengan cara melakukan pengulangan pengecekan data untuk tujuan pemantapan, atau melihat kembali catatan-catatan lapangan pada waktu penelitian. Kesimpulan-kesimpulan yang dianalisis dan kegiatan pengumpulan data itu sendiri merupakan proses siklus dan interaktif. Aktifitas diantara ketiga komponen tersebut dilaksanakan dalam bentuk interaktif dalam proses pengumpulan data dalam suatu proses siklus. Dalam bentuk ini penelitian berlangsung.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
Kemudian peneliti bergerak diantara 3 (tiga) komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Ketiga komponen tersebut diatas, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis. Untuk lebih jelasnya, proses analisi data dengan model interaktif ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 3.1 Model Analisis Interaktif Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan/Verifikasi Sumber : HB. Sutopo, 2002 : 96
G.
Validitas Data Dalam menentukan keabsahan data atau validitas data, peneliti menggunakan teknik pemeriksaan trianggulasi yaitu teknik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan yang lain untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Ada 4 macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini menurut Lexy J. Moleong (2009 : 339) dapat dicapai dengan langkah : 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. 2. Membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. 3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. 4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berbeda, dan orang pemerintahan. 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
Berdasarkan langkah di atas maka dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dari berbagai sumber yang berbeda yang tersedia. Dengan demikian data yang satu akan dikontrol oleh data yang lain dari sumber yang berbeda.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Komisi Penanggulangan Aids Surakarta Komisi Penanggulangan Aids Surakarta yang untuk selanjutnya disingkat KPA dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan Aids Nasional. KPA Surakarta dibentuk sejak tahun 2005 dan berkantor di Kompleks Kantor Balai Kota Surakarta. KPA merupakan lembaga koordinasi dan bukan lembaga sosialisasi bahaya HIV/AIDS. KPA bertugas untuk mengkoordinir kegiatankegiatan yang ada di daerah Surakarta yang berkaitan dengan pencegahan, penanggulangan sehingga akan terwujud penurunan angka HIV/AIDS. Semua SKPD Kota Surakarta merupakan anggota KPA yang diharapkan dapat
mengkomunikasikan
dan
menginformasikan
tentang
bahaya
HIV/AIDS kepada seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan bidang pelayanan masing-masing SKPD tersebut. Selain itu, yang menjadi anggota KPA bukan hanya seluruh SKPD Kota Surakarta tetapi juga semua institusi dan lembaga yang dianggap berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta. Dalam menjalankan tugasnya, KPA berdasar dan berpegang pada Keputusan Walikota Surakarta nomor 443.2.05/28-A/1/2010 tanggal 22 Maret 2010 tentang pembentukan komisi, kelompok kerja (pokja) dan sekretariat penanggulangan acquired immunodefisiency syndrome (aids).
commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
Tabel 4.2 Susunan Sekretariat Komisi Penanggulangan Aids No
Kedudukan dalam Keanggotaan
Nama/Jabatan dan Instansi
1.
Sekretaris Penuh Waktu
Drs. Harsojo Soepodo, MM
2.
Pengelola Program
Drs. Prawoto Mujiyono
3.
Pengelola Administrasi
Hariyanti, Amd
Sumber : Keputusan Walikota Surakarta nomor 443.2.05/28-A/1/2010 Dengan berdasarkan tabel diatas terlihat susunan sekretariat KPA yang mana sekretariat ini berkantor setiap hari dan menjalankan semua program KPA dalam upaya penanganan HIV/AIDS di Kota Surakarta. Namun, dalam Keputusan Walikota Surakarta nomor 443.2.05/28-A/1/2010 terdapat juga uraian mengenai susunan keanggotaan KPA dan susunan kelompok kerja yang terdiri dari berbagai pihak (lihat lampiran). Dengan demikian,
semua
SKPD
dan
institusi
lain
yang
terkait
dengan
penanggulangan Aids telah menjadi anggota KPA dan memiliki tugas dan tanggungjawab sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing. Selanjutnya, setiap SKPD dan institusi yang tergabung dalam keanggotaan KPA ini berkoordinasi bersama dan membuat rencana strategis untuk jangka waktu 5 tahun. Seluruh rencana yang dibuat memiliki visi yang sama yaitu untuk menanggulangi HIV/AIDS dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS di Kota Surakarta. Dalam prakteknya, setiap SKPD harus memiliki program-program penanggulangan HIV/AIDS yang terkait dengan bidang masing-masing SKPD dimana seluruh anggaran biayanya akan masuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
pada APBD Kota Surakarta. Program-program tersebut contohnya adalah pada Dinas Komunikasi dan Informasi membuat baliho, brosur, leaflet, atau penyelenggaraan dialog televisi dan radio tentang bahaya HIV/AIDS. Program-Program KPA yang dilakukan selama ini antara lain yaitu : a) Mengkoordinir semua anggota KPA dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta b) Melaksanakan rapat koordinasi setiap satu bulan sekali dengan semua anggota KPA c) Merekap data dari LSM, klinik IMS (Infeksi Menular Seksual) dan klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) setiap bulan sekali d) Menyediakan layanan kesehatan bagi korban terinfeksi HIV/AIDS bekerjasama dengan pihak Dinas Kesehatan. Layanan kesehatan yang dimaksud adalah penyediaan klinik IMS (Infeksi Menular Seksual) di Puskesmas Manahan dan Puskesmas Sangkrah dan penyediaan kilinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) di Rumah Sakit Dr.Moewardi dan Rumah Sakit Dr.Oen. Pemeriksaan kesehatan dilakukan pertama di klinik IMS terlebih dahulu, apabila sudah diketahui status HIV/AIDS nya ternyata positif maka dirujuk ke klinik VCT untuk pemeriksaan yang lebih lengkap dan menyeluruh. Semua pemeriksaan ini gratis untuk masyarakat yang berasal dari wilayah Kota Surakarta melalui program PKMS (Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta) sedangkan untuk masyarakat diluar Kota Surakarta ada biaya yang harus ditanggung tetapi masih relatif terjangkau.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
e) Membentuk dan mengarahkan Kelompok Dampingan Sebaya (KDS) yang bertugas untuk menyampaikan informasi tentang bahaya HIV/AIDS yang dilakukan oleh teman-teman sebaya yang berasal dari kelompok profesi sama (peer educator) misalnya seorang WPS (Wanita Pekerja Seks) menjadi peer educator untuk WPS yang lain, seorang gay menjadi peer educator untuk gay yang lain, dan seterusnya. f) Menyelenggarakan training untuk para peer educator yang dilakukan secara berkala. g) Mempersiapkan manajer kasus yang akan memantau secara khusus para korban yang sudah terbukti positif terkena HIV/AIDS. h) Membuat laporan pertanggungjawaban kepada walikota di tingkat daerah dan kepada gubernur di tingkat provinsi. Melihat sangat luasnya kerjasama yang dilakukan oleh KPA dan anggotanya, maka pada penelitian ini akan difokuskan pada kolaborasi KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yang ada di Kota Surakarta. Hal ini dikarenakan 2 pelaku inilah yang dianggap paling fokus terhadap masalah penanggulangan Aids di Surakarta. Kolaborasi antara KPA dengan LSMLSM peduli Aids menjadi sangat penting karena merupakan ujung tombak keberhasilan
program
penanggulangan
HIV/AIDS
pemerintah
Kota
Surakarta. KPA sebagai lembaga koordinator yang terus memantau perkembangan kasus HIV/AIDS di Kota Surakarta sangat memerlukan laporan dan data lapangan yang dimiliki LSM-LSM peduli Aids sebagai penjangkau atau lembaga sosialisasi ke masyarakat untuk bisa masuk ke
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
layanan kesehatan dan diketahui status HIVnya sehingga dapat ditangani lebih lanjut. 2. LSM SpekHam SpekHam merupakan singkatan dari Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia. SpkeHam berangkat dari gerakangerakan mahasiswa untuk perubahan reformasi pada tahun 1998. Awalnya hanya berfokus pada pendampingan perempuan korban kekerasan (sosial, ekonomi, dsb). Lalu dalam perkembangan selanjutnya, SpekHam lebih melihat bagaimana pemenuhan hak-hak dasar perempuan dengan hak dasar kesehatannya, ekonomi dan lain-lain. Sejak tahun 2005 visi dan misi semakin berkembang tentang bagaimana pemenuhan kebutuhan dasar dan bagaimana penghapusan kekerasan terhadap perempuan itu dihilangkan dengan cara melakukan advokasi-advokasi kebijakan. Target dari LSM SpekHam adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan, pemenuhan kebutuhan dasar perempuan dan bagaimana perempuan yang termarginalkan dan dieksploitasi selama ini dapat
diminimalisir.
Program
utamanya
adalah
selain
melakukan
pendampingan untuk upaya prefentif juga melakukan advokasi kepada pemerintah.SpekHam memiliki 4 project yang dilakukan :
1. Program penanganan HIV/AIDS di kota Surakarta dengan sasaran perempuan beresiko dan kliennya. 2.
Program women access to justice yaitu perempuan yang mengakses keadilan, dimana perempuan yang mengalami kekerasan didampingi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
untuk adanya stop kekerasan pada perempuan, lalu adanya posko-posko layanan yang dilakukan masyarakat sendiri kalau terjadi kekerasan sehingga mereka bisa melakukan penanganan awal jika mereka mengalami kekerasan. 3.
Program peningkatan partisipasi perempuan Joyosuran, Kampung Sewu dan Sriwedari adalah area wilayah miskin perkotaan, dilakukan karena diawali dengan program respon cepat terhadap banjir tahun 2007. Program ini khususnya adalah bagaimana perempuan dapat mengakses hak dasarnya terhadap ketahanan pangan dan kemampuan mereka mengadvokasi di wilayah lingkungan publik, bagaimana mereka dapat mengawal adanya musrenbang atau penentuan anggaran kebijakan bagi perempuan.
4.
Program Multi Kultural atau Pluralis Dengan semakin berkembangnya wilayah kerja LSM SpekHam ternyata terjadi benturan berkaitan dengan perbedaan etnis, agama, paham dan lain sebagainya akhirnya SpekHam menjembatani dengan melakukan program Multi Kultural, yaitu melakukan advokasi kelompok antar umat beragama
dengan
melalui
harmonisasi-
harmonisasi berkaitan dengan perbedaan kehidupan masyarakat kota Surakarta. Fokus layanan LSM SpekHam adalah pada perempuan beresiko (Wanita Pekerja Seks) dan perempuan yang akan menjadi korban dari perilaku laki-laki.SpekHam masuk dalam setiap kantong-kantong prostitusi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
yang ada di Surakarta setelah itu dilihat dimana yang paling prioritas dimungkinkan dilakukan pencegahan, karena pencegahan tidak efektif jika dilakukan di pinggir-pinggir jalan. Maka lebih efektif jika dilakukan pengorganisiran,
dengan
cara
melakukan
edukasi
penguatan
stakeholdersnya bagaimana bisa melakukan pencegahan sendiri. SpekHam juga memfasilitasi dengan adanya outlet-outlet kondom di daerah-daerah prostitusi dan adanya mobile clinic bekerjasama dengan puskesmas Manahan dan Sangkrah sebagai klinik IMS di kota Surakarta. Respon dari para WPS, ada 2 macam. Respon cepat, yaitu mereka menyambut positif adanya sosialisasi bahaya HIV/AIDS atau pemeriksaan kesehatan. Respon lambat, yaitu ketika dihadapkan pada bagaimana ketika mereka beresiko terkena HIV/AIDS dan harus melakukan perubahan perilaku. Setiap bulan SpekHam melaporkan pada KPA tentang program yang dijalankan, orangorang yang berhasil dijangkau, dan laporan penggunaan kondom karena kebutuhan kondom sudah disuplai dari KPA.
3. LSM Kakak Yayasan Kakak merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan dan perwujudan hak-hak anak terutama hak anak sebagai konsumen dan anak korban eksploitasi serta kekerasan seksual.Menurut UU Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 menyebutkan anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun kebawah termasuk yang ada di dalam kandungan dengan tidak memandang jenis kelamin.Pada awal Yayasan Kakak berdiri pada 23 Juli 1997 merupakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
perwujudan dari sekelompok orang yang mempunyai kepedulian terhadap permasalahan anak sebagai konsumen. Anak-anak yang mempunyai pola hidup konsumtif dapat menjadikan mereka korban prostitusi anak (penelitian Yayasan Kakak, 2002.) Dalam upaya ikut menurunkan angka penularan HIV/AIDS di kota Surakarta, Yayasan Kakak selama ini fokus melakukan pendampingan terhadap anak-anak korban ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak). Korban ESKA terdiri dari anak-anak korban prostitusi, pornografi dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Anak-anak korban ESKA ini cenderung rentan terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penyakit menular seksual (IMS). Program-program yang dilakukan adalah :
1.
Pendampingan terhadap anak korban ESKA Pendampingan yang dilakukan bersifat umum, anak-anak korban ESKA yang masih sekolah yang masih punya keinginan untuk belajar maka difasilitasi dengan pendidikan formal maupun informal. Misalnya untuk pendidikan formal dengan bantuan SPP, sedangkan untuk pendidikan informal dicarikan tempat-tempat kursus yang sesuai dengan minat dan bakat anak misalnya kursus salon, desain, menjahit dan lain-lain.
2.
Pemberian pendidikan kesehatan reproduksi Penyampaian informasi tentang kesehatan reproduksi ini dilakukan ketika melakukan home visit. Home visit merupakan kunjungan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
dilakukan baik ke rumah, tempat kos, atau hot spot (tempat-tempat anak korban ESKA melakukan transaksi prostitusi). Informasi yang diberikan kepada anak-anak korban ESKA ini meliputi bahaya beberapa penyakit menular seksual yang bisa menyerang mereka jika tetap aktif terlibat dalam prostitusi. 3. Yayasan Kakak memberi kesempatan bagi anak-anak korban ESKA untuk melakukan konseling Konseling yang dilakukan meliputi keluhan mengenai kesehatan reproduksi karena untuk anak-anak yang terjebak dalam prostitusi ini sangat rentan terkena penyakit menular seksual. Mereka melakukan konseling menanyakan bagaimana tindak lanjut jika sudah terkena penyakit
menular
seksual.
Yayasan
Kakak
konsisten
tidak
memperbolehkan anak-anak korban ESKA yang terjebak di prostitusi untuk menggunakan kondom karena jika memberikan kondom itu berarti masih melegalkan prostitusi anak-anak. Yayasan Kakak mengharapkan anak-anak bisa terbebas dari korban perdagangan anak untuk tujuan seksual. Mimpi besar Yayasan Kakak adalah tidak ada lagi anak yang menjadi korban dalam prostitusi. 4.
Pemberian pelayanan kesehatan Bagi para anak korban ESKA yang memerlukan pemeriksaan kesehatan, Yayasan Kakak bekerjasama dengan beberapa instansi rumah sakit untuk memeriksa kesehatan reproduksi mereka bila mereka mengalami gangguan atau sudah terkena penyakit IMS. Kerjasama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
yang dilakukan diluar jaringan KPA Surakarta adalah dengan salah satu rumah sakit swasta yang ada di Surakarta. Ketika ada anak korban ESKA yang butuh pemeriksaan kesehatan reproduksi, maka diantar ke rumah sakit tersebut dan Yayasan Kakak membantu mereka dalam hal dana sekalipun tidak 100%, dan dari pihak rumah sakit membantu dengan keringanan-keringanan tertentu, misalnya ongkos periksa maupun obat-obatannya. Selain itu, pemberian pelayanan kesehatan ini juga dilakukan bekerjasama dengan instansi rumah sakit atau puskesmas milik pemerintah. Untuk klinik IMS di kota Surakarta ada 2, yaitu puskesmas Manahan dan puskesmas Sangkrah. Karena lokasi Yayasan Kakak lebih dekat dengan puskesmas Manahan maka dirujuk kesana, tetapi jika tempat tinggal mereka lebih dekat dengan puskesmas Sangkrah maka akan dirujuk untuk periksa ke puskesmas Sangkrah. Di samping itu, karena KPA Surakarta memiliki program VCT, saat ada anak korban ESKA dengan kesadaran sendiri ingin mengetahui ‘status HIV’nya maka Yayasan Kakak merekomendasi ke KPA Surakarta bahwa benar anak tersebut adalah dampingan dari Yayasan Kakak dan ingin melakukan VCT. Kecendungan selama ini anak-anak korban ESKA hanya terkena penyakit IMS dan belum ada yang diketahui terkena HIV/AIDS. Selain itu untuk program-program penanganan HIV/AIDS yang terlepas dari anak korban ESKA, Yayasan Kakak melakukan sosialisasi pada masyarakat lewat siaran radio, opini-opini publik di surat kabar lokal,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
atau menjadi pembicara dalam siaran atau seminar tentang bahaya HIV/AIDS khususnya bagi anak korban ESKA. Yayasan Kakak selalu memberikan laporan ke KPA terkait dengan anak-anak korban ESKA yang berhasil dijangkau setiap bulannya. Hambatan yang dihadapi adalah perlu butuh waktu yang lama untuk menyadarkan anak-anak korban ESKA tersebut terkait bahaya HIV/AIDS. Seluruh upaya sosialisasi sudah dilakukan dan semua kembali pada keputusan anak-anak korban ESKA itu sendiri.
4. LSM Graha Mitra LSM Graha Mitra merupakan LSM yang khusus menaungi para waria, yang berpusat di Semarang. LSM Graha Mitra berdiri sejak tahun 2004, merupakan lembaga yang didalamnya ada sekelompok orang yang peduli tentang HIV/AIDS khususnya yang ada di Jawa Tengah tetapi dengan sasaran kaum waria. Lebih lanjut, LSM Graha Mitra merupakan satu-satunya LSM di Jawa Tengah yang menaungi kaum waria. LSM Graha Mitra yang ada di kota Surakarta sendiri selama ini berfokus pada isu-isu yang semuanya berhubungan dengan para waria, mulai dari kesehatan, bantuan hukum sampai dengan menyatukan mereka dalam persatuan waria yang dikenal sebagai HIWASO (Himpunan Waria Solo). LSM Graha Mitra berawal dari kepedulian sesama kaum waria yang selama ini dianggap orang-orang minoritas dan terpinggirkan, sehingga dengan keberadaan LSM ini telah mampu mengangkat harkat dan martabat kaum waria. Dengan adanya LSM ini kaum waria memiliki rasa percaya diri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
yang semakin kuat karena merasa dihargai hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia oleh kelompok masyarakat lainnya. Tujuan dari program-program yang dijalankan oleh LSM Graha Mitra adalah untuk prevalensia HIV/AIDS yaitu supaya angka HIV/AIDS itu tidak terus bertambah. Target yang diharapkan adalah menurunnya jumlah atau angka orang yang terinveksi. Dengan adanya LSM ini, ada satu tugas yang menjadi tanggungjawab bersama untuk menurunnya angka HIV/AIDS bagi kaum waria. LSM Graha Mitra tidak bertujuan untuk mengubah waria menjadi kaum pria tetapi melindungi kaum waria dan menguatkan eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat sebagai golongan orang yang juga harus dihargai pilihan hidupnya. Program-program yang dimiliki oleh LSM Graha Mitra, yaitu :
1.
Sosialisasi kepada kaum waria Sosialisasi yang dilakukan menyangkut tentang bahaya HIV/AIDS yang dapat menyerang siapapun apalagi kaum waria. Sosialisasi ini dilakukan di tempat-tempat para waria mangkal, salon maupun tempattempat lain yang biasa dikunjungi oleh para waria.
2.
Pembagian kondom gratis Salah satu cara yang dianggap cukup efektif untuk menahan laju pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS khususnya yang berasal dari kaum waria adalah dengan cara pemakaian kondom. Maka dari itu, LSM Graha Mitra selalu membagi-bagikan kondom secara gratis pada kaum waria disela-sela sosialisasi yang mereka lakukan. Ada juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
outlet-outlet kondom yang terdapat di salon-salon atau panti pijat tertentu yang biasa didatangi para waria. 3.
Pengadaan seminar atau penyuluhan Dari seminar dan penyuluhan yang dilakukan, akan diambil beberapa dari kaum waria yang mengikuti seminar dan penyuluhan tersebut untuk selanjutnya dibentuk peer educator. Para peer educator ini akan ditraining lebih lanjut sehingga dapat menyampaikan segala informasi bahaya HIV/AIDS kepada kaum waria yang lain. Diharapkan dengan adanya peer educator ini maka hasil penyuluhan akan jauh lebih efektif dan maksimal.
5. LSM Gessang LSM Gessang selama ini fokus penanggulangan HIV/AIDS pada komunitas MSM (Man who have sex with Man) atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, entah dari komunitas homo seksual atau biseksual, semuanya menjadi wilayah kerja dari LSM Gessang. Maka dari itu kampanye atau program yang dimiliki oleh LSM Gessang menjadi berbeda dengan LSM yang lain. Tujuan umum dari LSM Gessang adalah untuk menahan laju epidemi HIV/AIDS di kota Surakarta, dan tujuan khususnya adalah supaya penyakit kelamin dan angka HIV/AIDS dari komunitas gay itu bisa terus turun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
Program-program yang dijalankan meliputi :
1.
Outreach atau penjangkauan atau pendampingan Outreach ini dilakukan kepada para pelaku MSM dengan cara memberikan informasi tatap muka antara petugas lapangan dengan kaum gay baik yang komersial maupun yang non komersial tentang bahaya HIV/AIDS. Kemudian juga diberikan brosur, leaflet, maupun stiker serta dijelaskan maksud dari isi media informasi tersebut. Penjangkauan ini juga dilakukan pada istri dan pacar dari para kaum MSM karena ada juga laki-laki heteroseksual yang menjadi pria pekerja seks sehingga mereka juga perlu tahu bahaya HIV/AIDS.
2.
Pendistribusian kondom dan pelicin Pendistribusian kondom ini ada yang secara komersial dan ada yang secara gratis.
3.
Pembentukan outlet kondom Di tempat-tempat mangkal para komunitas gay baik yang komersial maupun yang non komersial dibuat suatu outlet kondom, bisa di warung atau salon atau kafe atau diskotik atau tempat-tempat lain yang memungkinkan terdapat komunitas gay di Surakarta.
4.
Melakukan Cyber outreach Cyber out reach adalah chatting, dimana ada gay-gay yang tidak mau berkumpul secara terbuka dengan kaum gay yang lain sehingga dalam mencari partner seksnya melalui internet, maka ada petugas lapangan dari LSM Gessang yang khusus melakukan chatting untuk memberikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
informasi tentang HIV/AIDS, informasi tempat dimana bisa melakukan tes VCT atau periksa IMS atau tempat dimana bisa mendapatkan kondom. 5.
Web Site khusus komunitas kaum gay Ini merupakan cara pemberian informasi efektif lewat internet. Hal ini dikarenakan tidak semua kaum gay itu berani muncul di muka umum karena ada faktor takut ketahuan keluarga atau teman-temannya bahwa sebenarnya mereka gay. Dengan demikian maka perlu web site khusus yang bisa diakses kapanpun yang berisi informasi lengkap tentang kaum gay dan bahaya HIV/AIDS yang mengancam mereka.
6.
Hotline Service Program ini merupakan program layanan konsultasi seputar HIV/AIDS dan seksualitas bagi kaum gay. Selama ini banyak kaum gay yang memanfaatkan layanan ini, khusunya bagi mereka yang belum berani berkumpul dalam komunitas gay kota Surakarta.
7.
Edutainment Sebuah
program
yang
menggabungkan
antara
education
dan
entertainment yaitu pentas seni, dimana kaum gay dapat berkreasi dalam ajang tersebut baik untuk menyanyi, fashion show, atau menari. Kemudian di dalam pentas seni tersebut dimasukan pesan-pesan moral tentang HIV/AIDS.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
8.
Sportainment Sebuah acara yang menggabungkan antara olahraga dan hiburan, yang didalamnya dikaitkan dengan HIV/AIDS baik dalam bentuk poster, baliho, dan lain-lain.
9.
Mobile Clinic Mobile clinic sangat dibutuhkan karena komunitas gay itu masih sangat malu untuk pergi ke klinik IMS atau VCT dengan alasan takut ketahuan orang lain yang mereka kenal. Caranya dengan mengundang dan mengumpulkan kaum gay di suatu tempat, ada konselor yang berasal dari kaum gay itu sendiri. Lalu dilakukan pengambilan data dan konseling di mobile clinic tersebut baru hasilnya akan dibawa ke rumah sakit atau puskesmas.
10. Manajemen PE (Peer Educator) Dengan adanya keterbatasan dari pekerja lapangan, maka perlu bantuan dari pihak lain. Maka dibentuklah PE atau pendidik sebaya yang bertugas sebagai pemberi informasi pada kelompok gay masing-masing tentang
HIV/AIDS.
Karena
kecenderungan
kaum
gay
adalah
berkelompok, misalnya gay dari kelompok sesama model, sesama desainer, sesama penari,sesama polisi, atau sesama tentara maka dari masing-masing kelompok itu diambil satu orang yang di training untuk bisa menjadi PE, bagaimana memberikan informasi HIV/AIDS pada kelompoknya, dan bagaimana memberikan laporan hasil out reach mereka dari kelompoknya kepada LSM Gessang. Dari 30 PE yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
dimiliki oleh LSM Gessang, semua bekerja secara sukarela karena ini dilakukan semata-mata sebagai keberlangsungan LSM Gessang ke depan. 11. Manajer Kasus Pendampingan bagi para kaum gay yang sudah positif HIV/AIDS dilakukan dengan cara memberikan manajer kasus atau KDS (kelompok dukungan sebaya) supaya tetap terkontrol kehidupan mereka. Dalam perkembangannya, LSM Gessang akhirnya juga menerima komunitas lesbi untuk ditangani juga permasalahannya yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Keunikan dari LSM Gessang adalah dimana seluruh pengurus yang ada dan aktif di dalamnya merupakan bagian dari komunitas itu sendiri sehingga dapat lebih efektif dalam penyampaian bahaya HIV/AIDS.
6. LSM Mitra Alam LSM Mitra Alam berfokus pada penanganan kasus HIV/AIDS pada pengguna narkoba suntik, pasangan pengguna narkoba suntik, dan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan LSM Mitra Alam yaitu adanya perubahan perilaku pada pengguna narkoba suntik dan pasangan narkoba suntik terkait dengan resiko penularan baik dari penyuntikan maupun dari seksual. Program-program yang dilakukan disebut dengan HARM REDUCTION (pengurangan dampak buruk) :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
1. Outreach atau penjangkauan kepada komunitas pengguna narkoba suntik 2. Penyampaian KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) 3. Konseling pengurangan resiko pribadi dan kelompok 4. Konseling tes sukarela 5. Layanan jarum suntik steril 6. Layanan kesehatan dasar 7. Pendidikan sebaya 8. Program substitusi oral (Metadon, yaitu narkoba minum) 9. Pelayanan rehabilitasi 10. Perawatan dan pengobatan HIV 11. Pencegahan infeksi atau sterilisasi jarum 12. Penghancuran alat suntik bekas Ada program dukungan bagi para pengguna narkoba suntik yang sudah positif HIV, yang dinamakan Kelompok dukungan orang dengan HIV/AIDS, dimana setiap bulan ada pertemuan dan dihadiri tidak hanya para pengguna narkoba suntik tetapi juga para PSK, waria, masyarakat umum, dan lain-lain. B. Pembahasan 1) Kolaborasi KPA dengan LSM-LSM Peduli Aids di Surakarta Salah satu aspek terpenting dalam kolaborasi yang dilakukan KPA sebagai lembaga koordinator penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta adalah kerjasama dengan LSM-LSM peduli Aids yang ada di Kota Surakarta. Hal ini dikarenakan sebagian besar yang menjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
kelompok sasaran penanganan HIV/AIDS adalah orang-orang yang dianggap tidak biasa oleh masyarakat lain, contohnya yaitu para Wanita Pekerja Seks (WPS), kaum waria, gay, lesbi, atau pengguna narkoba. Masing-masing LSM inilah yang menjadi ujung tombak sosialisasi dan penjangkauan efektif pada masyarakat populasi kunci yang merupakan target atau kelompok sasaran penanganan kasus HIV/AIDS di Surakarta. Dalam penjangkauan, sangat sulit dapat berjalan efektif dan maksimal jika hal itu dilakukan oleh para anggota SKPD yang menggunakan pakaian dinas lengkap dengan semua atributnya. Maka dari itu, penjangkauan akan jauh lebih efektif jika dilakukan oleh para aktifis LSM yang tidak terikat atribut resmi sebagai abdi negara. Kolaborasi yang terjadi selama ini diantara KPA dengan LSMLSM peduli Aids adalah antara lain adalah sebagai berikut : a) Melaksanakan rapat koordinasi bulanan setiap satu bulan sekali untuk mengetahui perkembangan penanganan kasus HIV/AIDS di masing-masing LSM. b) Mengadakan kepanitiaan bersama pada saat ada acara tertentu, misalnya peringatan Hari AIDS sedunia atau malam renungan AIDS. c) KPA mengadakan pertemuan atau pelatihan-pelatihan bagi para peer educator dan petugas lapangan baru yang dimiliki oleh LSM d) KPA menyuplai kondom gratis kepada tiap LSM
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
e) Bersama-sama
mengadakan
mobile
clinic
sebagai
upaya
pendekatan untuk para korban HIV/AIDS yang tidak atau belum bersedia periksa secara langsung ke klinik IMS ataupun VCT. f) Mengadakan diskusi publik tentang kebijakan-kebijakan yang telah berjalan selama ini sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta mengenai kelebihan dan kekurangannya. Pihak LSM memberikan masukan-masukan bagi pihak KPA untuk kemajuan kolaborasi ke depan. g) Setiap LSM memberikan laporan bulanan setiap tanggal 20 kepada KPA yang meliputi program yang dijalankan, orang-orang atau target yang berhasil dijangkau, laporan penggunaan kondom, laporan jumlah peer educator yang sudah berhasi ditraining dan laporan jumlah orang yang telah diantar periksa ke klinik IMS maupun VCT. 2) Bentuk Kolaborasi dan Efektifitas Kolaborasi Kolaborasi yang telah berjalan selama ini memang tertulis dalam Keputusan Walikota Surakarta nomor 443.2.05/28-A/1/2010 tentang pembentukan
komisi,
kelompok
kerja
(Pokja)
dan
sekretariat
penanggulangan Acquired Immunodefisiency Syndrome (Aids) Kota Surakarta. Dalam surat keputusan tersebut telah tertulis jelas bagian keanggotaan dari masing-masing SKPD dan institusi lain. Namun dalam prakteknya di lapangan, kolaborasi yang selama ini berjalan belum dapat berjalan efektif dan maksimal diantara semua
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
stakeholders yang terlibat, Kolaborasi yang tetap berjalan adalah kolaborasi antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids dan itupun masih sebatas kesepakatan informal. Koordinasi yang dilakukan masih berdasar kesadaran
KPA
dengan
masing-masing
LSM
untuk
sama-sama
mengupayakan penurunan angka penularan HIV/AIDS di Kota Surakarta sehingga tidak ada konsekuensi yang benar-benar mengikat antara KPA dengan semua LSM peduli Aids jika ada yang menyalahi kesepakatan informal yang sebelumnya telah dibuat. Berdasarkan kenyataan kolaborasi yang telah berjalan selama ini diantara pihak KPA dengan pihak LSM peduli Aids maka dapat diperjelas efektifitas kolaborasinya melalui analisa sebagai berikut : a) Melaksanakan rapat koordinasi bulanan setiap satu bulan sekali untuk mengetahui perkembangan penanganan kasus HIV/AIDS di masing-masing LSM. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada pihak masing-masing LSM, semuanya memberikan jawaban yang memiliki inti yang sama yaitu rapat yang selama ini berjalan hanya sekedar rutinitas saja. Bahkan terkadang pihak KPA tidak dapat secara rutin mengadakan rapat bulanan karena keterbatasan dana sehingga dari salah satu LSM harus ambil bagian menjadi tuan rumah rapat koordinasi bulanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Moh Slamet Raharjo selaku manajer program Yayasan Gessang :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
“Gessang pernah menanyakan ke KPA kog lama pak tidak ada pertemuan koordinasi, dia mengatakan tidak ada budget. Gessang menawarkan bagaimana kalau pertemuan dilaksanakan Gessang punya budget nih, sampai beberapa kali kita support dana KPA nya. Sampai seperti itu.”
Selain itu, pada saat pertemuan bulanan yang datang sebagai wakil dari masing-masing anggota KPA sering bergantiganti dan hanya merupakan pekerja tingkat bawah yang tidak mempunyai kapasitas cukup untuk memahami dan menjalankan sungguh-sungguh apa yang menjadi tanggungjawab mereka bersama. b) Mengadakan kepanitiaan bersama pada saat ada acara tertentu, misalnya peringatan Hari AIDS sedunia atau malam renungan AIDS. Kepanitiaan untuk acara khusus misalnya peringatan Hari AIDS sedunia atau malam renungan AIDS dibentuk dari gabungan antara pihak KPA dengan LSM-LSM peduli Aids. Untuk ketua panitia, biasanya digilir. Seperti yang disampaikan oleh Rudi Tri Cahyono selaku psikolog divisi program Yayasan Kakak : “Biasanya 1 tahun sekali pada peringatan hari HIV/AIDS kan kita ada kepanitiaan. Misalnya tahun ini ketuanya dari Kakak, nanti panitia yang lain dari semua pihak yang terlibat. Lalu kadang kita mengadakan konferensi pers bersama bahwa KPA dan jaringan LSM peduli AIDS telah menemukan fakta seperti ini, misal dari anak-anak nanti Kakak yang bicara, yang lain menambahi, jadi seperti itu, saling melengkapi. Hal ini sebenarnya sangat bagus sekali bisa ada seperti ini di Surakarta, jika bisa lebih optimal lagi.”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
c) KPA mengadakan pertemuan atau pelatihan-pelatihan bagi para peer educator dan petugas lapangan baru yang dimiliki oleh LSM. Pertemuan dan pelatihan bagi para peer educator dan petugas lapangan baru ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja setiap LSM dalam melakukan penjangkauan pada kelompok sasaran mereka masing-masing. Melalui pertemuan dan pelatihan ini diharapkan semakin banyak orang yang terlatih untuk siap masuk lebih mendalam ke dalam kelompok sasaran dan mensosialisasikan bahaya HIV/AIDS serta dapat menjangkau orang yang terindikasi terkena HIV/AIDS untuk bersedia periksa ke klinik IMS ataupun klinik VCT. Semua trainer berasal dari KPA karena KPA sudah memiliki tenaga ahli di bidang masing-masing seperti pelatihan advokasi, monitoring dan evaluasi. d) KPA menyuplai kondom gratis pada setiap LSM. Saat ini kebutuhan kondom bagi tiap LSM telah disuplai sepenuhnya oleh pihak KPA. Pihak KPA sendiri mendapat kondom dari lembaga donor internasional GF-ATM atau Global Fund-Aids Tubercolocis Malaria. Dengan adanya suplai kondom ini diharapkan pihak LSM tidak lagi kesulitan dalam menyediakan kondom bagi kelompok sasaran mereka masing-masing sehingga hal ini dapat menekan angka penularan HIV/AIDS di Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
e) Bersama-sama
mengadakan
mobile
clinic
sebagai
upaya
pendekatan untuk para korban HIV/AIDS yang tidak atau belum bersedia periksa secara langsung ke klinik IMS ataupun VCT. Program mobile clinic ini bekerjasama juga dengan pihak Dinas Kesehatan Kota Surakarta yaitu dengan cara pihak KPA dengan pihak LSM mendatangi kelompok sasaran secara langsung. Hal ini seperti yang biasa dilakukan di daerah timur Terminal Tirtonadi dimana banyak terdapat WPS. Pihak LSM SpekHam bersama pihak KPA mengadakan pemeriksaan kesehatan untuk para WPS. Hal ini dilakukan dalam rangka mengoptimalkan penjangkauan terhadap kelompok sasaran, dalam contoh ini adalah para WPS. Dengan adanya mobile clinic ini diharapkan para kelompok sasaran tidak perlu lagi merasa canggung atau malu karena pemeriksaan dilakukan di wilayah tempat tinggal mereka sendiri, tidak harus pergi ke puskesmas atau rumah sakit. Hanya saja, program mobile clinic ini memiliki kekurangan yaitu alat yang tersedia dalam mobile clinic tidak terlalu lengkap. Sehingga pemeriksaan yang dilakukan hanya bisa sampai pada keluhan infeksi menular seksual dan jika telah dinyatakan positif terkena Aids maka harus periksa lebih lanjut ke klinik VCT yang hanya ada di rumah sakit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
f) Mengadakan diskusi publik tentang kebijakan-kebijakan yang telah berjalan selama ini sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta mengenai kelebihan dan kekurangannya. Pihak LSM memberikan masukan-masukan bagi pihak KPA untuk kemajuan kolaborasi ke depan. Diskusi publik ini dilaksanakan secara insidentil sesuai keperluan
sehingga
tidak
ada
waktu
yang
pasti
dalam
pelaksanaannya. Diskusi publik yang dilakukan mengenai kinerja kolaborasi yang telah berjalan tetapi sangat disayangkan diskusi ini tidak membawa dampak berarti karena dari pihak KPA hanya sebatas menampung masukan-masukan dari pihak LSM karena dalam kenyataannya tidak ada perubahan yang berarti. g) Setiap LSM memberikan laporan bulanan setiap tanggal 20 kepada KPA yang meliputi program yang dijalankan, orang-orang atau target yang berhasil dijangkau, laporan penggunaan kondom, laporan jumlah peer educator yang sudah berhasi ditraining dan laporan jumlah orang yang telah diantar periksa ke klinik IMS maupun VCT. Laporan
bulanan
ini
merupakan
hal
yang
wajib
disampaikan oleh pihak LSM kepada pihak KPA. Setiap laporan yang telah diterima KPA selanjutnya akan direkap untuk dilaporkan kepada walikota sebagai ketua umum KPA. Namun beberapa LSM mengaku kecewa dengan adanya pelaporan rutin ke
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
KPA ini karena pihak LSM-LSM inilah yang bekerja mencari dan mengumpulkan data, menjangkau para kelompok sasaran sampai di lapisan masyarakat terendah sedangkan pihak KPA hanya duduk manis menunggu datangnya laporan, tinggal merekapnya dan dilaporkan kepada walikota. Hal ini sesuai yang dikatakan Rudi Tri Cahyono sebagai psikolog divisi program Yayasan Kakak : “Meskipun KPA juga masih memiliki beberapa kelemahan ya, maksudnya mungkin selama ini KPA terlalu banyak tergantung dari teman-teman NGO. Karena kita yang merasakan, mereka hanya tinggal njaluk datamu, beres. Yang pontang-panting di lapangan kan kita. Jadi secara apa, mungkin peringatan juga bagi KPA harus berani lebih terjun kebawah lagi bukan hanya sekedar sosialisasi yang terjadi selama ini. Akhirnya nanti yang dapat nama kan KPA juga. “
Berdasarkan analisa diatas, dapat dilihat bahwa memang selama ini telah terjadi kolaborasi antara pihak KPA dengan LSMLSM peduli Aids, hanya saja sesuai beberapa pendapat dari pihak LSM kolaborasi yang berjalan selama ini masih jauh dari harapan mereka. Efektifitas kolaborasi masih sangat kurang karena pihak LSM menilai pembagian peran kurang merata antara KPA dengan LSM bahwa pihak LSM lah yang bekerja keras mulai dari mencari dan mengumpulkan data di lapangan sampai dengan membujuk dan mengajak kelompok sasaran untuk mau periksa ke klinik IMS dan klinik VCT sedangkan pihak KPA tinggal menunggu data masuk ke kantor KPA.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
3) Analisis Ukuran Keberhasilan Kolaborasi Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang efektifitas kolaborasi antara KPA dengan semua LSM peduli Aids maka perlu dikroscek dengan sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan collaborative governance. Faktor-faktor yang dipakai dalam menganalisa efektifitas kolaborasi antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids berasal dari teori DeSeve (2007) yang meliputi : a) Networked Structure Dalam
prinsip
networked
structure,
jaringan
tidak
boleh
membentuk hirarki karena justru tidak akan efektif, dan struktur jaringan harus bersifat organis dengan struktur organisasi yang seflat mungkin, yakni tidak ada hirarki kekuasaan, dominasi dan monopoli; semuanya setara baik dalam hal kewajiban, tanggung jawab, otoritas dan kesempatan untuk aksesibilitas. Dalam realita kolaborasi yang berjalan selama ini antara KPA dengan semua LSM peduli Aids, ditemui masih terdapat hirarki kekuasaan dimana pihak KPA merupakan koordinator dari upaya penanggulangan HIV/AIDS di Surakarta dan LSM sebagai penjangkau lapangan yang berinteraksi secara langsung dengan kelompok sasaran, yang terjadi selama ini pihak KPA dinilai oleh pihak LSM terlalu santai karena KPA bergantung pada pihak LSM yang mendapat bantuan dana dari lembaga donor. Selain itu, pada susunan keanggotaan Komisi Penanggulangan Aids terdapat ketua,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris sampai anggota dimana dari hal ini dapat terlihat adanya hirarki kekuasaan dalam hal kewajiban, tanggung jawab dan otoritas dalam mengambil bagian penanggulangan Aids di Surakarta. Berdasar hasil wawancara dengan pihak KPA, yang terjadi selama ini hanya kolaborasi dengan LSM sajalah yang dapat terus berjalan sekalipun juga belum maksimal sedangkan kolaborasi dengan SKPD dan institusi lain yang terlibat hanya sebatas rapat koordinasi. Dari semua SKPD yang ada di pemerintahan Surakarta, masih sangat sedikit yang sudah benar-benar memiliki program penanggulangan Aids. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya dana APBD yang dimiliki pemerintah kota Surakarta untuk membiayai seluruh program dan kegiatan penanggulangan Aids. Akibat dari keterbatasan dana ini adalah SKPD-SKPD yang sebenarnya merupakan anggota KPA dan memiliki kewajiban untuk mendukung upaya penanggulangan Aids menjadi pasif dan kurang memiliki tanggung jawab sehingga seolah-olah upaya penanggulangan ini menjadi tanggung jawab KPA dengan LSMLSM peduli Aids semata. b) Commitment to a common purpose Commitment to common purpose mengacu pada alasan mengapa sebuah jaringan harus ada. Alasan mengapa sebuah network harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
ada adalah karena perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuantujuan positif. Berdasarkan kerjasama yang telah terjalin selama ini antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids, dapat dilihat bahwa telah ada alasan dan tujuan yang sama antara KPA dengan semua LSM peduli Aids dalam melakukan kolaborasi yaitu semakin tingginya angka HIV/AIDS di Surakarta sehingga dibutuhkan kerjasama yang menyeluruh antara semua pihak yang terkait dan dianggap mampu untuk menanggulangi permasalahan HIV/AIDS di Surakarta. Tujuan dari kerjasama ini adalah terjadinya penurunan angka penularan HIV/AIDS di Surakarta. Tetapi yang perlu juga diperhatikan adalah yang terjadi selama ini komitmen dari masingmasing institusi dalam upaya penurunan angka HIV/AIDS di Kota Surakarta belum mencapai visi dan misi yang bulat. Hal ini dapat dilihat dari komitmen LSM-LSM peduli Aids yang ada di Kota Surakarta yang tidak selalu tertuju untuk institusi pemerintah mengingat mereka lebih merasa bertanggung jawab pada lembaga donor yang selama ini telah membiayai semua aktivitasnya. Kurangnya komitmen pada tujuan-tujuan yang telah dicanangkan institusi pemerintah yang berkolaborasi untuk menurunkan angka HIV/AIDS
bisa
dipandang
sebagai
perwujudan
rendahnya
efektivitas kolaborasi diantara KPA dengan LSM-LSM tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
c) Trust among the participants Trust among the participants (kepercayaan diantara para partisipan), didasarkan pada hubungan profesional atau sosial; keyakinan bahwa para partisipan mempercayakan pada informasiinformasi atau usaha-usaha dari stakeholders lainnya dalam suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Dalam sebuah kolaborasi sangat diperlukan kepercayaan diantara para partisipan, dan dalam kaitannya dengan kolaborasi KPA dengan pihak LSM berarti harus ada kepercayaan dari KPA bahwa informasi atau data yang disediakan LSM akurat, dan sejauh ini KPA terus mempercayai semua data LSM yang masuk ke KPA. Hal ini dapat diperkuat dengan penyampaian data-data LSM tersebut dalam laporan bulanan KPA kepada Walikota Surakarta. Selain itu, diperlukan juga kepercayaan dari pihak kelompok sasaran untuk mau masuk dan mengikuti setiap program yang dilaksanakan oleh KPA dan semua LSM peduli Aids. Menurut data dari KPA, estimasi nasional kasus HIV/AIDS untuk kota Surakarta sebanyak 860 orang yang dideteksi terinveksi HIV/AIDS. Sampai bulan Maret 2010, baru 365 orang yang berhasil dijaring. Ini berarti belum ada 50%, atau baru sekitar 40%. Berdasarkan kenyataan ini, berarti kepercayaan kelompok sasaran belum maksimal, masih banyak orang terdeteksi HIV/AIDS yang harus periksa ke klinik IMS maupun klinik VCT. Maka dari itu,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
perlu kerjasama yang lebih intensif untuk menjangkau mereka agar bisa ditangani dengan jauh lebih baik. d) Governance Governance yaitu termasuk: a. ada batas-batas siapa yang boleh terlibat dan siapa yang tidak boleh terlibat, b. aturan yang menegaskan sejumlah pembatasan perilaku anggota komunitas tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan hal-hal apa yang tidak seharusnya dilakukan, c. kebebasan menentukan bagaimana kolaborasi dijalankan, dan d. network management yang berkenaan dengan resolusi penolakan/tantangan, alokasi sumber daya, kontrol kualitas dan pemeliharaan organisasi. Konsep
governance
menanggulangi
HIV/AIDS
dalam di
kolaborasi Surakarta
KPA
untuk
belum
dapat
diimplementasikan secara maksimal. Hal ini dikarenakan sikap saling percaya yang masih rendah antara KPA dengan LSM, dimana pihak LSM merasa bahwa KPA terkesan terlalu santai dalam mengkoordinir proses penanggulangan HIV/AIDS dan membebankan semua pekerjaan penjangkauan kelompok sasaran kepada pihak LSM sehingga tidak ada rasa saling percaya untuk bersama-sama terjun sampai masyarakat tingkat bawah. Dalam penetapan siapa yang boleh dan tidak boleh terlibat memang sudah ada susunan yang jelas yang telah tertera pada keputusan
walikota
Surakarta
commit to user
nomor
443.2.05/28-A/1/2010
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
sehingga sudah ada batas-batas yang jelas pihak-pihak yang terlibat dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Surakarta. Di samping itu, juga sudah ada aturan main yang jelas dan kesepakatan bagaimana kolaborasi akan dijalankan tetapi hal ini hanya sebatas kesepakatan tertulis saja dimana dalam prakteknya di lapangan masih jauh dari harapan. Dalam network management, untuk menegaskan bahwa ciri sebuah kolaborasi yang efektif adalah jika kolaborasi itu didukung sepenuhnya oleh semua anggota network tanpa konflik dan pertentangan dalam pencapaian tujuan, ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang memenuhi persyaratan yang diperlukan dan ketersediaan sumber daya keuangan secara memadai dan berkesinambungan, terdapat penilaian kinerja terhadap masing-masing angota yang berkolaborasi, dan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing anggota untuk tetap adaptif dan berjalan secara berkesinambungan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa mengganggu kolaborasi itu sendiri. Maka berdasar hal tersebut diatas, kolaborasi yang berjalan selama ini antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids masih memiliki banyak kelemahan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya konlik dan pertentangan terkait dengan kurang aktifnya pelaku-pelaku kolaborasi yang lain yang mengakibatkan beban penanganan HIV/AIDS seolah-olah menjadi milik KPA dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
pihak LSM semata. Dalam hal sumber daya manusiapun, masih dibutuhkan banyak tenaga penjangkau lapangan yang professional demi penanganan yang lebih baik, dalam hal sumber daya keuangan tampaknya merupakan masalah paling serius yang dihadapi dalam kolaborasi ini dimana pihak LSM sangat bergantung dengan lembaga donor luar negeri sedangkan tidak dapat ditentukan dengan pasti kapan dana itu akan terus diberikan kepada mereka. Sudah seharusnya pihak KPA sebagai institusi pemerintah segera mengambil alih semua pengeluaran dana penanganan HIV/AIDS di seluruh LSM yang terlibat padahal kenyataannya dana APBD Kota Surakarta sangat kecil dan tidak mencukupi untuk melakukan hal tersebut. Sehingga yang terjadi selama ini pihak LSM lebih berfokus pada kepentingan dan eksistensi mereka sendiri dibanding menjalankan kolaborasi dengan visi dan misi yang sama dengan pihak KPA. e) Access to authority Access to authority (akses terhadap otoritas), yakni tersedianya standar-standar ketentuan prosedur yang jelas yang diterima secara luas. Bagi kebanyakan network, network-network tersebut harus memberi kesan kepada salah satu anggota network untuk memberikan otoritas guna mengimplementasikan keputusankeputusan atau menjalankan pekerjaaanya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
Kolaborasi KPA dengan semua LSM peduli Aids memang sudah jelas mengatur standar-standar ketentuan prosedur bahwa KPA berfungsi sebagai pihak koordinator yang akan mengatur semua program pemerintah Surakarta untuk penanggulangan HIV/AIDS sedangkan pihak LSM berfungsi sebagai pihak penjangkau kelompok sasaran yang akan melaporkan pada KPA secara rutin dan membawa target masuk dalam pemeriksaan di klinik IMS dan klinik VCT. f) Distributive accountability/responsibility Pembagian akuntabilitas/responsibilitas) yakni berbagi governance (penataan, pengelolaan, manajemen secara bersama-sama dengan stakeholders lainnya) dan berbagi sejumlah pembuatan keputusan kepada seluruh anggota jaringan; dan dengan demikian berbagi tanggungjawab untuk mencapai hasil yang diinginkan. Jika para anggota tidak terlibat dalam menentukan tujuan network dan tidak berkeinginan membawa sumber daya dan otoritas ke dalam network, maka kemungkinan network itu akan gagal mencapai tujuan. Kolaborasi yang dijalankan selama ini telah berbagi tanggung jawab untuk mencapai hasil yang diinginkan yaitu penurunan angka penularan HIV/AIDS di Surakarta, dimana pihak KPA sebagai pihak koordinator yang akan mengatur semua program pemerintah Surakarta untuk penanggulangan HIV/AIDS
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
sedangkan pihak LSM berfungsi sebagai pihak penjangkau kelompok sasaran yang akan melaporkan pada KPA secara rutin dan membawa target masuk dalam pemeriksaan di klinik IMS dan klinik VCT. Hanya saja, pihak LSM merasa terlalu terbebani dengan peran ini karena tidak dibantu secara maksimal oleh SKPD atau institusi lain yang sebenarnya terkait dan menjadi anggota KPA. Seharusnya, pihak KPA lebih tegas sebagai koordinator untuk membawa masuk seluruh anggotanya sehingga tugas dan kewajiban dalam penanganan HIV/AIDS dapat jauh lebih merata dan semua anggota KPA sama-sama memiliki tanggung jawab sesuai dengan porsi dan lingkup fokus mereka masing-masing. g) Information sharing Information sharing (berbagi informasi) yakni kemudahan akses bagi para anggota, perlindungan privacy (kerahasiaan identitas pribadi seseorang), dan keterbatasan akses bagi yang bukan anggota sepanjang bisa diterima semua pihak. Kemudahan akses ini bisa mencapai sistem, software dan prosedur yang mudah dan aman untuk mengakses informasi. Selama ini information sharing sudah dijalankan yaitu melalui kerahasiaan klien HIV/AIDS yang dijaga dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan pihak KPA, Drs. Prawoto Mujiyono selaku pengelola program KPA Surakarta : “Jadi gini, kita kembali berpulang pada asas konfidensial (kerahasiaan klien) dimana yang tahu tentang keadaan korban
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
hanyalah korban itu sendiri dan konselor. Pihak KPA tidak tahu namanya, hanya disebut anonim. Jika didapati sudah positif terkena HIV/AIDS maka akan ada manajer kasus yang selalu memantau keadaan kliennya termasuk kapan harus minum obat, kapan harus tes CD4 (tes kekebalan tubuh) dan segala macam. Tetapi tidak bisa dipaksakan mau berobat atau tidak, semua tergantung pada klien itu sendiri.” Selain itu, selama ini sharing informasi antara KPA dengan LSM sudah terjadi. LSM-LSM peduli Aids selalu menyampaikan informasi maupun data terkait dengan jangkauan lapangan yang berhasil mereka dapat, dimana data itu diolah oleh KPA kemudian diteruskan pada Walikota Surakarta sebagai laporan bulanan. Dari pihak KPA, selama ini juga selalu terbuka memberikan informasi tentang program-program atau training-training yang akan diselenggarakan oleh KPA dalam upaya penanganan HIV/AIDS di Kota Surakarta. h) Access to resources. Access to resources (akses sumber daya), yakni ketersediaan sumber keuangan, teknis, manusia dan sumber daya lainnya yang diperlukan untuk mencapai tujuan network. Jika mungkin, maka pemerintah perlu menyediakan sumber daya keuangan dan atau sumber daya lainnya (atau melalui kerjasama dengan lembagalembaga keuangan atau swasta lainnya untuk berinvestasi). Dalam penyediaan sumber daya, memang pihak KPA sudah mengupayakan semaksimal mungkin. Misalnya adanya trainer untuk pelatihan advokasi, monitoring dan evaluasi. Tetapi yang menjadi kendala terbesar adalah minimnya dana yang dimiliki
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
pemerintah kota Surakarta dalam penanggulangan HIV/AIDS. Menurut Moh Slamet Raharjo selaku manajer program Yayasan Gessang, dana yang dimiliki KPA masih sangat jauh dari cukup untuk dapat melaksanakan semua program penanggulangan HIV/AIDS secara maksimal, seperti pernyataan berikut ini : “Ga ada kerjasama tertulis, ya karena jelas KPA sangat terbantu dengan adanya LSM, ga mungkin mereka sendiri yang turun ke lapangan sampai memberikan kondom, memberikan informasi HIV/AIDS, mengantar orang ke klinik, itu yang dilakukan LSM. Padahal mereka ga support dana. Kalo dana LSM kan dari penyandang dana luar negeri seperti FHI, GF-ATM. Bayangkan, di Solo itu satu tahun dana APBD untuk HIV itu cuma 75 juta. Kalo Gessang satu tahun 1 miliar, kalo kita bekerja di beberapa kabupaten/kota, kalo Solo ya sekitar 200 juta lah khusus untuk penanganan HIV/AIDS orang Solo. Kan sangat jauh ketimpangannya.”
4) Tantangan Kolaborasi KPA dengan LSM-LSM Peduli Aids Berdasarkan semua uraian diatas, jelas terlihat bahwa pemerintah berusaha profesional dalam menangani kasus HIV/AIDS di Surakarta melalui adanya Komisi Penanggulangan Aids Surakarta yang bekerjasama dengan banyak sekali pihak, dimana salah satunya adalah pihak LSMLSM peduli Aids yang ada di Surakarta. Kolaborasi yang telah berjalan selama ini sudah cukup baik dengan adanya pembagian tugas dan tanggungjawab masing-masing pihak agar penanggulangan HIV/AIDS dapat tertangani dengan lebih baik dan efektif. Namun dalam kenyataannya di lapangan, masih terdapat beberapa kekurangan dan kelemahan dalam kolaborasi yang berjalan selama ini. Pihak yang paling berperan aktif adalah LSM yang menjangkau kelompok sasaran sampai di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
tingkat paling bawah, sedangkan pihak SKPD dan institusi yang lain bersikap pasif dan menganggap itu bukan merupakan bagian dari tanggungjawab mereka sekalipun mereka masuk dalam daftar anggota KPA Surakarta. Pihak KPA pun sebagai lembaga koordinator tidak memberi ketegasan sikap terhadap masalah ini. Dari hal ini, yang menjadi kekhawatiran adalah pihak LSM tidak lagi responsif terhadap KPA dan tidak mau lagi terlibat masuk dalam jaringan peduli Aids Surakarta. Hal ini dikarenakan pihak LSM yang merasa dibebani terlalu besar sedangkan pemerintah tidak peduli dengan keberlangsungan LSM jika suatu saat tidak lagi didanai oleh lembaga donor luar negeri, seperti yang diungkapkan oleh Moh Slamet Raharjo, manajer program Yayasan Gessang : “Kesannya KPA dan Dinkes terlalu santai karena mereka bergantung dengan LSM-LSM yang mendapat bantuan lembaga donor luar negeri, seperti Global fund, FHI, HCPI itu mereka memberikan bantuan yang jumlahnya miliaran pada LSM sehingga APBD sangat minim sekali. Jadi yang bergerak di lapangan itu LSM-LSM. Mbok ya sekarang mulai dipikirkan bagaimana kalau suatu saat LSM itu tidak mendapat bantuan dari negara asing, apa yang terjadi, diharapkan kalau tidak ada lembaga donor ya pemerintah yang membiayai LSM. Sekarang bukti masyarakat tidak peduli pada HIV bisa dilihat dari budget yang ada, cuma 75 juta setahun dan dana itu di dinas kesehatan. Kalau di LSM itu setahun bisa ratusan juta untuk satu LSM pemerintah kog cuma segitu, kesannya itu kog kurang perhatiannya, apa yang terjadi ketika LSM ini tidak ada? Saya rasa sekarang ya KPA dan dinkes sudah harus mulai memikirkan keberlangsungan program HIV/AIDS kalau founding tidak mendanai LSM-LSM itu. Terus terang LSM ini sangat tergantung pada lembaga donor, LSM ini tidak bisa bekerja dengan biaya sendiri sedangkan pemerintah tidak bisa diharapkan untuk bisa memberikan bantuan pada LSM. Misalnya dinas kesehatan, dana segitu hanya untuk survei, penyuluhan pelajar-pelajar, penyuluhan HIV/AIDS, apa waktu peringatan 1 desember pada peringatan hari HIV/AIDS, tidak ada dana yang diberikan pada LSM untuk menjalankan program itu ga ada. Jadi masih belum begitu mengena program KPA karena mereka mungkin merasa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
LSM punya program yang bagus dan punya dana. Jadi mereka terlena dengan LSM yang sudah bekerja dan mendapat dana dari asing. Mudahmudahan saja lembaga donor dari asing masih membiayai LSM, tapi entah sampai kapan.” Ungkapan senada juga dikatakan oleh Ligik Triyogo selaku manajer program LSM Mitra Alam : “Tapi ada faktor pembatas kolaborasi itu yaitu ketika misalkan kita itu tidak lagi didanai donor, maka selesailah kolaborasi. Sedangkan pemerintah tergantung sekali pada LSM sedangkan LSM tergantung dengan lembaga donor. Katakanlah nanti kita sampai desember besok gak diperpanjang, habis. Padahal pemerintah punya layanan tapi gak ada yang mendorong kesana, gak laku. Nanti puskesmasnya sepi, VCTnya sepi dan masalah yang besar yang akan timbul adalah penyebaran virus HIV/AIDS yang terus meluas dan tidak bisa tertangani.”
Berdasarkan
hal
ini,
maka
kekhawatiran
terbesar
adalah
keberlangsungan kolaborasi KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yang akan sulit berjalan dengan optimal jika pemerintah tidak segera turun tangan terkait dengan besarnya dana yang dibutuhkan untuk program penaggulangan HIV/AIDS di Surakarta karena tidak bisa selamanya LSM akan menggantungkan hidup pada kebaikan lembaga donor internasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A.
KESIMPULAN Kualitas dan efektivitas kolaborasi yang dilakukan KPA dengan LSM-LSM peduli Aids di Surakarta sangatlah bervariasi. Berdasarkan analisa
delapan
faktor
pengukur
keberhasilan
kolaborasi
dalam
governance oleh DeSeve, peneliti menyimpulkan sebagai berikut : 1.
Faktor networked structure, masih terdapat hirarki kekuasaan yang mana hal ini ditunjukkan dengan KPA sebagai lembaga koordinator dan LSM-LSM peduli Aids sebagai penjangkau kelompok sasaran. Selama ini yang terjadi adalah pihak LSM yang terjun sampai tingkat bawah sedangkan KPA tinggal menerima laporan bulanan dari masing-masing LSM tentang hasil jangkauan terhadap kelompok sasaran. Berdasar hal ini, pihak LSM mengeluhkan beban tanggung jawab yang harus mereka kerjakan.
2.
Faktor commitment to a common purpose, sudah ada kesepakatan dan tujuan yang sama antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yaitu semakin tingginya angka HIV/AIDS di Surakarta sehingga diperlukan kerjasama yang menyeluruh untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Tujuan kerjasama ini adalah penurunan angka HIV/AIDS di Surakarta. Tetapi pada kenyataannya, visi dan misi ini belum bulat. Hal ini dibuktikan dengan pihak LSM yang lebih bertanggung jawab
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
pada lembaga donor yang selama ini membiayai mereka, sehingga komitmen mereka bersama KPA masih sangat kurang. 3.
Faktor trust among the participants, cukup baik. Ini dibuktikan dengan KPA selalu mempercayai semua data yang masuk dari setiap LSM untuk menjadi bahan laporan kepada Walikota. Tetapi kelompok sasaran yang berhasil dijangkau baru sekitar 40%, ini berarti kepercayaan mereka terhadap KPA maupun LSM masih kurang.
4.
Faktor governance, cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan sudah ada aturan yang jelas melalui Keputusan Walikota siapa saja yang masuk sebagai anggota KPA dan berkolaborasi untuk penanggulangan HIV/AIDS di Surakarta. Namun masih terdapat konflik-konflik mengenai kurang aktifnya pelaku-pelaku kolaborasi yang lain yang mengakibatkan beban penanganan HIV/AIDS seolah-olah menjadi milik KPA dengan pihak LSM semata. Selain itu, sumber daya manusia dan dana juga perlu ditingkatkan.
5.
Faktor access to authority, cukup baik. Selama ini, sudah ada prosedur yang jelas bahwa KPA sebagai lembaga koordinator dan LSM sebagai penjangkau kelompok sasaran walaupun pada kenyataannya pihak LSM terbeban dengan prosedur ini.
6.
Faktor distributive accountability/responsibility, sangat kurang baik. Tanggung jawab penanggulangan HIV/AIDS selama ini tidak dibagi secara merata, karena hanya pihak KPA dan LSM saja yang bekerja maksimal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
7.
Faktor information sharing, sudah baik. Hal ini dibuktikan dengan kerahasiaan klien HIV/AIDS yang dijaga dengan baik, adanya sharing informasi keadaan lapangan oleh pihak LSM kepada KPA dan pemberian informasi dari KPA tentang training atau program terkait penanggulangan Aids kepada pihak LSM.
8.
Faktor access to resources, belum maksimal. KPA sudah berusaha menyediakan training-training lengkap dengan trainernya, tetapi dalam segi penyediaan sumber daya dana LSM tidak didukung sama sekali. Semua dana operasional LSM berasal dari lembaga donor internasional. Padahal dana internasional ini juga tidak bisa selamanya mengalir ke LSM, sehingga pemerintah perlu segera mengambil langkah besar demi menjaga kelangsungan kolaborasi KPA dengan LSM. Berdasarkan delapan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan
akhir bahwa Pemerintah Kota Surakarta hanya setengah hati dalam mengupayakan penanganan kasus HIV/AIDS, hal ini dapat dibuktikan dengan struktur KPA yang sangat lebar dan hanya formalitas belaka. Dengan
adanya
Keputusan Walikota
tentang keanggotaan
KPA,
Pemerintah Kota Surakarta merasa sudah mengambil peran dalam penanganan HIV/AIDS padahal hal ini hanya tertulis dalam kertas belaka tetapi tidak terealiasasi dalam tataran implementasinya. Sekalipun terdapat banyak anggota baik yang berasal dari institusi pemerintah maupun swasta tetapi dalam prakteknya di lapangan hanya sekretariat KPA dan LSM-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
LSM peduli Aids saja yang aktif dalam penanganan HIV/AIDS di Surakarta. Sebagai bukti yang lain yaitu, APBD yang disediakan oleh Pemerintah Kota Surakarta untuk program penanganan HIV/AIDS hanya sebesar 75 juta setahun. Jumlah ini sangat jauh dari cukup jika dibandingkan dengan dana yang diterima oleh setiap LSM dari lembaga donor luar negeri mereka, yaitu 1 miliar setahun untuk 5 kabupaten/kota. Upaya penanggulangan HIV/AIDS di Surakarta oleh KPA dan LSM-LSM peduli Aids memang telah berjalan namun tidak efektif, masih perlu banyak peningkatan demi tercapainya kualitas dan efektivitas kolaborasi. Demikian kesimpulan yang bisa disampaikan peneliti, dalam penelitian Collaborative Governance KPA dengan LSM-LSM peduli Aids di Kota Surakarta.
B.
SARAN Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti baik di KPA maupun di 5 LSM peduli Aids di Kota Surakarta, mengenai efektivitas
kolaborasi
dalam
penanggulangan
HIV/AIDS.
Peneliti
memberikan rekomendasi, sebagai berikut : 1.
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, yang menjadi kesalahan dalam proses kolaborasi ini adalah kelemahan di awal pembentukan struktur keanggotaan KPA. Pemerintah Kota Surakarta harus meninjau ulang struktur keanggotaan yang ada saat ini karena begitu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
lebar dan inefisien. Pemerintah perlu mengadakan perampingan struktur
keanggotaan,
dengan
cara
memilih
institusi-institusi
(pemerintah dan swasta) yang benar-benar relevan dan fokus dengan penanganan HIV/AIDS sehingga dapat bekerja secara optimal dan profesional demi terwujudnya penurunan angka HIV/AIDS di Surakarta. 2.
Pemerintah Kota Surakarta harus meningkatkan anggaran untuk program penanganan HIV/AIDS supaya pihak LSM tidak tergantung lagi terhadap lembaga donor luar negeri sehingga akan tercipta akuntabilitas
dan
keterikatan
terhadap
pemerintah
untuk
meningkatkan efektivitas kolaborasi. 3.
Pemerintah Kota Surakarta perlu memperbaharui kesepakatan yang telah ada selama ini, kolaborasi akan dapat jauh lebih efektif jika terdapat kesepakatan tertulis yang mengikat dan memiliki sanksi yang jelas dan tegas serta berlaku adil bagi seluruh anggota KPA. Sehingga akan tercipta distribusi akuntabilitas yang merata diantara semua anggota KPA. Demikian saran yang disampaikan peneliti kepada KPA Kota
Surakarta, agar menjadi pertimbangan, dan diharapkan dapat mengatasi kesulitan kolaborasi yang terjadi selama ini.
commit to user