ABSTRAK Nurbia (G2O114011), "Lexicon of Marriage Custom in Munanese Societies." Thesis. Study Program of Indonesian Language and Literature Education. Postgraduate Program. Halu Oleo University. Supervisor I: Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, M.S.; supervisor II: Dr. La Ino, S.Pd., M.Hum. This study concerned with the contained in the marriage custom in Munanese societies. Munanese Language is used by its native speakers in addition to Indonesian Language as a uniting language, in particular the language used in marriage custom in significantly different from the language used in general in terms of meaning. The purpose of this study was to find out the forms, meaning, and functions of lexicon of marriage custom in Munanese societies consist of polymorphism, monomorphic, and parts of speech. The lexicon in marriage custom in Munanese societies has both denotative, connotative, and syimbolic meaning. There is a variety of functions of marriage custom in Munanese societies including semantic and pragmatic functions. Keyword: lexicon, culture linguistics, marriage custom in Munanese societies
ABSTRAK Nurbia. G2O1 14011. “Leksikon Adat Perkawinan Masyarakat Muna”. Tesis. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pascasarjana Universitas Halu Oleo, Kendari. Pembimbing I: Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, M.S. Pembimbing II: Dr. La Ino, S.Pd., M.Hum. Penelitian ini membahas leksikon yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Muna. Bahasa Muna sebagai bahasa mayoritas yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya selain Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan khusunya pada bahasa adat yang digunakan dalam adat perkawinan memiliki perbedaan yang signifikan dengan bahasa Muna pada umumnya dari segi pemaknaannya. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk, makna dan fungsi leksikonadat perkawinan masyarakat Muna.Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwabentuk leksikon dalam adat perkawinan masyarakat Muna terdiri dari polimorfemis, monomorfemis, dan kelas kata.Pada makna leksikon dalam adat perkawinan masyarakat Muna memiliki makna tertentu baik denotatif, konotatif, maupun simbolik.Pada fungsi leksikon dalam adat perkawinan masyarakat Muna sangat beragam dilihat dari fungsi semantis maupun fungsi pragmatisnya. Kata kunci: Leksikon, Linguistik Kebudayaan, Adat Perkawinan Masyarakat Muna
LEKSIKON ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MUNA NURBIA PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO Jl. Mayjend S. Parman Kemaraya Kendari 93121 ABSTRAK Penelitian ini membahas leksikon yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Muna. Bahasa Muna sebagai bahasa mayoritas yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya selain Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan khusunya pada bahasa adat yang digunakan dalam adat perkawinan memiliki perbedaan yang signifikan dengan bahasa Muna pada umumnya dari segi pemaknaannya. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk, makna dan fungsi leksikon adat perkawinan masyarakat Muna. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk leksikon dalam adat perkawinan masyarakat Muna terdiri dari polimorfemis, monomorfemis, dan kelas kata. Pada makna leksikon dalam adat perkawinan masyarakat Muna memiliki makna tertentu baik denotatif, konotatif, maupun simbolik. Pada fungsi leksikon dalam adat perkawinan masyarakat Muna sangat beragam dilihat dari fungsi semantis maupun fungsi pragmatisnya. Kata kunci: Leksikon, Linguistik Kebudayaan, Adat Perkawinan Masyarakat Muna PENDAHULUAN Sulawesi Tenggara sebagai salah satu propinsi yang ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain memiliki wilayah yanng terdiri atas pulau-pulau juga memiliki keberagaman bahasa dan setiap bahasa daerah terdapat pula budayanya sendiri. Meskipun memiliki bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan antara masyarakat dari kebudayaan yang satu dengan masyarakat dari kebudayaan yang lain yang berbeda-beda bahasa daerahanya. Bahasa merupakan subsistem dari kebudayaan. Kebudayaan menjadi latar suatu bahasa (Sibarani, 2004:76). Pandangan tersebut bermakna bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan karena dari bahasa itu sendiri akan muncul leksikon yang bermuatan nilai-nilai budaya. Menurut Kridalaksana (2001:127), leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan fungsi pemakaian bahasa. Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaanya diakui oleh negara UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2)menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional” dan juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia, antara lain bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan kosakata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya, yakni “bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya, dihargai dan dipelihara oleh negara karena bahasabahasa itu adalah bagian daripada kebudayaan yang hidup.” Bahasa menunjukan bangsa adalah ungkapan yang menjadi alat pendeteksi untuk mengetahui identitas seseorang hanya dengan melihat atau mendengarkan tutur katanya. Salah satu dari keberagaman budaya dan bahasa daerah tersebut adalah Muna sebagai salah Kabupaten yang berada di dalam wilayah Sulawesi Tenggara. Bahasa Wuna tumbuh dan
berkembang di tengah masyarakat yang menggunakannya berdampingan dengan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa persatuan, bahasa nasional dan bahasa kenegaraan. Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional; (2) bahasa pengantar di sekolah saat belajar-mengajar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan pengajaran lainnya; (3) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah. (keraf, 1990: 46). Bahasa sebagai salah satu dari tujuh kebudayaan unversal. Bahasa merupakan kebudayaan pertama yang dimiliki oleh setiap manusia (Sibarani, 2004:9). Kemudian bahasa juga menjelma disetiap unsur-unsur kebudayaan tersebur. Fishman (1985: 43) menyatakan bahwa hubungan bahasa dan budaya dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu (1) bahasa sevagai bagian dari budaya, (2) bahasa sebagai indeks budaya, dan (3) bahasa sebagai simbol budaya. Ketiga hubungan tersebut mencerminkan pentingnya kedudukan dan fungsi bahasa terhadap kebudayaan. Bahasa Wuna sebagai salah satu kebudayaan tersebut, memiliki kararkteristik yang dapat dibandingkan dengan karakteristik bahasa Indonesia. Bahasa Wuna merupakan bahasa daerah yang tergolong ke dalam rumpun Autronesia Barat yang serumpun dengan bahasabahasa Hesperonesia atau bahasa Indonesia Barat (Keraf, 1990:205). Akan tetapi, bahasa Wuna sebagai salah satu bahasa daerah memiliki sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem bahasa daerah lain, khususnya bahasa Indonesia. Bahasa Wuna menjadi alat komunikasi yang menghubungkan masyarakat Muna baik yang bermukim di Kabupaten Muna maupun yang berada di luar Kabupaten Muna dalam melakukan berbagai aktivitas. Selain itu, bahasa Wuna sebagai salah satu bahasa yang tumbuh dan berkembang dalam pergaulan antarwarga pendukungnya, baik dalam komunitasnya maupun berada dalam komunitas yang berbeda bahasa daerah, memegang peranan penting seperti dalam kegiatan bertani, berdagang, kesenian, upacara adat, dan aktivitas sehari-hari. Contohnya pada upacara adat perkawinan bahasa Wuna selain berfungsi sebagai bahasa kelompok etnik (group language), bahasa Wuna juga digunakan dalam upacara keagamaan (Languag of religion). Kebudayaan merupakan ciri atau identitas suatu bangsa. Kebudayaan ini pun tidak lepas dari bahasa yang dipergunakan dalam kebudayaan tersebut. Bahkan, kebudayaan ini mungkin akan mati jika tidak adanya bahasa. Artinya, bahasa dan kebudayaan merupakan satu rumpun yang tidak bisa terelakkan lagi. Hal yang paling mendasar tentang hubungan bahasa dan kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa. Oleh karena itu, kajian yang mempelajari keduanya adalah ilmu antropolinguistik atau etnolinguistik: antropologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang manusia dan linguistik mempelajari tentang bahasa. Menurut Sibarani (2004: 50), antropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etnik bahasa, adat istiadat dan pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa. Palmer (1996: 36) menggunakan istilah linguistik budaya. Menurutnya, linguistik budaya adalah sebuah disiplin ilmu yang muncul sebagai persoalan dari ilmu antropologi yang merupakan perpaduan dari ilmu bahasa dan budaya. Linguistik budaya secara mendasar tidak hanya berhubungan dengan kenyataan objektif, tetapi juga mengenai bagaimana orang atau masyarakat itu berbicara, mengenai dunia yang mereka gambarkan sendiri. Linguistik budaya berhubungan dengan makna atau arti yang bersifat interpretatif (penafsiran), atas keseluruhan konteks (linguistik, sosial, dan budaya). Menurut Riana (2003: 8) linguistik kebudayaan adalah sebuah studi yang meneliti hubungan intrinsik antara bahasa dan budaya, bahasa dipandang sebagai fenomena budaya
yang kajiannya berupa language in cultural atau language and cultural. Etnolinguistik adalah suatu ilmu bagian yang pada asal mulanya erat bersangkutan dengan ilmu antropologi. Objek kajian penelitiannya berupa daftar kata-kata, pelukisan dari ciri-ciri, dan pelukisan dari tata bahasa dan bahasa-bahasa lokal (Koentjaraningrat, 1981: 2). Kebudayaan tidak terlepas dari bahasa yang digunakan dalam masyarakat kebudayaan itu sendiri, bahkan tak terhindarkan bahasa merupakan objek yang menghubungkan bagaimana kebudayaan dan bahasa terikat dari segi bentuk, fungsi, dan makna dari leksikon yang ada dalam bahasa di kebudayaan tersebut. Begipula dengan keudayaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat Muna. Upacaa adat yang biasa dilakukan oleh dua orang anak manusia yang hendak bersatu dalam mahligai pernikahan. Hubungan bahasa dan budaya secara langsung dapat dilihat pada kehadiran tuturan dalam peristiwa budaya. Salah satu peristiwa yang memposisikan bahasa sebagai aspek yang penting dalam prospektif kebudayaan adalah pada prosesi adat perkawinan. Setiap proses yang dijalani selalu menggunakan bahasa sebagai sarana yang pokok dalam pelaksanaannya. Wierzbicka (1997: 4) mengemukakan bahwa kata mencerminkan dan mensecitakan cara hidup dan cara berpikir penuturnya dan dapat memberikan petunjuk yang sangat bernilai dalam upaya memahami budaya penuturnya. Demikian juga dengan kata atau leksikon yang terdapat dalam proses adat perkawinan masyarakat Muna, leksikon tersebut dapat memberikan dan mencerminkan gambaran tentang pandangan masyarakat Muna terhadap lingkungan sosial dan pola pikirannya. Sejatinya, leksikon dalam adat perkawinan merupakan sejumlah kosakata yang dituturkan oleh orang tua kampung atau tokoh adat pada proses adat perkawinana yang terdapat dalam suatu bahasa, bahasa Wuna. Leksikon adat perkawinan menyimpan kekayaan budaya yang mencerminkan kearifan lokal. Akan tetapi, sekarang ini menunjukan bahwa leksikon yang menyimpan kekayaan budaya yang sarat akan makna yang terkandung didalamnya pada masyarakat Muna belum mendapatkan perhatian lebih. Salah satu contoh leksikon adat perkawinan masyarakat Muna yaitu leksikon boka yakni mata uang yang digunakan dalam adat perkawinan dalam pembayaran adat oleh pihak laki-laki kepada perempuan sebagai tanda perkawinan secara adat yang memiliki makna uang yang dibayarkan tersebut satu genggam penuh sampai terlihat uang yang digenggam yang meluap. Selain itu, boka juga memiliki makna jagung yang kulitnya terbuka hingga isinya yang berwarna putih menyembul keluar, gigi seseorang yang kelihatan walaupun mulut di tutup. Boka memiliki fungsi secara semantis sebagai satuan yakni satuan dalam mata uang, ukuran genggaman uang logam sedangkan leksikon boka berupa bentuk nomina dan monomorfemis yakni kata dasar yang memiliki makna. Dari leksikon di atas, banyak yang belum mengetahuinya. Hal ini dapat dilihat dari pemerintah sekarang ini yang tampak hanya memajukan kebudayaan nasional dan menekankan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Asing dalam masyarakat terlebih lagi di sekolah, anak-anak lebih difokuskan dalam penguasaan bahasa Asing dibandingkan dengan bahasa daerah dalam mempertahankan kebudayaan lokal dari ketergusuran dan kepunahan akibat tergeser oleh bahasa lain (bahasa Indonesia dan bahasa Asing). Adat perkawinan masyarakat Muna sebagai media pembelajaran para anak muda sekarang untuk lebihmemperhatikan dengan baik bahasa daerahnya terlebih bahasa yang terkandung dalam adat perkawinan khusunya dalam bentuk leksikon yang sarat akan makna dan digunakan hanya pada saat prosesi adat perkawinan saja. Leksikon yang dimaksud dalam penelitian ini adalah leksikon yang terdapat dalam proses pelamaran, penyerahan adat, perkawinan, sampai perkawinan selesai, dimana perempuan dibawa ke rumah orang tua lakilaki. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam setiap leksikon adat perkawinan, seseorang harus memiliki kemampuan interpretasi terhadap simbol-simbol tersebut.
Dari uraian tersebut, penulis akan mengkaji leksikon yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Muna dengan mendeskripsikan bentuk, makna dan fungsi semantis leksikon yang terdapat di dalamnya secara mendalam. Seperti yang dikatakan Mbete (2008) dimana bahasa daerah dapat tercerabut dari akarnya secara kultural apabila penutur usia muda/generasi muda sebagai pewaris budaya lokal mulai didominasi untuk menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Asing. Akibatnya, bahasa daerah sebagai budaya terlupakan dan tradisi akan tergeser oleh budaya Asing yang sekarang ini mulai menggerogoti anak muda. Untuk itulah, dilakukannya penelitian tentang leksikon adat perkawinan masyarakat Muna ditinjau dari bentuk, makna dan fungsi leksikon untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat dan generasi muda tentang kekayaan budaya dan bahasa daerah. Masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah bentuk-bentukleksikon yang terdapat dalam tuturanadat perkawinan masyarakat Muna? (2) Apa makna dan fungsi yang terkandung dalam leksikon yang terdapat dalam tuturan adat perkawinan masyarakat Muna. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami serta mendeskripsikan leksikon yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Muna dengan menggunakan kajian linguistik kebudayaan untuk menjawab permasalahan kebudayaan pada masyarakat Muna Sulawesi Tenggara. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentukbentuk leksikon yang terdapat dalam tuturanadat perkawinan masyarakat Muna; dan untuk mengetahui makna dan fungsi yang terkandung dalam leksikon dalam tuturan adat perkawinan masyarakat Muna; Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan tentang leksikon yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Muna ditinjau dari segi bentuk, makna, dan fungsinya. Secara praktis, temuan penelitian ini dapat: 1) memberikan masukan dan pertimbangan bagi penentu kebijakan terutama yang berkaitan dengan kebudayaan daerah ,2) temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan linguistik dan kebudayaan sehingga nantinya tidak lagi menjadi bahasa dan tradisi minoritas yang tersubordinasi, dan 3) bagi pengajar, penelitian ini sebagai bahan ajar muatan lokal pada masyarakatnya yang menjadikan bahasa Wuna sebagai bahasa Ibu. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat deskriptif, yaitu bentuk penelitian yang dilakukan dengan cara peneliti turun langsung dilapangan untuk mendapatkan data yang valid mengenai leksikon adat perkawinan masyarakat Muna. Dengan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan. Metode pengumpulan data merupakan cara kerja terkait dengan apa yang harus diperbuat dan bagaimana berbuat dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Sehubungan dengan itu, maka teknik yang digunakan dalam penngumpulan data terdiri atas: 1) observasi partisipan, 2) wawancara mendalam, 3) studi dokumen dan pustaka. Teknik analisis data dalam penelitian ini yakni peneliti menganalisis data dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpul dari observasi partisipan, wawancara dan studi dokumen dan pustaka selanjutnya di transkrip dengan menyalin data lisan ke data tulis dengan menggunakan huruf latin. Hasil penelitian ini disajikan dengan menggunakan teknik informal dan formal. Secara informal, hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk narasi karena makna teks bersifat verbal dan memiliki struktur naratif dengan mengikuti kaidah penulisan ilmiah. Secara formal, hasil penelitian ini disajikan melalui gambar, foto, peta dan lain sebagainya. HASIL PENELITIAN Bentuk-Bentuk Leksikon Adat Perkawinan Masyarakat Muna Bentuk monomorfemis
1.) Kaomu „golongan bangsawan masyarakat Muna gelar Ode‟ 2.) Walaka „golongan masyarakat di bawah Kaomu’ 3.) Maradika „golongan masyarakat biasa atau yang ketiga setelah Walaka 4.) Bhoka „mata uang adat‟ 5.) Suku „mata uang Belanda yang dipakai dalam adat‟ Bentuk Polimorfemis Afiksasi a. Prefiks dalam adat perkawinan terdiri dari {ka-, fo-, po-, ne-, kafo-} 1.) Kafeena „pertanyaan‟ ka- + feena „bertanya‟ 2.) Feghabu „membuat dapur‟ fe- + ghabu „dapur‟ 3.) Fowise „menghadap‟ fo- + wise „depan/muka‟ 4.) Neala „istri‟ ne- + ala „ambil‟ 5.) Pobhisara „perundingan‟ po- + bhisara „bicara‟ 6.) Sepaku „satu kali‟ se- + paku „kali‟ b. Sufiks dalam adat perkawinan masyarakat Muna {-wi, -i, -ki, -no} 1.) Paniwi „barang,uang pemberian laki-laki pada perempuan‟ pani „sayap‟ + -wi 2.) Tungguno„penjaga‟ tunggu „jaga‟ + -no 3.) pasoki „tentukan‟ paso „paku‟ + -ki 4.) Herei „meminta mahar tambahan here „selalu meminta-minta‟ + -i c. Infiks (sisipan) dalam adat perkawinan masyarakat Muna {-um-} 1.) Mala „suami‟ -um + ala „ambil‟ d. Konfiks (imbuhan gabuangan) dalam adat perkawinan masyarakat Muna {ka-+-ha}, {kao-+-ha}, {po-+-ki}, nomina dengan konfiks {ka-+-no}, {po-+-ghoo}, {so-um-no}, menggunakan pronomina dengan konfiks {ta-um-ni,-emo}, {da-um-ghoo} 1.) Kaforatoha „pemberitahuan‟ kafo- + rato „tiba,datang‟ + -ha 2.) Kaokanuha „bagian dari mahar untuk perempuan‟ kao- + kanu „berkemas‟ + -ha 3.) Polimbaliki „saling menyeberangi‟ po- + limba „keluar‟ + -ki 4.) Pofeleigho po- + felei „lari‟+ -gho = pofeleigho „kawin lari‟ Reduplikasi 1.) Kamba-kamba „bunga‟ yang merupakan reduplikasi idiomatis karena tidak ada hubunganya dengan kamba „ingin,rendam,pohon turi, bengkak‟ 2.) Sara-sara „adat‟ yang merupakan reduplikasi morfoligis yakni pengulangan morfem yang menghasilkan kata. 3.) Puro-puro „perabot,isi rumah, bagian dari mahar‟ merupakan reduplikasi idiomatis karena tidak ada hubungannya dengan puro „garing,hancur, remuk‟ 4.) Gadi-gadi „peraturan dalam adat perkawinan‟ Komposisi/ pemajemukan a. Morfem dasar dengan morfem dasar 1.) Fetegho + rumampe 2.) Ompulu + alo+ wula 3.) Pundu + sepaku 4.) Parapuuno + adhati 5.) Kolingkuhono + mata 6.) Fosuli + katulu b. Morfem dasar dengan morfem terikat 1.) Kafeena 2.) Feghabu 3.) Pofeleighoo 4.) Fowise
5.) Pobhisara Morfem terikat terdiri dari prefiks {ka-, so-, po-, ne-, fe-}, sufiks {-no,-ghoo, -ki, -ha}, infiks {-um-}, dan morfem dasar terdiri dari kata dasar. Kelas Kata Nomina 1.) Puro-puro „isi kabhintingia, isi perlengkapan perempuan‟ 2.) Kanando „kekayaan‟ 3.) Kabhintingia „bingkisan berisi puro-puro‟ 4.) Kampanaha „perlengkapan makan sirih‟ 5.) Kaomu „golongan bangsawan‟ Verba 1.) Kapali „genggam‟ 2.) Polimbaki „saling menyeberang‟ 3.) Felesau „proses berangkatkan laki-laki dan perempuan ke rumah laki-laki‟ 4.) Pofeleighoo „saling bawa lari, kawin lari‟ 5.) Pobhisara „saling berunding‟ Adjektivas 1.) Kaosa „kekuatan‟ 2.) Kanando „kekayaan‟ Numeralia 1.) Ompulu alo wula „sepuluh malam bulan‟ Dalam tuturan adat perkawinan masyarakat Muna terdapat tuturan yang terdiri dari dua kata (frase) yang tidak dapat dipisahkan akan tetapi ada beberapa kata dalam frase tersebut yang memiliki makna tersendiri pula dalam adat perkawinan masyarakat Muna. Hal ini dikarenakan tutura tersebut berupa ungkapan yang memiliki satu kesatuan yang utuh. Adapun frase tersebut adalah sebagai berikut 1. Tungguno karete „penunggunya halaman‟ 2. Lolino ghawi „pengganti gendongan‟ 3. Katembuno fagha „lapuknya paha‟ 4. Matano kenta „matanya ikan‟ 5. Katangkano polangku „penegaknya tangga‟ Makna dan Fungsi Leksikon Adat Perkawinan Masyarakat Muna Makna Leksikon Adat Perkawinan Masyarakat Muna 1.
Kafeena atau bertanya. Dalam adat perkawinan memiliki makna bukan bertanya tetapi memberikan pernyataan dimana pihak laki-laki mengatakan keinginannya mereka untuk mempersunting sang perempuan dengan hati yang ikhlas, tulus, keseriusan yang diakhiri dengan pertanyaan kepada perempuan apakah mau menikah dengan sang lakilaki atau tidak. Kafeena juga mengandung makna yakni sama halnya dengan mewawancarai seseorang saat penerimaan pegawai baru untuk melihat apakah orang tersebut memenuhi persyaratan sebagai pegawai atau tidak. Sebab dalam mengelola sebuah perusahaan sangat dibutuhkan orang-orang yang tekun, rajin dan memiliki tujuan yang sama dalam membangun perusahaan menjadi lebih baik dan lebih berkembang. Selain itu ternyata, dengan bertanya kita dapat memiliki banyak pengetahuan yang belum pernah kita tahu atau belum mengerti sebab di dunia ini banyak orang yang menyembunyikan apa yang ada dalam hati mereka namun meminta untuk dimengerti dan dipahami dan dengan bertanya kita dapat mengetahui dan memahami mereka lebih dalam lagi. Dengan bertanya kita tidak hanya mengetahui buku hanya dari sampulnya tetapi isinya pula begitu pula manusia, dengan bertanya kita
2.
3.
4.
5.
tdak hanya mengetahui orang dari luarnya saja tetapi kita dapat mengetahui hatinya pula. Adhati atau adat memiliki makna sebagai aturan yang terdapat dalam masyarakat yang harus diikuti dan ditaati sebagai bentuk kesepakatan yang berkaitan dengan sopan santun dalam bertindak dan berperilaku. Dalam adat perkawinan leksikon adhati selalu bersanding dengan kata bhalano atau besar sehingga menjadi adhati bhalano atau adat besar. Dalam adat perkawinan, adat besar nama lain dari sara-sara akan tetapi bila kita gunakan itu berarti harus ada adat kecil. Namun makna dari adat besar dalam adat perkawinan adalah inti dari adat itu yang dalam peraturannya telah ditentukan oleh berapa pembayaran yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki oleh dewan sara di bawah wewenang kerajaan . Dan pembayaran tersebut sebagai tanda bahwa perempuan telah dinikahkan secara adat. Kataburi atau menabur. Dalam adat perkawinan memiliki makna sebagai permintaan restu laki-laki kepada orang tua perempuan yang dilamarnya agar mau dinikahkan dengan sang laki-laki. Oleh karena itu, nilai dalam pembayan adatnya dua kali lipat dari nilai pembayaran adat pada kafeena. Selain itu, kataburi juga memiliki makna menabur, maksudnya yaitu memberikan kebahagiaan bukan hanya untuk perempuan yang akan menjadi istrinya kelak tetapi juga memberikan kebahagiaan kepada kedua orang tua perempuan. Ada istilah yang menyatakan seorang laki-laki tidak hanya menikahi seorang perempuan tetapi mengikat kedua orang tua sang perempuan menjadi orang tuanya pula. Seperti menabur benih untuk di tanam, yang kelak hasilnya akan dinikmati bukan hanya oleh sang laki-laki dan perempuan tetapi juga hasilnya dinikmati pula orang orang tua mereka. Kataburi dalam adat perkawinan juga memiliki makna menindis. Dalam proses pertemuan antara laki-laki dan perempuan untuk menghasilkan keturunan, akan ada dimana dalam hal seks. Laki-laki berada di atas perempuan. Kataburi disimbolkan dengan uang di bayarkan agar proses pertemuan antara laki-laki dan perempuan tersebut menjadi sah dimata adat. Paniwi atau sayap dari kata pani yang artinya sayap dan wi yang artinya berkembang atau bunyi. Dalam adat perkawinan memiliki makna sebagai permintaan restu seorangg laki-laki kepada keluarga besar perempuan untuk menjadi bagian dari keluarga mereka. Karena pada hakikatnya, seorang laki-laki tidak hanya menerima seorang perempuan saja untuk menjadi anggota keluarnya sang laki-laki tetapi juga menerima seluruh keluarga besar sang perempuan. Dengan permintaan tersebut sang laki-laki menyatakan diri secara tak langsung, agar sang perempuan juga mau menerima keluarga sang lakilaki seperti laki-laki yang meminta diri untuk diterima dalam keluarganya. Nilai pembayaran adat pada paniwi tidak memiliki batas maksimalnya. Pembayaran pada paniwi minimal setara dengan nilai pada kafeena. Selain itu, mengapa dikatakan sayap, dilihat dari wujud burung itu sendiri sebagai pemiliki sayap. Kepala sebagai suami atau orang yang sangat dituakan pada sebuah keluarga, leher sebagai seorang istri yang akan selalu memopang sang suami, yang membantu suami dalam mengurus rumah tangga. Badan sebagai anak-anak yang membutuhkan sandang dan pangan. Dan sayap adalah keluarga besar, sanak saudara paman, dan bibi. Untuk itulah, seorang laki-laki tidak hanya meminta persetujuan dari orang tua perempuan tetapi juga pada keluarga besar sang perempuan. Kafohatoha atau pemberitahuan/mengantar. Dalam adat perkawinan memiliki makna yakni mengantar kepada laki-laki dan perempuan untuk mengetahui tentang tugas dan kewajiban mereka nanti dalam mengarungi rumah tangga sebagai suami istri. Memberikan nasehat bagaimana menjadi suami dan istri yang baik yang dilakukan oleh oranng tua. Selain itu, kafohatoha memiliki makna lainnya juga yaitu keluarga mendampingi laki-laki dan perempuan saat menuju pelaminan. Maksunya adalah
6.
7.
8.
keluarga saat menyerahkan anak mereka satu sama lain, tidak hanya menyerahkan begitu saja tetapi didampingi terus menerus. Bukan untuk mengurus rumah tangga orang lain tetapi untuk mendampingi mereka bila bahtera rumah tangga yang mereka jalankan menyimpang sedikit makan keluargalah yang menjadi penasehat agar mereka bisa kembali ke jalan berumah tangga yang sebenarnya. Kaokanuha atau perlengkapan. Dalam adat perkawinan memiliki makna sebagai nasehat yang diberikan oleh orang tua kepada perempuan sebagai renungan sang perempuan dalam bersikap dan berperilaku yang baik dan sopan saat menerima kafeena dari pihak laki-laki. Menjadi perempuan yang tahu arti malu. Sehingga saat laki-laki memberikan cincin untuk disematkan ke jari si perempuan, perempuan meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua dan saudara-saudaranya bahwa dia akan di lamar. Perlengkapan yang dimaksud adalah nasehat orang tua pada perempuan sebagai renungannya saat tengah berada di tengah-tengah pertanyaan pihak laki-laki. Bukan hanya perlengkapan fisik yang diberikan mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kaokanuha juga memiliki makna sebagai perlengkapan perjalanan seseorang yang sedang bepergian jauh. Melengkapi diri selengkap mungkin agar di perjalanan tidak mendapat banyak kesulitan mulai dari obat, perlengkapan makan, pakaian, mulai dari dalam sampai luar, perlengkapan mandi dan lain sebagainya bahkan pengetahuan tentang tempat yang akan dituju sebab bila kita sudah melangkah keluar dari rumah, akan banyak orang-orang yang kita akan temui, akan banyak kejadian dan peristiwa yang akan dihadapi mulai yang baik sampai yang buruk sehingga diperlukan perlengkapan mulai dari alat sampai pengetahuan agar segala hal yang terjadi dapat diatasi. Puro-puro atau penyerta kafeena. Dalam adat perkawinan adalah perlengkapan perempuan yang dibawa oleh pihak laki-laki mulai ujung kaki sampai ujung rambut mulai dari pakaian dalam sampai pakaian luar yang disimpan di dalam kabhintingia. Pada masyarakat Muna dahulu, pada puro-puro, disimpan dalam kabhintingia yang tertutup dan tidak boleh terlihat isi yang ada didalamnya dan biasa ditutup dengan menggunakan kain putih yang memiliki makna bahwa puro-puro adalah sesuatu yang sangat rahasia bagi perempuan seperti tubuh perempuan yang masih perawan jadi sangat pantang untuk dilihat atau diperlihatkan pada khalayak ramai atau orang banyak apalagi itu adalah laki-laki. Berbeda dengan puro-puro yang ada sekarang ini. Dimana isi yang terdapat didalamnya di tutup dengan menggunakan plastik bening sehingga isi yang ada didalamnya terlihat dengan jelas. Sama seperti tubuh perempuan masa sekarang ini yang sudah tidak rahasia lagi. sehingga, tidak ada lagi rasa malu pada diri perempuan berbeda dengan perempuan dahulu yang mengenal rasa malu dan malu bahkan bila sang perempuan tertawa mengeluarkan suara. Kabhintingia atau piring dilapisi sapu tangan. Dalam adat perkawinan, kabhintingia merupakan simbol penghargaan dan kerendahan hati keluarga kedua belah pihak. Dimana uang yang dibayarkan pihak laki-laki disimpan di atas piring yang dibungkus dengan sapu tangan untuk menghargai pihak perempuan dan kerendahan hati laki-laki karena masih memiliki rasa malu dan tidak sombong. Uang yang dibayarkan tidak dikeluarkan dari kantung begitu saja dan diberikan dengan tangan sehingga terlihat isi uang sehingga menimbulkan rasa tinggi hati, sombong dan tidak menghargai orang lain.Kabhintingia juga merupakan tempat menyimpan puro-puro yang merupakan kelengkapan anak perempuan mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala yang sangat rahasia sehingga ditutupi dengan kain putih melambangkan kesucihan hati laki-laki yanng tidak ingin merendahkan perempun yang hendak dinikahinya dengan memperlihatkan isi dari kabhintingia.
Fungsi Leksikon Adat Perkawinan Masyarakat Muna Fungsi Leksikon Secara Semantis 1. Menyatakan satuan 1.) Bhoka merupakan ukuran uang logam pada mahar dengan cara digenggam 2.) Suku yang merupakan ukuran uang logam sen pada mahar yang menjadi satuan terkecil dalam bhoka 2. Menyatakan komunitas/kelompok 1.) Kaomu yang merupakan komunitas atau kelompok dengan gelar Ode dalam masyarakat 2.) Walaka merupakan komunitas atau kelompok dengan gelar ulama atau tokoh adat dalam masyarakat 3.) Maradika merupakan komunitas atau kelompok dengan gelar masyarakat atau prajurit 3. Menyatakan kata ganti kata benda/nomina 1.) Sohumendeno pada kata sohumendeno te wise merupakan seseorang yang akan datang ke depan. 2.) Sohumendeghoono pada kata sohumendeghoono adhati memiliki arti sebagai seseorang yang akan datang ke depan. 4. Menyatakan permintaan keterangan 1.) Kafeena memiliki arti sebagai pemberian pertanyaan bagian dari adat perkawinan. 2.) Kalalesa memiliki arti meminta kelonggaran atau meminta izin 5. Menyatakan peraturan/hukum 1.) Sara-sara memiliki makna sebagai peraturan dalam menentukan bhoka dalam perkawinan 2.) Herei memiliki makna sebagai permintaan tambahan mahar pihak perempuan yang tertera dalam hukum adat perkawinan angka mata 6. Menyatakan keterangan tempat 1.) Polimbaki memiliki makna sebagai saling menyeberang suatu tempat 2.) Fetegho rumampe memiliki makna sebagai tempat burung merpati hinggap 7. Menyatakan keterangan waktu 2.) Ompulu alo wula memiliki makna sebagai hitungan waktu bulan 8. Menyatakan alat panca indera 1.) Kabhentano pongke memiliki makna sebagai lubang telinga yang terdapat pada panca indera manusia 2.) Kalingkuhono mata memiliki makna sebagai kerlingan mata pada manusia. 9. Menyatakan menghasilkan sesuatu 1.) Pobhisara memiliki makna sebagai perundiangan dalam memecahkan masalah 10. Menyatakan proses 1.) Felesau memiliki makna sebagai proses penjemputan perempuan ke rumah laki-laki 2.) Fosuli katulu memiliki makna sebagai proses penjemputan laki-laki dan perempuan ke rumah perempuan Fungsi Leksikon Secara Pragmatis Dari leksikon yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Muna, ditemukan beberapa fungsi leksikon secara gramatikal yaitu 1. Prefiks /ka-/ mempunyai fungsi derivatif dengan menyatakan makna gramatikal „yang di....‟ 1.) Kafeena „pertanyaan‟ ka- + feena „bertanya‟ 2.) Kataburi „penindis‟ ka- + taburi „tindis‟
/fo-/ mempunyai fungsi inflektif dengan menyatakan makna gramatikal akusatif (kelas ae-); menjadikan, menyeruh, -kan juga memiliki fungsi detransitif (kelas a); orang, kita (sebagai objek) 1.) Fosuli „mengembalikan‟ katulu fo- + suli „kembali‟ katulu 2.) Fowise „menghadap‟ fo- + wise „depan/muka‟ /ne-/ mempunyai fungsi inflektif dan menyatakan makna seperti makna prefiks me(N)dalam bahasa Indonesia; awalan partisipia pasif „yang di.....‟ 1.) Neala „istri‟ ne- + ala „ambil‟ /kafo-/ mempunyai fungsi secara gramatikal sebagai „alat‟ sebagaimana yang dinyatakan oleh kata dasarnya jika bergabung dengan kata dasar verba atau adjektiva. 1.) Kafoampe „barang/uang yang diberikan kafo- + ampe „ambil,bawa naik‟
2.
/po-/ mempunyai fungsi inflektif dan menyatakan makna gramatikal kausatif „saling‟ 1. ) Pobhisara „perundingan‟ po- + bhisara „bicara‟ 2.) Poala „kawin,‟ po- + ala „ambil‟ Sufiks dalam adat perkawinan masyarakat Muna /-wi/ memiliki fungsi sebagai alomorf akhiran /ki-/ memiliki makna sebagai ateratif yaitu melakukan berulang kali atau pada banyak benda dan juga fungsi inflektif dengan makna yang sama dengan sufiks /-i/ dalam bahasa Indonesia 1.) Paniwi „barang,uang pemberian laki-laki pada perempuan‟ pani „sayap‟ + -wi /-no/ memiliki fungsi secara gramatikal sebagai‟milik yang dinyatakan oleh kata dasarnya‟ selain itu juga berfungsi sebagai „orangn yang melakukan sesuatu‟; juga bermakna sebagai kata ganti porang ketiga (-nya). 1.) Tungguno„penjaga‟ tunggu „jaga‟ + -no 2.) Lolino „pengganti‟ loli „tukar,ganti‟ + -no
3.
4.
/-ki/ mempunyai fungsi inflektif dengan makna yang sama dengan sufiks /-i/ dalam bahasa Indonesia 1.) pasoki „tentukan‟ paso „paku‟ + -ki 2.) Herei here „selalu meminta-minta‟ + -i Infiks (sisipan) dalam adat perkawinan masyarakat Muna /-um-/ mempunyai fungsi inflektif dan menyatakan makna „akan‟ 1.) Mala „suami‟ -um + ala „ambil‟ Konfiks (imbuhan gabuangan) dalam adat perkawinan masyarakat Muna /ka- + -ha/ mempunyai fungsi derivatif dengan makna gramatikal lokatif „tempat‟ 1.) Kaforatoha „pemberitahuan‟ kafo- + rato „tiba,datang‟ + -ha 2.) Kafeabhaha „bagian dari mahar yang mengawali penyampaian mahar laki-laki kepada perempuan‟ ka- + feabha „beri salam,bersalam‟+-ha /kao+ -ha/ memiliki fungsi secara gramatikal „tempat/waktu/alat/sebab/hasil. 1.) Kaokanuha „bagian dari mahar untuk perempuan‟ „berkemas‟ + -ha
yang
bermakna
kao-
+
kanu
/ka- + -no/ mempunyai fungsi gramatikal yang memiliki makna sebagai kata ganti orang/benda/alat 1.) Katembuno „lapuknya‟ ka- + tembu „lapuk‟ + -no 2.) Kalengkano „pembuka‟ ka- + lengka „buka‟ + -no
/po- + -ki/ mempunyai fungsi inflektif dengan makna gramatikal kausatif „saling‟ 1.) Polimbaliki „saling menyeberangi‟ po- + limba „keluar‟ + -ki 2.) Pofeleighoo po- + felei „lari‟+ -gho = pofeleigho „kawin lari‟ Hubungan Bentuk Leksikon dengan Kebudayaan Masyarakat Muna Masyarakat Muna yang mayoritas memiliki pekerjaan sebagai petani, karena memiliki lahan yang luas untuk dibuka sebagai lahan pertanian. Dari hasil penelitian yang berkaitan dengan bentuk leksikon dalam adat perkawinan masyarakat Muna didominasi oleh bentuk nomina dan bentuk verba. Dari bentuk nominanya, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Muna memiliki kebudayaan yang kaya akan makna simbol, dimana setiap benda yang ada dalam adat tidak hanya sembarang benda tetapi memiliki makna yang sangat dalam sehingga dalam adat perkawinan masyarakat Muna terdapat banyak benda yang memiliki makna diluar dari pengetahuan awam kita mengenai benda-benda tersebut. Selain itu, bentuk kedua yang banyak adalah bentuk verba, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Muna adalah penduduk yang mayoritas pekerja, dalam melaksanakan apapun selalu melakukannya bersama-sama, adanya tradsi gotong royong, di mana saat ada perkawinan di sebuah rumah, masyarakat tak perlu menunggu untuk dipanggil untuk membanngun bangsal sebagai tempat diadakannya upacara perkawinan, memasak yang dilakukan saat perkawinan dilakukan dengan suka rela oleh masyarakat, bahkan bagi keluarga, tak perlu menunggu di panggil untuk datang, mereka akan datang dengan membawa berbagai macam bahan-bahan makanan yang akan dipakai pada acara. Seperti telur, beras, ayam, minyak, kayu bakar dan masuh banyak lagi. dan tradisi seperti itu masih tetap hidup sampai sekarang di tengah-tengah masyarakat Muna, baik yang berada di Kabupaten Muna maupun di luar kabupaten Muna. Tradisi tersebut masih tetap ditumbuh kembangkan. Selain itu, terdapat bentuk polimorfemis dan monomorfemis dalam leksikon adat perkawinan masyarakat Muna. Bentuk polimorfemis dalam kebudayaan masyarakat Muna yang merupakan leksikon yang memiliki afiksasi, khususnya dalam perkawinan, menggambarkan bagaimana dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan, antara keluarga dari kedua belah pihak tidak ada yang hanya berpangku tangan melainkan saling bekerja sama dalam menyelenggarakan acara perkawinan tersebut. Kerja sama antara lakilaki dan perempuan dalam membangun bahtera rumah tangga yang tidak hanya dilakukan oleh suami saja atau istri saja. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada bab sebelumnya, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut bentuk leksikon dalam adat perkawinan masyarakat Muna terdiri dari polimorfemis, monomorfemis, dan kelas kata. Pada makna leksikon dalam adat perkawinan masyarakat Muna memiliki makna tertentu baik denotatif, konotatif, maupun simbolik. Pada fungsi leksikon dalam adat perkawinan masyarakat Muna memiliki keberagaman diantaranya fungsi leksikon secara semantis dan fungsi leksikon secara pragmatis DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 1985. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta:PT. Bina Aksara. Aziz, A. Qodri. 2003. Melawan Globalisasi (Reinterpretasi Ajaran Islam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Burhan, Bungin. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu sosial lainnya. Jakarta: Prenada Media Group. Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Culler, Jonathan. 1996. Saursure, Penerjemahan Rodyah dan Siti Suhayati. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Penyumbangan Bahasa. Depdikbud. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik 2, Pemahaman Ilmu Makna. Bnadung: PT. Refika Aditama.
Duranti, Alessandro. Ed. 2001. Linguistic Anthropology. Massachessets: Blackwell. Duranti, Alessandro 1997. Linguistic Anthropology: A Reader. Massachessets: Blackwell. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo. Foley, W.A. 1997. Anthropology Linguisrics :An Introduction: Oxford: Blackwell. Halim, Amran (Ed.). 1984. Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Balai Pustaka. Ibrahim, Abdul Syukur. 1985. Linguistik Komparatif. Surabaya-Indonesia: Usaha Nasional. Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Historis Bandingan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Kebudayaan (Landung Simatupang, Pentj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Aksara Baru. Kridalaksana, Harimurti. 2001.Kamus Linguistik Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimukti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Lyons, John. 1995. Linguistic Semantics : An Introduction. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Marafad, La Ode Sidu dan Rene van den Berg. 2000. Kamus Muna-Indonesia. Kupang: Artha Wacana Press Mbete, Aron Meko. 2008. Selayang pandang tentang Ekolinguistik Prospektif Kelinguistikan yang Prospektif. Bahan untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan dalam Martikulasi Program Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2008. Palmer, Gary B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press. Pampe, Pius. 2004. Pemberdayaan Bahasa Lokal Dalam Kegiatan Keagamaan. Kupang:Gita Kasih. Pateda, Mansoer (Ed). 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Prasetyo, Aji. 2010. Afiks Pembentuk Nomia dalam Bahasa Muna Dialek Mawasangka. Kendari : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riana, I Ketut. 2003. ”Banis Gowak dan Omang di Selulung, Kintamani, Bangli: Studi Semiotik Sosial”, dalam Mudra: jumal Seni dan Budaya, Vo. 11, No. Denpasar: UPT Penerbitan STSI. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfebeta. Triguna, IBG Yudha. 2000. Arti dan Fungsi Karya Agung Eka Bhuwana di Pura Besakih. Denpasar: Peradah Indonesia Propinsi Bali. Sari, Darwan. 2011. Revitalisasi Tradisi Lisan Katola Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara Pada Era Globalisasi. Tesis: Universitas Udayana. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta. Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik atau Linguitik Antropologi. Medan: Penerbit Poda. Sibarani, Robert. 1997. Leksikografi. Medan: Penerbit Universitas Sumatera Utara. Sobur, Alex. 2003. Semotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Cultures through Their Key Words: English, Russian, Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press. Wierzbicka, Anna. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. New York: Oxford University Press. Yudi Cahyono, Bambang. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga