7 Amalan Sederhana yang Akan dibalas Dengan Istana di Surga (Asy-Syaikh Badr Al-Badr) Alhamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Alihi wa Shahbihi wa man walah, wa ba’du: Berikut ini adalah beberapa amalan yang telah dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya barangsiapa yang mengamalkannya akan Allah bangunkan untuknya istana di jannah (surga). 1. Orang yang Membangun Masjid Karena Allah Dari Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ‘alaihis Shalatu was Salam bersabda, “Barangsiapa membangun masjid karena mengharap wajah Allah, maka akan Allah bangunkan untuknya sebuah Istana di jannah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dalam permasalahan ini ada beberapa hadits, di antaranya ialah, Hadits Pertama: dari Ali Radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no.744) dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no.6127) Hadits Kedua: dari Jabir Radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no.745) dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (no.1292), AlAlbani dalam Shahih Al-Jami’ (no.6128), dan (Muqbil) Al-Wadi’I dalam AshShahih Al-Musnad (no.224) Hadits Ketiga: dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ahmad (no.2156) dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no.6129) Hadits Keempat: dari Amr bin ‘Abasah Radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Ahmad (no.19386) dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no.6130) Hadits Kelima: dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no.6130) Hadits Keenam: dari Umar bin Al-Khattab Radhiallahu ‘anhu diriwayatkan Ibnu Majah (no.742), dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no.1606), dan dishahihkan Al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah (no.742) Hadits Ketujuh: dari Abu Dzar Al-Ghifari Radhiallahu ‘anhu dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no.1608) 2. Membaca Surat Al-Ikhlas Sebanyak Sepuluh Kali (dalam sehari) Dari Mu’adz bin Anas Radhiallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membaca Qul Huwallahu Ahad hingga menyelesaikannya sebanyak sepuluh kali, maka akan Allah bangunkan untuknya sebuah istana di jannah.” Diriwayatkan Ahmad (no.155788) dan Al-Albani berkata di dalam Ash-Shahihah (no.589), “Hasan dengan syawahid (penguat)nya.” 3. Shalat Dhuha Empat Raka’at dan Qobliyah Zhuhur Empat Raka’at Dari Abu Musa Radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa shalat Dhuha empat raka’at dan sebelum (shalat) yang pertama (yakni Zhuhur) empat raka’at, maka akan dibangunkan untuknya istana di jannah.” Diriwayatkan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (1/59), Al-Albani berkata dalam AshShahihah (no.2349), “Sanadnya Hasan” 4. Shalat Empat Raka’at Qobliyah Zhuhur, dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah maghrib, dua raka’at setelah Isya’, dan dua raka’at sebelum shalat fajar (shubuh). Dari Ummu Habibah Radhiallahu ‘anha berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan shalat sunnah sebanyak dua belas raka’at dalam sehari semalam, maka akan Allah bangunkan untuknya istana di jannah.” Diriwayatkan Muslim (no.728), Abu Daud (no.1136), dan Ibnu Hibban dalam shahihnya (no.2442) Dalam lafazh At-Tirmidzi dan dishahihkannya, “Barangsiapa melakukan shalat (sunnah) sebanyak dua belas raka’at dalam sehari semalam, maka akan
dibangunkan untuknya istana di jannah, yaitu: empat raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah maghrib, dua raka’at setelah isya’, dan dua raka’at sebelum shalat Al-Ghodah (yakni shalat shubuh).” Dishahihkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (no.1188), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no.2443), dan Al-Albani dalam Al-Jami’ (no.6362) Riwayat ini memiliki penguat dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang terus menerus mengerjakan dua belas raka’at shalat sunnah, maka akan Allah bangunkan untuknya sebuah istana di jannah, yaitu: empat raka’at sebelum zhuhur dan dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah maghrib, dua raka’at setelah isya’, dan dua raka’at sebelum (shalat) fajar.” AlMubarakfuri dalam At-Tuhfah (2/255) mengatakan, “Sanadnya tidak turun dari derajat hasan.” 5. Perangai yang Baik, Meninggalkan Perdebatan dan Kedustaan Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Aku akan menjamin dengan istana di pinggiran jannah bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun pada posisi benar, aku menjamin dengan istana di tengah jannah bagi orang yang meninggalkan dusta walaupun sedang bercanda, dan aku menjamin dengan jannah yang paling tinggi bagi orang yang baik perangainya.” Diriwayatkan Abu Daud, dan dikatakan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no.273): “hasan dengan penguat-penguatnya.” 6. Bersabar dan Mengharap Pahala Ketika Anaknya Meninggal Dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Apabila anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah berfirman kepada malaikat-Nya, ‘Apakah kalian mencabut nyawa anak hamba-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘benar’, Allah berfirman lagi, ‘apakah kalian mencabut nyawa buat hati hambaKu?’ Malaikat menjawab, ‘benar’
Allah berfirman, ‘apa yang dikatakan oleh hamba-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘dia memuji Engkau dan beristirja’ (mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,pen), maka Allah berfirman, ‘Bangunkan untuk hamba-Ku tersebut sebuah istana di jannah dan namailah istana tersebut dengan baitul hamdi (istana pujian).” Diriwayatkan at-Tirmidzi (no.1021) dan beliau berkata, “hadits hasan gharib.” Dan dishahihkan Ibnu Hibban (no.2937) 7. Berdo’a Ketika Memasuki Pasar Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari bapaknya Radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa berkata di pasar,
وﻳﻤﻴﺖ ﻟﻪ اﻟﻤﻠﻚ وﻟﻪ اﻟﺤﻤﺪ ﻳﺤﻴ، ﻪ وﺣﺪه ﻻ ﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪﻻ إﻟﻪ إﻻ اﻟ ء ﻗﺪﻳﺮ ﻛﻞ ﺷ ﻻ ﻳﻤﻮت ﺑﻴﺪه اﻟﺨﻴﺮ وﻫﻮ ﻋﻠوﻫﻮ ﺣ (artinya) tidak ada sesembahan yang hak diibadahi selain Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dia Maha menghidupkan dan Maha mematikan, Dia hidup tidak mati, di tangan-Nya lah segala kebaikan. Dan Dia Maha mampu atas segala sesuatu.” Maka Allah akan menuliskan untuknya satu juta kebaikan dan menghapuskan darinya satu juta kejelekan, dan akan dibangunkan baginya sebuah istana di jannahh.” Diriwayatkan at-Tirmidzi (no.3429) dan dihasankan Al-Albani. Berkata Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/539), “Hadits shahih.” Ditulis oleh: Badar bin Muhammad Al-Badar Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=154404
Hukum Adzan dan Iqomat Bagi Orang yang Shalat Sendirian (AsySyaikh Ibnu Utsaimin) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah ditanya, “apa hukum mengumandangkan adzan dan iqomat bagi orang yang shalat sendirian?” Maka beliau menjawab, “Mengumandangkan adzan dan iqomat bagi orang yang shalat sendirian adalah sunnah dan tidak wajib, hal ini disebabkan tidak ada di sisinya orang yang dia panggil dengan adzannya tersebut. Akan tetapi (hukum tersebut) karena melihat bahwasanya adzan merupakan bentuk dzikir dan pengagungan kepada Allah Azza wa Jalla, dan juga seruan terhadap dirinya menuju shalat dan kemenangan. Demikian juga iqomat adalah sunnah. Dalil yang menunjukkan sunnahnya adzan (bagi orang yang shalat sendirian) ialah keterangan yang datang pada hadits Uqbah bin Amir Radhiallahu ‘anhu (dimana) beliau berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ” ﻋﺒﺪي ﻫﺬا اﻧﻈﺮوا إﻟ:ﻪ ﻓﻴﻘﻮل اﻟ، رأس اﻟﺸﻈﻴﺔ ﻟﻠﺠﺒﻞ ﻳﺆذن ﻟﻠﺼﻼة ﻏﻨﻢ ﻋﻠﻳﻌﺠﺐ رﺑﻚ ﻣﻦ راﻋ وأدﺧﻠﺘﻪ اﻟﺠﻨﺔ، ﻗﺪ ﻏﻔﺮت ﻟﻌﺒﺪي“ ﻳﺆذن وﻳﻘﻴﻢ ﻟﻠﺼﻼة ﻳﺨﺎف ﻣﻨ “Rabb kalian merasa bangga terhadap seorang penggembala kambing (yang berada) di sebuah puncak gunung lalu dia mengumandangkan adzan. Maka Allah berfirman, ‘lihatlah kepada hamba-Ku itu, dia mengumandangkan adzan dan menegakkan shalat karena merasa takut dari-Ku. Sungguh Aku telah mengampuni dosanya dan Aku memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Ahmad dan Abu Daud) Diterjemahkan dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin no.82 (12/161)
Admin Warisan Salaf
Hukum Mengumandangkan Adzan Bagi Musafir (Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala ditanya tentang hukum mengumandangkan adzan bagi seorang musafir? Maka beliau menjawab, “Pada permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat (di antara ulama), dan (pendapat) yang benar ialah wajibnya adzan bagi orang yang safar. Hal ini disebabkan: 1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada Malik bin AlHuwairits dan shahabatnya, “Apabila telah tiba waktu shalat hendaknya seorang di antara kalian mengumandangkan adzan.” Sedangkan mereka ketika itu merupakan utusan (kaumnya) yang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan akan bersafar kembali kepada keluarga mereka. 2. Dan juga disebabkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkan adzan dan iqomat baik disaat mukim atau sedang safar. Beliau dahulu di saat safar memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan. Diterjemahkan dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin no.80 (12/160)
Hukum Berdiri Menunggu Iqomat dan Meninggalkan Shalat Tahiyyatul Masjid (Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah ditanya tentang apa yang biasa dilakukan oleh sebagian orang, yaitu apabila mereka datang ke masjid berdekatan dengan waktu iqomat, mereka hanya berdiri menunggu datangnya Imam dan meninggalkan shalat tahiyyatul masjid. Bagaimanakah hukum perbuatan ini? Maka beliau menjawab, apabila jarak waktu (iqomat) pendek di mana tidak bisa menyelesaikan shalat tahiyyatul masjid maka tidak ada masalah atas (perbuatan) mereka. Adapun jika mereka tidak mengetahui kapan datangnya Imam maka yang afdhal bagi mereka ialah melakukan shalat tahiyyatul masjid. Kemudian jika ternyata imam datang dan shalat ditegakkan sedangkan engkau berada di raka’at pertama maka putuskan (shalatmu), dan jika engkau berada di raka’at kedua maka sempurnakanlah dengan ringan. Diterjemahkan dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin no.366 (13/15) Admin Warisan Salaf
Manakah yang lebih Utama antara Menuntut Ilmu dan Qiyamul Lail? (Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah ditanya,
“Manakah yang lebih utama antara qiyamul lail dan menuntut ilmu?” Maka beliau menjawab, “Menuntut ilmu lebih afdhal daripada qiyamu lail, dikarenakan qiyamul lail sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘tidak ada sesuatupun yang menyamainya bagi orang yang niatnya baik, yaitu dia meniatkan dengan ilmu tersebut untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.’ Apabila seseorang begadang di awal malam untuk tholabul ilmi dengan mengharapkan wajah Allah baik ia mempelajarinya atau mengajarkannya kepada manusia, maka hal itu lebih utama ketimbang qiyamul lail, dan jika memang memungkinkan menggabungkan antara kedua amalan tersebut tentu saja lebih utama. Akan tetapi jika berbenturan dua perkara tersebut maka menuntut ilmu agama lebih afdhal dan utama. Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan Abu Hurairah agar shalat witir sebelum tidur[i]. Para ulama menjelaskan (maksud perintah tersebut), ‘dan sebabnya ialah bahwasanya Abu Hurairah dahulu mempelajari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di awal malam dan beliau tidur di akhir malam, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membimbing beliau agar shalat witir sebelum tidur. Diterjemahkan dari: Al-Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (14/113) Admin Warisan Salaf ——————————————— [i] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (Kitab At-Tahajjud/Bab Shalat Dhuha fil Hadhor) dan Muslim (Kitab Al-Musafirin/Bab Istihbabu Shalat Adh-Dhuha)
Makna 3 Kitab Aqidah Ibnu Taimiyah: Wasithiyyah,
Hamawiyah, Tadmuriyah (AsySyaikh Ibnu Baaz) Sebuah pertanyaan diajukan kepada Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah, “Wahai samahatus syaikh betapa seringnya kami mendengar tentang (kitab) Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, tetapi kami tidak tahu apa maknanya. Apakah yang dimaksud dengannya adalah aqidah yang benar atau apakah yang dimaksud dengannya? Mohon arahannya untuk pertanyaan kami ini dan kami merupakan sekumpulan para penuntut ilmu. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz menjawab, “Al-‘Aqidah AlWasithiyyah merupakan kitab yang ditulis oleh Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah Al-Harrani yang dijuluki sebagai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan juga dijuluki sebagai Taqiyuddin. Beliau dilahirkan pada tahun 661 H dan wafat pada tahun 728 H. Beliau bagian dari para Imam mujtahid dan dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, dan beliau bagian dari para Imam Ahlussunnah wal Jama’ah semoga Allah merahmati mereka semuanya. Beliau memiliki karya tulis yang banyak, di antaranya ialah Minhajus Sunnah sebagai bantahan atas Mu’tazilah dan Syi’ah Rafidhah, juga kitab Iqthida’ AshShirothol Mustaqim fii Mukhalafati Ashabil Jahim, juga kitab beliau Al-‘Aqidah AlWasithiyah. Dinamakan dengan Al-Wasithiyah karena kitab ini ditulis untuk penduduk Wasith di negeri Iraq. Beliau menulisnya untuk mereka sehingga disebut Al-Wasitiyah. Beliau menulisnya kepada sekelompok orang yang bertanya kepada beliau dari penduduk daerah Wasith sehingga disebut Al-Wasithiyah. Beliau juga memiliki tulisan lain dalam bidang ‘Aqidah yang diberi judul AlHamawiyah, beliau menulisnya untuk penduduk negeri Hamah di Syam. Dan beliau juga punya kitab lain yang ketiga tentang Sifat Allah yang diberi judul At-Tadmuriyyah, beliau menulisnya untuk penduduk Tadmur di Syam. Inilah sebab penamaan Wasithiyyah, dikarenakan ia merupakan kitab aqidah yang beliau tulis kepada penduduk wasith. Sedangkan Hamawiyah adalah aqidah yang beliau tulis kepada penduduk Hamah, dan Tadmuriyah kitab aqidah yang beliau
tulis kepada penduduk Tadmur. Ini merupakan tiga kitab yang agung pada kitab Ahlussunnah wal Jama’ah dan bermanfaat, kami wasiatkan agar membacanya dan mengambil faedah darinya. Sumber: Syabakah Al-Ajury Download suara: disini
ADMIN WARISAN SALAF
7 Alasan Mengapa Syirik Menjadi Dosa Besar yang Paling Besar (Syaikh Shalih Al-Fauzan) Para pembaca rahimakumullah, menyekutukan Allah dalam peribadatan merupakan dosa besar yang paling besar, di dalam Islam ia diistilahkan dengan perbuatan syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan syirik sebagai dosa yang tidak ada tandingannya, dimana pelakunya akan dikeluarkan dari bingkaian Islam dan akan menetap di dalam neraka selama-lamanya. Di dalam Al-Qur’an berulang kali Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hambaNya dari perbuatan ini. Bahkan larangan pertama di dalam Al-Qur’an ialah larangan dari perbuatan syirik. Allah berfirman di dalam surat Al-Baqarah (2:22), َﻮنﻠَﻤ ﺗَﻌﻧْﺘُﻢاا وﻧْﺪَاد اﻪﻠُﻮا ﻟﻌ ﺗَﺠََﻓ “Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dalam keadaan kalian mengetahui.” Barangkali ada yang bertanya-tanya, mengapa syirik digolongkan menjadi dosa besar yang paling besar? Pertanyaan penting ini telah dijawab dengan detil oleh
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala dalam kitabnya At-Tauhid, pada halaman 10 beliau menyebutkan bahwasanya syirik adalah dosa yang paling besar. Kemudian beliau menyebutkan tujuh (7) alasannya, 1. Dikarenakan perbuatan syirik hakekatnya adalah menyerupakan makhluk dengan Sang Kholiq (Pencipta) dalam hal kekhususan peribadahan. Siapa saja yang menyekutukan Allah dengan suatu makhluq maka hakekatnya dia telah menyamakan antara keduanya. Tentu saja ini kezhaliman yang paling besar, Allah berfiman, “Sesungguhnya syirik adalah kezhaliman yang paling besar.” (QS Luqman:13), makna dzalim adalah meletakkan sesuatu tidak pada posisinya. Ketika seorang hamba beribadah kepada selain Allah berarti ia telah meletakkan peribadahan tidak pada tempatnya yang tepat. 2. Dosa syirik tidak akan mendapat ampunan Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” ( An-Nisa:48) 3. Allah mengharamkan Al-Jannah (surga) bagi pelaku kesyirikan, dan dia akan kekal berada di dalam neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman, “ Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” ( Al-Maidah:72) 4. Syirik menghapus segala amal kebaikan, Allah berfirman, “seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” ( Al-An’am:88), dalam ayat lain Allah berfirman, “dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar:65) 5. Pelaku kesyirikan halal darah dan hartanya (tentu saja bagi pemerintah kaum muslimin dan bukan kepada setiap individu muslim). Allah Ta’ala berfirman, “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian.” ( At-Taubah:5), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH, apabila mereka telah
mengucapkannya maka darah dan harta mereka telah terlindungi dariku kecuali dengan haknya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 6. Syirik merupakan dosa besar yang paling besar sebagaimana dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Maukah aku beritakan kepada kalian dosa besar yang paling besar?” para shahabat menjawab, tentu wahai Rasulullah. Beliau mengatakan, “yaitu penyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” ( Al-Bukhari dan Muslim) 7. Syirik merupakan bentuk kekurangan dan aib yang telah Allah bersihkan diri-Nya darinya. Ketika seseorang berani memberikan sekutu bagi Allah padahal sekutu telah Allah tiadakan untuk dirinya, maka ini merupakan puncak perbuatan lancang dan durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diringkas dari kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala (hal.10) ADMIN WARISAN SALAF
Hukum Seputar Puasa Syawwal (Syaikh Shalih Al-Fauzan) Hukum Seputar Puasa Enam Hari Syawwal Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala Dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
ﻣﻦ ﺻﺎم رﻣﻀﺎن ﺛﻢ أﺗﺒﻌﻪ ﺑﺴﺖ ﻣﻦ ﺷﻮال ﻛﺎن ﻛﺼﻴﺎم اﻟﺪﻫﺮ “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan (puasa) enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Menjelaskan, “Ini merupakan jenis lain dari jenis-jenis puasa sunnah, yaitu puasa enam hari di bulan syawwal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.” Pada hadits ini terdapat keutamaan berpuasa enam hari dari bulan Syawwal, yaitu enam hari di bulan syawwal bagi orang yang telah berpuasa pada bulan ramadhan, ia menggabungkan antara dua kebaikan, yaitu (kebaikan) puasa ramadhan dan (kebaikan) puasa enam hari di bulan syawwal. Maka dia seperti seorang yang berpuasa ad-dahr yakni satu tahun. Yang dimaksud dengan ad-dahr di sini ialah satu tahun. Dikarenakan satu kebaikan dilipatkan gandakan menjadi sepuluh kebaikan. Maka satu bulan ramadhan sama dengan sepuluh bulan, dan enam hari syawwal sama dengan dua bulan. Sehingga keseluruhannya dua belas bulan atau satu tahun. Maka orang yang berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan syawwal akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa satu tahun penuh. Ini merupakan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ucapan beliau “enam hari dari bulan syawwal” menunjukkan bolehnya berpuasa secara berurutan atau terputus-putus dalam satu bulan tersebut (syawwal). Boleh juga dilakukan di awal bulan, pertengahan bulan, atau di akhir bulan, ini berdasarkan sabda beliau “enam hari dari bulan syawwal”. Sebagaimana pula hadits ini menunjukkan, bahwasanya bagi orang yang tidak berpuasa ramadhan maka tidak disyariatkan baginya berpuasa enam hari di bulan syawwal. Dikarenakan beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan syawwal.” Sehingga orang yang tidak berpuasa ramadhan disebabkan udzur (alasan syar’i) maka tidak perlu puasa enam hari syawwal, bahkan ia harus bersegera berpuasa (membayar hutang puasa) ramadhan. Demikian juga orang yang berbuka beberapa hari di bulan ramadhan karena udzur syar’i, maka tidak disyari’atkan baginya puasa enam hari syawwal hingga ia mengqadha’ sejumlah hari yang ia berbuka padanya di bulan ramadhan, setelah itu ia berpuasa enam hari syawwal jika masih tersisa, hal ini berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Lalu ia mengikutinya dengan (puasa) enam hari dari bulan syawwal” di sini beliau menyandingkan puasa enam hari
syawwal dengan puasa bulan ramadhan sebelumnya. Jika ia memiliki hutang puasa ramadhan satu bulan penuh atau beberapa hari saja maka hendaknya ia mulai dengan yang wajib (yaitu mengqadha ramadhan), karena (mendahulukan) yang wajib lebih utama daripada yang sunnah. Dan hukum puasa enam hari di bulan syawwal menurut jumhul ahlul ilmi, mereka menyatakan puasa enam hari di bulan syawwal adalah mustahab (sunnah), kecuali Imam Malik rahimahullah. Sesungguhnya beliau tidak berpandangan sunnahnya puasa enam hari syawwal, beliau menyatakan, khawatir manusia menganggapnya bagian dari ramadhan.’ Beliau ingin menutup celah agar orangorang tidak menganggapnya termasuk dari puasa ramadhan. Akan tetapi bagaimana pun, dalil lebih didahulukan ketimbang ro’yu (pendapat manusia). Sedangkan dalil menunjukkan sunnah. Dan ucapan Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentu saja lebih didahulukan di atas ucapan siapa pun. Perkara ini tidak disepakati oleh Al-Imam Malik Rahimahullah (yakni sunnahnya puasa enam hari syawwal), dan Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah memberikan udzur bahwasanya dimungkinkan Al-Imam Malik belum sampai kepada beliau hadits ini, belum sampai kepada beliau hadits ini… na’am. Diterjemahkan dari Syabakah Ajurry Download PDF Bahasa Arabnya di sini
Perbaiki Makananmu Pasti Doamu Dikabulkan! (Syaikh Muhammad Hadi) Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali Hafizhahullahu Ta’ala ditanya, “Semoga Allah berbuat baik kepada anda dan memberkahi anda.
Pertanyaanku adalah, apa saja sebab-sebab terkabulnya do’a? Dan apa yang dilakukan oleh seorang muslim apabila cobaan yang menimpanya bertambah berat? Beliau menjawab, “Adapun sebab-sebab terkabulnya do’a ada banyak. Akan tetapi di antara yang paling penting adalah memperbaiki makanan. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
“ﺠﺎب اﻟﺪﱠﻋﻮةﻦ ﻣﻚ ﺗﻤ ﻣﻄْﻌﺐﻃ”ا “Perbaikilah makananmu pasti engkau menjadi orang yang dikabulkan do’anya.” Dan beliau menyebutkan (kisah) seseorang yang mengadakan perjalanan yang panjang, kusut dan berdebu, lalu ia mengangkat tangannya ke arah langit sembari menyeru, “wahai Rabbku, wahai Rabbku” Sementara makanannya haram, minumannya haram, dibesarkan dari yang haram, bagaimana mungkin do’any dikabulkan!” Beliau menyebutkan di dalam hadits ini beberapa sebab terkabulnya do’a. Walaupun demikian, do’a orang itu ditolak karena adanya penghalang: 1. Beliau menyebutkan safar (perjalanan), dan safar termasuk sebab terkabulnya do’a, seorang musafir do’anya akan dikabulkan. 2. Demikian juga kondisi kusut dan berdebu, karena kondisi ini merupakan cirinya orang yang merendah diri kepada Allah Jalla wa ‘ala, bukan cirinya orang yang angkuh. 3. Lalu dia mengangkat kedua tangannya ke arah langit, dia mengangkat tangannya, sementara Allah Maha Hayyiyun dan Maha Sittir, Allah malu kepada hamba-Nya apabila hamba itu mengangkat kedua tangannya lalu Allah mengembalikannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan). Orang tersebut mengangkat kedua tangannya dan mengangkat kedua tangan merupakan sebab terkabulnya do’a. 4. Kemudian dia meminta dengan merengek kepada Allah “Wahai Rabbku wahai Rabbku” ini merupakan sebab keempat terkabulnya do’a. Dia menampakkan kebutuhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walaupun demikian, do’anya tetap tidak dikabulkan, padahal ada sebab-sebab (terkabulnya do’a) yang telah disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
mengapa? Karena makanannya haram, pakaiannya haram, ia dibesarkan dari sesuatu yang haram. Bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan?! Maka atas dasar ini, hadits ini menunjukkan bahwasanya memperbaiki makanan dan pakaian merupakan sebab dikabulkannya do’a, dan makanan dan pakaian yang jelek termasuk perkara yang menghalangi terkabulnya do’a –semoga Allah memelihara kami dan kalian dari perkara tersebut-. Sebab-sebab terkabulnya do’a amat banyak, hanyasaja perkara ini merupakan di antara yang paling tampak. Barangkali anakku sang penanya bisa merujuk kepada kitab-kitab yang membahas tentang ini.
Diterjemahkan dari: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=43395 Rekaman Suara bisa didownload di sini: http://ar.miraath.net/fatwah/11195 =============
Adab Berdo’a Lainnya bisa dibaca dilink berikut: Pentingnya Merengek di Dalam Berdo’a Agar Do’a Anda Dikabulkan
Petikan Faedah dari Syarah AlQowa’idul Arba’ Syaikh Shalih AlFauzan, Bag-3 Kaedah Ke 3 Bagian 1
واﻟﻘﺎﻋﺪة اﻟﺜﺎﻟﺜﺔ :أنّ اﻟﻨﺒ‐ ﺻﻠ اﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‐ ﻇﻬﺮ ﻋﻠ اﻧﺎسٍ ﻣﺘﻔﺮﻗﻴﻦ ﻓ ﻋﺒﺎداﺗﻬﻢ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﻌﺒﺪ اﻟﻤﻼﺋﺔ ،وﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﻌﺒﺪ اﻷﻧﺒﻴﺎء واﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ،وﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﻌﺒﺪ اﻷﺣﺠﺎر واﻷﺷﺠﺎر ،وﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﻌﺒﺪ اﻟﺸﻤﺲ .واﻟﻘﻤﺮ .وﻗﺎﺗﻠﻬﻢ رﺳﻮل اﻟﻪ ‐ﺻﻠ اﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‐ وﻟﻢ ﻳﻔﺮِق ﺑﻴﻨﻬﻢ ] .واﻟﺪﻟﻴﻞ ﻗﻮﻟﻪ ‐ﺗﻌﺎﻟ} :‐وﻗَﺎﺗﻠُﻮﻫﻢ ﺣﺘﱠ ﺗَﻮنَ ﻓﺘْﻨَﺔٌ وﻳﻮنَ اﻟﺪِّﻳﻦ ﻟﻪ] {اﻟﺒﻘﺮة– 193: دﻟﻴﻞ اﻟﺸﻤﺲ واﻟﻘﻤﺮ ﻗﻮﻟﻪ ‐ﺗﻌﺎﻟ} :‐وﻣﻦ آﻳﺎﺗﻪ اﻟﻠﱠﻴﻞ واﻟﻨﱠﻬﺎر واﻟﺸﱠﻤﺲ واﻟْﻘَﻤﺮ ﺗَﺴﺠﺪُوا ﻟﻠﺸﱠﻤﺲِ و– ] .ﻟﻠْﻘَﻤﺮِ{ ]ﻓﺼﻠﺖ37: ] .ودﻟﻴﻞ اﻟﻤﻼﺋﺔ ﻗﻮﻟﻪ ‐ﺗﻌﺎﻟ} :‐و ﻳﺎﻣﺮﻛﻢ انْ ﺗَﺘﱠﺨﺬُوا اﻟْﻤَﺋﺔَ واﻟﻨﱠﺒِﻴِﻴﻦ ارﺑﺎﺑﺎ{ ]آل ﻋﻤﺮان– 80: ودﻟﻴﻞ اﻷﻧﺒﻴﺎء ﻗﻮﻟﻪ ‐ﺗﻌﺎﻟ} :‐واذْ ﻗَﺎل اﻟﻪ ﻳﺎ ﻋﻴﺴ اﺑﻦ ﻣﺮﻳﻢ ااﻧﺖ ﻗُﻠْﺖ ﻟﻠﻨﱠﺎسِ اﺗﱠﺨﺬُوﻧ واﻣ اﻟَﻬﻴﻦ– ﻣﻦ دونِ اﻟﻪ ﻗَﺎل ﺳﺒﺤﺎﻧَﻚَ ﻣﺎ ﻳﻮنُ ﻟ انْ اﻗُﻮل ﻣﺎ ﻟَﻴﺲ ﻟ ﺑِﺤﻖ انْ ﻛﻨﺖ ﻗُﻠْﺘُﻪ ﻓَﻘَﺪْ ﻋﻠﻤﺘَﻪ ﺗَﻌﻠَﻢ ﻣﺎ ﻓ ﻧَﻔْﺴ
] .و اﻋﻠَﻢ ﻣﺎ ﻓ ﻧَﻔْﺴﻚَ اﻧﱠﻚَ اﻧْﺖ ﻋﱠم اﻟْﻐُﻴﻮبِ{ ]اﻟﻤﺎﺋﺪة116:
ودﻟﻴﻞ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻗﻮﻟﻪ ‐ﺗﻌﺎﻟ} :‐اوﻟَﺌﻚَ اﻟﱠﺬِﻳﻦ ﻳﺪْﻋﻮنَ ﻳﺒﺘَﻐُﻮنَ اﻟَ رﺑِﻬِﻢ اﻟْﻮﺳﻴﻠَﺔَ اﻳﻬﻢ اﻗْﺮب وﻳﺮﺟﻮنَ – ] .رﺣﻤﺘَﻪ وﻳﺨَﺎﻓُﻮنَ ﻋﺬَاﺑﻪ] {اﻹﺳﺮاء57: ودﻟﻴﻞ اﻷﺣﺠﺎر واﻷﺷﺠﺎر ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟ} :اﻓَﺮاﻳﺘُﻢ اﻟﱠت واﻟْﻌﺰى ،وﻣﻨَﺎةَ اﻟﺜﱠﺎﻟﺜَﺔَ اﺧْﺮى{ ]اﻟﻨﺠﻢ– . [20-19: وﺣﺪﻳﺚ أﺑ واﻗﺪٍ اﻟﻠﻴﺜ‐ رﺿ اﻟﻪ ﻋﻨﻪ‐ ﻗﺎل“ :ﺧﺮﺟﻨﺎ ﻣﻊ اﻟﻨﺒ‐ ﺻﻠ اﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‐ إﻟ ﺣﻨﻴﻦ وﻧﺤﻦ ﺣﺪﺛﺎء ﻋﻬﺪٍ ﺑﻔﺮ ،وﻟﻠﻤﺸﺮﻛﻴﻦ ﺳﺪرة ﻳﻌﻔﻮن ﻋﻨﺪﻫﺎ وﻳﻨﻮﻃﻮن ﺑﻬﺎ أﺳﻠﺤﺘﻬﻢ ﻳﻘﺎل ﻟﻬﺎ :ذات أﻧﻮاط، ) .ﻓﻤﺮرﻧﺎ ﺑﺴﺪرة ﻓﻘﻠﻨﺎ :ﻳﺎ رﺳﻮل اﻟﻪ اﺟﻌﻞ ﻟﻨﺎ ذات أﻧﻮاط ﻛﻤﺎ ﻟﻬﻢ ذات أﻧﻮاط … ” اﻟﺤﺪﻳﺚ )1
FAEDAH: Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diutus kepada manusia yang menyetukukan Allah. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, matahari dan bulan, berhala, bebatuan, dan pohon, dan ada juga yang menyembah orang shalih. Ini sebagai dalil yang menunjukkan jeleknya perbuatan syirik, dimana pelakunya berpecah belah dalam hal ibadah. Berbeda dengan ahli tauhid yang memiliki sesembahan yang satu, ]ءارﺑﺎب ﻣﺘَﻔَﺮِﻗُﻮنَ ﺧَﻴﺮ ام اﻟﻪ اﻟْﻮاﺣﺪُ اﻟْﻘَﻬﺎر ،ﻣﺎ ﺗَﻌﺒﺪُونَ ﻣﻦ دوﻧﻪ اﻻ اﺳﻤﺎء ﺳﻤﻴﺘُﻤﻮﻫﺎ{ ]ﻳﻮﺳﻒ{39 : “Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam)macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf:39 Perpecahan yang dilakukan oleh ahlu syirik disebabkan mereka berjalan di atas hawa nafsu dan arahannya orang-orang sesat.
Perumpamaan orang-orang yang berbidah kepada Allah semata dan kaum musyrikin, seperti seorang budak yang dimiliki oleh satu orang dan budak yang dimiliki oleh beberapa orang secara bersamaan. Tentu saja yang dimiliki satu orang lebih merasa tentram dan lebih mengerti apa yang harus dia lakukan. Sedangkan yang dimiliki oleh beberapa orang akan kebingungan, dimana masing-masing pemilik memiliki keinginan dan tuntutan yang berbeda. Allah berfirman, “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” ( AzZumar:29) Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang memerangi semua manusia yang berbidah kepada selain Allah, dari watsaniyyun (penyembah berhala), Yahudi dan Nashara (penyembah Nabi), majusi (penyembah api), penyembah malaikat, dan penyembah para wali, ini sebagai bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan, “Penyembah berhala (batu, pohon, Dan benda mati) tidak sama dengan yang menyembah orang shalih dan malaikat.” Dengan anggapan ini mereka menginginkan bahwa orang-orang yang menyembah kuburan (orang shalih atau wali) hukumnya berbeda dengan para penyembah berhala. Tidak boleh dikafirkan, dan perbuatan tersebut tidak tergolong kesyirikan, sehingga tidak boleh diperangi. Jawabnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak membeda-bedakan di antara mereka. Bahkan beliau menganggap mereka semua ahli syirik. Beliau menghalalkan darah dan harta mereka. Orang Nashara yang menyembah AlMasih (Nabi) diperangi, Yahudi yang menyembah Uzair (Nabi atau orang shalih) diperangi Bersambung, insya Allah…