MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 49/PUU-XI/2013
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PEMERINTAH DAN DPR (III)
JAKARTA RABU, 26 JUNI 2013
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 49/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 21 ayat 5] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. M. Farhat Abbas 2. Narlis Wandi Piliang ACARA Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan DPR (III) Rabu, 26 Juni 2013, Pukul 10.54 – 11.22 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
M. Akil Mochtar Achmad Sodiki Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman Arief Hidayat Hamdan Zoelva Maria Farida Indrati Muhammad Alim
Saiful Anwar
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4.
Hazmin A. ST Muda Windu Wijaya Muhammad Zakir Muhammad Fadli
B. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5.
Mualimin Abdi Novarida Tatty Tjuhajati Tati Vian Sitanggang Eric Aditiansyah
C. DPR: 1. Al Muzammil Yusuf 2. M. Nurdin
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.54 WIB
1.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Sidang dalam perkara Nomor 49/PUU-XI/2013, Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon silakan perkenalkan diri siapa yang hadir.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: HAZMIN A. ST MUDA Terima kasih, Yang Mulia. Dengan segala kerendahan hati perkenankanlah kami, saya Hazmin Sutan Muda, S.H., Windu Wijaya, S.H., M.H., Muhammad Zakir, S.H., dan Muhamad Fadli, S.H.
3.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Baik, Pemerintah?
4.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah hadir, Yang Mulia, akan saya sebutkan dari paling ujung ada Ibu Tati Vain Sitanggang dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia, kemudian di sebelahnya lagi ada Ibu Tatty Tjuhajati dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia, kemudian ada ibu Novarida sama dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia, saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian di belakang, Yang Mulia, ada rekan-rekan dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang tidak saya sebutkan satu per satunya, Yang Mulia. Terima kasih.
5.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR DPR alhamdulilah hadir hari ini, silakan.
1
6.
DPR: AL MUZZAMMIL YUSUF Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, kami yang bertindak untuk dan atas nama DPR pada hari ini hadir. Saya Al Muzzammil Yusuf, A56 dan di sebelah saya Bapak Muhammad Nurdin, A352. Terima kasih.
7.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Baik, kalau DPR itu jangan lupa A ya, A nomor sekian itu penting sekali itu. Baiklah, hari ini kita mendengar keterangan Pemerintah dan DPR untuk pertama saya persilakan DPR untuk menyampaikan keterangannya dengan menggunakan mimbar.
8.
DPR: M. NURDIN Bismillahirrahmaanirrahiim. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam perkara Nomor 49/PUU-XI/2013. Ketua Mahkamah Konstitusi dan Majelis Mahkamah konstitusi Yang Mulia, berdasarkan keputusan pimpinan DPR RI Nomor 37/PIM/2/2012-2013 tanggal 10 Desember 2012 telah menugaskan kepada Komisi III antara lain Drs Al Muzzammil Yusuf nomor anggota A56 dan Drs. M. Nurdin nomor anggota A352 dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia yang selanjutnya disebut DPR. Sehubungan dengan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut Undang-Undang KPK yang diajukan oleh M. Farhat Abas, S.H. a. DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut. Ketentuan Undang-Undang KPK yang dimohonkan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian atas Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang KPK yang berbunyi, “Pimpinan komisi pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif.” Para Pemohon beranggapan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Keterangan DPR. 1. Kedudukan hukum atau legal standing. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing para Pemohon … mohon maaf, 2
DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 011/PUU-V/2007. 2. Pengujian Undang-Undang KPK. a. Bahwa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara di Republik Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang pada akhirnya dapat menghambat perwujudan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan salah satu tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Dasar Tahun 1945. b. Bahwa terkait dengan hal-hal tersebut di atas. Telah menjadi kesepakatan dan tekad bersama untuk seluruh rakyat Indonesia, untuk mewujudkan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang tertuang dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor 11/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan negara bersih dan bebeas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. c. Bahwa dalam rangka melaksanakan amanah Ketetapan MPR RI Nomor 11/MPR/1998 serta untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN. DPR sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang bersama dengan Presiden telah membuat satu UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang berbasis … yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dua, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pindana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, selanjutnya disebut Undang-Undang Tipikor. d. Bahwa pembentuk Undang-Undang menyadari sepenuhnya, pemberantasan tindak pidana korupsi yang termasuk dalam kategori extra ordinary crime, penanganannya tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya. Oleh karenanya dalam ketentuan Pasal 43 Undang-Undang 3
Tipikor telah diperintahkan untuk membentuk Komisi Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. e. Bahwa berdasarkan amar ketentuan Pasal 43 UndangUndang Tipikor, kemudian melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuklah lembaga negara yang bertugas untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi, disebut Komisi. Pemberantasan korupsi atau KPK yang memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas kejahatan tindak pidana korupsi. f. Bahwa pembentuk undang-undang telah memberikannya kewenangan yang luar biasa kepada KPK dalam menjalankan tugas wewenang serta kewajibannya yang tidak dimiliki oleh lembaga penegak hukum lain. Oleh karenanya setiap langkah dan pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, akuntabel, transparan, dan menjunjung tinggi hukum tanpa sedikit pun ada toleransi untuk penyimpangan. Terkait dengan hal itu, Undang-Undang KPK khususnya ketentuan Pasal 21 ayat (5) telah mengatur secara tegas bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja secara kolektif. Dan dalam penjelasan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang KPK telah dijelaskan bahwa secara, bekerja secara (suara tidak terdengar jelas) adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. g. Bahwa ketentuan Pasal 21 ayat (5) undang-undang itu dirumuskan berkaitan erat dengan pelaksanaan tugas wewenang serta kewajiban KPK yang sangat luar biasa yang harus dilaksanakan dengan prinsip. Seperti tadi kehati-hatian, akuntabel, transparan, menjunjung tinggi dan tinggi hukum tanpa sedikit pun toleransi atas penyimpangan. Serta bertujuan untuk menjadi, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang yang luar biasa yang dimiliki KPK. Maka, dalam proses pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam undang-undang tersebut, Pasal 21 itu tidak berdiri sendiri ayat (5)-nya, tapi terkait juga dengan ayat (4) yang mengatakan bahwa Pimpinan KPK sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum 4
walaupun mungkin para pimpinan tersebut tidak berasal dari penyidik dan penuntut umum. Kemudian, ayat (5)nya bekerjasama dan ayat (6), pimpinan bertanggung jawab terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh KPK. Sebagai contoh untuk meningkatkan status kepenyidikan dan penetapan seorang menjadi tersangka adalah merupakan salah satu bentuk pengambilan keputusan yang harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan KPK karena KPK di Pasal 40 tidak berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Ketentuan ini menuntut kehatihatian bagi Pimpinan KPK sebelum menetapkan proses penyidikan suatu kasus. Karena itu sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka, KPK dituntut untuk bekerja semaksimal dan secermat mungkin atau profesional, terutama yang berkaitan dengan masalah pembuktian. Dan hal tersebut tentunya disetujui dan diputuskan secara bersama untuk memenuhi prinsip-prinsip kehati-hatian seperti yang disebutkan di atas. h. Oleh karenanya menurut pendapat DPR, frasa bekerja secara kolektif yang termuat dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang KPK tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Menurut DPR makna frasa bekerja secara kolektif sebagaimana diuraikan dalam penjelasan pasal a quo keberadaannya sangat diperlukan untuk memenuhi prinsip kehati-hatian, akuntabel, transparan, dan menjunjung tinggi hukum tanpa sedikitpun ada toleransi atas penyimpangan yang mana prinsip tersebut sangat diperlukan dalam proses penegakan hukum. Bahwa lama atau cepatnya KPK dalam melaksanakan tugasnya memberantas tindak pidana korupsi, khususnya pada kasus-kasus tertentu tidak serta merta menyebabkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang KPK menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan konstitusi. Menurut DPR hal tersebut terkait dengan pelaksanaan norma Undang-Undang KPK oleh KPK, yang menjadi perhatian kita bersama, termasuk di dalamnya para Pemohon, sebagai bagian dari komponen dari masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja KPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5
Dengan demikian DPR memohon kiranya kepada Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia memberikan amar putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan keterangan DPR diterima untuk seluruhnya. 2. Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang KPK tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 3. Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang KPK tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Terima kasih, wassalammualaikum wr.wb. 9.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Terima kasih Pak Nurdin yang mewakili DPR. Selanjutnya kita dengar keterangan pemerintah, silakan!
10.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Assalammualaikum wr.wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, pemerintah terkait dengan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diajukan oleh Saudara Farhat Abbas dan rekan yang dalam hal ini menguasakan kepada juga kantor hukum Farhat Abbas dan rekan, sebagaimana register di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XI/2013, tanggal 29 April 2013, dengan perbaikan tanggal 3 Juni 2013. Dalam hal ini presiden memberikan kuasa kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, dan Jaksa Agung Republik Indonesia, Basri Arif. Dan selanjutnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan kuasa kepada Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, dan saya sendiri selaku Kepala Badan Litbang Ham Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian jaksa agung juga memberikan kuasa kepada para jaksa pengacara negara yang sudah hadir di hadapan Yang Mulia. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sebagaimana permohonan yang sudah diajukan oleh para Pemohon pada intinya Pemohon mengajukan permohonan pengujian atas ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang KPK yang menyatakan bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkerja secara kolektif yang dianggapnya bertentangan atau tidak memberikan kepastian hukum, tidak efektif, tidak optimal karena di dalam pola pengambilan keputusan secara kolektif kolegial tersebut maka untuk meningkatkan ke status penyelidikan dan penetapan tersangka harus disetujui oleh seluruh pimpinan KPK. Maka menurut Pemohon hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) 6
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia … Republik … Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, tentang kedudukan hukum Pemohon bahwa pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menilai dan mempertimbangkannya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu sebagaimana yang sudah dijadikan yurisprudensi oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, penjelasan pemerintah terhadap materi yang dimohonkan untuk diuji, maka pemerintah dapat menjelaskan sebagai berikut: - Bahwa sebagaimana kita ketahui tuntutan reformasi yang digulirkan oleh masyarakat Indonesia antara lain adalah mengamanatkan bahwa agar pemberantasan kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam praktek penyelenggaraan negara dapat dilakukan perbaikanperbaikan dan pemberantasannya. Hal ini, Yang Mulia, dituangkan … kemudian dituangkan dalam ketetapan MPR Nomor 8 MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Oleh karena itu, sebagaimana kita ketahui sebagai arah kebijakan dan amanat dari ketetapan MPR itu sendiri yang terdiri dari beberapa poin, maka yang paling penting adalah adanya amanat untuk membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Bahwa kita ketahui bahwa korupsi merupakan kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa atau extraordinary. Maka penanganannya juga harus dilakukan secara luar biasa dan oleh lembaga yang benar-benar tepat dan bersih. Oleh karena itu, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, KPK diharapkan memang agar dapat memenuhi atau mengemban tugasnya guna melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, tentang syarat-syarat untuk menjadi pemimpin atau pimpinan KPK, maka di sana juga terkait dengan pengambilan keputusan dilakukan dengan syarat-syarat yang ketat dan tepat. Kita ketahui Yang Mulia bahwa KPK dalam hal ini ada juga memiliki kewenangan sebagaimana Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak … Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk juga di sini melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas suatu tindak pidana korupsi.
7
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Bahwa Ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang KPK yang menyatakan, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif.” Sebagaimana penjelasannya menyatakan, “Yang dimaksud dengan bekerja secara kolektif adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus direstui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.” Bahwa menurut pemerintah, ketentuan ini berkaitan erat dengan tugas, wewenang, serta kewajiban KPK yang sangat luar biasa yang pemerintah sudah sampaikan di atas. Sehingga, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh KPK, maka diperlukan pimpinan KPK yang memiliki kecakapan, kejujuran, dan integritas moral yang memadai. Tidak terlibat atau terkait dengan tindak pidana kejahatan, baik sebelum memangku maupun selama menjadi pimpinan KPK. Hal ini sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 29 Undang-Undang KPK. Juga termasuk di dalam proses pengambil keputusannya, maka harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bahwa Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pembentuk undang-undang yang dalam hal ini adalah DPR bersama presiden, selain memberikan kewenangan yang luar biasa kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, juga menyadari perlu adanya dibangun sistem sumber daya manusia yang akan memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-undang KPK memberikan dasar hukum yang kuat, sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang KPK ini. Salah satunya adalah melalui mekanisme pengambilan keputusan yang harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Tugas, wewenang, serta kewajiban KPK yang sangat luar biasa dan tidak dimiliki … yang tidak dimiliki oleh lembaga penegak hukum yang lain, maka harus dilaksanakan dengan prinsip prudence atau kehati-hatian, accountable, transparan, dan menjunjung tinggi hukum tanpa sedikit pun adanya toleransi atas terjadinya penyimpangan atau zero tolerance. Bahwa makna kolektif sebagaimana yang diatur di dalam Ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang KPK, menurut pemerintah tidak bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena menurut pemerintah, makna kolektif justru mewujudkan adanya prinsip keseimbangan karena untuk sebagaimana kita ketahui, untuk meningkatkan status seseorang yang menjadi tersangka atau statusnya naik kepada penyidikan dan penetapan tersangka adalah merupakan bentuk pengambilan keputusan yang harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Yaitu, atas dasar adanya atau terpenuhinya 2 alat bukti yang cukup. Oleh sebab itu, begitu seseorang 8
ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, maka membawa konsekuensi dan sudah pasti akan dibawa sampai pada tingkat penuntutan di pengadilan. Oleh karena itu, ketentuan ini menuntut adanya kehati-hatian oleh pimpinan KPK sebelum menetapkan seseorang atau kasusnya ditingkatkan menjadi dalam tahap penyidikan. Oleh karena itu, sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka, maka KPK dituntut untuk bekerja semaksimal mungkin dan secermat mungkin, terutama berkaitan dengan masalah hal-hal yang terkait dengan pembuktiannya. Oleh karena itu, Yang Mulia, menurut hemat Pemerintah, ketentuan yang terkait di dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (5) adalah semata-mata dalam rangka juga memberikan nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kepastian sebagaimana kepastian hukum, sebagaimana dijamin oleh ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1000 … 1945. Namun demikian, Pemerintah menghargai sepenuhnya upayaupaya yang dilakukan oleh Para Pemohon agar ketentuan tersebut sebagaimana di dalam permohonannya menjadi terang-benderang. Oleh karena itu, kami menghargai kepada Para Pemohon agar di dalam putusannya nanti Mahkamah Konstitusi juga memberikan hal yang sebagaimana dituntut atau apakah ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak. Oleh karena itu melalui forum ini, Yang Mulia, Pemerintah juga memohon agar Komisi Pemberantasan Korupsi diundang menjadi Pihak Terkait untuk memberikan keterangannya. Karena hal-hal yang terkait dengan teknis pengambilan keputusan itu terkait dengan atau diatur di dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2009. Oleh karena itu menurut hemat Pemerintah adalah tepat apabila KPK memberikan keterangannya. Demikian Yang Mulia, keterangan Pemerintah. Namun demikian sebagai kesimpulan, Pemerintah berketetapan bahwa ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1900 … 1945. Atas perhatian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi diucapkan terima kasih. Hormat kami, Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin. Jaksa Agung Republik Indonesia Basrief Arief. Terima kasih.
9
11.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Terima kasih, Pak Mualimin. Soal usulan untuk mendengar keterangan KPK, kita pertimbangkan. Tetapi, apa Pemerintah kurang firm menjawab permohonan ini?
12.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Firm, Yang Mulia.
13.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Ya. Kalau firm kan KPK itu pelaksana undang-undang saja. Ya, kan? Kalau undang-undangnya memerintah demikian, dia ikut saja. Jadi, namun demikian, kita pertimbangkanlah. Pemohon akan mengajukan ahli atau saksi dalam perkara ini atau tidak?
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: HAZMIN A. ST MUDA Cukup, Yang Mulia.
15.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Jadi, tidak mengajukan ahli?
16.
KUASA HUKUM PEMOHON: HAZMIN A. ST MUDA Tidak, Yang Mulia.
17.
KETUA: M. AKIL MOCHTAR Oke karena tidak mangajukan ahli dan … Pemerintah, DPR akan mengajukan saksi atau ahli, tidak? Tidak, ya? Oke, kalau demikian sidang ini kita anggap cukup dan diberi kesempatan kepada Pemerintah dan DPR, dan Pemohon untuk menyampaikan kesimpulannya paling lambat hari Selasa tanggal 4 Juli 2013, jam 15.00 WIB, ya. Tanggal 4 Juli … hari Selasa tanggal 4 Juli 2013, jam 15.00 WIB kalau mau menyampaikan kesimpulan ya, Pemohon, Pemerintah, dan DPR. Dengan demikian, sidang dalam Perkara Nomor 49 di … dinyatakan selesai. Dan nanti kalau sudah kesimpulannya, nanti Saudara-Saudara akan dipanggil untuk pengucapan putusan, ya.
10
Dengan demikian sidang dinyatakan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.22 WIB Jakarta, 26 Juni 2013 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
11