p-ISSN 1978-6506 e-ISSN 2579-4868
Terakreditasi LIPI No. 706/AU/P2MI-LIPI/10/2015
Vol. 10 No. 1 April 2017 Hal. 1 - 114
“ABROGATIO LEGIS”
I
jurnal april 2017 isi.indd 1
5/2/2017 5:04:40 PM
jurnal april 2017 isi.indd 2
5/2/2017 5:04:40 PM
p-ISSN 1978-6506 e-ISSN 2579-4868
Vol. 10 No. 1 April 2017 Hal. 1 - 114
J
urnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.
Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si.
Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI
Redaktur:
1.
Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)
2.
Drs. Hamka Kapopang (Komunikasi)
Penyunting:
1.
Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)
2.
Dinal Fedrian, S.IP. (Ilmu Pemerintahan)
3.
Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)
4.
Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)
5.
Atika Nidyandari, S.H. (Hukum Dagang)
6.
Nurasti Parlina, S.H. (Hukum Pidana dan Perdata)
Mitra Bestari:
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)
4.
Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)
5.
Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)
6.
Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)
Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)
7.
III
jurnal april 2017 isi.indd 3
5/2/2017 5:04:40 PM
8.
Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum Adat)
9.
Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik)
10.
Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam)
Sekretariat:
1.
Agus Susanto, S.Sos., M.Si.
2.
Yuni Yulianita, S.S.
3.
Noercholysh, S.H.
4.
Wirawan Negoro, A.Md.
5.
Didik Prayitno, A.Md.
6.
Eka Desmi Hayati, A.Md.
dan Fotografer:
1.
Arnis Duwita Purnama, S.Kom.
2.
Widya Eka Putra, A.Md.
Desain Grafis
Alamat: Sekretariat Jurnal Yudisial Komisi Yudisial Republik Indonesia Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat, Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189 E-mail:
[email protected] Website: www.jurnal.komisiyudisial.go.id
IV
jurnal april 2017 isi.indd 4
5/2/2017 5:04:40 PM
PENGANTAR
J
”ABROGATIO LEGIS”
urnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017 hadir kembali dengan membawa tema ”ABROGATIO LEGIS” yang bermakna pencabutan aturan undang-undang atau hukum. Tema ini sekalipun menggambarkan tentang bagaimana aturan hukum dicabut secara formal sehingga tidak memiliki keberlakuan formal, tetapi lebih luas menggambarkan dinamika ketika aturan yaitu undang-undang tiba-tiba mengalami “kehilangan atau kekosongan makna,” maka kemudian putusan memberikan makna baru atau mengisi makna yang hilang dan kosong tersebut. Sekalipun proses pemaknaan terhadap undang-undang atau hukum itu terkadang bersifat inkonsisten misalnya ketika satu putusan menyatakan A dan putusan yang lain menyatakan B. Dalam kasus yang serupa sebagaimana terlihat dalam salah satu judul artikel jurnal kali ini yaitu: “Perbedaan Tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Pemilihan Umum Serentak” yang merupakan kajian Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, sekalipun perbedaan putusan itu merupakan proses dinamika dengan alasan-alasan yang khusus, namun bagi pencari keadilan hal itu tentu akan sangat membingungkan. Secara berturut-turut, Jurnal Yudisial kali ini menghadirkan tulisan mengenai problematik tentang penerapan vicariuos liability, sebagaimana terlihat dalam kajian Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012. Prinsip kepentingan terbaik dan urgensi keterangan ahli dalam tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak-anak memperlihatkan masih rentannya anak di dalam sistem hukum, sekalipun aspek perlindungan terhadap anak terus dikumandangkan, tetapi anak lebih banyak menjadi korban dari sistem hukum. Kajian Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr memberikan gambaran tentang rentannya posisi anak dalam hukum. Problem pemidanaan terhadap dokter menjadi menarik untuk dikaji, apakah penjara merupakan alternatif terbaik seorang dokter, ataukah perlu perlakuan yang khusus ketika dokter tersangkut dengan masalah hukum. Pada posisi ini model pemidanaan integratif diharapkan mampu memberikan solusi yang lebih baik, sebagaimana terlihat dalam artikel studi kasus Putusan Nomor 1110 K/ Pid.Sus/2012. Konsep hukum progresif kembali dijadikan acuan dalam penyelesaian konflik pewarisan dan hibah sebagaimana terlihat dalam kajian Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS. Dan terakhir ditampilkan perbandingan kajian putusan ketika membahas prinsip duty of care, yaitu prinsip ’pembeli’ melawan ’pembeli’ dalam persoalan tanah sebagaimana tergambar dalam kajian Putusan Nomor 99/Pdt.G/2014/PN.Bwi; Putusan Nomor 230/ PDT/2015/PT.SBY; dan Putusan Nomor 952/K/Pdt/2016. Kami berharap, apa yang disajikan pada edisi kali ini dapat memberikan sebuah gambaran penting, bahwa aturan tidak selalu serta merta menyediakan makna yang
V
jurnal april 2017 isi.indd 5
5/2/2017 5:04:40 PM
langsung dapat digunakan, karena realitas hukum atau kasus hukum yang terjadi dalam masyarakat selalu dinamis dan berubah dengan sangat cepat. Beberapa tulisan di atas mencoba mengkaji berbagai putusan dengan menghadirkan ulasan kekinian, untuk menggambarkan problematika yang sangat dinamis tersebut. Dengan segala keterbatasan yang ada tulisan-tulisan itu mengurai “melalui kepenuhan makna” yang dapat disajikan, sehingga mudah-mudahan kita dapat memperoleh informasi yang berharga di dalamnya. Terlepas dari semua di atas, makna abrogatio legis membawa atau mengingatkan kita bahwa tidak ada undang-undang yang siap pakai sekaligus kita harus lebih berhati-hati menafsirkan hukum dan aturan, bagi kehidupan kita. Selamat membaca! Terima kasih.
Tertanda Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial
VI
jurnal april 2017 isi.indd 6
5/2/2017 5:04:40 PM
DAFTAR ISI
Vol. 10 No. 1 April 2017
p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868
PERBEDAAN TAFSIR MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS PERKARA PEMILIHAN UMUM SERENTAK ......................................................... Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 Suparto Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru PUTUSAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI TANPA DIDAKWAKAN DALAM PERSPEKTIF “VICARIOUS LIABILITY” ......................................................................... Kajian Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 Budi Suhariyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA RI, Jakarta PENERAPAN PRINSIP “KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK” DALAM KASUS TINDAK PIDANA NARKOTIKA ............................... Kajian Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember PENJARA TERHADAP DOKTER DALAM PERSPEKTIF MENGIKATNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMIDANAAN INTEGRATIF ....................................................... Kajian Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 Warih Anjari Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta PENYELESAIAN KONFLIK PEWARISAN AKIBAT HIBAH BERDASARKAN HUKUM PROGRESIF .............................................. Kajian Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS Poniman Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
1 - 16
17 - 38
39 - 57
59 - 78
79 - 97
VII
jurnal april 2017 isi.indd 7
5/2/2017 5:04:40 PM
MENIMBANG PRINSIP “DUTY OF CARE”: ‘PEMBELI’ MELAWAN ‘PEMBELI’ DALAM SENGKETA JUAL BELI TANAH ........................................... Kajian Putusan Nomor 99/Pdt.G/2014/PN.Bwi; Putusan Nomor 230/PDT/2015/PT.SBY; dan Putusan Nomor 952/K/Pdt/2016 Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram
99 - 114
VIII
jurnal april 2017 isi.indd 8
5/2/2017 5:04:40 PM
JURNAL YUDISIAL p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868............................................
Vol. 10 No. 1 April 2017
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.
UDC 347.993; 342.82
anggota DPR, DPD, dan DPRD (tidak serentak) adalah tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 (konstitusional). Terjadinya pertentangan putusan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan pilihan penafsiran konstitusi.
Suparto (Fakultas Hukum, Universitas Islam Riau, Pekanbaru) Perbedaan Tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Pemilihan Umum Serentak
(Suparto)
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013 dan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
Kata kunci: inkonsistensi, mahkamah konstitusi, pemilu serentak.
Jurnal Yudisial 2017 10(1), 1-16 Selama ini pemilu presiden dan pemilu legislatif dilakukan secara terpisah atau tidak serentak. Pemilu legislatif selalu dilakukan sebelum pemilu presiden dan wakil presiden. Pemilihan umum yang dilakukan secara terpisah dianggap lebih banyak dampak negatifnya serta tidak sesuai dengan UUD NRI 1945. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Rumusan masalahnya adalah bagaimanakah pertimbangan hakim konstitusi dalam memutus Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 sehingga terjadi perbedaan dengan putusan sebelumnya Nomor 51-52-59/PUUVI/2008 terkait dengan pelaksanaan pemilu serentak. Hasil penelitian menunjukkan pertimbangan hakim konstitusi dalam memutus Putusan Nomor 14/ PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terjadi inkonsistensi. Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilu anggota DPR, DPR, dan DPRD. Sedangkan dalam putusan sebelumnya yaitu Putusan Nomor 51-5259/PUU-VI/2008 pada pengujian pasal dan undangundang yang sama (Pasal 3 ayat (5) UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008), Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan setelah pemilu
UDC 347.724 Suhariyanto B (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, MA RI, Jakarta) Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan dalam Perspektif “Vicarious Liability” Kajian Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 Jurnal Yudisial 2017 10(1), 17-38 Korporasi telah ditetapkan sebagai subjek tindak pidana, maka terhadapnya dapat dituntutkan pertanggungjawaban pidana. Sebagai subjek hukum, korporasi juga ditentukan mekanisme pemidanaannya mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 mengesampingkan prosedur hukum acara dengan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwakan. Permasalahannya bagaimanakah eksistensi pemidanaan korporasi menurut hukum acara pidana di Indonesia, dan bagaimanakah pemidanaan korporasi dalam praktik penegakan hukum, serta bagaimana putusan pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwakan dalam perspektif vicarious liability? Metode penelitian normatif digunakan untuk menjawab permasalahan ini. Terdapat tiga pendekatan untuk mengkaji permasalahan yaitu
IX
jurnal april 2017 isi.indd 9
5/2/2017 5:04:40 PM
Prinsip individualisasi pidana dan prinsip double track system sebenarnya dapat diterapkan dalam kasus tindak pidana narkotika oleh pelaku anak. Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak seharusnya berorientasi pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak, sehingga pemidanaan terhadap anak, khususnya pidana perampasan kemerdekaan digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif vicarious liability, korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas perilaku seseorang yang secara personifikasi mewakili korporasi sehingga dapat dijatuhkan putusan pemidanaan.
(Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
(Budi Suhariyanto)
Kata kunci: keterangan ahli, pertanggungjawaban pidana, hukum pembuktian.
Kata kunci: putusan pemidanaan, pemidanaan korporasi, vicarious liability.
UDC 343.811; 614.25 UDC 362.7; 351.763
Anjari W (Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta)
Ohoiwutun YAT & Samsudi (Fakultas Hukum, Universitas Jember, Jember) Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” dalam Kasus Tindak Pidana Narkotika
Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pemidanaan Integratif
Kajian Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr
Kajian Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012
Jurnal Yudisial 2017 10(1), 39-57
Jurnal Yudisial 2017 10(1), 59-78
Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr memutuskan sanksi pidana penjara terhadap anak pengguna narkotika, tanpa disertai tindakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban pemeriksaan dokter ahli jiwa untuk menentukan urgensi tindakan rehabilitasi telah dikesampingkan oleh hakim di dalam memutus kasus. Permasalahan yang dikaji meliputi urgensi keterangan ahli dalam pemeriksaan ajudikasi tindak pidana narkotika dan aplikasi prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” dalam penjatuhan sanksi terhadap anak pengguna narkotika. Metode penulisan berbasis pada penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan sumber data sekunder. Data penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu penelitian hukum kualitatif (qualitativelegal research). Penjatuhan sanksi pidana penjara tanpa tindakan rehabilitasi terhadap anak pengguna narkotika tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan.
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007 tidak ditaati oleh Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012. Putusan Mahkamah Konstitusi telah menganulir ancaman pidana penjara dalam Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Putusan Mahkamah Agung tetap menjatuhkan pidana penjara terhadap dokter yang melanggar pasal tersebut. Kondisi ini menimbulkan ketidaksesuaian antara kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi dan tujuan penjatuhan pidana yang integratif berdasarkan Pancasila. Masalah dalam tulisan ini adalah bagaimanakah implikasi Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 dikaitkan dengan kekuatan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi? Dan bagaimanakah implikasi penjatuhan pidana penjara bagi dokter yang tercantum dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 dikaitkan dengan teori
X
jurnal april 2017 isi.indd 10
5/2/2017 5:04:40 PM
tujuan pemidanaan integratif? Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kasus. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat erga ormes sehingga harus diikuti oleh Mahkamah Agung. Pidana penjara terhadap dokter yang tidak menggunakan izin praktik tidak dapat mencapai tujuan pemidanaan integratif. Akibatnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat tidak terlayani, dan merugikan profesi dokter. Kesimpulannya adalah putusan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan mengikat sehingga menjadi tidak efektif dan tujuan pemidanaan integratif berdasarkan Pancasila tidak tercapai.
kualitatif dengan mengutamakan kedalaman data dengan narasumber yang berkompeten di bidangnya. Dari penelitian ini, realita bahwa anak luar kawin tidak diakui dapat menguasai seluruh harta pewaris dengan hanya berdasarkan pada akta keterangan hibah, mestinya tidak terjadi. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya peradilan yang hanya menggunakan hukum formalisme semata, sebagai puncak kepastian hukumnya, sehingga tujuan manfaat dan keadilan belum terpenuhi. Pola hukum progresif berfondasi pada progresivitas manusia, bahwa manusia sebenarnya baik, penuh kasih sayang, saling tolong menolong, dan empati kepada sesama manusia. Berhukum yang benar adalah berhukum yang bertujuan demi tercapainya keadilan masyarakat.
(Warih Anjari) Kata kunci: pidana penjara, kekuatan putusan, tujuan pemidanaan integratif.
(Poniman) Kata kunci: hibah, harta warisan, anak luar kawin tidak diakui, hukum progresif.
UDC 347.65 Poniman (Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang)
UDC 332.02 Putro WD & Zuhairi A (Fakultas Hukum, Universitas Mataram, Mataram)
Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif
Menimbang Prinsip “Duty of Care”: ‘Pembeli’ Melawan ‘Pembeli’ dalam Sengketa Jual Beli Tanah
Kajian Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS Jurnal Yudisial 2017 10(1), 79-97
Kajian Putusan Nomor 99/Pdt.G/2014/PN.Bwi; Putusan Nomor 230/PDT/2015/PT.SBY; dan Putusan Nomor 952/K/Pdt/2016
Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 95/ PDT.G/2008/PN.BKS menolak dan menghukum gugatan penggugat untuk membayar biaya perkara, dan memutuskan bahwa harta pewaris seluruhnya menjadi hak anak luar kawin tidak diakui karena hibah dari pewaris. Dari sisi penegakan hukum positif, hakim mendasarkan putusan hanya pada pembuktian tanpa menelusuri realitas dari akta hibah tersebut yang cacat hukum. Kajian penelitian putusan ini menggunakan teori hukum progresif dalam upaya mencari keadilan, dengan mengkaji permasalahan, serta bagaimana penyelesaian konflik pewarisan akibat hibah berdasarkan hukum progresif. Penelitian ini adalah penelitian socio-legal dengan pendekatan induktif yang berparadigma post-positivisme. Penelitian ini dilakukan secara
Jurnal Yudisial 2017 10(1), 99-114 Sengketa jual beli tanah dalam perkara ini menyeret pihak penjual yang telah menjual objek yang sama kepada dua pembeli dalam dua kali transaksi. Pembeli kedua (penggugat) melayangkan gugatannya terhadap pembeli pertama (tergugat II). Posisi hukumnya dilematis. Kedua pembeli samasama merasa mempunyai hak atas tanah sengketa karena telah membeli objek yang sama dari penjual. Untuk membuktikan siapa pembeli yang berhak, hakim perlu mempertimbangkan asas “iktikad baik” (good faith), sebagai dasar untuk menentukan pembeli yang patut mendapat perlindungan
XI
jurnal april 2017 isi.indd 11
5/2/2017 5:04:40 PM
hukum. Permasalahannya, kedua pembeli samasama mengklaim dirinya adalah pembeli yang beriktikad baik. Sehingga, untuk menilai siapa pembeli yang patut mendapat perlindungan hukum, hakim berpegangan pada prinsip duty of care, dengan mempertimbangkan siapa pembeli yang berhati-hati dan cermat memeriksa data yuridis dan data fisik sebelum dan saat jual beli dilakukan. Prinsip duty of care ini bersifat abstrak, maka metode penulisan yang digunakan, menelusuri dan mengkaji pendapat para ahli hukum perdata dan agraria untuk didialogkan dengan putusan-putusan hakim. Perkembangan putusan-putusan pengadilan mengenai pembeli beriktikad baik yang mengadopsi prinsip duty of care, seharusnya menjadi ‘pegangan’ para hakim dalam menangani kasus yang serupa, untuk menilai kapan pembeli dikategorikan sebagai pembeli beriktikad baik. (Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi) Kata kunci: iktikad baik, perlindungan hukum, duty of care, data yuridis dan fisik.
XII
jurnal april 2017 isi.indd 12
5/2/2017 5:04:40 PM
JURNAL YUDISIAL p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868............................................
Vol. 10 No. 1 April 2017
The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
UDC 347.993; 342.82 Suparto (Fakultas Hukum, Universitas Islam Riau, Pekanbaru) Shifting Interpretations of the Constitutional Court in Deciding the Case of Simultaneous Elections An Analysis of Constitutional Court Decisions Number 14/PUU-XI/2013 and Number 51-52-59/ PUU-VI/2008 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2017 10(1), 1-16 During this time, the presidential and legislative elections are conducted separately or not simultaneously. The Legislative Elections are always carried out prior to the General Elections of the President and Vice President. The general election is conducted separately as considerably having more negative impacts and inconsistency with the 1945 Constitution. This analysis uses descriptive analysis method with the pertinent laws and regulations approach. The formulation of the issue is what the Constitutional Court Justices took into consideration in its Decision Number 14/PUU-XI/2013 leading to differences to that of its previous Decision Number 51-5259/PUU-VI/2008 concerning the implementation of simultaneous elections. The analysis results show inconsistencies in the consideration of the Constitutional Court Justices in ruling the case through the Decision Number 14/PUU-X/2013 on the judicial review of Law Number 42 of 2008 concerning the General Elections of the President and Vice President. The Constitutional Court Decision Number 14/PUU-X/2013 decided that the General Election of the President and Vice President should be implemented simultaneously with the Legislative Election for the Member of the House of Representatives, the Regional Representatives Council, and the Regional House
of Representatives. As for the previous decision, the Constitutional Court Decision Number 5152-59/PUU-VI/2008 on the judicial review of the same article and law (Article 3 (5) of Law Number 42 of 2008), the Constitutional Court decided that the elections of the President and Vice President conducted after the Legislative Election for the Member of the House of Representatives, the Regional Representatives Council, and the Regional House of Representatives (not simultaneously) is not contradictory to the 1945 Constitution. The contradiction of these decisions is partly due to the variety of interpretation on the constitution. (Suparto) Keywords: inconsistency, the constitutional court, simultaneous elections.
UDC 347.724 Suhariyanto B (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, MA RI, Jakarta) The Corporate Criminal Liability Without Charges in the Perspective of Vicarious Liability An Analysis of Court Decision Number 2239 K/ PID.SUS/2012 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2017 10(1), 17-38 A corporation has been set as the subject of criminal offense, and so criminal liability on this subject is enforceable by law. As the subject of law, a corporation has its own mechanism in term of criminal liability, starting from investigation process, prosecution and examination before trial. The Supreme Court Decision Number 2239 K/PID.SUS/2012 overruled the ordinances of the procedural law by imposing a sentencing decision against a corporation without charges. The problems are: how does the corporate criminal
XIII
jurnal april 2017 isi.indd 13
5/2/2017 5:04:40 PM
liability exist according to the criminal procedural law in Indonesia, and how is the corporate criminal liability implemented in the practices of law enforcement, as well as how is the corporate criminal liability without charges examined through the perspective of vicarious liability? Normative research method is applied in responding to this problem. Three approaches to examine these problems are the statutory regulations, the casebased, and conceptual approaches. The analytical method applied to come to the conclusion of the issues discussed is through the qualitative juridical analysis. The results of discussions deduce that in the perspective of vicarious liability, a corporation is liable for the criminal conduct of a person who is in personification of the corporation and may be subject to corporate criminal liability. (Budi Suhariyanto) Keywords: sentencing decision, corporate criminal liability, vicarious liability.
based on normative legal research using secondary data sources. The research data are in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were analyzed qualitatively through a method of qualitative legal research. Imposing sanction of imprisonment with no rehabilitation measures on the children of drug users is inconsistent with the objective of sentencing. The principle of individualization of punishment and double track system can actually be implemented in the case of narcotic crime involving children offender. The judge in imposing sanctions on the children should be oriented to the measure of best interests of children, so that conviction for a criminal offence against children, particularly deprivation of liberty is done as a last resort (ultimum remedium). (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi) Keywords: expert witnesses, criminal responsibility, rules of evidence.
UDC 343.811; 614.25 UDC 362.7; 351.763 Ohoiwutun YAT & Samsudi (Fakultas Hukum, Universitas Jember, Jember)
Anjari W (Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta)
The Implementation of “Best Interest of the Child” in the Narcotics Criminal Case
The Imprisonment for Doctors Through the Perspective of Final and Binding Constitutional Court Ruling and Integrated Sentencing
An Analysis of Court Decision Number 229/ Pid.B/2012/PN.Jpr (Org. Ind)
An Analysis of Court Decison Number 1110 K/Pid. Sus/2012 (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2017 10(1), 39-57
Jurnal Yudisial 2017 10(1), 59-78
The Court Decision Number 229/Pid.B/2012/ PN.Jpr imposed sanctions of imprisonment against the children of drug users without any of medical and social rehabilitation measures. The provision on the examination of the psychiatrist to settle on the urgency of rehabilitation measures have been ruled out by the judges in deciding the case. The problems outlined embrace the urgency of testifying expert witnesses in the adjudication of narcotic crime case and the implementation of the “best interests of the child” measure in the imposition of sanction on the children of drug users. The analytical method used is
The binding force of the Constitutional Court ruling is final. However, the Supreme Court Decision Number 1110 K/Pid.Sus/2012 does not abide by the Constitutional Court Decision Number 4/ PUU-V/2007. The Constitutional Court Decision has annulled the imprisonment penalties in Article 75 paragraph (1), Article 76, Article 79 of Law Number 29 of 2004 concerning Medical Practices. The Supreme Court in its decision imposed the sanction of imprisonment on the doctors violating the aforementioned articles. This condition lead to such a discrepancy between the final and binding
XIV
jurnal april 2017 isi.indd 14
5/2/2017 5:04:40 PM
decision of the Constitutional Court and the integrated purposes of sentencing under Pancasila. Formulation of the problems in this analysis meets some points on how the implication of the Supreme Court Decision Number 1110 K/Pid.Sus/2012 regarding the binding force of the Constitutional Court Decision; and how the implication of the imposition of imprisonment sanction for a list of doctors stated in the Supreme Court Decision Number 1110 K/Pid.Sus/2012 in terms of integrated objective of sentencing theory. The research method is a normative juridical by case-based approach. The nature of the decision of the Constitutional Court is erga omnes, that obliges the Supreme Court to act upon. The sanction of imprisonment against the doctors with no consent practices cannot reach the integrated purpose of sentencing. As a consequence, the health services to communities are abandoned and this bring negative impacts on medical profession. To be brief, the decision of the Constitutional Court is considered futile with no binding force, accordingly the integrated purpose of sentencing under Pancasila could not be achieved. (Warih Anjari) Keywords: imprisonment, binding force of ruling, integrated purpose of sentencing.
In terms of positive law enforcement, the judges based the ruling solely on proving without probing the legitimacy of the legally flawed grant deed. This analysis employed the theory of progressive laws in an effort to seek justice by studying the problems as well as the conflict settlement of the case of grant-based heir derived from progressive law. This is a socio-legal research study using inductive approach through the perspective of postpositivism. Qualitative research was conducted primarily by collecting references from the experts in the relevant field. From this research, it can be inferred that the granting of ownership to the entire inheritance to the child out of wedlock of no recognition based solely upon a Grant Deed should not have occurred. This indicates just how weak the judiciary is, barely imposing a mere formal law as the culmination of its legal certainty resulting in the unfulfilled objectives of law, those of the benefit and equity. The pattern of progressive law is based on the progression of humans that human beings are actually good, compassionate, mutually helpful to each other, and empathetic for their fellow human beings. Indeed the true law is aimed at achieving social justice. (Poniman) Keywords: grant, inheritance, child out of wedlock of no recognition, progressive law.
UDC 347.65 Poniman (Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang) The Conflict Resolution of the Grant of Inheritance in Accordance to Progressive Law An Analysis of Court Decision Number 95/ PDT.G/2008/PN.BKS (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2017 10(1), 79-97 Bekasi District Court Decision Number 95/ PDT.G/2008/PN.BKS objected the claim and give sanction to the plaintiff to pay court costs, and decided that all the assets of the testator became solely the possession or title of the child out of wedlock of no recognition owing to the grant of the testator.
UDC 332.02 Putro WD & Zuhairi A (Fakultas Hukum, Universitas Mataram, Mataram) Considering the ‘Duty of Care’ Principle: ‘Buyer’ versus ‘Buyer’ in the Dispute of Land Sale and Purchase An Analysis of Court Decision Number 99/ Pdt.G/2014/PN.Bwi; Number 230/PDT/2015/ PT.SBY; and Number 952/K/Pdt/2016 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2017 10(1), 99-114 The dispute of land sale and purchase in this case drag the seller who had sold the same object to
XV
jurnal april 2017 isi.indd 15
5/2/2017 5:04:40 PM
two buyers in two transactions. The second buyer (plaintiff) filed a lawsuit against the first buyer (defendant II). Its legal standing created a dilemma. Both buyers felt equally entitled to be the owner of the disputed land, which is the same object purchased from the seller. In providing evidence of the most eligible buyer, the judge should take into consideration the principle of “good faith” as the basis for determining the buyer deserving legal protection. The problem is that both buyers claimed that they were buyers of good faith. Therefore, to appraise which buyer deserving the legal protection, the judges adhered to principle of “duty of care” by taking into account which one of them was carefully and meticulously reading-through the juridical and physical data prior to and during the sale and purchase of the land was conducted. Given the abstract nature of the principle of “duty of care,” the analysis method used in this discussion is exploring and studying the opinions of the experts of civil and agrarian law as to be juxtaposed with the decisions of the judges. The development of court decisions related to the issue of good faith buyers adopting the principle of “duty of care” should serve as a reference for the judges in handling similar cases to determine a good faith buyer. (Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi) Keywords: good faith, legal protection, duty of care, juridical and physical data.
XVI
jurnal april 2017 isi.indd 16
5/2/2017 5:04:40 PM
PERBEDAAN TAFSIR MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS PERKARA PEMILIHAN UMUM SERENTAK Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
SHIFTING INTERPRETATIONS OF THE CONSTITUTIONAL COURT IN DECIDING THE CASE OF SIMULTANEOUS ELECTIONS An Analysis of Constitutional Court Decisions Number 14/PUU-XI/2013 and Number 51-52-59/PUU-VI/2008 Suparto Fakultas Hukum Universitas Islam Riau Jl. Kaharuddin Nasution No. 113 Perhentian Marpoyan Pekanbaru 28284 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 2 Februari 2017; revisi: 15 Maret 2017; disetujui: 29 Maret 2017 ABSTRAK Selama ini pemilu presiden dan pemilu legislatif dilakukan secara terpisah atau tidak serentak. Pemilu legislatif selalu dilakukan sebelum pemilu presiden dan wakil presiden. Pemilihan umum yang dilakukan secara terpisah dianggap lebih banyak dampak negatifnya serta tidak sesuai dengan UUD NRI 1945. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan pendekatan peraturan perundangundangan. Rumusan masalahnya adalah bagaimanakah pertimbangan hakim konstitusi dalam memutus Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 sehingga terjadi perbedaan dengan putusan sebelumnya Nomor 51-52-59/PUUVI/2008 terkait dengan pelaksanaan pemilu serentak. Hasil penelitian menunjukkan pertimbangan hakim konstitusi dalam memutus Putusan Nomor 14/PUUXI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terjadi inkonsistensi. Putusan Nomor 14/ PUU-XI/2013 memutuskan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilu anggota DPR, DPR, dan DPRD. Sedangkan dalam putusan sebelumnya yaitu Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 pada pengujian pasal dan undang-undang yang sama (Pasal 3 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008), Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan setelah pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD (tidak serentak) adalah tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 (konstitusional). Terjadinya pertentangan putusan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan pilihan penafsiran konstitusi. Kata kunci: inkonsistensi, mahkamah konstitusi, pemilu serentak.
ABSTRACT During this time, the presidential and legislative elections are conducted separately or not simultaneously. The Legislative Elections are always carried out prior to the General Elections of the President and Vice President. The general election is conducted separately as considerably having more negative impacts and inconsistency with the 1945 Constitution. This analysis uses descriptive analysis method with the pertinent laws and regulations approach. The formulation of the issue is what the Constitutional Court Justices took into consideration in its Decision Number 14/PUU-XI/2013 leading to differences to that of its previous Decision Number 5152-59/PUU-VI/2008 concerning the implementation
Perbedaan Tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Pemilihan Umum Serentak (Suparto)
jurnal april 2017 isi.indd 1
|1
5/2/2017 5:04:40 PM
of simultaneous elections. The analysis results show inconsistencies in the consideration of the Constitutional Court Justices in ruling the case through the Decision Number 14/PUU-X/2013 on the judicial review of Law Number 42 of 2008 concerning the General Elections of the President and Vice President. The Constitutional Court Decision Number 14/PUU-X/2013 decided that the General Election of the President and Vice President should be implemented simultaneously with the Legislative Election for the Member of the House of Representatives, the Regional Representatives Council, and the Regional House of Representatives. As for the previous decision, the Constitutional Court Decision
Number 51-52-59/PUU-VI/2008 on the judicial review of the same article and law (Article 3 (5) of Law Number 42 of 2008), the Constitutional Court decided that the elections of the President and Vice President conducted after the Legislative Election for the Member of the House of Representatives, the Regional Representatives Council, and the Regional House of Representatives (not simultaneously) is not contradictory to the 1945 Constitution. The contradiction of these decisions is partly due to the variety of interpretation on the constitution.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
UUD NRI 1945 menganut sistem presidensial yang mempunyai kedudukan yang kuat, sehingga presiden dalam menjalankan pemerintahannya mempunyai posisi yang kuat, meskipun tidak didukung oleh mayoritas parlemen, karena presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya (Sodikin, 2014: 18). Skema penyelenggaraan pemilu yang didahului pemilihan umum legislatif (pemilu legislatif) sebelum pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) tidak sesuai dengan sistem presidensial. Skema yang anomali ini berdampak pada mekanisme pilpres yang terpenjara oleh hasil pemilu legislatif. Dengan demikian pemilu belum dirancang untuk memperkuat skema demokrasi presidensial dan juga tidak didesain dalam rangka meningkatkan efektivitas dan sinergi pemerintahan hasil pemilu (Haris et.al., 2014: 3).
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung dapat dikatakan lebih demokratis jika dibandingkan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena mekanisme pelaksanaannya yang melibatkan rakyat secara langsung, maka presiden dan wakil presiden dalam hal ini mendapatkan mandat langsung serta dukungan yang nyata sebagai satu bentuk interaksi langsung antara pemilih dan yang dipilih. Mekanisme pengisian jabatan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat sebenarnya telah memberikan gambaran bahwa terjadi kontrak sosial antara pemilih dan yang dipilih di dalamnya, presiden dan wakil presiden yang dipilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih nyata dari rakyat dan kemauan pemilih (volente generale) akan menjadi pegangan bagi presiden dan wakil presiden dalam melaksanakan kekuasaannya untuk mengelola negara (Mahfud MD, 2012 : 25).
2|
jurnal april 2017 isi.indd 2
Keywords: inconsistency, the constitutional court, simultaneous elections.
Selama ini pilpres dan pemilu legislatif dilakukan secara terpisah atau tidak serentak. Pemilu yang dilakukan secara terpisah antara pemilu legislatif dan pilpres dianggap banyak dampak negatifnya, antara lain dari segi biaya, waktu, dan tenaga dalam menyelenggarakan pemilu tersebut. Selain itu pemilu legislatif dan Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 1 - 16
5/2/2017 5:04:40 PM
pilpres yang dilakukan secara terpisah (pemilu legislatif dilakukan terlebih dahulu), secara politis merupakan kehendak dari partai-partai besar agar dapat mengusulkan calon-calonnya dan untuk menekan atau menyingkirkan partaipartai kecil dengan membuat ambang batas minimal untuk pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden. Selain itu pemilu yang dilaksanakan secara terpisah dianggap oleh beberapa kalangan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Kemudian Koalisi Masyarakat Sipil untuk pemilu serentak yang diwakili oleh Effendy Ghazali mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Adapun pasal yang dilakukan pengujian adalah pasal-pasal yang terkait dengan pemilu tidak serentak yaitu: Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112. Setelah melalui persidangan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUUXI/2013, mengabulkan sebagian permohonan dan menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak berlaku. Dengan putusan tersebut maka pilpres dan pemilu legislatif dilakukan secara serentak untuk pemilu tahun 2019.
legislatif (tidak bersamaan) tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau konstitusional. B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan kronologis kasus tersebut di atas, maka yang akan dijawab dalam kajian ini adalah bagaimanakah pertimbangan hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 sehingga terjadi perbedaan putusan dengan perkara sebelumnya yaitu Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 terkait dengan pelaksanaan pemilu serentak? C.
Tujuan dan Kegunaan
Dari penelitian hukum yang akan dilakukan tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUUXI/2013 sehingga terjadi perbedaan putusan dengan putusan sebelumnya yaitu Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, padahal yang diuji adalah undang-undang dan pasal yang sama. Sedangkan manfaatnya adalah dapat menambah pengetahuan bagi penulis khususnya terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-undang pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
D. Tinjauan Pustaka Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan permohonan pemohon dan 1. Pilpres dan Pemilu legislatif di Indonesia memutuskan bahwa pilpres dilaksanakan a. Menurut UUD NRI 1945 serentak dengan pemilu legislatif dianggap tidak Pasal 6A UUD NRI 1945 menyebutkan konsisten dengan putusan sebelumnya yaitu Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, di mana bahwa: Mahkamah Konstitusi menolak permohonan (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih yang meminta pemilu legislatif dengan pilpres dalam satu pasangan secara langsung dilakukan secara bersamaan dan memutuskan oleh rakyat; bahwa pilpres yang dilakukan setelah pemilu Perbedaan Tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Pemilihan Umum Serentak (Suparto)
jurnal april 2017 isi.indd 3
|3
5/2/2017 5:04:40 PM
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden;
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah partai politik; (4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. b.
Menurut Undang-Undang Pemilu
Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyatakan bahwa: Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Pancasila dan UUD NRI 1945. Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun suara terbanyak pertama dan kedua 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, dalam pemilihan umum dipilih oleh DPD, dan DPRD menyatakan bahwa: Pemilu rakyat secara langsung dan pasangan anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah pemilu yang memperoleh suara terbanyak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD dilantik sebagai Presiden dan Wakil provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam negara Presiden. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Terkait dengan pelaksanaan dan kepesertaan pemilu diatur dalam Pasal 22E UUD Terkait dengan pelaksanaan pilpres dengan NRI 1945 yang menyebutkan bahwa: pemilu legislatif yang dilakukan tidak serentak (pemilu legislatif dilaksanakan terlebih dahulu), (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, 2008 Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan dan adil setiap lima tahun sekali; Pasal 112. Pasal 3 ayat (5) menyebutkan bahwa: (2) Pemilihan umum diselenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan untuk memilih anggota Dewan setelah pelaksanaan Pemilu anggota DPR, DPD, Perwakilan Rakyat, Dewan dan DPRD. Pasal 9 berbunyi: Pasangan calon Perwakilan Daerah, Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang dan Wakil Presiden, dan Dewan memenuhi persyaratan perolehan kursi paling Perwakilan Rakyat Daerah; sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pemilu anggota DPR, (3) Peserta pemilihan umum untuk sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil 4|
jurnal april 2017 isi.indd 4
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 1 - 16
5/2/2017 5:04:40 PM
Penggunaan istilah ‘constitutional interpretation’ yang dibedakan dari ‘interpretation of statutes.’ Penafsiran konstitusi atau constitutional interpretation merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi, atau interpretation of the Basic Law. Penafsiran konstitusi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas judicial review (Chen, 2000: 1). Penafsiran konstitusi yang dimaksud di sini adalah penafsiran yang digunakan 2. Penafsiran Hukum dan Konstitusi oleh sebagai suatu metode dalam penemuan hukum Hakim (rechtsvinding) berdasarkan konstitusi yang digunakan dalam praktik peradilan Mahkamah a. Penafsiran Hukum dan Konstitusi Konstitusi. Metode penafsiran diperlukan karena Interpretasi dalam pandangan ahli hukum peraturan perundang-undangan tidak seluruhnya memiliki kesamaan paralel dengan hermeneutika. dapat disusun dalam bentuk yang jelas dan tidak Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan membuka penafsiran lagi. sebagai disiplin yang berkenaan dengan teori tentang penafsiran. Pengertian teori di sini tidak b. Macam-Macam Penafsiran Hukum dan Konstitusi hanya menunjuk suatu eksposisi metodologis Presiden. Pasal 14 ayat (2) menyebutkan bahwa: Masa pendaftaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil pemilu anggota DPR. Pasal 112 menentukan: Pemungutan suara pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
tentang aturan-aturan yang membimbing penafsiran-penafsiran teks, akan tetapi istilah teori juga menunjuk kepada filsafat dalam pengertian yang lebih luas karena tercakup di dalamnya tugastugas menganalisa segala fenomena dasariah dalam proses penafsiran atau pemahaman manusia (Susanto, 2010: 113).
Beberapa metode interpretasi yang lazim digunakan oleh hakim (pengadilan) sebagai berikut: interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa; interpretasi teleologis; interpretasi sistematis atau logis; interpretasi historis; interpretasi komparatif atau perbandingan; dan interpretasi futuristis (Mertokusumo & Pitlo, Penafsiran hukum adalah mencari dan 1993: 19-20). menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang 1. Interpretasi Gramatikal tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh Interpretasi gramatikal atau interpretasi undang-undang (Soeroso, 2002: 97). Dalam ilmu menurut bahasa ini memberikan penekanan hukum dan konstitusi, interpretasi atau penafsiran pada pentingnya kedudukan bahasa dalam adalah metode penemuan hukum (rechtsvinding) rangka memberikan makna terhadap sesuatu yang dalam peraturannya ada tetapi tidak jelas objek. untuk dapat diterapkan pada peristiwanya 2. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis (Sidharta, 2008: 11). Istilah ‘penafsiran konstitusi’ merupakan terjemahan dari constitutional interpretation.
Interpretasi teleologis atau sosiologis adalah apabila makna undang-undang
Perbedaan Tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Pemilihan Umum Serentak (Suparto)
jurnal april 2017 isi.indd 5
|5
5/2/2017 5:04:40 PM
ditetapkan berdasarkan kondisi dan tujuan penjelasan ketentuan undang-undang yang kemasyarakatan. Dengan interpretasi belum mempunyai kekuatan hukum. teleologis ini undang-undang yang masih Bobbit mengidentifikasikan enam macam berlaku tetapi sudah usang atau tidak sesuai metode penafsiran konstitusi (constitutional lagi, diterapkan pada peristiwa, hubungan, interpretation), yaitu: kebutuhan, dan kepentingan masa kini. 3.
Interpretasi Sistematis atau Logis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan perundangundangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundangundangan.
4.
5.
6.
6|
jurnal april 2017 isi.indd 6
1.
Penafsiran Tekstual
Penafsiran tekstual atau penafsiran harfiah ini merupakan bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang dilakukan dengan cara memberikan makna terhadap arti dari kata-kata di dalam dokumen atau teks yang dibuat oleh lembaga legislatif. Dengan demikian, penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemahaman terhadap katakata yang tertera dalam konstitusi atau Interpretasi Historis undang-undang sebagaimana yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan Makna ketentuan dalam suatu peraturan orang. perundang-undangan dapat juga ditafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan 2. Penafsiran Historis peraturan itu sendiri. Dengan penafsiran Penafsiran historis ini disebut juga menurut sejarah undang-undang hendak penafsiran orisinal, yaitu bentuk atau metode dicari maksud ketentuan undang-undang penafsiran konstitusi yang didasarkan pada yang dikehendaki oleh pembentuk undangsejarah konstitusi atau undang-undang itu undang pada waktu pembentukannya. dibahas, dibentuk, diadopsi atau diratifikasi Interpretasi Komparatif atau Perbandingan oleh pembentuknya atau ditandatangani institusi yang berwenang. Pada umumnya Interpretasi komparatif atau perbandingan metode penafsiran ini menggunakan merupakan metode penafsiran yang pendekatan original intent terhadap normadilakukan dengan jalan memperbandingkan norma hukum konstitusi. antara beberapa aturan hukum. Tujuan hakim memperbandingkan adalah dimaksudkan 3. Penafsiran Doktrinal untuk mencari kejelasan mengenai makna Penafsiran doktrinal merupakan metode dari suatu ketentuan undang-undang. penafsiran yang dilakukan dengan cara Interpretasi Futuristis memahami aturan undang-undang melalui sistem preseden atau melalui praktik Interpretasi futuristis atau metode penemuan peradilan. hakim yang bersifat antisipasi adalah
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 1 - 16
5/2/2017 5:04:40 PM
4.
Penafsiran Prudensial
penafsiran konstitusi mana yang diyakini benar. Dengan demikian hakim memiliki kebebasan Penafsiran prudensial merupakan metode yang otonom untuk memilih dan menggunakan penafsiran yang dilakukan dengan cara metode-metode penafsiran atau interpretasi itu. mencari keseimbangan antara biaya-biaya yang harus dikeluarkan dan keuntunganSedapat mungkin semua metode penafsiran keuntungan yang diperoleh dari penerapan dapat dilakukan agar didapat makna yang suatu aturan atau undang-undang tertentu. tepat. Apabila semua metode tersebut tidak
menghasilkan makna yang sama, maka wajib diambil metode penafsiran yang membawa Penafsiran struktural merupakan metode keadilan yang setinggi-tingginya (Soeroso, 2002: penafsiran yang dilakukan dengan cara 99). Menurut penulis walaupun hakim memiliki mengaitkan aturan dalam undang-undang kebebasan untuk menggunakan jenis atau metode dengan konstitusi atau Undang-Undang penafsiran, akan tetapi seorang hakim tetap harus Dasar yang mengatur tentang struktur- mempunyai dasar argumentasi yang kuat kenapa ia memilih jenis atau metode penafsiran tertentu. struktur ketatanegaraan. Sehingga tidak ada kesan bahwa hakim dalam 6. Penafsiran Etikal memilih jenis atau metode penafsiran dilakukan Penafsiran etikal merupakan metode dengan asal-asalan. penafsiran yang dilakukan dengan cara menurunkan prinsip-prinsip moral dan II. METODE etik sebagaimana terdapat dalam konstitusi Pendekatan hukum yang digunakan atau Undang-Undang Dasar. Metode adalah yuridis normatif yaitu melihat hukum penafsiran ini dikonstruksi dari tipe sebagai norma dalam masyarakat (Soekanto & berpikir konstitusional yang menggunakan Mamudji, 2006: 14) dengan melakukan kajian pendekatan falsafati, aspirasi atau moral terhadap Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dan (Chen, 2000: 5). dibandingkan dengan Putusan Nomor 51-52-59/ c. Hakim Bebas Memilih Metode PUU-VI/2008. Interpretasi Jenis bahan hukum yang digunakan adalah Dalam praktik peradilan, metode bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum interpretasi konstitusi yang satu dapat digunakan primer adalah bahan utama yang digunakan oleh hakim bersama-sama dengan metode dalam sebuah penelitian hukum normatif. Dalam penafsiran konstitusi yang lainnya. Tidak ada tulisan ini bahan hukum primer yang digunakan keharusan bagi hakim hanya boleh memilih dan adalah Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dan menggunakan satu metode interpretasi konstitusi Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, serta tertentu saja. Hakim dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang terkait beberapa metode interpretasi konstitusi itu secara yaitu: UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor bersamaan. Hakim juga memiliki kebebasan 42 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 4 Tahun untuk memilih dan menggunakan metode-metode 2014, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang5.
Penafsiran Struktural
Perbedaan Tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Pemilihan Umum Serentak (Suparto)
jurnal april 2017 isi.indd 7
|7
5/2/2017 5:04:40 PM
Undang Nomor 1 Tahun 2013, Putusan Nomor 05/PUU-IV/2006, dan Putusan Nomor 1-2/PUUXII/2014. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer yang terdiri dari buku, jurnal, dan artikel yang terkait dengan objek penelitian ini.
tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang disebut dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian menurut logika hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu, pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Misalnya, Pasal 3 ayat (5) berbunyi: “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilu DPR, dilakukan penulis untuk menyelesaikan penelitian DPRD, dan DPD.” ini adalah studi dokumen dan studi kepustakaan. Studi dokumen merupakan alat pengumpulan Pengalaman yang telah berjalan ialah data yang dilakukan melalui data tertulis dengan pilpres dilaksanakan setelah pemilu DPR, DPD, mempergunakan “content analysis.” Dokumen dan DPRD, karena presiden dan atau wakil yang digunakan penulis adalah Putusan Nomor presiden dilantik oleh MPR (Pasal 3 ayat (2) 14/PUU-XI/2013 dan Putusan Nomor 51-52- UUD NRI 1945), sehingga pemilu DPR dan 59/PUU-VI/2008. Studi kepustakaan adalah DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR. pengujian informasi tertulis mengenai hukum Lembaga inilah yang kemudian melantik presiden yang berasal dari berbagai sumber hukum dan dan wakil presiden, oleh karenanya harus dibentuk dipublikasikan secara luas. lebih dahulu. Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut desuetudo atau kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah menggantikan ketentuan hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi baik praktik di Indonesia maupun di negara lain. Hal ini merupakan kebenaran bahwa “the laife of law has not been logic it has been experience.” Oleh karena kebiasaan demikian telah diterima dan dilaksanakan, sehingga dianggap tidak III. HASIL DAN PEMBAHASAN bertentangan dengan hukum. Dengan demikian Salah satu pasal yang diuji adalah pasal maka kedudukan Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang yang terkait dengan pilpres dan pemilu legislatif Nomor 42 Tahun 2008 adalah konstitusional yang tidak serentak yaitu: Pasal 3 ayat (5) yang (Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008). berbunyi: “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pada pengujian pasal yang sama yaitu dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilu Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 anggota DPR, DPD, dan DPRD.” Mahkamah Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi mengabulkan Konstitusi menolak permohonan tersebut atau permohonan tersebut atau dengan kata lain dengan kata lain pemilu tidak serentak dianggap pemilu tidak serentak inkonstitusional dengan konstitusional dengan pertimbangan bahwa pertimbangan bahwa dari sisi original intent dan pemilu tidak serentak merupakan cara atau penafsiran sistematik. Apabila diteliti lebih lanjut persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya makna asli yang dikehendaki oleh para perumus acapkali menitikberatkan pada tata urut yang perubahan UUD NRI 1945, dapat disimpulkan Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif yaitu suatu analisis dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan kemudian membandingkan antara data dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, teori hukum, dan pendapat para ahli hukum.
8|
jurnal april 2017 isi.indd 8
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 1 - 16
5/2/2017 5:04:40 PM
bahwa penyelenggaraan pilpres adalah dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,” adalah tidak serentak dengan pemilu legislatif. mungkin yang dimaksud “sebelum pemilihan umum” dimaknai sebelum pilpres, maka frasa Hal itu secara tegas dikemukakan oleh “sebelum pemilihan umum” tersebut menjadi Slamet Effendy Yusuf sebagai salah satu anggota tidak diperlukan, karena calon presiden dengan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI yang sendirinya memang harus diajukan sebelum mempersiapkan draft perubahan UUD NRI pemilihan presiden. Dengan demikian menurut 1945 yang mengemukakan bahwa para anggota Mahkamah Konstitusi, baik dari sisi metode MPR yang bertugas membahas perubahan UUD penafsiran original intent maupun penafsiran NRI 1945 ketika membicarakan mengenai sistematis dan penafsiran gramatikal secara permasalahan ini telah mencapai satu kesepakatan komprehensif, pilpres dilaksanakan bersamaan bahwa ”... yang dimaksud pemilu itu adalah dengan pemilihan umum untuk memilih anggota pemilu untuk DPR, pemilu untuk DPD, pemilu lembaga perwakilan (Putusan Nomor 14/PUUuntuk Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. XI/2013). Jadi, diletakkan dalam satu rezim pemilu.” Diterangkan lebih lanjut secara teknis bahwa Berdasarkan Putusan Nomor 14/PUUgambaran pelaksanaan pemilu nantinya akan XI/2013 tersebut, penulis akan membahas dan terdapat lima kotak, yaitu: “...Kotak 1 adalah menganalisis pertimbangan hakim konstitusi kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 dalam memutus perkara tersebut. Salah satu adalah kotak presiden dan wakil presiden, kotak Pasal yang diujikan dalam Undang-Undang 4 adalah kotak DPRD Provinsi, dan kotak 5 Nomor 42 Tahun 2008 yaitu Pasal 3 ayat (5) adalah kotak DPRD kabupaten/kota” (Sekretariat yang menyebutkan bahwa: Pemilu Presiden dan Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan RI, 2010: 602). Dengan demikian, dari sudut Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. original intent dari penyusun perubahan UUD Pengujian pasal tersebut pernah dilakukan dan NRI 1945 telah terdapat gambaran visioner pernah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme penyelenggaraan pilpres, dengan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 bahwa pilpres diselenggarakan secara bersamaan tanggal 18 Februari 2009 yang pada dasarnya dengan pemilu legislatif. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun Selain itu, dengan menggunakan penafsiran 2008 tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. sistematis atas ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan: “Pasangan calon Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai hukumnya berpendapat bahwa: pilpres yang politik atau gabungan partai politik peserta dilaksanakan sesudah atau bersamaan dengan pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan pemilu legislatif hanya merupakan cara atau umum,” dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (2) prosedural yang dalam pelaksanaannya acapkali UUD NRI 1945 yang menyatakan: ”Pemilihan menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis umum diselenggarakan untuk memilih anggota atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan yang disebut dengan hukum tidak selalu sama Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan dan sebangun dengan pengertian logika hukum Perbedaan Tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Pemilihan Umum Serentak (Suparto)
jurnal april 2017 isi.indd 9
|9
5/2/2017 5:04:40 PM
apalagi logika umum. Oleh karena itu pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum atau juga disebut desuetudo atau kebiasaan ketatanegaraan (konvensi ketatanegaraan).
rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR tanggal 4-8 November 2001, pada rapat Komisi A, kedua (lanjutan) tanggal 5 November 2001, anggota MPR dari F-KKI Tjetje Hidayat Patmadinata bertanya kepada Ketua Rapat Slamet Effendi Pengalaman yang telah berjalan di Indonesia, Yusuf sebagai berikut: pilpres dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilu “.....Kemudian Pasal 6A ayat (3), ini DPR, DPD, dan DPRD. Karena presiden dan mungkin pertanyaan dari saya. Saya agak wakil presiden dilantik oleh MPR, sehingga kaget paket calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih pemilu DPR dan DPD didahulukan agar dapat dari lima puluh persen dari jumlah suara dibentuk MPR. Sedangkan dalam pengujian adalah tiba-tiba menyelonong Pemilihan pasal yang sama yaitu Pasal 3 ayat (5) UndangUmum. Karena saya menangkap pemilihan presiden tidak ada kaitannya dengan Undang Nomor 42 Tahun 2008 pada Putusan Pemilu. Presidential election tidak ada Nomor 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari kaitannya dengan general election, 2014, Mahkamah Konstitusi justru mengabulkan mengapa ada kalimat, bagi saya tibatiba nyelonong dalam Pemiliham Umum. permohonan tersebut dan menganggap pilpres Ternyata di Bab VIIB dalam Pemilihan yang dilakukan setelah pemilihan umum DPR Umum, Bab VIIB halaman 11, ayat (2) dan DPD adalah bertentangan dengan UUD NRI itu Pasal 22E ayat (2) di sana pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih 1945 atau inkonstitusional. Meskipun negara anggota Dewan Perwakilan Rakyat, betul, Indonesia tidak menganut putusan hakim yang Dewan Perwakilan Daerah, betul, tiba-tiba nyelonong presiden dan wakil presiden. bertumpu pada putusan sebelumnya, tetapi Ini saya tidak mengerti. Karena setahu dalam putusan ini terlihat jelas kontradiktif saya dan seingat saya, general election antara Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 beda dengan kalau itu presidential election saja. Tidak ada kaitan dengan pemilu dan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 padahal pilihan presiden itu. Jadi mohon penjelasan objek kajiannya sama. Hal ini menandakan dasar karena saya berpendapat, kalau pemilihan argumentasi hakim dalam putusan ini berbeda presiden dan wakil presiden dimasukkan dalam pemilihan umum, bagi saya salah (Anwar, 2014: 575). itu. Itu kurang lebih. Jadi perlu penjelasan, minta penjelasan. Sekali lagi pertanyaan Salah satu pertimbangan hukumnya adalah saya, mengapa itu dikaitkan dengan bahwa secara original intent, yang dimaksud pemilu? Terima kasih.” Kemudian Ketua Rapat Slamet Effendi Yusuf menjelaskan. dengan pemilu itu adalah pemilu untuk DPR, “Terima kasih Pak Tjetje. Saya enggak pemilu untuk DPD, pemilu untuk presiden dan tahu siapa yang harus menjelaskan tapi wakil presiden dan pemilu DPRD atau disebut saya mencoba menjelaskan, karena saya ikut dalam proses perumusannya. Jadi dengan pemilu lima kotak. Kotak 1 adalah kotak memang begini, memang pada konsep DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah ini, secara keseluruhan itu, presiden nanti presiden dan wakil presiden, kotak 4 adalah dalam pemilihan yang disebut langsung itu diadakan dalam pemilihan umum yang DPRD Provinsi, dan kotak 5 adalah DPRD diselenggarakan bareng-bareng ketika kabupaten/kota. Kalau ditelusuri lebih jauh hal memilih DPR, DPD, DPRD, kemudian juga paket presiden dan wakil presiden ini dapat dilihat ketika terjadi perdebatan antara sehingga nanti digambarkan ada lima kotak. Slamet Efendi Yusuf dengan Tjetje Hidayat Jadi kotak untuk DPR, kotak untuk DPD, dalam sidang MPR tahun 2001. Dalam risalah 10 |
jurnal april 2017 isi.indd 10
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 1 - 16
5/2/2017 5:04:40 PM
kotak untuk DPRD Provinsi, kotak untuk DPRD kota atau kabupaten, dan kotak untuk presiden dan wakil presiden itu. Jadi gambaran memang itu dan memang konsep ini menyebut pemilihan presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum. Itu penjelasannya. Tapi Pak Tjetje bisa setuju atau tidak, tapi penjelasannya adalah seperti itu” (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010: 603).
pilpres dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Karena dalam risalah rapat Komisi A MPR tahun 2001 telah menentukan bahwa pemilu itu adalah pemilu untuk DPR, pemilu untuk DPD, pemilu untuk presiden dan wakil presiden, pemilu untuk DPRD provinsi, dan pemilu DPRD kabupaten/kota. Dengan demikian tidak akan terjadi perbedaan antara Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyebabkan Mahkamah Konstitusi dianggap tidak konsisten. Memang idealnya bentuk atau cara penafsiran yang digunakan oleh hakim konstitusi adalah secara komprehensif tetapi harus ada yang lebih diprioritaskan atau diutamakan sehingga dapat mengurangi adanya disparitas dalam putusan atau munculnya pendapat yang berbeda atau dissenting opinion. Sebagai contoh dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-XI/2013 ada tiga hakim konstitusi yang menyampaikan dissenting opinion.
Mahkamah Konstitusi berargumentasi bahwa terjadinya perbedaan putusan dalam pengujian pasal yang sama yaitu Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, karena pada Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran atas ketentuan konstitusi yang sesuai dengan konteks pada saat putusan tersebut dibuat. Penafsiran yang didasarkan atas kondisi atau konteks pada saat itu disebut dengan penafsiran konstektual atau sosiologis. Penafsiran konstektual adalah interpretasi yang disesuaikan dengan kondisi dan tujuan kemasyarakatan pada masa kini (Mertokusumo & Pitlo, 1993: 73). Atau metode Mengenai alasan hakim konstitusi, bahwa penafsiran yang memusatkan perhatian pada adanya perbedaan dalam Putusan Nomor 51-52persoalan, apa tujuan yang hendak dicapai 59/PUU-VI/2008 dengan Putusan Nomor 14/ oleh norma hukum yang ditentukan dalam teks PUU-XI/2013 adalah karena pilihan penafsiran (Utrecht, 1983: 25). Mahkamah Konstitusi atas ketentuan konstitusi Menurut penulis, kalau dikaji lebih dalam yang sesuai dengan konteks pada saat itu, menurut dari adanya pertentangan putusan (inkonsistensi) penulis ada dua hal yang perlu dikaji dan ditelaah. tersebut disebabkan adanya perbedaan cara dalam Pertama, kalau yang dimaksud konteks pada saat menafsirkan UUD NRI 1945 (bentuk penafsiran itu adalah situasi dan kondisi yang melingkupi yang digunakan) oleh para hakim konstitusi, pelaksanaan pemilihan umum pada saat itu apakah itu berdasarkan original intent, tekstual, adalah kurang tepat karena tidak ada perbedaan sistematik, gramatikal ataupun kontekstual. situasi dan kondisi antara pelaksanaan pemilu Kalau misalnya sedari awal dalam pengujian pada saat itu (pemilu pada tahun 2004) dengan Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 pemilu pada tahun 2009. Dengan demikian kalau Tahun 2008 para hakim konstitusi menggunakan dianggap pilihan penafsiran itu sesuai pada saat bentuk penafsiran berdasarkan original intent, itu (Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008), maka pada Putusan Nomor 51-52-59/PUU- maka akan sesuai juga ketika membuat Putusan VI/2008, permohonan dapat dikabulkan artinya Nomor 14/PUU-XI/2013.
Perbedaan Tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Pemilihan Umum Serentak (Suparto)
jurnal april 2017 isi.indd 11
| 11
5/2/2017 5:04:40 PM
Kedua, pilihan bentuk atau cara penafsiran terhadap konstitusi diperbolehkan dan dibenarkan sepanjang diterapkan secara tepat dan konsisten. Penafsiran kontekstual atau teleologis adalah penafsiran yang didasarkan pada kondisi dan tujuan kemasyarakatan. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru (Mertokusumo & Pitlo, 1993: 19-20). Penafsiran yang dilakukan secara kontekstual atau sosiologis menurut penulis merupakan langkah terobosan bagi hakim konstitusi dalam menafsirkan UUD NRI 1945, dan ini menjadikan UUD NRI 1945 bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman. Tetapi kadangkala pilihan penafsiran secara kontekstual ini juga tidak dilaksanakan secara konsisten oleh hakim konstitusi. Misalnya Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hakim konstitusi bukanlah termasuk hakim yang dapat diawasi perilakunya oleh Komisi Yudisial. Tetapi dalam kasus korupsi mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, terungkap fakta dalam persidangan bahwa karena tidak adanya pengawasan terhadap perilakunya, Akil Mochtar bisa bebas bepergian ke luar negari (Singapura) untuk bertemu Ratu Atut Choisiyah (mantan Gubernur Banten) dan bertemu dengan Habit Binti (mantan Bupati Gunung Mas) di rumah dinasnya, padahal seorang hakim dilarang bertemu dengan pihak-pihak yang diduga terkait dengan penanganan perkara yang ditangani. Seharusnya kalau hakim konstitusi mau menggunakan penafsiran konstitusi secara kontekstual (kondisional) pada saat itu, maka hakim konstitusi tidak akan membatalkan PERPU Nomor 1 Tahun 2013 atau UndangUndang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan 12 |
jurnal april 2017 isi.indd 12
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang. PERPU tersebut sengaja diterbitkan karena adanya kasus korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, di mana dalam PERPU tersebut hakim konstitusi perlu diawasi perilakunya oleh Komisi Yudisial. Tetapi Mahkamah Konstitusi tetap membatalkan PERPU/Undang-Undang tersebut (Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014) dengan alasan karena sudah pernah diputuskan pada tahun 2006 (Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006), padahal situasinya sudah berbeda antara tahun 2006 dengan tahun 2013. Terkait dengan alasan hakim konstitusi bahwa pilpres yang dilakukan setelah pemilu legislatif adalah tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 karena dianggap hal tersebut sudah merupakan konvensi ketatanegaraan (Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008), menurut penulis kurang tepat, adanya kebiasaan atau pengalaman itulah justru yang harus diuji dengan UUD NRI 1945 apakah bertentangan atau tidak, bukan berarti semua yang dianggap kebiasaan ketatanegaraan itu adalah konstitusional. Penyimpangan dalam melaksanakan praktik ketatanegaraan yang memang secara tegas diatur dalam konstitusi menurut penulis tetaplah inkonstitusional. Penulis juga tidak sependapat dengan alasan hakim konstitusi bahwa pilpres dengan pemilu legislatif tidak serentak sudah merupakan kebiasaan ketatanegaraan, karena pemilunya pada waktu itu baru dilakukan sekali (2004). Hal ini, sejalan dengan pendapat tiga hakim konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) yang menyatakan bahwa pilpres yang dilakukan sesudah pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak tepat kalau dianggap sebagai suatu Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 1 - 16
5/2/2017 5:04:40 PM
kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan karena baru berlangsung tahun 2004 dan direncanakan tahun 2009, sedangkan kebiasaan ini biasanya berulang-ulang atau tindakan yang berulang kali dilakukan (Rumokoy, 2011: 10). Terkait dengan konvensi ini, Kusnardi & Ibrahim sebagaimana dikutip oleh Rumokoy lebih setuju menggunakan istilah “kebiasaan ketatanegaraan” sebagai terjemahan dari conventions of the constitution daripada konvensi ketatanegaraan. Dalam tulisannya Kusnardi memberi pengertian kebiasaan ketatanegaraan sebagai perbuatan dalam kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali, sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan, walaupun ia bukan hukum. Di sinilah letak perbedaan antara kebiasaan ketatanegaraan dengan ketentuan hukum yang sudah tidak diragukan lagi keabsahannya, tetapi sebaliknya ketentuan kebiasaan ketatanegaraan walaupun bagaimana pentingnya ia tetap merupakan kebiasaan saja (Rumokoy, 2011: 17). Menurut penulis, alasan hakim konstitusi yang menyatakan bahwa pemilu DPR dan DPD harus didahulukan dibanding pemilu presiden dan wakil presiden, karena yang akan melantik presiden dan wakil presiden terpilih nantinya adalah MPR (terdiri dari anggota DPR dan DPD) adalah kurang tepat, walaupun pemilu presiden dan wakil presiden dilakukan secara serentak dengan pemilu DPR dan DPD. MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD tetap dapat melantik presiden dan wakil presiden terpilih, misalnya pelantikan anggota DPR dan DPD dilakukan pada minggu pertama bulan Oktober dan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih dilakukan pada minggu ketiga bulan Oktober pada tahun dilaksanakannya pemilihan umum.
Apabila Mahkamah Konstitusi konsisten dengan pendapatnya dalam putusan sebelumnya (misal Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009), penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) yang cenderung lebih menekankan pada tafsir tekstual dan original intent, seyogianya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon, karena dengan cara penafsiran tekstual dan original intent, bahkan juga dengan penafsiran sistematik atas Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjadi sumber legitimasi Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 9 UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008, sudah sangat jelas bahwa pembentuk UUD menghendaki agar pemilihan umum (pemilu) yang meliputi pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu legislatif) serta pilpres dilakukan secara serempak dalam waktu bersamaan. Frasa “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” yang tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 tidak dapat dipisahkan dari pengertian pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yaitu: bahwa pemilihan umum adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagai satu kesatuan sistem dan proses dalam penyelenggaraannya oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945). Penafsiran tekstual adalah penafsiran dengan cara memberikan makna terhadap arti dari kata-kata dalam dokumen atau Undang-Undang Dasar, sedangkan penafsiran original intent adalah penafsiran yang didasarkan pada sejarah konstitusi itu dibahas, dibentuk, diadopsi atau diratifikasi oleh pembentuknya (Chen, 2000: 5). Menurut Mertokusumo & Pitlo yang dimaksud dengan penafsiran sistematis adalah penafsiran yang didasarkan pada suatu pemikiran bahwa
Perbedaan Tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Pemilihan Umum Serentak (Suparto)
jurnal april 2017 isi.indd 13
| 13
5/2/2017 5:04:40 PM
undang-undang merupakan bagian dari sistem peraturan perundang-undangan atau suatu pasal di dalam undang-undang atau konstitusi tidak terlepas dari pasal-pasal yang lain (Mertokusumo & Pitlo, 1993: 19-20). Berdasarkan penafsiran secara original intent, tekstual, dan sistematik atas Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 sudah sangat terang benderang bahwa pembentuk UUD NRI 1945 memang menghendaki agar pemilihan umum yang meliputi pemilu untuk pemilih anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu legislatif) serta pilpres dilakukan secara serentak dalam waktu bersamaan. Dalam praktik peradilan, metode interpretasi konstitusi yang satu dapat digunakan oleh hakim bersama-sama dengan metode penafsiran konstitusi yang lainnya. Tidak ada keharusan bagi hakim hanya boleh memilih dan menggunakan satu metode interpretasi konstitusi tertentu saja. Hakim juga memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan metode-metode penafsiran konstitusi mana yang diyakininya benar. Dengan demikian hakim memiliki kebebasan yang otonom untuk memilih dan menggunakan metode-metode penafsiran atau interpretasi itu.
lanjut diatur dalam undang-undang.” Aturanaturan tersebut dirumuskan pada Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 yang juga menghasilkan norma Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” yang dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI 1945: “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur undangundang.” Berdasarkan ketentuan tersebut, secara delegatif UUD NRI 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan presiden) untuk mengatur tata cara pelaksanaan pilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum, sehingga menjadi kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang untuk merumuskan mekanisme terbaik tata cara pemilihan umum, termasuk dalam penentuan waktu antarsatu pemilihan dengan pemilihan yang lain. Pertimbangan hukum lain dari hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang tidak muncul atau berbeda dengan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 adalah bahwa praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan pilpres setelah pemilu legislatif ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan pilpres setelah pelaksanaan pemilu legislatif tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi (Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013).
Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, hakim Maria Farida Indrati menyampaikan dissenting opinion atau ia menolak permohonan (pemilu tidak serentak adalah konstitusional) artinya ia tetap konsisten dengan sikapnya pada putusan sebelumnya (Putusan Nomor 51-52-59/PUUVI/2008) dengan alasan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Kemudian Pasal 6A ayat (5) UUD Hal senada disampaikan oleh Isra, NRI 1945 menentukan: “Tata cara pelaksanaan pemisahan pilpres dari pemilu legislatif pemilihan presiden dan wakil presiden lebih 14 |
jurnal april 2017 isi.indd 14
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 1 - 16
5/2/2017 5:04:40 PM
berdampak terhadap terjadinya distorsi sistem pemerintahan presidensial yang dibangun dan dimurnikan melalui proses perubahan UUD NRI 1945 (Isra, 2014: 49). Fakta yang terjadi di Indonesia, pemisahan pemilihan presiden dan DPR berimplikasi terhadap adanya barter kekuasaan melalui bagi-bagi jatah kursi di kementerian. Dengan penyatuan pemilihan presiden dan DPR diharapkan peluang untuk bagi-bagi jatah kursi di kementerian dimungkinkan untuk diminimalisir, sehingga presiden tidak tersandera dengan kepentingan partai politik. Begitu juga partai politik tidak dapat menyandera presiden (Hajri, 2014: 393).
IV. KESIMPULAN
Pertimbangan hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terjadi inkonsistensi. Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 mengabulkan permintaan pemohon dan memutuskan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilu anggota DPR, DPR, dan DPRD. Sedangkan dalam putusan sebelumnya yaitu Putusan Nomor 51-52-59/ PUU-VI/2008 pada pengujian pasal dan undangundang yang sama (Pasal 3 ayat (5) UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008), Mahkamah Lahirnya Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 Konstitusi menolak permohonan pemohon dan yang mengukuhkan upaya pelaksanaan pemilu memutuskan bahwa pemilu presiden dan wakil serentak sejak pemilu tahun 2019 di Tanah Air, presiden yang dilaksanakan setelah pemilu patut dimaknai sebagai upaya pelembagaan anggota DPR, DPD, dan DPRD (tidak serentak) konsepsi demokrasi yang lebih berkualitas, adalah tidak bertentangan dengan UUD NRI efektif, dan efisien (Simamora, 2014: 17). Selain 1945 (konstitusional). itu pemilu nasional serentak memiliki sejumlah Pertentangan putusan ini antara lain keuntungan antara lain adalah mendorong disebabkan oleh pilihan jenis atau bentuk kualitas parpol yang lebih demokratis dan penafsiran terhadap konstitusi yang berbeda. potensial meminimalkan konflik antar partai atau Dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 pendukung partai (Prasetyoningsih, 2014: 261). mayoritas hakim konstitusi mengutamakan Menurut penulis, pemilu serentak akan dapat bentuk penafsiran sosiologis atau kontekstual. memperkuat sistem pemerintahan presidensial Sedangkan pada Putusan Nomor 14/PUUmayoritas hakim konstitusi karena koalisi antar partai politik yang bersifat XI/2013, pragmatis berkurang dan akan mendorong mengutamakan bentuk penafsiran historis atau terciptanya koalisi permanen dalam mendukung original intent. Idealnya cara menafsirkan dan menjalankan pemerintahan. Menurut konstitusi dilakukan secara komprehensif dan Asshiddiqie, dengan mekanisme pemilihan menyeluruh oleh para hakim konstitusi baik pimpinan eksekutif dan anggota lembaga itu secara tekstual, kontekstual, original intent, legislatif secara serentak, ada beberapa manfaat sistematik ataupun gramatikal akan tetapi yang diperoleh antara lain sistem pemerintahan tetap perlu adanya prioritas jenis penafsiran diperkuat melalui political separation (decoupled) yang mana yang akan didahulukan, hal ini antara fungsi eksekutif dan legislatif yang memang untuk mengurangi disparitas dan inkonsistensi sudah seharusnya saling imbang mengimbangi dalam membuat putusan. Terlepas dari adanya perubahan penafsiran yang menyebabkan (Asshiddiqie, 2014: 1). Perbedaan Tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Pemilihan Umum Serentak (Suparto)
jurnal april 2017 isi.indd 15
| 15
5/2/2017 5:04:40 PM
terjadinya perbedaan putusan, putusan Mahfud MD, Moh. (2012). Perdebatan hukum tata negara pasca amandemen Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi tentang pemilu serentak Rajawali Press. ini perlu diapresiasi dalam rangka memperkuat pemerintahan presidensial di Indonesia. Ke depan Mertokusumo, S., & Pitlo, A. (1993). Penemuan hakim konstitusi dalam menafsirkan konstitusi hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. agar lebih memprioritaskan bentuk atau jenis Prasetyoningsih, N. (2014, Desember). Dampak penafsiran secara historis atau original intent.
pemilu serentak bagi pembangunan demokrasi Indonesia. Jurnal Media Hukum, 21(2), 261.
Rumokoy,
pemilu legislatif dan presiden tahun 2009 dan 2014 dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 21(4), 575. Asshiddiqie, J. (2014). Pemilihan umum serentak pemerintahan
Praktik
konvensi
Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda. Jakarta:
Anwar, B. (2014, Oktober). Politik hukum sistem
penguatan
(2011).
ketatanegaraan di Indonesia: Perbandingan di
DAFTAR ACUAN
dan
D.A.
presidensial.
Proceeding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara dan Anugerah Konstitusi, Muhammad Yamin, Sawah Lunto, 29 Mei - 1 Juni 2014, 1. Chen, A.H.Y. (2000). The interpretation of the basic law and mainland Chinese perspectives. Hongkong Jurnal Ltd, 5(2), 1.
Media Prima Aksara. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. (2010). Naskah komprehensif perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Latar belakang, proses, dan hasil pembahasan 1999-2002. Buku V Pemilihan Umum (Edisi Revisi). Jakarta: Konpress. Sidharta,
B.A.
(2008).
Meuwissen
tentang
pengembangan hukum, ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Bandung: Refika Aditama. Simamora, J. (2014, April). Menyongsong rezim
Hajri, W.A. (2014). Pemilu nasional serentak; Suatu
pemilu serentak. Jurnal Rechtsvinding, 3(1), 21.
upaya dan penguatan sistem presidensial
Sodikin, (2014, April). Pemilu serentak (Pemilu
Indonesia. Proceeding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara dan Anugerah Konstitusi, Muhammad Yamin, Sawah Lunto, 29 Mei - 1 Juni 2014, 393. Haris, S. et.al., (2014). Pemilu nasional serentak 2019. Electoral Research Institut-LIPI, Jakarta, 3. Isra, S. (2014). Pemilihan umum serentak dalam desain sistem
pemerintahan
presidensial
menurut
UUD 1945. Proceeding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara dan Anugerah Konstitusi, Muhammad Yamin, Sawah Lunto, 29 Mei - 1 Juni 2014, 49.
legislatif dengan pilpres & wapres) dan penguatan sistem presidensial. Jurnal Rechtsvinding, 3(1), 18. Soekanto, S., & Mamudji, S. (2006). Penelitian hukum normatif; Suatu tinjauan singkat. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Soeroso, R. (2002). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Susanto, A.F. (2010). Ilmu hukum non sistematik. Yogyakarta: Genta Publishing. Utrecht. (1983). Pengantar dalam hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru.
16 |
jurnal april 2017 isi.indd 16
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 1 - 16
5/2/2017 5:04:41 PM
PUTUSAN PEMIDANAAN TERHADAP KORPORASI TANPA DIDAKWAKAN DALAM PERSPEKTIF ”VICARIOUS LIABILITY” Kajian Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012
THE CORPORATE CRIMINAL LIABILITY WITHOUT CHARGES IN THE PERSPECTIVE OF VICARIOUS LIABILITY An Analysis of Court Decision Number 2239 K/PID.SUS/2012 Budi Suhariyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA RI Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Jakarta Pusat 10510 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 14 Februari 2017; revisi: 7 Maret 2017; disetujui: 27 Maret 2017 ABSTRAK Korporasi telah ditetapkan sebagai subjek tindak pidana, maka terhadapnya dapat dituntutkan pertanggungjawaban pidana. Sebagai subjek hukum, korporasi juga ditentukan mekanisme pemidanaannya mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 mengesampingkan prosedur hukum acara dengan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwakan. Permasalahannya bagaimanakah eksistensi pemidanaan korporasi menurut hukum acara pidana di Indonesia, dan bagaimanakah pemidanaan korporasi dalam praktik penegakan hukum, serta bagaimana putusan pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwakan dalam perspektif vicarious liability? Metode penelitian normatif digunakan untuk menjawab permasalahan ini. Terdapat tiga pendekatan untuk mengkaji permasalahan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif vicarious liability, korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas perilaku seseorang yang secara personifikasi mewakili korporasi sehingga dapat dijatuhkan putusan pemidanaan.
Kata kunci: putusan pemidanaan, pemidanaan korporasi, vicarious liability.
ABSTRACT A corporation has been set as the subject of criminal offense, and so criminal liability on this subject is enforceable by law. As the subject of law, a corporation has its own mechanism in term of criminal liability, starting from investigation process, prosecution and examination before trial. The Supreme Court Decision Number 2239 K/PID.SUS/2012 overruled the ordinances of the procedural law by imposing a sentencing decision against a corporation without charges. The problems are: how does the corporate criminal liability exist according to the criminal procedural law in Indonesia, and how is the corporate criminal liability implemented in the practices of law enforcement, as well as how is the corporate criminal liability without charges examined through the perspective of vicarious liability? Normative research method is applied in responding to this problem. Three approaches to examine these problems are the statutory regulations, the case-based, and conceptual approaches. The analytical method applied to come to the conclusion of the issues discussed is through the qualitative juridical analysis. The results of discussions deduce that in the perspective of vicarious
Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan (Budi Suhariyanto)
jurnal april 2017 isi.indd 17
| 17
5/2/2017 5:04:41 PM
liability, a corporation is liable for the criminal conduct of a person who is in personification of the corporation and may be subject to corporate criminal liability.
I.
Keywords: sentencing decision, corporate criminal liability, vicarious liability.
PENDAHULUAN
sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memerhatikan perkembangan A. Latar Belakang korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk Peranan korporasi baik nasional maupun beberapa delik tertentu, ditetapkannya pengurus trans/multinasional dalam kehidupan modern saja sebagai orang yang dapat dipidana ternyata di era globalisasi semakin penting dan strategis tidak cukup (Pangaribuan, 2016: 51). (Muladi & Sulistyani, 2013: 89). Namun tidak Sebagaimana subjek tindak pidana orang, jarang kedudukan strategis dari korporasi ini pemeriksaan kepada korporasi itu adalah untuk digunakan untuk mendapatkan keuntungan yang kepentingan penyelidikan dan penyidikan aparat banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh penegak hukum (baik perbuatan perdata atau pun pengurusnya. Begitu juga kerugian yang dialami tindak pidana) yang dilakukan oleh korporasi masyarakat yang disebabkan oleh tindakan dapat dilanjutkan menjadi proses pemeriksaan pengurus korporasi (Ali, 2013: 66), termasuk di sidang pengadilan, jika korporasi dianggap di dalamnya adalah dengan cara melakukan telah memenuhi persyaratan surat dakwaan pelanggaran hukum (Sintung, 2015: 205). yang dibuat/menurut penuntut umum sehingga Sebagaimana orang, korporasi diyakini dan korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas diprediksi memiliki potensi melakukan tindak perbuatan melawan hukum secara pidana pidana (Danil, 2012: 110). (Koesoemahatmadja, 2011: 135). Dalam hal Korporasi sebagai pelaku tindak pidana ini tuntutan bisa ditujukan pada korporasi, atau dalam hukum pidana sudah diakui, maka dapat orang yang mengendalikan terjadinya tindak dipertanggungjawabkan secara pidana (Muladi pidana, atau keduanya (Keijzer, 2013: 14) secara & Priyatna 2010: 120), oleh karena itu dapat bersamaan sesuai dengan mekanisme pemidanaan dikonkretisasi kesalahannya dalam bentuk dalam perundang-undangan masing-masing. penjatuhan pidana (Syamsu, 2014: 122). Dalam hukum pidana jika menyangkut korporasi, adresat pada pengurus (Hiariej, 2016: 3). Ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana yaitu: 1) Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab; 2) Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab; dan 3) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab (Effendy, 2012: 93). Korporasi sebagai pembuat dan juga 18 |
jurnal april 2017 isi.indd 18
Secara praktik, korporasi diputuskan pemidanaannya melalui proses penetapan dan pemeriksaan sebagai tersangka, terdakwa, dan dituntut oleh jaksa penuntut umum di hadapan persidangan. Hal ini sebagaimana dalam Putusan Nomor 04/PID.SUS/2011/PT.BJM dan Putusan Nomor 65/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bdg yang mana korporasi sebelum dijatuhi putusan pemidanaan terlebih dahulu diproses baik sebagai tersangka dan terdakwa serta dituntut oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan. Berbeda dengan Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 17 - 38
5/2/2017 5:04:41 PM
kedua putusan pemidanaan korporasi tersebut, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 mengesampingkan prosedur hukum (tanpa penetapan korporasi sebagai tersangka dan terdakwa) dengan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwa dan dituntutkan oleh jaksa penuntut umum. Pada awalnya SL didakwa oleh jaksa penuntut umum melakukan beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran ada hubungannya sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, wakil, kuasa, atau pegawai dari wajib pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, dengan sengaja menyampaikan surat pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Olehnya didakwa primer melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan subsider melanggar Pasal 38 huruf b jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan agar majelis hakim memutuskan dengan menyatakan terdakwa SL bersalah melakukan tindak pidana perpajakan yaitu telah sebagaimana dalam surat dakwaan primer dan menjatuhkan pidana terhadapnya berupa pidana penjara selama
tiga tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa segera ditahan, ditambah dengan denda sebesar Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) subsider enam bulan kurungan, menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp5.000,- (lima ribu rupiah). Atas tuntutan ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Putusannya Nomor 234/PID.B/2011/ PN.JKT.PST memutuskan mengabulkan eksepsi prematur dari penasihat hukum terdakwa dan menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa karena prematur tidak dapat diterima. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan upaya hukum banding. Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Nomor 241/ PID/2012/PT.DKI menerima permintaan banding dari jaksa penuntut umum dan memutuskan menguatkan Putusan Nomor 234/PID.B/2011/ PN.JKT.PST yang dimohonkan banding tersebut. Tidak terima atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Melalui Putusan Nomor 2239 K/PID. SUS/2012, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum dan membatalkan Putusan Nomor 241/PID/2012/ PT.DKI tanggal 23 Juli 2012 yang menguatkan Putusan Nomor 234/PID.B/2011/PN.JKT.PST. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri dan memutuskan: 1. Menyatakan terdakwa SL tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap secara berlanjut”;
Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan (Budi Suhariyanto)
jurnal april 2017 isi.indd 21
| 21
5/2/2017 5:04:41 PM
doktrin vicarious liability diterapkan tanggung jawab pidana kepada korporasi atas perbuatan atau perilaku terdakwa sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya menjadi tugas dan 3. Menetapkan bahwa pidana tersebut tanggung jawab, lagi pula apa yang dilakukan tidak akan dijalani, kecuali jika di terdakwa telah diputuskan secara kolektif. kemudian hari ada perintah lain dalam Atas pertimbangan hukum yang demikian putusan hakim karena terdakwa maka menarik dikaji tentang persoalan putusan dipersalahkan melakukan sesuatu pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwakan kejahatan atau tidak mencukupi dalam perspektif vicarious liability. suatu syarat yang ditentukan sebelum berakhirnya masa percobaan selama tiga tahun, dengan syarat khusus B. Rumusan Masalah dalam waktu satu tahun, 14 perusahaan Berdasarkan latar belakang di atas, yang tergabung dalam AAG yang maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu pengisian SPT tahunan diwakili oleh bagaimanakah putusan pemidanaan terhadap terdakwa untuk membayar denda korporasi tanpa didakwakan dalam perspektif dua kali pajak terutang yang kurang vicarious liability? dibayar masing-masing secara tunai yang keseluruhannya berjumlah C. Tujuan dan Kegunaan 2 x Rp1.259.977.695.652,- = Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Rp2.519.955.391.304,- (dua triliun lima ratus sembilan belas miliar menganalisis putusan pemidanaan terhadap sembilan ratus lima puluh lima juta korporasi tanpa didakwakan dalam perspektif tiga ratus sembilan puluh satu ribu vicarious liability. Adapun kegunaan yang diperoleh secara praktis adalah untuk memberikan tiga ratus empat rupiah). pengetahuan dan pemahaman bagi penegak Penjatuhan pidana terhadap 14 korporasi hukum khususnya hakim dalam menghadapi dalam putusan pemidanaan terhadap terdakwa perkara korporasi serta bagi pembentuk undangSL ini oleh majelis hakim berdasarkan atas undang dalam rangka melakukan pembaruan pertimbangan bahwa sekalipun secara individual hukum pidana yang terkait kebijakan kriminalisasi perbuatan terdakwa terjadi karena mensrea dari korporasi di masa yang akan datang. terdakwa, namun karena perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dari korporasi, D. Tinjauan Pustaka maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa adalah dikehendaki 1. Putusan Pemidanaan atau mensrea dari 14 korporasi, sehingga dengan Pada dasarnya pidana memberikan nestapa demikian pembebanan tanggung jawab pidana individual liability dengan corporate liability kepada pembuat delik. Namun, penjatuhan pidana harus diterapkan secara simultan sebagai yang mengakibatkan nestapa bukanlah tujuan cerminan dari doktrin respondeat superior atau utama dari pidana, melainkan masih terdapat 2.
22 |
jurnal april 2017 isi.indd 22
Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama dua tahun;
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 17 - 38
5/2/2017 5:04:41 PM
upaya melalui tindakan-tindakan. Hukum pidana menentukan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan hukum pidana dan jenis pidana serta cara penerapannya sehingga kedudukan sanksi sangatlah penting (Alim et.al., 2013: 19-20). Walaupun pembentuk undang-undang memberikan kebebasan menentukan batas maksimal dan minimal lama pidana (sanksi) yang harus dijalani terdakwa, hal ini bukan berarti hakim dapat dengan seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap. Pada hakikatnya, putusan pemidanaan merupakan putusan hakim yang berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan (Mulyadi, 2012: 126).
3. Korporasi
2. Dakwaan
hukum, yang dari perbuatannya itu jika timbul keuntungan-keuntungan, maka keuntungan itu dianggap sebagai keuntungan badan hukum yang bersangkutan. Konstruksi badan hukum semacam itulah yang menurut common law dinamakan separate legal entity (Prasetya, 2011: 5). Di dalam aktivitas korporasi di bidang hukum perdata terdapat kemungkinan adanya penyimpangan yang dikenal dengan ultra vires, yang dapat diminta pertanggungjawaban pribadi pengurusnya secara perdata. Demikian pula halnya jika terjadi penyimpangan dalam bentuk melanggar ketentuan hukum pidana, akan terjadi tindak pidana korporasi (Sjawie, 2013: 267).
Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, berarti dirinya telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta faktafakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan (Mulyadi, 2012: 126). Surat dakwaan menurut Soetomo adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan di mana perbuatan dilakukan, serta uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut (Soetomo, 1989: 4).
Secara etimologis, korporasi dikenal dalam beberapa bahasa, yaitu: Belanda dengan istilah corporatie; Inggris dengan istilah corporation; Jerman dengan istilah korporation; dan bahasa Latin dengan istilah corporatio (Muladi & Priyatna, 1991: 12). Penggunaan istilah korporasi merupakan sebutan yang lazim dipergunakan dalam kalangan pakar hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa digunakan dalam bidang hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata yang disebut dengan “badan hukum” atau rechtspersoon (Yunara, 2012: 25). Sekalipun ia bukan manusia alamiah, melainkan melalui hukum dikonstruksikan sebagai badan ini dapat melakukan perbuatan-perbuatan
4.
Vicarious Liability
Vicarious liability atau doktrin pertanggungjawaban pengganti (Hiariej, 2014: 164) diartikan oleh Black’s Law Dictionary sebagai: liability that a supervisory party (such as an employer) bears for the actionable conduct of a subordinate or associate (such as an employee) based on the relationship between the two parties
Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan (Budi Suhariyanto)
jurnal april 2017 isi.indd 23
| 23
5/2/2017 5:04:41 PM
(Garner, 1999: 934). Vicarious liability bertolak dari doktrin respondeat superior yang berarti bahwa a mater is liable in certain cases for the wrongful acts of his servant, and a principal for those of his agent. Adapun dasarnya ada pada employment principle yang menegaskan bahwa majikan (employer) adalah penanggung jawab utama dari perbuatan para buruh/karyawan (Arief, 2013: 196-197). Berbeda dengan teori identifikasi yang mensyaratkan harus dilakukan oleh pejabat korproasi yang memiliki jabatan tinggi, vicarious liability merujuk pada kesalahan semua karyawan (Laufer, 2014: 290). Peter Gillies menjelaskan bahwa suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia sebagai pelaku/ pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan/agennya. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami, tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan (Arief, 2013: 196-197).
maupun ius constituendum terkait pemidanaan korporasi. Pendekatan kasus digunakan untuk mengkaji masalah dari segi praktik peradilan yang berkembang dalam merespon dan mengaktualisasikan hukum secara in concreto. Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji masalah visi pembaruan hukum terkait pemidanaan korporasi dalam pertimbangan hukum yang tercantum pada putusan pengadilan dihubungkan dengan pandangan dan doktrindoktrin ahli hukum (Panggabean, 2014: 170). Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta bahan hukum sekunder berupa literatur dan hasil penelitian. Peraturan perundang-undangan yang digunakan antara lain yang berkaitan dengan pengaturan pemidanaan korporasi yaitu KUHAP dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan pengadilan yang dikaji adalah yang terkait dengan perkara pemidanaan korporasi yaitu Putusan Nomor 234/PID.B/2011/PN.JKT. PST, Putusan Nomor 241/PID/2012/PT.DKI, dan Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012.
Adapun literatur yang digunakan dalam kajian agar terhindar dari kekeliruan pandangan II. METODE adalah yang berkaitan dengan pemidanaan, Metode yuridis normatif digunakan dalam pertanggungjawaban pidana korporasi, dan teori melakukan pengkajian putusan pemidanaan penafsiran hukum. Bahan-bahan hukum dan terhadap korporasi tanpa didakwakan dalam literatur tersebut dikumpulkan melalui metode perspektif vicarious liability ini. Terdapat tiga sistematis dan dicatat dalam kartu antara lain pendekatan untuk mengkaji permasalahan permasalahannya, asas-asas, argumentasi, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute implementasi yang ditempuh, alternatif approach), pendekatan kasus (case approach), pemecahannya, dan lain sebagainya. Data yang serta pendekatan konseptual (conceptual telah dikumpulkan kemudian dideskripsikan dan approach). Pendekatan perundang-undangan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan digunakan untuk mengkaji masalah secara selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan normatif baik dari perspektif ius constitutum diberikan argumentasi. Metode analisis yang 24 |
jurnal april 2017 isi.indd 24
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 17 - 38
5/2/2017 5:04:41 PM
diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada awalnya hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia belum mengatur tentang korporasi sebagai subjek hukum pidana, karena KUHP hanya menentukan bahwa subjek hukum pidana hanya orang pribadi (alami). Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan KUHP yang dipengaruhi pandangan bahwa badan hukum tidak dapat dipidana (Hutauruk, 2013: 2), karena hanya dianggap sebagai fiksi hukum sehingga tidak mempunyai nilai moral yang disyaratkan 2. untuk dapat dipersalahkan secara pidana (Rifai, 2014: 90). Namun sejalan dengan perkembangan perundang-undangan yang bersifat khusus, korporasi dikategorikan sebagai subjek hukum pidana. Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dapat digolongkan dalam dua kategori pengaturan, yaitu:
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari RI untuk seluruh Indonesia; Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Drt Tahun 1951 tentang Senjata Api; Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotik; Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; dan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara tegas dapat dipertanggungjawabkan pidana secara langsung. Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, antara lain diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi; Pasal 1 angka 13, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos; Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan Pasal 1 angka 9 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Priyatna, 2004: 164).
1. Yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana, akan tetapi pertanggungjawaban pidananya dibebankan terhadap anggota atau pengurus korporasi di mana ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan menurut kategori pertama antara lain terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 dari RI untuk seluruh Indonesia; Pasal 30 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UndangUndang Kecelakaan 1947 Nomor 43 RI Dari pengamatan terhadap pengaturan untuk seluruh Indonesia; Pasal 7 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1951 tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam berbagai undang-undang tersebut dapat Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan (Budi Suhariyanto)
jurnal april 2017 isi.indd 25
| 25
5/2/2017 5:04:41 PM
disimpulkan, bahwa pola pengaturannya sangat bervariasi dan tidak memiliki pola yang baku (Muladi & Sulistyani, 2013: 53). Belum ada aturan pemidanaan korporasi yang seragam dan konsisten mengenai: 1) Kapan korporasi melakukan tindak pidana dan kapan dapat dipertanggungjawabkan (ada yang merumuskan dan ada yang tidak); 2) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan (ada yang merumuskan dan ada yang tidak); 3) Jenis sanksi (ada yang mengatur pidana pokok saja, ada yang pidana pokok dan tambahan, dan ada yang ditambah lagi dengan tindakan tata tertib); 4) Perumusan sanksi (ada yang merumuskan secara alternatif, komulatif, dan gabungan komulatifalternatif); dan 5) Ada yang mengatur pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh korporasi dan ada yang tidak mengatur (Arief, 2013: 188). Mengingat kejahatan korporasi sangat kompleks, di samping karakternya sebagai crime by powerful sehingga para penegak hukum harus memiliki kemampuan ekstra dan mental yang tangguh (Muladi & Sulistyani, 2013: 94). Olehnya tidak mudah bagi aparat penegak hukum dalam menetapkan korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana dan oleh hakim berhasil dijatuhi putusan pemidanaan. Kalaupun ada berarti merupakan hal baru dan dapat dikategorikan sebagai sebuah langkah penegakan hukum yang progresif (Suhariyanto, 2016a: 202). Namun demikian upaya pembaruan hukum pidana terkait pemidanaan korporasi yang lebih komprehensif dan integral harus diupayakan guna mengisi kekosongan hukum, sekalipun melalui peraturan kebijakan penegakan hukum institusional. Sebagaimana yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung yang menerbitkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi;
26 |
jurnal april 2017 isi.indd 26
dan Mahkamah Agung yang menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Secara khusus Peraturan Jaksa Agung diperuntukkan pada aparat penegak hukum khususnya jaksa/penuntut umum dalam kegiatan penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan putusan pengadilan perkara pidana yang melibatkan korporasi. Peraturan Jaksa Agung ini memberikan aturan tentang mekanisme yang detail khususnya yang berkaitan dengan identifikasi perbuatan korporasi dan pengurusnya. Hubungan kausalitas yang bersifat fungsional di antara keduanya semakin ditampakkan sehingga tapal batas di antara keduanya semakin jelas. Secara rinci disebutkan kriteria perbuatan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dan perbuatan pengurus korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Selain itu diatur pula mengenai mekanisme pemidanaan korporasi mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan pengadilan, dan penanganan harta kekayaan/aset. Bahkan Peraturan Jaksa Agung ini memberikan pedoman formulir dakwaan terhadap korporasi, formulir dakwaan terhadap pengurus korporasi, formulir dakwaan terhadap korporasi dan pengurus korporasi, maupun formulir surat tuntutannya. Berbeda dengan Peraturan Jaksa Agung, Perma Nomor 13 Tahun 2016 ini selain diberlakukan untuk kalangan hakim atau pengadilan tetapi juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku korporasi dan/atau pengurus. Perma memberikan definisi khusus terkait tindak pidana korporasi yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 17 - 38
5/2/2017 5:04:41 PM
hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi di dalam maupun di luar lingkungan korporasi. Selain mengemukakan definisi khusus tentang tindak pidana korporasi, Perma juga menentukan bahwa keterangan korporasi adalah alat bukti yang sah. Secara rinci pula Perma mengatur tentang mekanisme pemidanaan korporasi beserta kemungkinan bilamana korporasi tersebut melakukannya secara grup atau gabungan, baik dalam perjalanannya terjadi peleburan maupun pemisahan. Berikut juga dengan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidananya tak luput dari pengaturannya.
pemidanaan terhadap korporasi di antaranya, yaitu: Pertama, korporasi dijadikan terdakwa dan dituntut di persidangan serta diputus pemidanaannya setelah pengurusnya terlebih dahulu diproses dan diputuskan pemidanaannya hingga berkekuatan hukum tetap (inkracht). Salah satu contohnya adalah perkara PT GJW yang didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dan dituntut ke persidangan oleh jaksa penuntut umum setelah terlebih dahulu direktur utamanya (SW) dipidana (berdasarkan Putusan Nomor 908/Pid.B/2008/ PN.Bjm tanggal 18 Desember 2008 yang mana putusan tersebut telah dikuatkan dengan Putusan Nomor 02/PID/SUS/2009/PT.BJM tanggal 25 Februari 2009 dan kasasi terdakwa telah ditolak berdasarkan Putusan Nomor 936 K/Pid.Sus/2009 Pada dasarnya telah ada lebih dari seratus tanggal 25 Mei 2009). undang-undang yang mengatur secara khusus tentang tanggung jawab pidana korporasi, Majelis hakim melalui Putusann Nomor tetapi sangat sedikit korporasi yang dituntut 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm memutuskan persis ke pengadilan (Syarif, 2016: 4). Realitasnya sama dengan tuntutan yaitu menyatakan PT GJW proses pemidanaan banyak yang berhenti telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah pada pengurusnya saja dan tidak ada tindak melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut lanjut untuk menjerat dan melakukan proses sebagaimana dalam dakwaan primer, karenanya pemidanaan terhadap korporasinya (Suhariyanto, kepada PT GJW dijatuhkan pidana denda sebesar 2016b: 428). Penegak hukum masih sangat jarang Rp1.300.000.000,- (satu miliar tiga ratus juta menyentuh kejahatan yang dilakukan korporasi. rupiah) serta pidana tambahan berupa penutupan Jika suatu tindak pidana dilakukan atau bahkan sementara PT GJW selama enam bulan. hanya diperintahkan oleh pengurus korporasi. Atas putusan tersebut, terdakwa melalui Seharusnya korporasi itu bisa dijerat. Adapun penasihat hukumnya mengajukan upaya hukum sanksi pidana yang harus diberikan kepada banding. Adapun Pengadilan Tinggi Banjarmasin korporasi tidak cukup hanya pidana denda saja. melalui Putusan Nomor 04/PID.SUS/2011/ Korporasi yang melakukan kejahatan, seharusnya PT.BJM memutuskan menerima permintaan dikenai pidana pengembalian aset (Toruan, 2014: banding dari penasihat hukum terdakwa dan 398). menguatkan Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/ Pada praktik penegakan hukum selama ini, PN.Bjm tanggal 09 Juni 2011 yang dimintakan terdapat variasi bentuk pemidanaan korporasi banding tersebut, dengan perbaikan sekedar akibat adanya multi tafsir dalam penerapan mengenai besarnya denda sehingga untuk korporasi sebagai subjek hukum. Berdasarkan selengkapnya berbunyi: menyatakan terdakwa penelitian Penulis terdapat empat pola putusan PT GJW telah terbukti secara sah dan meyakinkan Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan (Budi Suhariyanto)
jurnal april 2017 isi.indd 27
| 27
5/2/2017 5:04:41 PM
bersalah melakukan tindak pidana “korupsi secara berlanjut” dan karenanya menjatuhkan kepada terdakwa PT GJW pidana denda sebesar Rp1.317.782.129,- (satu miliar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh dua ribu seratus dua puluh sembilan rupiah) serta menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT GJW selama enam bulan.
pelaku yang dapat dikenakan dalam satu tindak pidana korupsi, yaitu orang/person yang menjadi directing mind daripada korporasi tersebut maupun korporasi itu sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh SW selaku direktur utamanya, oleh karenanya walaupun terhadap SW telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman atas tindak pidana korupsi namun PT GJW selaku korporasi yang terlibat di dalamnya juga dapat Secara normatif, jaksa penuntut umum dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan/ dengan sangat tepat membidik korporasi (setelah penyimpangan yang telah dilakukan. pengurusnya terbukti dan secara sah dinyatakan bersalah serta dipidana oleh hakim) ini berdasarkan Kedua, korporasi dijadikan terdakwa Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan dan dituntut di persidangan serta diputus Korupsi di mana mengatur bahwa dalam hal pemidanaannya tanpa (didahului dengan) tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu pemidanaan terhadap pengurusnya. Salah satu korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidana contohnya adalah perkara PT CN didakwa dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal pengurusnya. Jika memperhatikan kronologis 20 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan konteks perkara PT GJW ini, selain (primer) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 jo. Pasal menggunakan Undang-Undang Pemberantasan 20 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi, jaksa penuntut umum (subsider). YW selaku direktur PT CN mewakili juga mengindahkan Surat Edaran Kejaksaan di persidangan dan menyaksikan tuntutan Agung RI Nomor B-036/A/Ft.1/06/2009 perihal terhadap korporasinya. Majelis hakim mengadili Korporasi sebagai Tersangka/Terdakwa dalam dan memutuskan melalui Putusan Nomor 65/ Tindak Pidana Korupsi yang memberikan Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bdg yang menyatakan pedoman bahwa mendudukan korporasi sebagai terdakwa PT CN terbukti secara sah dan tersangka dalam tindak pidana korupsi, bukan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berarti meniadakan pertanggungjawaban pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam yang dilakukan oleh pengurusnya, akan tetapi dakwaan primer. Oleh karenanya menjatuhkan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi pidana kepada terdakwa PT CN dengan pidana tersebut harus dipandang sebagai perluasan denda sebesar Rp700.000.000,- (tujuh ratus juta pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana rupiah) dengan ketentuan jika terdakwa PT CN korupsi (petunjuk nomor 2). tidak membayar denda tersebut dalam tenggang waktu satu bulan terhitung sejak putusan tersebut Langkah penegakan hukum yang diambil berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Kejaksaan Tinggi Banjarmasin tersebut di terpidana PT CN dapat disita oleh jaksa dan atas disetujui dan dibenarkan oleh Pengadilan dilelang untuk membayar denda tersebut. Negeri (a quo Pengadilan Tinggi) Banjarmasin dengan legal reasoning yang menyatakan bahwa Secara normatif, dalam proses penuntutan undang-undang mengatur adanya lebih dari satu dan pemidanaan korporasi menurut Pasal 20 ayat 28 |
jurnal april 2017 isi.indd 28
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 17 - 38
5/2/2017 5:04:41 PM
(1) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dapat dilakukan terhadap salah satu pihak, baik korporasi atau pengurus. Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum mendakwa dan menuntut korporasi tanpa diturut-sertakan pengurusnya. Bilamana merujuk pada kronologi dan konteks penanganan perkara PT CN ini maka tidak dapat dilepaskan dari perspektif penerapan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per028/A/JA/10/2014. Kualifikasi perkara PT CN ini ditetapkan oleh jaksa penuntut umum sebagai perbuatan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dengan fakta bahwa segala bentuk perbuatan yang didasarkan pada keputusan pengurus korporasi dan bentuk perbuatan tersebut dilakukan pengurus untuk kepentingan korporasi karena pekerjaannya serta segala perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan sumber daya manusia, dana, dan/ atau segala bentuk dukungan atau fasilitas lainnya dari korporasi. Berdasarkan fakta di atas maka majelis hakim mempertimbangkan bahwa keputusan jajaran direksi dan komisaris mengenai tindak lanjut pembebasan tanah dengan cara ruslag melalui jasa Drs. Gatot Sutejo adalah keputusan yang tidak bijak, tidak cermat, dan tidak hatihati serta telah menyalahi mekanisme yang berlaku terkait ruslag menyangkut tanah negara atau aset Pemerintah Kota Bekasi. Sebagai konsekuensinya segala akibat yang timbul dari perbuatan tersebut harus ditanggung oleh PT itu sendiri, yaitu dengan harta kekayaan PT yang bersangkutan, tanpa sedikit pun dapat meminta pertanggungjawaban dan atau menuntut untuk dibayar dari harta kekayaan pribadi yang melakukan perbuatan. Merupakan hal yang tidak adil jika pemidanaan tersebut juga ditimpakan kepada pengurusnya. Kejelian jaksa penuntut
umum dan majelis hakim dalam perkara ini patut diapresiasi sehingga terbingkailah dengan sempurna pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pembuat sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab secara hukum. Ketiga, putusan pemidanaan terhadap korporasi berdasarkan tuntutan jaksa penuntut umum tanpa dijadikan sebagai terdakwa. Salah satu contohnya adalah putusan pemidanaan terhadap PT IM2. Pada perkara ini yang ditetapkan dan diperiksa sebagai tersangka dan terdakwa di persidangan pengadilan tindak pidana korupsi adalah direktur utamanya yaitu IA. IA didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana (primer) dan melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Atas dakwaan tersebut, jaksa penuntut umum menuntut agar pengadilan menyatakan terdakwa IA bersalah melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana dalam surat dakwaan primer dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama sepuluh tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dan dengan membebankan terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp500.000.000,(lima ratus juta rupiah), subsider enam bulan kurungan dan dengan perintah terdakwa segera ditahan di rutan serta uang pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) dibebankan kepada PT Indosat dan PT IM2, yang penuntutannya dilakukan secara terpisah.
Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan (Budi Suhariyanto)
jurnal april 2017 isi.indd 29
| 29
5/2/2017 5:04:41 PM
Majelis hakim melalui Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst memutuskan dan menyatakan terdakwa IA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi dilakukan secara bersamasama”, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama empat tahun dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana kurungan selama tiga bulan dan menghukum PT IM2 membayar uang pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) paling lama dalam waktu satu tahun setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas putusan ini, baik penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa mengajukan banding. Melalui Putusan Nomor 33/PID/TPK/2013/ PT.DKI menerima permintaan banding tersebut dan mengubah Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/ PN.Jkt.Pst berkaitan dengan meniadakan putusan pidana pada PT IM2 yang sebelumnya dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) paling lama dalam waktu satu tahun setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Sementara untuk putusan pemidanaan terhadap terdakwa IA adalah tetap dan sesuai dengan putusan pengadilan negeri. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperbaiki amar Putusan Nomor 33/PID/ TPK/2013/PT.DKI yang mengubah Putusan Nomor 01/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jkt.Pst sekadar mengenai pidana denda dan uang pengganti 30 |
jurnal april 2017 isi.indd 30
sehingga amarnya menyatakan terdakwa IA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi dilakukan secara bersama-sama” dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama delapan tahun dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana kurungan selama enam bulan serta menghukum PT IM2 membayar uang pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,(satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) dengan ketentuan apabila PT IM2 tidak membayar uang pengganti tersebut paling lambat satu bulan sesudah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda PT IM2 disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Atas putusan kasasi tersebut, terdakwa IA mengajukan peninjauan kembali. Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali/terpidana IA tersebut dan menetapkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku. Hal menarik dalam perkara ini adalah berkaitan dengan permasalahan putusan pemidanaan terhadap korporasi yang tidak didakwakan. Pada pengadilan tingkat pertama mempertimbangkan tuntutan jaksa penuntut umum yang meskipun PT IM2 tidak dijadikan sebagai terdakwa tetapi turut dituntutkan pemidanaannya. Berdasarkan dakwaan dan tuntutan penuntut umum, proses penuntutan terhadap PT IM2 akan dilakukan terpisah, hal ini telah menjelaskan bahwa PT IM2 belum diajukan sebagai terdakwa dalam suatu persidangan.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 17 - 38
5/2/2017 5:04:41 PM
Majelis hakim menimbang bahwa kerugian keuangan negara sebagaimana Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara BPKP tersebut di atas, tidak memperkaya terdakwa secara pribadi namun telah memperkaya PT IM2 sebesar Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah), sehingga dengan demikian terhadap terdakwa tidak dibebani membayar uang pengganti sejumlah tersebut di atas melainkan akan membebankan penggantiannya kepada korporasi yaitu PT IM2.
karenanya meskipun jaksa/penuntut umum tidak melakukan penuntutan secara khusus terhadap korporasi (PT IM2), namun peran terdakwa dalam surat dakwaan adalah dalam kapasitas sebagai direktur utama PT IM2, sehingga pidana tambahan berupa uang pengganti sebagaimana telah disebutkan di atas dapat dijatuhkan kepada terdakwa dalam kapasitas dalam hal ini sebagai direktur utama PT IM2 dan/atau terhadap korporasi PT IM2. Oleh karenanya Mahkamah Agung berpendapat perlu memperbaiki amar putusan pengadilan tinggi dengan menjatuhkan uang pengganti kepada korporasi. Terhadap pertimbangan yang demikian maka dapat Berbeda pertimbangan dari pengadilan dicatatkan beberapa hal penting di antaranya: tingkat pertama tersebut, putusan Pengadilan Tinggi Jakarta berpendapat bahwa korporasi 1. Tindak pidana yang dilakukan terdakwa adalah juga subjek hukum, seandainya adalah atas nama PT IM2 dalam kapasitas korporasi tersebut dihukum maka korporasi sebagai direktur utama. karena merupakan subjek hukum harus turut 2. Hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan didakwakan. Karena in casu perkara ini korporasi terdakwa semuanya masuk ke PT IM2, tidak masuk dalam dakwaan sehingga tidak sehingga yang mendapatkan keuntungan dapat dihukum untuk membayar uang pengganti. atas perbuatan terdakwa adalah PT IM2. Dengan demikian uang pengganti dalam perkara ini tidak dapat dibebankan kepada PT IM2 3. Korupsi adalah perbuatan yang sangat sebagai korporasi. merugikan keuangan negara dan perekonomian negara (exstra ordinary Menyikapi perbedaan pemidanaan crime) sehingga upaya penegakan hukum korporasi beserta pertimbangan hukum dari melalui peradilan harus mendukung pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, pengembalian keuangan negara. Mahkamah Agung berpendapat bahwa terhadap alasan pengadilan tinggi (judex facti) yang 4. Mahkamah Agung telah melakukan tidak membebankan uang pengganti kepada interpretasi atau penemuan hukum atas terdakwa, bahwa berdawarkan Pasal 20 ayat ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang (1) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Pemberantasan Korupsi yang berbunyi: pertanggungjawaban dilakukan oleh korporasi “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dan/atau pengurusnya. Hal ini mengandung oleh atau atas nama suatu korporasi, maka arti bahwa undang-undang menganut sistem tuntutan dan penjatuhan pidana dapat pertangggungjawaban secara kumulatif-alternatif dilakukan terhadap korporasi dan/atau dalam penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana pengurusnya“. Tindak pidana korupsi in yakni terhadap korporasi atau pengurusnya. Oleh casu ternyata dilakukan oleh terdakwa atas Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan (Budi Suhariyanto)
jurnal april 2017 isi.indd 31
| 31
5/2/2017 5:04:41 PM
nama korporasi maka penjatuhan sanksi perkara a quo untuk disidangkan dengan dilakukan terhadap terdakwa dan korporasi dakwaan baru yang disusun secara benar menurut tanpa menunggu proses penuntutan baru. KUHAP (Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, 2015: 97). Pada dasarnya persidangan 5. Penjatuhan sanksi terhadap korporasi tidak boleh melakukan pemeriksaan terhadap tanpa dakwaan khusus merupakan kejahatan dan keadaan lain. Maka perkara tidak langkah progresif sekaligus melaksanakan boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan prinsip penyelenggaraan peradilan secara dalam dakwaan. Hal ini sejalan dengan Putusan sederhana, murah, dan cepat (Biro Hukum Mahkamah Agung Nomor 68 K.KR/1973 tanggal dan Humas Mahkamah Agung, 2015: 96). 16 Desember 1976, yang menyatakan: “Putusan Keempat, putusan pemidanaan terhadap pengadilan harus berdasarkan pada tuduhan, yang korporasi tanpa didakwakan dan dituntutkan dalam hal ini berdasarkan Pasal 315 KUHP”. oleh jaksa penuntut umum. Terkait dengan model putusan pemidanaan terhadap korporasi yang demikian, terdapat perbedaan pandangan (pro dan kontra) di kalangan hakim. Pada satu pihak berpendapat bahwa penjatuhan sanksi terhadap korporasi hanya dapat dilakukan bilamana suatu korporasi telah diajukan sebagai terdakwa dalam suatu perkara yang diadakan khusus untuk itu. KUHAP sudah mengatur secara terperinci bahwa pengajuan terdakwa ke pengadilan adalah didasarkan pada surat dakwaan dan kalau pada perkara perdata didasarkan pada surat gugatan. Atas dasar itulah hakim memeriksa perkara sebatas yang didakwakan termasuk dalam penjatuhan sanksi kepada korporasi. Putusan Nomor 982 K/Pid/1998 memutuskan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Maluku dan pengadilan negeri, dan menyatakan bahwa dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa adalah batal demi hukum sehingga penuntutan oleh penuntut umum tidak dapat diterima. Oleh karena dakwaan dinyatakan batal demi hukum selanjutnya Mahkamah Agung menyatakan pula bahwa penuntut umum tidak dapat diterima dan bukan dilepas dari segala tuntutan hukum maka penuntutan oleh jaksa penuntut umum masih dapat dilakukan pengajuan
32 |
jurnal april 2017 isi.indd 32
Pihak lain berpendapat bahwa penjatuhan sanksi terhadap korporasi dapat dilakukan tanpa didakwakan. Sebagaimana kronologis dan kasus posisi yang diuraikan pada latar belakang berkaitan dengan Putusan Nomor 2239 K/ PID.SUS/2012 yang mana mengesampingkan prosedur hukum (tanpa penetapan korporasi sebagai tersangka dan terdakwa) dengan menjatuhkan putusan pemidanaan berupa pembayaran uang pengganti kepada 14 korporasi tanpa didakwa dan dituntutkan oleh jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyadari gagasan menuntut pertanggungjawaban pidana korporasi belum diterima seutuhnya karena alasan yang sangat formal bahwa korporasi dalam perkara a quo tidak didakwakan. Namun perkembangan praktik hukum pidana telah mengintrodusir adanya pembebanan pertanggungjawaban seorang pekerja di lingkungan suatu korporasi kepada korporasi di tempat ia bekerja dengan menerapkan pertanggungjawaban fungsional. Perbuatan terdakwa SW berbasis pada kepentingan bisnis 14 korporasi yang diwakilinya untuk menghindari pajak penghasilan dan pajak badan yang seharusnya dibayar, oleh karena itu tidaklah adil jika tanggung jawab pidana hanya
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 17 - 38
5/2/2017 5:04:41 PM
dibebankan kepada terdakwa selaku individu akan tetapi sepatutnya juga menjadi tanggung jawab korporasi yang menikmati atau memperoleh dari hasil tax evation tersebut. Model putusan pemidanaan korporasi beserta pertimbangan hukum dalam perkara dengan terdakwa SW di atas juga dianut Putusan Nomor 1577 K/Pid.Sus/2016 (a/n 2428 K/Pid. Sus/2014 (a/n WIS, mantan kepala divisi VII PT AK). Mahkamah Agung melakukan terobosan hukum dengan memvonis korporasi konstruksi pelat merah, PT AK membayar uang pengganti sebesar Rp3,3 miliar. Putusan itu disebut sebagai terobosan hukum karena PT AK tidak masuk dakwaan mantan kepala divisi tersebut. Adapun pertimbangan Mahkamah Agung yaitu BUMN itu ikut bertanggung jawab dalam korupsi proyek konstruksi jaringan air minum di empat kecamatan di Kabupaten Karangasem, Bali dan kerugian negara sebesar Rp3,3 miliar tersebut lebih tepat dibebankan kepada PT AK, walaupun PT AK tidak turut dijadikan terdakwa oleh penuntut umum, karena terdakwa bertindak melaksanakan Surat Perjanjian Kerja untuk dan atas nama PT AK dan seluruhnya kerugian negara tersebut masuk ke rekening PT AK. Menurut Alkostar bahwa tanggung jawab pidana antara pengurus dengan korporasi bersifat alternatifkomulatif, sehingga penjatuhan pidananya bisa dikenakan secara kolektif (vicarious liability) di samping dikenakan kepada pengurus juga secara bersamaan terhadap korporasinya (Alkostar, 2016: 41). Pada praktik penegakan hukum yang mana korporasi dipidana tanpa didakwakan, mendasarkan argumentasinya menerapkan doktrin vicarious liability. Misalnya dalam Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012, menimbang bahwa sekalipun secara individual
perbuatan terdakwa terjadi karena mensrea dari terdakwa, namun karena perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dari korporasi maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa adalah dikehendaki atau mensrea dari 14 korporasi, sehingga dengan demikian pembebanan tanggung jawab pidana individual liability dengan corporate liability harus diterapkan secara simultan sebagai cerminan dari doktrin respondeat superior atau doktrin vicarious liability diterapkan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas perbuatan atau perilaku terdakwa sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya menjadi tugas dan tanggung jawab lagi pula apa yang dilakukan terdakwa telah diputuskan secara kolektif. Secara umum tidak dimungkinkan adanya permintaan pertanggungjawaban secara pidana kepada seseorang atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, karena pertanggungjawaban pidana itu sifatnya pribadi atau personal, dan seseorang itu dipidana akibat dari kesalahannya sendiri, dan bukan akibat dari kesalahan orang lain (Sjawie, 2015: 29). Apalagi yang dipidana tanpa didakwakan dan juga menjadi permasalahan hukum acara pidana di pengadilan yang cukup sering ditemukan adalah permasalahan berwenang/tidaknya pengadilan menjatuhkan pidana berdasarkan pasal yang tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum (Arsil, 2015: 29). Hakim dalam memeriksa suatu perkara tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Kalau begitu, seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dapat dijatuhi hukuman karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau dinyatakan jaksa dalam
Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan (Budi Suhariyanto)
jurnal april 2017 isi.indd 33
| 33
5/2/2017 5:04:41 PM
surat dakwaan. Apalagi ditegaskan oleh Pasal 193 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana” (Suparmono, 2014: 34-35). Olehnya dapat dikatakan putusan pemidanaan yang dijatuhkan terhadap korporasi tanpa didakwakan adalah melanggar KUHAP. Jika terjadi pelanggaran hukum acara pidana maka sesungguhnya telah terjadi pencerabutan hak asasi manusia (Suhariyanto, 2015: 197) karena tujuan dari ditetapkannya aturan main dari pelaksanaan pemidanaan adalah bagian utama dalam menjaga warga negara tidak dipermainkan atau menjadi korban kesewenangwenangan penegak hukum hingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Memang pada asasnya hakim harus menjalankan hukum acara pidana sebagaimana ditentukan oleh undang-undang, tetapi bilamana undang-undang dirasa tidak jelas atau perlu ditafsirkan sesuai dengan nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat maka hakim dapat melakukan penemuan hukum melalui metode interpretasi, terutama interpretasi ekstensif dan interpretasi antisipatif atau futuristik (Ali, 2014: 4). Sejauh ini realitas penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam putusannya beberapa kali menimbulkan pengaruh yang signifikan bagi penegakan dan pembaruan serta pembentukan hukum yang progresif. Misalnya terkait dengan kasasi terhadap putusan bebas, kewenangan jaksa penuntut umum mengajukan peninjauan kembali, perluasan kewenangan praperadilan, dan putusan Mahkamah Agung lainnya yang secara responsif diterima oleh aparat penegak hukum lainnya (termasuk oleh Putusan Mahkamah Konstitusi) dan sesuai dengan perkembangan pembaruan serta pengembangan ilmu hukum (Suhariyanto,
34 |
jurnal april 2017 isi.indd 34
2016c: 152). Dalam konteks ini lembaga peradilan di samping sebagai lembaga penerapan hukum tetapi juga sebagai lembaga penemuan hukum (rechtsvinding) dan bahkan sebagai lembaga yang dapat menciptakan hukum (Hoesein, 2013: 101). Hakim berkewajiban tidak hanya sebatas menegakkan hukum, melainkan juga sebagai penegak keadilan maka dari itu pertimbangan hukum yang cukup dengan didasari sebuah keyakinan yang mantap akan sebuah keadilan substantif bagi terdakwa dapat menjadi landasan (Sudharmawatiningsih, 2015: 52) melakukan penemuan hukum. Termasuk dalam hal putusan pemidanaan korporasi tanpa didakwakan ini sesungguhnya juga didasarkan pada kepentingan terwujudnya keadilan substantif. Adalah putusan yang tidak adil jika kerugian negara yang notabene tidak memperkaya terdakwa secara pribadi namun telah memperkaya korporasi tetapi kerugian tersebut dibebankan pengembaliannya oleh terdakwa individu (pengurusnya). Apalagi pengurusnya tidak mungkin memiliki kemampuan mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah masuk dalam keuntungan korporasi. Dilihat dari perpektif hak asasi manusia negara (masyarakat) yang notabene memiliki hak untuk pengembalian kerugian keuangan negara (berkurangnya pendapatan negara) dari tindak pidana yang terbukti tersebut. Oleh karena itu sangat tepat pendapat majelis hakim bahwa perbuatan terdakwa berbasis pada kepentingan bisnis 14 korporasi yang diwakilinya untuk menghindari pajak penghasilan dan pajak badan yang seharusnya dibayar sehingga tidaklah adil jika tanggung jawab pidana hanya dibebankan kepada terdakwa selaku individu akan tetapi sepatutnya juga menjadi tanggung jawab korporasi yang menikmati atau memperoleh dari hasil tax evation tersebut. Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 17 - 38
5/2/2017 5:04:41 PM
Secara individual perbuatan terdakwa terjadi karena mensrea dari terdakwa, namun karena perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dari korporasi maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa adalah dikehendaki atau mensrea dari 14 korporasi, sehingga dengan demikian pembebanan tanggung jawab pidana individual liability dengan corporate liability harus diterapkan secara simultan. Dengan demikian diterapkanlah pertanggungjawaban pengganti yang memberikan pengecualian atas prinsip pertanggungjawaban suatu perbuatan, di mana kepadanya harus melekat unsur kesalahan.
sebuah pergeseran paradigma corporate criminal liability yang sudah berkembang dengan pesat di negara-negara maju. Secara historis, sebelum abad ke-18, aturan umumnya bagi ajaran respondeat superior ini adalah bahwa seorang majikan tidak bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum bawahannya yang merugikan pihak ketiga, kecuali perbuatan bawahannya itu dianjurkan atau diperintahkan oleh si majikan tersebut. Abad ke-19, ajaran respondeat superior berkembang sehingga menjadi bentuknya seperti yang saat ini dikenal di mana seorang majikan tetap saja harus bertanggung jawab atas kerugian pihak ketiga yang diakibatkan perbuatan melawan hukum dari bawahannya, meskipun perbuatan bawahannya itu dilakukannya tanpa persetujuan majikannya (Brickey, 2013: 25). Pergeseran yang terjadi sampai saat ini sangat signifikan. Dari yang semula mensyaratkan pengetahuan korporasi atas tindakan orang-orang yang berada di dalamnya, sampai kemudian kepada meski tidak adanya pengetahuan itu tetapi masih bisa dimintakan tanggung jawab pidana korporasi (Goode, 2013: 2).
Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi jika pada diri pembuatnya ada unsur kesalahan, maka dengan ajaran vicarious liability diberikan pengecualian (Huda, 2006: 43). Suatu korporasi bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan pegawainya, baik yang berkedudukan tinggi maupun yang tidak, baik yang dilakukan dengan melanggar kebijakan korporasi tempatnya bekerja, maupun tidak (Sjawie, 2015: 82). Pertanggungjawaban pidana korporasi didasarkan pada tindakan Pada perkembangan hukum modern, agen atau pegawainya yang diteruskan kepada doktrin ini ditujukan atas dasar bahwa korporasi korporasinya, dengan cara mengaplikasikan harus membayar kerugian yang diakibatkan doktrin respondeat superior telah diterapkan di oleh perbuatan pegawainya, sehingga korporasi Amerika Serikat (Khanna, 2013: 16). diharapkan lebih selektif untuk mengangkat Di Indonesia, doktrin ini belum umum pengurus atau pegawainya yang bisa bertindak dipahami sehingga tidak heran ketika diterapkan dalam melakukan kegiatan operasionalnya timbul kontroversi. Namun demikian dalam (Twomey et.al., 2001: 730). Pertanggungjawaban hal visi penemuan hukum yang mengarah pada pidana korporasi dalam perkembangan hukum penciptaan hukum maka terobosan penerapan modern demikian sesungguhnya telah diatur doktrin ini perlu dilakukan untuk terlaksananya dalam konsep Buku Kesatu RUU KUHP tahun peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya 2015. RUU KUHP mengatur bahwa tindak murah. Selain itu sikap responsif dari hakim untuk pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan mengakomodasi doktrin ini juga didasarkan atas oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan (Budi Suhariyanto)
jurnal april 2017 isi.indd 35
| 35
5/2/2017 5:04:41 PM
fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama (Pasal 49). Dalam konteks masalah putusan pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwakan maka dapat dikatakan hakim seolah memberikan inspirasi penguatan ius constituendum bahwa vicarious liability sudah saatnya di”lazim”kan untuk digunakan dan diterapkan dalam menangani perkara tindak pidana yang diidentifikasi pertanggungjawaban pidana pengurusnya juga terkait secara fungsional dengan pertanggungjawaban pidana korporasinya yang notabene telah diuntungkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh pengurusnya. IV. KESIMPULAN Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 telah melakukan upaya penemuan hukum dengan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwakan demi menegakkan keadilan dengan menerapkan doktrin vicarious liability. Secara simultan pertanggungjawaban pidana dibebankan individual liability dengan corporate liability berdasarkan pertimbangan bahwa mensrea dari perbuatan terdakwa adalah dikehendaki atau ”mensrea” dari korporasi. Secara nyata kerugian negara atas berkurangnya penerimaan pendapatan dari pajak (yang telah dimanipulasi) tidak dapat pulih bilamana sebatas pemidanaan (penjara dan denda) terhadap terdakwa/person saja. Mengingat perbuatan terdakwa adalah dalam rangka pelaksanaan fungsional yang mewakili dan menguntungkan korporasi maka tidaklah adil jika tanggung jawab pidana hanya dibebankan 36 |
jurnal april 2017 isi.indd 36
pada terdakwa selaku individu. Mengingat pula kepentingan perlindungan hak masyarakat atas pengembalian kerugian negara yang tidak akan mungkin mampu diganti oleh terdakwa, adalah logis jika korporasi diputus pemidanaannya untuk membayar denda. Penerapan vicarious liability oleh putusan pemidanaan tanpa didakwakan terhadap korporasi ini juga merupakan manifestasi prinsip penyelenggaraan peradilan secara sederhana, murah, dan cepat.
DAFTAR ACUAN Ali, M.H. (2014). Titik singgung wewenang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Makalah keynote speaker dalam seminar tentang Titik Singgung Wewenang Antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung pada tanggal 13 November 2014 di Merlyn Park Hotel Jakarta. Ali, M. (2013). Asas-asas hukum pidana korporasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Alim, H., et.al. (2013). Pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Alkostar, A. (2016). Kedudukan dan tanggung jawab pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi. Makalah dalam Seminar “Kedudukan dan Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi” diselenggarakan oleh Badan Litbang Diklat Mahkamah Agung pada tanggal 15 November 2016. Arief, B.N. (2013). Kapita selekta hukum pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 17 - 38
5/2/2017 5:04:41 PM
Arsil. (2015, Juli). Dapat tidaknya pengadilan
Hutauruk, R.H. (2013). Penanggulangan kejahatan
menjatuhkan hukuman berdasarkan pasal yang
korporasi melalui pendekatan restoratif: Suatu
tidak didakwa. Jurnal Dictum, 10, 29-34.
terobosan hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung. (2015).
Keijzer, Nico. (2013). Trend and development
Kompilasi penerapan hukum oleh hakim dan
corporate criminal liability and it’s aplication
strategi pemberantasan korupsi. Jakarta: Biro
for the enforcement related crimes. Makalah
Hukum dan Humas Mahkamah Agung.
dalam Seminar “Pertanggungjawaban Pidana
Brickey, K.F. (2013). Coporate criminal accountability: A brief history and an observation. Diakses dari http://digitalcommons.law.wustl.edu/cgi/
Korporasi”
yang
diselenggarakan
oleh
Mahkamah Agung pada tanggal 22 Mei 2013. Khanna, V.S. (2013). Corporate criminal liability: What puspose does it serve? Diakses dari http://
viewconten.cgi. Danil, E. (2012). Korupsi: Konsep, tindak pidana, dan pemberantasannya. Jakarta: RajaGrafindo
papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm. Koesoemahatmadja, E.U.R. (2011). Hukum korporasi. Bogor: Ghalia Indonesia
Persada. Effendy, M. (2012). Diskresi, penemuan hukum,
Laufer, W.S. (2014). Where is the moral indignation
korporasi & tax amnesty dalam penegakan
over corporate crime. Dalam Brodowski,
hukum. Jakarta: Referensi.
Dominik, et.al. Regulating corporate criminal
Garner, B.A. (1999). Black’s Law Dictionary. St. Paul MN. USA: Thomson West. Goode, M. (2013). Corporate criminal liability. Diakses
dari
http://www.aic.gov.au/media_
library/publications/proceedings/26/goode. Hiariej, E.O.S. (2014). Prinsip-prinsip hukum pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. ___________. (2016). Tanggung jawab pidana korporasi. Materi dalam Seminar “Kedudukan dan Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak
liability. London: Springer Cham Heidelberg New York. Diakses dari www.springer.com. Muladi & Priyatna, D. (1991). Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Bandung: STH Bandung. ________________. (2010). Pertanggungjawaban pidana korporasi. Jakarta: Kencana. Muladi & Sulistyani, D. (2013). Pertanggungjawaban pidana
korporasi
(Corporate
responsibility). Bandung: Alumni.
Pidana Korupsi” diselenggarakan oleh Badan
Mulyadi, L. (2012). Hukum acara pidana Indonesia:
Litbang Diklat Mahkamah Agung pada tanggal
Suatu tinjauan khusus terhadap surat dakwaan,
15 November 2016.
eksepsi, dan putusan peradilan. Bandung: Citra
Hoesein, Z.A. (2013). Kekuasaan kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: Imperium. Huda, C. (2006). Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. Jakarta: Kencana.
Aditya Bhakti. Pangaribuan, L.M.P. (2016). Hukum pidana khusus: Tindak pidana ekonomi, pencucian uang, korupsi, dan kerjasama internasional serta pengembalian aset. Depok: Pustaka Kemang.
Putusan Pemidanaan terhadap Korporasi Tanpa Didakwakan (Budi Suhariyanto)
jurnal april 2017 isi.indd 37
criminal
| 37
5/2/2017 5:04:41 PM
Panggabean, H.P. (2014). Penerapan teori hukum dalam sistem peradilan Indonesia. Bandung: Alumni.
____________. (2016b, Juni). Progresivitas putusan pemidanaan terhadap korporasi pelaku tindak
Prasetya, R. (2011). Perseroan terbatas (Teori & praktik). Jakarta. Sinar Grafika.
pidana korupsi. Jurnal De Jure, 16 (2), 201213.
Priyatna, D. (2004). Kebijakan legislasi tentang
Rifai,
negara. Jurnal Rechtsvinding, 5 (3), 421-438.
___________.
(2016c,
Maret).
Masalah
sistem pertanggungjawaban pidana korporasi
eksekutabilitas putusan Mahkamah Konstitusi
Indonesia. Bandung: CV Utomo.
oleh Mahkamah Agung. Jurnal Konstitusi, 13
E.
(2014,
Februari).
Perspektif
(1), 171-190.
pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai
Suparmono, R. (2014). Kewenangan hakim dalam
pelaku tindak pidana korupsi. Jurnal Mimbar
memutus perkara di luar dakwaan jaksa
Hukum, 26 (1), 84-97.
penuntut umum. Jakarta: Puslitbang Hukum
Sintung, L. (2015, Januari-Maret). Penuntutan
dan Peradilan Mahkamah Agung.
terhadap korporasi sebagai pelaku tindak
Syamsu, M.A. (2014). Pergeseran turut serta
pidana suap. Jurnal Lex Crime, IV (1), 199-
melakukan dalam ajaran penyertaan: Telaah
207.
kritis berdasarkan teori pemisahan tindak
Sjawie, H.F. (2013). Direksi perseroan terbatas serta pertanggungjawaban pidana korporasi. Bandung: Citra Aditya Bhakti. __________. (2015). Pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana korupsi. Jakarta: Kencana. Soetomo, A. (1989). Pedoman dasar pembuatan surat dakwaan dan suplemen. Jakarta: Pradnya Paramita. Sudharmawatiningsih. (2015). Putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum. Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung. Suhariyanto, B. (2015, Agustus). Pelenturan hukum dalam putusan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Jurnal Yudisial, 8 (2), 191-207.
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Jakarta: Kencana. Syarif, L.M. (2016). Tanggung jawab pidana korporasi. Materi dalam Seminar “Kedudukan dan Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi” diselenggarakan oleh Badan Litbang Diklat Mahkamah Agung pada tanggal 15 November 2016. Toruan,
H.D.L.
(2014,
Desember).
Pertanggungjawaban pidana korupsi korporasi. Jurnal Rechtsvinding, 3 (3), 397-416. Twomey, D.P. et.al. (2001). Anderson’s business law & the regulatory enviroment: Principle & cases. Mason, OH: West Legal Studies in Business. Yunara, E. (2012). Korupsi & pertanggungjawaban pidana
korporasi
(Berikut
studi
kasus).
Bandung: Citra Aditya Bhakti.
____________. (2016a, Desember). Restoratif justice dalam pemidanaan korporasi pelaku korupsi demi optimalisasi pengembalian kerugian
38 |
jurnal april 2017 isi.indd 38
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 17 - 38
5/2/2017 5:04:41 PM
PENERAPAN PRINSIP “KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK” DALAM KASUS TINDAK PIDANA NARKOTIKA Kajian Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr
THE IMPLEMENTATION OF “BEST INTEREST OF THE CHILD” IN THE NARCOTICS CRIMINAL CASE An Analysis of Court Decision Number 229/Pid.B/2012/PN.Jpr Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi Fakultas Hukum Universitas Jember Jl. Kalimantan No. 37 Tegalboto, Jember 68121 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 2 Februari 2017; revisi: 18 Maret 2017; disetujui: 28 Maret 2017 ABSTRAK
terakhir (ultimum remedium).
Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr memutuskan sanksi pidana penjara terhadap anak pengguna narkotika, tanpa disertai tindakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban pemeriksaan dokter ahli jiwa untuk menentukan urgensi tindakan rehabilitasi telah dikesampingkan oleh hakim di dalam memutus kasus. Permasalahan yang dikaji meliputi urgensi keterangan ahli dalam pemeriksaan ajudikasi tindak pidana narkotika dan aplikasi prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” dalam penjatuhan sanksi terhadap anak pengguna narkotika. Metode penulisan berbasis pada penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan sumber data sekunder. Data penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu penelitian hukum kualitatif (qualitativelegal research). Penjatuhan sanksi pidana penjara tanpa tindakan rehabilitasi terhadap anak pengguna narkotika tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan. Prinsip individualisasi pidana dan prinsip double track system sebenarnya dapat diterapkan dalam kasus tindak pidana narkotika oleh pelaku anak. Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak seharusnya berorientasi pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak, sehingga pemidanaan terhadap anak, khususnya pidana perampasan kemerdekaan digunakan sebagai upaya
Kata kunci: keterangan ahli, pertanggungjawaban pidana, hukum pembuktian.
ABSTRACT The Court Decision Number 229/Pid.B/2012/PN.Jpr imposed sanctions of imprisonment against the children of drug users without any of medical and social rehabilitation measures. The provision on the examination of the psychiatrist to settle on the urgency of rehabilitation measures have been ruled out by the judges in deciding the case. The problems outlined embrace the urgency of testifying expert witnesses in the adjudication of narcotic crime case and the implementation of the “best interests of the child” measure in the imposition of sanction on the children of drug users. The analytical method used is based on normative legal research using secondary data sources. The research data are in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were analyzed qualitatively through a method of qualitative legal research. Imposing sanction of imprisonment with no rehabilitation measures on the children of drug users is inconsistent with the objective of sentencing. The principle of individualization of punishment and double track system can actually be implemented in the
Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
jurnal april 2017 isi.indd 39
| 39
5/2/2017 5:04:41 PM
case of narcotic crime involving children offender. The judge in imposing sanctions on the children should be oriented to the measure of best interests of children, so that conviction for a criminal offence against children,
particularly deprivation of liberty is done as a last resort (ultimum remedium).
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
tahun dan denda sebesar Rp400.000.000,- (empat ratus juta rupiah), subsider tiga bulan kurungan.
Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr memeriksa seorang pelaku anak berusia 15 tahun, yaitu terdakwa AJR. AJR dipidana berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jayapura tanggal 24 Juli 2012 dalam kasus tindak pidana menyalahgunakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman bagi diri sendiri, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut Undang-Undang Narkotika). Kasus posisi bermula dari AJR yang telah mengenal dan menggunakan ganja sekitar satu tahun. Terdakwa AJR ditangkap polisi pada tanggal 14 Mei 2012 pukul 19.00 WIT di pinggir jalan dekat tiang lampu Polimak II, Karang, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura. Terdakwa AJR menerima titipan tas milik temannya DY (DPO) yang di dalamnya berisi ganja seberat 14,61 gram. Terdakwa AJR sebelum ditangkap sempat mengonsumsi/mengisap daun ganja bersama DY, sekitar pukul 18.30 WIT. Penuntut umum dalam Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr mengajukan dakwaan alternatif, yakni dakwaan kesatu melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Narkotika; atau dakwaan kedua melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika. Tuntutan pidana (requisitoir) yang diajukan oleh penuntut umum pada dakwaan kesatu, yaitu meminta hakim menjatuhkan pidana penjara selama dua 40 |
jurnal april 2017 isi.indd 40
Keywords: expert witnesses, criminal responsibility, rules of evidence.
Dari fakta yang terungkap di persidangan, hakim menyatakan, bahwa dakwaan kesatu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa AJR haruslah dibebaskan dari dakwaan kesatu; selanjutnya hakim mempertimbangkan dakwaan kedua, yaitu Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika. Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika sebagai dakwaan kedua yang terungkap di persidangan, meliputi unsur-unsur, yaitu: 1) setiap orang; dan 2) penyalahguna narkotika golongan I bagi diri sendiri. Dalam konteks penyalahguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum; sedangkan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, kehilangan rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan. Perbuatan terdakwa AJR yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana disebutkan dalam dakwaan kedua, yaitu melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UndangUndang Narkotika, dalam hal ini bersalah melakukan tindak pidana menyalahgunakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman bagi diri sendiri. Oleh karena itu, hakim menjatuhkan sanksi pidana penjara selama delapan bulan. Penjatuhan sanksi pidana penjara tersebut tidak Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 39 - 57
5/2/2017 5:04:41 PM
disertai tindakan rehabilitasi sebagaimana pergeseran paradigma di dalam pemidanaan yang diamanatkan Undang-Undang Narkotika. telah beralih pada rasa keadilan pelaku untuk memperoleh kesempatan memperbaiki diri. Hakim dalam pertimbangannya, menyatakan sependapat dengan nota pembelaan Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr penasehat hukum, bahwa terdakwa AJR adalah yang menjatuhkan sanksi pidana penjara seorang pemakai. Terdakwa AJR mengakui terhadap anak pengguna narkotika tanpa disertai telah mengenal dan memakai ganja kurang tindakan rehabilitasi, dapat dikaji dari perspektif lebih sekitar satu tahun. Terdakwa AJR biasanya tujuan pemidanaan. Sejalan dengan pergeseran hanya mendapatkan satu lintingan ganja dari J, paradigma di dalam pemidanaan, di mana EW ataupun DY (ketiganya DPO), dan biasanya pemidanaan ditujukan pada orang dan bukan pada mereka menghisap satu lintingan ganja tersebut perbuatan. Dalam kasus penyalahguna narkotika, hingga habis. Selama lebih kurang satu tahun sejalan dengan pergeseran paradigma tujuan terdakwa AJR mengenal dan memakai ganja, pemidanaan, tindakan rehabilitasi medis dan namun demikian dalam beberapa hari ganja rehabilitasi sosial bertujuan untuk memperbaiki tersebut tidak pernah berada pada terdakwa. diri seorang pelaku sebagaimana ditentukan di Hakim di dalam pertimbangannya mengesampingkan permintaan pembimbing kemasyarakatan untuk menempatkan terdakwa pada Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Provinsi Papua khususnya Jayapura yang belum memiliki sarana rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dijadikan alasan logis bagi hakim untuk tidak menjatuhkan sanksi tindakan sebagaimana ditentukan di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 3 Tahun 2011.
Prinsip-prinsip hukum yang memberikan “keistimewaan” terhadap anak yang berhadapan dengan hukum perlu diterapkan, khususnya dalam kasus perkara penyalahgunaan narkotika. Tindakan rehabilitasi terhadap anak pengguna narkotika, pada hakikatnya merupakan salah satu implementasi prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana ditentukan undang-undang. Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr tidak menjatuhkan tindakan rehabilitasi terhadap anak sebagai pengguna narkotika; sedangkan UndangUndang Narkotika, SEMA Nomor 4 Tahun 2010, Paradigma pemidanaan telah mengalami dan SEMA Nomor 3 Tahun 2011 menentukan pergeseran, yaitu beralih pada rasa keadilan bahwa rehabilitasi wajib diberikan terhadap yang harus diperoleh semua pihak, hakim tidak setiap orang pengguna narkotika. hanya terpuaskan untuk memidana pelaku, atau korban yang merasa puas terhadap vonis hakim, Alat bukti surat yang dibacakan di melainkan juga pelaku memperoleh kesempatan persidangan yaitu Surat Keterangan Nomor untuk memperbaiki diri dan masyarakat SK/51/V/2012/Biddokes ditandatangani terpuaskan dengan putusan hakim (Yulia, 2012: oleh a.n. Kabid Dokkes Polda Papua, yaitu 230). Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr Inspektur Dua Polisi dr. MAW; dan Hasil Uji menarik untuk dikaji terutama sejalan dengan Laboratorium Balai Besar POM Jayapura
Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
jurnal april 2017 isi.indd 41
| 41
5/2/2017 5:04:41 PM
Nomor PM.01.05.1101.03.12.1194 tanggal 29 Mei 2012, ditandatangani oleh Dra. S, selaku Plh. Kepala Balai Besar POM Jayapura, dengan hasil pengujian barang bukti ganja positif dan termasuk narkotika golongan I. Pendapat ahli DES, S.Farm.Apt., sebagai staf pengujian napza pada Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Jayapura, melakukan pemeriksaan sampel barang bukti berupa daun, batang, dan biji kering yang diduga narkotika jenis ganja. Pengujian laboratorium menunjukkan hasil positif narkotika dari tanaman ganja atau dalam bahasa Latin canabis sativa yang termasuk narkotika golongan I berdasarkan Undang-Undang Narkotika. Tidak adanya keterangan dokter ahli jiwa atau psikiater pemerintah dalam Putusan Nomor 229/ Pid.B/2012/PN.Jpr sangatlah menarik untuk dicermati dan dikaji, karena SEMA Nomor 4 Tahun 2010 menentukan bahwa keterangan dokter ahli jiwa diperlukan sehubungan kasus penyalahgunaan narkotika.
PN.Jpr adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” terhadap anak pengguna narkotika dalam Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr? 2. Apakah urgensi keterangan ahli dalam tindak pidana narkotika dalam pemeriksaan Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr? C.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan yang ingin dicapai dengan fokus penelitian mengenai Putusan Nomor 229/ Pid.B/2012/PN.Jpr adalah sebagai berikut:
1. Sejalan dengan perubahan paradigma di dalam tujuan pemidanaan, penulis mencoba menawarkan penerapan konsep individualisasi pidana terhadap anak pengguna narkotika yang dapat berkorelasi dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak; Bahaya penggunaan narkotika bagi manusia jelas berdampak buruk pada kesehatan. 2. Untuk menggambarkan urgensi keterangan Namun demikian, rekomendasi petugas Bapas ahli dalam pemeriksaan kasus tindak pidana untuk dilakukannya tindakan rehabilitasi narkotika, khususnya kasus anak pengguna terhadap terdakwa AJR ternyata dikesampingkan narkotika dalam Putusan Nomor 229/ oleh hakim di dalam memutus perkara. Adanya Pid.B/2012/PN.Jpr. beberapa permasalahan dalam Putusan Nomor Manfaat dan kegunaan yang ingin diperoleh 229/Pid.B/2012/PN.Jpr, menurut pendapat penulis sangatlah menarik untuk dikaji dari dengan dilakukannya penelitian mengenai Putusan perspektif penerapan prinsip kepentingan terbaik Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr adalah sebagai bagi anak dalam penjatuhan sanksi terhadap anak berikut: pengguna narkotika. B.
Rumusan Masalah
Berlandaskan pada latar belakang yang dikemukakan di atas, rumusan masalah dengan fokus kajian Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/
42 |
jurnal april 2017 isi.indd 42
1.
Secara teoritis diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan konsep pemidanaan yang sesuai dengan perubahan paradigma di dalam tujuan pemidanaan, khususnya dalam penjatuhan sanksi pidana dan atau tindakan terhadap pengguna narkotika;
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 39 - 57
5/2/2017 5:04:41 PM
2. Secara praktis diharapkan dapat memberikan input kepada aparat penegak hukum dalam setiap tahap pemeriksaan perkara, khususnya dalam menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan peristiwa penyalahgunaan narkotika.
ia patut dipidana.... dengan perkataan lain, adanya pertanggungjawaban pidana, pertama-tama harus dipenuhi asas legalitas, yaitu harus ada dasar/sumber hukum (sumber legitimasi) yang jelas, baik di bidang hukum pidana materiil/substantif maupun hukum pidana formal.”
Berlakunya hukum pidana dibedakan antara ketentuan undang-undang yang berlaku D. Tinjauan Pustaka umum, dan ketentuan undang-undang yang Menurut Prodjodikoro (2012: 1), bahwa berlaku khusus. Menurut Hiariej (2016: 24-25): tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar ”selain hukum pidana umum, ada juga hukum (wederrechtelijkheid, onrechtmatigeheid). hukum pidana khusus, yaitu ketentuanketentuan hukum pidana yang secara Ciri hukum pidana modern lebih mengutamakan materiil berada di luar KUHP atau secara pribadi manusia sebagai pelaku tindak pidana, formal berada di luar KUHAP. Dapat juga daripada perbuatan yang telah dilakukannya. dikatakan, bahwa hukum pidana khusus adalah hukum pidana di luar kodifikasi. Aturan pertanggungjawaban pidana berfungsi Atas dasar pengaturan tersebut, hukum sebagai penyaring penjatuhan sanksi, yaitu suatu pidana khusus dibagi menjadi dua bagian, sanksi hanya dapat dijatuhkan terhadap mereka yaitu hukum pidana khusus di dalam undang-undang pidana dan hukum pidana yang bersalah dan penjatuhannya terbatas pada khusus bukan dalam undang-undang kesalahan dan perbuatan yang dilakukan bersifat pidana..... Keberlakuan hukum pidana melawan hukum (wederrechtelijk). khusus didasarkan pada asas lex specialis derogat legi generali atau hukum khusus mengesampingkan hukum umum.” Dalam pertanggungjawaban pidana, ada hubungan erat antara unsur kesalahan dan sifat melawan hukum, dan apabila perbuatan yang dilakukan tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku. Pada prinsipnya tidak mungkin ada kesalahan tanpa ada unsur melawan hukum. Faktor kesalahan merupakan unsur penting penentu pertanggungjawaban pidana yang harus dibuktikan dalam penegakan hukum. Menurut Nawawi Arief dalam Ohoiwutun (2014: 91): “pertanggungjawaban pidana mengandung di dalamnya pencelaan objektif dan pencelaan subjektif; artinya, secara objektif si pembuat telah melakukan tindak pidana (perbuatan terlarang/melawan hukum) dan secara subjektif si pembuat patut dicela atau dipersalahkan/dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya sehingga
Jelaslah eksistensi ketentuan undangundang yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan undang-undang yang bersifat umum. Berlakunya asas lex specialis derogat legi generali ditentukan di dalam KUHP Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 103. Arti kata “bukti” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2015: 217), yaiut: 1) sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa; keterangan nyata; 2) hal yang menjadi tanda perbuatan jahat. Dalam konteks hukum, kata bukti merupakan terjemahan dari bahasa Belanda bewijs. Kamus hukum mengartikan “bukti” sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran
Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
jurnal april 2017 isi.indd 43
| 43
5/2/2017 5:04:41 PM
fakta lain oleh para pihak dalam perkara 186 KUHAP antara lain menyatakan, bahwa pengadilan, guna memberi bahan kepada para keterangan ahli juga dapat diberikan dalam pihak bagi penilaiannya (Hamzah, 1986: 83). bentuk laporan yang dibuat dengan mengingat sumpah jabatan ketika pemeriksaan oleh penyidik KUHAP tidak menjelaskan pengertian atau penuntut umum. Menurut Hiariej (2012: pembuktian, tetapi menyebutkannya secara 107), jika seorang ahli memberikan keterangan limitatif tentang lima macam alat bukti yang secara langsung di depan sidang pengadilan dan sah di dalam Pasal 184 ayat (1). Dalam perkara di bawah sumpah, keterangan tersebut adalah pidana tidak ada hierarki alat bukti, menurut alat bukti keterangan ahli yang sah; dan jika Hiariej (2016: 24-25), oleh karena itu penyebutan seorang ahli di bawah sumpah telah memberikan alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP keterangan tertulis di luar persidangan dan tidak menggunakan angka 1 sampai 5, melainkan keterangan tersebut dibacakan di depan sidang menggunakan huruf a sampai dengan huruf pengadilan, keterangan ahli tersebut merupakan e untuk menghindari kesan adanya hierarki alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli. alat bukti. Secara eksplisit Pasal 184 KUHAP menyebutkan alat bukti yang sah yaitu: a) Keterangan ahli sebagai salah satu alat keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat; d) bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) petunjuk; dan e) keterangan terdakwa. KUHAP huruf b KUHAP tidak mempunyai kekuatan yang menganut pembuktian menurut sistem pembuktian yang mengikat, artinya hakim tidak negatief wettelijkbewijstheorie, menempatkan terikat pada keterangan yang diberikan oleh ahli. keyakinan hakim dalam memutus perkara harus Sistem pembuktian berdasar undang-undang timbul dari alat-alat bukti yang ditetapkan secara negatif yang dianut KUHAP, menentukan undang-undang. bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana Pemeriksaan perkara pidana di pengadilan pada dasarnya meliputi tiga aspek, yaitu: a) fakta apakah yang terbukti dan bagaimanakah kesalahan terdakwa dihubungkan dengan tindak pidana yang didakwakan, b) berdasarkan fakta dan kesalahan terdakwa yang berhubungan dengan tindak pidana yang didakwakan, ditentukanlah hukumnya, dan kemudian pada tahap berikutnya ditetapkanlah c) sanksinya. Untuk menjawab ketiga aspek dalam pemeriksaan perkara pidana, diperlukan pemeriksaan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti keterangan ahli sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 186 KUHAP, adalah apa yang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Penjelasan Pasal
44 |
jurnal april 2017 isi.indd 44
sekurang-kurangnya haruslah didasarkan pada dua alat bukti yang sah dan disyaratkan adanya keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Setiap putusan pengadilan yang memuat pemidanaan pasti mengandung konsekuensi yuridis dan logis terhadap semua pihak, dan agar putusan mencerminkan keadilan dan kebenaran, maka pertimbangan hukum harus sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Muhammad (2007: 212), mengemukakan, bahwa: Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 39 - 57
5/2/2017 5:04:41 PM
“untuk memberikan telaah pada pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya akan dilihat pada dua kategori. Pertama akan dilihat dari segi pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua adalah pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis, yaitu pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap sebagai hal yang harus dimuat di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan, yaitu: a) dakwaan jaksa penuntut umum; b) keterangan terdakwa; c) keterangan saksi; d) barang-barang bukti; dan e) pasal-pasal peraturan hukum pidana; sedangkan pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis meliputi: a) latar belakang dilakukannya perbuatan pidana; b) akibat-akibat yang ditimbulkan; c) kondisi diri terdakwa; d) keadaan sosial ekonomi terdakwa; dan e) faktor agama terdakwa.
merupakan titik berat sifatnya kasuistis. Menurut Sholehuddin dalam Ohoiwutun (2014: 64), teori pemidanaan berkembang dari waktu ke waktu, teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan, dan treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman. Menurut Sholehuddin dalam Ohoiwutun (2014: 69), teori hukum pidana membedakan ide dasar penjatuhan sanksi pidana dan tindakan, yaitu pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan pemidanaan,” sedangkan tindakan bertolak dari “untuk apa diadakan pemidanaan.” Tujuan utama tindakan untuk memberikan keuntungan atau memperbaiki orang yang bersangkutan, fokusnya bukan pada perbuatan yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi pada tujuan memberikan pertolongan padanya. Kepentingan hukum perorangan (individuele belangen) dan kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke belangen), merupakan fokus dari perlindungan hukum yang ditentukan di dalam hukum pidana.
Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari dimensi tujuan pemidanaan. Muladi dalam Ohoiwutun (2014: 60), mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan haruslah bersifat integratif, yaitu: 1) perlindungan masyarakat; 2) memelihara solidaritas masyarakat; 3) pencegahan (umum dan khusus); dan 4) pengimbalan/pengimbangan; sedangkan teori tujuan pemidanaan berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar pemidanaan yang II. METODE dapat dilihat dari beberapa pandangan, yaitu teori Penulisan ini berbasis pada penelitian pemidanaan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, 1) teori retributif, 2) teori teleologis, dan 3) teori yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum retributif-teleologis. dengan menggunakan data sekunder. Menurut Menurut Muladi dalam Ohoiwutun Soemitro dalam Ohoiwutun (2016: 79), “penelitian (2014: 64), karena tujuannya bersifat integratif, hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal maka perangkat tujuan pemidanaan adalah: a) yaitu penelitian yang menggunakan sumber data pencegahan umum dan khusus; b) perlindungan sekunder atau disebut juga penelitian hukum masyarakat; c) memelihara solidaritas masyarakat; kepustakaan, di mana hukum dikonsepsikan dan d) pengimbalan/pengimbangan. Muladi sebagai sistem kumpulan norma-norma positif di memberikan catatan, bahwa tujuan manakah yang dalam kehidupan masyarakat.”
Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
jurnal april 2017 isi.indd 45
| 45
5/2/2017 5:04:41 PM
Penulis menganalisis Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kajian terhadap Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr berhubungan dengan tidak dioptimalkannya pemeriksaan ahli yang dapat berkorelasi dengan penjatuhan sanksi; apalagi Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/ PN.Jpr melibatkan seorang terdakwa anak pengguna narkotika. Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika mensyaratkan adanya perbuatan yang memenuhi rumusan delik dan adanya akibat yang ditimbulkan dari suatu perbuatan berperan penting dalam menentukan pertanggungjawaban pidana. Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan hukum yang merupakan data sekunder, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Menurut Marzuki (2014: 181 & 196), “bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai sifat autoritatif, artinya memiliki otoritas tertentu”; dan “bahan hukum sekunder berguna untuk memberikan “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah.” Bahan hukum tersier digunakan dalam memberikan berbagai pengertian yang diperlukan untuk memperjelas permasalahan yang berkaitan dengan peristilahan yang memerlukan penjelasan.
Kekuasaan Kehakiman; SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, dan Putusan Nomor 229/ Pid.B/2012/PN.Jpr yang telah berkekuatan hukum tetap. Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak digunakan sebagai pisau analisis, meskipun saat ini kedua undang-undang tersebut telah diperbarui, namun demikian, analisis tidak menggunakan aturan yang baru dikarenakan Putusan Nomor 229/ Pid.B/2012/PN.Jpr diputuskan berdasarkan Undang-Undang Pengadilan Anak dan UndangUndang Perlindungan Anak (catatan: saat ini Undang-Undang Pengadilan Anak telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; sedangkan Undang-Undang Perlindungan Anak telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Bahan hukum sekunder berupa publikasi hukum yang tidak berupa dokumen-dokumen resmi, tetapi berupa buku referensi, jurnal, hasil penelitian ilmiah, dan sebagainya. Bahan hukum tersier, menurut Soekanto & Mamudji dalam Ohoiwutun (2015a: 9), yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.
Bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan perundangan yang meliputi UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Undang-Undang Pengadilan Anak); Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Undang-Undang HAM), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr tentang Perlindungan Anak (Undang-Undang yang telah berkekuatan hukum tetap dipilih Perlindungan Anak); Undang-Undang Narkotika; sebagai studi kasus, karena telah adanya sifat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang autoritatif putusan. Mengenai autoritatif-nya 46 |
jurnal april 2017 isi.indd 46
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 39 - 57
5/2/2017 5:04:41 PM
putusan pengadilan menurut Scholten dalam Marzuki (2014: 190), adalah “aan het oordeel van de rechter buiten de verhouding aan zijn beslissing onderworpen geen gezag toekwam (pertimbangan hakim yang tidak menjadi landasan putusan tidak mempunyai gezag (kewibawaan)), sehingga harus ada kaitan antara pertimbangan dan putusan.” Merujuk pada pendapat Scholten, kajian mengenai ratio decidendi hakim dalam pertimbangannya untuk memutus perkara dalam studi kasus Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/ PN.Jpr menduduki posisi penting.
pertanggungjawaban pidana dan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh hakim di dalam memutus perkara. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” terhadap Anak Pengguna Narkotika dalam Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr
Anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan perlindungan khusus sebagaimana Studi kasus Putusan Nomor 229/ diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Pid.B/2012/PN.Jpr tidak menggunakan metode Anak dan Undang-Undang HAM. Pasal 16 ayat wawancara. Metode pengumpulan data berupa (3) Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pasal bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, 66 ayat (4) Undang-Undang HAM secara tegas dan bahan hukum tersier dilakukan melalui studi menyebutkan, bahwa: penangkapan, penahanan, kepustakaan. Adapun analisis data dilakukan atau pidana penjara anak hanya dilakukan apabila secara kualitatif, yaitu dari data yang telah sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dikumpulkan kemudian disistematisir dan dinilai dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. berdasarkan ketentuan dan prinsip hukum yang berlaku serta kenyataan yang terjadi (Muhammad dalam Ohoiwutun, 2015a: 9). Berkaitan dengan Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr yang tidak menjatuhkan sanksi tindakan rehabilitasi terhadap anak pengguna narkotika dianalisis berdasarkan beberapa peraturan perundangan yang berhubungan dengan anak dan narkotika. Fokus penelitian mengenai penerapan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” dalam penjatuhan sanksi terhadap anak pengguna narkotika, analisis datanya dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis data secara deskriptif kualitatif dilakukan dengan cara menjelaskan mengenai urgensi pemeriksaan dokter ahli jiwa, khususnya dalam rangka menemukan kebenaran materiil. Dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, pemeriksaan ahli dapat berkorelasi dengan penentuan kesalahan seseorang,
Upaya-upaya penegakan hukum dalam proses acara pidana yang dilakukan oleh polisi, jaksa, dan hakim, pada hakikatnya secara materiil sudah mengandung pidana (punishment) dan pemidanaan (sentencing). Proses peradilan formal yang dimulai dari tindakan penangkapan, penahanan, dan kemudian berakhir pada penjatuhan sanksi pidana penjara terhadap anak dapat berimplikasi buruk pada masa depan anak, sehingga undang-undang mengamanatkan proses peradilan formal terhadap anak merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) bilamana upaya lain tidak berhasil. Pemeriksaan Putusan Nomor 229/ Pid.B/2012/PN.Jpr, berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, bahwa perbuatan terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar Undang-Undang Narkotika Pasal
Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
jurnal april 2017 isi.indd 47
| 47
5/2/2017 5:04:41 PM
127 ayat (1) huruf a, yang menyatakan bahwa: “setiap penyalah guna narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun,” kemudian ayat (3) menentukan bahwa: “dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.” Berdasarkan Surat Keterangan Nomor SK/51/V/2012/Biddokes tanggal 15 Mei 2012, yang ditandatangani oleh dr. MAW, hasil pemeriksaan urine terdakwa AJR, menyatakan: pemeriksaan cocain negatif, pemeriksaan amphetamin negatif, pemeriksaan metamphetamin negatif, pemeriksaan THC/ganja positif, pemeriksaan morphin negatif, dan pemeriksaan benzodiasepin negatif. Dalam Surat Keterangan Nomor SK/51/V/2012/Biddokes menambahkan catatan, bahwa hasil positif adalah pernah menggunakan bahan tersebut dalam waktu satu hari sampai empat hari; sedangkan hasil negatif adalah menggunakan bahan tersebut dalam waktu empat hari atau tidak sama sekali. Pemeriksaan THC/ganja positif berdasarkan Surat Keterangan Nomor SK/51/V/2012/Biddokes, menunjukkan bahwa: terdakwa AJR memang menggunakan narkotika. Pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr yang menyatakan bahwa: “terdakwa AJR hanyalah sebagai pemakai dan belum memiliki sifat ketergantungan (pecandu),” merupakan pertimbangan yang tidak didasarkan pada diagnosis dokter ahli jiwa. Dalam hal ini, hakim tidak keliru menilai dan menentukan kondisi terdakwa AJR yang belum memiliki sifat ketergantungan pada narkotika. KUHAP yang menganut negatief wettelijkbewijstheorie, menempatkan posisi sentral hakim di dalam
48 |
jurnal april 2017 isi.indd 48
memutus setiap perkara pidana yang didasarkan pada keyakinannya. Keterangan ahli DES, S.Farm.Apt., yang bertugas sebagai staf pengujian napza pada Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Jayapura, dan sebagai tim yang melakukan pengujian laboratorium terhadap obat, narkotika, dan psikotropika berdasarkan Surat Tugas Nomor KP.06.01.1101.04.12.1193, menyatakan bahaya mengonsumsi narkotika golongan I bagi manusia adalah: a) pengaruh terhadap kondisi fisik, yaitu gangguan langsung terhadap susunan syaraf pusat, sakauw, depresi, menurunkan daya tahan tubuh, penggunaan dihisap melalui mulut menimbulkan kerusakan selaput mukosa; b) pengaruh terhadap mental dan perilaku dapat menimbulkan berbagai macam gangguan kejiwaan, antara lain homicide (tindakan perbuatan sangat agresif), percobaan bunuh diri; c) pengaruh terhadap gangguan kehidupan sosial. Merujuk pada pendapat ahli DES, S.Farm. Apt., mengenai bahaya penggunaan narkotika golongan I bagi manusia adalah bersifat umum. Dalam kasus konkret bahaya penggunaan narkotika sebagaimana Putusan Nomor 229/ Pid.B/2012/PN.Jpr seharusnya dapat ditentukan adanya hubungan kausal antara penggunaan narkotika golongan I oleh terdakwa AJR dengan akibat yang ditimbulkannya. Keterangan dokter dalam Surat Nomor SK/51/V/2012/Biddokes yang dibacakan pada intinya menyimpulkan, bahwa pemeriksaan THC/ganja positif hanya untuk membuktikan bahwa terdakwa AJR memang menggunakan ganja, dan tidak menyimpulkan tingkat ketergantungannya. Tidak adanya keterangan dokter ahli jiwa, pada setiap tahap pemeriksaan merupakan salah satu hal yang perlu dicermati, karena dapat berkorelasi dengan penentuan tingkat ketergantungan seseorang pada Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 39 - 57
5/2/2017 5:04:41 PM
narkotika. Di samping itu, keterangan dokter ahli jiwa berkorelasi pula dengan kewajiban pemberian tindakan rehabilitasi sebagaimana ditentukan di dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 3 Tahun 2011.
memiliki sarana dan prasarananya.” Memang, kompetensi pembimbing kemasyarakatan tidak dalam kapasitasnya menentukan urgensi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagaimana ditentukan di dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010. Oleh karena itu, keterlibatan dokter Menurut SEMA Nomor 4 Tahun 2010 ahli jiwa dalam pemeriksaan perkara bermanfaat dan SEMA Nomor 3 Tahun 2011, seharusnya membentuk keyakinan hakim dalam memutus terdakwa AJR mendapatkan rehabilitasi, dan perkara seadil-adilnya, dalam hal ini pemberian karena pada tahap pemeriksaan penyidikan hak untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan tidak ditempatkan pada lembaga rehabilitasi, rehabilitasi sosial. maka dalam pemeriksaan pengadilan hakim seharusnya memerintahkan untuk dilakukannya Dalam pertimbangannya, hakim telah pemeriksaan dokter ahli jiwa sebagai salah satu mengabaikan kewajiban tindakan rehabilitasi langkah dalam menentukan proses rehabilitasi. terhadap terdakwa AJR dengan alasan belum Sebagaimana dikemukakan oleh Siswosubroto adanya sarana balai rehabilitasi bagi pengguna/ dalam Hutahaean (2013: 75) bahwa: “peradilan pecandu narkotika di Jayapura; sedangkan anak bertujuan untuk memperbaiki dan mencegah dalam praktiknya rehabilitasi terhadap pengguna bukan semata-mata menghukum, dan sudah narkotika dapat dilakukan di luar wilayah sepatutnya peradilan anak tidak dimonopoli Jayapura sebagaimana ditentukan di dalam oleh hakim yang hanya mempertimbangkan segi SEMA Nomor 4 Tahun 2010. Hakim tidak hukum, seharusnya hakim mempertimbangkan hanya mengacu pada pertimbangan yang bersifat segi lain seperti pertimbangan seorang psikiater yuridis yang berbasis pada asas legalitas, bahwa ataupun problem officer.” perbuatan terdakwa memang terbukti melanggar Undang-Undang Narkotika; tetapi hakim juga Menurut hemat penulis, apabila merujuk perlu mempertimbangkan hal-hal yang bersifat pada pendapat Siswosubroto, Putusan Nomor non yuridis, khususnya kondisi diri terdakwa 229/Pid.B/2012/PN.Jpr, pertimbangan AJR yang masih muda usia dan belum dewasa. hakim semata-mata hanya didasarkan pada Dengan demikian, dalam menyelesaikan pertimbangan yuridis untuk menghukum, namun permasalahan anak yang terlibat di dalam tindak demikian urgensi pemeriksaan dokter ahli jiwa pidana narkotika orientasi hakim di dalam ataupun problem officer tidak diberdayakan atau menjatuhkan sanksi tetap berpegang pada prinsip bahkan diabaikan dalam pemeriksaan perkara. “kepentingan terbaik bagi anak” (best interest of Hakim telah mengesampingkan rekomendasi the child), di samping upaya perlindungan yang pembimbing kemasyarakatan agar terdakwa seyogianya diberikan terhadap setiap anak yang AJR diberikan rehabilitasi. Hakim berpendapat, bermasalah atau berhadapan dengan hukum. bahwa: “pembimbing kemasyarakatan tidak memiliki alasan hukum yang cukup untuk dapat Tidak dilakukannya tindakan rehabilitasi menempatkan terdakwa dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial terhadap anak medis dan rehabilitasi sosial, di samping itu, pengguna narkotika, menurut pendapat penulis, Provinsi Papua, khususnya kota Jayapura belum secara tidak langsung telah mengesampingkan Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
jurnal april 2017 isi.indd 49
| 49
5/2/2017 5:04:41 PM
prinsip kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child), karena bagaimanapun juga anak merupakan tunas muda, generasi muda bangsa yang berpotensi dalam meneruskan citacita perjuangan bangsa, dan berperan strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Oleh karena itu, penjatuhan sanksi pidana penjara selama delapan bulan terhadap terdakwa AJR tanpa disertai tindakan rehabilitasi, di satu sisi menimbulkan stigma negatif terhadap anak sebagai terpidana penjara, di sisi lain dapat menghambat kesempatan untuk bertumbuh kembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Undang-Undang Narkotika Pasal 54 menentukan, bahwa: “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.” Dengan demikian jelas, Undang-Undang Narkotika Pasal 54 mewajibkan adanya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik terhadap pecandu maupun pengguna narkotika yang terbukti menyalahgunakan narkotika; sedangkan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 menentukan, bahwa urgensi rehabilitasi bergantung pada pemeriksaan dokter ahli jiwa atau psikiater.
rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika yang sedang berhadapan dengan hukum dan menjalani proses peradilan, wajib ditempatkan di lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Berdasarkan Undang-Undang Narkotika Pasal 103 dan Pasal 13 ayat (2) PP Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, bahwa perintah untuk menjalankan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, hanya berdasarkan pada: putusan pengadilan bagi terdakwa yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika dan penetapan pengadilan bagi yang tidak terbukti bersalah dan tersangka masih dalam proses penyidikan/penuntutan. SEMA Nomor 3 Tahun 2011 telah menempatkan “posisi sentral” hakim dalam kasus narkotika. Terkait penempatan pada tempat rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, menurut SEMA Nomor 3 Tahun 2011, hakim tetap memperhatikan dan merujuk pada SEMA Nomor 4 Tahun 2010. Oleh karena itu, setiap orang yang terlibat di dalam perkara narkotika, undang-undang dan peraturan pelaksananya mewajibkan penempatan di tempat rehabilitasi. Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr yang menjatuhkan sanksi pidana penjara selama delapan bulan, tanpa disertai tindakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, dapat dikaji dari perspektif utilitarian tentang justifikasi pidana menurut Bentham dalam Ohoiwutun (2014: 61 & 165), bahwa: “adanya sanksi pidana berorientasi pada tujuannya, yakni kejahatan harus dicegah sedini mungkin (preventif), dan ditujukan untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan (deterrence) dan pelaku kejahatan sebaiknya diperbaiki/dibina (reform).”
Berbicara masalah pemakai/pengguna/ pecandu narkotika, SEMA Nomor 3 Tahun 2011 mengatur pula mengenai penempatan korban penyalahgunaan narkotika di lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kedudukan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 3 Tahun 2011, memperkuat posisi Undang-Undang Narkotika Pasal 54 sampai dengan Pasal 59. Alasan logis terbitnya SEMA Nomor 3 Tahun 2011 adalah belum optimalnya implementasi tindakan rehabilitasi terhadap pengguna/pecandu Teori tujuan pemidanaan sebagaimana narkotika. SEMA Nomor 3 Tahun 2011 pada dikemukakan Bentham, bersifat reformatif yaitu intinya menentukan, bahwa untuk kepentingan 50 |
jurnal april 2017 isi.indd 50
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 39 - 57
5/2/2017 5:04:41 PM
sistem pemidanaan yang menitikberatkan pada pembinaan pelaku agar menjadi warga masyarakat yang berguna. Pendekatan yang dipergunakan dari segi kemanfaatan (utilitas) pidana, yang didasarkan pada the great happiness of the great numbers, bahwa pidana janganlah digunakan apabila groundless (tanpa dasar), needless (tidak berguna), unprofitable (tiada menguntungkan) atau inefficacious (tidak efisien). Putusan pidana penjara selama delapan bulan tanpa disertai tindakan rehabilitasi dalam Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/ PN.Jpr, semata-mata untuk memberikan pembinaan agar terdakwa AJR menjadi warga masyarakat yang berguna. Namun demikian, tanpa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, sebuah pemidanaan akan menjadi unprofitable (tiada menguntungkan) atau inefficacious (tidak efisien), karena manfaat rehabilitasi medis sejatinya untuk membebaskan pengguna/pecandu dari ketergantungan narkotika, dan rehabilitasi sosial bermanfaat untuk memulihkan kembali fungsi sosial di dalam kehidupan masyarakat. Bagaimanapun sifatnya, pemidanaan terhadap anak bukanlah pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukannya. Pemidanaan sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban pidana terkandung makna pencelaan, baik secara objektif maupun secara subjektif. Sasaran utama yang harus dicapai dalam pemidanaan terhadap anak haruslah merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat untuk kepentingan terbaik bagi anak, yaitu adanya reformasi atau perubahan perilaku anak secara signifikan di kemudian hari. Dalam Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/ PN.Jpr, berkaitan dengan anak pelaku tindak pidana narkotika, pengenaan tindakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (di samping penjatuhan sanksi pidana) pada
hakikatnya merupakan perwujudan dari asas kesalahan, yaitu tidak dipidana tanpa kesalahan. Menurut Arief dalam Ohoiwutun (2014: 3), asas kesalahan merupakan asas fundamental sebagai pasangan dari asas legalitas yang merupakan perwujudan ide keseimbangan monodualistik. Bertolak dari asas kesalahan, terdakwa AJR dijatuhi sanksi pidana atas kesalahannya menggunakan narkotika golongan I. Namun demikian, penjatuhan sanksi pidana penjara sebagai wujud pertanggungjawaban pidana, perlu mempertimbangkan penerapan ide keseimbangan monodualistik, yaitu keseimbangan yang berorientasi pada pelaku/offender (pidana) dan victim (korban). Individualisasi pidana menurut Ravena dalam Ohoiwutun (2015b: 340), “among the sanctions criminal with the perpetrators of the criminal act must be suitability, so that the purpose for which such criminal sanctions can be reached, then the judge in meting out criminal sanctions should pay attention to the nature or character of the perpetrators of criminal acts.” Bertolak dari konsep individualisasi pidana, penjatuhan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana seharusnya mengutamakan kepribadian, sifat-sifat, dan karakter anak. Konsep individualisasi pidana yang berorientasi pada kepentingan pelaku anak dalam kasus tindak pidana narkotika, perlu mengutamakan upaya perlindungan dan demi kebaikan anak, atau setidaknya sebagai upaya pencegahan dan bukan semata-mata penghukuman, karena anak pengguna narkotika, sejatinya adalah korban dan sekaligus pelaku. Hakim perlu mempertimbangkan faktor-faktor non yuridis mengenai kondisi diri terdakwa yang masih berusia muda. Oleh karena itu, pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi
Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
jurnal april 2017 isi.indd 51
| 51
5/2/2017 5:04:41 PM
sosial, seharusnya dapat dijatuhkan terhadap anak, sebagai wujud ide keseimbangan monodualistik, yaitu antara kepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan individu, ide keseimbangan antara social welfare dengan social defence, dan ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/offender (individualisasi pidana) dan victim (korban). B.
Urgensi Keterangan Ahli Tindak Pidana Narkotika dalam Pemeriksaan Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr.
Menurut Nashriana (2015: 54), bahwa: “proses pidana dalam sistem peradilan formal yang dialami oleh anak akan lebih banyak berpengaruh buruk pada masa depan anak.” Pengaruh buruk pada masa depan anak atas proses peradilan pidana juga menjadi kepedulian dunia internasional, sehingga beberapa dokumen internasional disahkan dalam rangka pemberian jaminan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang bermasalah dengan hukum. Pengesahan dokumen internasional meliputi: Resolusi PBB 44/25 (Convention of the Rights of the Child), Resolusi PBB Nomor 40/33 tentang Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rule), Resolusi PBB Nomor 45/112 tentang UN Guidelines for the Revention of Juvenile Delinquency (The Riyardh Guidelines), Resolusi PBB Nomor 45/113 tentang UN Standard of the Protection of Juvenile Deprived of their Liberty, Resolusi PBB Nomor 45/115 tentang UN Standard Minimum Rules for Custodial Measures 1990 (the Tokyo Rule).
Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Convention of the Rights of the Child mengatur tentang prinsip-prinsip dasar anak, yaitu: prinsip non diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child), prinsip atas hak hidup, keberlangsungan dan perkembangan, serta prinsip atas penghargaan terhadap pendapat anak. Landasan hukum Indonesia yang memperkuat posisi istimewa setiap anak diwujudkan dalam bentuk produk undangundang, yaitu: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UndangUndang Pengadilan Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak, termasuk Undang-Undang HAM. Beberapa regulasi mengenai anak, baik yang bersumber dari instrument internasional maupun nasional merupakan dasar hukum yang perlu diperhatikan di dalam menangani permasalahan anak yang sedang berhadapan dengan hukum. Seluruh peraturan perundangan tersebut merumuskan bahwa penanggulangan kenakalan anak seyogianya dilakukan dengan cara-cara yang lebih mengedepankan “kepentingan terbaik bagi anak” (best interest of the child).
Merujuk pada kepentingan terbaik bagi anak, Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/ PN.Jpr menarik untuk dikaji, karena di satu sisi terdakwa adalah seorang anak yang memiliki kekhususan dari segi jasmani, rohani, dan pertanggungjawaban pidana; namun di sisi lain putusan hakim menyatakan menjatuhkan sanksi Resolusi PBB 44/25 Tahun 1989 pidana penjara selama delapan bulan terhadap (Convention of the Rights of the Child) telah AJR, karena terbukti menggunakan narkotika. diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tanggal 25 Salah satu alasan hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa: “terdakwa AJR hanyalah 52 |
jurnal april 2017 isi.indd 52
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 39 - 57
5/2/2017 5:04:41 PM
sebagai pemakai dan belum memiliki sifat ketergantungan (pecandu), ....” Tanpa didukung keterangan dokter ahli jiwa, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa: “terdakwa AJR hanyalah sebagai pemakai dan belum memiliki sifat ketergantungan (pecandu),” sangatlah menarik untuk dicermati. SEMA Nomor 4 Tahun 2010 merupakan revisi atas SEMA Nomor 7 Tahun 2009 menentukan, bahwa penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a dan b Undang-Undang Narkotika hanya dapat dijatuhkan, antara lain dengan klasifikasi: “terdakwa dalam kondisi tertangkap tangan oleh penyidik Polri atau penyidik BNN, surat uji laboratorium menyatakan positif menggunakan narkotika, perlu surat keterangan dokter ahli jiwa/ psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim.” SEMA Nomor 4 Tahun 2010 juga menentukan, untuk menjatuhkan lamanya rehabilitasi, hakim harus dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan terdakwa, sehingga diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi. Oleh karena itu, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa “terdakwa AJR hanyalah sebagai pemakai dan belum memiliki sifat ketergantungan (pecandu),” seharusnya didukung keterangan dokter ahli jiwa.
SEMA Nomor 4 Tahun 2010 yang menentukan bahwa perlu surat keterangan dokter ahli jiwa/psikiater yang mempertimbangkan mengenai kondisi/taraf kecanduan terdakwa sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi, adalah pendapat ahli yang diberikan atas dasar tindakan yang harus dilakukan sebelum persidangan. Menurut Hiariej (2012: 66): “meskipun dalam perkara pidana tidak ada hierarki dalam alat bukti, kesaksian mendapat tempat yang utama, ..... kebenaran isi surat dan alat bukti tertulis lainnya, haruslah juga dibuktikan.” Pendapat dokter ahli jiwa dalam penentuan tentang urgensi rehabilitasi terhadap pengguna/pecandu narkotika dapat diberikan secara tertulis, yaitu dalam bentuk surat keterangan mengenai kondisi taraf kecanduan terdakwa pada tahap pemeriksaan penyidikan; namun demikian, keterangan dokter ahli jiwa juga dapat diberikan dalam tahap pemeriksaan pengadilan atas perintah hakim. Ada korelasi erat antara keterangan dokter ahli jiwa dengan standar dalam proses terapi dan rehabilitasi. SEMA Nomor 4 Tahun 2010 mempertegas pemidanaan yang ditentukan di dalam UndangUndang Narkotika Pasal 103 ayat (1) bahwa: hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat: a) memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau b) menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Jenis keterangan ahli menurut Hiariej (2012: 66), secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) pendapat ahli mengenai suatu permasalahan yang menjadi topik perkara di persidangan atas dasar suatu pengetahuan atau pengalaman ahli yang dinyatakan di persidangan tanpa memerlukan suatu tindakan sebelumnya; dan (b) pendapat ahli atas dasar suatu tindakan yang harus dilakukan sebelum persidangan Merujuk pada ketentuan Undang-Undang seperti pemeriksaan, penelitian, atau observasi.” Narkotika Pasal 103 ayat (1) yang menyatakan: Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
jurnal april 2017 isi.indd 53
| 53
5/2/2017 5:04:41 PM
“hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutus memerintahkan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi,” jelas tidak ada kewajiban bagi hakim untuk memutuskan tindakan rehabilitasi terhadap pengguna/pecandu narkotika. Namun demikian, dalam memeriksa dan memutus Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr, apabila hakim konsekuen dengan eksistensi SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dan demi untuk “kepentingan terbaik bagi anak” (best interest of the child), seharusnya tindakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dijatuhkan terhadap terdakwa AJR sebagai pengguna narkotika. Rehabilitasi medis bermanfaat untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika; sedangkan rehabilitasi sosial untuk pemulihan, baik secara fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di dalam kehidupan masyarakat. Kesaksian dokter ahli jiwa atau psikiater menduduki posisi terpenting dalam penjatuhan mengenai lamanya masa proses rehabilitasi, di mana hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan kondisi/taraf ketergantungan terdakwa sebagaimana direkomendasikan ahli. Keterangan dokter ahli jiwalah yang menentukan standar proses terapi dan rehabilitasi dengan didasarkan pada diagnosis untuk menentukan tingkat atau taraf kondisi ketergantungan terdakwa. Standar proses terapi terhadap pengguna/ pecandu narkotika meliputi: a) program detoksi dan stabilisasi selama satu bulan; b) program primer selama enam bulan; dan c) program reentry selama enam bulan. SEMA Nomor 4 Tahun 2010 hanya memberikan kompetensi pada dokter ahli jiwa dalam mempertimbangkan masa rehabilitasi yang diperlukan oleh pengguna/ pecandu narkotika.
54 |
jurnal april 2017 isi.indd 54
Salah satu alat bukti dalam proses pemeriksaan Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/ PN.Jpr, adalah keterangan dokter dalam Surat Nomor SK/51/V/2012/Biddokes yang menyimpulkan, bahwa pemeriksaan THC/ganja positif telah membuktikan bahwa terdakwa AJR memang menggunakan ganja. Merujuk pada SEMA Nomor 4 Tahun 2010, yang menyatakan hasil uji laboratorium terdakwa AJR positif sebagai pengguna narkotika seharusnya disertai dengan surat keterangan dokter ahli jiwa pemerintah yang ditunjuk oleh hakim dalam pemeriksaan pengadilan, apalagi terdakwa AJR dalam kondisi tertangkap tangan, yaitu pada saat ditangkap baru menghabiskan satu lintingan ganja. Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr yang memutuskan sanksi pidana penjara selama delapan bulan seharusnya tidak dijatuhkan terhadap anak pengguna narkotika, apalagi tanpa disertai tindakan rehabilitasi. Sanksi pidana penjara terhadap anak pengguna narkotika tidaklah serta merta dapat melepaskan/membebaskan seseorang dari ketergantungan pemakaian narkotika. Oleh karena itu, keberadaan ahli jiwa diperlukan di persidangan dalam membantu hakim menentukan pertanggungjawaban pidana dan urgensi tindakan rehabilitasi terhadap anak sebagai pengguna narkotika. Urgensi keterangan dokter ahli jiwa melalui diagnosis bermanfaat sebagai penentu taraf ketergantungan terdakwa dan dalam prognosis bermanfaat untuk menentukan tindakan rehabilitasi terhadap terdakwa AJR. Apabila keterangan dokter ahli jiwa yang menentukan tingkat ketergantungan/kecanduan terdakwa AJR disertakan di dalam pemeriksaan Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr, maka konsekuensi yuridisnya, hakim tidak hanya menjatuhkan Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 39 - 57
5/2/2017 5:04:42 PM
sanksi pidana penjara selama delapan bulan, Sejalan dengan pendapat Muladi tetapi juga disertai dengan tindakan rehabilitasi sebagaimana dikemukakan pada Bab I huruf D, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang bahwa tujuan manakah yang merupakan titik Narkotika Pasal 103 ayat (2). berat sifatnya kasuistis. Penjatuhan sanksi pidana penjara tanpa disertai tindakan rehabilitasi Hakim dalam pertimbangannya terhadap terdakwa AJR dalam Putusan Nomor 229/ menyatakan bahwa: “terdakwa AJR hanyalah Pid.B/2012/PN.Jpr menurut pendapat penulis, sebagai pemakai dan belum memiliki sifat sarat dengan dimensi retributif “pembalasan”; ketergantungan (pecandu), sehingga hakim sedangkan Undang-Undang Narkotika secara berpendapat bahwa terdakwa perlu diberi pidana tegas memberikan jaminan pemberian tindakan yang lebih bersifat pemidanaan, agar menjadi rehabilitasi terhadap penyalahguna/pemakai pelajaran bagi terdakwa untuk tidak mengulangi narkotika. lagi perbuatannya serta tidak menghambat atau menghalangi terdakwa dalam menyelesaikan Sistem peradilan pidana Indonesia pendidikannya di bangku SMKN 3 Jayapura.” di dalam KUHAP yang menganut negatief Menurut pendapat penulis, pertimbangan hakim wettelijkbewijstheorie, menempatkan keyakinan yang menjatuhkan sanksi pidana penjara bersifat hakim di dalam memutus perkara harus kontra produktif, karena di satu sisi terdakwa wajib timbul dari alat-alat bukti yang ditetapkan di menjalani sanksi pidana penjara selama delapan dalam undang-undang, sehingga konsekuensi bulan agar menjadi pelajaran bagi terdakwa untuk yuridisnya, hakim memiliki kekuasaan absolut, tidak mengulangi lagi perbuatannya, namun di sisi ada diskresi subjektif di dalam memutus setiap lain dinyatakan pemidanaan dimaksudkan agar perkara pidana. Memang, hakim yang memiliki tidak menghambat atau menghalangi terdakwa diskresi subjektif, tidak keliru telah menjatuhkan dalam menyelesaikan pendidikannya. sanksi pidana penjara selama delapan bulan terhadap terdakwa AJR dalam Putusan Nomor Sanksi pidana penjara selama delapan bulan 229/Pid.B/2012/PN.Jpr, namun demikian di yang wajib dijalani terdakwa AJR, jelas bersifat dalam memutus perkara pelaku anak yang perampasan kemerdekaan, dengan demikian berhubungan dengan narkotika, seyogianya tentunya dapat menghambat serta menghalangi hakim juga memperhatikan eksistensi Undangproses belajar mengajar dalam menyelesaikan Undang Perlindungan Anak Pasal 67 yang pendidikannya. Apabila dikaji dari teori menentukan bahwa: “perlindungan khusus bagi retributif atau teori absolut, penjatuhan sanksi anak yang menjadi korban penyalahgunaan pidana penjara terhadap AJR mengindikasikan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adanya unsur pembalasan atas kesalahan yang adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud berorientasi pada perbuatan menggunakan dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi narkotika secara ilegal, meskipun terkandung dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pula perspektif aplikasi teori teleologis atau teori pengawasan, pencegahan, perawatan, dan tujuan, yaitu pemidanaan dimaksudkan agar tidak rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.” menghambat atau menghalangi terdakwa dalam Dalam memeriksa dan memutus perkara menyelesaikan pendidikannya. anak yang terlibat di dalam kasus narkotika Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
jurnal april 2017 isi.indd 55
| 55
5/2/2017 5:04:42 PM
berlaku prinsip lex specialis derogat legi generali, ketentuan undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan undangundang yang bersifat umum sebagaimana dikemukakan dalam Bab I huruf D. Apabila merujuk pada Undang-Undang Pengadilan Anak, Undang-Undang Narkotika, dan UndangUndang Perlindungan Anak, tindakan rehabilitasi bersifat wajib, baik terhadap anak sebagai pecandu maupun pengguna. Dalam Putusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr, apabila hakim memperhatikan Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 67, terdakwa AJR sebagai anak pengguna narkotika berhak mendapatkan perlindungan khusus yaitu dapat dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, hakim berdasarkan diskresi subjektifnya di dalam memutus perkara, sebenarnya dapat menerapkan prinsip double track system, yaitu di samping menjatuhkan sanksi pidana penjara selama delapan bulan, dapat disertai pula tindakan rehabilitasi terhadap terdakwa AJR.
untuk pembinaan dan pembimbingan terhadap anak ke arah yang lebih baik. IV. KESIMPULAN Dari penulisan yang fokus utamanya penerapan “prinsip kepentingan terbaik bagi anak” dalam kasus tindak pidana narkotika dengan mengkaji kasus Putusan Nomor 229/PidB/2012/ PN.Jpr, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Perkara Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr yang menjatuhkan sanksi pidana penjara selama delapan bulan tanpa tindakan rehabilitasi, telah mengesampingkan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” (best interest of the child). Penerapan konsep individualisasi pidana sebenarnya diperlukan dalam kasus anak pengguna narkotika, karena anak yang memiliki karakteristik khusus, adalah generasi muda bangsa yang berpotensi dalam meneruskan cita-cita perjuangan bangsa, dan berperan strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi kehidupan bangsa dan negara di masa depan. Penerapan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” dalam kasus anak pengguna narkotika, Sejalan dengan pendapat Sholehuddin antara lain dapat diwujudkan melalui tindakan sebagaimana dikemukakan pada Bab I huruf D, rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial; bahwa tujuan utama tindakan untuk memberikan Keterangan ahli dari berbagai disiplin keuntungan atau memperbaiki orang yang ilmu diperlukan dalam pembuktian tindak bersangkutan, fokusnya bukan pada perbuatan pidana narkotika, namun demikian, penentuan yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi taraf ketergantungan/kecanduan penggunaan pada tujuan memberikan pertolongan. Dengan narkotika dan urgensi rehabilitasinya merupakan penerapan prinsip double track system terhadap kompetensi dokter ahli jiwa sebagaimana anak pengguna narkotika mengindikasikan stelsel ditentukan di dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011. sanksi yang tidak hanya menjatuhkan sanksi Hakim memerlukan keterangan ahli jiwa untuk pidana (straf/punishment) yang berorientasi pada menentukan taraf ketergantungan narkotika dan pengenaan penderitaan terhadap terdakwa AJR, urgensi rehabilitasinya, sehingga prinsip double tetapi sekaligus pemberian tindakan (maatregel/ track system dapat diterapkan di dalam Putusan treatment) yang secara relatif lebih berorientasi Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr. pada memberikan pertolongan yang bertujuan
56 |
jurnal april 2017 isi.indd 56
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 39 - 57
5/2/2017 5:04:42 PM
Muhammad, R. (2007). Hukum acara pidana
DAFTAR ACUAN Departemen Pendidikan Nasional. (2015). Kamus besar bahasa Indonesia pusat bahasa edisi keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hamzah, A. (1986). Kamus hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti. Nashriana. (2015, Juni). Penganutan asas sistem dua jalur (double track system) dalam melindungi anak yang berkonflik dengan hukum: Tinjauan formulasi dan aplikasinya. Jurnal Nurani, 15(1), 51-72.
Hiariej, E.O.S. (2012). Teori & hukum pembuktian. Jakarta: Erlangga.
Prodjodikoro, W. (2012). Tindak-tindak pidana tertentu
___________. (2016). Prinsip-prinsip hukum pidana edisi revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Hutahaean, B. (2013, April). Penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana anak kajian putusan
di
Indonesia.
Bandung:
Refika
Aditama. Yulia, R. (2012, Agustus). Penerapan keadilan restoratif dalam putusan hakim. Jurnal Yudisial, 5(2), 224-240.
Nomor 50/Pid.B/2009/PN.Btg. Jurnal Yudisial, 6(1), 64-79. Ohoiwutun, Y.A.T. (2014). Reformulasi kebijakan hukum pidana terhadap pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pembunuhan yang terganggu jiwanya. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro. _______________. (2015a, April). Kesaksian ahli jiwa
dalam
pertanggungjawaban
pidana
penganiayaan berat: Kajian Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB.
Jurnal
Yudisial,
8(1), 1-22. _______________. (2015b, September). The urgency of psychiatric therapy sanction imposition against perpetrators of pedophilia. Jurnal Dinamika Hukum, 15(3), 339-345. _______________. (2016, April). Urgensi bedah mayat forensik dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan: Kajian Putusan Nomor 79/Pid.B/2012/PN.BGR. Jurnal Yudisial, 9(1), 73-92. Marzuki, P.M. (2014). Penelitian hukum edisi revisi. Jakarta: Prenadamedia Group.
Penerapan Prinsip “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” (Y. A. Triana Ohoiwutun & Samsudi)
jurnal april 2017 isi.indd 57
| 57
5/2/2017 5:04:42 PM
jurnal april 2017 isi.indd 58
5/2/2017 5:04:42 PM
PENJARA TERHADAP DOKTER DALAM PERSPEKTIF MENGIKATNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PEMIDANAAN INTEGRATIF Kajian Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012
THE IMPRISONMENT FOR DOCTORS THROUGH THE PERSPECTIVE OF FINAL AND BINDING CONSTITUTIONAL COURT RULING AND INTEGRATED SENTENCING An Analysis of Court Decision Number 1110 K/Pid.Sus/2012 Warih Anjari Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Jl. Sunter Podomoro Jakarta Utara 14350 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 2 Februari 2017; revisi: 20 Maret 2017; disetujui: 27 Maret 2017 ABSTRAK Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007 tidak ditaati oleh Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012. Putusan Mahkamah Konstitusi telah menganulir ancaman pidana penjara dalam Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Putusan Mahkamah Agung tetap menjatuhkan pidana penjara terhadap dokter yang melanggar pasal tersebut. Kondisi ini menimbulkan ketidaksesuaian antara kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi dan tujuan penjatuhan pidana yang integratif berdasarkan Pancasila. Masalah dalam tulisan ini adalah bagaimanakah implikasi Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 dikaitkan dengan kekuatan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi? Dan bagaimanakah implikasi penjatuhan pidana penjara bagi dokter yang tercantum dalam Putusan Nomor 1110 K/ Pid.Sus/2012 dikaitkan dengan teori tujuan pemidanaan integratif? Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kasus. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat erga ormes sehingga harus diikuti oleh Mahkamah Agung. Pidana penjara terhadap
dokter yang tidak menggunakan izin praktik tidak dapat mencapai tujuan pemidanaan integratif. Akibatnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat tidak terlayani, dan merugikan profesi dokter. Kesimpulannya adalah putusan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan mengikat sehingga menjadi tidak efektif dan tujuan pemidanaan integratif berdasarkan Pancasila tidak tercapai. Kata kunci: pidana penjara, kekuatan putusan, tujuan pemidanaan integratif.
ABSTRACT The binding force of the Constitutional Court ruling is final. However, the Supreme Court Decision Number 1110 K/Pid.Sus/2012 does not abide by the Constitutional Court Decision Number 4/PUU-V/2007. The Constitutional Court Decision has annulled the imprisonment penalties in Article 75 paragraph (1), Article 76, Article 79 of Law Number 29 of 2004 concerning Medical Practices. The Supreme Court in its decision imposed the sanction of imprisonment on the doctors violating the aforementioned articles. This condition lead to such a discrepancy between the final and binding decision of the Constitutional Court and
Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi (Warih Anjari)
jurnal april 2017 isi.indd 59
| 59
5/2/2017 5:04:42 PM
the integrated purposes of sentencing under Pancasila. Formulation of the problems in this analysis meets some points on how the implication of the Supreme Court Decision Number 1110 K/Pid.Sus/2012 regarding the binding force of the Constitutional Court Decision; and how the implication of the imposition of imprisonment sanction for a list of doctors stated in the Supreme Court Decision Number 1110 K/Pid.Sus/2012 in terms of integrated objective of sentencing theory. The research method is a normative juridical by case-based approach. The nature of the decision of the Constitutional Court is erga omnes, that obliges the Supreme Court to act
upon. The sanction of imprisonment against the doctors with no consent practices cannot reach the integrated purpose of sentencing. As a consequence, the health services to communities are abandoned and this bring negative impacts on medical profession. To be brief, the decision of the Constitutional Court is considered futile with no binding force, accordingly the integrated purpose of sentencing under Pancasila could not be achieved.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Realita empiris yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 tanggal 19 Juni 2007, putusan tersebut tidak
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang kedudukannya dijamin oleh undangundang dan keputusan yang dihasilkan bersifat final. Hal ini disebutkan dalam Pasal 24C UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Bahkan putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan hukum sejak putusan tersebut selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dasarnya adalah Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Namun implementasi putusan Mahkamah Konstitusi menjadi krusial manakala putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh lembaga lainnya. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes, yaitu putusan tersebut tidak hanya mengikat para pihak yang terkait dalam putusan tetapi mengikat warga negara, pejabat negara, dan lembaga negara. Hal ini sama dengan implikasi diundangkannya suatu undang-undang.
60 |
jurnal april 2017 isi.indd 60
Keywords: imprisonment, binding force of ruling, integrated purpose of sentencing.
ditaati oleh Putusan Nomor 1110 K/Pid. Sus/2012. Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 merupakan judicial review terhadap Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, dan Pasal 79 UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Substansi putusan tersebut adalah sepanjang kata “penjara paling lama tiga tahun” (Pasal 75); “kurungan paling lama satu tahun” (Pasal 76); dan “atau huruf e” (Pasal 79 huruf c) dinyatakan bertentangan dengan undang-undang dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ancaman pidana penjara dan kurungan yang terdapat dalam rumusan Pasal 75, 76, dan 79 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah dihapuskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sehingga perbuatan dokter yang memenuhi pasal-pasal tersebut tidak dapat lagi dikenakan sanksi pidana penjara dan kurungan, tetapi dapat dijatuhi piana denda. Tindak pidana tersebut dalam Pasal 75, 76, dan 79 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran adalah
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 59 - 78
5/2/2017 5:04:42 PM
tentang kewajiban dokter untuk memiliki surat izin praktik dalam melakukan kegiatannya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut dokter yang tidak memiliki izin dalam menjalankan praktik kedokterannya dapat dikenai sanksi pidana yaitu penjara, kurungan, dan denda. Namun putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ditaati oleh Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 tanggal 30 Oktober 2013. Putusan Mahkamah Agung ini untuk perkara BS seorang dokter ahli bedah yang melakukan operasi bedah tidak memiliki izin praktik di rumah sakit di mana operasi dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2007, namun pasiennya tidak sembuh bahkan menderita kesakitan terusmenerus dan terjadi kembung. Kemudian pasien dirujuk ke rumah sakit lain untuk dilakukan operasi kembali. Setelah dilakukan operasi dua kali pada tanggal 2 dan 4 November 2007, ditemukan benang jahitan warna hitam yang tertinggal pada usus besar yang bocor. Pada tanggal 20 Juli 2008 pasien meninggal. Perkara ini terjadi di wilayah Pengadilan Negeri Madiun. Putusan Nomor 79/Pid.Sus/2011/PN.Kd. Mn tanggal 6 Oktober 2011, memutuskan terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan, yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa BS terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana, sehingga pengadilan memutuskan melepaskan terdakwa BS dari segala tuntutan hukum. Jaksa penuntut umum melakukan upaya hukum kasasi yang termuat dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid. Sus/2012. Putusan tersebut menyatakan bahwa terdakwa BS terbukti bersalah melakukan tindak pidana, “dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik dan tidak memenuhi kewajibannya memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional,” sehingga
Mahkamah Agung menjatuhkan pidana kepada terdakwa BS dengan pidana penjara satu tahun enam bulan. Putusan tersebut mengindikasikan Mahkamah Agung tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena pidana penjara telah dianulir dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan hanya dapat dijatuhi pidana denda, maka seharusnya Mahkamah Agung tidak menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa yang telah dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan dalam kasus tersebut. Mahkamah Agung seharusnya menjatuhkan pidana denda untuk perbuatan terdakwa BS berupa “dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik.” Pemidanaan ini berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana ancaman pidana penjara telah dianulir berdasarkan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007. Demikian pula terhadap perbuatan terdakwa BS berupa ”tidak memenuhi kewajibannya memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional,” dipidana berdasarkan Pasal 79 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana ancaman pidana kurungan telah dianulir berdasarkan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap perbuatan terdakwa BS adalah judex facti (pengadilan negeri) salah menerapkan hukumnya. Dalam pertimbangannya menyebutkan: “Bahwa perbuatan terdakwa yang sudah dinyatakan terbukti oleh judex facti, seharusnya diikuti dengan penghukuman atau pemidanaan karena terdapat kesalahan yang dilakukan terdakwa dalam perkara a quo, yaitu terdakwa menerima pasien untuk dioperasi atau bedah tumor,
Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi (Warih Anjari)
jurnal april 2017 isi.indd 61
| 61
5/2/2017 5:04:42 PM
padahal terdakwa belum berstatus sebagai ahli bedah. Ini berarti terdakwa dengan sengaja bertindak memberikan pelayanan medis kepada korban tidak sesuai dengan Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional Kedokteran. Terdakwa yang belum memiliki kompetensi untuk melakukan bedah tumor pada usus, sudah dari semula menolak dan memberikan rujukan kepada dokter ahli untuk melakukan tindakan medis atau operasi, sebelum pasien mengalami keadaan gawat.”
kewajiban profesinya. Imbasnya bagi masyarakat dengan dokter tidak berpraktik maka kebutuhan kesehatan masyarakat tidak terlayani. Dalam hal ini, penjatuhan pidana harus mengandung tujuan yang komprehensif.
Menurut judex facti perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana sehingga tidak dijatuhi pidana. Menurut penulis, pemidanaan dalam putusan tersebut berupa pidana penjara selama satu tahun enam bulan terdapat kekeliruan. Pidana penjara dalam pasal yang dikenakan kepada BS telah dianulir dengan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007. Putusan MA yang menjatuhkan pidana penjara terhadap dokter yang tidak memiliki izin praktik memicu kontroversi dalam dua hal. Pertama, berkaitan dengan kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga negara yang bersifat erga omnes. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan kekuatan mengikatnya seperti undang-undang. Oleh karena itu setiap warga negara dan lembaga negara terikat untuk mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi.
1.
Bagaimanakah implikasi Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 dikaitkan dengan kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi?
2.
Bagaimanakah implikasi penjatuhan pidana penjara bagi dokter yang tercantum dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 dikaitkan dengan teori integratif?
C.
Tujuan dan Kegunaan
Kedua, putusan Mahkamah Agung tersebut bertentangan dengan tujuan pemidanaan integratif berdasarkan Pancasila. Dalam konsep tujuan pemidanaan integratif berdasarkan Pancasila, penjatuhan pidana penjara terhadap dokter yang tidak memiliki izin praktik tidak relevan, karena pidana penjara tidak mengandung nilai manfaat bagi pelaku dan masyarakat. Penjatuhan pidana penjara berakibat fatal bagi pelaku, di mana pelaku tidak dapat menjalankan 62 |
jurnal april 2017 isi.indd 62
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini, yaitu:
Penulisan tulisan ini memiliki tujuan, yaitu: a) untuk menganalisis implikasi Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 dikaitkan dengan kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi; dan b) untuk mengetahui implikasi penjatuhan pidana penjara bagi dokter yang tercantum dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 dikaitkan dengan teori integratif. Kegunaan tulisan ini yaitu: a) kegunaan teoritis: hasil tulisan ini diharapkan dapat berkontribusi bagi pengembangan ilmu hukum khususnya tentang konsep kekuatan mengikat putusan hakim dan tujuan pemidanaan; dan b) kegunaan praktis: hasil tulisan ini diharapkan dapat memberikan input kepada penegak hukum khususnya hakim agar dalam memutus suatu perkara pidana mempertimbangkan putusan Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 59 - 78
5/2/2017 5:04:42 PM
Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari hukum, menjadi titik pembicaraan dalam tulisan perkembangan hukum di Indonesia. ini. Hukum mengandung tiga unsur, yaitu: asasasas hukum (legal principle), norma hukum (legal norms), dan aturan hukum (legal rules) D. Tinjauan Pustaka (Ali, 2009: 176-177). Dalam substansi hukum 1. Penegakan Hukum Progresif mengandung ketiga unsur tersebut yang terwujud Berdasarkan Pancasila dalam legal rules (aturan hukum). Aturan hukum Putusan hakim merupakan muara dari harus diimplementasikan oleh penegak hukum penyelesaian persoalan hukum yang terjadi di khususnya hakim. masyarakat. Melalui putusan hakim, hukum diimplementasikan dan selalu mengalami pergerakan. Sifat pergerakan dari hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil (Romadlon, 2016: 9). Dalam criminal justice system hakim merupakan bagian dari subsistem yang menempati central point dalam penegakan hukum. Inti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap serta tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 2013: 5).
Aturan hukum sebagai dasar penjatuhan pidana oleh hakim dapat mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan teori utilitas menurut Bentham dalam hukum bertujuan untuk menghasilkan kemanfaatan sebesar-besarnya kepada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan menghindarkan kesusahan (Aburaera et.al., 2013: 111-112). Hukum terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju tingkat kesempurnaan yang dapat diverifikasi dari faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian rakyat, sehingga hukum selalu dalam proses menjadi untuk dapat mengikuti perkembangan hidup manusia (Rahardjo dalam Nuraeny, 2012: 23).
Perubahan substansi hukum menunjukkan sifat progresif hukum. Salah satunya dilakukan melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan dapat dilakukan apabila seseorang atau sekelompok orang merasa dirugikan haknya karena pemberlakuan suatu undang-undang. Evaluasi terhadap pembentukan undang-undang berkolerasi dengan supremasi konstitusional. Menurut Limbach ada tiga ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu: 1) pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum yang lainnya; 2) terikatnya Substansi hukum sebagai salah satu faktor pembuat undang-undang oleh undang-undang yang dapat memengaruhi proses penegakan dasar; dan 3) adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas Penegakan hukum sebagai suatu proses dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor hukum itu sendiri; faktor penegak hukum; faktor sarana atau fasilitas; faktor masyarakat; dan faktor kebudayaan (Soekanto, 2013: 8). Menurut Muladi, penegakan hukum sekarang ini aktualnya sangat menyedihkan, karena: 1) undang-undangnya sudah ketinggalan zaman; 2) infrastruktur membutuhkan perbaikan; dan 3) persoalan sumber daya manusianya (Alvin, 2016).
Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi (Warih Anjari)
jurnal april 2017 isi.indd 63
| 63
5/2/2017 5:04:42 PM
tindakan hukum pemerintah atau pembentuk Persamaan di depan hukum; dan 5) Peradilan undang-undang (Laksono et.al., 2013: 11). bebas. Peradilan yang bebas merupakan sistem peradilan yang dapat melakukan fungsi sebagai Perubahan substansi hukum diarahkan penegakan hukum maupun fungsi penemuan sesuai politik hukum pidana nasional yang hukum dalam kerangka penegakan hak asasi merupakan kehendak nasional untuk menciptakan manusia (Hoesein, 2013: 16). hukum pidana yang sesuai dengan aspirasi tata nilai yang bersumber dari jati diri bangsa Lembaga peradilan sebagai wujud Indonesia. Menurut Najih (2013: 196-199), kekuasaan kehakiman (judicial power) memiliki karakteristik hukum pidana nasional Indonesia: fungsi sebagai: a) pressure value (katup penekan): “pertama adalah dukungan terhadap eksistensi kewenangan untuk menekan setiap tindakan hukum pidana adat dalam hukum nasional; yang bertentangan dengan hukum dengan cara kedua adalah adanya pengaruh norma keagamaan menghukum setiap pelanggaran yang dilakukan dalam pembentukan hukum pidana nasional; oleh siapapun; b) ultimum remidium (senjata ketiga adalah adanya pembaruan hukum pidana pamungkas): sebagai tempat terakhir untuk nasional yang terencana; keempat adalah mencari dan menegakkan keadilan dan kebenaran adanya pengaruh tata nilai yang dikampanyekan (Hoesein, 2013: 296). Menurut Sidharta, dunia internasional (isu hak asasi manusia dan mengembangkan hukum berdasarkan Pancasila demokratisasi).” Dalam politik hukum, Pancasila merupakan pemikiran hukum yang progresif merupakan sumber dalam pembentukan hukum (Yasin, 2013). pidana Indonesia. Pancasila sebagai sumber Wewenang Mahkamah Konstitusi hukum utama dalam pembentukan peraturan berdasarkan UUD NRI 1945 pada dasarnya perundangan di Indonesia, ditegaskan dalam TAP mewujudkan negara hukum yang demokratis. MPR Nomor III Tahun 2000 tentang Sumber Wewenang Mahkamah Konstitusi adalah: 1) Hukum dan Tata Urutan Perundangan. menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945; 2. Kekuatan Putusan Mahkamah 2) memutus sengketa kewenangan antar lembaga Konstitusi negara; 3) memutus perselisihan hasil pemilu; dan 4) memutus pembubaran partai politik. Salah satu Mahkamah Konstitusi sebagai salah putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan satu lembaga yudikatif merupakan bagian yang berkaitan dengan pengujian undang-undang, dari penegakan hukum di Indonesia. Menurut membuktikan unsur negara hukum yang menjamin Asshiddiqie dalan Hoesein (2013: 198), perlakuan dan perlindungan HAM yang tidak boleh kedudukan Mahkamah Konstitusi sederajat dan bertentangan dengan UUD NRI 1945 (Latif, 2007: setara dengan Mahkamah Agung. Keberadaan 385). Namun dalam implementasi putusan yang Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif dihasilkan banyak mengalami kendala. Padahal yang relatif baru, menguatkan Indonesia sebagai Pasal 24C UUD NRI 1945 menyatakan putusan negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Mahkamah Konstitusi bersifat final. Bahkan Azhary dalam Hoesein (2013: 16) menyatakan: menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Konsep negara hukum Pancasila memiliki unsur: tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana 1) Pancasila; 2) MPR; 3) Sistem konstitusi; 4) telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 64 |
jurnal april 2017 isi.indd 64
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 59 - 78
5/2/2017 5:04:42 PM
Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013, putusan Mahkamah Konstitusi ditentukan berlaku sejak putusan tersebut selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak; dan 3) ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang Kekuatan mengikat putusan Mahkamah dianutnya” (Ali, 2009: 348). Konstitusi bersifat erga omnes, yaitu sama dengan kekuatan mengikat suatu undang-undang. Hal ini Hakim sebagai bagian dari sistem peradilan berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD pidana dan kedudukannya dapat memengaruhi NRI 1945. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut hasil dari penegakan hukum, memiliki kewajiban maka, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat untuk menaati putusan Mahkamah Konstitusi. final yang berarti: 1) secara langsung memperoleh Menurut Bix dalam Ali (2009: 343-344), kekuatan hukum; 2) karena telah memperoleh kewajiban menaati putusan sebagai bagian dari kekuatan hukum tetap maka putusan Mahkamah an obligation to obey the law baik karena alasan Konstitusi memiliki akibat hukum bagi semua moral maupun sebagai kewajiban utama. Oleh pihak yang berkaitan dengan putusan; 3) karena karena ketaatan hakim (khususnya terhadap merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka legal rules) dapat digunakan sebagai barometer tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. keberhasilan dari nilai intrinsik yang dianut hakim Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat memengaruhi ketaatan terhadap hasil yang dapat ditempuh, berarti telah mempunyai putusan dalam menyelesaikan suatu perkara. kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan Hukum bertugas menjaga ketertiban karena memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro itu harus ditaati. Pentaatan terhadap suatu hukum veritatehabeteur). Sehingga putusan Mahkamah akan berpengaruh terhadap efektivitas hukum. Konstitusi yang telah memiliki kekuatan hukum Sebaliknya ketidaktaatan terhadap hukum akan tetap dengan serta merta memiliki kekuatan menghasilkan kekacauan dan ketidakefektifan. hukum mengikat untuk dilaksanakan (Laksono Ketaatan hukum akan berkaitan dengan et.al., 2013: 9). kesadaran hukum. Ketaatan hukum, kesadaran Sifat final putusan Mahkamah Konstitusi hukum, dan efektivitas hukum merupakan tiga dan kekuatan mengikat untuk dilaksanakan unsur yang saling berkaitan. Krabbe dalam Ali seperti undang-undang, maka ada kewajiban & Heryani (2012: 141) menyatakan: “kesadaran setiap adressat hukum untuk menaati putusan hukum merupakan kesadaran akan nilai-nilai tersebut. Ketaatan dari adressat hukum untuk yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum melaksanakan undang-undang dan putusan yang ada atau tentang hukum yang diharapkan pengadilan merupakan bagian dari penegakan ada.” Ketaatan hukum dan kesadaran hukum hukum. Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum tiga jenis, mengutip Kelman (1966) dan Pospisil atau perundang-undangan (Ali & Heryani, (1971) mengutarakan: ”1) ketaatan yang bersifat 2012: 140). Hanya kesadaran hukum saja belum compliance yaitu pentaatan karena adanya menjamin ditaatinya hukum. sanksi; 2) ketaatan yang bersifat identification, Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi (Warih Anjari)
jurnal april 2017 isi.indd 65
| 65
5/2/2017 5:04:42 PM
3.
Tujuan Pemidanaan Integratif
Penjatuhan pidana bagi terpidana yang diputuskan oleh hakim merupakan penegakan hukum. Pidana adalah penerapan suatu sanksi terhadap pelanggar tindak pidana. Menurut Sahetapy & Sholehuddin dalam Sabdo (2015: 82), filosofi pemidanaan adalah pengakuan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Setiap pemidanaan terhadap suatu tindakan yang melawan hukum memiliki tujuan. Tujuan pemidanaaan akan dipengaruhi pula oleh tujuan hukum itu sendiri. Ali (2009: 212-213) mengemukakan teori tujuan hukum terdiri dari: 1) teori barat: tujuannya mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum; 2) teori timur: tujuan hukum adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian; dan 3) teori hukum Islam: tujuan hukum adalah mewujudkan kemanfaatan kepada seluruh umat manusia yang mencakup kemanfaatan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Bangsa Indonesia tergolong bangsa Timur sehingga pengembangan mengarah pada teori timur yang mengutamakan kultur bangsa. Walaupun dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia pernah dijajah oleh bangsa Eropa yang meninggalkan konsep teori hukum barat. Setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus memiliki hukum nasional yang mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan hidup bangsanya (Ishaq, 2014: 22). Tujuan pemidanaan akan berkaitan dengan tujuan hukum pada umumnya. Tujuan pemidanaan dapat ditentukan berdasarkan beberapa teori. Dalam ilmu hukum khususnya hukum pidana pemidanaan memiliki beberapa tujuan yang berbeda tergantung dari dasar teori yang digunakan. Terdapat beberapa teori
66 |
jurnal april 2017 isi.indd 66
dalam menjabarkan tujuan pemidanaan bagi terpidana. Salah satunya yang dapat mencapai tujuan pemidanaan di era globalisasi adalah teori tujuan pemidanaan integratif. Menurut Muladi (2008: 61), “tujuan pemidanaan untuk mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana (individual and social demands).” Sehingga diterapkan teori tujuan pemidanaan integratif (kemanusiaan dalam sistem Pancasila), yaitu dengan pendekatan multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan baik yang menyangkut dampak individual maupun sosial (Muladi, 2008: 53). Dalam teori tujuan pemidanaan integratif berdasarkan Pancasila, faktor individual dan sosial diperhatikan secara integralistik. Tindak pidana dipandang sebagai gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat. Sehingga tujuan pemidanaan untuk memelihara solidaritas masyarakat dan diarahkan untuk mempertahankan kesatuan masyarakat (to maintain social cohesion intact) (Muladi, 1990: 10-12). Bahkan menurut Williams dalam Muladi (1990:12), “the purpose of the criminal law and its operations should be the protection of the public and the promotion of justice for victim, offender, and community.” Mendasarkan pada perkembangan konsep tujuan pemidanaan tersebut, penerapannya disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Konsep yang selaras dengan masyarakat Indonesia adalah tujuan pemidanaan yang integratif berdasarkan Pancasila. Jika dikaitkan dengan tujuan hukum secara umum, maka pemidanaan integratif berdasarkan Pancasila linier dengan teori hukum timur yang mengutamakan keharmonisan antara kepentingan publik yang dilanggar dengan penjatuhan pidana.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 59 - 78
5/2/2017 5:04:42 PM
II.
METODE
bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder Penulisan tulisan ini menggunakan metode yaitu berupa kamus. penelitian hukum normatif atau dogmatik. Kajian normatif memfokuskan hukum sebagai suatu Data sekunder dalam tulisan ini diperoleh sistem yang utuh mencakup seperangkat asas melalui library research, kemudian dianalisis hukum, norma hukum, dan aturan hukum baik dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif tertulis maupun tidak tertulis (Ali, 2009: 178). yaitu analisis yang berupa penggambaran fakta Menurut Sidharta, penelitian hukum normatif yang ada melalui data sekunder yang akan merupakan jenis penelitian yang lazim dilakukan dikaitkan dengan teori atau konsep yang telah dalam ilmu hukum yang dogmatik, di mana secara dikonstruksikan untuk menganalis masalah. langsung dan terarah menawarkan alternatif Melalui kasus dalam Putusan Nomor 1110 K/ penyelesaian yuridis terhadap masalah hukum Pid.Sus/2012, penulis berusaha menggambarkan konkret (Irianto & Shidarta, 2013: 142-143). kondisi apa adanya (das sein), kemudian Pendekatan yang diterapkan adalah pendekatan dikaitkan dengan teori ataupun norma baik berupa kasus (case approach). perundangan maupun yurisprudensi/putusan Pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif dalam tulisan ini, bertujuan untuk mempelajari penerapan norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Deskripsi dilakukan terhadap kondisi das sein berupa pertimbangan dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 dan dalam hal salah penerapan pidananya, kemudian akan dikaitkan dengan teori atau konsep sebagai das sollen-nya. Hal ini dilakukan dalam rangka mendapatkan gambaran dampak penormaan suatu aturan hukum dalam praktik hukum. Data yang digunakan adalah data sekunder, yang meliputi: a) bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan diteliti. Bahan hukum ini berupa Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Putusan Nomor 4/PUU-V/2007, Putusan Nomor 1110 K/ Pid.Sus/2012; b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer. Bahan hukum ini berupa literatur yang berkaitan dengan topik kekuatan putusan Mahkamah Konstitusi dan tujuan pemidanaan; c)
(das sollen). Selanjutnya penulis melakukan penafsiran gramatikal baik terhadap das sein maupun das sollen. Penguraian dalam analisis dilakukan melalui kalimat-kalimat bukan dengan rumus statistik atau matematik. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Implikasi Putusan Nomor 1110 K/Pid. Sus/2012 Dikaitkan dengan Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Hakim merupakan bagian dari penegakan hukum. Melalui putusannya hukum diimplementasikan. Sebagai bagian dari penegakan hukum, hakim harus mengelaborasi dan menerapkan substansi hukum ke dalam putusannya. Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 seharusnya diimplementasikan dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012. Dalam tulisan ini dikemukakan substansi Putusan Nomor 4/ PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 1110 K/Pid. Sus/2012.
Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi (Warih Anjari)
jurnal april 2017 isi.indd 67
| 67
5/2/2017 5:04:42 PM
Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 tanggal 19 Juni 2007 menganulir sanksi pidana penjara dalam Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, dan Pasal 79 UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Isi dari putusan tersebut adalah: 1.
2.
Menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama tiga tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama satu tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (LNRI Tahun 2004 Nomor 116, TLNRI Nomor 4431) bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Mahkamah Konstitusi tersebut. Putusan Mahkamah Agung ini untuk perkara BS seorang dokter ahli bedah yang melakukan operasi bedah tidak memiliki izin praktik di rumah sakit di mana operasi dilakukan. Pada tanggal 25 Oktober 2007, saat menjalankan operasi pengangkatan tumor dan melakukan penyambungan usus tidak dilakukan oleh tim ahli, namun dilakukan oleh BS sendiri dibantu empat perawat rumah sakit. Pasca operasi korban merasa sakit terus-menerus dan kembung. Akhirnya korban dirujuk ke rumah sakit lain, dan dilakukan operasi kembali pada tanggal 2 dan 4 November 2007 untuk membuang cairan feses dan mengatasi kebocoran sambungan usus. Pada saat operasi terakhir ditemukan benang jahit warna hitam yang tertinggal pada usus besar yang bocor. Pada tanggal 20 Juli 2008 korban meninggal dunia. Perkara ini terjadi di wilayah Pengadilan Negeri Madiun. Pada tingkat pengadilan negeri terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan. Putusan tersebut termuat dalam Putusan Nomor 79/Pid.Sus/2011/PN.Kd.Mn tanggal 6 Oktober 2011. Adapun dakwaan yang diterapkan kepada terdakwa berbentuk dakwaan kumulatif, yaitu:
Menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama tiga tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai “kurungan paling lama satu tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata ”atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (LNRI Tahun 2004 Nomor 116, TLNRI Nomor a. Dakwaan kesatu: Terdakwa BS pada 4431) tidak mempunyai kekuatan hukum tanggal 25 Oktober 2007 atau setidakmengikat. tidaknya pada waktu di tahun 2007 bertempat di Kamar Operasi Bedah Rumah Berdasarkan bunyi putusan di atas, Pasal 75 Sakit IV Dinas Kesehatan Tentara (Rumah ayat (1), Pasal 76, dan Pasal 79 Undang-Undang Sakit DKT), Jalan Pahlawan Nomor 79 Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Kota Madiun atau setidak-tidaknya pada tidak dapat lagi diterapkan sepanjang berkaitan suatu tempat yang masih termasuk di dengan sanksi pidana penjara yang tercantum dalam daerah hukum Pengadilan Negeri dalam pasal-pasal tesebut. Tempo berlakunya Kota Madiun, dengan sengaja melakukan putusan ini adalah sejak diputuskan pada tanggal praktik kedokteran tanpa memiliki surat 19 Juni 2007, yaitu pada saat diucapkan dalam izin praktik sebagaimana dimaksud dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Pasal 36 Undang- Undang Nomor 29 Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. berkaitan dengan implementasi putusan 68 |
jurnal april 2017 isi.indd 68
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 59 - 78
5/2/2017 5:04:42 PM
Perbuatan BS diatur dan diancam dalam e. Membebankan biaya perkara kepada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun negara sebesar Rp2.000,- (dua ribu rupiah). 2004 tentang Praktik Kedokteran. Kemudian jaksa penuntut umum melakukan b. Dakwaan kedua: Terdakwa BS pada tanggal upaya hukum kasasi yang termuat dalam Putusan 25 Oktober 2007 atau setidak-tidaknya pada Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan: waktu di tahun 2007 bertempat di Kamar a. Mengabulkan permohonan kasasi dari Operasi Bedah Rumah Sakit IV Dinas pemohon kasasi jaksa penuntut umum; Kesehatan Tentara (Rumah Sakit DKT), Jalan Pahlawan Nomor 79 Kota Madiun b. Membatalkan Putusan Nomor 79/Pid. atau setidak-tidaknya pada suatu tempat Sus/2011/PN.Kd.Md tanggal 6 Oktober yang masih termasuk di dalam daerah 2011; hukum Pengadilan Negeri Kota Madiun, c. Mengadili sendiri: dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban yaitu tidak memberikan pelayanan medis 1. Menyatakan terdakwa terbukti sesuai dengan standar profesi dan standar bersalah melakukan tindak pidana prosedur operasional serta kebutuhan “dengan sengaja melakukan praktik medis pasien sebagaimana dimaksud Pasal kedokteran tanpa memiliki surat 51 huruf a Undang-Undang Nomor 29 izin praktik dan tidak memenuhi Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. kewajibannya memberikan pelayanan Perbuatan BS diatur dan diancam dalam medis sesuai dengan standar profesi Pasal 79 huruf c Undang-Undang Nomor dan standar prosedur operasional; 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 2. Menghukum terdakwa oleh karena Putusan Nomor 79/Pid.Sus/2011/PN.Kd. itu dengan pidana penjara selama Mn tanggal 6 Oktober 2011, menetapkan sebagai satu tahun enam bulan; berikut: 3. Memerintahkan terdakwa supaya a. Menyatakan terdakwa terbukti melakukan tetap ditahan; perbuatan yang didakwakan kepadanya 4. Menetapkan barang bukti tetap akan tetapi perbuatan tersebut tidak terlampir dalam berkas perkara; merupakan suatu tindak pidana; b.
Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum;
c. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat, serta martabatnya; d.
5. Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
Memerintahkan barang bukti dikembalikan Berdasarkan Putusan Nomor 1110 K/Pid. kepada terdakwa; Sus/2012 tersebut, hakim menjatuhkan pidana
Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi (Warih Anjari)
jurnal april 2017 isi.indd 69
| 69
5/2/2017 5:04:42 PM
penjara selama satu tahun enam bulan kepada terpidana yang melanggar Pasal 76 dan 79 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Padahal berdasarkan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 tanggal 19 Juni 2007, sanksi pidana penjara dalam Pasal 76 tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan pada tanggal 19 Juni 2007 pada sidang pleno MK yang terbuka untuk umum. Artinya sejak tanggal 19 Juni 2007 putusan tersebut mengikat semua orang, tidak hanya para pihak yang bersengketa. Sedangkan Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 diputuskan pada tanggal 30 Oktober 2013. Demikian pula kasus tersebut terjadi pada tanggal 25 Oktober 2007. Dalam kajian waktu, seharusnya putusan baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tunduk kepada putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini berkaitan dengan asas legalitas dalam hukum pidana materiil.
Asas legalitas menetapkan kapan suatu peraturan harus digunakan sebagai dasar putusan untuk perkara pidana. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, mengandung makna bahwa peraturan pidana yang ada dalam perundang-undangan hanya dapat diberlakukan untuk tindak pidana yang terjadi sesudah ketentuan pidana tersebut diberlakukan dan untuk perbuatan pidana yang terjadi sebelun adanya peraturan pidana tersebut dilarang memberlakukan (prinsip nonretroaktif). Asas ini lahir untuk membatasi kesewenangwenangan penguasa dalam menggunakan hukum pidana sebagai dasar pemidanaan. Mengingat sanksi pidana bersifat tajam seperti mengiris dagingnya sendiri. Artinya, dalam penerapan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana pada hakikatnya melindungi hak asasi korban tetapi telah melanggar hak asasi dari terpidana sendiri. Menurut Arief (2014: 4), Hakikat asas legalitas adalah ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu dan sumber atau dasar hukum (dasar legalisasi) dapat dipidananya suatu perbuatan. Jika asas legalitas merupakan ruang berlakunya hukum pidana maka berkaitan dengan prinsip retroaktif dan nonretroaktif suatu peraturan. Namun bila asas legalitas sebagai sumber hukum, maka berkaitan dengan dasar pemidanaan. Apakah dasar pemidanaan hanya undang-undang, atau apakah kebiasaan/ kepatutan dapat dipergunakan sebagai dasar pemidanaan pula. Dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 berkaitan dengan waktu karena kejadian kasus tersebut pada tanggal 25 Oktober 2007, dan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 tertanggal 19 Juni 2007.
Asas legalitas merupakan salah satu asas yang fundamental dalam hukum pidana. Di samping asas legalitas terdapat asas yang lainnya yaitu asas culpabilitas. Asas legalitas tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan yang telah ada pada saat tindak pidana dilakukan.” Sedangkan asas culpabilitas diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapatkan keyakinan bahwa seseorang yang Mendasarkan asas legalitas, hakim dalam dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 telah atas perbuatan yang didakwakan terhadap melakukan kesewenang-wenangan dalam dirinya.” menjalankan tugasnya. Harusnya hakim tunduk 70 |
jurnal april 2017 isi.indd 70
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 59 - 78
5/2/2017 5:04:42 PM
pada Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 yang telah membatalkan keberlakuan pidana penjara kepada dokter yang melanggar izin praktik. Dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung sama sekali tidak disinggung tentang keberadaan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-undang.
kekuatan mengikat berdasarkan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007. Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman di Indonesia, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final guna menguji udangundang terhadap UUD NRI 1945. Sehingga putusan lembaga ini memiliki sifat erga omnes, yaitu: a) putusan yang unik yaitu putusan yang bersifat final, mengikat; b) kekuatan mengikatnya berlaku bagi siapa saja, tidak hanya para pihak yang bersengketa; c) putusan yang akibatakibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang; d) putusan yang memiliki fungsi perundang-undangan/penetapan hukum (legislative function) dan pembentukan hukum; dan e) putusan yang merupakan konsekuensi pengujian undang-undang merupakan peradilan pada ranah publik (Suprantio, 2014: 40-41).
Salah satu pertimbangan Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012, menyatakan: “Bahwa perbuatan terdakwa yang sudah dinyatakan terbukti oleh judex facti, seharusnya diikuti dengan penghukuman atau pemidanaan karena terdapat kesalahan yang dilakukan terdakwa dalam perkara a quo, yaitu terdakwa menerima pasien untuk dioperasi atau bedah tumor, padahal terdakwa belum berstatus sebagai ahli bedah. Ini berarti terdakwa dengan sengaja bertindak memberikan pelayanan medis kepada korban tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional kedokteran. Terdakwa yang belum memiliki kompetensi untuk melakukan Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bedah tumor pada usus, sudah dari semula putusan yang final dan mengikat bagi setiap orang menolak dan memberikan rujukan kepada dokter termasuk MahkamahAgung dan lembaga peradilan ahli untuk melakukan tindakan medis atau operasi, di bawahnya. Oleh karena itu berpengaruh bagi sebelum pasien mengalami keadaan gawat. pengadilan untuk mempertimbangkan, mengadili, Pertimbangan tersebut menekankan bahwa dan memutus dengan memperhatikan putusan perbuatan terdakwa memang telah terbukti Mahkamah Konstitusi demi tegaknya prinsipmelanggar Pasal 76 dan Pasal 79 huruf c prinsip hak asasi tersangka dan/atau terdakwa Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang (Suprantio, 2014: 50). Sifat erga omnes dari Praktik Kedokteran. Tetapi dalam menjatuhkan putusan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi pidana terhadap terpidana, hakim telah salah sebagai lembaga peradilan pada ranah publik menerapkan hukumnya. Pidana yang dijatuhkan menjadikan hakim terikat untuk melaksanakan oleh hakim dalam putusan Mahkamah Agung putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai bagian tersebut seharusnya bukan pidana penjara, tetapi dari penegak hukum hakim memiliki kewajiban pidana denda. Pidana penjara dan kurungan untuk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi yang tercantum dalam pasal yang dilanggar, dengan pertimbangan: a) terjadi perubahan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD substansi hukum ke arah hukum progresif; b) NRI 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai pelaksanaan dari ketaatan terhadap hukum yang Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi (Warih Anjari)
jurnal april 2017 isi.indd 71
| 71
5/2/2017 5:04:42 PM
bersifat internalization yaitu perubahan yang diikuti sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya; dan c) melahirkan efektivitas dari penegakan hukum. Berman dalam Wignjosoebroto (2013: 4-5) menyatakan terdapat lima ciri dari hukum yaitu: 1) dirumuskan secara tertulis sehingga mewujudkan positif sebagai hukum undang-undang; 2) berlaku sebagai hukum tertinggi (supremasi hukum) yang mengatasi norma sosial; 3) hasil kinerja manusia sehingga merupakan produk kesejarahan; 4) dikelola oleh ahlinya yang bersifat profesional; dan 5) terdapat intervensi atau bantuan dari pendidikan tinggi atau universitas. Profesionalisme dan pendidikan hukum merupakan suatu entitas yang melengkapi sehingga memberikan karakteristik kepada hukum nasional yang modern. Dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012, hakim sebagai bagian dari profesional yang mengelola hukum, tidak memberikan pengelolaan yang baik untuk mendukung keberadaan hukum itu sendiri untuk bersifat supreme. Hakim sebagai kalangan profesional hukum dan bagian dari penegakan hukum, putusan yang dihasilkan akan memengaruhi implementasi hukum dan perkembangan hukum di masa mendatang. Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pengujian suatu undangundang terhadap UUD NRI 1945 merupakan kontrol produk perundangan terhadap UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar di Indonesia. Dengan fungsi kontrol ini diharapkan produk perundangundangan akan selaras antara das sein (keinginan masyarakat) dan das sollen (UUD NRI 1945). Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 merupakan judicial review terhadap Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam putusan
72 |
jurnal april 2017 isi.indd 72
tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana kurungan adalah tidak tepat dan tidak proporsional karena pemberian sanksi pidana harus memperhatikan perspektif hukum pidana dan terkait erat dengan kode etik. Pertimbangan tersebut mengindikasikan pidana penjara terhadap profesi (dokter) sudah tidak relevan lagi bagi pelanggaran terhadap perizinan bagi dokter karena terkait dengan kode etik. Artinya terjadi perubahan mendasar dalam memandang pemidanaan terhadap para profesional. Perubahan ini seiring dengan perkembangan cara pandang masyarakat terhadap profesi dokter. Hal ini menunjukkan hukum dalam proses menjadi (hukum progresif). Ketidaktaatan hakim dalam memutuskan perkara yang tercantum pada Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 dalam mengimplementasikan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007, menjadikan proses kontrol, penetapan, dan pembentukan hukum menjadi terkendala. Hal ini akan memengaruhi efektivitas berlaku hukum. Efektivitas hukum dipengaruhi oleh tingkat kesadaran dan ketaatan dari adressat hukum maupun aparat penegak hukumnya. Ketaatan hukum, kesadaran hukum, dan efektivitas hukum merupakan tiga unsur yang saling berkaitan. Kesadaran dan ketaatan hukum menentukan efektif tidaknya substansi hukum. Hanya kesadaran hukum saja belum menjamin ditaatinya hukum. Ketatatan terhadap hukum merupakan suatu kewajiban bagi setiap warga negara apalagi hakim sebagai salah satu subsistem dari criminal justice system. Ketaatan penegak hukum terhadap legal rules dapat memengaruhi keberhasilan penegakan hukum. Sehingga hukum dipandang efektif jika masyarakat termasuk penegak hukum, menaati hukum tersebut.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 59 - 78
5/2/2017 5:04:42 PM
Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 telah merubah substansi yang terkandung dalam Pasal 76 dan 79 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Terutama berkaitan dengan jenis pidana yang dijatuhkan, di mana pidana penjara dihilangkan dan hanya dapat dijatuhkan pidana denda. Dalam perspektif asas legalitas dalam hukum pidana, maka hakim harus menjatuhkan pidana sesuai dengan perubahan tersebut. Konsekuensi penggunaan asas legalitas maka hukum pidana melarang adanya analogi dan nonretroaktif, karena berdampak pada kriminalisasi. Demikian pula pada penjatuhan sanksi, hakim dilarang menerapkan sanksi di luar ketentuan yang ada. Mengingat asas legalitas tidak mengalami perubahan sampai saat ini. Hanya terdapat perubahan dalam konsep KUHP nasional (Arief, 2014: 4-8). Tidak diterapkannya legality principle dalam putusan Mahkamah Agung menambah fakta bahwa penegakan hukum berjalan mundur. Seharusnya hakim mendukung putusan Mahkamah Konstitusi sehingga terjadi perubahan cara pandang terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh profesi. Putusan Mahkamah Agung tersebut mengindikasikan penegakan hukum yang tidak seiring dengan perkembangan hukum dalam masyarakat. Putusan Nomor 4/ PUU-V/2007 ditetapkan agar dilaksanakan dan memiliki kekuatan mengikat seperti undangundang dan memiliki sifat hukum yang progresif. Spirit hukum progresif adalah spirit pembebasan, yaitu: 1) pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas, dan teori yang selama ini digunakan; dan 2) pembebasan terhadap kultur penegakan hukum yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan persoalan (Romadlon, 2016: 11).
Di sisi lain, penghilangan sanksi pidana penjara bagi dokter yang tercantum dalam Putusan Nomor 4/PUU-V/2007, merupakan bagian dari politik kriminal hukum pidana Indonesia, karena penjatuhan pidana harus dapat digunakan sebagai alat pencegah yang ekonomis bagi negara. Menurut Honderick untuk tercapai tujuan economic deterrence harus dipenuhi syarat-syarat, yaitu: 1) pidana tersebut sungguhsungguh mencegah; 2) pidana tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan dari pada yang terjadi apabila pidana tersebut tidak dikenakan; dan 3) tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya kerugian lebih kecil (Abdussalam, 2011: 91). Secara sosiologis, dihapuskannya pidana penjara dalam Pasal 76 dan 79 UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tersebut lebih menekankan pada economic deterrence. Pidana penjara bagi dokter yang melanggar izin praktik tidak sepadan dengan pelanggarannya. Pertimbangan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 yang seiring dengan hal tersebut adalah: 1) ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan dan kerugiannya yang lebih sedikit; dan 2) ancaman pidana tidak boleh digunakan apabila hasil sampingan (side effect) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasi. Melihat deskripsi tersebut di atas sangat disayangkan apabila putusan Mahkamah Agung tidak mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi. Karena secara legalitas putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat diragukan lagi kekuatan mengikatnya. Demikian pula secara substansi
Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi (Warih Anjari)
jurnal april 2017 isi.indd 73
| 73
5/2/2017 5:04:42 PM
merubah cara pandang pemidanaan ke arah yang bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan lebih humanis sesuai dengan nilai-nilai Pancasila kesehatan menjadi tidak terlayani kebutuhannya. yang merupakan landasan filsafat bagi pembinaan Dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid. dan penyelenggaraan hukum di Indonesia. Sus/2012, hakim telah keliru menerapkan norma yang tercantum dalam Pasal 76 dan Pasal 79 B. Implikasi Penjatuhan Pidana Penjara Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Bagi Dokter yang Tercantum dalam Praktik Kedokteran. Berdasarkan ketentuan norma Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 tersebut, hakim agung tidak boleh menjatuhkan Dikaitkan dengan Teori Integratif pidana penjara terhadap terdakwa yang telah Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 merupakan dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan. judicial review terhadap Pasal 75 ayat (1), Pasal Mahkamah Agung seharusnya menjatuhkan 76, dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 29 Tahun pidana denda untuk perbuatan terdakwa BS berupa 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam putusan “dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat tanpa memiliki surat izin praktik.” Pemidanaan bahwa ancaman pidana berupa pidana penjara ini berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang Nomor dan pidana kurungan adalah tidak tepat dan tidak 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, di proporsional karena pemberian sanksi pidana mana ancaman pidana penjara telah dianulir harus memperhatikan perspektif hukum pidana berdasarkan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007. yang humanistis dan terkait erat dengan kode etik. Demikian pula sama terhadap perbuatan terdakwa BS berupa ”tidak memenuhi kewajibannya Menurut Mahkamah Konstitusi adalah: memberikan pelayanan medis sesuai dengan 1) ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk standar profesi dan standar prosedur operasional,” mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dipidana berdasarkan Pasal 79 huruf c Undangdicapai dengan cara lain yang sama efektifnya Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik dengan penderitaan dan kerugiannya yang lebih Kedokteran, di mana ancaman pidana kurungan sedikit; 2) ancaman pidana tidak boleh digunakan telah dianulir berdasarkan Putusan Nomor 4/ apabila hasil sampingan (side effect) yang PUU-V/2007. ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan Akibatnya penormaan dalam suatu undangperbuatan yang akan dikriminalisasi; 3) ancaman pidana harus rasional; 4) ancaman pidana undang yang telah diubah melalui putusan harus menjaga keserasian antara ketertiban, Mahkamah Konstitusi tidak bermakna dalam sesuai dengan hukum, dan kompetensi (order, praktik penegakan hukum. Melalui putusan legitimation, and competence); 5) ancaman pidana Mahkamah Konstitusi telah terjadi penemuan harus menjaga kesetaraan antara perlindungan hukum yang akan merubah penormaan mengikuti masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural dan perkembangan zaman. Namun dalam kasus ini, substantif (social defence, fairness, procedural, makna hukum progresif tercegah oleh penerapan and substantive justice). Selanjutnya, penjatuhan penormaan yang dilakukan oleh hakim. pidana penjara menimbulkan rasa tidak aman Penjatuhan pidana penjara terhadap dokter dan ketakutan bagi profesi dokter. Di samping itu yang tidak memiliki izin praktik dalam Putusan
74 |
jurnal april 2017 isi.indd 74
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 59 - 78
5/2/2017 5:04:42 PM
Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 pasca dianulirnya pidana tersebut berdasarkan Putusan Nomor 4/ PUU-V/2007 menjadikan kontradiksi dengan konsep pemidanaan, di antaranya adalah: fungsi subsider hukum pidana, restorative justice, dan tujuan pidana integratif. Hukum pidana merupakan salah satu bidang hukum yang memiliki sanksi yang bersifat tajam dibandingkan sanksi pada bidang hukum lainnya. Oleh karena itu sifat ultimum remidium dan premium remidium secara tegas diimplementasikan dalam praktik. Tindak pidana yang berkategori ultimum remidium dan premium remidium ancaman pidananya harus dipisahkan dalam implementasinya. Ancaman pidana terhadap profesi dokter yang tidak memiliki izin praktik dalam kajian penerapan sanksi hendaknya diterapkan secara ultimum remedium bukan premium remidium. Sehingga tidak proporsional jika perizinan bagi dokter dijatuhi pidana penjara, karena sifat hukum pidana dalam menegakkan perizinan bersifat subsider dan ultimum remedium bukan premium remidium. Dalam administrative penal law, sanksi pidana bertujuan untuk mendukung penerapan norma hukum administratif secara maksimal (Muladi, 1990: 8). Demikian pula dari segi kuantitas beratnya hukuman tidak boleh melebihi beratnya delik yang dilakukan pelaku. Harus ada keseimbangan antar beratnya hukuman dengan beratnya delik (Polak dalam Wahid, 2013: 90). Pidana penjara yang diterapkan terhadap dokter yang melanggar izin praktik tersebut tidak seimbang antar perbuatan yang dilanggar dengan pidananya. Perbuatan yang dilanggar adalah perizinan, namun pidananya berupa pidana penjara yang dapat mengancam pekerjaan pelaku dan kepentingan publik berupa pelayanan kesehatan. Penerapan hukum pidana terhadap suatu perbuatan
dokter tersebut hendaknya memperhatikan sifat hukum pidana yang berbeda dengan bidang hukum lainnya, yaitu adanya penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk suatu hukuman (Lamintang & Lamintang, 2014: 17). Dalam perspektif restorative justice, penerapan pidana penjara kepada dokter yang melanggar izin praktik tersebut tidak dapat menciptakan restorative justice. Baik pelaku maupun masyarakat menderita akibat penjatuhan pidana tersebut. Restorative justice menekankan pada pengembalian situasi yang rusak akibat dari tindak pidana. Model pendekatan ini menghasilkan keadilan restoratif yang menekankan pada kesepakatan sebagai penyelesaian dari konflik yang berakibat hukum dengan melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat yang terkena dampak dari perbuatan pelaku. Makna restorative justice selaras dengan teori tujuan pidana integratif. Menurut konsep tujuan pemidanaan yang integratif bahwa tujuan pemidanaan untuk mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana baik yang bersifat individual maupun sosial (individual and social damages) (Muladi, 2008: 53-54). Putusan Nomor 4/ PUU-V/2007 mengakomodasi konsep integratif tujuan pemidanaan. Hal ini ditunjukkan dalam pertimbangan putusan tersebut yang menyatakan ketidaktepatan dan tidak proporsionalnya ancaman pidana penjara dan kurungan bagi profesi dokter yang tidak memiliki izin praktik. Pemberian sanksi pidana harus memperhatikan perspektif hukum pidana yang humanistis dan terkait dengan kode etik (kedokteran). Dengan demikian pemidanaan harus dapat melindungi masyarakat dan profesi itu sendiri. Namun dengan Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012, di mana dalam putusan tersebut
Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi (Warih Anjari)
jurnal april 2017 isi.indd 75
| 75
5/2/2017 5:04:42 PM
menjatuhkan pidana penjara kepada dokter yang praktik tanpa izin, menjadikan masyarakat menderita kerugian. Jika putusan ini diikuti oleh hakim lain pada kasus yang sama, maka masyarakat berpotensi tidak terlayani kebutuhan kesehatannya dan memunculkan kekhawatiran bagi profesi dokter lainnya. Sehingga penjatuhan pidana penjara yang tercantum dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 tidak sesuai dengan konsep tujuan pemidanaan yang integratif berdasarkan Pancasila. Menurut Arief (2011: 93) dalam mengidentifikasikan tujuan pemidanaan konsepnya bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan individu pelaku tindak pidana. Putusan tersebut tidak mencapai tujuan kedua-duanya.
putusan Mahkamah Konstitusi yang secara normatif memiliki kekuatan mengikat. Dewasa ini terdapat perkembangan tujuan hukum. Ali (2009: 212-213) menyatakan terdapat perbedaan antara teori barat dan teori timur tentang tujuan hukum, di mana pada umumnya teori timur tidak menempatkan kepastian tetapi menekankan pada keadilan.
Keadilan adalah keharmonisan dan keharmonisan adalah kedamaian, di mana yang lebih menekankan pada kultur hukum bangsa masing-masing. Tujuan pemidanaan integratif berdasarkan Pancasila pada dasarnya perwujudan dari tujuan hukum dunia timur. Substansi Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 dan pertimbangannya merupakan implementasi tujuan hukum tersebut. Sehingga pemidanaan terhadap dokter yang Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012, melanggar izin praktik yang tercantum dalam mengindikasikan tidak ada kesebandingan hukum Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 merupakan bagi profesi dokter. Dalam hukum pidana yang putusan yang kontradiktif dengan perkembangan diutamakan adalah kepastian dan kesebandingan/ tujuan hukum yang berkembang dewasa ini. kesepadanan antara pidana yang dijatuhkan Dikaitkan dengan filosofi pemidanaan yaitu dengan kesalahan dan latar belakang perbuatan pengakuan adanya keluhuran harkat dan martabat pidana. Perbuatan yang dilanggar adalah bersifat manusia sebagai ciptaan Tuhan, maka penjatuhan administratif yang berupa perizinan. Sehingga pidana tidak boleh mencederai hak asasi manusia. hukum pidana hanya bersifat sanksi belaka. Oleh Perwujudan dari penghargaan harkat dan martabat karena itu hendaknya diterapkan secara ultimum manusia ditetapkannya Pancasila sebagai asas remidium. Dalam hal ini hukum pidana sebagai negara. Sehingga Pancasila ditetapkan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab landasan kefilsafatan bagi pembinaan dan negara dalam rangka mengelola kehidupan penyelenggaraan hukum di Indonesia (MK RI, masyarakat modern yang kompleks. 2007: 34-35). Artinya Pancasila merupakan norma Berdasarkan waktu Putusan Nomor kritik untuk membina dan menyelenggarakan 1110 K/Pid.Sus/2012, diputuskan setelah hukum di Indonesia. pidana penjara dan kurungan dalam pasal yang didakwakan dinyatakan bertentangan dengan IV. KESIMPULAN UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan Dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid. hukum mengikat berdasarkan Putusan Nomor 4/PUU-V/2007. Secara substansial putusan Sus/2012, hakim salah menerapkan hukumnya. Mahkamah Agung tersebut tidak mengikuti Seharusnya hakim menjatuhkan pidana denda 76 |
jurnal april 2017 isi.indd 76
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 59 - 78
5/2/2017 5:04:42 PM
kepada terpidana BS. Hal ini karena pasca Putusan Ali, A. (2009). Menguak teori hukum (Legal theory) & teori peradilan (Judicial prudence) termasuk Nomor 4/PUU-V/2007, pidana penjara terhadap interpretasi undang-undang (Legisprudence) Pasal 76 dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor volume 1 pemahaman awal. Jakarta: 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah Prenadamedia. dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD NRI Ali, A., & Heryani, W. (2012). Menjelajahi kajian 1945. empiris terhadap hukum. Jakarta: Kencana. Penjatuhan pidana penjara terhadap dokter yang tidak memiliki izin praktik tidak selaras dengan kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, fungsi subsider hukum pidana, restorative justice, dan tujuan pidana integratif. Implikasinya adalah:
Alvin, S. (2016, Mei 28). Luncurkan buku, eks
Dalam perspektif kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, penerapan pidana penjara terhadap dokter dalam Putusan Nomor 1110 K/Pid.Sus/2012 berimplikasi: a) Putusan Nomor 4/PUU-V/2007 tidak mempunyai kekuatan mengikat; b) penemuan hukum tidak terbentuk; c) kontrol oleh Mahkamah Konstitusi tidak berjalan; d) putusan tidak berjalan efektif; dan e) melanggar asas legalitas.
Arief, B.N. (2014). Perkembangan asas-asas hukum
Dalam perspektif konsep tujuan pemidanaan progresif, penerapan pidana penjara terhadap dokter dalam Putusan Nomor 1110 K/ Pid.Sus/2012 berimplikasi: a) bertentangan dengan filosofi pemidanaan; b) tidak mencapai tujuan pemidanaan; c) masyarakat dan pelaku (profesi dokter) dirugikan.
Menkumham Muladi kritik MA. Liputan6. Diakses dari http://www.news.liputan6.com. Arief, B.N. (2011). Kebijakan hukum pidana perkembangan penyusunan konsep KUHP baru. Jakarta: Kencana.
pidana Indonesia (Perspektif perbandingan hukum pidana). Semarang: Badan Penerbit UNDIP. Hoesein, A.A. (2013). Kekuasaan kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: Imperium. Irianto, S., & Shidarta (Ed.). (2013). Metode penelitian hukum konstelasi dan refleksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Ishaq. (2014). Pengantar hukum Indonesia (PHI). Depok: RajaGrafindo Perkasa. Laksono, F. et.al. (2013). Implikasi dan implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/ PUU-X/2012
tentang
SBI/SBI.
Jakarta:
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI. Lamintang, P.A.F., & Lamintang, F.T. (2014). Dasardasar hukum pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
DAFTAR ACUAN Abdussalam. (2011). Politik hukum. Jakarta: PTIK Press. Aburaera, S. et.al. (2013). Filsafat hukum teori & praktik. Jakarta:Kencana.
Latif, A. (2007). Mahkamah Konstitusi dalam upaya mewujudkan
negara
hukum
Yogyakarta: Total Media. Muladi. (1990). Proyeksi hukum pidana materiil Indonesia mendatang. Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP.
Penjara terhadap Dokter dalam Perspektif Mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi (Warih Anjari)
jurnal april 2017 isi.indd 77
demokratis.
| 77
5/2/2017 5:04:42 PM
Muladi. (2008). Lembaga pidana bersyarat. Bandung: Alumni. Najih, M. (2013). Problematika pembaharuan hukum pidana nasional; Politik hukum pidana Indonesia, menuju pembaharuan hukum pidana yang berbasis pada Pancasila. Jakarta: KHN. Nuraeny, H. (2012). Wajah hukum pidana Indonesia asas dan perkembangan. Bekasi: Gramata. Romadlon, S.G. (2016). Penegakan hukum progresif dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan pilkada. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Sabdo, B. (2015). Politik hukum pidana mati. Yogyakarta: Pohon Cahaya. Soekanto, S. (2013). Faktor-faktor yang memengaruhi penegakan hukum. Jakarta: Rajagrafindo. Suprantio, S. (2014, April). Daya ikat Putusan Mahkamah Konstitusi tentang testimonium de auditu dalam peradilan pidana; Kajian Putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor
65/PUU-
VIII/2010. Jurnal Yudisial, 7(7), 34-51. Wahid,
A.
(2013).
Membumikan
pemidanaan
progresif: Problematika pembaruan hukum pidana nasional. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Wignjosoebroto, S. (2013). Hukum dalam masyarakat. Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu. Yasin, M. (2013, November 29). Menyebarkan ‘virus baik’ bernama hukum progresif. Hukum Online. Diakses dari http://www.hukumonline.com.
78 |
jurnal april 2017 isi.indd 78
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 59 - 78
5/2/2017 5:04:42 PM
PENYELESAIAN KONFLIK PEWARISAN AKIBAT HIBAH BERDASARKAN HUKUM PROGRESIF Kajian Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS
THE CONFLICT RESOLUTION OF THE GRANT OF INHERITANCE IN ACCORDANCE TO PROGRESSIVE LAW An Analysis of Court Decision Number 95/PDT.G/2008/PN.BKS Poniman Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jl. Imam Bardjo No. 1 Semarang 50241 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 2 Februari 2017; revisi: 20 Maret 2017; disetujui: 29 Maret 2017 ABSTRAK Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 95/ PDT.G/2008/PN.BKS menolak dan menghukum gugatan penggugat untuk membayar biaya perkara, dan memutuskan bahwa harta pewaris seluruhnya menjadi hak anak luar kawin tidak diakui karena hibah dari pewaris. Dari sisi penegakan hukum positif, hakim mendasarkan putusan hanya pada pembuktian tanpa menelusuri realitas dari akta hibah tersebut yang cacat hukum. Kajian penelitian putusan ini menggunakan teori hukum progresif dalam upaya mencari keadilan, dengan mengkaji permasalahan, serta bagaimana penyelesaian konflik pewarisan akibat hibah berdasarkan hukum progresif. Penelitian ini adalah penelitian socio-legal dengan pendekatan induktif yang berparadigma postpositivisme. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan mengutamakan kedalaman data dengan narasumber yang berkompeten di bidangnya. Dari penelitian ini, realita bahwa anak luar kawin tidak diakui dapat menguasai seluruh harta pewaris dengan hanya berdasarkan pada akta keterangan hibah, mestinya tidak terjadi. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya peradilan yang hanya menggunakan hukum formalisme semata, sebagai puncak kepastian hukumnya, sehingga tujuan manfaat dan keadilan belum terpenuhi. Pola hukum progresif berfondasi pada progresivitas manusia, bahwa manusia sebenarnya baik, penuh kasih sayang, saling
tolong menolong, dan empati kepada sesama manusia. Berhukum yang benar adalah berhukum yang bertujuan demi tercapainya keadilan masyarakat. Kata kunci: hibah, harta warisan, anak luar kawin tidak diakui, hukum progresif.
ABSTRACT Bekasi District Court Decision Number 95/PDT.G/2008/ PN.BKS objected the claim and give sanction to the plaintiff to pay court costs, and decided that all the assets of the testator became solely the possession or title of the child out of wedlock of no recognition owing to the grant of the testator. In terms of positive law enforcement, the judges based the ruling solely on proving without probing the legitimacy of the legally flawed grant deed. This analysis employed the theory of progressive laws in an effort to seek justice by studying the problems as well as the conflict settlement of the case of grant-based heir derived from progressive law. This is a socio-legal research study using inductive approach through the perspective of post-positivism. Qualitative research was conducted primarily by collecting references from the experts in the relevant field. From this research, it can be inferred that the granting of ownership to the entire inheritance to the child out of wedlock of no recognition based solely upon a Grant Deed should not have
Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman)
jurnal april 2017 isi.indd 79
| 79
5/2/2017 5:04:42 PM
occurred. This indicates just how weak the judiciary is, barely imposing a mere formal law as the culmination of its legal certainty resulting in the unfulfilled objectives of law, those of the benefit and equity. The pattern of progressive law is based on the progression of humans that human beings are actually good, compassionate,
mutually helpful to each other, and empathetic for their fellow human beings. Indeed the true law is aimed at achieving social justice.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
diakui secara sah (menurut peraturan perundangundangan pengangkatan anak).
Penyelesaian konflik pewarisan dan hibah menjadi sangat penting diteliti, karena proses di pengadilan masih banyak kendala dalam memperoleh keadilan. Putusan Nomor 95/ PDT.G/2008/PN.BKS, tanggal 2 September 2008 menolak gugatan penggugat (anak dan istri ahli waris sah) dan menghukum penggugat dengan membayar biaya perkara. Kasus pewarisan ini dimenangkan oleh tergugat anak luar kawin tidak diakui secara hukum karena mampu menunjukkan surat keterangan hibah dari pewaris ketika masih hidup. Posisi kasus, ketika pewaris masih hidup, bersama istri dan anaknya hidup bersama dalam berumah tangga, pewaris dikenal sebagai pengusaha sukses, menangani usaha kontrakan rumah dan toko (ruko) dengan luas lahan kurang lebih 4.500 m2. Lokasi kontrakan sudah berbentuk layaknya pasar dan terminal angkutan kota (di kota Bekasi mulai tahun 90-an). Suatu hari pewaris bertemu dengan keluarga yang tidak mampu dan memiliki seorang anak/wanita (umur lima tahun) yang perlu pertolongan. Oleh karena ada rasa iba, kasihan, dan demi kemanusiaan, pewaris bermaksud menolong dan membawanya ke rumah untuk disekolahkan. Dengan berjalannya waktu sampai akhirnya setelah dewasa dikawinkan. Anak tersebut adalah anak luar kawin tidak
80 |
jurnal april 2017 isi.indd 80
Keywords: grant, inheritance, child out of wedlock of no recognition, progressive law.
Ketika pewaris meninggal dunia, seketika itu anak luar kawin langsung mengambil alih seluruh harta (tanah, rumah, dan usaha kontrakan) dan mulai berperilaku tidak senonoh, mendesak agar istri dan anak almarhum pewaris keluar rumah (diusir) karena merasa seluruh harta peninggalan almarhum sudah dimilikinya karena hibah. Dari keadaan demikian, istri dan anak pewaris berkali-kali meminta keadilan kepada kepala desa dan aparat keamanan desa, agar haknya sebagai pewaris sah diberikan. Pihak desa sampai kecamatan berkali-kali juga melakukan mediasi, namun tidak menghasilkan kesepakatan. Kasus dilaporkan ke pihak kepolisian, oleh penyidik dinyatakan tidak cukup bukti (Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan/SP3). Karena tidak mendapatkan keadilan ahli waris (anak dan istri) melalui pengacaranya menggugat di Pengadilan Negeri Bekasi. Di pengadilan negeri tersebut sampai Mahkamah Agung pun tidak mendapatkan keadilan karena kasus ditolak. Secara yuridis korban (ahli waris sah/ anak dan istri) dikalahkan dan menderita rugi tidak mendapatkan warisan dari mendiang almarhum suaminya. Secara ekonomi korban tidak mendapatkan hasil/nafkah untuk penghidupannya, karena tempat usaha dikuasai anak luar kawin. Secara sosial budaya, malu dan terjadi ketidakharmonisan rumah tangganya di Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 79 - 97
5/2/2017 5:04:42 PM
kampung halaman. Secara fisik terjadi konflik, maupun psikis memengaruhi jiwa yang tidak tenang dari perlakuan anak luar kawin yang berbuat tidak senonoh. Setelah tujuh tahun lamanya dengan siasat yang patut dicurigai anak luar kawin ternyata mampu berdalih untuk menunjukkan surat keterangan hibah dari pewaris/ almarhum yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Sementara (PPATS/Camat Bekasi).
memutus perkara konflik pewarisan akibat hibah yang berfondasi dari progresivitas manusia dalam berhukum progresif; dan 2) secara praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu kebijakan bagi penegak hukum (hakim) dalam memutus perkara konflik pewarisan akibat hibah dengan cara berhukum progresif sebagai kebijakan/pedoman berhukum di pengadilan dalam upaya mencapai nilai-nilai keadilan (searching for justice) sehingga tercapai keadilan Surat keterangan hibah secara substansial substansial. kurang memenuhi ketentuan penghibahan menurut undang-undang (KUHPerdata tentang Penghibahan), antara lain tanda tangan D. Tinjauan Pustaka penghibah diragukan kebenarannya, penerima Berkaitan dengan ketentuan hukum hibah anak luar kawin tertulis anak luar kawin penghibahan tersebut di atas diatur pada Kitab binti penghibah sebenarnya bukan anak kandung KUHP Buku ke-3 Bab X bagian ke-1 sampai penghibah, pemberian hibah seluruh harta usaha bagian ke-4 dan Pasal 1666 sampai Pasal 1693 penghibah tanpa kecuali, demikian ini melanggar yang dalam ketentuan umumnya dinyatakan bagian hak ahli waris yang lain (anak-istri sebagai berikut: penghibah). Dari latar belakang tersebut di atas “....bahwa penghibahan dapat dilakukan peneliti mengangkat kajian dari aspek hukum ketika penghibah masih hidup dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta progresif agar digunakan sebagai kebijakan cakap, dan penghibahan dilakukan dalam memperoleh keadilan substansial. kepada penerima hibah (yang memenuhi syarat-syarat penerima hibah yang sah), penghibahan dilakukan harus diketahui B. Rumusan Masalah ahli waris yang lain, tanah, dan bangunan yang akan dihibahkan sudah ada terlebih Dari latar belakang tersebut di atas dahulu sebelum hibah dilakukan/sebelum dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: penghibahan dimulai, penghibahan tidak boleh ditarik kembali jika telah bagaimana penyelesaian konflik pewarisan akibat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan hibah berdasarkan hukum progresif? dalam peraturan perundang-undangan (KUHPerdata) serta penghibahan tidak boleh melebihi hak atas waris yang lain C. Tujuan dan Kegunaan atau tidak boleh melanggar pewarisan....” Tujuan dan kegunaan dari penelitian ini yaitu: 1) secara teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atau kemanfaatan bagi penegak hukum (hakim) dalam memutuskan suatu perkara, dengan tidak hanya menggunakan hukum positif semata, namun dengan pertimbangan kemanusiaan dalam
Dalam kamus bahasa Indonesia, konflik dimaknai sebagai perselisihan antara satu orang/individu dengan individu yang lain atau antar kelompok yang dapat diselesaikan dengan cara mempertemukan (conciliation)/ memusyawarahkan sehingga tercapai
Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman)
jurnal april 2017 isi.indd 81
| 81
5/2/2017 5:04:42 PM
kesepakatan. Konflik/sengketa ini biasanya dalam ranah perkara perdata. Dalam penelitian ini konflik dimaknai sebagai suatu perselisihan pewarisan antara ahli waris sah dengan anak luar kawin tidak diakui, akibat hibah berdasarkan hukum progresif yang berujung sampai tuntutan di pengadilan.
sebagaimana Pasal 266 ayat (1) KUHP, dan jika kasus dinyatakan “telah kedaluwarsa” oleh pihak penyidik kepolisian, menurut Pasal 84 ayat (1) berbunyi: “...... dan mengenai daluwarsa lamanya kejahatan sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana.....” Dengan ketentuan tersebut sebenarnya keliru kalau kasus telah kedaluwarsa, karena kasus dilaporkan ke pihak kepolisian Hal yang diperkarakan pada gugatan ini belum ada satu tahun sedangkan ancaman adalah harta peninggalan dari pewaris. Penegakan hukuman penjara tujuh tahun. hukum mestinya melakukan penegakan sesuai dengan ketentuan yang ada mulai dari tingkat Surat Pemberitahuan Penghentian penerimaan laporan di pihak kepolisian tentang Penyidikan (SP3) berdampak pelapor putus asa adanya dugaan pemalsuan surat, sebagaimana dan mencari hukum sendiri (eigenrechtsting) dinyatakan pada Pasal 266 ayat (1) KUHP sebagai karena konsep peradilan secara prosedur telah berikut: dilakukan namun gagal, karena tidak mampu mewujudkan adanya bukti dugaan adanya pemalsuan surat keterangan hibah oleh pelapor, yang mestinya pencarian bukti tersebut dilakukan oleh penyidik sendiri (secara laboratoris). Realitas pelayanan penegakan hukum dari fakta akademis yang diperoleh dalam penelitian ini, bahwa pelayanan penegakan hukum hanya berjalan kepada masyarakat dalam strata tertentu saja. Pelapor adalah korban dari suatu sistem peradilan Kemudian melakukan penyelidikan yang ada, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. dan penyidikan tentang adanya tindak pidana pemalsuan surat yang terjadi dan secara pidana Konsep peradilan yang hanya mengandalkan diproses sebagaimana konsep ketentuan proses di pengadilan banyak mengalami kendala pemidanaan yang berdasarkan sistem peradilan (Arief, 2012: 9) karena masyarakat pengguna pidana (criminal justice system), namun dalam hukum tidak menerima keadilan yang diharapkan, kasus ini seolah tidak dilakukan sebagaimana hal demikian menjadikan masyarakat jauh dari ketentuan hukum pidana. Bahkan penegak pengadilan dan kembali kepada hukum masyarakat hukum seolah melakukan penegakan hukum asal- itu sendiri. Secara teori bahwa proses pengadilan asalan saja (underestimate) dan berakhir dengan yang hanya memburu kepastian hukum semata penghentian penyidikan (SP3), karena kasus tidak adalah produk dari hukum Eropa Barat dengan terbukti dan tidak memenuhi syarat adanya tindak sistem hukum civil law yang menyingkirkan pidana pemalsuan surat (surat keterangan hibah). kebiasaan masyarakat dalam berhukum, dengan
“...... barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah- olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun......”
demikian produk hukum Eropa ini adalah hukum Sebenarnya kasus tersebut memenuhi yang harus dipelajari, tidak mampu menyesuaikan persyaratan delik pidana pemalsuan surat perkembangan masyarakatnya karena telah 82 |
jurnal april 2017 isi.indd 82
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 79 - 97
5/2/2017 5:04:42 PM
kehilangan kemurniannya/kealamiahannya tidak disahkan sebagai anak sah diakui menurut (Rahardjo, 2003: 14). aturan undang-undang. Hukum positif dalam situasi tertentu tidak bisa mewujudkan kehendak masyarakat dalam mencapai keadilan substansial, maka diperlukan cara lain yang mampu dan aspiratif dengan menggunakan kemurnian hukum (natural law). Sebagaimana diajarkan dalam hukum progresif bahwa hukum untuk manusia, bukan untuk yang lain, berhukum yang baik adalah berhukum yang tidak meninggalkan manusia dan masyarakatnya dan bertujuan melindungi dan menyejahterakan manusia (Rahardjo, 2003: 17 ). Penyelesaian proses pengadilan berdasarkan keputusan pengadilan tersebut di atas adalah contoh peradilan dengan proses pengadilan yang mengandalkan ketentuan perundang-undangan yang tertulis saja dan menyampingkan kebiasaan masyarakat dalam berhukum, sehingga diperoleh peradilan yang menang dan yang kalah (win lose). Demikian ini bagi korban (yang kalah) masih menaruh dendam, bukan peradilan yang diharapkan tidak ada menaruh dendam, tercapai peradilan yang win-win solution.
Berhukum progresif adalah cara berhukum yang berfondasi pada progresivitas manusia yang memandang manusia itu sebenarnya baik, cinta kasih sayang dan mempunyai sifat tolong-menolong, empati kepada sesama manusia (Rahardjo, 2006: 23-24 ). Hal demikian sesuai dengan jiwa budaya masyarakat yang cinta damai dan gotong royong (coordination synchronisation). Dari cara berhukum demikian kesepakatan menjadi hukum bagi mereka yang berangkat dari iktikad baik dan kesepakatan itu sendiri. Hartono menyebutnya sebagai filsafat hidup (weltanschaung), yang diakui oleh bangsabangsa dengan asas musyawarah mufakat (decition making by consensus) dan asas gotong royong (coordination synchronisation). Fenomena peradilan pewarisan dengan dasar hakim menggunakan hukum positif menerapkan prosedur penerapan pasal yang ada dalam KUHPerdata dalam mencapai keadilan. Realitasnya dengan penerapan hukum positif dalam penegakan hukum di pengadilan (hasil keputusan pengadilan), masih ada dendam dari korban karena tidak mendapatkan keadilan. Bahkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan hukum/penegakan hukum dengan proses pengadilan banyak kecewanya karena berjalan dengan prosedur yang lama, dengan birokrasi yang berbelit (kaku), tidak beretika/bermoral, dan justru dalam praktik banyak melanggar hak asasi manusia (HAM) dan hasil keputusannya pun tidak sebagaimana yang diharapkan masyarakat/pengguna hukum, karena tidak mencapai keadilan (Dominikus, 2013: 9).
Harta warisan adalah harta peninggalan pewaris yang telah meninggal dunia, dalam KUHPerdata Buku ke-3 Bab X bagian ke-1 sampai bagian ke-4 Pasal 1666 sampai Pasal 1693 mengatur tentang penghibahan dari pemberi hibah kepada penerima hibah dengan memenuhi syaratsyarat yang ditentukan dalam undang-undang ini. Adapun ahli waris sah adalah ahli waris dari anak, istri pewaris yang sah. Pewaris sah inilah yang dikaji dalam penelitian ini. Sedangkan hibah adalah pemberian hibah/hak atas tanah (dalam kasus ini) yang diberikan kepada penerima hibah sewaktu masih hidup. Pengertian anak di luar Konflik pewarisan dan hibah adalah kawin dalam penulisan ini diartikan anak yang perselisihan antara dua pihak atau lebih yang satu
Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman)
jurnal april 2017 isi.indd 83
| 83
5/2/2017 5:04:42 PM
pihak mewaris dan pihak yang lain memperoleh hak atas tanah (harta) dari pemberian hibah. Kedua permasalahan ini menjadi penting karena banyak timbul di masyarakat yang berakibat kerugian bagi ahli waris sah, karena hartanya telah dihibahkan kepada orang lain yang tidak diberitahu sebelumnya. Alhasil pewaris sah tidak mendapatkan bagian. Penelitian ini dimunculkan karena terjadi konflik yang tidak menguntungkan ahli waris sah (istri dan anak almarhum). Hal ini karena hakim dalam mengadili hanya menggunakan peraturan perundang-undangan (textbook), dan pencarian keadilan hanya mengandalkan hukum perdata (KUHPerdata) warisan Belanda yang menggunakan civil law system yang mengandalkan adanya penerapan hukum positif (buatan Eropa Barat) dengan mazhab positivisme hukum yang memandang bahwa dengan penerapan pasal secara prosedur dalam penegakan hukum maka sudah tercapai keadilan. Realitasnya hanya pencarian kepastian hukum semata belum tercapai keadilan dan kemanfaatan. Terbukti masyarakat masih mencari hukum sendiri dengan jalan melakukan penuntutan agar tercapai keadilan yang diinginkan, sebagaimana Radbruck yang menyatakan tujuan hukum untuk mencapai nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam penelitian Putusan Nomor 95/ PDT.G/2008/PN.BKS, penegakan hukum dalam mengadili perkara pewarisan, mengandalkan prosedur penerapan pasal yang dalam implikasinya penegakan hukum demikian semata hanya mengandalkan bukti (pembuktian), dalam memutus perkara yang pada dasarnya hanya upaya pencapaian kepastian hukum semata (Samekto, 2012: 6). Dalam kasus penghibahan ini berwujud surat keterangan hibah, yang dianggap sudah mencapai keadilan, realitasnya 84 |
jurnal april 2017 isi.indd 84
telah memarginalkan faktor-faktor behavior dan realitas masyarakat (korban ahli waris sah) yang sebenarnya. Alhasil dalam kasus penghibahan ini dimenangkan tergugat, karena mampu membuktikan adanya surat keterangan hibah. Hakim memutus tanpa adanya pertimbangan moral/etik/perasaan/naluri. Putusan yang demikian menaruh dendam (dari korban ahli waris sah) karena keputusan pengadilan tidak mencapai keadilan bagi korban. Demikian fakta dari penerapan hukum di Indonesia. Hakim dalam memutus perkara (pewarisan karena hibah), realitasnya pencapaian nilai keadilan substansial dengan pertimbangan moral/etic justru ada di balik prosedural hukum (Samekto, 2012: 10). Cara berhukum modern yang mengandalkan prosedur hukum yang notabene berusaha mencapai kepastian hukum saja yang jauh dari nilai keadilan dan kemanfaatan, seakan sebagai berhala/sebagai bahaya laten kehidupan sistem hukum di Indonesia masa kini dan masa yang akan datang, jika penegakan hukum tidak menggunakan hati/perasaan. Fenomena ini menjadi tanggung jawab semua pengguna hukum, para akademisi (pengkaji hukum) yang mestinya tidak hanya berteori di kampus, tapi lebih pada action/praktik hukum di lapangan melaksanakan tugas mulia bersama-sama penegak hukum dan lembaga pembuat hukum melakukan “amar ma’ruf nahi munkar.“ Bahwa hukum yang tidak berperikemanusiaan harus direformasi, direkonstruksi menjadi hukum yang ramah, yang progresif, menjalankan hukum sebagai suatu amanah, ibadah hanya mengharapkan rahmat dan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, karena semua keputusaan hakim akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan perbuatan di hadapan-Nya. Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 79 - 97
5/2/2017 5:04:42 PM
Hukum modern (asal Eropa Barat) ini tidak sesuai dengan jiwa budaya bangsa Indonesia (volkgeist) sebagaimana falsafah pandangan hidup bangsa Indonesia “Pancasila“ (Hartono, 1991: 7). Perkembangan hukum menunjukkan bahwa hukum positif/cara-cara kapitalis berhukum/hukum modern telah mendominasi praktik hukum dan pengajaran di Indonesia (Samekto, 2012: 23), yang jelas tidak bercermin pada jiwa dan budaya bangsa (volgeist) masyarakat Indonesia yang cinta damai dan keakraban dalam kekeluargaan (silaturahmi). Demikian sistem hukum Indonesia jika hanya menerapkan sistem hukum model civil law system semata, jelas sulit untuk berupaya mencapai keadilan (searching for the justice), maka perlu peranan penegak hukum dalam menggunakan sistem hukum yang bernuansa moral/etik yang disesuaikan dengan budaya dan jiwa bangsa Indonesia dalam berhukum. Pola berhukum progresif dengan sistem hukum common law (Samekto, 2012: 40-44) yang selalu berupaya dalam mencari kebenaran dan keadilan (searching for the justice and the truth) dengan tidak meninggalkan perilaku (behaviour) dalam berhukum dan tidak semata melakukan penerapan peraturan perundang-undangan.
Dalam tinjauan pustaka ini, untuk lebih memberikan penjelasan tentang pokok permasalahan, penulis menggunakan presentasi pola berhukum progresif Rahardjo. Berdasarkan progresivitas manusia, yang memandang secara alami bahwa manusia itu sebenarnya baik, empati dan tolong-menolong, saling sayang-menyayangi (penuh kasih sayang) antar sesama manusia, oleh karena adanya intervensi yang masuk dari suatu kepentingan tertentu, telah mengubah manusia dari sifat dasarnya. Dengan demikian manusia dan masyarakatnya telah kehilangan kemurniannya, maka situasinya telah berubah menjadi situasi yang modern. Dengan menggunakan hukum modern (sebagaimana penerapan berhukum dengan menggunakan hukum positif) yang berlandaskan bukti menggunakan rasionalitas semata sebagai ujung tombak pencapaian keadilan, yang mengutamakan hedonisme sebagai tujuan dari pada nilai-nilai keadilan, sesuai dengan perkembangan masyarakat modern dewasa ini (Rahardjo, 2007: 7).
Berangkat dari dasar progresivitas manusia, hukum progresif berdamai dengan alam melakukan pencarian, pembebasan, dan pencerahan. Memandang bahwa hukum untuk manusia bukan untuk yang lain dan berhukum yang baik adalah berhukum yang tidak Lembaga pembuat hukum (badan meninggalkan manusia dan masyarakatnya, serta legislatif) di dalam memproduksi hukum tujuan hukum untuk mencapai keadilan substantif seyogianya menghentikan substansi hukum yang yang melindungi dan menyejahterakan manusia. bersifat subjektif. Jangan mau dibeli dan jangan hanya menggunakan substansi produk hukum Solusi alternatif dalam mengatasi konflik yang semata berasal dari subjektifitas intelektual pewarisan dan hibah adalah dengan menggunakan pembuatnya yang tidak terjun langsung melihat hukum yang lebih bermoral dalam mengatasi realitas keadaan masyarakat sesungguhnya. kemapanan yang tidak berperikemanusiaan. Formulasi hukum hendaknya memuat aspirasi Hukum progresif berkelit dan selalu mengkritisi yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan ketidakadilan, membentuk ide baru dalam Pancasila (Wignjosoebroto, 2012: 4-5). membangun hukum baru (theory building), hukum harus mampu melindungi, membahagiakan, Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman)
jurnal april 2017 isi.indd 85
| 85
5/2/2017 5:04:42 PM
dan menyejahterakan bagi penggunanya. berdasarkan hukum progresif dari hasil Putusan Ketika hukum tidak bertujuan demikian, berarti Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS yang dipandang hukum belum mampu sebagai instrumen dalam kurang mencapai keadilan dari pihak penggugat. pencapaian tujuan nilai hukum dalam mencapai Tradisi penelitian ini adalah penelitian keadilan, kemanfaatan, dan keadilan. dengan pendekatan kualitatif (qualitative Cara berhukum progresif (Rahardjo, 2010: research), yaitu tradisi penelitian yang tidak 168-169) memandang bahwa di dunia ini tidak mengandalkan pada banyaknya data, tetapi hanya ada satu tipe cara berhukum. Ada satu pada kedalaman data. Untuk memperoleh data tipe yang hanya menerapkan bunyi pasal-pasal yang mendalam, dilakukan penelitian lapangan dalam peraturan perundang-undangan, dan dengan wawancara menggunakan narasumber dengan bertindak yang demikian sudah tercapai yang dipandang kompeten untuk menjelaskan keadilan. Namun keadilan yang diperoleh justru fenomena terkait. Melalui penelitian kualitatif di balik prosedural tadi (Samekto, 2012: 33- mencakup pendekatan metode dan analisis 37). Tipe cara berhukum yang kedua adalah induktif terhadap subjek kajiannya. peraturan perundang-undangan sebagai panduan Kajian penelitian ini berparadigma moral untuk secara kreatif mengkritisi untuk post-positivisme dengan pendekatan induktif. bertindak lebih lanjut dalam memandang Penelitian dalam paradigma tertentu (postmanusia dan masyarakatnya dalam berhukum positivisme) harus berbasis pada konsistensi dengan menjelaskan, mengkritisi, kemudian ontologis, epistemologis, dan methodologis. membangun teori baru (theory building) dalam Secara ontologis di dalam penelitian ini, aturanupaya pencarian nilai keadilan (searching for aturan/hukum dikonsepsikan sebagai sebuah justice). Berkaitan dengan penelitian ini bahwa realitas yang tidak dimaknai sekadar aturan jika tidak tercapai keadilan dalam berhukum yang telah memenuhi aspek-aspek dalam ajaran di pengadilan, ada cara lain untuk memperoleh positivisme tetapi akan dikaji keberlakuannya keadilan yakni penyelesaian di luar pengadilan dan efektivitasnya untuk menyelesaikan kasus(Rahardjo, 2005a: 11-14). kasus pewarisan dan penghibahan. II.
METODE
Metode penelitian ini adalah metode penelitian socio legal yang tidak hanya mengkaji peraturan perundang-undangan saja namun juga perilaku (behaviour). Pendekatan yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan induktif, di mana fakta realitas masyarakat dapat digunakan sebagai dasar adanya perubahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kebijakan formulasi dengan cara berhukum positif dalam penyelesaian konflik pewarisan dan hibah
86 |
jurnal april 2017 isi.indd 86
Secara epistemologi dalam penelitian ini peneliti bukan sekedar menganalisis berdasar keberlakuan aturan-aturan hukum saja, tetapi mengkaji faktor-faktor di luar norma hukum yang memengaruhi pelaksanaan aturan-aturan hukum, terkait dengan pewarisan dan penghibahan pada Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui; apakah putusan tersebut benar-benar menuntaskan persoalan. Analisis difokuskan pada penegakan hukum atas Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/ PN.BKS.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 79 - 97
5/2/2017 5:04:42 PM
Terkait dengan konteks penelitian ini yaitu menemukan solusi penyelesaian alternatif di luar pengadilan dengan menggunakan cara pendekatan kemanusiaan, dari hati ke hati dengan cara dikumpulkan (conciliation) kemudian dilakukan mediasi dalam pencapaian kemufakatan agar tercapai keadilan kedua belah pihak. Karena selama ini sistem hukum yang dipakai (hukum positif) adalah sistem hukum yang berdasarkan bukti-bukti. Di sini terjadi kontradiksi antara anggapan masyarakat yang menggunakan hukum rakyat, hukum kebiasaan yang memandang jika benar sampai manapun pasti menang. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyelesaian konflik pewarisan akibat hibah berdasarkan Putusan Nomor 95/ PDT.G/2008/PN.BKS, keputusan hakim pada sidang pengadilan menolak gugatan penggugat (ahli waris sah) yang konon tidak mampu membuktikan ketidakabsahan surat keterangan hibah. Konflik penghibahan dan pewarisan menjadi penting untuk diteliti, karena banyak persoalan-persoalan penghibahan dan pewarisan berujung dengan konflik yang menimbulkan korban, bahkan terjadi kejahatan terhadap sesama ahli waris dan anak di luar kawin di Indonesia. Anak luar kawin memiliki surat keterangan hibah. Walaupun hibah tersebut cacat hukum, dibuat penghibah seolah sewaktu masih hidup, tidak ada tanda-tanda pewaris (almarhum) memberikan hibah seluruh hartanya tanpa memberitahu istri dan anaknya. Pewaris dikenal sebagai bapak yang jujur, sehat jasmani rohani, dan mengerti istri dan anaknya kelak yang akan mewarisi hartanya. Tidak mungkin untuk menghibahkan seluruh harta kepada
orang lain tanpa memberitahu kepada keluarga (istri dan anaknya). Fenomena hukum tersebut menggambarkan betapa lemahnya peradilan di Republik ini. Konflik yang berkepanjangan dan berakhir di pengadilan, tidak sesuai dengan harapan masyarakat (korban) pencari keadilan yang berakibat masyarakat mencari hukum dengan main hakim sendiri (eigenrichting). Hakim terpasung dengan ketentuan formal hukum, yang hanya mengandalkan law and logic atau law and logic bound yang memarginalkan behaviour. Hanya memburu kepastian hukum saja dan mengebiri keadilan substansial, tidak menggunakan perasaan/hati nurani/moral/ etik. Korban (ahli waris anak dan istri sah) dalam posisi lemah sebagai wong cilik yang tak berdaya walaupun sebagai ahli waris sah, harus menyerah kalah ketika hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi (banding) dan Mahkamah Agung dalam keputusan kasasinya menyatakan menolak gugatan penggugat dan menghukum penggugat (ahli waris anak dan istri sah) dengan harus membayar biaya perkara selama sidang di pengadilan. Hal ini memberi pelajaran kepada kita bahwa hak mewaris dari ahli waris sah digagalkan dengan surat keterangan hibah. Dari fenomena tersebut di atas, bahwa positivisme hukum yang telah mendominasi peradilan mengalami kebuntuan karena tidak mendapatkan keadilan substantif. Oleh karena itu dianggap perlu ada kajian sosiologi yang lebih mendalam yang mampu menjelaskan kebuntuan positivisme hukum dimaksud, yakni dengan cara mengembangkan logika berhukum secara progresif yang mampu menjelaskan (explain), mengkritisi kemudian membangun ide baru (theory building). Mengingat kajian hukum tidak hanya pada ranah normatif yuridis/ penerapan peraturan perundang-undangan saja,
Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman)
jurnal april 2017 isi.indd 87
| 87
5/2/2017 5:04:42 PM
tapi juga pada non-normatif yuridis/evaluasi dan pengembangan dengan mengambil pola berhukum progresif yang meninggalkan manusia dan masyarakatnya dalam berhukum, dalam upaya mencari keadilan (searching for justice).
kalah di pengadilan. Demikian paradigma hukum positif dalam penerapannya secara prosedural yang mengutamakan “pembuktian.” Keputusan pengadilan ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang dan bagi korban (ahli waris sah) masih menaruh dendam, karena tidak Kebijakan dari pengembangan pola mendapatkan keadilan. berhukum progresif dapat digunakan sebagai kebijakan dalam menentukan langkah demi Pertimbangan hakim menolak permohonan terwujudnya keadilan substantive (Rahardjo, kasasi karena keberatan yang diajukan penggugat 1972: 23-24) tentang penyelesaian konflik tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak pewarisan dan hibah berdasarkan hukum salah menerapkan hukum. Lagi pula mengenai progresif pada kajian Putusan Nomor 95/ penilaian hasil pembuktian yang bersifat PDT.G/2008/PN.BKS yang dipandang kurang penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana mencapai keadilan dari pihak penggugat dan tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dicari solusinya dengan pendekatan moral pada tingkat kasasi. Karena pemeriksaan dalam kemanusiaan. Demikian realitas yang ada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya dalam praktik pengadilan, di mana hakim kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hanya mengandalkan proses formalisme hukum hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam (textbook) dalam menegakkan hukum, dengan memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan dalam mengesampingkan moral kemanusiaan. Dari peraturan perundang-undangan yang mengancam fenomena tersebut penulis tawarkan agar hakim kelalaian itu dengan batalnya putusan yang berparadigma cara berhukum progresif yang bersangkutan, atau bila pengadilan tidak berlandaskan progresivitas manusia bahwa berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebenarnya manusia itu baik, penuh empati, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 tolong-menolong dan memiliki rasa kasih saying Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. (Rahardjo, 2009: 4-7). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Dalam putusan kasasi menyatakan bahwa putusan Secara ekonomi menjadi persoalan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan tersendiri karena menerima nasib sebagai orang dengan hukum dan/atau undang-undang, maka yang kehilangan harta satu-satunya peninggalan permohonan kasasi yang diajukan oleh para mendiang suaminya (tanah, rumah, dan pemohon kasasi tersebut harus ditolak, maka penghasilan lainnya), secara sosial budaya ada para pemohon kasasi dihukum membayar biaya kesenjangan, kohesi, dan harmonisasi menurun, perkara tingkat kasasi ini. terjadi semacam beban moral dan malu kepada sesama warga di lingkungan tempat tinggal. Dari Dari fondasi demikian ada rasa senasib fenomena tersebut timbul suatu permasalahan seperjuangan (expride corps) kepada sesama sebagai bahan kajian dalam penelitian ini, manusia. Fenomena demikian seyogianya dengan harapan ada penyelesaian yang lebih arif hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan dan bijaksana yang bertumpu pada nilai-nilai hendaknya mempertimbangkan secara moral. kemanusiaan, ada suatu empati kalau memang Tidak kaku hanya berdasarkan hukum tertulis 88 |
jurnal april 2017 isi.indd 88
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 79 - 97
5/2/2017 5:04:42 PM
saja yang bertindak dalam memutus perkara dan condong bersifat asal-asalan saja (underestimate), namun juga menimbang kepentingan, nasib si kalah yang harus melangkah bagaimana dalam memperjuangkan haknya, harus menerima sebagai si miskin karena tidak jelas dengan keputusan pengadilan kalah kemudian harus bertempat tinggal di mana. Kebiasaan masyarakat dengan hukum rakyat yang merupakan fundamental dari Sistem Pembangunan Hukum Nasional (Hartono, 2011a: 9-10), yang merupakan kebiasaan dalam kehidupan berhukum setiap hari di masyarakat, harapan masyarakat warga agar hukum rakyat dimunculkan, dilaksanakan sebagai hukum/ aturan yang digunakan agar tercapai keadilan substansial. Adanya keinginan agar digunakan hukum rakyat dan hukum negara, realitasnya hukum rakyat banyak yang dikalahkan, model budaya manusia abad sekarang terutama generasi-generasi kaum borjuis yang berpaham modern, kental dengan intervensi kapitalisme, condong menggunakan hukum negara daripada hukum/budaya rakyat. Budaya yang terintervensi oleh kepentingan kapitalisme yang selalu menggunakan hukum modern berdampak terhadap penegakan hukum Indonesia, yang dilakukan pada lini criminal justice system dalam penegakan hukum yang hanya mengandalkan penerapan pasal dalam meraih kepastian hukum/hanya berhukum secara linier tidak menggunakan perasaan/moral/etik. Sebagaimana penyidik polri yang menerima laporan pengaduan kasus pewarisan dan hibah yang dilaporkan pewaris sah (dalam penelitian ini) ke Polres Bekasi dengan pengaduan adanya tindak pidana pemalsuan surat, yang berakhir dinyatakan tidak cukup bukti dengan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3).
Keikutsertaan penegak hukum (polri), seyogianya penegakannya juga tidak semata terpaku oleh ketentuan legalitas formalisme (law and logic atau law and logic bound) yang bersifat linier tapi lebih melihat kenyataan/ realitas masyarakat. Pelapor yang sangat minta pertolongan akan keadilan, mestinya diupayakan dengan melihat dengan cara berpikir logika dengan pola berhukum progresif, melihat hukum dengan kenyataan masyarakat. Bukan manusia (masyarakat) yang menyesuaikan hukum, tapi sebaliknya hukum yang menyesuaikan manusia. Pola berhukum progresif terfokus pada adagium “hukum untuk manusia” bukan untuk yang lain dan hukum yang benar adalah “hukum yang tidak meninggalkan manusia dan masyarakatnya, bertujuan untuk mewujudkan keadilan substantif” (Suteki, 2004: 7). Hakim berparadigma bahwa keadilan sudah diperoleh ketika telah dilaksanakan penegakan hukum secara prosedural. Kurang adanya pemahaman bahwa hanya dengan “prosedur hukum” saja, berarti hanya berupaya dalam meraih kepastian hukum dan hukum bukan hanya kepastian hukum saja tapi juga kemanfaatan dan perolehan keadilan bagi pengguna hukum. Maka perlu adanya penegakan hukum yang berpola berhukum secara progresif, yang berhukum dengan melihat manusia dan masyarakatnya demi tercapainya keadilan substantif. Mengkaji ketentuan penghibahan menurut peraturan perundang-undangan KUHPerdata Buku ke-3 Bab X bagian ke-1 sampai bagian ke-4 Pasal 1666 sampai Pasal 1693 mengatur tentang penghibahan dari pemberi hibah kepada penerima hibah dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang ini, antara lain penghibah dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, tentunya masih hidup dan cakap.
Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman)
jurnal april 2017 isi.indd 89
| 89
5/2/2017 5:04:42 PM
Penerima hibah pun cakap memenuhi syaratsyarat sebagai penerima hibah dan harta benda (rumah dan tanah) yang akan dihibahkan sudah ada. Dalam klausul tidak mengatur apakah dalam penghibahan harus diketahui ahli waris yang lain atau tidak, ternyata dalam praktik di masyarakat penghibahan tidak harus diketahui ahli waris sah yang lain dan tidak membatasi bagian ahli waris sah. Dalam praktik bebas, penghibah berhak menghibahkan seluruh harta warisannya kepada penerima hibah.
ini anak luar kawin tidak diakui menguasai harta pewaris berdasarkan surat keterangan hibah. Alhasil ketika ahli waris sah mengambil dan menduduki secara wajar harta mendiang suaminya ternyata bermasalah kepada anak luar kawin tidak diakui yang membawa bukti hibah dan melakukan pembalikan nama atas sertifikat hak milik terhadap dirinya. Hasil beberapa analisis penelitian (pada objek penelitian) realitasnya banyak kejanggalan tentang pelaksanaan penghibahan. Dari hasil penelitian pada Putusan Nomor 95/ PPT.G/2008/PN.BKS, antara lain ada kejelasan yang berbeda dari PPATS/Camat Bekasi yang terdahulu dan sekarang dari buku desa yang mencatat tentang peralihan hak atas tanah. Berbeda tentang kejelasan keberadaan kebenaran dari penghibahan. Kejelasan PPATS yang satu menyatakan bukan hibah tapi jual beli, yang lain menyatakan dari hibah. Menurut saksi desa yang akrab dan menjadi pesuruh almarhum pewaris menyatakan tidak pernah dilakukan penghibahan antara almarhum dengan anak luar kawin.
Hal demikian menjadi kendala dalam pewarisan dan rawan akan terjadinya masyarakat main hakim sendiri (eigenrichting). Lebihlebih para ahli waris yang sah, karena cara menang dalam berperkara di pengadilan hanya berdasarkan bukti (dalam hal ini hibah). Hakim tidak melakukan penyelidikan akan kebenaran akta hibah yang disodorkan tergugat dan banyak cara lain yang terkait dengan bukti (formal) di pengadilan sangat amat tidak menguntungkan pihak masyarakat (korban/ahli waris sah). Masyarakat warga tetap berprinsip dengan pendiriannya yang tulus, ikhlas, dan benar, Demikianlah produk keputusan dari cara mereka beranggapan kalau yang benar sampai berhukum prosedural penerapan pasal yang pengadilan manapun tetap menang. mengedepankan logika/rasionalitas, sehingga Surat keterangan hibah dinyatakan sebagai moral tertutup, membuat orang kejam terhadap akta hibah yang cacat karena tidak sesuai kehidupan itu sendiri. Produk hukum modern ketentuan undang-undang KUHPerdata, di mana (hukum positif) dari Eropa Barat jelas secara hibah harus diketahui oleh ahli waris yang sah moral tidak sesuai dengan budaya bangsa. (istri dan anak pewaris), dan juga pemberian Pengadilan bukan lagi tempat mengadili dalam hibah tidak melanggar bagian dari ahli waris rangka mencari keadilan tapi ajang bisnis yang yang lain. Hibah dilakukan semasa masih hidup mencari menang dan kalah (Hartono, 2011b: dan tidak boleh menghibahkan seluruh harta 41-46). Cara berhukum demikian (modern) kekayaan penghibah (yang meliputi tanah dan adalah merupakan akibat dari tidak terkavernya bangunan, contoh kasus dengan luas 4.000 kebutuhan akan kepentingan masyarakat yang m2), karena melanggar bagian ahli waris yang makin maju dan perkembangan hukumnya lain. Apalagi penghibahan berlangsung tanpa (Rahardjo, 2006: 8-11). diketahui ahli waris sah yang lain. Dalam hal 90 |
jurnal april 2017 isi.indd 90
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 79 - 97
5/2/2017 5:04:42 PM
Dari cara berhukum demikian dalam penerapan hukum hendaknya penegak hukum tidak hanya berpikir linier tapi juga menggunakan hati nurani, agar hukum mampu mengakomodir semua kepentingan masyarakatnya. Sebagaimana hukum tidak hanya telaahannya bukan hanya hukum sebagaimana yang biasa dipahami secara tradisional. Ilmu hukum dewasa ini dituntut untuk menjalankan tugas menciptakan hukum baru dalam rangka mengakomodasi semua kepentingan-kepentingan yang tumbuh dalam hubungan kemasyarakatan yang dalam perkembangannya semakin kompleks (Sidharta, 2013: 2). Demikian hukum mampu melindungi dan menyejahterakan. Seyogianya hakim dalam memutuskan perkara (penghibahan) ada upaya lain yang diselaraskan dengan kepentingan kemanusiaan, dengan mengambil jalan tengah/ mediasi memberikan hak sepantasnya kepada ahli waris sah dan juga pada anak luar kawin yang tidak diakui. Hukum tidak harus kaku namun lentur memahami harapan dari kepentingan dan realitas keberadaan masyarakat pengguna hukum dan mewujudkannya. Hukum bukan berada di ruang hampa dan berhadapan dengan sesuatu yang abstrak, namun berada dalam suatu ruangan yang nyata dan berhadapan dengan manusiamanusia (Rahayu, 2005: 14).
keinginan masyarakat yang percaya bahwa yang benar sampai pengadilan pun akan menang tanpa harus membuktikan kebenaran itu. Fenomena tersebut menyebabkan kontroversi antara hukum masyarakat/hukum rakyat dengan hukum negara. Hukum negara siapa yang dapat membuktikan secara formal dialah yang menang tanpa berpikir panjang tentang keberadaan (asal-usul) dan tidak mempertimbangkan nilai yang sebenarnya dari bukti itu. Demikian hukum formal memandang adil bagi yang mampu membuktikan, karena paradigma “keadilan” bagi pengadilan adalah kemampuan pembuktian, melaksanakan penerapan hukum secara prosedural, yang pada dasarnya paradigma prosedural ini hanyalah mencari kepastian hukum saja. Hukum tidak hanya bertujuan dalam kepastian hukum saja tapi hukum harus bermanfaat dan berkeadilan.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, perkembangan ilmu sosiologi hukum menguntungkan bagi perkembangan hukum itu sendiri. Ilmu hukum yang selalu berkembang yang selalu mengimbangi perkembangan masyarakat dan hukum harus mampu mengakomodasi semua kepentingan masyarakat dan mewujudkannya. Tanpa sosiologi hukum perkembangan hukum dalam menegakkan keadilan (dengan Sesungguhnya pengadilan lah yang mampu menggunakan hukum positif), niscaya hukum mengadili dengan adil dalam sistem peradilan tak mampu dijelaskan dalam perkembangannya formal dalam kasus hibah dan pewarisan (Rahardjo, 2005b: 7-11). sebagaimana tugas dan fungsinya (job description) pengadilan. Hanya kadang penggunaan hukum Cara-cara sosiologi hukum yang mengkritisi secara formal yang harus menempuh syarat penegakan hukum berlandaskan bahwa hukum adanya pembuktian dan pembuktinya menjadi tak mampu mewujudkan keadilan/berhukumnya menang di pengadilan tanpa pertimbangan tidak berpedoman pada pencapaian keadilan moral kemanusiaan. Bagi yang tidak mampu substantif, tidak nilai. Keadilan dianggapnya membuktikan kepemilikan, hak mewarisi menjadi sudah tercapai ketika melakukan suatu penerapan kalah. Pengadilan belum mampu mengakomodasi prosedur hukum, padahal keadilan itu ada di
Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman)
jurnal april 2017 isi.indd 91
| 91
5/2/2017 5:04:42 PM
balik prosedur hukum (Samekto, 2012: 33-345). Dengan demikian masyarakat lalu mencari hukum sendiri (eigenrichting). Idealnya penyelesaian kasus pewarisan tersebut di atas dalam perspektif hukum progresif, ahli waris sah (istri dan anak sah almarhum) dapat memperoleh haknya sebagai ahli waris. Dengan dasar kemanusiaan dalam sudut pandang etik/moral kemanusiaan, yang berangkat dari kemurnian hati/progresivitas manusia, bahwa manusia itu sebenarnya baik, penuh empati, dan kasih sayang terhadap sesamanya. Tidak adanya pertimbangan moral, ketika dalam penegakan hukum dan terjadi penyelewengan terhadap hukum yang berakibat tidak tercapainya tujuan hukum. Sebagai instrumen pencapaian tujuan hukum yang melindungi dan menyejahterakan, hukum progresif terpanggil untuk menjelaskan, mengkritisi kemudian membangun teori baru (theory building). Hukum progresif memandang bahwa hukum modern (cara hukum positif) adalah cara berhukum yang harus dipelajari, karena hal demikian kehilangan keasliannya (kealamiahannya) karena berdasarkan rasio intelektual kepentingan pembuatnya. Jika diterapkan hukum yang dipelajari tersebut tidak mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat dan mewujudkannya/tidak mampu berbuat adil (Rahardjo, 2005a: 12-13). Wajah hukum yang demikian tidak bergeser, bahkan telah mendominasi praktik hukum dan pengajaran hukum di Indonesia. Hukum dikonsepsikan sebagai undang-undang tertulis yang dibawakan oleh kaum profesionalisme (para hakim dalam lini criminal justice system dan pengacara). Secara tidak sadar kaum profesional itu telah mensosialisasikan bahwa demikianlah hukum, maka pengadilan tidak lagi sebagai 92 |
jurnal april 2017 isi.indd 92
pencari keadilan tapi lebih digunakan sebagai ajang bisnis komersial. Bahkan dinyatakan sebagai wadah pertempuran yang mencari kalah menang dalam berperkara, yang berbau materi. Jika demikian perkembangannya maka hukum tak lagi dicintai masyarakat dan tidak digunakan sebagai instrumen pencari keadilan (searching for justice) dan kebenaran (searching for thruth). Cara berhukum progresif dalam pencapaian keadilan substantif yakni dengan berhukum yang tidak meninggalkan manusia dan masyarakatnya, hakim seyogianya mampu mencari hukum sendiri demi tercapainya keadilan substantif. Berkaitan dengan perolehan pewarisan anak luar kawin yang tidak diakui secara prosedur hukum dan ahli waris yang sah (istri dan anak) hendaknya hakim di pengadilan memosisikan yang seadiladilnya, sehingga tidak terjadi konflik dengan keputusan hakim di mana ahli waris sah tidak mendapatkan bagian sama sekali (tanah dan bangunan) almarhum. Ahli waris sah dalam pandangan hukum adat, tidak lepas dari kebiasan adat dalam menyikapi pewarisan yang demikian. Dalam adat kebiasaan (di Jawa), anak yang diangkat dan dinyatakan sah jika diambil dari orang tuanya sejak lahir, diberkati dan diberi nama dianggap sebagai anak sah (karena sejak lahir) sudah diambil sebagai anak. Hak mewaris anak yang demikian sama seperti anak kandung dalam memperoleh hak mewaris (hasil penelitian peneliti dalam memandang realitas masyarakat pedesaan di Jawa Tengah dalam menyikapi anak angkat yang diangkat sejak lahir), namun tidak seperti pada realitas pewarisan dan penghibahan dalam kasus ini. Anak luar kawin tidak diakui dinyatakan menang dalam keputusan pengadilan karena mampu memperlihatkan bukti penghibahan dan menguasai seluruh harta (tanah dan bangunan) Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 79 - 97
5/2/2017 5:04:43 PM
almarhum dan menyingkirkan hak mewaris ahli bertujuan mencapai keadilan substantif. Hukum waris sah. ke depan dituntut tidak hanya melindungi, membahagiakan, dan mampu mencapai keadilan Dalam peraturan perundang-undangan bagi penggunanya, tapi lebih lagi hukum (KHUPerdata) ada mekanisme pengangkatan harus mampu mengakomodasi kepentingananak dengan menggunakan akta notaris yang kepentingan masyarakat dengan demikian dibuat di hadapan pejabat notaris (sebagai akta dibutuhkan penalaran hukum (Sidharta, 2013: orisinal), yang menghadirkan orang tua anak dan 2-4). pihak yang akan mengangkat anak (mengadopsi anak) kemudian didaftarkan ke pengadilan negeri. Berkaitan dengan Putusan Nomor 95/ Dengan keputusan pengadilan negeri maka PDT.G/2008/PN.BKS di atas, seyogianya hukum sahnya pengangkatan anak dapat dilakukan. harus mampu berbuat adil, melindungi, dan Cara berhukum proses di pengadilan dengan mekanisme sistem peradilan Indonesia dengan melalui tahapan proses (maka proses dinyatakan lama) prosedur dari menerima laporan tentang adanya suatu perkara. Kemudian penyidik yang menerima laporan mencatat semua identitas dan peristiwa yang terjadi, kemudian mengumpulkan bukti-bukti secara formal dan dilakukan penuntutan/penggugatan di pengadilan dan diadili oleh hakim yang berpedoman pada proses dengan melakukan peraturan-peraturan yang tertulis (KUHPerdata). Secara normatif warisan mendiang suaminya turun kepada anak dan istrinya, namun bisa kalah di pengadilan dengan surat akta hibah dari anak pungutnya. Secara teoritis yang demikian apakah proses pengadilan yang hanya berdasarkan aturanaturan yang tertulis dapat mengakomodasi semua kepentingan, aspirasi, dan perkembangan masyarakat. Kemudian dengan hanya menggunakan aturan apakah dapat menertibkan, mengadili masyarakat sebagaimana sedia kala (Rahardjo, 2005b: 7-11).
menyejahterakan. Ketika hukum tidak mampu berbuat demikian maka hukum tidak mampu sebagai instrumen dalam pencapaian tujuan hukum. Hasil keputusan tersebut di atas kurang mencerminkan tujuan dalam mencapai keadilan substantif dari Putusan Nomor 24591/PDT/2009 tanggal 30 Juli 2010 jo. Putusan Nomor 95/ PPT.G/2008/PN.BKS tanggal 2 September 2008. Keputusan kasasi menyatakan hal yang sama dengan keputusan Pengadilan Nomor 95/ PDT.G/2008/PN.BKS menolak permohonan kasasi penggugat dan menghukum dengan membayar seluruh biaya perkara (kasasi).
Hukum progresif berkelit dengan kemapanan yang berfondasi pada progresivitas manusia, bahwa manusia itu sebenarnya baik dan mulia, penuh empati, dan rasa kasih sayang yang tinggi kepada sesama manusia, hidup dalam kebersamaan yang tidak meninggalkan silaturahmi. Filosofi yang demikian sesuai dengan falsafah Pancasila (Hartono, 2011a: 8-9), karena memang yang demikian keinginan founding father dalam menata negara yang sesuai dengan napas jiwa dan budaya bangsa. Hukum progresif Hukum hendaknya tidak menyengsarakan, dengan cara dan logika berhukum yang progresif tapi hukum hendaknya melindungi, mengharapkan sistem hukum kembali berhukum menyejahterakan, dan membahagiakan bagi yang tidak meninggalkan kealamiahannya dengan penggunanya, demikian hukum dinyatakan cara melihat manusia dan masyarakatnya, karena Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman)
jurnal april 2017 isi.indd 93
| 93
5/2/2017 5:04:43 PM
hukum untuk manusia bukan untuk yang lain dan selalu berupaya agar tercapai keadilan substantif. Ketika hukum tidak bertujuan mencapai keadilan substantif yang menyejahterakan, melindungi, dan membahagiakan, berarti bukan hukum dan hanya komitmen ketentuan bagai huruf mati yang tidak berfungsi dan menyengsarakan manusia. Fenomena hukum positif/hukum modern perkembangannya sangat pesat sampai mendominasi bekerjanya hukum dan pengajaran pada waktu tertentu dalam penegakan hukum, akan menerima tuntutan masyarakat karena tidak mampu mewujudkan keadilan (Yusriyadi, 2004: 7). Sebagaimana pada Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS tersebut di atas, masyarakat pengguna hukum resah (penggugat istri dan anak pewaris sah), tidak nyaman, tidak ada perlindungan, dan harus menerima nasib sengsara. Padahal anak dan istri mendiang suami hidup sejahtera dengan penghasilan dan kehidupan yang mewah, kemudian harus sirna ketika suaminya meninggal dunia, harta berpindah karena tiba-tiba ada penghibahan kepada seseorang yang dilaksanakan mendiang suami ketika masih hidup. Demikianlah fenomena hukum yang tidak menguntungkan dan tidak menyejahterakan bagi anak dan istri pewaris sah dan menguntungkan bagi penerima hibah (karena mampu menunjukkan adanya bukti hibah), berdasarkan bukti saja dapat menguasai dan menerobos hak milik ahli waris sah (anak dan istri). Cara berhukum positif yang kaku, simptomatik, paradoks, dan represif hendaknya tidak membuat sengsara korban dan bangsa ini. Semua perilaku penegakan hukum yang kurang etik, kurang perikemanusiaan seakan tidak ada jalan lain menuju kesejukan hukum, bagai titik nadir yang belum ada solusinya 94 |
jurnal april 2017 isi.indd 94
(perkembangan hukum yang mengarah kepada moralitas manusia). Karena semua serba ditata dengan aturan, asli kealamiahan hamba Allah dalam menjaga jagat raya ini akhirnya diatur oleh rasionalisme manusia/diatur oleh sebatas pancaindra memandang kehidupan ini. Peraturan yang terdominasi dengan rasionalitas manusia, yang akhirnya membelenggu manusia itu sendiri. Hal-hal yang berkaitan dengan ide, filosofi yang tidak terjangkau dengan rasionalisme pancaindra manusia banyak yang tidak dilalui/dikufuri, yang sebenarnya itulah kebenaran, hakikat dari ontologi peradaban manusia sebagai hamba Allah. Akibat yang nampak dalam perkembangan peradaban manusia yang hanya menggunakan rasio dalam menyikapi hidup menjadikan manusia hamba materi yang rentan dengan sebutan sekularisme. Sekularisme adalah sebagai suatu paham, yang menganggap materi adalah satu-satunya sarana dalam menyikapi hidup dan perkaranya (Susila, 2013: 7), dengan mengandalkan materi dalam pandangan sekularisme semua perkara akan tuntas. Realitasnya pandangan ini akan kandas ketika perkara hidup yang ditanggulangi dengan materi tidak selesai, justru menjadi permasalahan baru yang semakin besar. Menyengsarakan dan sulit ditanggulangi dengan materi. Dengan pandangan rasionalitas sekularisme, hedonisme sebagai tujuan akhir. Bukankah kita sebagai manusia berketuhanan (Pancasila), melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hukum progresif Rahardjo adalah hukum yang tidak menggunakan cara berhukum secara linier semata tapi juga menggunakan perasaan, bukan hanya menggunakan IQ semata, tapi EQ dan SQ sebagai hukum yang manusiawi. Ketika jalan tersumbat, terhalang dari kepentingan
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 79 - 97
5/2/2017 5:04:43 PM
positivisme hukum yang menyengsarakan, buntu tidak ada jalan lagi untuk berhukum muncullah hukum progresif yang berkelit dari kemapanan cara berhukum modern dengan mendobrak memberi kejelasan (explanation), mengkritisi lalu menciptakan ide baru dalam pembaruan hukum. Menyikapi masalah hukum positif/ hukum modern berkembang pesat mendominasi praktik dan pengajaran hukum, sebagai praktisi, akademisi, dan para penegak hukum juga pengguna hukum hendaknya mulai merenung, introspeksi diri, untuk melakukan penata ulang (rekonstruksi). Melihat ke depan sebab hukum menata berbangsa dan bernegara juga menata hidup. Mulai dari sinilah betapa pentingnya makna hukum bagi kehidupan manusia, rekonstruksi hukum menuju kehidupan yang lebih baik. Hukum progresif adalah hukum yang lentur (flexible) dengan melihat masyarakat dan manusiamanusia yang butuh pertolongan keadilan dengan sarana hukum. Ide pola berhukum progresif yang anti kemapanan, berkelit mengkritisi kemudian membangun ide baru (theory building), sehingga tidak hanya berkutat pada hukum made in Eropa yang tidak sesuai dengan jiwa budaya (volkgeist) bangsa Indonesia (Rahardjo, 2006: 7-10). Pandangan pola berhukum progresif dalam Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS di atas, dengan menganalisis dan menjelaskan dari segi etika, kepatutan, manusiawi, dengan cara logika pun perlu dijelaskan, apakah ada ahli waris (istri dan anak sah) dari mendiang suaminya (pewaris) harus tidak menerima apapun dari harta yang ditinggalkan suaminya. Apakah wajar jika seluruh harta tanpa kecuali dihibahkan oleh almarhum (suami) kepada orang lain ketika masih hidup, dia dalam keadaan sehat jasmani rohani. Apakah dia
bangga kalau seluruh harta diserahkan ke orang lain tanpa ada dalih apapun dan kemudian hari akan menyengsarakan istri dan anaknya. Kajian pengkritisan secara logika yang timbul dari hati nurani yang mestinya harus dicakup oleh hukum itu sendiri. Dari pandangan progresivitas manusia penegak hukum seyogianya dalam menegakkan hukum harus menggunakan hati nurani, tidak hanya berhukum secara linier semata (Arief, 2001: 4-5) demi tercapainya perlindungan (defend) dan kesejahteraan (welfare). Keputusan pengadilan hendaknya memutuskan yang adil, dalam keputusan tersebut di atas dengan pertimbangan ahli waris sangat membutuhkan penghidupan dan masa depan butuh kesejahteraan dan perlindungan hukum, pertimbangan moral, walaupun secara fakta (bukti adanya hibah) penerima hibahlah yang berhak atas harta peninggalan pewaris. IV. KESIMPULAN Putusan Nomor 95/PDT.G/2008/PN.BKS tanggal 30 Juli 2010 masuk kategori hukum perdata dalam putusan hak pewarisan ahli waris sah sebagai penggugat dan menggugat anak luar kawin tidak diakui yang realitasnya mampu menguasi harta almarhum pewaris, dengan menunjukkan bukti surat keterangan hibah. Walaupun surat hibah tidak memenuhi syarat, tapi tetap keputusannya menang sampai tingkat kasasi dengan ditolaknya gugatan penggugat dan menghukum dengan sanksi pembayaran biaya perkara. Dapat disimpulkan bahwa penyelesaian konflik pewarisan akibat hibah berdasarkan hukum progresif anak luar kawin tidak diakui mampu menguasai harta pewaris, termasuk bagian ahli waris sah. Karena terbukti anak luar
Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman)
jurnal april 2017 isi.indd 95
| 95
5/2/2017 5:04:43 PM
kawin menerima hibah dari almarhum/pewaris Dominikus, R. (2013). Penyelesaian sengketa tanah adat dalam perspektif kearifan lokal pada ketika masih hidup dan surat keterangan hibah masyarakat Ngadhu Bhaga, Kabupaten Ngada dimaksud dapat dibuktikan di sidang pengadilan. – NTT. Masalah-Masalah Hukum Jilid 42(3), Dalam pandangan hukum progresif lebih melihat 9. dengan cara pandang logika berhukum progresif dengan fondasi progresivitas manusia bahwa Hartono, C.F.G.S. (1991). Politik hukum menuju satu manusia sebenarnya baik, empati, penuh rasa sistem hukum nasional. Bandung: Alumni. kasih sayang terhadap sesama. Maka pandangan hukum progresif, bahwa hukum untuk manusia ______________. (2011a). Mencari makna nilai-nilai falsafah di dalam Pancasila sebagai filsafat bukan untuk yang lain, berhukum yang baik hidup bangsa dan Negara Republik Indonesia. berhukum yang tidak meninggalkan manusia dan Forum dialog nasional bidang hukum dan non masyarakatnya. hukum yang diselenggarakan oleh BPHN,
Jakarta. Tujuan berhukum demi tercapainya keadilan substansial dan memandang hukum ______________. (2011b). Beberapa pemikiran bukan suatu institusi yang final tapi berproses tentang pembangunan sistem hukum nasional (law a process law in the making). Berangkat Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. dari pandangan hukum progresif terkait dengan peradilan waris dan hibah tersebut di atas Rahardjo, S. (1972). Hukum dalam kerangka ilmuilmu sosial dan budaya. Majalah Ilmiah seyogianya penyelesaiannya tidak meninggalkan Masalah-Masalah Hukum, 1, 23-24. etika moral kemanusiaan/menggunakan perasaan. Dengan pendekatan kemanusiaan ada rasa belas _________. (2003). Hukum responsif, perkumpulan kasihan (empati) kepada korban (anak dan istri untuk pembaruan hukum, berbasis masyarakat dan ekologis. Jakarta: HuMa. pewaris/almarhum). Seyogianya hakim mampu berbuat bijak (mampu mencari hukum) dengan _________. (2005a, April). Hukum progresif: Hukum suasana yang demikian, juga anak luar kawin yang membebaskan. Jurnal Hukum Progresif, untuk menyerahkan sebagian harta peninggalan 1(1). almarhum demi kelangsungan hidup keluarganya (almarhum), demi tercapai keadilan antar pihak. _________. (2005b, Oktober). Pendekatan holistik terhadap hukum. Jurnal Hukum Progresif, 1(2).
_________. (2006, April). Hukum progresif: Hukum yang membebaskan. Jurnal Hukum Progresif, 1(1), 23-24.
DAFTAR ACUAN Arief, B.N. (2001). Masalah penegakan hukum &
kebijakan
penanggulangan
kejahatan.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti. _________. (2012). Mediasi Penal Penyelsaian Perkara Pidana di Luar pengadilan, Pustaka Magister Semarang.
96 |
jurnal april 2017 isi.indd 96
_________. (2007, Oktober). Hukum progresif berdamai
dengan
alam.
Jurnal
Hukum
Progresif, 3(2), 7. _________. (2009). Pendidikan hukum sebagai pendidikan
manusia.
Yogyakarta:
Genta
Publishing.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 79 - 97
5/2/2017 5:04:43 PM
_________.
(2010).
menemukan
Mengajarkan
keteraturan Pidato
ketidakteraturan.
mengakhiri jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum, UNDIP, Semarang. Rahayu, E.W.P. (2005). Pranata hukum sebuah telaah sosiologis. Semarang: PT Suryandaru Utama. Samekto,
F.X.A.
Ilmu
(2012).
perkembangan modernisme.
pemikiran Bandar
hukum
dalam
menuju
post-
Lampung:
Indepth
Publishing. Sidharta. (2013). Hukum penalaran dan penalaran hukum. Yogyakarta: Gentha Publishing. Susila, S. (2013). Sekularisme sebagai penjahat sekaligus pendusta agama. Forum Pengkajian Pitulasan Banyumanik Semarang. Suteki.
(2004,
Agustus
Kebijakan
4).
tidak
menegakkan hukum (Non enforcement of law), demi pemuliaan keadilan substansif. Pidato Pengukuhan. Semarang. Wignjosoebroto, S. (2012). Hukum yang tak kunjung tegak: Apa yang salah dengan kerja penegakan hukum di negeri ini? Dalam Dialektika Pembaharuan
Sistem
Hukum
Indonesia.
Jakarta: Komisi Yudisial RI. Yusriyadi. (2004). Polisi dan aspek penegak hukum secara sosiologis. Jurnal Hukum Progresif, 4(1).
Penyelesaian Konflik Pewarisan Akibat Hibah Berdasarkan Hukum Progresif (Poniman)
jurnal april 2017 isi.indd 97
| 97
5/2/2017 5:04:43 PM
jurnal april 2017 isi.indd 98
5/2/2017 5:04:43 PM
MENIMBANG PRINSIP ”DUTY OF CARE”: ‘PEMBELI’ MELAWAN ‘PEMBELI’ DALAM SENGKETA JUAL BELI TANAH Kajian Putusan Nomor 99/Pdt.G/2014/PN.Bwi; Putusan Nomor 230/PDT/2015/PT.SBY; dan Putusan Nomor 952/K/Pdt/2016
CONSIDERING THE ‘DUTY OF CARE’ PRINCIPLE: ‘BUYER’ VERSUS ‘BUYER’ IN THE DISPUTE OF LAND SALE AND PURCHASE An Analysis of Court Decisions: Number 99/Pdt.G/2014/PN.Bwi; Number 230/PDT/2015/PT.SBY; and Number 952/K/Pdt/2016 Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi Fakultas Hukum Universitas Mataram Jl. Majapahit 62 Mataram, NTB 83114 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 6 Maret 2017; revisi: 28 Maret 2017; disetujui: 29 Maret 2017 ABSTRAK Sengketa jual beli tanah dalam perkara ini menyeret pihak penjual yang telah menjual objek yang sama kepada dua pembeli dalam dua kali transaksi. Pembeli kedua (penggugat) melayangkan gugatannya terhadap pembeli pertama (tergugat II). Posisi hukumnya dilematis. Kedua pembeli sama-sama merasa mempunyai hak atas tanah sengketa karena telah membeli objek yang sama dari penjual. Untuk membuktikan siapa pembeli yang berhak, hakim perlu mempertimbangkan asas “iktikad baik” (good faith), sebagai dasar untuk menentukan pembeli yang patut mendapat perlindungan hukum. Permasalahannya, kedua pembeli sama-sama mengklaim dirinya adalah pembeli yang beriktikad baik. Sehingga, untuk menilai siapa pembeli yang patut mendapat perlindungan hukum, hakim berpegangan pada prinsip duty of care, dengan mempertimbangkan siapa pembeli yang berhati-hati dan cermat memeriksa data yuridis dan data fisik sebelum dan saat jual beli dilakukan. Prinsip duty of care ini bersifat abstrak, maka metode penulisan yang digunakan, menelusuri dan mengkaji pendapat para ahli hukum perdata dan agraria untuk didialogkan
dengan putusan-putusan hakim. Perkembangan putusanputusan pengadilan mengenai pembeli beriktikad baik yang mengadopsi prinsip duty of care, seharusnya menjadi ‘pegangan’ para hakim dalam menangani kasus yang serupa, untuk menilai kapan pembeli dikategorikan sebagai pembeli beriktikad baik. Kata kunci: iktikad baik, perlindungan hukum, duty of care, data yuridis dan fisik.
ABSTRACT The dispute of land sale and purchase in this case drag the seller who had sold the same object to two buyers in two transactions. The second buyer (plaintiff) filed a lawsuit against the first buyer (defendant II). Its legal standing created a dilemma. Both buyers felt equally entitled to be the owner of the disputed land, which is the same object purchased from the seller. In providing evidence of the most eligible buyer, the judge should take into consideration the principle of “good faith” as the basis for determining the buyer deserving legal protection. The problem is that both buyers claimed
Menimbang Prinsip “Duty of Care”: ‘Pembeli’ Melawan ‘Pembeli’ (Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi)
jurnal april 2017 isi.indd 99
| 99
5/2/2017 5:04:43 PM
that they were buyers of good faith. Therefore, to appraise which buyer deserving the legal protection, the judges adhered to principle of “duty of care” by taking into account which one of them was carefully and meticulously reading-through the juridical and physical data prior to and during the sale and purchase of the land was conducted. Given the abstract nature of the principle of “duty of care,” the analysis method used in this discussion is exploring and studying the opinions of
the experts of civil and agrarian law as to be juxtaposed with the decisions of the judges. The development of court decisions related to the issue of good faith buyers adopting the principle of “duty of care” should serve as a reference for the judges in handling similar cases to determine a good faith buyer.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam gugatannya, selain menuntut kedua objek sengketa diserahkan kepada penggugat, juga menuntut kerugian yang dideritanya akibat perbuatan para tergugat, di mana selama kurang lebih delapan bulan sejak jual beli dilaksanakan, penggugat tidak kunjung bisa menguasai dan menikmati hasil dari tanah yang diperjualbelikan. Bila tanah tersebut disewakan kepada pihak lain, penggugat akan menerima penghasilan sebesar kurang lebih Rp50 juta. Di samping akibat perbuatan tersebut, penggugat juga harus mengeluarkan berbagai macam bentuk biaya yang besarnya mencapai Rp50 juta sehingga menuntut para tergugat untuk membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar Rp100 juta (Putusan Nomor 952/K/Pdt/2016).
Kasus bermula pada tanggal 21 Oktober 2013, penggugat (pembeli kedua) telah membeli dua bidang tanah sawah berikut tanaman jeruk yang tumbuh dan berdiri di atasnya kepada tergugat III, berdasarkan akta jual beli yang dibuat oleh notaris/ PPAT. Dua bidang tanah sawah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 505 dengan luas ± 2.455 m² dan SHM Nomor 1506 dengan ± 925 m² terletak di Desa Cluring, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, telah dibayar lunas oleh penggugat kepada tergugat III, sehingga sertifikat kedua objek tersebut telah dibalik nama atas nama penggugat (Putusan Nomor 952/K/Pdt/2016). Penggugat dalam gugatannya mendalilkan, meskipun kedua objek telah balik nama atas nama penggugat, sampai gugatan diajukan ke pengadilan, penggugat tidak pernah bisa menguasai kedua objek tanah tersebut, karena objek sengketa dikuasai oleh tergugat I atas suruhan tergugat II (pembeli pertama). Penggugat telah mempertanyakan hal tersebut kepada tergugat III selaku penjual, namun ternyata tergugat III tidak dapat berbuat banyak dan tergugat I tetap tidak mau menyerahkan objek sengketa kepada penggugat.
100 |
jurnal april 2017 isi.indd 100
Keywords: good faith, legal protection, duty of care, juridical and physical data.
Menurut jawaban tergugat II, sebelum tergugat III menjual dua bidang objek sengketa, tergugat III terlebih dahulu telah menjual kepada SW. Selanjutnya, sebelum SW melakukan peralihan atau balik nama, telah dijual kembali kepada tergugat II dengan sepengetahuan dari tergugat III. Tergugat II mengaku menguasai objek sengketa dan menanami tanaman jeruk. Atas alasan-alasan itu, tergugat II mengklaim dirinya sebagai pembeli beriktikad baik (Putusan Nomor 952/K/Pdt/2016).
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 99 - 114
5/2/2017 5:04:43 PM
Fakta-fakta yuridis yang muncul dalam persidangan di pengadilan tingkat pertama, sebagai berikut (Putusan Nomor 99/Pdt.G/2014/ PN.Bwi): 1.
Penggugat mendalilkan bahwa penggugat memiliki hak atas dua bidang tanah sawah berikut tanaman jeruk yang tumbuh dan berdiri di atasnya yang dibeli penggugat dari tergugat III sebagaimana Akta Jual Beli Nomor 1655/JB/X/2013 tanggal 21 Oktober 2013 dan Akta Jual Beli Nomor 1656/JB/X/2013 tanggal 21 Oktober 2013 yang dibuat oleh notaris/PPAT (vide bukti P-1 dan P-2);
2. Tergugat II membantah dalil gugatan penggugat. Menurut versi tergugat II, tidak benar pada saat terjadinya transaksi jual beli antara penggugat dengan tergugat III tanah objek perkara bebas dari sengketa, karena objek tanah yang dijualbelikan tersebut telah ada hak tergugat II terlebih dahulu yang diperoleh tergugat II dengan cara membeli dari SW, berdasarkan kuitansi pembayaran tanggal 20 Desember 2012 (vide T2-1) dan kuitansi pembayaran tanggal 29 Desember 2012 (vide T2-2) dan tidak di hadapan perangkat desa; 3.
4.
dan tergugat II memberikan sejumlah uang kepada tergugat III untuk membantu proses balik nama tersebut (vide T2-4 dan T2-5); 5.
Tergugat II melakukan pembayaran pajak atas tanah sengketa sejak tahun 2012 sampai 2014 (vide T2-6 dan T2-7).
Hakim dalam pertimbangannya, menilai bahwa penggugat telah dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya yakni, telah melakukan transaksi jual beli atas objek perkara secara sah yang dilakukan di hadapan PPAT, dan sudah melalui prosedur hukum yang sah, sehingga terbit SHM dari nama tergugat III dibaliknamakan menjadi nama penggugat. Sebaliknya, transaksi-transaksi atas tanah objek sengketa yang telah dilakukan tergugat II dengan SW, demikian pula antara SW dengan tergugat III, tidak memenuhi syarat untuk sahnya suatu transaksi atas tanah, karena tidak terpenuhi unsur “terang” dalam perbuatan hukum transaksi atas tanah terperkara, sehingga tergugat II dipandang telah bertindak ceroboh (kurang hati-hati) dalam melakukan transaksi atas tanah tersebut, oleh karena itu tidak patut mendapat perlindungan hukum.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Banyuwangi telah menjatuhkan Putusan Bahwa ketika tanah dijual oleh tergugat Nomor 99/Pdt.G/2014/PN.Bwi tanggal 17 III kepada SW, sertifikatnya masih belum Desember 2014, sebagai berikut: keluar dari Badan Pertanahan Nasional, 1. Menyatakan penggugat sebagai pemilik sehingga di dalam surat pernyataan jual yang sah dari dua objek sengketa (SHM beli tanah tanggal 29 Desember 2012 Nomor 1506 dan SHM Nomor 1505); antara SW dengan tergugat II disebutkan menyerahkan kedua bidang tanah kepada 2. Menghukum tergugat II dan tergugat III tergugat II untuk melakukan proses balik atau siapa saja yang mendapatkan hak nama kepada tergugat III (vide bukti T2-3); daripadanya untuk menyerahkan objek Bahwa dua bidang tanah yang dibeli akan diproses balik nama kepada tergugat III
sengketa (SHM Nomor 1506 dan SHM Nomor 1505);
Menimbang Prinsip “Duty of Care”: ‘Pembeli’ Melawan ‘Pembeli’ (Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi)
jurnal april 2017 isi.indd 101
| 101
5/2/2017 5:04:43 PM
3.
Menghukum tergugat III untuk membayar 1. Bagaimana hakim menilai pembeli ganti rugi kepada penggugat secara yang berhati-hati yang patut mendapat langsung dan seketika sejumlah Rp75 juta; perlindungan hukum?
4. Menghukum tergugat II dan tergugat 2. Kapan pembeli dapat dikategorikan III untuk membayar uang paksa sebesar beriktikad baik berdasarkan prinsip duty of Rp100.000,- untuk setiap harinya jika care? ternyata tergugat II dan tergugat III lalai dan atau terlambat melaksanakan putusan C. Tujuan dan Kegunaan pengadilan setelah perkara ini mendapatkan Berdasarkan rumusan masalah tersebut, putusan pengadilan yang berkekuatan tujuan dari penulisan ini adalah bagaimana menilai hukum tetap. pembeli yang patut mendapat perlindungan Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi hukum dengan mempertimbangkan prinsip duty Surabaya dengan Putusan Nomor 230/PDT/2015/ of care sebagai dasar untuk menentukan siapa PT.SBY tanggal 14 Juli 2015, menguatkan pembeli beriktikad baik, terutama ketika terjadi putusan pengadilan negeri tersebut. Tergugat II sengketa antara sesama pembeli dalam perkara kemudian mengajukan kasasi. Dalam memori berobjek tanah. kasasinya, tergugat II mengajukan argumentasi Kegunaan penulisan ini, untuk memberikan yang intinya berpegangan pada asas oportunitas, yakni hukum seharusnya memberi prioritas sumbangan pemikiran mengenai dinamika dan perlindungan kepada pihak yang terlebih dahulu perkembangan penafsiran hakim mengenai membeli suatu objek tertentu dibanding pihak lain pembeli beriktikad baik, khususnya menggunakan yang belakangan membeli objek yang sama. Di prinsip duty of care sebagai dasar pertimbangan tingkat kasasi, Mahkamah Agung dalam Putusan dalam menentukan pembeli beriktikad baik yang Nomor 952/K/Pdt/2016 menolak permohonan patut mendapat perlindungan hukum. kasasi dari para pemohon kasasi (tergugat I dan D. Tinjauan Pustaka tergugat II) tersebut. B.
Rumusan Masalah
Dalam sengketa jual beli tanah antara ‘pembeli’ melawan ‘pembeli,’ kunci untuk menilai siapa pembeli yang berhak dan patut mendapat perlindungan hukum, adalah dengan membuktikan iktikad baik pembeli. Permasalahannya, asas iktikad baik bersifat abstrak, sehingga untuk membuktikannya adalah melihat upaya yang telah dilakukan pembeli berdasarkan prinsip kehati-hatian (duty of care), maka rumusan masalah sebagai berikut: 102 |
jurnal april 2017 isi.indd 102
1.
Asas Iktikad Baik dan Duty of care
Asas hukum adalah jiwanya hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya (ratio legis) peraturan hukum dan putusan hakim (Rahardjo, 1986: 85). Meski asas hukum bukan peraturan hukum, tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Sebagai jiwa hukum, asas hukum ini memberi makna etis kepada peraturan hukum dan putusan pengadilan. Karena itu, sebelum mengkaji lebih jauh putusan hakim mengenai putusan perkara sengketa pembeli yang mengklaim beriktikad Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 99 - 114
5/2/2017 5:04:43 PM
baik, maka perlu terlebih dahulu menelusuri dan memperjelas asas iktikad baik dan duty of care.
melekat pada barang yang dibelinya itu (Hernoko, 2008: 25).
Doktrin iktikad baik dalam hukum Romawi berasal dari doktrin ex bona fides. Doktrin yang mensyaratkan adanya iktikad baik dalam kontrak ini memiliki sejarah yang panjang dalam perkembangan hukum Romawi, yang apabila dilacak akarnya, dipengaruhi oleh etika Yunani klasik (Ikonomi & Zyberaj, 2013: 481). Konsep ide tentang iktikad baik (kejujuran dan kepatutan) dalam perjanjian, tentu juga hidup pada masyarakat Indonesia.
Secara umum, asas iktikad baik cenderung dihubungkan dengan prinsip duty of care, misalnya pertanggungjawaban direksi dalam hukum perusahaan (Bishop, 2007), hukum kontrak (Forte, 1999), dan menentukan lingkup kelalaian dalam perbuatan melawan hukum (Bayles, 1987).
Syarat seorang pembeli yang beriktikad baik, agar mendapatkan perlindungan hukum harus dilihat dari dua aspek, yaitu: pertama, aspek subjektif, bahwa pembeli harus jujur; kedua, aspek objektif, bahwa para pihak harus melaksanakan kewajibannya secara patut (Yee, 2015: 221). Dari hasil studi literatur “pembeli yang beriktikad baik” ditafsirkan sebagai “pembeli yang jujur, tidak mengetahui cacat cela terhadap barang yang dibeli” (Putro, et.al., 2016). Pendapat tersebut dapat ditemui, antara lain, dalam literatur berikut ini:
Khusus untuk jual beli benda tidak bergerak terdaftar, misalnya tanah, tentu prinsip duty of care menjadi pertimbangan untuk menentukan adanya iktikad baik dari pihak pembeli. Namun di Indonesia, tidak banyak literatur yang menghubungkan pembeli beriktikad baik dengan prinsip duty of care dalam jual beli tanah. Pada awalnya, misalnya pemikiran Subekti dan Harsono, tidak menyinggung adanya suatu kewajiban bagi seorang pembeli untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Sedangkan, dalam perkembangannya kemudian, penulis yang mengangkat prinsip kehati-hatian dalam jual beli tanah dapat dilihat dari karya Santoso (Santoso, 2015), meski menjelaskan secara sumir mengenai prinsip kehati-hatian dalam jual beli tanah.
a.
Pembeli yang beriktikad baik diartikan Santoso, dengan merujuk pada pendapat pembeli yang sama sekali tidak mengetahui Hutagalung, berpendapat bahwa seorang calon bahwa ia berhadapan dengan orang yang pembeli dapat dikatakan beriktikad baik, sebenarnya bukan pemilik (Subekti, 2014: apabila sebelum membeli tanah meneliti dahulu 15). keabsahan dari pemilik tersebut. Dalam hal ini, b. Pembeli yang beriktikad baik adalah peran dari PPAT sebagai pembantu penyelenggara seseorang yang membeli barang dengan pendaftaran tanah menjadi sangat penting. penuh kepercayaan bahwa si penjual benar- Seseorang dapat dikatakan memperoleh tanah benar pemilik dari barang yang dijualnya dengan iktikad baik, apabila ia memperoleh tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangitu (Khairandy, 2004: 194). undangan yang berlaku, tidak menyerobot, atau c. Pembeli yang beriktikad baik adalah orang tidak menduduki tanah milik orang lain, lalu yang jujur dan tidak mengetahui cacat yang diterbitkan patuk pajak bukti/landrente, girik,
Menimbang Prinsip “Duty of Care”: ‘Pembeli’ Melawan ‘Pembeli’ (Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi)
jurnal april 2017 isi.indd 103
| 103
5/2/2017 5:04:43 PM
pipil, kekitir, atau kutipan letter C oleh kepala bagi para pihak yang berkaitan dengan pokok desa/kepala kelurahan (Santoso, 2015: 174-175). yang dinegosiasikan itu. Sehubungan dengan hal ini, putusan-putusan Hoge Raad menyatakan, Selanjutnya, Khairandy mengembangkan bahwa para pihak yang bernegosiasi masingpengertian iktikad baik, tidak hanya digantungkan masing memiliki kewajiban iktikad baik, yakni pada ketidaktahuan pembeli terhadap cacat cela kewajiban untuk meneliti (onderzoeksplicht) barang yang diperjualbelikan, melainkan melihat dan kewajiban untuk memberitahukan atau kewajiban-kewajiban para pihak dalam transaksi menjelaskan (mededelingsplicht) (Khairandy, jual beli tanah yang harus dipenuhi,misalnya 2013: 150). secara memadai dan patut meneliti data yuridis dan data fisik sebelum dan saat jual Terkait negosiasi dalam jual beli rumah, beli dilakukan. Menurut Khairandy, seseorang misalnya, orang yang akan membeli rumah dapat dikategorikan sebagai pembeli beriktikad tersebut wajib meneliti apakah rencana resmi baik, ketika dia memenuhi prinsip kehati-hatian mengenai rumah itu, seperti rencana pencabutan (duty of care) dalam melakukan transaksi atau hak milik. Jika dia tidak melakukan kewajiban negosiasi. Prinsip duty of care ini merupakan tersebut, ternyata hak milik atas tanah tersebut pengembangan dari yurisprudensi di Belanda, dicabut, maka dia tidak dapat menuntut walaupun tidak dijumpai satu ketentuan dalam pembatalan kontrak, karena adanya kesesatan. BW (Baru) yang mengatur kewajiban umum Di pihak lain, penjual memiliki kewajiban iktikad baik dalam hubungan prakontrak, tetapi untuk menjelaskan semua informasi yang dia yurisprudensi telah mengakui adanya kewajiban ketahui dan penting bagi pembeli. Kalau dia tersebut (Khairandy, 2013: 149-150). telah menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada rencana resmi yang demikian itu, pembeli dapat mempercayai pernyataan itu, dan pembeli Prinsip duty of care ini telah berkembang itu tidak perlu meneliti lagi. Hakim harus dan menjadi yurisprudensi di Belanda, walaupun mempertimbangkan kewajiban-kewajiban itu tidak dijumpai satu ketentuan dalam BW (Baru) satu dengan lainnya dengan ukuran iktikad baik. yang mengatur kewajiban umum iktikad baik Iktikad baik dalam prakontrak mewajibkan dalam hubungan prakontrak, tetapi yurisprudensi para pihak untuk menjelaskan dan meneliti fakta telah mengakui adanya kewajiban tersebut. Di material dari objek tanah yang menjadi transaksi Belanda, dalam perkara Baris v. Riezenkampt, jual beli. Dijelaskan bahwa kasus-kasus yang ada HR 15 November 1957, NJ 1958, 67, Hoge Raad didominasi oleh perkara yang berkaitan dengan memutuskan bahwa hubungan hukum prakontrak jual beli dan berkaitan pula dengan peralihan merupakan suatu hubungan hukum yang dikuasai hak. Dari sisi ini, sesungguhnya permasalahaniktikad baik (een rechtsverhouding die door de permasalahan tersebut dapat didekati dari sisi geode trouw beheerst wordt) (Khairandy, 2013: iktikad baik yang bersifat subjektif dalam 150). peralihan hak yang diatur Pasal 530-537 (bezit Iktikad baik pada tahap prakontrak dengan iktikad baik) dan Pasal 1386 KUHPerdata merupakan kewajiban untuk memberitahukan (pembayaran dengan iktikad baik) (Khairandy, atau menjelaskan dan meneliti fakta material 2013: 162). 2.
104 |
jurnal april 2017 isi.indd 104
Duty of Care dalam Putusan Pengadilan
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 99 - 114
5/2/2017 5:04:43 PM
Perkembangan awal pemaknaan asas iktikad baik di Indonesia, lebih melihat pada ketidaktahuan pembeli terhadap cacat cela peralihan hak dibanding menekankan upaya kehati-hatian pembeli sebelum dan saat jual beli dilakukan. Misalnya, terlihat dalam perkara Andrianus Hutabarat dan ST. Osman Hutabarat v. Kristian Situmeang dan Heini Panjaitan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 242 K/Sip/1958 tanggal 5 November 1958. Di sini ukuran atau standar iktikad baik didasarkan pada kejujuran pihak penjual karena melakukan transaksi di depan kepala kampung. Mahkamah Agung menyimpulkan bahwa jika pembeli (tergugat) tidak mengetahui adanya cacat hukum tersebut, maka ia adalah pembeli yang beriktikad baik. Jika dikaitkan dengan Pasal 531 KUHPerdata, seseorang pembeli yang dapat dikatakan beriktikad baik manakala ia memperoleh kebendaan dengan cara memperoleh hak milik di mana ia tidak mengetahui adanya cacat hukum yang terkandung di dalamnya. Pandangan hakim yang sama juga diberikan dalam perkara Nyi Hajiami, Nyi Siti, dan Nyi Anti v. Ahud dan Mardjuk, Putusan Mahkamah Agung Nomor 120 K/SIP/1957 tanggal 10 Januari 1957. Khairandy mengatakan, hakim dalam perkara-perkara ini tidak menelusuri lebih lanjut apakah pembeli juga sedemikian rupa telah melakukan kewajiban meneliti fakta material yang berkaitan dengan transaksi yang bersangkutan. Dengan penelusuran ini akan dapat diketahui apakah pembeli setelah meneliti fakta material yang berkaitan dengan transaksi yang ada, ternyata betul-betul tidak mengetahui cacat hukum, sehingga dia dapat dikategorikan sebagai pembeli yang beriktikad baik. Apabila setelah mengetahui adanya cacat tersebut, tetapi tetap juga membeli tanah tersebut, maka dia adalah
pembeli yang beriktikad buruk (Khairandy, 2013: 163). Dari kasus-kasus tersebut, Khairandy ingin menegaskan bahwa untuk menentukan apakah pembeli beriktikad baik (good faith) atau beriktikad buruk (bad faith) dalam transaksi jual beli tanah dapat dipergunakan kriteria: jika setelah membaca surat jual beli tanah, pembeli menemukan keterangan di dalamnya yang isinya saling bertentangan satu sama lainnya, sehingga menimbulkan kecurigaan atau keragu-raguan siapa sebenarnya pemilik tanah yang menjadi objek jual beli ini, pembeli seharusnya meneliti masalah tersebut. Bilamana tidak, bahkan transaksi terus dilanjutkan, padahal kemudian ternyata tanah tersebut bukan milik penjual, maka pembeli yang demikian ini termasuk pembeli yang beriktikad buruk (bad faith) dan tidak akan dilindungi oleh hukum. Adanya keterangan yang saling bertentangan seharusnya mendorong pembeli untuk meneliti fakta material tersebut. Seharusnya, penekanan kewajiban tidak hanya dikaitkan dengan keragu-raguan seperti yang muncul dalam perkara, tetapi kewajiban itu ditekankan pada setiap transaksi yang dilakukan pembeli (Khairandy, 2013: 165). Dari penjelasan di atas, pembuktian iktikad baik subjektif yang disamakan dengan kejujuran, tidak ada unsur tipu daya dan tidak mengambil keuntungan dengan cara merugikan orang lain bisa diukur melalui terpenuhinya prinsip kehatihatian oleh kedua belah pihak, di mana penjual harus menjelaskan fakta material dan pembeli harus melakukan penelitian terhadap tanah yang menjadi objek transaksi jual beli. Oleh karena itu, seorang pembeli yang tidak melakukan penelitian terlebih dahulu mengenai tanah yang menjadi objek transaksi jual beli, akan dikategorikan sebagai pembeli yang tidak beriktikad baik.
Menimbang Prinsip “Duty of Care”: ‘Pembeli’ Melawan ‘Pembeli’ (Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi)
jurnal april 2017 isi.indd 105
| 105
5/2/2017 5:04:43 PM
Selain penjual, dalam perjanjian jual beli tanah, pembeli juga memiliki kewajibankewajiban. Pertama, dia wajib membayar harga sesuai dengan kesepakatan. Kedua, dia juga wajib melakukan usaha yang patut meneliti terkait dengan objek transaksi, yaitu berusaha untuk mengetahui kepemilikan yang sah dari tanah yang diperjualbelikan. Oleh karena itu, apabila seorang pembeli tidak melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap tanah yang menjadi objek transaksi jual beli, maka dia dianggap sebagai pembeli yang beriktikad buruk. Sehingga, apabila ada gugatan dari seorang pemilik asal, dia tidak mendapat perlindungan hukum. Sebagai perbandingan, terdapat dua putusan pengadilan yang serupa dengan kasus yang dibahas tetapi saling berseberangan, yakni Putusan Nomor 3070 K/Pdt/2003 dan Putusan Nomor 744 K/Pdt/2008. Dalam kasus penjual bukan pihak yang berhak menjual, maka dalam Putusan Nomor 3070 K/Pdt/2003, dipertimbangkan “jual beli tanah yang dilakukan dua kali, maka jual beli yang kedua harus dinyatakan tidak sah, karena pada waktu jual beli kedua itu pihak penjual tidak lagi sebagai pemilik atas tanah yang dijual tersebut.” Sementara, dalam sejumlah putusan yang serupa dengan sengketa di atas adalah Putusan Nomor 744 K/Pdt/2008. Jual beli tanah, misalnya di bawah tangan atau menurut ketentuan hukum adat adalah bersifat terang dan tunai. Terang berarti jual beli harus disaksikan publik atau pemangku adat, yang tentunya diharapkan mengetahui segala persoalan tanah di wilayahnya. Di dalam Putusan Nomor 744 K/Pdt/2008, dipertimbangkan bahwa “walaupun tergugat lebih dahulu membeli tanah sengketa, namun karena tidak disaksikan pejabat, maka jual beli tersebut tidak sah.” Artinya, lembaga peradilan tidak dapat memberi perlindungan terhadap pembeli tanpa 106 |
jurnal april 2017 isi.indd 106
disaksikan oleh pejabat pemerintah atau pejabat adat. Ia dianggap pembeli sembunyi-sembunyi, dan tidak beriktikad baik. Dua putusan di atas jelas saling bertentangan. Apabila dikaitkan dengan kajian pokok tulisan ini (Putusan Nomor 99/Pdt.G/2014/PN.Bwi, Putusan Nomor 230/PDT/2015/PT.SBY, dan Putusan Nomor 952/K/Pdt/2016), maka Putusan Nomor 3070 K/Pdt/2003 yang berpendapat, jual beli tanah yang dilakukan dua kali, maka jual beli yang kedua harus dinyatakan tidak sah, tentu lebih menguntungkan posisi tergugat II. Sedangkan, Putusan Nomor 744 K/Pdt/2008 yang berpendapat walaupun tergugat lebih dahulu membeli tanah sengketa, namun karena tidak disaksikan pejabat maka jual beli tersebut tidak sah, jelas menguntungkan posisi penggugat. Artinya putusan-putusan pengadilan sendiri di atas, masih menunjukkan perbedaan yang ‘menganga’ dalam menilai, kapan seorang pembeli dikategorikan beriktikad baik. Sejauh ini, Mahkamah Agung sebenarnya telah mencoba untuk merumuskan perlindungan pembeli beriktikad baik, melalui kesepakatan rapat pleno kamar perdata yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012. Di dalam butir IX dirumuskan bahwa: “perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang iktikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (objek jual beli tanah); pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak.” Hal serupa juga berlaku bagi pemegang hak tanggungan yang beriktikad baik, di mana disebutkan pula di dalam butir VIII bahwa: “pemegang hak tanggungan yang beriktikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak.” Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 99 - 114
5/2/2017 5:04:43 PM
Dalam kesepakatan-kesepakatan rapat b. pleno kamar perdata selanjutnya, sebagaimana dilampirkan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2016 yang menyempurnakan SEMA Nomor 5 Tahun 2014, kriteria pembeli yang beriktikad baik telah lebih diperjelas lagi oleh Mahkamah Agung, dengan kriteria sebagai berikut (dikutip sebagaimana aslinya): a. Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu: •
•
•
Pembelian tanah melalui pelelangan umum, atau; Pembelian tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah), atau; Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu: i. dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui kepala desa/lurah setempat). ii. didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.
•
Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, antara lain: •
Penjual adalah orang yang berhak/ memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya, atau;
•
Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita, atau;
•
Tanah/objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan, atau;
•
Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.
Penelusuran putusan-putusan pengadilan dalam sengketa jual beli yang mempertimbangkan prinsip duty of care, tidak banyak ditemukan dalam putusan. Meski Mahkamah Agung sebenarnya sudah mulai mempertimbangkan prinsip duty of care, secara implisit misalnya, terlihat dalam Putusan Nomor 4340 K/Pdt/1986 dan Putusan Nomor 1816 K/Pdt/1989. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung selain membebankan kewajiban penjual untuk menjelaskan fakta material, pembeli juga harus memiliki kewajiban untuk meneliti fakta material yang berkaitan dengan transaksi tersebut. Kedua putusan itu, pada dasarnya menekankan prinsip kehati-hatian, pembeli untuk tidak begitu saja percaya penjelasan penjual, melainkan juga harus bertindak secara memadai dan patut mencari tahu, mencermati, dan meneliti terlebih dahulu, sebelum dan saat jual beli tanah dilakukan (Putro, 2016: 89).
Menimbang Prinsip “Duty of Care”: ‘Pembeli’ Melawan ‘Pembeli’ (Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi)
jurnal april 2017 isi.indd 107
| 107
5/2/2017 5:04:43 PM
II.
METODE
Setiap perundang-undangan dan putusan yang dibuat tidak lahir dari ruang hampa, melainkan juga didasari sejumlah asas atau prinsip dasar. Berangkat asumsi tersebut, penulis perlu menyelami asas-asas atau prinsip dalam kaidah, karena asas-asas ini mengandung tuntutan etis yang menjembatani antara peraturan perundangan dengan penafsiran hakim dalam putusannya. Tulisan ini berusaha mendialogkan putusan hakim mengenai pembeli yang beriktikad baik dengan asas-asas dalam hukum perdata dan hukum agraria terutama terkait asas iktikad baik dan duty of care dalam jual beli berobjek tanah. Karena asas iktikad baik dan duty of care ini bersifat abstrak, penulis perlu mengkaji dan menelusuri pendapat para ahli hukum perdata yang ditulis dalam buku, jurnal, hasil penelitian, dan artikel ilmiah lainnya terkait dengan asasasas tersebut. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembeli kedua (penggugat) melawan pembeli pertama (tergugat II) dalam sengketa jual beli tanah, karena objek yang sama dijual dua kali oleh penjual. Posisi hukumnya dilematis, kedua pembeli sama-sama merasa mempunyai hak atas tanah sengketa karena telah membeli objek yang sama dari penjual. Dalam sengketa pembeli pertama melawan pembeli kedua, menurut ilmu pasti (eksak), tentu pembeli pertama yang berhak, karena ketika objek dijual untuk yang kedua kali, penjual sesungguhnya sudah tidak berhak, karena objek telah beralih kepada pembeli pertama. Tetapi, karena objek sengketa adalah tanah, benda tidak bergerak yang terdaftar, analisis masalahnya menjadi tidak sesederhana rumus 108 |
jurnal april 2017 isi.indd 108
matematika, bahwa pembeli yang pertama pasti yang berhak. Ilmu hukum memang bukan ilmu pasti. Hakim perlu menilai iktikad baik pembeli, terutama upaya kehati-hatian pembeli, sehingga pada akhirnya nanti dapat dipertimbangkan, siapa pembeli yang beriktikad baik yang patut mendapat perlindungan hukum dan berhak atas kepemilikan tanah objek perkara tersebut. Kembali ke konteks sengketa pembeli pertama (tergugat II) melawan pembeli kedua (penggugat), yakni dalam Putusan Nomor 99/ Pdt.G/2014/PN.Bwi, Putusan Nomor 230/ PDT/2015/PT.SBY, dan akhirnya berkekuatan hukum tetap pada Putusan Nomor 952/K/ Pdt/2016. Hakim pada pengadilan tingkat pertama mempertimbangkan bahwa jual beli tanah sebagai suatu benda tidak bergerak, peralihan hak (jual belinya) diatur secara limitatif dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sehingga, syarat sahnya peralihan hak atau alas hak jual beli atas suatu tanah, selain harus dikaji dengan memperhatikan ketentuan jual beli pada umumnya, juga harus memperhatikan ketentuan jual beli tanah sebagai suatu benda tidak bergerak yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan berbagai peraturan pelaksanaannya yang mengatur peralihan hak atas tanah. Analisis hakim dalam pertimbangannya, walaupun para pihak adalah orang Indonesia asli, perlu memperhatikan pedoman (kaidah hukum) ketentuan yang diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang mengatur “jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah ditentukan.” Dengan demikian, perjanjian jual beli melahirkan kewajiban secara
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 99 - 114
5/2/2017 5:04:43 PM
bertimbal balik kepada para pihak yang membuat perjanjian, yakni dari penjual berkewajiban menyerahkan barangnya (hak kebendaan), dan dari sisi pembeli diwajibkan untuk membayar harga pembelian kebendaan tersebut, yakni sejumlah uang yang telah ditentukan nilai mata uangnya dan jumlahnya (Putusan Nomor 99/ Pdt.G/2014/PN.Bwi). Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak, mengenai apa yang dikehendaki oleh para pihak. Oleh karena jual beli merupakan perjanjian konsensuil (Pasal 1458 KUHPerdata), maka dianggap terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah orang-orang yang bersangkutan mencapai sepakat tentang kebendaan dan harganya. Meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar, khusus terhadap jual beli benda tidak bergerak (in casu tanah objek perkara) diperlukan tindakan hukum lain, yakni adanya penyerahan (levering) atas objek jual beli di hadapan PPAT. Masalahnya adalah, ternyata pada saat terjadinya transaksi jual beli antara penggugat dengan tergugat III, tanah objek sengketa yang diperjualbelikan tersebut masih dikuasai oleh tergugat II. Padahal penggugat telah membayar lunas harga tanah berdasarkan akta jual beli, dan dibaliknamakan menjadi nama penggugat. Di sisi lain, tergugat II telah membayar lunas tanah sengketa berdasarkan kuitansi pembayaran dan surat pernyataan jual beli.
merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dilakukan. Hakim berpendapat, apabila ia memberikan suatu bukti yang sempurna, maka ia merupakan alat bukti yang mengikat. Asal usul tanah sengketa yang dikuasai oleh tergugat II diperoleh dari SW, dan SW memperoleh tanah tersebut dari tergugat III. Akan tetapi, saat transaksi jual beli antara tergugat III selaku penjual dengan SW selaku pembeli, begitu pula saat transaksi jual beli antara SW selaku penjual dengan tergugat II selaku pembeli, tidak dilakukan di depan perangkat desa dan ataupun PPAT (Putusan Nomor 99/Pdt.G/2014/PN.Bwi). Pada saat dilakukan transaksi jual beli oleh tergugat II, tanah sengketa belum ada sertifikatnya, sebab jual beli antara tergugat II dengan SW dilakukannya pada tanggal 20 Desember 2012 dan tanggal 29 Desember 2012, tanah sengketa belum bersertifikat atas nama tergugat III (vide bukti TII-4 dan TII-5). Tergugat II menyerahkan sejumlah uang sebesar Rp7 juta kepada tergugat III pada tanggal 16 Januari 2013 dan tanggal 17 Januari 2013 untuk membantu proses pensertifikatan kedua tanah sengketa dari tergugat III ke nama tergugat II. Akan tetapi, tindakan hukum transaksi atas tanah sengketa yang dilakukan oleh tergugat II tersebut dengan SW, demikian pula transaksi jual beli sebelumnya antara tergugat III dengan SW tidak disaksikan oleh perangkat desa yang lazim menjadi saksi dan atau mencatat adanya transaksi jual beli tersebut dalam buku catatan atas tanah di suatu desa (Putusan Nomor 99/Pdt.G/2014/PN.Bwi).
Penggugat untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya telah mengajukan buktibukti akta otentik dibuat di hadapan notaris/PPAT. Menurut ketentuan Pasal 1870 KUHPerdata, akta otentik memberikan para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak Kemudian, tergugat III menjual objek tanah dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa sengketa kepada penggugat berdasarkan Akta yang dimuat di dalamnya, sehingga akta otentik Menimbang Prinsip “Duty of Care”: ‘Pembeli’ Melawan ‘Pembeli’ (Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi)
jurnal april 2017 isi.indd 109
| 109
5/2/2017 5:04:43 PM
Jual Beli Nomor 1655/JB/X/2013 ditandatangani di hadapan notaris/PPAT pada tanggal 18 Oktober 2013, sementara Akta Jual Beli Nomor 1656/ JB/X/2013 ditandatangani pada tanggal 21 Oktober 2013, kemudian diajukan proses balik nama ke atas nama penggugat tanggal 31 Oktober 2013 (vide bukti P-3 dan P-4). Hakim menilai iktikad baik kedua pembeli yang bersengketa tersebut dengan prinsip duty of care (kehatihatian). Menurut hakim, prinsip iktikad baik berhubungan dengan prinsip duty of care, yaitu suatu kewajiban untuk bertindak secara hati-hati, yang kadang-kadang dirumuskan juga sebagai suatu kewajiban atau keharusan, yang diakui oleh hukum, yang mensyaratkan agar supaya seseorang bertindak sesuai dengan suatu ukuran tingkah laku tertentu ”a certain standard of conduct“ untuk melindungi orang-orang lain terhadap suatu risiko yang menurut nalar sebenarnya tidak perlu terjadi (unreasonable risk).
alas hak bagi tergugat II di atas tanah objek perkara. Terlebih lagi, tergugat II sejak membeli telah menanami tanah tersebut dengan pohon jeruk dan menguasai tanah objek sengketa sejak tahun 2012 sampai sekarang. Akan tetapi masalahnya adalah objek tanah sengketa yang telah dibeli oleh penggugat adalah suatu tanah yang telah bersertifikat.
Dalam jual beli atas tanah yang telah bersertifikat dan dilakukan di hadapan PPAT, dan sebelumnya telah dicek keabsahan dari sertifikat tanah tersebut serta telah diteliti/dicocokkan identitas penjual adalah sama dengan nama yang tercantum dalam sertifikat tanah. Di samping kecakapan bertindak dalam hukum serta dibantu/ disetujui oleh istri tergugat III, maka menurut akal sehat dan nalar manusia pada umumnya (resonable man), tentunya penggugat selaku pembeli bertindak dengan penuh kehati-hatian dan beriktikad baik dalam melakukan transaksi Hakim berpendapat bahwa asas iktikad jual beli atas tanah objek perkara dimaksud. baik memegang peranan penting dalam transaksi Sebaliknya, hakim menilai, transaksijual beli, di mana sebelum dilakukan jual beli transaksi atas tanah sengketa yang telah para pihak memiliki kewajiban iktikad baik yakni dilakukan tergugat II tidak memenuhi syarat kewajiban untuk meneliti objek yang dijadikan untuk sahnya suatu transaksi atas tanah, karena jual beli dan kewajiban untuk memberitahukan tidak dilakukan di hadapan perangkat aparat dan menjelaskan objek yang akan dibelinya. desa yang lazim bertindak sebagai saksi dan Dalam kasus ini, pembeli wajib meneliti atau sekaligus mencatat atas terjadinya transaksi berkaitan dengan objek jual beli sedangkan atas tanah tersebut, di buku administrasi tanah penjual memiliki kewajiban untuk menjelaskan yang ada di desa. Atas dasar pertimbangan itu, semua informasi yang dia ketahui dan penting hakim berpendapat, transaksi atas tanah yang bagi pembeli. telah dilakukan oleh tergugat II tersebut tidak Tergugat II menyangkal dalil gugatan memenuhi syarat sahnya suatu transaksi atas penggugat dengan argumentasi balik, justru tanah, yakni tidak berlangsung secara terang. penggugat melakukan jual beli tidak dengan Padahal syarat sahnya transaksi atas tanah iktikad baik. Penggugat, menurut tergugat II, manakala tidak dilakukan oleh dan atau di depan telah bertindak dengan tidak hati-hati (ceroboh) PPAT harus memenuhi syarat sahnya suatu dan ataupun tidak dengan iktikad baik didasarkan transaksi atas tanah, yaitu berlangsung secara riil, pada alasan pada saat jual beli berlangsung ada tunai, dan terang. 110 |
jurnal april 2017 isi.indd 110
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 99 - 114
5/2/2017 5:04:43 PM
Pengertian riil, tunai, dan terang ini dapat diartikan sebagaimana diuraikan dalam Harsono (2005: 29); Soekanto (1983: 211); dan Sumarjono (2001: 119) seperti berikut: -
Riil berarti kehendak yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan nyata misalnya telah diterimanya uang oleh penjual dan dibuatnya perjanjian di hadapan kepala desa.
-
Tunai adalah penyerahan hak oleh penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu juga hak sudah beralih.
-
Disebut terang, jika dilakukan di hadapan kepala adat atau kepala desa yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut (ditambah dengan saksi-saksi) sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum.
Kekeliruan fatal tergugat II, melakukan jual beli tidak sesuai prosedur, jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT, atau minimal tidak di depan kepala desa dan saksi-saksi, sehingga tidak memenuhi unsur “terang.” Sehingga, lembaga peradilan tidak dapat memberi perlindungan terhadap pembeli tanpa disaksikan oleh pejabat pemerintah atau pejabat adat. Sebaliknya, dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa penggugat telah dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya yakni telah melakukan transaksi jual beli atas objek perkara secara sah yang dilakukan di hadapan PPAT, dan sudah melalui prosedur hukum yang sah, sehingga terbit SHM dari nama tergugat III dibaliknamakan menjadi nama penggugat.
terhindarkan. Meski, penggugat telah memenuhi prosedur (jual beli di hadapan PPAT yang juga membantu pengecekan sertifikat di kantor pertanahan), sebagai pembeli, ia juga lalai tidak memeriksa data fisik. Perlu diketahui bahwa PPAT pada dasarnya tidak wajib melakukan pengecekan kebenaran data fisik dalam jual beli tanah terkait (Wawancara dengan PPAT (Mataram), Maudy Margretha Rarung, 23 Oktober 2016; lihat juga, Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; periksa juga Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT). Artinya, pembeli sendiri harus melakukan kewajiban mengecek data fisik tersebut. Sehingga, pada praktiknya, apabila pembeli pasif menyerahkan semua pengurusan kepada PPAT tanpa aktif memeriksa secara cermat data fisik tanah terkait, mungkin saja terdapat kekeliruan yang dapat merugikan pembeli. Pengecekan kebenaran data fisik itu, misalnya, bertanya kepada kepala desa/dusun atau para pemilik tanah yang berdampingan dengan objek yang akan dibeli untuk memastikan apakah penjual adalah pihak yang berhak, atau apakah hak atas tanah itu telah beralih atau masih dikuasai oleh pihak lain. Apabila pembeli telah berhati-hati dan cermat memeriksa data fisik dan data yuridis sebelum dan saat jual beli, maka ia patut mendapat perlindungan hukum, meski di kemudian hari ternyata peralihan hak itu ternyata diketahui terdapat cacat cela atau status penjual baru diketahui tidak berhak.
Sebaliknya, pembeli tidak dianggap sebagai pembeli yang beriktikad baik, karena ia adalah Apabila dicermati, penggugat juga pembeli yang ceroboh, yakni sama sekali tidak mempunyai kelemahan, sehingga mengapa meneliti dan mencermati hak dan status para sengketa antar pembeli ini akhirnya tidak penjual atas tanah terperkara, sehingga apabila di Menimbang Prinsip “Duty of Care”: ‘Pembeli’ Melawan ‘Pembeli’ (Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi)
jurnal april 2017 isi.indd 111
| 111
5/2/2017 5:04:43 PM
kemudian hari terjadi sengketa ia tidak dilindungi. Demikian pula, apabila pembeli telah memeriksa data fisik dan data yuridis sebelum dan saat jual beli, sehingga mengetahui adanya cacat cela dalam perolehan tanah sengketa, namun tetap meneruskan jual beli, maka dia dapat dianggap tidak beriktikad baik, sehingga tidak dilindungi. Sehubungan dengan prinsip duty of care, pelajaran yang menarik dari cara bernalar hakim dalam perkara tersebut adalah tidak hanya berupaya menemukan kebenaran hukum pada hubungan kausalitas semata, melainkan ’mengangkat’ persoalan hukum pada ranah asas yakni dengan bertumpu pada asas ‘imputasi,’ yakni menautkan tanggung jawab/kewajiban kepada subjek tertentu dalam situasi peristiwa atau keadaan tertentu. Pada titik ini, hakim harus menemukan asas di balik kaidah hukum. Asas atau prinsip hukum digali dari dunia sollen (yaitu nilai moralitas) yang sekalipun tidak dirumuskan secara tegas atau dipositifkan dalam peraturan perundang-udangan – tetapi ia dapat menjadi segugus pedoman normatif dan dipandang amat patut dalam masyarakat. Tentu, penulis mengapresiasi upaya hakim mendialogkan asas-asas, kaidah, dengan faktafakta yuridis dalam pertimbangannya. Tetapi, apabila dicermati, dalam perkara sengketa ini (Putusan Nomor 99/Pdt.G/2014/PN.Bwi; Putusan Nomor 230/PDT/2015/PT.SBY; dan Putusan Nomor 952/K/Pdt/2016), sebenarnya baik penggugat maupun tergugat II, sama-sama tidak memenuhi prinsip duty of care. Meski tentu dapat dipahami, hakim akhirnya harus memutus salah satu dari dua pembeli yang sama-sama mengklaim dirinya pihak yang paling berhak. Dalam perkara ini, putusan hakim cukup tepat, yakni memutus penggugat yang telah melakukan jual beli sesuai prosedur sebagai pihak yang 112 |
jurnal april 2017 isi.indd 112
berhak. Sebaliknya, tergugat II yang melakukan jual beli tidak di hadapan pejabat yang berwenang dan saksi-saksi, mengabaikan sama sekali unsur “terang,” sehingga tidak dilindungi hukum. Hanya saja, hakim dalam pertimbangannya, terlalu prematur menilai penggugat telah memenuhi prinsip duty of care. Karena, sesungguhnya syarat kehati-hatian penggugat belum terpenuhi misalnya, tidak memeriksa data fisik sebelum dan saat jual beli dilakukan sehingga tidak tahu sama sekali bahwa tanah telah dikuasai oleh pihak lain. Seharusnya, hakim dalam pertimbangannya, cukup menyebut penggugat adalah pembeli yang telah memenuhi prosedur, bukan karena memenuhi prinsip duty of care. IV. KESIMPULAN Berdasarkan analisis literatur dan putusan pengadilan di atas, maka jawaban atas rumusan masalah dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pertimbangan hakim dalam menilai pembeli beriktikad baik dan berhati-hati masih prematur yakni, dalam Putusan Nomor 99/ Pdt.G/2014/PN.Bwi; Putusan Nomor 230/ PDT/2015/PT.SBY; dan Putusan Nomor 952/K/ Pdt/2016, hanya memperhatikan dipenuhi atau tidaknya syarat formal, misalnya jual beli telah dilakukan di hadapan PPAT. Terpenuhinya asas iktikad baik dan duty of care tidak sesederhana hanya melihat terpenuhinya syarat formal, melainkan juga melihat bagaimana upaya kehati-hatian dan kecermatan pembeli. Dalam konteks prinsip duty of care, seharusnya hakim mempertimbangkan, bagaimana upaya pembeli secara patut dan memadai apakah telah mencari tahu dan mencermati data fisik dan data yuridis sebelum dan saat jual beli dilakukan.
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 99 - 114
5/2/2017 5:04:43 PM
Kedua, prinsip duty of care digunakan untuk menilai kapan pembeli dikategorikan sebagai pembeli beriktikad baik, apabila ia telah berhati-hati dan cermat memeriksa data fisik dan data yuridis sebelum dan saat jual beli dilakukan, maka ia patut mendapat perlindungan hukum, meski di kemudian hari ternyata peralihan hak itu ternyata diketahui terdapat cacat cela atau status penjual baru diketahui tidak berhak. Sebaliknya, pembeli tidak dianggap sebagai pembeli yang beriktikad baik, karena sebelum dan pada saat pembelian sama sekali tidak meneliti dan mencermati hak dan status para penjual atas tanah terperkara, sehingga apabila di kemudian hari terjadi sengketa ia tidak dilindungi. Apabila pembeli telah memeriksa data fisik dan data yuridis sebelum dan saat jual beli sehingga mengetahui adanya cacat cela dalam perolehan tanah sengketa, namun tetap meneruskan jual beli, maka dia dapat dianggap tidak beriktikad baik, sehingga tidak dilindungi.
pembeli untuk secara patut dan memadai memeriksa dan meneliti keabsahan tanah yang dibelinya sebelum dan saat jual beli dilakukan. Perkembangan yurisprudensi mengenai pembeli beriktikad baik dengan mengadopsi asas kecermatan dan kehati-hatian ini (duty of care), seharusnya menjadi semacam ‘pegangan’ para hakim bagi kasus yang serupa, untuk menilai kapan pembeli dikategorikan sebagai pembeli beriktikad baik.
Ketiga, melihat perkembangan sejumlah literatur dan putusan pengadilan, terjadi penajaman dalam memaknai pembeli beriktikad baik, yakni jika sebelumnya cukup dimaknai sebagai pembeli yang jujur, atau digantungkan pada ketidaktahuan pembeli mengenai adanya cacat cela dalam peralihan hak atas tanah yang dibelinya, dalam perkembangannya, ditambahkan dengan menekankan kewajiban pembeli untuk berhati-hati memeriksa dan mencermati data fisik dan data yuridis sebelum dan saat jual beli dilakukan. Dalam menentukan kapan pembeli dikategorikan beriktikad baik, dalam perkembangannya, putusan-putusan pengadilan tidak hanya menggantungkan pada ketidaktahuan pembeli akan adanya cacat yuridis dalam peralihan haknya, melainkan juga menekankan prinsip duty of care yakni juga melihat upaya
Studies Research Paper Series Research Paper
DAFTAR ACUAN Bayles, M.D. (1987). Principles of law a normative analysis. Dordrecht, the Netherlands: D. Reidel Publishing Company. Bishop, C.G. (2007, Januari 24). A good faith revival of duty of care liability in business organization law. Suffolk University Law School: Legal 07-02. Forte, A.D.M. (Ed). (1999). Good faith in contract and property. Oxford-Portland Oregon: Hart Publishing. Harsono, B. (2005). Hukum agraria Indonesia sejarah pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi, dan pelaksanaannya. Edisi Revisi. Jakarta: Djambatan. Hernoko, A.Y. (2008). Hukum perjanjian asas proporsionalitas dalam kontrak komersial. Yogyakarta: Mediatama. Ikonomi, E., & Zyberaj, J. (2013, Oktober). “Bona fides” principle’s value in pre-contractual liability. Academic Journal of Interdiciplinary Studies, 2(9), 481-486.
Menimbang Prinsip “Duty of Care”: ‘Pembeli’ Melawan ‘Pembeli’ (Widodo Dwi Putro & Ahmad Zuhairi)
jurnal april 2017 isi.indd 113
| 113
5/2/2017 5:04:43 PM
Khairandy, R. (2004). Iktikad baik dalam kebebasan berkontrak. Jakarta: UI Press. ___________. (2013). Hukum kontrak Indonesia dalam perspektif perbandingan. Yogyakarta: UII Press. Putro, W.D. et.al. (2016). Penjelasan hukum pembeli beritikad baik: Perlindungan hukum pembeli yang beritikad baik dalam sengketa perdata berobyek tanah. Jakarta: LeIp. Subekti, R. (2001). Hukum pembuktian. Jakarta: PT Pradya Paramita. _________. (2014). Aneka perjanjian. Bandung: PT Aditya Bakti. Rahardjo, S. (1986). Ilmu hukum. Bandung: Alumni. Santoso, U. (2015). Perolehan hak atas tanah. Jakarta: Perdanamedia Gorup. Soekanto, S. (1983). Hukum adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. Sumarjono, M.S.W. (2001). Kebijakan pertanahan antara regulasi dan implementasi. Jakarta: Kompas. Yee, W.P.(2001). Protecting parties’ reasonable expectations; A general principle of good faith. Oxford University Commonwealth Law Journal, 1(2), 211-213. Wawancara dengan PPAT Mataram, Maudy Margretha Rarung, 23 Oktober 2016.
114 |
jurnal april 2017 isi.indd 114
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017: 99 - 114
5/2/2017 5:04:43 PM
INDEKS A
child out of wedlock of no recognition XV, 79, 80 corporate criminal liability XIV, 18 criminal responsibility XIV, 37, 40
106, 108, 111, 113 pertanggungjawaban pidana IX, X, 17, 24, 25, 26, 28, 29, 32, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 43, 46, 47, 51, 52, 54, 57, 115 pidana penjara X, XI, 21, 22, 29, 30, 39, 40, 41, 47, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 59, 60, 61, 62, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 82 progressive law XV, 79, 80 putusan pemidanaan IX, X, 17, 18, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 30, 32, 33, 34, 36, 38
D
R
anak luar kawin tidak diakui XI, 79, 82
B
binding force of ruling XV, 60
C
data yuridis dan fisik XII, 99 duty of care V, XII, XVI, 99, 100, 102, 103, 104, 107, 108, 110, 112, 113
E
expert witnesses XIV, 39, 40
G
good faith XI, XVI, 99, 100, 105, 113, 114 grant XV, 79, 80
H
harta warisan XI, 79 hibah V, XI, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 96 hukum pembuktian X, 39, 57 hukum progresif XI, 78, 79
rules of evidence XIV, 40
S
sentencing decision XIV, 18 simultaneous elections XIII, 2
T
the constitutional court XIII, 2 tujuan pemidanaan integratif XI, 59, 66
V
vicarious liability IX, X, XIV, 17, 18, 22, 24, 33, 35, 36
I
iktikad baik XI, XII, 83, 99, 102, 103, 104, 105, 106, 108, 110, 112 imprisonment XV, 60 inconsistency XIII, 1, 2 inheritance XV, 80 inkonsistensi IX, 1, 11, 15 integrated purpose of sentencing XV, 60
J
juridical and physical data XVI, 100
K
kekuatan putusan XI, 59, 67 keterangan ahli V, X, 39, 42, 44, 53, 56
L legal protection XVI, 99, 100
M
mahkamah konstitusi IX, 1
P
pemidanaan korporasi X, 17 pemilu serentak IX, 1, 3, 15, 16 perlindungan hukum XI, XII, 45, 95, 99, 101, 102, 103,
jurnal april 2017 isi.indd 115
5/2/2017 5:04:43 PM
jurnal april 2017 isi.indd 116
5/2/2017 5:04:43 PM
p-ISSN 1978-6506 e-ISSN 2579-4868
Vol. 10 No. 1 April 2017 Hal. 1 - 114
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI
S
egenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 1 April 2017. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.
4.
Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL.
5.
Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H.
6.
Hermansyah, S.H., M.Hum
jurnal april 2017 isi.indd 117
5/2/2017 5:04:43 PM
jurnal april 2017 isi.indd 118
5/2/2017 5:04:43 PM
BIODATA PENULIS SUPARTO adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Riau di Pekanbaru (2012-sekarang). Dilahirkan di Bangkalan, 8 Agustus 1969, menyelesaikan S1 pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor tahun 1992, S1 Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Terbuka tahun 2015, S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau tahun 2016 bagian Hukum Tata Negara. S2 Ilmu Hukum diselesaikan pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau dalam bidang Hukum Tata Negara pada tahun 2009 dan tahun 2010 juga menyelesaikan S2 Ilmu Pemerintahan Program Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Riau. Kemudian menyelesaikan S3 pada program doktor Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung dalam bidang Hukum Tata Negara pada tahun 2012. Budi Suhariyanto, lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2006, dan S2 di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai peneliti muda bidang hukum dan peradilan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis aktif melakukan kegiatan penelitian baik di (internal) Mahkamah Agung maupun kerja sama lintas lembaga/kementerian lain (eksternal). Penulis juga aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi maupun yang tidak terakreditasi serta telah menulis buku yang berjudul “Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime).” Selain rutin melakukan aktivitas penelitian di bidang hukum dan peradilan, Penulis terlibat aktif dalam kegiatan pembaruan peradilan yaitu sebagai Anggota Tim Reformasi Pengadilan Pajak pada Kementerian Keuangan RI (2011), Anggota Tim Penyusunan Resume Putusan Penting (Landmark Decision) Mahkamah Agung RI (2011, 2013, dan 2014) dan Anggota Tim Pengarah Lomba Pencarian dan Analisa Putusan Pengadilan bagi Mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Syari’ah se-Indonesia (2013) serta Koordinator Tim Kajian dan Advokasi RUU Jabatan Hakim pada Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: penelitihukumma@ gmail.com atau surat ke alamat: Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekretariat Mahkamah Agung Jalan Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat. Y. A. Triana Ohoiwutun lahir di Kediri, 3 Januari 1964. Dosen tetap pada Fakutas Hukum Universitas Jember pada Jurusan/Bagian Hukum Pidana. Jabatan fungsional akademik Lektor Kepala, Golongan IV b dan Pangkat Pembina Tk. I. Mata kuliah yang diampu pada Program S1 adalah Ilmu Kedokteran Kehakiman, Pengantar Ilmu Hukum, Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, Tindak Pidana di Bidang Kesehatan. Program S2 mengampu mata kuliah Sosiologi Hukum, Politik Hukum Pidana, Kapita Selekta Hukum Pidana, serta Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia. Aktif menulis pada beberapa jurnal, terakhir dimuat di dalam Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 1 April 2016 dengan judul “Urgensi Bedah Mayat Forensik dalam Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Kajian Putusan Nomor 79/Pid.B/2012/PN.BGR).”
jurnal april 2017 isi.indd 119
5/2/2017 5:04:43 PM
Samsudi, lahir di Jember 24 Maret 1957. Dosen tetap pada Fakutas Hukum Universitas Jember pada Jurusan/Bagian Hukum Pidana. Saat ini menjabat Ketua Bagian Hukum Pidana. Mata kuliah yang diampu adalah Hukum Pidana, Hukum Acara dan Praktik Peradilan Pidana, Hukum Acara dan Praktik Peradilan Pidana Militer, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, serta Tindak Pidana Pencucian Uang. Hasil karya tulis ilmiah, antara lain: Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pencemaran Nama Baik yang dilakukan melalui Pers (Jurnal Hukum dan Masyarakat Tahun 2005); Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 (Jurnal Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Jember Tahun 2011). Warih Anjari, lahir di Semarang tanggal 15 April 1969. S1 Ilmu Hukum diselesaikan pada Universitas Diponegoro pada tahun 1994. S2 Ilmu Hukum diselesaikan pada Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada tahun 2004. Baik S1 maupun S2 program kekhususan yang penulis tekuni adalah hukum pidana. Saat ini penulis tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Mata kuliah yang penulis ampu di antaranya Hukum Pidana; Delik Khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Kriminologi; Kapita Selekta Hukum Pidana; Metode Penelitian Hukum; dan Metode Penulisan Karya Ilmiah. Penulis aktif meneliti dan menulis pada beberapa jurnal ilmiah. Beberapa karya tulis di antaranya: Tawuran Pelajar dalam Perspektif Kriminologis, Hukum Pidana, dan Pendidikan; Fenomena Kekerasan sebagai Bentuk Kejahatan; Hak Reparasi Korban Kejahatan Pengaturan dan Implementasi; Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia; Hukum Adat sebagai Alas Pembaharuan Hukum Pidana: Refleksi dan Proyeksi; dan lain-lain. Penulis juga aktif melakukan penelitian. Penelitian yang telah dan sedang penulis lakukan di antarannya: Perbuatan Melawan Hukum Materiil dan Penerapannya dalam Perspektif Asas Legalitas, Kesadaran Hukum Penggunaan Sabuk Pengaman (Safety Belt) Pada Pengemudi Angkot Mikrolet 49 di Jakarta Utara, dan lain-lain. Poniman, lahir di Ujung Pandang, 29 September 1963. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 tahun 1994, S2 Hukum di Universitas Diponegoro tahun 2002, S2 di Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro tahun 2007, dan S3 di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro sampai saat ini baru menempuh tahap ujian tertutup, dengan judul disertasi “Reformasi, Perpolisian Masyarakat (Polmas) dan Peran POLRI (Suatu) Studi Kasus Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Polres Tegal.” Penulis adalah purnawirawan Polri Dirkrimsus Polda Jawa Tengah, sekarang menjabat sebagai Notaris-PPAT di wilayah Kabupaten Tegal. Karya tulis yang pernah diterbitkan antara lain: “Kebijakan Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Uang Palsu” (2017); “Revitalisasi Tugas Pokok POLRI Berbasis Hukum Progresif Demi Terciptanya Keadilan Substansif” (Majalah Polda Jateng tahun 2006); “Menyoal Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Majalah Polda Jateng tahun 2005); “Sekularisme Sebagai Penjahat Sekaligus Pendusta Agama (Majalah Polda Jateng tahun 2004); “Peranan Criminal Justice System Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia” (Majalah Polda Jateng tahun 2002); dan “Mensikapi Hidup” (Majalah Polda Jateng tahun 2000). Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected].
jurnal april 2017 isi.indd 120
5/2/2017 5:04:43 PM
Widodo Dwi Putro, dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram. Dia mengajar mata kuliah Filsafat Hukum, Hukum Agraria, dan Metode Penelitian Hukum. Buku yang sudah diterbitkan anatar lain: “Balai Mediasi Desa” (2005); “Menolak Takluk: Newmont versus Hati Nurani” (2006); dan “Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum” (2011). Bersama dengan para peneliti Van Vollenhoven Institute – Fakultas Hukum Universitas Leiden - Belanda dan LeIP melakukan penelitian mengenai Pembeli Beritikad Baik Dalam Sengketa Tanah, dan hasil penelitian tersebut dibukukan dalam buku berjudul “Pembeli Beritikad Baik: Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Yang Beritikad Baik Dalam Sengketa Perdata Berobyek Tanah (2017). Ahmad Zuhairi, lahir di Pagutan pada tanggal 7 Juni 1986. Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Mataram tahun 2008 dan melanjutkan pendidikan S2 di Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang tahun 2010-2012. Pernah bergabung di Larispa (Lembaga Riset Sosial Politik dan Agama) sebagai Peneliti Lapangan tahun 2007-2010 dan TRANSFORM (Training and Fasilitation for Natural Resourch Manajemen), lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup sebagai staf bagian hukum dan peneliti anggota tahun 2011-2014. Bergabung sebagai dosen Hukum Bisnis di Fakultas Hukum Universitas Mataram sejak 1 April 2014. Sekarang mengampu mata kuliah Hukum Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen, Hukum Perbankan, Hukum Perusahaan, Hukum Dagang, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Menjadi editor di Jurnal IUS Universitas Mataram sejak Januari 2015. Penulis juga aktif sebagai anggota diskusi rutin malam sabtuan bersama teman-teman Yayasan Wakaf Pembelajaran Gelar Hidup (YWPGH).
jurnal april 2017 isi.indd 121
5/2/2017 5:04:43 PM
jurnal april 2017 isi.indd 122
5/2/2017 5:04:43 PM
PEDOMAN PENULISAN 1.
Naskah merupakan hasil penelitian putusan hakim atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan).
2.
Naskah yang masuk akan melalui tiga tahap penilaian yang dilakukan oleh tim penyunting dan mitra bestari. Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau tidaknya naskah dalam Jurnal Yudisial. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.
3.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
4.
Pengiriman naskah disertai biodata penulis dalam bentuk narasi dengan panjang 150 s.d. 250 kata.
5.
Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan margin halaman, kiri 3 cm, atas 2 cm, kanan 2 cm, bawah 2 cm, dan jarak antar-spasi 1,5. Ditulis menggunakan huruf Times New Roman 12. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.
jurnal april 2017 isi.indd 123
6.
Sistematika penulisan naskah sebagai berikut:
a.
Judul dan anak judul dalam bahasa Indonesia.
b.
Judul dan anak judul dalam bahasa Inggris.
c.
Nama penulis.
d.
Nama lembaga/instansi.
e.
Alamat lembaga/instansi.
f.
Akun e-mail penulis.
g.
Abstrak (5% dari keseluruhan naskah) ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebanyak 150 s.d. 200 kata, disertai kata kunci (3 s.d. 5 kata). Isi abstrak meliputi unsurunsur: 1) latar belakang masalah, 2) rumusan masalah, 3) metode, dan 4) kesimpulan.
h.
Pendahuluan (35%), memuat isu hukum yang dianggap menarik sebagai latar belakang dari putusan hakim yang akan dijadikan objek kajian dalam tulisan ini, yang kemudian
5/2/2017 5:04:43 PM
diikuti dengan paparan duduk perkara, pertimbangan hukum yang selektif dan problematis, identifikasi permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan tinjauan pustaka terkait konsep-konsep hukum yang relevan. Sistematika pendahuluan ini terdiri dari:
7.
jurnal april 2017 isi.indd 124
1)
Latar Belakang (5%);
2)
Rumusan Masalah (5%);
3)
Tujuan dan Kegunaan (5%); dan
4)
Tinjauan Pustaka (20%).
i.
Metode (15%), memuat penjelasan tentang pilihan metode yang digunakan untuk keperluan penelitian terhadap putusan hakim. Secara umum metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study), yang objek putusannya sengaja dipilih secara purposif. Walaupun demikian, penulis dapat saja memperdalam analisisnya dengan melakukan pengayaan data, dengan menggunakan dokumen lain di luar putusan hakim tersebut dan/atau data primer di luar dokumen (contoh: wawancara dan/atau observasi). Apabila penulis melakukan pengayaan data di luar putusan hakim, harus dijelaskan cakupan/besaran sumber data, teknik pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data.
j.
Hasil dan Pembahasan (40%), memuat lebih detail temuan-temuan problematis yang berhasil diidentifikasi oleh penulis terkait duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hakim di dalam putusan tersebut, serta analisis yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Dalam pembahasan, tinjauan pustaka harus digunakan untuk mempertajam analisis. Pembahasan harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian pembahasan ini harus mencakup porsi terbesar dari keseluruhan substansi tulisan.
k.
Kesimpulan (5%), mencakup penyampaian singkat dalam bentuk kalimat utuh atau dalam bentuk butir-butir jawaban rumusan masalah secara berurutan.
l.
Saran (jika perlu), berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh. Isi dari saran harus sejalan dengan pembahasan.
m.
Daftar Acuan, merupakan publikasi yang digunakan sebagai referensi yang digunakan dalam penulisan tersebut. Acuan paling sedikit berjumlah lima belas, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan, dan acuan primer paling sedikit 80% dari total acuan.
Penulisan kutipan menggunakan model body note atau side note. Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar acuan.
5/2/2017 5:04:43 PM
Contoh:
Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), “..........”
Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52).
Lebih dari dua penulis: (Tanya, Parera, & Lena, 2015).
Lebih dari tiga penulis: (Hotstede et al., 1990: 23).
Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).
8.
Penulisan daftar acuan menggunakan aturan dari Harvard-American Psycological Association (APA).
Contoh: a.
Buku
Grassian, V. (2009). Moral reasoning: Ethical theory and some contemporary moral problems. New Jersey, NJ: Prentice-Hall. Tanya, B.L., Parera, T.Y., & Lena, S.F. (2015). Pancasila bingkai hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2009). Laporan tahunan 2009: Perjuangan melawan korupsi tak pernah berhenti. Jakarta: KPK. b.
Jurnal
Melani. (2014, Agustus). Disparitas putusan terkait penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, 7 (2), 103-116. c.
Majalah/Surat Kabar
Marzuki, S. (2014, November-Desember). Pengadilan yang fair untuk keadilan. Majalah Komisi Yudisial, 11-15. d.
Internet
Cornell University Library. (2009). Introduction to research. Diakses dari http://www.library. cornell.edu/resrch/intro. 9.
Naskah diunggah melalui http://jurnal.komisiyudisial.go.id dan dikirim tembusan ke alamat e-mail:
[email protected].
Alamat redaksi:
Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57
jurnal april 2017 isi.indd 125
5/2/2017 5:04:43 PM
Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189. Narahubung (contact persons):
jurnal april 2017 isi.indd 126
•
Ikhsan (085299618833);
•
Arnis (08121368480); atau
•
Yuni (085220055969).
5/2/2017 5:04:43 PM