ACTION RESEARCH FACILITY (ARF) SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PETANI: Suatu Tinjauan dan Pemikiran Rachmat Hendayana dan Erizal Jamal Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar 10 Bogor, 16610. Telp. 0251 8351277
PENDAHULUAN Di dalam proses pembangunan pertanian, telah diketahui umum bahwa status petani mempunyai peran ganda. Selain menjadi sasaran dalam pembangunan yang harus ditingkatkan kesejahteraannya, petani juga berperan sebagai pelaku utama. Dengan kedudukan ganda seperti itu, maka pelibatan petani dalam proses pembangunan memiliki arti yang sangat strategis. Ia sebagai pelaku, mengetahui persis apa yang diperlukan dan apa yang harus dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Selama ini upaya memberdayakan petani telah dilakukan selain oleh pihak pemerintah, juga oleh swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pendekatan yang dilakukan dalam pemberdayaan petani tersebut beragam, tergantung pada kondisi petani dan persepsi dari pihak yang melakukan pemberdayaan. Salah satu pendekatan pemberdayaan petani oleh Departemen Pertanian yang dianggap strategis untuk mendukung kemandirian petani, dilakukan melalui kaji tindak (action research). Kegiatan tersebut terutama berkaitan dengan upaya mendorong keterampilan dan kemampuan petani untuk mengadopsi inovasi teknologi. Teknologi yang diintroduksikan meliputi paket dan atau komponen teknologi di sektor tanaman pangan & hortikultura, perkebunan dan peternakan. Menurut Basuno, et al (2005), penerapan action reseach tersebut sebagian dianggap berhasil oleh Departemen Pertanian karena dalam berbagai aktivitas kaji tindak tersebut, secara fisik petani praktis memang dilibatkan. Namun demikian, jika ditelaah lebih jauh, keterlibatan petani itu hanya dalam
1
rangka melaksanakan instruksi peneliti. Kegiatan itu tidak efektif karena dalam prakteknya tidak mengakomodasi aspirasi petani. Model kaji tindak seperti itu tidak menjamin adanya keberlanjutan kegiatan. Berdasarkan pelajaran dari pengalaman tersebut, Departemen Pertanian melalui dukungan Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) atau FEATI mengembangkan model action research facility (ARF) untuk memberdayakan petani. Pertanyaannya adalah: Apakah yang dimaksud dengan ARF dan apa prinsip dasarnya?. lalu, apa saja ruang lingkup kegiatan ARF tersebut ?, dan terakhir apa yang dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan ARF?. Tulisan ini bertujuan menyampaikan tinjauan dan pemikiran tentang ARF sebagai model pemberdayaan petani sebagai materi untuk didiskusikan lebih lanjut. Tulisan ini diharapkan akan memperkaya khasanah pemahaman ARF sehingga semua pihak terkait akan memiliki persepsi yang sama, dan dengan demikian tidak akan ditemukan perbedaan interpretasi dalam implementasinya di lapangan. ESENSI “ARF” SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PETANI “ARF” dapat dianggap sebagai aksi tindak lanjut dari farmer managed extension activities (FMA).
Menurut konsep yang dikembangkan Badan
Pengembangan SDM Pertanian (2007), metode FMA dalam implementasinya menitik beratkan pada pengembangan kapasitas manajerial, kepemimpinan dan kewirausahaan pelaku utama dalam pengelolaaan kegiatan penyuluhan pertanian. Pelaku utama dan pelaku usaha mengidentifkasi permasalahan dan potensi yang ada pada diri, usaha dan wilayahnya, merencanakan kegiatan sesuai dengan kebutuhan mereka secara partisipatif. Melalui FMA, petani difasilitasi untuk mampu merencanakan dan mengelola sendiri kebutuhannya, sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan pelaku utama. Setelah kemampuan
kemampuan dalam
pelaku
merencanakan,
utama
dan
pelaku
mengorganisasikan,
usaha
memiliki
melaksanakan, 2
memantau dan mengevaluasi kegiatan seperti yang diharapkan dalam FMA, maka aksi tindak lanjutnya adalah menerapkan ARF. Jika ditinjau secara harfiah, ARF tidak berbeda dengan kaji tindak (action research) yaitu satu model penelitian/pengkajian yang di dalam prosesnya melibatkan petani. Pendekatan ini sudah diimplementasikan di lingkup program/proyek Departemen Pertanian. Namun demikian salah satu hal esensial yang membedakan ARF dengan kaji tindak biasa terletak pada unsur “facility”. Gonsalves et al (2005), menjelaskan bahwa yang dimaksud facility atau fasilitasi dapat diartikan sebagai suatu seni dalam memotifasi masyarakat menuju tujuan yang disepakati bersama melalui proses peningkatan partisipasi, kepemilikan dan kreativitas bagi semua yang terlibat di dalamnya. Fasilitasi merupakan
teknik
yang
banyak
dikembangkan
dalam
melaksanakan
pemberdayaan secara partisipatif, karena teknik ini menggunakan tingkat intervensi yang sangat rendah (Sumpeno, 2004). Melalui teknik fasilitasi, masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dapat terungkap, sehingga memungkinkan untuk melakukan perencanaan dan penerapan transfer teknologi secara lebih baik. Berdasarkan pemahaman tersebut ARF dapat didefinisikan sebagai kaji tindak partisipatif, yaitu: “kaji tindak yang dalam implementasinya lebih ditekankan pada investasi dalam rangka peningkatan kemampuan pelaku utama dan pelaku usaha sebagai pengelola pembangunan”. Dengan kata lain, fokus pelaksanaannya tidak hanya pada pembangunan fisik semata sebagaimana telah sering dilakukan, melainkan juga pembangunan nonfisik. Secara garis besar, investasi masyarakat tersebut dapat berupa : (1) investasi
sumberdaya
manusia
(human
investment)
seperti
pendidikan,
pengetahuan, keahlian, kesehatan, gizi, dan sebagainya; dan (2) investasi sosial (social investment) antara lain meliputi keyakinan/kepercayaan (trust), manfaat timbal balik (reciprocity), partisipasi dalam jaringan, dan sikap proaktif (Pakpahan, 2005). 3
Program pemberdayaan melalui ARF dinilai akan efektif karena didasarkan pada potensi lokal dalam lingkungan komunitas kecil yang relatif homogen. Substansi utama pemberdayaan masyarakat adalah untuk memotivasi tumbuhnya aksi bersama (collective action) dalam rangka mengatasi masalah yang mereka hadapi, yang selanjutnya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Tujuan ini akan dapat dicapai apabila masyarakat disadarkan mengenai permasalahan yang sedang mereka hadapi, dan dengan itu kemudian mereka didorong untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang lebih efektif melalui pendekatan kaji tindak Di dalam ARF terdapat fasilitator yaitu peneliti maupun penyuluh yang berhubungan langsung dengan petani. Kegiatan fasilitasi merupakan upaya untuk menjembatani perbedaan karakter dan pemikiran individu sehingga dapat membantu menggabungkan perbedaan secara efektif dan menciptakan keadaan yang
nyaman
agar
masyarakat
mampu
menemukan
kesamaan
serta
kesepakatan pikiran dan tindakan (Basuno, et al., 2005). Petani, di dalam ARF dipandang sebagai pelaku utama yang bekerja secara bersama-sama dengan peneliti dan penyuluh untuk menghasilkan perubahan atau kemajuan dalam pemecahan masalah dalam kehidupan seharihari. Sebagaimana FMA, karakter ARF juga membentuk lingkaran spiral (spiraling circle), yang dimulai dari refleksi, pertanyaan, dan analisis yang dilakukan secara berulang (iterative). Kompleksitas sistem saling berinteraksi antara satu dengan lainnya. Tiga subsistem yang menjadi acuan perhatian dalam ARF adalah (1) Subsistem sumberdaya alam dan lingkungan bersifat terbatas, dimana eksistensinya terkait dengan kompleksitas pola bio-fisik dan proses; (2) Subsistem sosial ekonomi, yang terkait dengan nilai guna dalam sistem kehidupan manusia, dan pemanfaatannya memerlukan hubungan interaktif dengan subsistem kultural sosial ekonomi dan (3) Subsistem kebijakan dan kelembagaan. Dimensi utama ARF bertumpu pada validasi lapang dengan titik tumpu tingkat pengetahuan petani. Dalam hal ini orientasi kegiatan petani adalah untuk
4
mencarikan solusi permasalahan secara praktis dan bermanfaat bagi dirinya. Melalui ARF, petani dapat mengidentifikasi masalah secara berulang (iterative) dan interaktif sehingga menghasilkan solusi optimal bagi permasalahan yang dihadapi. Dan yang lebih penting lagi ARF memberikan ruang kepada petani untuk mengadopsi dan memodifikasi inovasi teknologi sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. PRINSIP DASAR ARF Untuk suksesnya penerapan ARF di lapangan, diperlukan adanya komitmen untuk mengikuti prinsip-prinsip dasar. Prinsip dasar ARF tidak jauh beda dengan pelaksanaan FMA, yaitu: partisipaatif, demokratis, tanggungjwab bersama, berbasis kearifan lokal, transparant/keterbukaan, akuntabilitas atau dapat dipertanggungjawabkan, sensitif gender, dan mengarah ke kemandirian. Prinsip-prinsip dasar tersebut secara ringkas disajikan dalam uraian berikut. a.
Partisipatif : Di dalam ARF pelaku utama dan pelaku usaha didorong untuk memberikan kontribusi kepada kelompok untuk mencapai tujuan, membagi manfaat kegiatan kelompok, saling tukar informasi dan pengalaman, mengikuti aturan dan keputusan kelompok, demokratis dalam proses pengambilan keputusan dan menghindari dominasi individu. Partisipasi akan berkembang dalam berbagai cara sesuai keadaan spesifik
lokasi,
dan
pelibatan
sejak
proses
perencanaan
akan
menumbuhkan perasaan memiliki dan jaminan keberlanjutan program. Partisipasi akan menghasilkan kondisi dimana semua anggota yang terlibat akan mempunyai rasa memiliki bersama, adanya komitmen, tanggungjawab, aktif dalam kegiatan, mengurangi risiko, berbasil kearifan lokal dan terakhir akan mendorong terwujudnya pemberdayaan (Adnyana, 2006). b.
Demokratis. Artinya setiap keputusan dibuat melalui musyawarah atau kesepakatan sebagian besar pelaku utama dan pelaku usaha. Hal itu dilakukan untuk menjamin dukungan yang berkelanjutan dan rasa memiliki dari masyarakat.
5
c.
Tanggung jawab bersama. Seluruh kegiatan ARF mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dilaksanakan dengan prinsip “dari petani ke petani dan untuk petani”. Semua anggota yang terlibat memiliki tanggungawab atas keberhasilan ARF ini.
d.
Berbasis kearifan lokal. Orientasi kegiatan ARF ditujukan pada kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. Dalam ini tentunya pertimbangan budaya lokal harus diperhatikan agar pelaku utama dan pelaku usaha merasa bahwa kegiatan yang dilakukan adalah untuk mereka. Prinsip dasar ini menuntut
adanya
upaya
ke
arah
penggalian
kebutuhan
(need
assessment) sebelum mengimplementasikan kegiatan. e.
Keterbukaan. Keterbukaan terkait dengan manajemen dan administrasi penggunaan dana ARF. Aliran dana yang berlangsung dalam rangka ARF harus diketahui dan diumumkan ke masyarakat di berbagai level, baik di tingkat desa, kabupaten dan provinsi.
f.
Akuntabilitas. Artinya pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan dana untuk ARF harus dilaporkan dan dipertanggung jawabkan kepada seluruh anggota organisasi petani yang terlibat.
g
Sensitif Gender. Perencanaan kegiatan ARF ditetapkan dalam rembugtani yang dihadiri oleh pelaku utama dan pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan. Kegiatan ARF ini memberi manfaat kepada pelaku utama dan pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan secara proporsional dan tepat sasaran.
h.
Kemandirian. Pelaku utama dan pelaku usaha, keluarga dan masyarakat tani, serta seluruh anggota organisasi petani (laki-laki dan perempuan) memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengembangkan usahatani yang menguntungkan dan berkelanjutan tanpa harus bergantung kepada pemerintah.
6
RUANG LINGKUP KEGIATAN Ruang lingkup kegiatan ARF, dimulai semenjak penyusunan rencana, pelaksanaan,
melakukan
evaluasi,
dan
pemecahan
masalah.
Dalam
pelaksanaannya, partisipasi yang diharapkan dari petani adalah menyediakan lahan, tenaga kerja dan menerapkan teknologi anjuran dengan tepat dan benar. Sementara itu dari pihak luar bertindak sebagai fasilitator dalam hal fasilitasi dalam bentuk kredit atau subsidi bunga kredit, melakukan pembinaan dan tidak melakukan intervensi dalam pengadaan. Dari sisi materi, ARF meliputi inovasi strategis berupa penyediaan varietas benih/bibit unggul, cara bertanam, pemeliharaan tanaman/ternak, cara panen, pengolahan hasil dan sampai tata cara pemasaran hasil komoditas. Pada intinya materi ARF harus seirama dengan materi yang diberikan dalam pelatihan FMA, sehingga terjadi sinerji kegiatan yang efektif. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam fasilitasi materi ARF adalah kesesuaiannya dengan budaya dan kearifan lokal setempat, sehingga tidak menimbulkan konflik sosial. Tahapan yang dilakukan dalam ARF , dimulai sejak melakukan identifikasi kebutuhan
pelaku
utama
dan
pelaku
usaha
melalui
PRA,
hingga
mendiseminasikan hasilnya kelak. Tahap-tahap yang ditempuh dalam rangka kegiatan ARF, selengkapnya adalah sebagai berikut: 1. Tahap PRA. Tahap ini bertujuan untuk memahami kondisi eksisting pelaku utama dan pelaku usaha, terutama terkait dengan karakteristik individu, keluarga dan usahataninya. PRA dilakukan di desa yang menjadi target kegiatan. Dalam pelaksanaannya melibatkan peneliti dan penyuluh BPTP yang akan bertindak sebagai enumerator dan fasilitator dalam mengumpulkan data/informasi.
Kedudukan petani
dalam kegiatan ini adalah sebagai pelaku utama dan pelaku usaha. Kegiatan PRA juga perlu melibatkan Pemda atau dalam hal ini dinas terkait sebagai narasumber yang diharapkan akan menyediakan data yang diperlukan. Adapun output atau luaran dari tahapan kegiatan
7
PRA adalah tersedianya identifikasi kebutuhan informasi atau inovasi teknologi di level pelaku utama dan pelaku usaha. 2. Tahap Penyusunan Rencana Definitip Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
Tahapan penyusunan
dokumen tersebut dilakukan setelah adanya informasi yang diperoleh dari hasil PRA yang telah dilakukan sebelumnya.
Seperti halnya
dalam PRA, maka dalam penyusunan RDK dan RDKK perlu dilakukan secara spesifik di desa target, melibatkan peneliti dan penyuluh, petani serta unsur Pemda. Peran peneliti dan penyuluh dalam penyusunan RDK dan RDKK tersebut masing-masing adalah sebagai narasumber dan pendamping.
Petani adalah bertindak sebagai penyusun,
sedangkan peran pemerintah daerah perannya sama dengan peneliti yakni sebagai narasumber. Output dari kegiatan penyusunan RDK dan RDKK tersebut adalah tersusunnya dokumentasi RDK dan RDKK. 3. Tahap Programa Desa (PD). Tahap ini memuat perencanaan yang menyeluruh
berisikan
gambaran
umum
keadaan
daerah,
permasalahan yang dihadapi, usulan perencanaan kegiatan untuk setahun mendatang. Sesuai dengan namanya yakni Program Desa, maka ruang lingkup perencanaan program adalah hanya meliputi satu kawasan desa tertentu. Dalam hal ini peran peneliti bertindak sebagai narasumber dan penyuluh sebagai pendamping. Dalam penyusunan PD ini petani bertindak sebagai pelaksana, dan dari pihak Pemda menjadi narasumber. Adapun output dari programa desa
adalah
tersusunnya dokumentasi Programa Desa. 4. Tahap Farming System Analysis (FSA). Tahapan FSA yang dimaksud adalah tahap analisis yang dilakukan terhadap sistem usahatani. Pelaksana kegiatan FSA terutama adalah petani, karena tahu kondisi pertanian setempat. Dalam kegiatan FSA ini, peneliti dan penyuluh masing-masing
bertindak
sebagai
narasumber
dan
pemandu.
Sementara itu dari pihak Pemda atau Dinas perannya sama yakni
8
menjadi narasumber. Output kegiatan FSA ini adalah terwudjudnya Model FSA. Model inilah yang akan dijadikan acuan ketika akan menerapkan ARF di desa yang bersangkutan. 5. Tahap Temu Informasi Teknologi Pertanian (TITP). Kegiatan ini merupakan ajang pertemuan para stakeholder dan juga petani untuk membahas kondisi dan perkembangan teknologi terkini yang dihadapi petani.
Kegiatan ini juga semestinya dilakukan di desa yang
bersangkutan,
sehingga
relevansinya
dengan
teknologi
yang
diintroduksikan cukup tinggi. Dalam TITP, petani berperan sebagai pemrasaran yang memaparkan kondisi eksisting dari teknologi yang diusahakan di tingkat desa. Sementara itu peran peneliti, penyuluh dan pemerintah daerah dalam kegiatan TITP adalah sama yakni bertindak sebagai
narasumber dalam kegiatan TITP. Output dari
kegiatan TITP adalah teridentifikasinya
inovasi pertanian yang
diperlukan petani. 6. Tahap Penyusunan Proposal FMA. Proposal disusun berdasarkan data yang diperoleh dari kegiatan sebelumnya. Penyusunan proposal ini dilaksanakan oleh petani, sedangkan peneliti dan penyuluh serta pihak pemda hanya bertindak sebagai narasumber. Output dari tahapan ini tentunya adalah dokumentasi proposal. 7. Tahap Kegiatan Penyuluhan Desa. Pada tahap ini mulai di sampaikan penyuluhan tentang inovasi teknologi yang diintroduksikan kepada petani. Pelaksana utama untuk melakukan penyulihan ini secara fungsional dilakukan oleh penyuluh. Peran peneliti dalam kegiatan ini adalah sebagai narasumber untuk mendukung informasi teknis dari inovasi teknologi yang disampaikan penyuluh. Peran Dinas atau Pemda juga sebagai narasumber, terutama terkait dengan rencana pendampingannya ke depan ketika petani telah memutuskan untuk mengadopsi inovasi.
9
8. Tahap Aplikasi Paket Teknologi. Ketika petani yang menjadi sasaran kegiatan ini telah dianggap cukup memperoleh penelasan tentang karakteristik inovasi yang diintroduksikan, maka tahap berikutnya adalah implementasi. Tahap ini merupakan inti dari ARF, dimana petani mulai menerapkan teknologi. Ketika petani mulai menerapkan teknologi, peran penyuluh adalah mendampinginya sehingga jika ada kendala dalam proses penerapan, dapat segera dicarikan jalan keluarnya. Peneliti dan Dinas, perannya dalam tahap implementasi ini adalah menjadi narasumber. Keluaran yang diharapkan dari kegiatan ini adalah diterapkannya inovasi teknologi yang diintroduksikan. 9. Lokakarya ARF. Setelah berlangsungnya penerapan inovasi teknologi oleh petani, maka dirancang kegiatan lokakarya. Kegiatan lokakarya ini dimaksudkan untuk berbagi pengalaman antar petani pelaksana ARF dari berbagai daerah. Petani menjadi pemrasaran dalam lokakarya ini, menampilkan pengalamannya setelah menjadi “adopter” dalam ARF. Pemerintah atau perwakilan dinas teknis, menjadi peserta dalam acara ini yang akan memberikan saran, tanggapan atau kritik terhadap pemrasaran. Tentunya peran peserta dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja ARF lebih baik lagi. Untuk mendukung petani jika ada persoalan teknis yang muncul dari diskusi dalam lokakarya, maka selama lokakarya berlangsung didampingi peneliti dan penyuluh, yang sekaligus berperan sebagai narasumber. Output dari kegiatan lokakarya ini adalah dihasilkannya dokumentasi rancangan ARF. 10.Diseminasi Teknologi. Rancangan ARF yang berhasil dirumuskan dari lokakarya, selanjutnya disebarluaskan kepada khalayak. Disamping itu disebarluaskan pula pengalaman keberhasilan petani pelaku ARF dalam menerapkan inovasi teknologi, sehingga terjadi perbesaran skala kegiatan. Diseminasi ini dilaksanakan oleh penyuluh, dan outputnya adalah tersebarnya inovasi.
10
Secara ringkas tahapan dalam ARF tersebut ditampilkan dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1. Tahapan Kegiatan ARF Beserta Peran Instansi Terkait No
Tahapan
Lokasi / Target
BPTP Peneliti
Petani Penyuluh
Pemda/Din as
Output
PRA
Desa …
Enumerator
Enumerator
Sumber data/informa Narasumber si
Identifikasi Kebutuhan Inovasi di level petani
RDK/RDKK
Desa …
Narasumber
Pendamping
Penyusun
Narasumber
Dokumentasi RDK/RDKK
Programa Desa
Desa …
Narasumber
Pendamping
Pelaksana
Narasumber
Dokumentasi Programa Desa
4
FSA
Desa …
Narasumber
Pemandu
Pelaksana
Narasumber
5
Temu Informasi Teknologi Pertanian
Desa …
Narasumber
Narasumber
Pemrasaran Narasumber
Identifikasi Inovasi Pertanian yang dibutuhkan petani
6
Proposal FMA
Desa …
Narasumber
Narasumber
Pelaksana
Narasumber
Dokumentasi Proposal
7
Kegiatan Penyuluhan Desa
Desa …
Narasumber
Pelaksana
Sasaran
Narasumber
Di adopsinya Inovasi Teknologi yang diintroduksikan
8
Aplikasi Paket Teknologi
Desa …
Narasumber
Pendamping
Pelaksana
Narasumber
Di adopsinya Inovasi Teknologi yang diintroduksikan
Lokakarya ARF
Desa …
Narasumber
Narasumber
Pemrasaran Peserta
Dokumentasi Rancangan ARF
Diseminasi Teknologi Spesifik Lokasi
Desa …
Narasumber
Pelaksana
Sasaran
Tersebarnya Inovasi
1
2 3
9 10
Sasaran
Model FSA
ALUR KETERKAITAN FSA, FMA DAN ARF Dari Tabel 1, terlihat bahwa kegiatan ARF berlangsung melalui pentahapan yang sistematis mulai dari PRA. ARF sendiri secara praktis dapat berlangsung setelah tahapan-tahapan FSA dan FMA dilalui. Kondisi tersebut mencerminkan adanya kegiatan yang sinerji antara satu tahap dengan tahapan lainnya. Sinerjisme kegiatan dalam ARF tersebut secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1. PRA dapat dilakukan secara sinerji dengan kegiatan FSA, karena pada intinya analisis usaha tani itu dasarnya adalah hasil PRA. Hasil PRA berupa data 11
dan informasi menjadi bahan penyusunan RDK dan RDKK, dimana perencanaan dalam RDK dan RDKK tersebut selanjutnya menjadi core dalam penyusunan Programa Desa (PD). . PRA
FSA
RDK/RDKK
PROGRAMA DESA
TITP
PROPOSAL FMA
PENYULUHAN DESA
APLIKASI PAKET TEKNOLOGI
LOKAKARYA ARF
DISEMINASI TEKNOLOGI SPESIFIK LOKALITA
Gambar 1. Alur Keterkaitan FSA, FMA dan ARF
Secara substansial PD memuat informasi umum keadaan desa meliputi kondisi biofisik, potensi sumberdaya alam serta sumberdaya manusia, kemudian ditampilkan juga kendala dan permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya berdasarkan informasi itu diajukan programa. Sebelum PD dijabarkan ke dalam proposal FMA, terlebih dulu diselenggarakan Forum TITP. Dalam forum inilah dilakukan sosialisasi hasil analisis (FSA) dan isi PD. Keluaran dari TITP adalah identifikasi inovasi pertanian yang dibutuhkan pelaku utama dan pelaku usaha. Hasil kesepakatan dari TITP tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan pengajuan proposal FMA. Implementasi dari proposal FMA adalah kegiatan penyuluhan desa. Penyuluhan desa bertujuan untuk mendorong terjadinya adopsi inovasi teknologi yang diintroduksikan. Setelah melalui penyuluhan, barulah ARF dapat diimplementasikan. Namun
12
sebelum
implementasi
dilakukan
lokakarya.
Langkah
terakhir,
adalah
mendiseminasikan keberhasilan ARF. INDIKATOR KEBERHASILAN ARF Sejak awal kegiatan, sudah harus bisa ditargetkan apa saja yang bisa dijadikan indikator keberhasilan kegiatan ARF ini. Indikator keberhasilan harus merupakan sesuatu yang dapat dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja mulai dari tahap perencanaan (ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going) dan tahap setelah kegiatan selesai (expost). Untuk mendapatkan ukuran kinerja yang baik, maka indikator kinerja harus memenuhi syarat sebagai berikut: spesifik dan jelas, tidak ada interpretasi ganda, dapat diukur secara obyektif baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, relevan. Dalam penerapannya
harus cukup fleksibel dan sensitif
terhadap perubahan, serta efektif. Artinya data atau informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisa dengan biaya yang tersedia. Secara ringkas, indikator keberhasilan ARF dapat dilihat mulai dari: masukan (input), proses, luaran (output), keuntungan (benefit), manfaat (outcome) dan dampak (impact). Setiap indikator tersebut ditunjukkan oleh masing-masing parameter yang berbeda.
a.
Masukan,
parameternya
yang
digunakan
untuk
mengukur
masukan (input) meliputi: (a) nilai besar kecilnya anggaran, (b) jumlah sumberdaya manusia yang terlibat dalam perencanaan dan implementasi diseminasi dan (c) fasilitas pendukungnya b.
Proses, menggambarkan perkembangan atau aktivitas yang terjadi atau dilakukan selama pelaksanaan kegiatan berlangsung
c.
Luaran (output), yang dijadikan parameternya adalah (a) laporan kegiatan, (b) bahan cetakan atau publikasi, dan (c) rekomendasi teknologi pertanian
13
d.
Keuntungan atau benefit, parameternya dilihat dari (a) perolehan hasil per unit usaha dan (b) keuntungan usahatani
e.
Terhadap indikator manfaat atau outcome, paramater yang dapat dilihat adalah (a) jumlah petani yang mengadopsi teknologi anjuran, (b) luas areal, (c) tenaga kerja tambahan, dll. Manfaat menunjukkan hal-hal yang diharapkan untuk dicapai bila keluaran dapat diselesaikan dan berfungsi dengan optimal artinya tepat lokasi dan tepat waktu.
f.
Sedangkan parameter dampak adalah terjadinya peningkatan pendapatan rumah tangga dan tingkat kesejahteraan. Indikator dampak memperlihatkan pengaruh yang ditimbulkan dari manfaat yang diperoleh dari hasil kegiatan.
Agar ARF berhasil, maka penerapan teknologi harus sesuai dengan kebutuhan pasar, ramah lingkungan dan Iebih menguntungkan. Disamping itu diupayakan agar terjadi diversifikasi usaha (horisontal dan vertikal), dan dibangunnya jaringan kemitraan antar organisasi petani/asosiasi/korporasi. KESIMPULAN ARF merupakan aksi tindak lanjut dari FMA, sehingga fokusnya ditujukan pada pengembangan kapasitas manajerial, kepemimpinan dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha. Hal yang membedakan ARF dari kaji tindak adalah adanya unsur facility yang akan lebih mendorong petani ke arah pencapaian tujuan kegiatan lebih baik. Melalui teknik facility , permasalahan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dapat terungkap sehingga akan mendorong pembuatan perencanaan dan penerapan transfer teknologi lebih baik. Prinsip dasar ARF, tidak jauh beda dengan FMA yaitu partisipatif, demokratis, tanggungjawab bersama, berbasis kearifan lokal, transparan, akuntabilitas, sensitif gender, dan kemandirian.
14
Indikator keberhasilan ARF harus dapat diukur mulai dari unsur masukan, proses, keluaran, keuntungan, manfaat dan dampak.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, 2006. Technology Delivery System. Experience and Future Outlook. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Penyuluhan Pertanian 10 – 16 Desember 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Basuno, E., R.N. Suhaeti, S. Wahyuni, R.S. Rivai, T. Pranaji, G.S.Budhi, dan M. Iqbal. 2005. Kaji Tindak (Action Research) Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Tertinggal. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Badan Pengembangan SDM Pertanian. 2007. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan yang dikelola Oleh Petani (Farmer Managed Extension Activities-FMA). Gonsalves, J., T. Becker, A. Braun, D. Campilon, H. de Chaves, E. Fajber, M. Capiriri, J.R. Caminade, and R. Vernooy (Editors). 2005. Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource Management : A Resource Book (Glossary). International Potato Center- Users Perspective with Agricultural Research and Development. Philippines. Pakpahan, A. 2005. Investing on Farmers’ Welfare. Jakarta Post, 11 February 2005. Jakarta. Sumpeno, W. 2004. Sekolah Masyarakat: Menerapkan Rapid Training Design Dalam Membangun Kapasitas. Catholic Relief Services. Jakarta.
15