KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT HINDU BALI (STUDI PADA MASYARAKAT TRANSMIGRAN BALI DI DESA AIR TALAS KECAMATAN RAMBANG DANGKU KABUPATEN MUARA ENIM) ABDUL YANI SURYADI1
ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat Hindu Bali (Studi Pada Masyarakat Transmigran Bali di Desa Air Talas Kecamatan Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim)”. Permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah bagaimana kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindu Bali di Desa Air Talas Kecamatan Rambang Dangku. Sehingga yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memahami kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindu Bali di Desa Air Talas Kecamatan Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim; hubungan mereka dengan sesama warga Hindu dan hubungan mereka dengan kelompok-kelompok lain yang ada di Desa Air Talas. Dalam konteks memahami bentuk dan cara hidup dari sisi keagamaan masyarakat Hindu Bali di wilayah transmigran (penerapan berbagai aktivitas keagamaan), atau secara umum masyarakat Hindu Bali yang berada di luar lingkungan sosial, budaya, ekonomi dan kondisi alam asli mereka berasal (Bali). Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriftif dengan unit analisis masyarakat transmigran Hindu Bali di Desa Air Talas. Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus yakni studi kasus intrinsik. Pemilihan Informan dengan menggunakan teknik “purposive and snowball”. Pengumpulan data diperoleh dari wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi dengan teknik analisis data interaktif model (Reduksi data, Penyajian data dan Penarikan kesimpulan). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindu Bali yang ada di Desa Air Talas tersebut tetap kental dengan nuansa keagamaan Hindu Bali yang sesuai dengan adat, budaya dan agama yang mereka bawa dalam konteks memegang konsep Desa Kala Patra dalam kesatuan Desa Adat Air Talas. Pelaksanaan berbagai aktivitas keagamaan dengan menyesuaikan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan keadaan alam (geografis) masyarakat Hindu Bali berada. Hubungan sosial yang dinamis di dalam masyarakat terbentuk dengan tanpa mengabaikan rasa toleransi baik antar sesama pemeluk agama Hindu dan atau antar umat beragama lainnya di dalam masyarakat. Kata kunci : Kehidupan Sosial Keagamaan; Masyarakat; adat, budaya dan agama Hindu Bali. 1
Mahasiswa Program Sarjana S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya ( Masa Studi: 2009-2013 ), e-mail :
[email protected]/+6281996488829.
1. Pendahuluan Indonesia adalah negara kepulauan sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara multikultural yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Dapat kita lihat dalam studi Hildred Geertz yang menyebutkan adanya lebih dari 300 suku bangsa atau hal yang berbeda dari studi Skinner yang menyebutkan adanya lebih dari 35 suku bangsa di Indonesia 2. Tiap-tiap suku bangsa memiliki identitas berupa simbol-simbol untuk menunjukkan jati diri mereka. Perbedaan dari keberagaman suku bangsa ini terlihat dari perbedaan ras, bahasa, agama, kepercayaan, adat istiadat (custom), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores) serta perbedaan bentuk kehidupan sosial-budaya lainnya. Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia adalah suku Bali. Masyarakat Bali memiliki corak sosial-budaya yang sangat kental dari segi keagamaan, yang mana sebagian besar masyarakat Bali menganut agama Hindu dan diikuti penganut agama lainnya, seperti agama Islam, Kristen dan Katolik dalam persentase yang kecil. 3 Corak keagamaan yang kental ini terlihat dari ritualritual keagamaan dan berbagai upacara sakral lainnya yang menggunakan simbolsimbol khusus umat Hindu, penggunaan berbagai jenis, bentuk dan ukuran upakara (bebanten) dalam pelaksanaan berbagai upacara keagamaan seperti perlengkapan upacara keagamaan yang berupa Janur, Canang Sari, Daksina, Dupa, Air, Bunga, Buah-buahan, Pakaian khusus yang mereka gunakan pada saat pelaksanaan upacara dan berbagai upakara lainnya. Kehidupan keagamaan masyarakat Bali yang beragama Hindu percaya akan adanya satu tuhan, dalam bentuk konsep Trimurti, Yang Esa, Trimurti ini mempunyai tiga wujud atau manifestasi, ialah wujud Brahmana, yang menciptakan, wujud Wisnu, yang melindungi serta memelihara, dan wujud Siwa, yang melebur segala yang ada (Pralina). Dari segi kepercayaan, masyarakat Bali juga mempercayai berbagai dewa yang lebih rendah dari trimurti, ruh-ruh (konsepsi ruh abadi (atman), buah dari setiap perbuatan (karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (punarbawa) serta kebebasan jiwa dari lingkaran kembali (moksa). 4 Bentuk ritual keagamaan masyarakat Hindu Bali berupa upacara-upacara ataupun ritual-ritual tertentu. Dalam upacara keagamaan yang bersifat besar, upacara tersebut dipimpin oleh seorang pendeta (sulinggih)5. Para pendeta ini memiliki sebutan-sebutan khusus tergantung dari klen mereka masing-masing. Pada tradisi keagamaan masyarakat Hindu Bali juga dipengaruhi oleh pandangan tradisi-tradisi yang dipahami oleh masing-masing klen atau garis keturunan dan 2 3
Dalam Nasikun, cet. 10, 2000, Sistem Sosial Indonesia, halaman 36. Oleh I Gusti Ngurah Bagus, Kebudayaan Bali dalam Koentjraningrat, 2010, halaman
301. 4
Baca Koentjaraningrat, 2010, halaman 301, (Kebudayaan Bali oleh I Gusti Ngurah
Bagus). 5
Sulingih adalah orang-orang yang bertugas melaksanakan upacara-upacara besar keagamaan dan mereka adalah orang-orang yang dilantik menjadi pendeta. (Koentjaraningrat, 2010: 303). Untuk menjadi Sulingih dilakukanlah upacara padiksan (madiksa) yaitu upacara penyucian diri untuk tujuan keagamaan menjadi seorang pendeta. Seorang Sulinggih adalah seorang walaka yang sudah di dwijati.
dengan konsep desa kala patra desa adat setempat. Secara keseluruhan dalam hal upacara keagamaan, masyarakat Hindu Bali berlandaskan pada lima macam upacara suci atau Panca Yadnya6. Kehidupan sosial masyarakat Hindu Bali lebih dikenal dengan nilai-nilai kebersamaan dan toleransi antar umat beragama. Kerukunan antar umat beragama tercermin dari pola interaksi antar masyarakat yang tanpa memandang latar belakang agama yang dianutnya, dan dalam kehidupan sosial masyarakat Bali memiliki falsafah yang dikenal dengan sebutan “Tat twam asih”, yang diartikan sebagai saya adalah kamu dan kamu adalah saya. Dengan falsafah tersebut, masyarakat Hindu Bali dimana pun berada memiliki rasa kesatuan yang kuat serta rasa kebersamaan untuk saling merasakan dan saling membantu antara sesama makhluk karena pada prinsipnya kita semua saudara. Sistem sosial masyarakat Bali dibedakan antara masing-masing desa adat atau lebih dikenal dengan sebutan Desa Pakraman. Mengenai desa pakraman ini telah diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001. Dalam Perda tersebut dijelaskan bahwa Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga sendiri. Dalam sistem sosial masyarakat Bali tersebut, masyarakat Hindu Bali memiliki berbagai perbedaan dalam hal pelaksanaan aktivitas keagamaan mereka sehari-hari tergantung dari desa adat mereka masing-masing, namun tetap sesuai kitab suci yang mereka pegang dengan tiga kerangka dasar yakni tatwa (filsafat), susila (ethika) dan upacara (rituil). Suku Bali sudah tersebar di beberapa wilayah di Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman dan mobilitas penduduk yang telah dipengaruhi oleh modernisasi (ilmu pengetahuan dan teknologi). Selain itu, persebaran masyarakat Bali dikarenakan adanya program transmigrasi dari pemerintah. Salah satu wilayah khusus transmigrasi yang ada di Sumatera Selatan adalah Desa Air Talas Kecamatan Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim. Desa Air Talas secara administrasi terletak di Kecamatan Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim, tepatnya sekitar 2 Km dari Simpang Indira (Desa Limau Barat atau setelah Desa Lubuk Raman), jalan lintas PrabumulihMuara Enim. Desa transmigran ini terbentuk sekitar tahun 1987 pada masa pemerintahan Indonesia dipegang oleh Presiden Soeharto. Program transmigrasi ini merupakan salah satu program pemerintah dalam upaya pemerataan jumlah atau persebaran penduduk dan untuk melakukan pembukaan lapangan kerja demi kesejahteraan masyarakat. Para transmigran yang masuk ke Desa Air Talas adalah transmigran yang berasal dari Bali. Warga transmigran Bali ini mayoritas beragama Hindu dan ada beberapa persen penganut agama Islam. Namun seiring dengan perkembangan, warga yang mendiami Desa Air Talas tidak hanya berasal dari Bali saja namun ada yang berasal dari daerah lain seperti Jawa, Sunda, Batak, 6
Baca Koentjaraningrat, 2010, halaman 303, (kebudayaan Bali oleh I Gusti Ngurah Bagus). Bahasan ini juga disadur dari beberapa artikel yang diperoleh dari internet.
dan Rambang. Selain dari perbedaan agama dan etnis yang membentuk masyarakat Desa Air Talas, masyarakat transmigran Hindu Bali ini juga dibedakan atas perbedaan desa adat tempat mereka berasal. Pada awal masuknya transmigran Hindu Bali di desa tersebut ada sekitar 70% umat Hindu berasal dari Desa Les, Singaraja dan sekitar 30% umat Hindu ini berasal dari Desa Tembok, Singaraja. Dalam perkembangannya hingga saat ini, warga Hindu Bali yang ada di Desa Air Talas selain berasal dari Desa Tembok dan Desa Les, mereka ada yang berasal dari Nagari, Karang Asem Denpasar dan dari Kabupaten Buleleng lainnya. 7 Berdasarkan Data Profil Desa Air Talas tahun 2010, jumlah penduduk Desa Air Talas berjumlah 1019 jiwa, laki-laki berjumlah 555 jiwa sedangkan perempuan 464 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 256 KK. Komposisi masyarakat Desa Air Talas berdasarkan agama, mayoritas penduduk desa menganut ajaran agama Hindu (Hindu Bali) dan ada agama lainnya, seperti Islam dan Kristen. Dimana jumlah yang menganut ajaran agama Hindu adalah sebanyak 706 orang/jiwa atau sebesar 69,28 %, penganut agama Islam sebanyak 308 orang/jiwa atau sebesar 30,22 %, sedangkan penganut agama Kristen sebanyak 5 orang/jiwa atau sebesar 0,49 %. Hal itu dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 1.0 : Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama No Agama Pemeluk (orang) 1 Islam 308 2 Kristen 5 3 Katolik 4 Hindu 706 5 Budha Jumlah 1.019 Sumber: Data Profil Desa Air Talas tahun 2010 Sedangkan komposisi penduduk desa berdasarkan etnis, masyarakat Desa Air Talas terdiri dari etnis Bali (mayoritas), Jawa, Sunda, Batak, dan Rambang. Keberagaman etnis yang ada di desa ini dikarenakan selain dari para transmigran Bali yang memang khusus, ada juga warga pendatang dari etnis Jawa dan Sunda yang merupakan warga pendatang yang berasal dari daerah Lampung. Selain itu, adanya etnis Rambang di desa ini adalah mereka yang berasal dari daerah sekitar, baik dari Desa Lubuk Raman ataupun Jemenang (dalam kawasan Kecamatan Rambang Dangku). Komposisi penduduk berdasarkan perbedaan etnis yang ada di Desa Air Talas tersebut dapat dilihat di dalam tabel yang dilampirkan di bawah ini:
7
Hasil observasi awal dan wawancara dengan Sekretaris Desa Air Talas Bapak Gede Krismawan pada tanggal 15 November 2012.
No 1 2 3 4 5
Tabel 1.1 : Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis Etnis Jumlah (orang) Bali 922 Jawa 24 Sunda 8 Batak 5 Rambang 60 Jumlah 1.019 Sumber: Data Profil Desa Air Talas tahun 2010
Masyarakat Desa Air Talas yang berasal dari Bali dan sebagai warga yang mayoritas, membawa sistem sosial-budaya dari daerah asal mereka dan masih sangat kental sekali menampakkan identitas mereka sebagai warga Hindu Bali. Identitas yang sangat tampak sekali terlihat dari bangunan fisik desa, bentuk rumah dan tempat peribadatan (Pura) mereka, pemakaian nama wangsa sesuai dengan klen mereka masing-masing, serta penggunaan Basa Bali dalam pergaulan antara sesama mereka di kehidupan sehari-hari. Dengan identitas kehidupan sosial-budaya masyarakat yang kental dengan nuansa Hindu Bali dan sebagai masyarakat transmigran yang mayoritas tersebut menjadikan Desa Air Talas ini lebih dikenal dengan sebutan Trans Bali8. Kehidupan keagamaan masyarakat Hindu yang kental juga terlihat dari Sanggah kemulan ataupun Padmasana yang ada di tiap-tiap rumah penduduk desa yang beragama Hindu. Tempat sembahyang ini biasanya di letakkan sesaji (banten: canang sari, daksina dll) tertentu sebagai bentuk pemujaan kepada Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa dalam pemahaman umat Hindu. Selain itu, tercermin juga dalam kegiatan keagamaan masyarakat yang beragama Hindu berupa ritual atau upacara tertentu yang menggunakan simbol-simbol khusus. Kegiatan keagamaan diantaranya Sembahyang yang dilakukan 3 (tiga) kali sehari untuk masing-masing pemeluk yang dilaksanakan di sanggah yang ada di rumah masing-masing, sedangkan untuk Sembahyang bersama misalnya dilakukan setiap Bulan Purnama dan Bulan Tilem yang dilaksanakan di Pura Desa. Perayaan hari raya berupa Hari Raya Nyepi dan Galungan (dilaksanakan 2 (dua) kali dalam setahun) serta berbagai pelaksanaan ritual dan upacara lainnya. Perlengkapan yang digunakan dalam pelaksanaan upacara atau sembahyang secara umum dilengkapi dengan Dupa, Canang sari (dengan isinya), daksina, Air, serta Pakaian Khusus lainnya. Pakaian yang digunakan pada saat pelaksanaan ritual berupa Pakaian Adat yakni Baju Safari (putih) dan Udeng (bagian atas) serta Kamben dan Saput (biasanya warna kuning) untuk bagian bawah. 9
8
Trans Bali adalah nama lain dari desa Air Talas, kebanyakan dari warga (masyarakat luar) menyebutkan sebutan itu. Dan banyak juga masyarakat daerah lain yang tidak mengetahui nama desa yang sebenarnya. Masyarakat lebih akrab menyebut nama desa Air Talas dengan nama Trans Bali. 9 Hasil wawancara dengan Sekretaris Desa Air Talas, Bapak Gede Krismawan pada tanggal 27 Januari 2013.
Melihat hal tersebut peneliti tertarik untuk memahami lebih dalam tentang kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindu Bali di Desa Air Talas. Bagaimana bentuk dan cara hidup keagamaan mereka (masyarakat Hindu Bali dalam konteks sebagai transmigran atau secara umum mereka yang berada di luar lingkungan sosial mereka berasal), dalam hal penerapan berbagai pelaksanaan upacara keagamaan yang sesuai dengan adat, budaya dan agama Hindu Bali di wilayah transmigran yang memiliki ciri sebagai masyarakat majemuk, hubungan antar sesama Hindu dalam konteks perbedaan desa adat yang mereka miliki dan hubungan mereka dengan kelompok-kelompok lain di dalam masyarakat. Serta bagaimana keteraturan sebuah sistem itu dapat tercipta dalam masyarakat Hindu Bali yang berada di luar Bali. 2. Kerangka pemikiran Kehidupan sosial terdiri dari berbagai proses-proses sosial10 masyarakat. Bentuk dasar dari proses sosial adalah interaksi sosial. Dimana Gillin dan Gillin mengartikan interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompokkelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok. 11 Hubungan-hubungan yang terjadi dalam interaksi sosial tersebut memiliki sifat saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Dimana di satu pihak/individu mempengaruhi pihak/individu yang lain, serta di sisi lain pihak/individu tersebut juga dipengaruhi oleh pihak lain. Dan syarat terjadinya interaksi sosial dikarenakan adanya kontak dan komunikasi. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa manusia hidup membutuhkan orang lain untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupannya. Interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia menghasilkan berbagai tindakan individu yang pada akhirnya membentuk tindakan sosial. Tindakan sosial tersebut merupakan interpretasi individu terhadap makna dari tindakan individu lain dari lawan interaksinya. Kehidupan sosial masyarakat akan terus berjalan selama interaksi antar individu-individu dalam masyarakat masih tetap berjalan. Meskipun arah hasil dari proses interaksi sosial tersebut berbeda, yang mana dapat mengarah assosiatif dan dissosiatif. Interaksi sosial yang merupakan hubungan-hubungan yang terjalin dikarenakan pada kodratnya manusia atau seorang individu membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Di dalam berinteraksi, masing-masing individu menghadirkan perilaku atau aktivitas-aktivitas individu dalam bentuk tindakantindakan. Di dalam psikologi sosial, perilaku atau aktivitas-aktivitas individu dalam pengertian yang luas diartikan sebagai perilaku yang nampak (overt behavior) dan atau perilaku yang tidak menampak (innert behavior). Perilaku 10
Soerjono Soekanto mengartikan Proses-proses sosial sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila para individu dan kelompok-kelompok saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Atau dengan kata lain, proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama. 11 Soerjono Soekanto, Sosiologi - Suatu Pengantar, Ed Baru, Cet. 34, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, halaman 61.
yang hadir dari diri individu merupakan akibat dari stimulus yang diterima orang individu yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. 12 Dalam interaksi sosial, ada beberapa faktor yang mendasari perilaku individu dalam berinteraksi. Faktor-faktor tersebut antara lain :13 1). Faktor Imitasi, diartikan sebagai dorongan untuk meniru orang lain; 2). Faktor Sugesti, adanya pengaruh psikis, baik yang datang dari diri sendiri, maupun yang datang dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari individu yang bersangkutan; 3). Faktor Identifikasi, merupakan dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain; 4). Faktor Simpati, adalah perasaan (emosi) rasa tertarik kepada orang lain. Hubungan timbal balik yang terjadi diantara orang-perorangan, perorangan dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok ini terdiri dari beberapa bentuk. Bentuk hubungan timbal balik (Interaksi sosial) ini diantaranya:14 1). Kerja sama (cooperation). 2). Persaingan (competition). 3). Akomodasi atau penyesuaian diri (accomodation). 4). Pertentangan atau pertikaian (conflict). Bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat tersebut merupakan hasil dari berbagai tindakan/perilaku individu dalam hubungannya di masyarakat. Bentuk interaksi sosial tersebut dapat dimulai dari manapun, bahkan interaksi sosial yang bersifat konflik. Masyarakat di setiap tempat memiliki karakteristik masing-masing sesuai dengan identitas, tatanan nilai dan norma yang dipegang masyarakat tersebut. Seperti pengertian masyarakat yang dijelaskan oleh Ahmadi15, masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya. Masyarakat diartikan sebagai kumpulan individu-individu yang saling berinteraksi memberikan makna dan memahami makna terhadap lawannya di dalam kehidupan sosial. Interpretasi makna yang dihasilkan oleh tiap-tiap individu akan menghasilkan tindakan sosial dalam hubungan sosial di masyarakat. Masyarakat senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman (pengetahuan dan teknologi). Dimana perkembangan zaman tersebut mempengaruhi pola interaksi sosial, baik interaksi antar masyarakat lokal ataupun masyarakat global. Interaksi sosial yang terjalin akan menghadirkan kehidupan sosial yang kompleks dalam bentuk hubunganhubungan sosial diantara semua anggota masyarakat. Hubungan antar individu yang terjalin dalam masyarakat membutuhkan tatanan nilai dan norma yang disepakati bersama agar tercapai keutuhan tujuan kehidupan bermasyarakat. Pola hubungan sosial yang terjadi di dalam masyarakat terbentuk dipengaruhi oleh sikap mental warga/individu dari tiap-tiap masyarakat. Sikap 12
Bimo Walgito, Psikologi Sosial – Suatu Pengantar, Yogyakarta: ANDI, 2003, halaman
15. 13
Baca selengkapnya dalam Bimo Walgito, 2003, Psikologi Sosial - Suatu Pengantar. Yogyakarta: ANDI, halaman 66-74. 14 Basrowi, Pengantar Sosiologi, 2005, halaman 145-153. 15 Abu Ahmadi, 2009, halaman 97.
mental kehidupan manusia (Human Social Life) dalam hubungan sosial di masyarakat, sikap mental individu tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti yang dijelaskan oleh Nasution, diantaranya : 1). Keturunan atau faktor warisan biologis (natural Heritage, heredity); 2). Kebudayaan atau faktor warisan sosial (social heritage, culture, kultur); 3). Lingkungan alam atau faktor geografis; 4). Faktor Kelompok Masyarakat/social group.16 Dan pada umumnya tatanan nilai dan norma akan cenderung disepakati dan ditaati pada masyarakat yang homogen atau masyarakat pedesaan yang masih kuat memegang prinsip kebersamaan dan persaudaraan. Seperti yang dijelaskan oleh Nasution mengenai kehidupan masyarakat yang homogen (gemeinschaft). “kehidupan senantiasa rukun, saling mengerti dan saling bantumembantu diantara anggota-anggotanya. Mempertahankan kelompok dan nilai-nilainya adalah lebih penting dari pada individu. Masyarakatlah yang utama sedang perseorangan harus tunduk kepadanya. Kepentingan pribadi harus dibawahkan atas kepentingan masyarakat. Disini perhubungan didasarkan atas ikatan-ikatan sosial yang kuat dan tak rasionil.”17 Di dalam masyarakat pedesaan, kehidupan sosial akan cenderung berjalan dengan serasi karena internalisasi nilai pada setiap individu di masyarakat masih kuat. Internalisasi nilai tersebut dipengaruhi oleh sistem nilai yang sama dalam masyarakat yang homogen. Sistem nilai yang sama dalam masyarakat yang homogen akan semakin memperkuat integritas masyarakat tersebut. Keberhasilan suatu kehidupan sosial dalam masyarakat dilihat dari sejauh mana setiap individu dalam masyarakat menaati nilai dan norma yang berlaku. Pemaknaan nilai dalam masyarakat adalah sebagai suatu yang menjadi pegangan oleh tiap-tiap individu dalam masyarakat tersebut. Pengertian nilai itu sendiri adalah sebagai pedoman dalam masyarakat, seperti yang dijelaskan oleh Ahmadi, nilai merupakan pedoman umum yang digunakan dalam memilih antara berbagai kemungkinan pilihan. Nilai juga digunakan untuk menentukan tindakan atau usaha serta baik-buruknya sesuatu yang ingin dilakukan. Nilai biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan kepercayaan tertentu yang membenarkannya18. Masyarakat sebagai sistem sosial terdiri dari beberapa sub-sub sistem yang saling mengikat, sub-sub sistem itu dapat berupa struktur sosial ataupun berupa pranata sosial/institusi sosial. Salah satu pranata sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi interaksi antar warganya adalah pranata agama. Sama halnya dengan pranata-pranata lainnya dalam masyarakat, pranata agama juga memiliki struktur, nilai dan norma yang mengikat anggota-anggotanya. Agama dipandang sebagai suatu yang memiliki kekuatan sakral (gaib) dan memiliki sanksi dari setiap pelanggaran yang dilakukan ataupun memiliki ganjaran (pahala) bagi setiap kebaikan yang dilakukan. Sebagaimana pengertian agama yang dijelaskan oleh Hendropuspito, agama ialah suatu jenis sistem sosial 16
Adham Nasution,1979, hal 19. Adham Nasution, 1979, hal 57. 18 Abu Ahmadi, 2009. 17
yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai kemaslahatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya 19. Atau pengertian agama yang diartikan oleh Robertson, agama dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci 20. Secara umum, agama dalam masyarakat memiliki fungsi vertikal dan fungsi horizontal. Fungsi vertikal adalah mengenai hubungan manusia dengan sesuatu yang di yakini memiliki kekuatan supranatural, tentang tata cara persembahan dan nilai-nilai kesucian lainnya. Sedangkan, fungsi horizontal adalah mengenai hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosial. Hendropuspito, membagi fungsi agama bagi manusia dan masyarakat menjadi lima, antara lain: 21 1. Fungsi edukatif 2. Fungsi penyelamatan 3. Fungsi pengawasan sosial (social control) 4. Fungsi memupuk persaudaraan 5. Fungsi transformatif Agama dalam kehidupan sosial memberikan kontribusi yang besar agar terjalinnya interaksi sosial yang harmonis menuju terciptanya masyarakat yang berintegrasi. Dalam hal ini, agama berarti sebagai suatu pegangan bersama yang memberikan batasan-batasan dalam hal tertentu di setiap hubungan antar sesama pemeluknya. Istilah “agama” berasal dari bahasa Latin religio. Pada masa pra-Kristen, Cicero menjelaskan etimologi istilah ini yang terkait dengan kata relegere, yang berarti “melacak kembali” atau “membaca ulang”. Dengan demikian, religio mencakup upaya melacak kembali adat ritual nenek moyang suatu kaum. Konsep religio berasal dari bangsa Romawi pagan yang menyamakan religio dengan traditio. Religio mempresentasikan ajaran-ajaran nenek moyang dan pada dasarnya tidak boleh dipertanyakan. Utamanya, religio menampilkan praktikpraktik ritual kuno dan memberi penghormatan kepada dewa-dewa.22 Pemaknaan agama atau religio dalam setiap masyarakat akan memiliki banyak sekali perbedaan. Makna agama dapat berarti agama budaya dan dapat juga berarti agama Samawi (agama wahyu). Agama diartikan sebagai agama budaya atau tradisi, dilihat dari praktik-praktik ritual keagamaan dalam masyarakat yang berdasarkan atau dihasilkan dari keturunan atau warisan nenek moyang mereka, seperti dalam agama Hindu yang berasal dari masyarakat India. Hindu diartikan sebagai agama dan disisi lain juga diartikan sebagai budaya. Istilah “Hindu”, bahkan ketika digunakan oleh orang-orang Indian asli, tidak memiliki konotasi religius secara khusus.23 19
D Hendropuspito, 1984, halaman 34. Roland Robertson, 1993, halaman v-vi. 21 Baca selengkapnya dalam D Hendropuspito, 1984, halaman 38-57. 22 Lihat Richard King, 2001, halaman 68. 23 Lihat Richard King, 2001, halaman 196. 20
Keagamaan adalah segala aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan agama, ritual keagamaan, penghormatan dan tata cara keagamaan lainnya yang memilki nilai sakral dan magis. Dari sudut kebahasaan, bahasa Indonesia “agama” dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang artinya “tidak kacau”. Agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “Kacau”24. Dalam beragama manusia mengharapkan suatu ketenangan dan keteraturan dari ketidaknyamanan yang ia rasakan sebelumnya. Agama sebagai tempat bersandar, tempat mengadukan harapan-harapan dan lainnya. Dengan beragama seseorang akan mendapatkan suatu bimbingan untuk menuju kearah yang diharapkan. Dalam konsep agama ada yang dikenal dengan Spiritualisme,25 dan Spiritualisme tersebut terbagi menjadi dua, antara lain : a. Agama Ketuhanan (theistic religion), yaitu agama yang para penganutnya penyembah tuhan (theos), terbagi atas Monoteisme dan Politeisme. b. Agama Penyembah Roh, yaitu kepercayaan orang primitif kepada roh nenek moyang atau roh para pahlawan yang telah meninggal. Terbagi atas Animisme dan Dinamisme. Masyarakat Hindu Bali di Desa Air Talas hadir sebagai masyarakat transmigran dengan membawa perbedaan desa adat antar sesama warga Hindu Bali. Masyarakat ini membawa identitas ke dalam lingkungan eksternal mereka yang masih sangat kental sekali dengan nuansa sosial-budaya Hindu Bali. Pelaksanaan berbagai kegiatan keagamaan, kultul secara fisik dilihat dari bentuk rumah, tempat peribadatan serta penggunaan Basa Bali sebagai bahasa pergaulan sehari-hari antar sesama warga Bali di dalam masyarakat. Dengan sosial budaya masyarakat Hindu Bali yang sedemikian rupa, masyarakat ini tergabung dalam masyarakat yang pluralitas dalam hal keagamaan dan etnis menghadirkan berbagai proses sosial keagamaan dalam masyarakat. Masyarakat Hindu Bali sebagai sebuah sistem yang menggabungkan masyarakat dalam hal kesamaan sosial budaya daerah asal mereka di wilayah lingkungan sosial budaya yang berbeda dengan identitas mereka, namun mereka tetap eksis dengan identitas yang mereka miliki dari daerah asal mereka yang menghadirkan kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindu Bali di wilayah transmigran. Masyarakat yang terdiri dari berbagai individu yang membentuknya, saling melakukan interaksi antara individu satu dengan individu yang lainnya demi berjalannya suatu kehidupan sosial, karena manusia adalah makhluk sosial. Individu yang saling berinteraksi tersebut memiliki pengetahuan dan membawa kesadaran dalam setiap interaksi yang mereka lakukan. Dalam Teori Fenomenologi – Alfred Schutz26, Individu dalam masyarakat hadir dengan kesadarannya membangun makna dari hasil interaksi dengan individu lainnya. 24
Dalam Dadang Kahmad, 2006, halaman 13. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Cet. 4. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, halaman 36 - 40. 26 Dikutip dalam Farid Hamid, modul 13 – Teori teori Komunikasi (Interpretatif dan analisis), Pusat Pengembangan Bahan Ajar UMB, di akses pada tanggal 03 Juli 2013, pukul 14.08 wib. 25
Dalam teori ini, ketika orang bertindak dalam kehidupan sehari-harinya, mereka membuat tiga asumsi dasar, yaitu : Pertama, mereka berasumsi bahwa realitas dan struktur kehidupan adalah konstan yaitu bahwa kehidupan akan tampak seperti semula; Kedua, mereka beranggapan bahwa pengalaman mereka terhadap kehidupan adalah valid. Sehingga, orang menganggap bahwa persepsi mereka terhadap peristiwa adalah akurat; Ketiga, Orang melihat dirinya sendiri memiliki kekuatan untuk bertindak dalam mencapai sesuatu, dan memengaruhi kehidupan. Teori Fenomenologi ini memiliki empat unsur pokok, yakni : Pertama, perhatian terhadap aktor dengan memahami makna tindakan aktor yang ditujukan kepada dirinya sendiri; Kedua, fenomenologi memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau pokok dan kepada sikap yang wajar atau alamiah (natural attitude). Teori ini jelas bukan bermaksud fakta sosial secara langsung. Tetapi proses terbentuknya fakta sosial itulah yang menjadi pusat perhatiannya. Artinya bagaimana individu ikut serta dalam proses pembentukan dan pemeliharaan fakta-fakta sosial yang memaksa mereka itu; Ketiga, teori ini memusatkan perhatian kepada masalah makro. Maksudnya mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam hubungannya dengan situasi tertentu; Keempat, teori ini memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan. Berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan sehari-hari. Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia dan yang memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya. Schutz juga menjelaskan bahwa dalam konteks ruang, waktu dan historis individu memiliki dan menerapkan pengetahuan (Stock of knowledge) yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, keinginan, prasangka dan aturan yang dipelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan siap pakai yang telah tersedia. Menurutnya, pengetahuan tersebut terdiri atas : a. Pengetahuan pertama yang bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. b. Pengkhasan (typication) yang telah terbentuk dan dianut semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya dan akal sehat. Selain itu, menyangkut motif ketika individu berinteraksi dengan individu lain, motif itu terbagi menjadi dua, yakni : a. Motif untuk (in order to motives) merupakan tujuan yang digambarkan sebagai maksud, rencana, harapan, minat dan sebagainya yang berorientasi masa depan; b. Motif karena (because motives) : merujuk pada pengalaman masa lalu individu (aktor) karena itu berorientasi masa lalu.
BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN27 Masyarakat Hindu Bali Masyarakat Desa Air Talas dengan pluralitas agama dan etnis
Masyarakat transmigran di Desa Air Talas: memiliki perbedaan desa adat tempat mereka berasal Proses-proses Sosial Keagamaan dalam masyarakat
Sosial Keagamaan Hindu Bali yang kental
Kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindu Bali di Desa Air Talas: hubungan antar sesama Hindu dan hubungan dengan kelompok lain di dalam masyarakat Teori Fenomenologi Alfred Schutz
Individu-individu dalam masyarakat berinteraksi dengan Pengetahuan dan Kesadarannya
Motif untuk (in order to motives) Motif karena (because motives)
Bagan 1.0 : Kerangka Pemikiran
3. Metode penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang bersifat deskriftif, yang mana berusaha untuk mendeskrifsikan tentang kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindu Bali di wilayah transmigrasi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara Observasi, wawancara mendalam serta pengambilan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan. Data diolah secara sistematis sesuai dengan temuan dilapangan dengan teknik analisis data kualitatif dengan menggunakan interaktif model, dengan tahapan-tahapan analisis data mulai dari reduksi data, penyajian data, kemudian 27
Sumber: Olahan Penulis (Proses-proses sosial dalam masyarakat dan teori fenomenologi Alfred Schutz), 2013.
penarikan kesimpulan yang dilakukan secara berulang dan sistematis hingga ditemukannya jawaban atas permasalahan penelitian. 4. Hasil penelitian 4.1 Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat Hindu Bali di Desa Air Talas Kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindu Bali di wilayah transmigrasi hadir dengan corak adat, budaya dan agama Hindu yang kental. Aktivitas-aktivitas keagamaan warga Hindu Bali yakni melaksanakan segala aktivitas keagamaan sehari-hari, baik yang dilakukan secara individu atau yang dilaksanakan secara bersama-sama tetap sesuai dengan ajaran agama, budaya dan adat Hindu Bali yang mereka bawa dari daerah asal mereka dalam konsep desa kala patra atau menyesuaikan dengan desa adat mana mereka sekarang berada. Kegiatan keagamaan tersebut diantarannya: sembahyang, upacara Tumpek, pelaksanaan hari raya (Nyepi, Galungan, Kuningan, Odalan-odalan lainnya), pelaksanaan upacara Kelahiran, Perkawinan serta Kematian dan berbagai bentuk upakara-upacara lainnya. Ajeg Bali yang mereka terapkan dalam kehidupan di masyarakat, dalam hal agama dapat dilihat dari penggunaan berbagai bentuk sesajen (banten) yang dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk dan jenis dari setiap pelaksanaan ritual-ritual atau upacara tertentu sesuai dengan tujuan dari upacara yang dilaksanakan. Penggunaan bebanten ini tidak pernah lepas dari setiap pelaksanaan ritual-ritual keagamaan umat Hindu. Pelaksanaan berbagai aktivitas keagamaan Hindu di desa tersebut yang bersifat pribadi yang tetap mengacuh dengan desa adat tempat mereka berasal, dengan adat, budaya dan agama yang mereka peroleh secara turun-menurun (warisan para leluhur). Sedangkan pelaksanaan aktivitas keagamaan yang bersifat umum di desa tersebut mengacuh pada keputusan musyawarah dengan mengadopsi dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki guna menghindari perselisihan paham antar sesama umat Hindu di desa tersebut. Bebanten yang terdiri dari berbagai jenis upakara ini sebagai syarat dalam pelaksanaan ritual, bebanten tersebut secara umum terdiri dari daksina dan canang sari. Isi dari Daksina tersebut terdiri dari 17 jenis upakara yakni: alas bedongan, bedongan/serembeng/waku, tampak, beras, sirih (porosan sebagai lambang trimurti), telur bebek, pisang dan tebu, kemiri, buah keluak/pangi, gegantusan (kacang-kacangan, bumbu, garam, ikan), pepeselan sebagai lambang panca dewata (duku, manggis, rambai, salak, mangga, daun nangka), pije ratus, benang, uang kepeng, sesari, dan sampian pugasa. Sedangkan isi dari Canang Sari tersebut terdiri dari: janur (sebagai media), daun, beras putih/kuning, porosan (kapur sirih, daun sirih, buah pinang), bunga (lima warna, bunga ini diletakkan sesuai arah empat penjuru mata angin dan satu diletakkan di tengah), sesari, dan dupa. Penggunaan berbagai upakara tersebut memiliki makna atau filosofis sendiri-sendiri sesuai dengan pemahaman dalam ajaran agama umat Hindu. Penggunaan berbagai jenis upakara dalam setiap pelaksanaan ritual keagamaan pada masyarakat Hindu di Desa Air talas dengan mengacuh pada konsep desa kala patra adalah dalam hal penggunaan bahan-bahan kelengkapan
upakaranya. Mengenai apa yang dapat digunakan dan disesuaikan dengan kondisi alam mereka sekarang, misalnya bahan-bahan yang memang sulit atau memang tidak ada di lingkungan mereka sekarang. Contoh: pohon Ntal, pohan ini hanya ada satu di Desa Air Talas dan itu berarti tidak akan dapat mencukupi berbagai keperluan upakara seluruh umat Hindu yang ada di Desa Air Talas. Untuk itu masyarakat menyesuaikannya dengan menggunakan daun kelapa biasa, namun menyesuaikan dengan filosofis upacara yang akan dilaksanakan, terutama soal warna (daun kelapa biasa atau janur-nya). Hal lain adalah bahwa agama, budaya dan adat Hindu Bali mengakar jadi satu dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindu Bali dimana pun mereka berada dalam konteks memegang konsep desa kala patra. Dalam setiap pelaksanaan ritual keagamaan dengan tanpa meninggalkan budaya ke-bali-an mereka, artinya budaya Bali itu tetap ada dalam setiap pelaksanaan berbagai ritual keagamaan dalam kehidupan mereka, dalam hal ini mereka yang sebagai warga transmigran atau secara umum mereka yang berada di luar lingkungan budaya Bali dengan tetap membawa identitas sebagai warga Hindu Bali. Pada praktiknya dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali adalah bahwa mereka tidak dapat memisahkan antara adat, agama dan budaya yang mereka miliki dalam setiap aktivitas mereka sehari-hari. Dalam kehidupan sosial yang mencakup semua hubungan yang telah terbentuk, kita melihat bahwa kehidupan sosial yang terdiri dari hubunganhubungan sosial yang dinamis serta berbagai aktivitas sosial dalam berkehidupan tidak pernah lepas dari tangan para aktor yang ada dalamnya. Para aktor yang berinteraksi antara satu dengan yang lainnya memiliki cara masing-masing dan saling menginterpretasikan makna dari tindakan mereka agar tetap dapat mengeksiskan hubungan-hubungan sosial yang mereka lakukan dalam kehidupan sosial. Perbedaan latar belakang yang dimiliki masing-masing aktor adalah sebagai sebuah variasi untuk dapat bertindak dalam lingkungan sosialnya. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang membentuknya, melakukan interaksi antara satu dengan yang lainnya dalam kehidupan sosial mereka. Individu-individu yang berinteraksi ini saling memaknai proses interaksi mereka. Masyarakat Hindu Bali yang hadir dengan kehidupan sosial keagamaan di wilayah transmigran yang tetap dapat mengeksiskan diri mereka dengan membawa identitas ke dalam masyarakat yang multikultur, dengan nilai-nilai dan norma yang mereka pegang dan menjadi tuntunan bersama menjadikan identitas yang mereka miliki tetap dapat terjaga. Nilai-nilai dan norma yang dibawa oleh masing-masing individu dalam masyarakat Hindu Bali ini juga menjadi penuntun dalam hal hubungan-hubungan sosial yang mereka lakukan di dalam masyarakat, mengenai hubungan antar sesama manusia yang tertuang di konsep Tri Hita Karana, baik antar sesama pemeluk Hindu ataupun antar pemeluk agama lain dalam masyarakat. Individu-individu dalam masyarakat Hindu Bali yang menghadirkan perilaku keagamaan yang sedemikian rupa di lingkungan transmigran, berinteraksi dengan pengetahuan dan kesadaranya. Fenomenologi yang memaknai bahwa ketika orang bertindak dalam kehidupan sehari-harinya, mereka membuat tiga asumsi dasar, yaitu : Pertama, mereka berasumsi bahwa realitas dan struktur
kehidupan adalah konstan yaitu bahwa kehidupan akan tampak seperti semula; Kedua, mereka beranggapan bahwa pengalaman mereka terhadap kehidupan adalah valid. Sehingga, orang menganggap bahwa persepsi mereka terhadap peristiwa adalah akurat; Ketiga, Orang melihat dirinya sendiri memiliki kekuatan untuk bertindak dalam mencapai sesuatu, dan memengaruhi kehidupan. Individu dengan pengetahuannya, melakukan interaksi dengan pengetahuan yang ia miliki, pengetahuan yang bersifat pribadi dan pengetahuan yang dimiliki individu secara kolektif. Perilaku keagamaan yang hadir dalam masyarakat Hindu Bali adalah berorietasi akan pengetahuan individu-individu dalam masyarakat. Individu yang telah terinternalisasi akan pengetahuan tentang nilai-nilai dan norma, menerapkannya dalam berkehidupan sosial yang diikuti oleh kesadaran kolektif. Seperti misalnya pelaksanaan aktivitas keagamaan yang bersifat pribadi ataupun kolektif, hubungan yang terbentuk dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas keagamaan tersebut, serta orientasi perbedaan kultur dan agama dalam masyarakat setempat dalam setiap pelaksanaan aktivitas keagamaan dan lain sebagainnya. Selain itu, menyangkut motif ketika individu berinteraksi dengan individu lain, motif itu terbagi menjadi dua, yakni : Pertama, motif untuk (in order to motives) merupakan tujuan yang digambarkan sebagai maksud, rencana, harapan, minat dan sebagainya yang berorientasi masa depan; Kedua, Motif karena (because motives) : merujuk pada pengalaman masa lalu individu (aktor) karena itu berorientasi masa lalu. Perilaku keagamaan masyarakat Hindu Bali sebagai hasil dari interaksi sosial individu-individu dalam masyarakat adalah motif yang dimiliki individu, baik secara pribadi ataupun kolektif. Individu-individu dalam masyarakat Hindu Bali ini berinteraksi yang berorientasi pada motif yang mereka miliki, baik yang merujuk kepada masa depan ataupun masa lalu. Tindakan individu-individu dalam masyarakat Hindu Bali yang menghadirkan perilaku keagamaan yang sedemikian rupa, orientasi motif karena (because motives) yang tercermin dalam tindakan mereka dalam berkehidupan sosial adalah dikarenakan identitas adat, agama, sosial-budaya Hindu Bali yang mereka bawa dari lingkungan asal mereka. Selanjutnya dikarenakan nilai-nilai dan norma yang mereka pegang yang telah terinternalisasi dalam kehidupan mereka sebagai akibat dari pemahaman akan agama yang mereka anut. Serta, adanya orientasi akan lingkungan sosial dimana sekarang mereka berada, yang memiliki perbedaan dengan lingkungan sosial asli mereka. Sedangkan orientasi untuk (in other to motives) yang dimiliki masyarakat Hindu Bali yang berada di lingkungan sosial luar Bali adalah untuk dapat melestarikan dan mengeksistensikan keberadaan mereka dengan identitasidentitas yang mereka miliki di lingkungan yang berbeda dengan corak aslinya. Serta orientasi untuk akan penerapan nilai-nilai dan norma di dalam masyarakat setempat adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan, baik hidup di dunia ataupun akhirat sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Selanjutnya, agar terciptanya kehidupan sosial yang harmonis dan berintegrasi dalam kesatuan masyarakat setempat.
5. Kesimpulan dan rekomendasi 5.1 Kesimpulan 1. Masyarakat transmigran Hindu Bali yang ada di Desa Air Talas ini dalam kehidupan sosial keagamaannya tetap berlandaskan dengan ajaran dari para leluhur mereka di Bali namun sesuai dengan konsep desa kala patra yang mereka bawa. Menjalankan berbagai kegiatan keagamaan dan pola berkehidupan di masyarakat sesuai dengan adat, budaya dan agama Hindu Bali yang mereka miliki namun menyesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan kondisi alam tempat mereka sekarang berada dalam kesatuan Desa Adat Air Talas. 2. Adat, budaya dan agama dalam umat Hindu Bali merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan mereka. Mereka menjalankan berbagai aktivitas keagamaan dengan adat dari budaya yang berasal dari agama yang mereka miliki dan itu berarti kebudayaan yang mereka miliki ada dalam setiap pelaksanaan adat ritual keagamaan yang mereka laksanakan. Selain itu, adanya keajegan Bali (dalam hal ini ikut melestarikan kebudayaan Bali di luar Bali) yang mereka terapkan dalam lingkungan sosial dimanapun mereka berada sebagai suatu identitas untuk menunjukkan jati diri mereka sebagai warga Hindu Bali. 3. Hubungan-hubungan sosial yang dinamis dalam setiap pelaksanaan aktivitasaktivitas keagamaan masyarakat Hindu Bali di lingkungan masyarakat multikultur terbentuk dengan tanpa mengabaikan rasa toleransi baik antar sesama Hindu dari perbedaan desa adat mereka di Bali dan atau antar umat beragama lainnya meskipun mereka sebagai kelompok yang mayoritas (dari sisi keagamaan). Melakukan sedikit akulturasi budaya sebagai ungkapan untuk me-eksistensi-kan keberadaan kelompok luar (non Hindu) selain kelompok sosial mereka di dalam masyarakat. 5.2 Rekomendasi Sehubungan dengan penelitian yang telah penulis lakukan dan berdasarkan penarikan kesimpulan, maka rekomendasi yang disampaikan yakni dengan kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindu bercorak Hindu Bali yang sedemikian rupa hendaknya tidak dijadikan sebagai alasan yang dapat menjadi pemicuh perpecahan dengan para warga desa baik antar sesama Hindu dan dengan kelompok lainnya yang dilihat dari perbedaan latar belakang baik dari segi agama, budaya ataupun etnis. Hendaknya para anggota masyarakat tetap dapat memelihara hubungan-bubungan sosial yang positif dan berintegrasi dalam masyarakat, diatas berbagai perbedaan dalam masyarakat multikultur, apalagi dalam konteks sebagai warga kesatuan transmigran.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. ed.rev. (2009), Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta. Basrowi (2005), Pengantar Sosiologi, Bogor: Ghalia Indonesia. Berry, David (2003), Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Bungin, Burhan (2003), Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodelogi ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : Rajawali Pers. Bungin, Burhan, Ed. (2008), Metode Penelitian Kualitatif – Aktualisasi Metodelogis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hendropuspito, D (2006), Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius. Kahmad, Dadang (2006), Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Kartono, Kartini (1983), Pengantar Metodelogi Research Sosial, Bandung: Alumni. King, Richard (2001), Agama, Orientalisme dan Poskolinialisme (Sebuah Kajian Tentang Pertelingkahan Antara Rasionalitas Dan Mistik), Yogyakarta: QALAM, penerjemah Agung Prihantoro. Koentjaraningrat (2010), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan. Kuntowijoyo (1987), Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Maman Kh, et.al (2006), Metode Penelitian Agama – Teori dan Praktik, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Moleong, Lexy J. ed. rev. (2012), Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja RosdaKarya. Nasikun, cet. 10 (2000), Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Nasution, Adham (1979), Sosiologi, Bandung: Alumni. Parisada Hindu Dharma (2002, Upadeca tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu, Jakarta: CV. Felita Nursatama Lestari.
Purnama, Dadang H (2004), Modul Ajar – Metode Penelitian Kualitatif, Indralaya: Fisip Universitas Sriwijaya. Putu Surayin, Ida Ayu (2005), Seri IV Upakara Yajna – Manusa Yajna, Surabaya: Paramita. , Seri II Upakara Yadnya – Bahan dan Bentuk Sesajen, Surabaya: Paramita, , Seri III Upakara Yadnya – Dewa Yajna, Surabaya: Paramita. Ritzer, George (1992), Sosiologi: Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali Pers, penerjemah: Alimandan. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman (2010), Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana. Diterjemahkan oleh Alimandan. Ritzer, George, ed. ke 8 (2012), Teori Sosiologi (dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, alih bahasa: Saut Pasaribu dkk. Robertson, Roland (1993), AGAMA: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, kata pengantar: Dr. Parsudi Suparlan. Rudito, Bambang dan Melia Famiola (2008), Social Mapping – Metode Pemetaan Sosial ( Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti ), Bandung: Rekayasa Sains. Soekanto, Soerjono. ed. baru 4 (2002), SOSIOLOGI – Suatu Pengantar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Subyantoro, Arief dan FX. Suwarto (2006), Metode dan Teknik Penelitian Sosial, Yogyakarta: ANDI. Sugiyono (2012), Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta. Walgito, Bimo (2003), Psikologi Sosial – Suatu Pengantar, Yogyakarta: ANDI Yin, Robert K. (2009), Studi Kasus : Desain dan Metode, Jakarta: Rajawali Pers, penerjemah : M. Djauzi Mudzakir.
Sumber Lainnya : Data Profil Desa Air Talas Tahun 2010. Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001